Anda di halaman 1dari 38

2.

1 PENGERTIAN HEALTH BEHAVIOR

Perilaku sehat adalah upaya individu yang merasa dirinya sehat dan bertujuan
memelihara, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan (Rosmalia & Sriani, 2017). Kasl &
Cobb & Parsons (dalam Sarafino & Smith, 2014) telah mencatat bahwa status kesehatan individu
memengaruhi jenis perilaku kesehatan yang dilakukan dan dorongan untuk melakukannya.
Gambaran contoh perilaku yang dilakukan individu ketika mereka sehat, mengalami suatu gejala
atau simptom, dan sakit.

Pertama, perilaku sehat yang dimaksud dapat berupa olahraga, makan makanan sehat,
melakukan cek kesehatan secara berkala, dan apabila diperlukan dapat melakukan vaksinasi
untuk pencegahan suatu penyakit. Aktivitas ini dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan baik serta dapat menghindari penyakit. Perilaku sehat bergantung pada faktor motivasi
yang kaitannya dengan persepsi individu tentang ancaman penyakit.

Kedua, perilaku yang muncul akibat gejala yang dimiliki oleh individu sebagai cara
untuk menentukan masalah dan obat yang dibutuhkan. Gejala yang dimaksud meliputi;
mengeluh, umumnya sakit perut, dan mencari bantuan orang-orang terdekat atau praktisi medis.
Namun beberapa individu memungkinkan untuk tidak berkonsultasi atas gejala yang dimiliki
karena takut akan diagnosa yang muncul dan beberapa individu terkendala dengan masalah
ekonomi.

Ketiga, perilaku sakit yang mengacu pada keinginan individu untuk sembuh setelah
individu tersebut merasa sakit dan mengetahui penyakitnya. Perilaku ini terdapat peran khusus
yang membuat individu dapat terlepas dari kewajiban sehari-harinya sebagai salah satu proses
untuk pemulihan diri setelah mendapat resep dan rekomendasi praktisi medis.

Dari beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan health behavior adalah suatu usaha
individu untuk menjadi lebih sehat atau mempertahankan kondisi kesehatannya, dan usaha ini
memiliki beberapa aspek agar dapat berhasil dilakukan.

2.2 ASPEK-ASPEK BIOPSIKOSOSIAL DALAM HEALTH BEHAVIOR

Model biopsikososial dapat kita bagi menjadi 3 bagian agar lebih mudah kita pahami
setiap aspeknya dengan lebih detail dan mendalam. 3 bagian tersebut, yaitu :

Aspek Biologi

Aspek biologis merupakan terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan


bagian kehidupan manusia yang berisi material dan proses genetik yang mengandung
karakteristik dari orang tua, selain itu aspek ini juga termasuk fungsi dan struktur fisik
dari seorang individu (Sarafino & Smith, 2014). Aspek ini terdiri dari berbagai bagian
seperti genetik, organ, tulang, dan sistem saraf. Aspek biologis dapat memengaruhi
kesehatan dan juga kebiasaan individu, apabila seseorang memiliki keluarga dengan
sejarah penyakit herediter maka individu tersebut harus melakukan usaha lebih untuk
menjaga kesehatannya dibanding orang yang tidak memiliki keluarga dengan sejarah
penyakit herediter.
Aspek Psikologi

Saat membicarakan health behavior proses mental merupakan hal yang tidak bisa
ditinggalkan karena seluruh proses tubuh yang dilakukan, dipengaruhi oleh proses
mental. Begitu pula gaya hidup baik sehat maupun buruk yang dijalani seseorang pun
dipengaruhi oleh proses mental yang terjadi di pikiran kita.

Aspek psikologi dari health behavior terdiri dari 3 unsur, yaitu :

1). Kognisi. Unsur kognisi memengaruhi cara seseorang berpikir, belajar,


mengingat memersepsikan sesuatu dan banyak lainnya. Sebagai contoh apabila seseorang
memersepsikan bahwa hidup tidaklah layak dijalani kecuali kita sambil menikmatinya,
dan jika salah satu cara orang tersebut menikmati hidup dengan merokok maka dengan
segala pemberitaan mengenai bahaya merokok, belum tentu orang tersebut akan berhenti.

2). Emosi. Emosi merupakan perasaan subjektif yang dirasakan oleh seseorang
terkait berbagai hal. Emosi sangat memengaruhi bagaimana seseorang menjalani
hidupnya dan bagaimana seseorang memilih gaya hidupnya. Contohnya adalah orang-
orang dengan emosi yang relatif positif akan cenderung lebih jarang terkena penyakit
karena mereka akan berusaha menerapkan gaya hidup yang sehat serta akan lebih mudah
memulihkan diri mereka sendiri apabila terjangkit penyakit dibandingkan dengan mereka
yang memiliki emosi yang relatif negatif. Emosi juga dapat memengaruhi kesehatan dan
gaya hidup seseorang dalam hal persepsi, apabila seseorang memiliki persepsi bahwa
dokter adalah tempat yang buruk maka mereka akan lebih sulit disembuhkan apabila
terkena penyakit.

3). Motivasi. Unsur ini memungkinkan manusia untuk memulai suatu hal. Contoh
dalam hal ini ialah mereka yang termotivasi untuk berpenampilan sehat dan bugar maka
akan berusaha untuk menjaga gaya hidup yang sehat dan menetapkan sasaran yang harus
dicapai kedepannya agar tetap sehat. Contoh lain adalah orang-orang yang pernah
terjangkit penyakit yang cukup kronis lalu termotivasi untuk melakukan penyembuhan,
maka mereka akan berusaha untuk meninggalkan kebiasaan buruknya di masa lalu.

Aspek Sosial

Manusia adalah makhluk sosial, memiliki hubungan dengan antar individu dan
antar kelompok dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika terjadi interaksi, individu dapat
memengaruhi individu lain atau kelompok lain begitu juga sebaliknya. Pada jenjang yang
cukup luas masyarakat dapat memengaruhi kesehatan individu dengan mempromosikan
nilai-nilai tertentu dari budaya yang ada seperti sehat dan bugar adalah hal yang baik.
Aspek sosial yang berpengaruh diantaranya; usia, jenis kelamin, budaya, status sosial
ekonomi, dan spiritual. Menurut Sallis & Story (dalam Sarafino & Smith, 2014)
karakteristik lingkungan suatu komunitas dianggap dapat memengaruhi aktivitas fisik dan
pola makan masyarakat. Adanya karakteristik tersebut dapat diturunkan menjadi faktor-
faktor sosial yang mungkin memiliki pengaruh dan dorongan terhadap individu mengenai
wellness, yaitu faktor dalam individu, faktor interpersonal, dan faktor dalam komunitas.
Faktor dalam individu adalah bagaimana mempertimbangkan cara untuk meningkatkan
kesehatan, menjaga keseimbangan dalam hidup, menetapkan batasan pada perilaku tidak
sehat, dan dorongan untuk melakukan perilaku sehat. Lalu, faktor interpersonal umumnya
terjadi karena individu yang hidup dalam sistem keluarga mungkin mengalami masalah
dalam upaya mereka untuk meningkatkan kesehatan. Beberapa masalah muncul karena
keluarga terdiri dari individu dengan motivasi dan kebiasaan masing-masing yang
kemudian mengadopsi perilaku antar anggota keluarganya, agar terjadi wellness-health
behavior perlu individu yang memberikan dukungan dan dorongan kepada individu lain
agar mengubah gaya hidupnya dari waktu ke waktu. Kemudian faktor dalam komunitas
yang dipromosikan atau didorong oleh lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat,
dan sistem keperawatan dapat memengaruhi masyarakat mengadopsi kebiasaan-
kebiasaan yang mengarah pada perilaku sehat.

Ketiga aspek ini saling berhubungan erat dan berkesinambungan untuk menentukan
health behavior pada individu. Seperti yang telah dijabarkan pada bagian pengertian bahwa
health behavior memiliki beberapa faktor penentu salah satu faktor penentu tersebut adalah
faktor biopsikososial.

Salah satu contoh yang dapat kita ambil adalah adiksi merokok, jika kita lihat dari aspek
biopsikososial dapat kita pahami kenapa seseorang mengalami adiksi rokok. Dilihat dari faktor
biologis menurut Ducci dan Goldman (2012) dari hasil penelitian keluarga, adopsi, dan saudara
kembar menunjukan relevansi genetik pada perkembangan adiksi. Dari faktor psikologis adiksi
merokok dapat dilihat dari motivasi individu tersebut untuk memulai dan mempertahankan
adiksi merokok. Dan, dari faktor sosial dapat kita lihat dari bagaimana lingkungannya menilai
adiksi merokok, jika dalam lingkungan individu tersebut menilai adiksi merokok adalah suatu
hal yang biasa maka individu tersebut akan cenderung menganggap merokok adalah hal yang
biasa dan bukan hal yang perlu dipermasalahkan.

Menurut Ducci dan Goldman (2012), genetik memengaruhi setiap tahapan mulai dari
inisiasi sampai adiksi, walaupun determinan genetik berbeda. Adiksi dapat didefinisikan sebagai
hasil interaksi dari genetik dan lingkungan tempat tinggal. Adiksi yang merupakan bagian dari
kemauan, bawaan lahir, dan lingkungan tempat tinggal memiliki banyak sekali tantangan, baik di
ranah medis, genetis, hukum, dan moral. Dari pendapat Ducci dan Goldman dapat kita lihat
hubungan yang kuat dari biopsikososial dan health behavior.

2.3 HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENGEMBANGKAN HEALTH BEHAVIOR

Hambatan dalam pelaksanaan health behavior dapat dilihat dari aspek biologis seseorang.
Menurut Ducci dan Goldman (2012) apabila individu memiliki gen CHRNA5 - CHRNA3 -
CHRNA4 maka individu tersebut akan memiliki kecenderungan untuk merokok pada orang
dewasa, hal ini akan terjadi apabila individu tersebut sudah melalui masa inisiasi penggunaan
nikotin atau merokok. Hal ini dapat mempersulit individu yang memiliki gen tersebut untuk
berhenti merokok.

Weinstein mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa tiap individu tetap melakukan
unhealthy behavior dikarenakan persepsi yang tidak begitu akurat dalam sebuah tindakan dan
suspek pada unrealistic optimism mereka. Terdapat 4 hal faktor kognitif yang menurut Weinstein
yang berkontribusi dalam unrealistic optimism:

a. Kurangnya personal experience dalam suatu masalah


b. Terdapat keyakinan bahwa masalah tersebut dapat dicegah dengan suatu tindakan
c. Terdapat keyakinan jika masalah tersebut belum muncul maka tidak akan muncul
masalah tersebut di masa depan
d. Dan juga terdapat keyakinan bahwa masalah jarang terjadi.

Faktor-faktor tersebut yang menunjukkan bahwa sebuah persepsi risiko bukanlah suatu
proses yang rasional.

Menurut Liftiah (2013), hambatan - hambatan dalam mengembangkan health behavior


yaitu :

a. Adanya sikap medical establishment dari suatu individu yang lebih mengutamakan
penyembuhan daripada pencegahan.
b. Terdapat hambatan-hambatan yang berasal dari internal individu tersebut karena
kebiasaan kesehatan yang telah diperolehnya sejak kecil sehingga sulit untuk merubah
kebiasaan tersebut.

Tiap orang mempelajari hal yang berkaitan dengan health behavior terutama dengan cara
operant conditioning dimana perilaku berubah karena suatu konsekuensi (Sarafino, 2001).
Terdapat 3 tipe konsekuensi yang penting:

a. Reinforcement. Dimana ketika kita melakukan sesuatu yang membawakan sebuah tujuan,
kepuasan atau kebahagiaan, tindakan tersebut akan membuat individu tersebut
mengulangi kebiasaan tersebut. Contohnya seorang anak yang mendapatkan sesuatu yang
dia inginkan seperti mainan atau uang jika ia menyikat giginya setiap sebelum tidur.
b. Extinction. Jika konsekuensi yang membuat seseorang mempertahankan sebuah behavior
tersebut dihilangkan, maka kecenderungan responnya secara perlahan akan menghilang
juga. Sebuah proses atau prosedur extinction ada, hanya jika tidak ada alternatif dari
konsekuensi atas perilaku tersebut. Seperti kebiasaan sikat gigi, jika uang sudah tidak
diberikan apakah anak akan terus menyikat giginya, jika diberikan reinforcer yang lain,
seperti sebuah pujian dari orang tuanya atau dari kepuasan anak tersebut dengan
penampilan giginya.
c. Punishment. Saat apa yang dilakukan individu membawa sebuah konsekuensi yang tidak
diinginkan. Pengaruh hukuman pada perilaku yang akan datang tergantung dari
individunya.

Jika sebuah perilaku sudah dilakukan dalam waktu yang lama maka perilaku tersebut
akan menjadi sebuah kebiasaan dan orang tersebut akan melakukannya secara otomatis dan tanpa
kesadaran.

Teori Health Beliefs Model


Teori model kepercayaan kesehatan (Health beliefs model) merupakan teori pertama
dalam bidang kesehatan yang memiliki hubungan dengan perilaku kesehatan. Perilaku
kesehatan sendiri merupakan perilaku yang berkaitan dengan upaya mencegah atau
menghindari penyakit dan penyebab dari penyakit itu sendiri, serta suatu perilaku dalam
memberikan upaya, mempertahankan, dan meningkatkan kesehatan (Notoatmodjo, 2014).
Hal ini seperti yang dikatakan oleh G.C Stone (dalam Taylor, 2003) bahwa perilaku
kesehatan merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang untuk meningkatkan atau
memelihara kesehatannya. Menjaga kebugaran melalui olahraga, makan makanan bergizi
serta merawat kebersihan diri juga merupakan perilaku sehat (Marmi & Margiyati, 2013).
Maka, berdasarkan uraian diatas, perilaku sehat yaitu perilaku yang dilakukan individu
yang dimana perilaku tersebut berkaitan dengan upaya individu dalam melakukan
pencegahan dan menghindari penyakit maupun penyebab penyakit tersebut, serta dalam
mengupayakan, mempertahankan, meningkatkan, dan memelihara kesehatannya dimana
perilaku ini mencangkup perilaku makan makanan yang bergizi, berolahraga, serta
merawat kebersihan diri dan perilaku sehat lainnya.
Teori Health belief model ini dikemukakan pertama kali oleh Resenstock 1966, lalu
disempurnakan oleh Becker, dkk 1970 dan 1980. Health belief model merupakan suatu
konsep yang mengungkapkan alasan individu untuk mau ataupun tidak mau melakukan
perilaku sehat (Becker, 1984). Health belief model ini ialah suatu model kognitif yang
menjelaskan serta memberikan prediksi perilaku sehat dengan berfokus pada sikap dan
belief yang ada pada individu (Rosenstock, dkk dalam Family Health International, 2004).
Menurut Stretcher & Rosenstock (dalam Megawati & Syahrul) Health belief model dapat
juga dikatakan sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang digunakan untuk memahami
perilaku kesehatan dan kemungkinan alasan untuk tidak patuh dengan tindakan kesehatan
yang

3
direkomendasikan. Maka, dari paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa Health belief
model yaitu suatu model kognitif yang berupa kerangka kerja konseptual yang berguna
untuk memberikan pemahaman, prediksi, maupun alasan individu untuk mau atau tidak
mau melakukan, dan patuh atau tidak patuhnya individu dalam melakukan tindakan
kesehatan yang berfokus pada sikap dan belief yang ada pada individu tersebut.
Health beliefs model juga menegaskan bahwa persepsi seseorang mengenai kerentanan
pengobatan dapat memberikan pengaruh keputusan seseorang dalam perilaku terhadap
kesehatannya (Setiyaningsih, dkk, 2016). Health belief model ini juga banyak digunakan
sebagai suatu pendekatan untuk intervensi, dimana pendekatan tersebut merupakan suatu
pendekatan khusus yang dapat membawa individu lebih dapat mengenali penyakitnya,
sehingga individu dapat menumbuhkan kesadaran dalam hal perilaku. Model ini
menjelaskan adanya hubungan antara keyakinan dan perilaku kesehatan, dimana hal ini
dikatakan bahwa perilaku kesehatan yang tepat terbentuk berdasarkan keyakinan pribadi
(Green & Murphy, 2014). Model ini menunjukan bahwa setiap orang dapat memberikan
reaktivitas yang baik terhadap kesehatan apabila mereka merasa berisiko (perceived
susceptibility), memiliki resiko sangat serius (perceived severity) dan perubahan perilaku
yang menunjukan manfaat bagi mereka (benefit perceived) serta mereka dapat
menghilangkan hambatan untuk perilaku kesehatan (perceived barriers) (Megawati &
Syahrul, 2019).
Hal ini sama dengan yang dijelaskan oleh Glanz & Viwanath (dalam Kusumaningrum
& Sari, 2018) Menurut teori health belief model, perilaku pencarian pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh adanya persepsi individu pada penyakit atau kondisi yang akan
dialaminya. Apabila seseorang menganggap dirinya rentan terhadap kondisi tersebut maka
ia akan percaya bahwa kondisi tersebut akan memiliki dampak serius, dan memiliki
kepercayaan bahwa tindakan pencegahan akan memiliki manfaat untuk mengurangi
kerentanan serta keparahan suatu kondisi, dan percaya bahwa manfaat yang diharapkan
akan lebih besar dari pada hambatan dari suatu tindakan, maka individu tersebut akan
cenderung melakukan tindakan untuk mengurangi resiko dari suatu penyakit

4
B. Sejarah Perkembangan Teori Health Beliefs Model
Health belief model dikemukakan pertama kali oleh Resenstock 1966, kemudian
disempurnakan oleh Becker, dkk 1970 dan 1980. Sejak tahun 1974, teori Health belief
model telah menjadi perhatian para peneliti. Konsep utama dari health belief model adalah
perilaku sehat ditentukan oleh kepercayaan individu atau persepsi tentang penyakit dan
sarana yang tersedia untuk menghindari terjadinya suatu penyakit. Health belief model
(HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950-an oleh sekelompok psikolog sosial
di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat, dalam usaha untuk menjelaskan
kegagalan secara luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi
penyakit. Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-
gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa,
terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis. Oleh karena itu, lebih dari
tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara
luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku
dengan kesehatan.

C. Komponen Dasar Teori Health Beliefs Model


Health beliefs model mengatakan bahwa perilaku merupakan hasil dari sekumpulan inti
dari kepercayaan yang mana telah didefinisikan sejak lama (Ogden, 2007). Menurut
(Ogden, 2007) Health Beliefs Model terdiri dari komponen komponen sebagai berikut:
1) Susceptibility (kerentanan terhadap penyakit), (contoh: kemungkinan saya terkena penyakit
jantung sangat tinggi)
2) Severity (tingkat keparahan penyakit), (contoh: penyakit jantung adalah penyakit yang
sangat menyakitkan)
3) Costs (sesuatu yang dikorbankan), (contoh: berhenti merokok membuat saya mudah
tersinggung)
4) Benefits (manfaat yang didapatkan), (contoh: berhenti merokok akan menghemat
pengeluaran saya)
5
5) Cues to Action (isyarat untuk bertindak). Dapat berupa isyarat internal (contoh: gejala sesak
nafas pada tubuh), eksternal (contoh: poster tentang bahaya merokok)
6) Health Motivation (motivasi untuk sehat), (contoh: saya sadar bahwa merokok membuat
saya sakit)
7) Percieved Control (kontrol yang dapat dirasakan), (contoh: saya yakin saya dapat berhenti
merokok)

Health beliefs model mengungkapkan bahwa kepercayaan inti tersebut dapat digunakan
untuk memprediksi kemungkinan perilaku akan terjadi. Sarafino & Smith (2011)
mengelompokkan komponen-komponen dari health beliefs model menjadi dua bagian, yang
pertama adalah percieved threat yang berisikan kerentanan terhadap penyakit, tingkat
keparahan penyakit, dan isyarat untuk bertindak, serta percieved benefits and barrrier yang
berisikan manfaat dan pengorbanan perilaku.

Pada prediksi perilaku yang mungkin muncul, individu menimbang-nimbang dan


memperhitungkan tentang manfaat dan pengorbanan yang didapatkan dari melakukan
sebuah perilaku, jika manfaat dirasa lebih besar maka seseorang cenderung melakukan
perilaku sehat tersebut, namun jika pengorbanannya dirasa lebih besar, maka seseorang
cenderung untuk tidak melakukannya (Sarafino & Smith, 2011). Selain itu karakteristik
pribadi seseorang juga dapat memengaruhi pertimbangan dari percieved benefits yang
terdapat dari sebuah perilaku, dan juga percieved threats yang menyertainya, karakteristik
pribadi yang dapat memengaruhi perilaku tersebut ialah jenis kelamin, ras, gender, kondisi
ekonomi, status sosial, dan lain-lain (Sarafino & Smith, 2011).

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teori Health Beliefs Model Health beliefs model
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dipengaruhi faktor demografis, faktor karakteristik
psikologis, dan juga faktor structural variable yang mencakup faktor ilmu pengetahuan.
1) Faktor demografis
Dalam faktor demografis, kelas sosial masyarakat sangat mempengaruhi
health beliefs model individu. Individu dengan kelas sosial

6
ekonomi menengah ke bawah cenderung kurang dalam mengetahui pengetahuan
seputar faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit. 2) Faktor karakteristik
psikologis
Faktor karakteristik psikologis berkaitan erat dengan bagaimana persepsi dan
sikap individu terhadap suatu ancaman penyakit dan pengobatan. Sebagai contoh,
individu merasa ketakutan untuk menjalani pengobatan medis dalam rangka
menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
3) Faktor structural variable
Faktor structural variable yang sangat berperan dalam memengaruhi health
beliefs model individu adalah tingkat pendidikan atau edukasi. Individu dengan
tingkat pendidikan yang rendah cenderung merasa tidak rentan terhadap suatu
penyakit karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki, sehingga hal ini seringkali
menyebabkan individu justru menjadi potensial untuk terkena penyakit tertentu.

E. Kelebihan dan Kekurangan Teori Health Beliefs Model


Beberapa penelitian mendukung prediksi dari teori Health Beliefs Model. Penelitian
menyatakan bahwa perilaku kesehatan seperti kepatuhan diet, safe sex, vaksinasi,
kunjungan ke dokter gigi secara teratur serta mengikuti program olahraga teratur berkaitan
dengan persepsi individu tentang kerentanan terhadap masalah kesehatan kesehatan, yaitu
keyakinan mereka bahwa masalah kesehatan tersebut parah dan persepsi mereka bahwa
manfaat tindakan pencegahan lebih besar daripada kerugiannya (Becker 1974; Becker et
al. 1977; Becker and Rosenstock 1984 dalam Ogden 2007).
Hasil penelitian yang lain juga mendukung masing-masing komponen pada teori
Health Beliefs Model. Beberapa penelitian telah meneliti dan melaporkan bahwa
hambatan dan kerentanan yang dirasakan oleh individu adalah prediktor terbaik dari
perilaku sehat. Selain itu, penelitian juga membuktikan adanya peran isyarat dalam
memprediksi perilaku sehat, khususnya isyarat eksternal seperti informasi dari luar.
Informasi dalam bentuk peringatan yang menimbulkan rasa takut dapat mengubah
keyakinan dan akibatnya mendorong individu untuk mengubah sikap dan perilaku
sehatnya. Beberapa penelitian (Rimer dkk, 1991) melaporkan terdapat hubungan

7
yang signifikan antara pengetahuan penyakit yang didapat dari informasi-informasi
kesehatan dan perilaku kesehatan preventif (Ogden, 2007).
Di samping itu, terdapat beberapa hasil penelitian yang bertentangan. Janz dan Becker
(1984) menemukan bahwa niat perilaku sehat muncul apabila individu merasakan
kerentanan rendah, tidak setinggi yang diperkirakan, dan beberapa penelitian telah
mengemukakan adanya hubungan antara kerentanan rendah (tidak tinggi) dan perilaku
sehat (Becker et al. 1975; Langlie 1977). Janz dan Becker (1984) dalam teori Health
Beliefs Model menemukan bahwa tidak ada hubungan antara manfaat dan keparahan yang
dirasakan individu, dan bahwa prediktor terbaik dari perilaku kesehatan adalah persepsi
hambatan dan kerentanan yang dirasakan terhadap penyakit. Namun, Becker and
Rosenstock (1984) dalam tinjauan terhadap 19 studi menggunakan meta-analisis yang
mencakup ukuran HBM untuk memprediksi kepatuhan, menghitung bahwa prediktor
kepatuhan terbaik adalah biaya dan manfaat serta tingkat keparahan yang dirasakan
(Ogden, 2007).
Teori Health Beliefs Model telah dikritik akibat adanya hasil penelitian yang
bertentangan tersebut. Teori ini juga dikritik karena memiliki beberapa kelemahan, di
antaranya:
1) Teori ini hanya berfokus pada pemrosesan informasi secara sadar. Padahal, tidak semua
hal yang dilakukan oleh individu didasari oleh hasil pemrosesan informasi tersebut
(contoh: apakah seseorang hanya akan menyikat giginya setelah memikirkan pro dan con
dari kegiatan tersebut?)
2) Teori ini hanya menekankan pada individu saja dan tidak memperhatikan aspek lain
seperti aspek sosial dan lingkungan.
3) Tidak adanya peran dari aspek emosional seperti rasa takut dan penyangkalan. 4) Telah
dikemukakan bahwa faktor alternatif seperti ekspektasi akan hasil dan self-efficacy dapat
memunculkan perilaku sehat (Seydel et al. 1990; Schwarzer 1992, dalam Ogden, 2007)
5) Schwarzer (1992, dalam Ogden, 2007) telah mengkritik teori Health Beliefs Model karena
pendekatan statisnya pada keyakinan akan kesehatan dan mengemukakan bahwa teori
Health Beliefs Model mendeskripsikan keyakinan sebagai sesuatu yang terjadi bersamaan
dan tidak mengalami perubahan, perkembangan atau proses.

8
6) Leventhal dkk. (1985, dalam Ogden, 2007) berpendapat bahwa perilaku sehat lebih
disebabkan oleh persepsi atas gejala daripada faktor individu seperti yang dikemukakan
oleh teori Health Beliefs Model.

F. Contoh Penerapan Teori Health Beliefs Model Dalam Kasus Kesehatan Judul : Health Belief
Model: Determinants of Hypertension Prevention Behaviorin Adults at Community Health
Center, Sukoharjo, Central Java
Penyakit hipertensi adalah salah satu penyakit berbahaya yang banyak dialami oleh
seseorang, baik disadari maupun tidak disadari. Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah
menjadi salah satu daerah dengan prevalensi tingkat penderita hipertensi yang cenderung
tinggi dengan jumlah kasus tercatat sebanyak 36.827 kasus pada tahun 2015, dan terus
mengalami peningkatan pada setiap tahun.
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terserang penyakit
hipertensi, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol (seperti jenis kelamin, genetik, dan
umur), dan juga faktor yang dapat dikontrol (seperti obesitas, kurang olah raga, merokok,
konsumsi garam dan lemak berlebih). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah terserang penyakit hipertensi adalah dengan melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pembiasaan pola hidup sehat
dengan mempelajari perilaku yang tepat, dimana hal ini dapat dikaji melalui teori model
kepercayaan kesehatan (health beliefs model) dengan dikaitkan terhadap 6 dimensi teori
health beliefs model.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 160 subjek yang terdiri dari 62 laki-laki dan 98
perempuan dengan prosentase subjek berusia <35 tahun sebanyak 51,90% dan subjek
dengan usia >35 tahun sebanyak 48,10% diperoleh hasil sebagai berikut:
1) Terdapat hubungan yang positif antara persepsi kerentanan dengan perilaku pencegahan
melalui variabel antara persepsi ancaman. Individu yang percaya dirinya memiliki resiko
yang rendah untuk terkena hipertensi maka berkemungkinan untuk melakukan tindakan
yang tidak sehat, sebaliknya individu yang rentang terserang hipertensi melakukan
perilaku hidup sehat
9
untuk mengurangi resiko terserang penyakit dan juga mengambil tindakan untuk
penyembuhan hipertensi yang dirasakan.
2) Terdapat hubungan yang positif antara persepsi keseriusan dengan perilaku pencegahan
hipertensi melalui variabel antara persepsi ancaman. Tingkat keparahan penyakit yang
dirasakan oleh individu menyebabkan individu tersebut percaya bahwa dampak dari
keparahan penyakitnya tersebut dapat menjadi ancaman bagi hidupnya. Oleh karena itu,
individu tersebut berusaha mengambil tindakan untuk melakukan pengobatan dan
pencegahan terhadap penyakit tersebut agar tidak mengancam hidupnya.
3) Terdapat hubungan yang positif antara cues to action dengan perilaku pencegahan
hipertensi melalui variabel antara persepsi ancaman. Cues to action atau isyarat tindakan
ini berhubungan dengan tingkat kepatuhan minum obat anti hipertensi yang diperoleh
melalui mengetahui tentang layanan kesehatan atau pun konsultasi.
4) Terdapat hubungan langsung antara persepsi ancaman dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Ketika ancaman penyakit hipertensi meningkat, maka individu akan
melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit tersebut.
5) Terdapat hubungan langsung antara persepsi manfaat dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Individu yang percaya bahwa tindakan tertentu dapat mengurangi kerentanan
terhadap suatu penyakit, maka individu tersebut akan cenderung melakukan perilaku
yang dapat mencegah penyakit tersebut.
6) Terdapat hubungan langsung antara persepsi hambatan dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Hambatan dalam pencegahan atau penanganan penyakit dapat berupa biaya
pengobatan yang mahal, tidak menyenangkan, menyakitkan, efek samping pengobatan,
atau prosedur medis. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap keputusan individu untuk
mengambil tindakan pencegahan atau penanganan penyakit yang diderita.
7) Terdapat hubungan antara efikasi diri (self efficacy). Individu cenderung melakukan pola
hidup sehat atau perilaku kesehatan ketika mereka berpikir bahwa tindakan tersebut akan
berhasil mengatasi penyakit yang dideritanya. Efikasi diri berfungsi sebagai kontrol diri
untuk dapat mengubah gaya hidup ke arah yang lebih sehat.

A. Sejarah Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior

Pada tahun 1967, Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengembangkan sebuah teori
bernama Teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action). Icek Ajzen merupakan
salah satu profesor di Universitas Massachusetts, beliau mendapatkan gelar Ph.D di
Universitas Illinois dan menjadi Visiting Professor di Universitas Tel-Aviv selama
beberapa tahun. Sedangkan, Martin Fishbein adalah seorang Profesor dalam bidang
psikologi di Universitas Illinois. Mereka berdua menjelaskan teorinya lewat buku
berjudul “Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and
Research“ pada tahun 1975, dan beberapa jurnal serta paper. Lewat karya tulisannya
tersebut mereka membahas bagaimana peran sikap(attitude) dan norma subjektif
(subjective norm) terhadap pembentukan perilaku (behavior). Kemudian pada tahun
1988, komponen pengendalian perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control)
ditambahkan sebagai salah satu komponen dalam pembentukan perilaku, hal inilah yang
melandasi pembentukan teori tindakan terencana (Theory of planned behavior) sebagai
pengembangan dari teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) (Werner 2004).
Asumsi pokok dalam teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) adalah
bagaimana seorang individu rasional dalam mempertimbangkan perilaku beserta
implikasinya. Rasional dalam hal ini, bahwa individu harus menyadari betul akan
konsekuensi dan dampak dari perilaku yang akan dilakukannya (Basu 1996; Bazerman
2002; Eppen et al. 1998). Komponen dasar dari perilaku menurut teori ini ada dua, yaitu
sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) dan norma subjektif (Subjective
Norm).

Kemudian dalam Teori Perilaku Direncanakan (Theory of Planned Behavior)


ditambahkan komponen pengendalian perilaku yang dirasakan (perceived behavioral
control). Sehingga pada teori yang kedua ini berasumsi bahwa ada 3 komponen dalam
pembentukan perilaku, yaitu sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior), norma
subjektif (Subjective Norm), dan pengendalian perilaku yang dirasakan (perceived
behavioral control).

B. Pengembangan Teori
1. Theory of Reasoned Action ( TRA)
Asumsi dasar teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) adalah
bagaimana seorang individu rasional dalam mempertimbangkan perilaku serta
implikasinya. Pada teori tindakan beralasan dilakukan atau tidak perilaku ditentukan
oleh niat individu. Niat untuk melakukan atau tidak perilaku tersebut dipengaruhi
oleh hubungan dengan sikap (attitude towards behavior), dan hubungan dengan
pengaruh sosial seperti norma subjektif (subjectives norms).
Teori tindakan beralasan menjelaskan bahwa ada beberapa tahapan manusia
melakukan perilaku yaitu, pada tahap awal diasumsikan perilaku ditentukan
berdasarkan niat (intention). Selanjutnya, tahap kedua adalah niat dapat dijelaskan
dengan bentuk sikap terhadap perilaku (attitudes towards the behavior) dan norma
subjektif (subjective norm). pada tahap ketiga mempertimbangkan sikap dan norma
subjektif dalam bentuk kepercayaan mengenai konsekuensi terhadap perilaku dan
ekspektasi normatif dari orang yang relevan.
Ajzen untuk mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat
untuk melakukan perilaku, melengkapi teori tindakan beralasan dengan keyakinan
(beliefs) bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs),
sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs).

2. Theory of Planned Behavior (TPB)


Teori Perilaku Direncanakan (Theory of Planned Behavior) merupakan
pengembangan lebih lanjut dari teori tindakan beralasan (Theory of reasoned
action). Ajzen (1985) menambahkan variabel persepsi kontrol perilaku (perceived
behavioral control). Penambahan variabel tersebut dilakukan untuk memahami
keterbatasan individu dalam melakukan perilaku tertentu, dengan kata lain dilakukan
atau tidak suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan normatif tetapi juga
ditentukan oleh persepsi individu terhadap kontrol yang berasal dari keyakinan diri
terhadap kontrol tersebut (control beliefs). Selanjutnya, Ajzen (2005) melengkapi
kembali teori perilaku direncanakan dengan menambahkan faktor latar belakang
individu tersebut sehingga menyebabkan adanya perubahan skema pada teori ini.
Sumber : Ajzen 2005

Model perilaku yang direncanakan terdapat berbagai variabel, yaitu :


1. Latar Belakang (Background Factors)
Latar belakang seperti usia, jenis kelamin, sikap umum, sifat kepribadian,
nilai hidup, kecerdasan, pendidikan merupakan hal yang dapat mempengaruhi
sikap dan perilaku individu. Pada dasarnya faktor latar belakang merupakan sifat
yang hadir dari dalam diri seseorang yang terdapat pada model Kurt Lewin dan
dikategorikan ke dalam aspek O (organism). Dalam teori perilaku yang
direncanakan Ajzen (2005) memasukan tiga faktor latar belakang, yaitu Sosial,
personal dan Informasi. Faktor sosial dalam latar belakang yaitu usia, jenis
kelamin, etnis, pendidikan, agama, dan penghasilan. Faktor personal dalam latar
belakang yaitu, sikap umum individu terhadap sesuatu, sifat kepribadian, nilai
hidup, emosi, dan kecerdasan. Faktor Informasi dalam latar belakang yaitu,
pengalaman, pengetahuan dan eksposur media.
2. Keyakinan Perilaku (behavioral beliefs)
Keyakinan perilaku merupakan suatu hal yang diyakini oleh individu
mengenai sebuah perilaku berdasarkan sisi positif dan sisi negatif atau sikap
individu terhadap perilaku dalam bentuk suka atau tidak suka terhadap perilaku
tersebut. Hubungan antara pengaruh latar belakang individu terhadap keyakinan
perilaku dan kontrol perilaku ditunjukan dengan garis putus-putus. Hal tersebut
menunjukan bahwa variabel keyakinan perilaku dan kontrol perilaku berasal dari
dalam diri sedangkan keyakinan normatif berasal dari luar individu.
3. Keyakinan Normatif ( Normative Beliefs)
Keyakinan normatif merupakan suatu hal yang berkaitan dengan langsung
dengan lingkungan. Keyakinan normatif adalah suatu keputusan individu untuk
dapat dipengaruhi faktor lingkungan sosial khususnya oleh orang-orang yang
berpengaruh terhadap kehidupan individu tersebut (significant others) dan dapat
mempengaruhi keputusannya.
4. Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan (Control Beliefs)
Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan dapat diperoleh
dengan pengalaman melakukan perilaku yang sama atau pengalaman yang
diperoleh karena melihat orang lain sehingga individu dapat memiliki keyakinan
bahwa ia akan dapat melaksanakannya. Selain itu, keyakinan individu bahwa
suatu perilaku dapat dilaksanakan ditentukan pula oleh tersedianya fasilitas untuk
melaksanakan perilaku, waktu yang tersedia untuk melaksanakan perilaku, dan
juga kemampuan yang dimiliki individu dalam mengatasi setiap kesulitan yang
menghambat pelaksanaan perilaku.
5. Norma Subjektif (Subjective Norm)
Merupakan perasaan individu terkait dugaannya terhadap perasaan orang
lain di sekitarnya ketika dirinya melakukan suatu perilaku. Norma Subjektif ini
didefinisikan pula sebagai sejauh mana individu memiliki motivasi untuk
mengikuti pandangan orang lain terhadap perilakunya (normative beliefs).
Fishbein & Ajzen (1975) mengungkapkan bahwa fenomena yang
menggambarkan apakah pandangan seseorang dalam hidupnya dipengaruhi oleh
orang lain dalam berperilaku disebut sebagai motivation to comply. Dengan kata
lain, seseorang mengadopsi pandangan orang lain terhadap dirinya dan meyakini
pandangan tersebut.
6. Persepsi Kemampuan mengontrol (Perceived behavioral control)
Persepsi kemampuan mengontrol adalah persepsi seseorang terhadap mudah
atau susahnya dalam mewujudkan suatu perilaku. Dalam mewujudkan suatu
perilaku, individu dipengaruhi oleh pengalamannya, pengalaman orang lain yang
memotivasinya, fasilitas, dan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut.
Selanjutnya individu mengukur kemampuan diri apakah ia mampu atau tidak
dalam melaksanakan perilaku tersebut.

Selanjutnya adalah niat untuk melakukan perilaku (intention) merupakan kecenderungan


seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Niat tersebut ditentukan oleh sejauh mana individu
memiliki sikap positif dalam perilaku tertentu, dan sejauh mana ia mendapat dukungan yang
berasal dari orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. intention memberikan indikasi
atas kesiapan seseorang untuk melakukan suatu perilaku.

C. Tujuan dan Manfaat Teori


Teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) dan teori tindakan beralasan
(Theory of reasoned action) memiliki beberapa tujuan dan manfaat dalam pengembangan
perilaku manusia.
a. Teori ini digunakan untuk memprediksi dan memahami pengaruh secara motivasional
kepada perilaku yang dilakukan bukan atas kemauan sendiri
b. Mengidentifikasi bagaimana dan kemana arah strategi pada perubahan perilaku manusia
seperti alasan mengapa seseorang membeli baju baru atau memilih calon pemimpin.
c. Teori ini menjelaskan garis besar dalam mempelajari sikap dan perilaku manusia. dari
teori tersebut, ditarik kesimpulan bahwa penentu yang paling krusial dalam perilaku
adalah intensi atau maksud untuk berperilaku. Intensi seseorang dipengaruhi oleh hal-hal
seperti kepercayaan individu terhadap sesuatu, norma subjektif, kepercayaan normatif
untuk mematuhi kepercayaan tersebut. Keyakinan yang positif dari individu akan suatu
perilaku nantinya akan menghasilkan sikap yang juga positif terhadap perilaku tersebut
dan sebaliknya. Lebih lanjut, apabila orang-orang mempersepsikan bahwa suatu perilaku
adalah negatif dan individu termotivasi untuk memenuhi harapan dari orang-orang, maka
itulah yang disebut dengan norma subjektif yang positif, dan sebaliknya.

d. A. Teori Kondisioning Perilaku


e. Ada dua jenis teori pengkondisian, yaitu pengkondisian klasik dan pengkondisian operan.
Pengkondisian klasik adalah proses di mana rangsangan terkondisi/conditioned stimulus
(CS) memperoleh kemampuan untuk mendapatkan respons, yang dihubungkan dengan
rangsangan yang tak terkondisi/unconditioned stimulus (UCS) yang telah memunculkan
respons tersebut.
f. Terdapat salah satu penelitian yang dilakukan oleh Robert Ader bersama dengan
Nicholas Cohen (seorang imunologis) terhadap beberapa tikus, yang dilakukan dengan
menggunakan prinsip pengkondisian klasik. Dalam rentang waktu tertentu, tikus-tikus
tersebut diberi obat penekan kekebalan (UCS) yang digabungkan dengan air manis (CS).
Lama setelah rentang waktu percobaan selesai, tikus-tikus tersebut akhirnya jatuh sakit
ketika hanya diberi air manis. Hal tersebut dapat dijelaskan ketika rasa manis dari air
yang timbul dibarengi dengan obat yang mempengaruhi respons kekebalan tubuh, rasa
manis tersebut akan menimbulkan respons imun di kemudian hari. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa prinsip pengkondisian dapat diterapkan dalam sistem kekebalan
tubuh.
g. Seiring berkembangnya waktu, metode pengkondisian ini telah menunjukkan banyak
keberhasilan sebagai pendekatan terapeutik dalam membantu orang memodifikasi
perilaku bermasalah, seperti overeating, emosi, kecemasan dan ketakutan (Sarafino,
2001). Pada tahun 1970-an, para psikolog fisiologis telah memperlihatkan dengan jelas
bahwa peristiwa psikologis — khususnya emosi — mempengaruhi fungsi tubuh,
contohnya tekanan darah. Para peneliti juga telah menunjukkan bahwa orang dapat
belajar untuk mengendalikan berbagai sistem fisiologis jika mereka diberi umpan balik
mengenai apa yang sistem lakukan (Miller, 1978).
h. Selanjutnya yaitu pengkondisian operan. Konsep dari pengkondisian operan adalah
pemberian reinforcement/penguatan. Apabila seorang individu menampilkan perilaku
yang diikuti dengan penguatan positif, maka perilaku tersebut akan cenderung
i. 6
j. muncul kembali/bertahan. Sebaliknya, apabila penguatan yang diberikan negatif, maka
perilaku tersebut akan ditekan.
k. Menurut Skinner dalam Natoatmodjo (2012) prosedur pembentukan dalam operant
conditioning adalah sebagai berikut:
l. a. Melakukan identifikasi terhadap hal-hal berupa penguat atau reinforce berupa hadiah
atau reward bagi perilaku yang terbentuk.
m. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen tersebut disusun
dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku dimaksud.
n. c. Menggunakan secara urut komponen-komponen sebagai tujuan sementara,
mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.
o. d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah
tersusun. Hadiah diberikan apabila komponen pertama telah dilakukan, hal ini
mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering
dilakukan.
p. B. Contoh Penerapan Teori Kondisioning Perilaku dalam Kesehatan Teori
kondisioning perilaku terbagi menjadi dua yaitu pengkondisian klasik dan pengkondisian
operan. Contoh penerapan kondisioning perilaku dalam kesehatan yang menggunakan
pengkondisian operan yaitu, seorang anak yang diberi hukuman dengan mengambil
hpnya oleh orang tuanya karena tidak membersihkan kamar yang kotor dan berantakan,
jika dari hukuman yang diberikan tidak berhasil mengubah anak tersebut. Maka hukuman
dapat diganti dengan memberikan reward atau reinforcement positif kepada anak yaitu,
apabila anak membersihkan kamarnya maka akan diberi tambahan waktu untuk bermain
hp juga. Contoh lainnya yaitu, seorang anak cenderung malas melakukan olahraga karena
itu melelahkan dan cenderung lebih memilih untuk rebahan dan main hp, namun agar
anak tersebut mau melakukan olahraga maka orang tuanya akan memberikan hadiah
setiap anak melakukan olahraga. Hadiah yang diberikan yaitu dengan memberikan
sesuatu yang diinginkan oleh anak dapat berupa barang ataupun makanan.
q. 7
r. Dengan diberikannya hadiah tersebut, diharapkan anak akan lebih cenderung
berolahraga.
s. Contoh lainnya yaitu, saat ini dunia tengah dihadapi dengan pandemi covid-19 termasuk
indonesia, oleh karena itu pemerintah indonesia mengeluarkan peraturan mengenai
protokol kesehatan untuk masyarakatnya guna mengurangi penyebaran virus tersebut.
Protokol yang dimaksud ialah mencuci tangan, menggunakan masker saat keluar rumah
serta menjaga jarak. Namun, sangat disayangkan masih banyak dari masyarakat
indonesia yang tidak patuh dengan peraturan yang ada, untuk itu pemerintah kemudian
mengeluarkan peraturan baru berupa akan memberikan sanksi bagi masyarakat yang
tidak mematuhi protokol kesehatan tersebut, sanksi tersebut berupa membersihkan
trotoar, denda, menyanyikan lagu nasional dan sebagainya. Pemberian hukuman ini
sebagai bentuk punishment bagi masyarakat yang melanggar peraturan dan upaya
pengendalian kepatuhan masyarakat terhadap peraturan, diharapkan kedepannya
masyarakat akan mematuhi peraturan dan menerapkan protokol kesehatan, sehingga
upaya mengurangi penyebaran virus akan berhasil.
t. C. Teori Kognisi Sosial
u. Teori kognitif sosial dikemukakan oleh Albert Bandura. Dalam teori kognitif sosial
terdapat belajar observasi (observational learning) yaitu individu belajar dengan
mengamati perilaku individu lain. Proses belajar dalam teori kognitif sosial menekankan
pada belajar tidak langsung atau observasi, mengamati perilaku individu lain. Modelling
adalah suatu informasi atau perilaku yang diperlihatkan model yang kemudian ditiru oleh
pengamat. Berpengaruh melalui penguatan tak langsung (vicarious reinforcement) dan
hukuman tak langsung (vicarious punishment).
v. Proses belajar observasional:
w. 1. Atensi. Memberikan perhatian/fokus pada perilaku model..
x. 2. Retensi. Informasi disimpan secara imajinasi dan verbal, memungkinkan delayed
modelling.
y. 3. Produksi. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku yang ditampilkan
model, informasi umpan balik, penyesuaian konsep/perilaku.
z. 8
aa. 4. Motivasi. Dorongan dalam diri individu untuk melaksanakan perilaku menjadi lebih
kuat saat individu merasa perilaku tersebut berguna.
bb. 5. Belajar observasional. Individu menguasai dan melaksanakan perilaku yang
sebelumnya ditampilkan oleh model.
cc. Perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan dimana
individu itu berada. Manusia, lingkungan, dan perilaku saling mempengaruhi disebut
determinis resiprokal. Lingkungan yang mempengaruhi individu ditentukan bagaimana
individu berperilaku terhadap lingkungan. Individu dapat mempengaruhi lingkungan
dengan cara tertentu. Perubahan lingkungan mempengaruhi perilaku individu
selanjutnya.
dd. Teori kognitif sosial (social cognitive theory) dapat dijadikan peneliti untuk menjelaskan
perilaku hidup sehat. Teori kognitif sosial sebagai dasar penelitian hidup sehat karena
terdapat faktor kognitif dan faktor sosial dalam menjelaskan perilaku individu. Dalam
Taylor (1999) mengungkapkan bahwa berdasarkan teori kognitif sosial, perilaku dapat
berubah jika ada perubahan kognitif dan sosial. Pengaruh kognitif berkaitan dengan
keyakinan atau kepercayaan individu dalam berperilaku, keyakinan individu baik positif
maupun negatif dalam berperilaku dapat memberikan pengaruh yang positif atau negatif
terhadap perilakunya.
ee. D. Contoh Penerapan Teori Kognisi Sosial dalam Kesehatan
ff. Terdapat sebuah penelitian yang membahas mengenai bagaimana teori kognitif sosial
mampu menjelaskan perilaku makan pada anak-anak (Sarintohe, 2006). Teori kognitif
sosial memaparkan bahwa perilaku individu dapat berubah apabila terdapat perubahan
pada faktor kognitif dan sosial individu. Dalam teori kognitif sosial, Bandura
menjelaskan mengenai triadic reciprocal determinism, yaitu hubungan sebab akibat
timbal balik antara faktor lingkungan/environment, individu/person, dan
perilaku/behavior. Terdapat tiga prediktor dalam teori kognitif sosial yaitu efikasi diri,
harapan akan hasil, dan pengetahuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adakah
hubungan antara ketiga prediktor tersebut dengan perilaku makan pada anak-anak, dan
gg. 9
hh. melihat adakah perbedaan efikasi diri, harapan akan hasil, dan pengetahuan mengenai
makanan sehat pada anak dengan berat badan normal dan obesitas. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hanya dua dari tiga prediktor dalam teori kognitif sosial yang dapat
menjelaskan perilaku makan sehat yaitu harapan akan hasil dan pengetahuan.
ii. Contoh lain mengenai teori kognitif sosial dalam kesehatan dapat dilihat dari perilaku
masyarakat saat ini dalam merespon adanya wabah virus corona. Pemerintah dibantu oleh
banyak institusi dengan gencar mensosialisasikan 3M yaitu memakai masker, menjaga
jarak, dan mencuci tangan. Proses belajar observasional berperan dalam hal ini.
Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya secara langsung di rumah sakit.
Tenaga kesehatan selalu memakai masker dan memberikan hand sanitizer (sebagai
pengganti cuci tangan) kepada seluruh pengunjung di rumah sakit, juga pada setiap
bangku diberi tanda agar pengunjung menjaga jarak duduk. Seluruh pengunjung
memperhatikan sosialisasi tersebut (atensi). Kemudian seluruh pengunjung mengingat
dan menyimpan informasi tersebut (retensi) juga memproses dan memiliki kemampuan
untuk melakukan hal yang sama (produksi). Setelah itu pengunjung melihat bahwa
seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit hampir semuanya tetap sehat walaupun setiap
hari berinteraksi dengan pasien dengan berbagai penyakit karena tertib melaksanakan
protokol kesehatan 3M, sehingga pengunjung memiliki dorongan untuk melakukan hal
yang sama (motivasi) hingga akhirnya mulai tertib melaksanakan protokol 3M di
manapun dan kapanpun (belajar observasional). Namun, tidak menutup kemungkinan
juga setelah melewati tahap produksi, para pengunjung melihat ada juga tenaga kesehatan
atau bahkan orang awam yang walaupun sudah tertib melaksanakan 3M tetapi tetap
terkonfirmasi positif virus corona dan membuatnya enggan untuk melaksanakan protokol
kesehatan.
jj.
kk. 2.1 Stages of Change
ll. Stage of change model atau yang dikenal juga dengan istilah The
Transtheoretical Model (TTM) merupakan salah satu model pendekatan dalam
pembentukan perilaku sehat. Model ini dikembangkan oleh sekelompok peneliti yaitu
Prochaska dan DiClemente pada tahun 1970-an akhir hingga 1980-an tepatnya di
University of Rhode Island (Evans dan Norman, 2003). Menurut Prochaska dan Velicer
(1997) asumsi yang mendasari model pendekatan ini adalah pada dasarnya individu tidak
mampu mengubah perilakunya dalam waktu yang singkat, terutama perilaku yang sudah
menjadi kegiatannya sehari-hari. Sehingga didasari hal tersebut pendekatan ini
menggunakan tahapan-tahapan dalam menjelaskan pembentukan dan perubahan menuju
perilaku yang sehat.
mm. Pada awalnya, teori ini digunakan dalam konteks klinis untuk
mendeskripsikan proses perubahan perilaku pada perilaku kecanduan (Povey et al, 1999).
Model ini berkembang melalui studi yang meneliti pengalaman perokok yang berhenti
sendiri dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan perawatan lebih lanjut.
Tujuannya untuk memahami mengapa beberapa orang mampu berhenti merokok sendiri.
Telah ditentukan bahwa orang akan berhenti merokok jika mereka telah siap untuk
melakukannya. Dengan demikian, model Stage of Change berfokus pada pengambilan
keputusan individu dan merupakan model perubahan yang memiliki unsur kesengajaan.
Model Stage of Change beroperasi dengan asumsi bahwa orang tidak mengubah perilaku
dengan cepat dan tegas. Sebaliknya, perubahan perilaku terutama perilaku kebiasaan,
terjadi terus menerus melalui sebuah proses atau siklus tertentu. Dalam penerapannya
Stages of Change merupakan model-tahapan yang dominan digunakan dalam promosi
dan psikologi kesehatan (Evans dan Norman, 2003).
nn. Stages of Change atau TTM lebih berfokus pada kemampuan individu untuk
membuat keputusan mengenai perilakunya, berbeda dengan model lain yang
mengandalkan pengaruh sosial dan biologis. TTM menjelaskan tahapan pembentukan
atau perubahan perilaku dengan memasukkan beberapa komponen utama yaitu, the
stages of change, the processes of change, decisional balance, self efficacy, dan
temptation. Decisional balance menyangkut pertimbangan baik dan buruknya suatu
perubahan yang akan dilakukan. Self efficacy menyangkut kepercayaan diri dalam
mengatasi situasi yang berisiko tanpa kembali pada kebiasaan lama. Serta termination
menyangkut hasrat untuk kembali pada kebiasaan lama. Tiga komponen tersebut
merupakan variabel yang saling terkait dengan stage of change dan processes of change
yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
oo.
pp. 2.2 Tahapan Stages of Change dan Processes of Change
qq. Stages of Change memiliki enam tahapan yang dapat terjadi pada periode waktu tertentu
yang merupakan tahapan dalam perubahan perilaku. Enam tahapan tersebut yaitu,
precontemplation, contemplation, preparation, action, maintenance, dan termination
(Asnidar, 2017).
rr. 2.2.1 Precontemplation
ss. Merupakan tahap pertama dalam Stages of Change. Pada tahap ini, individu tidak
mempunyai keinginan untuk berubah dalam waktu yang akan datang. Mereka tidak
memiliki kemauan untuk berubah karena kurangnya informasi terkait konsekuensi dari
perilaku mereka. Mereka cenderung menghindari memikirkan dan membicarakan
mengenai risiko-risiko atas kebiasaannya. Tahap ini biasanya dihitung selama 6 bulan ke
depan.
tt. 2.2.2 Contemplation
uu. Pada tahap ini, individu sudah mulai memperhatikan konsekuensi yang akan dialami oleh
kebiasaannya. Proses menimbang antara baik dan buruknya risiko membuat individu
berada pada tahap ini dalam waktu yang lama. Individu mulai memiliki niatan untuk
berubah dalam kurun waktu 6 bulan ke depan.
vv. 2.2.3 Preparation
ww. Pada tahap ini, individu sudah melakukan langkah-langkah kecil yang akan
membantu dalam perubahan perilakunya, seperti mengikuti seminar edukasi kesehatan,
mengurangi konsumsi rokok per hari, konsultasi atau olahraga. Tahap ini biasanya
dihitung dalam waktu satu bulan.
xx. 2.2.4 Action
yy. Pada tahap ini, seseorang telah melakukan modifikasi gaya hidup yang lebih spesifik dan
jelas terlihat berbeda dari 6 bulan sebelumnya.
zz. 2.2.5 Maintenance
aaa. Tahap dimana individu berusaha menjaga agar gaya hidup lama yang ia
tinggalkan tidak kembali lagi. Dalam tahap ini, individu kurang tertarik untuk kembali
melakukan kebiasaan lamanya dan semakin meningkatkan kepercayaan diri bahwa ia
mampu meneruskan perubahan perilaku yang telah dilakukan. Diperkirakan tahap ini
berlangsung sekitar 6 bulan sampai 5 tahun.
bbb. 2.2.6 Termination
ccc. Tahap ketika individu sudah tidak memiliki hasrat sama sekali untuk kembali
pada kebiasaan lamanya yang tidak sehat dan memiliki self efficacy 100%. Individu tidak
akan pernah kembali melakukan gaya hidup lamanya walaupun terdapat faktor luar yang
mendorong, seperti lingkungan masyarakat, stress, depresi, dan lain-lain.
ddd. Tahapan-tahapan tersebut tidak selalu berjalan secara linier (dari tahapan 1 ke
tahapan 5) sehingga perubahan perilaku bersifat dinamis (Ogden, 2007). Misalnya,
individu yang berada pada tahap preparation dapat kembali lagi ke tahap contemplation
beberapa kali sebelum maju ke tahap action. Bahkan, ketika individu berhasil ke tahap
maintenance, mereka dapat kembali lagi ke tahap contemplation dari waktu ke waktu.
eee. Proses perubahan atau yang dikenal dengan istilah processes of change
merupakan aktifitas yang tampak maupun tidak tampak yang digunakan untuk melalui
suatu tahapan (Asnidar, 2017). Proses perubahan tersebut memberikan pedoman penting
dalam pemberian program intervensi. Terdapat 10 proses perubahan (Asnidar, 2017),
antara lain :
fff. 2.2.1 Consciousness Raising
ggg. Proses yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran yang dilakukan dengan
melakukan umpan balik, edukasi, konfrontasi, interpretasi, bibliotherapy, dan kampanye
media mengenai penyebab, konsekuensi, dan penyembuhan untuk masalah perilaku yang
ingin diubah.
hhh. 2.2.2 Dramatic Relief
iii. Dilakukan untuk meningkatkan pengalaman emosional yang diikuti dengan pengurangan
pengaruh jika tindakan yang tepat dapat diambil. Contohnya seperti melakukan
psikodrama, role playing, testimoni personal, dan kampanye media.
jjj. 2.2.3 Self-reevaluation
kkk. Proses yang menggabungkan penilaian kognitif dan afektif dari citra diri
seseorang dengan dan tanpa gaya hidup tidak sehat tertentu. Dapat dilakukan dengan
adanya role model yang sehat dan imagery.
lll. 2.2.4 Environmental reevaluation
mmm. Penggabungan penilaian afektif dan kognitif tentang ada atau tidaknya dan
bagaimana kebiasaan pribadi dapat mempengaruhi lingkungan sosial, misalnya pengaruh
merokok terhadap orang lain. Proses ini dapat diterapkan dengan mengadakan pelatihan
empati dan intervensi keluarga.
nnn. 2.2.5 Self liberation
ooo. Proses ini dapat disebut juga dengan kekuatan kemauan. Individu percaya bahwa
dirinya dapat berubah dan berkomitmen untuk melakukan apa yang diyakini. Tindakan
yang dapat meningkatkan self liberation antara lain dengan membuat resolusi awal tahun
dan pemilihan tindakan yang lebih dari satu.
ppp. 2.2.6 Social liberation
qqq. Proses ini menyangkut kebutuhan terhadap kesempatan sosial atau alternatif
khususnya bagi orang-orang yang merasa terganggu oleh perilaku tidak sehat orang lain.
Adanya prosedur pemberdayaan dan kebijakan yang tepat seperti diberlakukannya zona
bebas asap rokok dan peraturan dilarang merokok dapat meningkatkan proses ini.
rrr. 2.2.7 Counterconditioning
sss.Proses ini memerlukan pembelajaran perilaku sehat yang dapat menggantikan perilaku
yang bermasalah. Misalnya, memakan permen ketika muncul keinginan untuk merokok,
mengkonsumsi makanan bebas lemak sebagai pengganti makanan yang berkalori banyak.
ttt. 2.2.8 Stimulus control
uuu. Proses menghilangkan kebiasaan sebelumnya dan menambah anjuran alternatif
yang lebih sehat. Berbeda dengan proses sebelumnya, pada proses ini individu tidak serta
merta hanya mengganti gaya hidup namun juga terdapat dampak positif yang dirasakan.
Contohnya, mahasiswa memilih untuk menggunakan tangga daripada menggunakan lift
sebagai upaya untuk menurunkan berat badan.
vvv. 2.2.9 Contingency management
www. Adanya konsekuensi untuk mengambil langkah dalam instruksi tertentu.
Pemberian reward dirasa lebih mudah membuat seseorang melakukan perubahan diri
dibandingkan dengan reinforcement.
xxx. 2.2.10 Helping relationship
yyy. Kombinasi antara kepedulian, kepercayaan, keterbukaan dan penerimaan serta
dukungan untuk perubahan perilaku sehat. Sumber dukungan sosial tersebut dapat berasal
dari aliansi terapi dan konseling.
zzz. 2.3 Asumsi Kritis Stages of Change
aaaa. Stages of Change atau yang biasa disebut dengan singkatan TTM (The
Transtheoretical Model) memiliki tahapan yang dapat membantu para profesional dan
khalayak umum untuk mencari intervensi yang tepat dalam melakukan perubahan
perilaku. Setiap tahapan dari TTM memiliki intervensi yang berbeda karena situasi atau
konteks yang dihadapi individu dalam tahapan juga berbeda-beda. Oleh karena itu,
intervensi yang diberikan kepada seseorang yang berada di tahap precontemplation
tentunya akan berbeda dengan intervensi pada seseorang dalam tahap preparation.
(Ogden, 2007)
bbbb. Melihat pentingnya keberadaan TTM ini menjadikan penting pula untuk
memahami dasar-dasar tercipta dan perkembangan TTM. Lewat asumsi-asumsi kritis
berikut menurut Barbara dkk (2015), penulis berharap pemahaman tentang dasar tercipta
teori, penelitian, dan praktisi dari TTM ini dapat dipahami.
cccc. 2.3.1 Teori perilaku kesehatan berbeda dengan teori perubahan perilaku
kesehatan.
dddd. Kata yang perlu untuk digaris bawahi untuk memahami perbedaan kedua
teori tersebut adalah adanya kata perubahan pada teori perubahan perilaku kesehatan
tersebut. Beda halnya dengan teori perilaku yang berguna untuk memprediksi perilaku
berdasarkan kejadian di masa lampau, teori perubahan kesehatan menekankan pada
faktor prediktor yang dapat menyebabkan perilaku seseorang dapat berubah. Teori
perubahan juga memfokuskan kajian dalam memperdalam variabel-variabel yang dapat
menyebabkan perubahan perilaku, bukan seperti teori perilaku yang mencari faktor
penyebab suatu perilaku dapat terbentuk.
eeee. 2.3.2 Penjelasan terhadap kompleksitas perilaku yang berubah tidak dapat
berlandas dari satu teori saja
ffff. Dari asumsi kritis ini, dapat dilihat pentingnya pengembangan teori
mengenai perubahan perilaku dari integrasi berbagai teori. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan satu teori utama dalam menjelaskan kompleksnya bahasan perubahan
perilaku. Dengan tidak adanya model untuk menjelaskan hal rumit ini, akan muncul
kesulitan dalam pemberian intervensi. Oleh karena itu, penting untuk memunculkan dan
memperdalam teori ini yang sebagaimana namanya Transtheoretical Model menunjukan
adanya pengintergrasian berbagai teori utama untuk menjelaskan perubahan perilaku.
gggg. 2.3.3 Perubahan perilaku merupakan proses
Perubahan perilaku yang merupakan proses menunjukan bahwa hal ini merupakan
sebuah perjalanan. Proses dalam melakukan perubahan ini akan menunjukan posisi
perjalanannya dalam sebuah rangkaian tahapan. Oleh karena itu, model stages of change
ini berisikan sebuah stase-stase atau tahapan-tahapan.
hhhh. 2.3.4 Stages of change jalan beriringan dengan konsekuensi perilaku kesehatan
iiii. Poin ini menekankan bahwa sama halnya dengan stages of change,
perilaku yang mengarahkan seseorang untuk menjadi sehat tersebut bersifat tetap dan
terbuka akan perubahan. Sifat tetap dan terbuka dengan perubahan menunjukan bahwa
teori ini dan konsekuensi yang baik maupun yang kurang menyenangkan dari perubahan
menuju perilaku yang lebih sehat akan tetap ada dan dilewati meskipun bentuknya
berbeda-beda.
jjjj. 2.3.5 Sebagian besar populasi berisiko tidak siap melakukan action
kkkk. Model stages of change memecah tahapan-tahapan dari kondisi
dimana seseorang tidak mau mengubah perilakunya ke arah yang lebih sehat sampai ke
tahapan dimana perilaku tidak sehat tersebut benar-benar terubahkan. Hal ini berbeda
dengan program lain yang sifatnya yang berorientasi pada bagian action saja padahal
banyak populasi orang yang memiliki perilaku tidak sehat tidak dapat langsung
melakukan aksi untuk mengubah perilakunya. Oleh karena itu, teori untuk menjelaskan
perubahan perilaku butuh dikembangkan dengan tahapan-tahapan seperti ini agar
intervensi yang diberikan tepat karena seseorang tidak bisa mengubah perilakunya secara
instan.
llll. 2.3.6 Setiap tahapan memiliki penegasan terhadap prinsip dan proses perubahan
walaupun kekuatan penegasannya berbeda-beda
mmmm. Proses dan prinsip perubahan perilaku, decisional balance, self
efficacy, dan temptation, yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya memiliki
penegasan yang berbeda pada setiap tahapan stages of change. Seperti sebagaimana pada
tahap termination, self efficacy lebih dipertegas daripada prinsip perubahan lainnya.
nnnn.
oooo. 2.4 Precaution Adoption Process Model (PAPM)
pppp. Precaution Adoption Process Model dikemukakan pertama kali pada
tahun 1988 oleh Weinstein, dan kemudian direvisi bersama rekannya yaitu Sandman
(1992). PAPM merupakan model yang menjelaskan langkah-langkah pengambilan
keputusan untuk bertindak. Model PAPM memperlihatkan bahwa tahapan pengambilan
keputusan seseorang dapat sekaligus menentukan intervensinya. Tahap 1 dan 2 intervensi
berfokus pada peningkatan kesadaran terhadap masalah kesehatan, tahap 3, 4 dan 5
berfokus pada kepercayaan yang memfasilitasi perubahan sedangkan tahap 6 dan 7
berfokus mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan untuk mengadopsi
perilaku.
qqqq. Teori ini memiliki empat prinsip dan asumsi menurut Weinstein, Rothman, dan
Sutton (1998), yaitu :
rrrr. 2.4.1 Categories
ssss. Tahap ini merupakan konstruk teoritik yang berisi hal-hal apa saja yang ideal
harus ada dalam satu tahap.
tttt. 2.4.2 Ordering
uuuu. Tahap ini adalah sebelum individu bertindak akan menata perbuatannya.
vvvv. 2.4.3 Common Barriers
wwww. Tahap yang mengasumsikan halangan umum yang dihadapi sehingga dapat
diketahui langkah intervensinya.
xxxx. 2.4.4 Different Barriers
yyyy. Tahap yang mengasumsikan halangan berbeda untuk individu yang berbeda.
zzzz. 2.5 Tahapan Precaution Adoption Process Model (PAPM)
aaaaa. PAPM memiliki tahapan yang tidak sama dengan teori perilaku sehat lain yang
seseorang menerapkan atau tidak menerapkan perilaku sehat. Tahapan PPAM
mengonseptualisasikan perubahan perilaku bersifat dinamis dan dapat terjadi sepanjang
waktu. Individu bergerak secara berurutan, tanpa melewati tahapan, pada PAPM ini. Tiap
tahapan tidak memiliki waktu minimum dan individu dapat regresi di tahapannya. 7
Tahapan PAPM adalah:
bbbbb. 2.5.1 Stage 1: Unaware of Issue
ccccc. Individu pada tahap ini tidak pernah mendengar ataupun tahu
adanya potensi atau risiko yang mengancam kesehatannya. Seorang Ibu belum atau tidak
mengetahui risiko atau potensi yang mengancam kesehatan gigi dan mulut.
ddddd. 2.5.2 Stage 2: Unengaged by Issue
eeeee. Individu sudah mengetahui potensi bahaya atau risiko yang
mengancam kesehatannya, namun belum merasa untuk menentukan sikap. Seorang Ibu
sudah mengetahui risiko atau potensi bahaya, namun ibu belum menentukan sikap
fffff. 2.5.3 Stage 3: Deciding About Action
ggggg. Individu sudah menentukan sikapnya, namun belum melakukannya
dalam bentuk tindakan. Individu yang sudah menentukan sikap akan teguh pada
pendiriannya dibandingkan dengan individu yang belum menentukan sikap. Ibu pada
tahap ke-3 dapat menghasilkan tiga keputusan, yaitu ibu berhenti pada tahap ke-3, ibu
beralih ke tahap 4 atau tidak melakukan tindakan, dan ibu beralih ke tahap 5 dengan
menerapkan perilaku hidup sehat.
hhhhh. 2.5.4 Stage 4: Decided Not to act
iiiii. Individu yang telah menentukan sikap dan memutuskan
tindakannya untuk tidak melakukan perilaku yang menghindari risiko dan potensi bahaya
yang mengancam kesehatan. Jika pada tahap 4, individu tidak melakukan kepada tahap
selanjutnya.
jjjjj. 2.5.5 Stage 5: Decided to Act
kkkkk. Individu yang memutuskan untuk melakukan perilaku sehat agar terhindar dari
risiko atau potensi bahaya yang mengancam kesehatannya. Jika individu memutuskan
untuk melakukan tindakan, individu dari tahap ke-3 langsung ke tahap ke-5, tidak
melewati tahap ke-4.
lllll. 2.5.6 Stage 6: Acting
mmmmm. Individu pertama kali melakukan perilaku sehat pada tahap ini. Individu pada
tahap ini juga telah mengubah perilakunya dan efikasi diri lebih berdasarkan pengalaman,
dibandingkan dengan persepsi.Ibu benar-benar melakukan perilaku sehat.
nnnnn. 2.5.7 Stage 7: Maintenance
ooooo. Individu pada tahap ini akan mengatur diri agar perilaku sehat menjadi suatu
kebiasaan dalam dirinya. Seperti halnya individu pada tahap acting, individu pada tahap
ini telah berubah perilakunya dan efikasi dirinya lebih berdasarkan pengalaman,
dibandingkan dengan persepsi. Ibu bagaimana caranya agar dapat melakukan perilaku
sehat secara terus-menerus atau menjadi kebiasaan.
ppppp. A. Sehat dan Sakit
qqqqq. WHO (1947) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan dimana fisik,
mental dan sosial sehat secara lengkap. Definisi ini menyajikan pandangan multidimensi
yang luas tentang kesehatan yang berangkat dari penekanan medis tradisional pada
kesehatan fisik saja. Selama beberapa tahun terakhir model multidimensi ini telah
muncul di seluruh hasil dari beberapa studi kualitatif yang telah mengajukan pertanyaan
kepada orang awam 'apa artinya sehat?'. Studi mengenai definisi sehat ini telah dikaji
oleh berbagai perspektif, seperti perspektif antropologi sosial, sosiologi medis, dan
perspektif psikologis.
rrrrr. Pada perspektif antropologi sosial, Helman (1978) mengeksplorasi sejauh mana
keyakinan yang melekat dalam teori humoral abad ke-18 telah bertahan bersama dengan
pengobatan konvensional. Secara khusus, Helman berfokus pada pepatah ‘feed a cold
and starve a fever', dan berpendapat bahwa konstruksi kesehatan awam dapat
dikonseptualisasikan sesuai dengan dimensi 'panas / dingin' dan 'basah / kering'. Selain
dari perspektif antropologi sosial, beberapa sosiolog medis juga mengeksplorasi konsep
orang awam tentang kesehatan. Misalnya, Herzlich (1973) mewawancarai sejumlah
subjek dan mengkategorikan model kesehatan mereka ke dalam tiga dimensi:
sssss. - kesehatan dalam ruang hampa yang menyiratkan tidak adanya penyakit -
cadangan kesehatan yang berkaitan dengan kekuatan fisik dan ketahanan terhadap
penyakit
ttttt. - keseimbangan yang menunjukkan realisasi penuh dari cadangan kesehatan
individu.
uuuuu. Selain itu, Blaxter (1990) melakukan sebuah penelitian dengan meminta beberapa
individu untuk menggambarkan seseorang yang mereka anggap sehat dan untuk
mempertimbangkan atas dasar apa menganggap orang tersebut sehat dan
mendeskripsikan apa yang mereka rasakan saat sehat. Setelah dilakukan analisis
kualitatif, disimpulkan bahwa bagi sebagian orang, kesehatan berarti tidak sakit. Namun,
bagi kebanyakan orang kesehatan dilihat sebagai kondisi yang diisi dengan perilaku
sehat, kebugaran jasmani, memiliki energi dan vitalitas, hubungan sosial
vvvvv. dengan orang lain, mampu berfungsi secara efektif dan ekspresi kesejahteraan
psikososial. Disamping itu, Calnan (1987) mengeksplorasi keyakinan kesehatan wanita
di Inggris dan menyimpulkan bahwa model kesehatan mereka dapat dikonseptualisasikan
dalam dua set definisi:
wwwww. - definisi positif termasuk perasaan energik, banyak olahraga, merasa bugar,
makan hal yang benar, berat badan yang benar, memiliki pandangan yang positif dan
memiliki yang baik hidup / pernikahan; dan
xxxxx. - definisi negatif antara lain tidak batuk pilek, hanya sekali di tempat tidur, jarang
pergi ke dokter dan check up - tidak ada yang salah.
yyyyy. Perspektif psikologis juga memberikan gambaran mengenai sehat dengan
penelitian yang berfokus khusus pada kognisi kesehatan dan penyakit. Salah satunya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Lau (1995) yang kemudian ditemukan bahwa
ketika orang dewasa muda yang sehat diminta untuk menjelaskan dengan kata-kata
mereka sendiri mengenai arti sehat, keyakinan mereka tentang kesehatan dapat dipahami
dalam dimensi berikut :
zzzzz. - fisiologis / fisik, misalnya kondisi baik, berenergi
aaaaaa. - psikologis, misalnya bahagia, energik, merasa nyaman secara psikologis -
berperilaku, misalnya makan, tidur nyenyak
bbbbbb. - konsekuensi masa depan, misalnya, hidup lebih lama
cccccc. - tidak adanya penyakit, misalnya tidak sakit, tidak ada penyakit, tidak ada
gejala.
dddddd. Lau (1995) berpendapat bahwa kebanyakan orang menunjukkan definisi positif
tentang kesehatan (bukan hanya mendefinisikannya dengan tidak adanya penyakit), yang
juga mencakup lebih dari sekedar faktor fisik dan psikologis. Dia berpendapat bahwa
kesehatan adalah keadaan normal kebanyakan orang dan mewakili latar belakang
keyakinan mereka tentang sakit.
eeeeee. Pada studi yang sama mengenai keyakinan orang dewasa muda sehat yang
dilakukan oleh Lau (1995), para subjek juga dimintai pendapat pribadi tentang definisi
sakit. Jawaban yang diberikan membentuk dimensi yang mereka gunakan untuk
mendefinisikan sakit, yaitu :
ffffff. - merasa tidak normal,
gggggg. - gejala khusus,
hhhhhh. - penyakit spesifik,
iiiiii. - konsekuensi dari penyakit,
jjjjjj. - timeline, dan
kkkkkk. - tidak adanya kesehatan.
llllll. B. Illness Cognition
mmmmmm. Menurut Leventhal dan rekan-rekannya, Illness cognition (1980;
Leventhal & Narens, 18985; Ogden, 2007) adalah keyakinan pasien terhadap penyakit
yang dideritanya. Menurut mereka illness cognition ini memberi pasien suatu kerangka
kerja ataupun skema dalam memahami penyakitnya termasuk bagaimana mengatasi
penyakit mereka dan apa yang perlu mereka waspadai ketika sakit.
nnnnnn. Leventhal dan rekannya mengidentifikasikan lima dimensi dari illness cognition
(Ogden, 2007) sebagai berikut:
oooooo. a. Identitas. Dimensi pertama yang dimaksud Leventhal dan rekannya adalah
diagnosis medis yang diberikan kepada pasien dan gejala yang dialami pasien. b.
Penyebab penyakit yang dirasakan. Dimensi kedua ini mengacu pada gambaran pasien
mengenai penyebab sakitnya, bisa dari sisi biologis seperti virus atau lesi, bisa juga dari
sisi psikososial seperti perilaku terkait stres. Sehingga masing-masing pasien mungkin
memiliki pandangan berbeda mengenai penyebab dari suatu penyakit.
pppppp. c. Timeline. Dimensi ketiga yang dimaksud Leventhal dan rekannya adalah
keyakinan pasien tentang berapa lama penyakit yang dideritanya akan bertahan, apakah
penyakitnya merupakan penyakit akut (jangka pendek) atau penyakit kronis (jangka
panjang).
qqqqqq. d. Konsekuensi. Dimensi keempat ini mengacu pada persepsi pasien tentang
kemungkinan yang terjadi pada kehidupan mereka akibat dari penyakit tersebut.
Konsekuensi ini bisa berupa efek fisik, emosional, atau kombinasi keduanya.
rrrrrr. e. Penyembuhan dan pengendalian. Dimensi kelima ini menyatakan bahwa
keyakinan pasien merepresentasikan penyakitnya dalam hal apakah penyakit tersebut
dapat disembuhkan dan diobati dan sejauh mana hasil dari hal tersebut dapat
dikendalikan oleh dirinya atau oleh orang lain.
ssssss. Kelima dimensi tersebut didapatkan Leventhal dan rekannya melalui penelitian
kuantitatif dan kualitatif yang dilakukannya. Awalnya mereka melakukan wawancara
dengan pasien-pasien penyakit kronis, dari wawancara tersebut Leventhal menyimpulkan
bahwa teknik ini merupakan cara terbaik untuk mengakses kognisi penyakit karena
pasien bisa mengekspresikan keyakinan mereka sendiri (Ogden, 2007).
tttttt. Setelah sebelumnya menggunakan teknik wawancara, Leventhal dan rekannya
mengembangkan bentuk pengukuran lain berupa kuesioner. Hal ini dikarenakan ketika
menggunakan teknik wawancara, proses yang dilakukan memakan waktu yang lama dan
jumlah subjek yang terlibat terbatas. Para peneliti di Selandia Baru dan Inggris
mengembangkan Illness Perception Questionnaire (IPQ) (Weinman et al, 1996; Ogden,
2007) yang berisi serangkaian pernyataan mengenai penilaian pasien terhadap
penyakitnya. Pernyataan-pernyataan ini mencerminkan kelima dimensi yang
diungkapkan Leventhal dan rekannya (identitas, konsekuensi, time line, penyebab, dan
penyembuhan dan pengendalian). Dalam perkembangannya, IPQ direvisi menjadi IPQR
yang memiliki sifat psikometri yang lebih baik serta menambah tiga tiga subskala: time
line siklus, koherensi penyakit, dan representasi emosional. Dari hal ini akan terlihat
bagaimana keyakinan seseorang terhadap penyakitnya, melainkan juga keyakinannya
terhadap perawatan yang dijalaninya (pengobatan, pembedahan, atau perubahan
perilakunya).
uuuuuu. Melalui illness cognition ini dikembangkan sebuah model untuk memeriksa
hubungan antara representasi kognitif seseorang terhadap penyakitnya dan perilaku
koping yang akan mereka lakukan. Model ini disebut sebagai ‘model regulasi diri’ (self-
regulatory model) (Ogden, 2007).
vvvvvv. C. Model Regulasi Diri (Self-Regulatory Model)
wwwwww. Proses ini disebut dengan model regulasi diri karena memiliki tiga
komponen yang saling berhubungan secara dinamis dan berkelanjutan dalam pengaturan
diri manusia. Ketiga komponen tersebut adalah interpretasi, koping, dan penilaian. Di
dalam proses tersebut ketika individu dalam keadaan normal maka terdapat kondisi
kesehatan dalam dirinya, sebaliknya apabila terdapat gangguan maka hal ini dapat
menjadi indikasi adanya penyakit di dalam diri individu. Dengan adanya ketiga
komponen proses yang saling berkontribusi secara dinamis dalam pengaturan diri, maka
akan muncul suatu interaksi antara berbagai tahapan yang berbeda yaitu:
xxxxxx. a) Adanya persepsi gejala yang berakibat terjadinya perubahan emosional
sehingga memperburuk persepsi yang muncul.
yyyyyy. b) Persepsi gejala dan perubahan emosional dapat diturunkan dengan melakukan
penyangkalan sebagai bentuk strategi koping
zzzzzz. c) Penilaian baik terhadap keefektifan usaha penanggulangan yang dilakukan
merupakan suatu bentuk strategi penanggulangan itu sendiri.
aaaaaaa. Dalam regulasi diri manusia terdiri dari tiga tahapan yaitu:
bbbbbbb. a) Interpretasi, dapat diartikan sebagai bentuk penafsiran terhadap suatu gejala. 1.
Persepsi gejala, persepsi gejala yang berbeda pada individu terhadap suatu gejala
diindikasikan adanya kemungkinan sakit. Sebagai contoh, sakit tenggorokan yang
mungkin dirasakan oleh satu orang dapat dianggap sebagai amandel bagi orang lain.
Inilah yang dimaksud adanya perbedaan yang tidak selalu konsisten dengan perbedaan
yang dipengaruhi oleh fokus internal individu. Individu yang lebih memperhatikan
kondisi internal akan cenderung melebih-lebihkan terhadap gejala apa yang individu
rasakan. Persepsi gejala dipengaruhi oleh suasana hati yang dapat terlihat dari adanya
persepsi nyeri dengan kecemasan, kognisi dengan harapan individu terhadap pemulihan
dapat mengurangi persepsi gejala, dan konteks sosial yang dapat mempengaruhi persepsi
gejala. Salah studi penelitian lintas budaya mengungkapkan bahwa pasien Kanada dan
Barselona terdapat lebih sedikit masalah dengan penglihatan dibandingkan dengan pasien
dari Denmark atau Amerika serikat.
ccccccc. 2. Pesan sosial, informasi terkait penyakit dapat berasal dari orang lain dalam
bentuk formal diagnosis ahli kesehatan. Selain itu informasi terkait penyakit juga dapat
berasal dari individu awam bukan ahli kesehatan seperti teman, rekan kerja, dan keluarga
yang melibatkan adanya informasi serta nasihat dari berbagai sumber.
ddddddd. b) Koping.
eeeeeee. Masing-masing individu memiliki cara tersendiri dalam mengatasi masalah
seperti stres, cemas, atau sakit. Terdapat tiga pendekatan dalam mengatasi penyakit
menurut Shontz(1975) yaitu, mengatasi diagnosis,
fffffff. mengatasi krisis penyakit, dan penyesuaian terhadap penyakit fisik serta teori
adaptasi kognitif.
ggggggg. 1. Mengatasi diagnosis: setelah mendengar diagnosis yang disampaikan dokter
seorang pasien akan merasakan shock/kaget. semakin serius penyakit yang diderita
pasien kemungkinan shock/kaget pada pasien akan semakin tinggi. pasien yang
mengalami shock kebanyakan akan memberikan reaksi pertemuannya dengan dokter.
reaksi tersebut dapat ditandai dengan adanya rasa sedih, kehilangan, tidak berdaya, dan
putus asa. setelah itu terjadi retret. retret merupakan tahap ketiga setelah reaksi
pertemuan. tahap ini ditandai dengan penyangkalan masalah dan penarikan diri. namun
Shontz menolak asumsi ini. Implikasi hasil proses koping. Dalam implikasinya, retret
hanyalah penyangkalan sementara setelah individu menerima diagnosis penyakitnya.
tahap mundur/penyangkalan digunakan sebagai pijakan untuk menghadapi realita. model
koping ini berfokus pada bagaimana individu menghadapi kenyataan terhadap
penyakitnya. orientasi realistis ini merupakan mekanisme koping yang adaptif.
hhhhhhh. 2. Mengatasi krisis penyakit dalam pendekatan alternatif untuk mengatasi
penyakit. Moos dan Schaefer (1984) menerapkan teori krisis. teori krisis digunakan untuk
mengetahui bagaimana individu mengatasi krisis hidup yang besar dan transisi
bagaimana memahami penyakit. Teori krisis mengkaji bagaimana dampak krisis yang
dialami individu seperti gangguan pada identitas pribadi serta sosial. Psikologis individu
akan bekerja mendorong untuk mempertahankan homeostasis keseimbangan seperti cara
fisik. Dalam kerangka ini, setiap krisis akan membatasi diri individu dan membantu
menemukan dirinya sendiri untuk bangkit kembali dalam keadaan semula. Oleh karena
itu, individu disebut memiliki regulator mandiri.
iiiiiii. Moos dan Schaefer mengemukakan bahwa penyakit fisik yang dialami individu
dapat menjadi krisis. Konsep dari krisis yaitu; perubahan identitas (bekerja menjadi tidak
bekerja, pengasuh menjadi orang yang diasuh), perubahan lokasi (dari rumah menjadi
tinggal di rumah sakit), perubahan peran (awalnya menjadi tulang punggung
jjjjjjj. mencari nafkah kemudian menjadi anggota keluarga yang pasif tidak dapat
bekerja), perubahan dukungan sosial (penyakit dapat membuat orang mengisolasi dirinya
dari teman atau keluarga), dan perubahan di masa depan (masa depan karir, atau keluarga
menjadi tidak pasti). Krisis akibat penyakit fisik dapat semakin parah, hal tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut:
kkkkkkk. ● Penyakit tidak dapat diprediksi (penyakit yang tidak diharapkan terkadang tidak
terlintas dalam benak individu sehingga individu tidak terpikirkan strategi koping).
lllllll. ● Informasi penyebab penyakit tidak jelas (kurang jelasnya informasi mengenai
sebab akibat dari sebuah penyakit).
mmmmmmm. ● Keputusan dibutuhkan dengan cepat (ketika mengetahui bahwa individu
sakit, ia harus mengambil keputusan bagaimana cara dia berobat dan tindakan lain yang
harus dilakukan).
nnnnnnn. ● Arti yang ambigu (kurangnya pengetahuan mengenai sebab akibat suatu
penyakit membuat individu ragu akan penyakit yang diderita. Apakah penyakit itu
nyata?).
ooooooo. ● Pengalaman yang terbatas (keterbatasan pengalaman mengenai penyakit
membuat individu bingung apa yang harus dilakukan).
ppppppp. Menurut Moos dan Schaefer (1984) terdapat tiga proses dalam pembentukan
koping yaitu:
qqqqqqq. a. Penilaian kognitif; pengetahuan dan dukungan sosial mempengaruhi penilaian
individu terhadap penyakit tertentu. Missal, apakah kanker berbahaya? Apabila
pengetahuan individu terbatas dan individu tersebut menilai kanker penyakit yang ringan
tentu hal ini merupakan penilaian yang salah.
rrrrrrr. b. Tugas adaptif mengikuti penilaian kognitif. Apabila dalam proses kognitif
salah dalam menilai penyakit tentu akan berdampak pada pemahaman tugas adaptif dan
berpengaruh pada perilaku yang akan diambil. Ketujuh tugas adaptif adalah mengatasi
nyeri, berkaitan dengan mengatasi keadaan baru di rumah sakit, kemoterapi, dan
intervensi, membangun hubungan baik dengan staf kesehatan, menjaga
sssssss. emosional, menjaga citra diri yang memuaskan, menjaga hubungan keluarga dan
teman, dan mempersiapkan masa depan yang tidak pasti. c. Ketrampilan mengatasi
mengikuti penggunaan tugas adaptif dan kognitif;keputusan individu dalam melakukan
koping ditentukan dari penilaian kognitif dan bagaimana ia menggunakan tugas adaptif.
ttttttt. Kemudian, terdapat tiga keterampilan dalam melakukan koping, yaitu:
uuuuuuu. a. Koping berfokus pada penilaian, keterampilan koping yang berfokus pada
penilaian yaitu analisis logika dan persiapan mental, definisi ulang kognitif, dan
penghindaran dan penyangkalan kognitif.
vvvvvvv. b. Koping berfokus pada masalah, keterampilan koping berfokus pada masalah
yaitu mencari informasi dan dukungan sosial, mengambil tindakan pemecahan masalah,
dan mengidentifikasi imbalan alternatif.
wwwwwww. c. Koping berfokus pada emosi; keterampilan yang berfokus pada emosi
yaitu upaya mempertahankan harapan, pelampiasan perasaan marah, dan menerima apa
yang telah terjadi.
xxxxxxx. Kemampuan individu dalam menerapkan tugas dan keterampilan koping berbeda-
beda. Hal ini didasarkan oleh faktor demografis dan pribadi (usia), faktor fisik dan
lingkungan (aksesibilitas jaringan dukungan sosial), dan faktor yang berhubungan
dengan penyakit (stigma). Dalam proses menghadapi krisis penyakit fisik individu akan
melalui tahap penilaian, tugas adaptif, dan keterampilan. Keterampilan seperti apa yang
diterapkan masing-masing individu akan mengeluarkan hasil yang berbeda-beda pula.
Menurut teori krisis individu akan termotivasi untuk membangn kembali keseimbangan
dan normalitas. Teori krisis membagi Keseimbangan baru menjadi dua yaitu, adaptasi
sehat yang akan berdampak pada kematangan serta respon maladaptif yang
mengakibatkan kerusakan
yyyyyyy. 3. Penyesuaian dengan penyakit fisik dan teori kognitif adaptasi
zzzzzzz. Taylor 1983; Taylor et al. 1984 mencoba meneliti bagaimana cara individu
mengatasi peristiwa yang mengancam. Taylor mengadakan wawancara pada pasien
penyakit jantung dan kanker serta korban pemerkosaan. Hasilnya terdapat tiga cara untuk
mengatasi peristiwa mengancam termasuk penyakit fisik yaitu:
aaaaaaaa. a. Penemuan makna: mencari hubungan sebab akibat terhadap apa yang telah
terjadi. “mengapa hal ini terjadi?’ setelah itu mencari akibat apa yang akan terjadi dari
penyakit yang dideritanya. “bagaimana penyakit ini akan berpengaruh terhadap hidup
saya?”.
bbbbbbbb. b. Pencarian penguasaan: bagaimana kita bisa mengendalikan penyakit tersebut.
Mengatasi penyakit tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan sikap positif,
meditasi, atau self hypnosis. Individu akan meningkatkan harga diri mereka setelah sakit.
Cara meningkatkan harga diri tersebut dengan membandingkan diri dengan orang yang
mengalami penyakit yang sama dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi.
Membandingkan dengan orang yang mengalami sakit lebih parah dapat meningkatkan
harga diri individu tersebut.
cccccccc. c. Proses peningkatan diri: berdasarkan teori adaptasi kognitif, ketika individu
berhadapan dengan penyakit mereka akan berusaha mencari makna, mencari penguasaan,
dan meningkatkan rasa harga diri mereka. Terjadi sebuah proses ilusi dimana individu
akan membentuk interpretasi positif dari kenyataan walaupun belum tentu terjadi.
dddddddd. Dalam teori ini individu adalah sebagai berperan untuk mengatur, memotivasi,
dan mempertahankan dirinya sendiri. Implikasi dari teori kognitif adaptasi adalah
individu menghadapi penyakit dengan cara menemukan makna, penguasaan (keyakinan
untuk bisa melawan penyakit),dan meningkatkan harga diri, keyakinan ini akan
membentuk sebuah ilusi. Ilusi tersebut akan mendorong penyesuain penyakit.
eeeeeeee. Dalam upaya penyesuaian penyakit fisik dan teori kognitif adaptasi perlu
didukung dengan interpretasi positif dari penyakit yang dirasakan oleh individu.
Beberapa orang memandang penyakit akan membuat mereka menjadi lebih baik. Karena
mereka lebih menekankan pada hal positif daripada negatif. Menggunakan model
pengaturan mandiri untuk memprediksi hasil merupakan penggambaran transisi dari
interpretasi melalui penilaian penyakit, respon emosi, dan mengatasi penilaian.
ffffffff. Penyesuaian penyakit fisik dan teori kognitif adaptasi akan turut berperan dalam
rangka individu memprediksi kepatuhan terhadap pengobatan. Dalam hal ini persepsi
yang dapat mempengaruhi kemauan individu untuk meminum obat. Penyakit dan
keyakinan terhadap pengobatan menjadi faktor penting individu dalam kepatuhan minum
obat. Memprediksi pemulihan dari stroke. Kognisi control mungkin berhubungan dengan
pemulihan stroke.
gggggggg. Prediksi kepatuhan terhadap pengobatan turut dipengaruhi oleh peran sentral
koherensi. Berbagai Penelitian yang berfokus pada keyakinan penyakit menunjukan
pentingnya model yang koheren dimana keyakinan tentang penyakit konsisten dengan
keyakinan mengenai pengobatan (Leventhal et al. 1997). Hal serupa diungkapkan oleh
Horne dan Weinman (2002) mengatakan bahwa kepatuhan akan terjadi ketika keyakinan
penyakit dan keyakinan pengobatan koheren satu sama lain. Contoh: keyakinan bahwa
sesak nafas dapat disebabkan karena merokok. Hal ini akan berkaitan dengan keputusan
untuk tidak merokok karena merokok dapat menyebabkan sesak nafas. Keyakinan bahwa
asma disebabkan oleh penyempitan bronkial akan berhubungan dengan kepatuhan
terhadap obat penawar penyempitan bronkial tersebut.
hhhhhhhh. 3. Penilaian
iiiiiiii. Individu akan menilai apakah koping yang mereka terapkan efektif atau tidak.
Apabila efektif maka mereka akan melanjutkannya.
jjjjjjjj. Apabila tidak efektif mereka akan mencari strategi koping lain yang sesuai.
Tahap ini menjelaskan bahwa manusia memiliki sifat pengaturan mandiri dari model
sebagai proses interpretasi, koping, dan penilaian yang dinamis. Dengan demikian,
individu adalah orang yang mengatur dirinya sendiri melalui proses penilaian, yang
menilai apakah koping efektif, dan apakah individu berhasil mencapai keseimbangan.
kkkkkkkk. D. Model Regulasi Diri Leventhal
llllllll. Leventhal menjelaskan tentang illness cognition ke dalam self-regulatory model
of illness behavior. Model tersebut didasarkan pada pendekatan untuk menyelesaikan
masalah dan menunjukkan bahwa penyakit/gejala dapat ditangani oleh individu dengan
cara yang sama seperti individu menyelesaikan masalah lainnya. Model regulasi diri
Leventhal menekankan pada aspek pengenalan sakit dan penilaian pengenalan sakit.
illness cognition memberi penderita skema untuk memahami sakit mereka, dan
memberitahu apa yang harus dilakukan ketika mereka sakit. Model tradisional
menggambarkan pemecahan masalah dalam tiga tahap:
1. Interpretasi (penafsiran masalah)
Seseorang mungkin dihadapkan dengan masalah penyakit melalui dua channel: symptom
perception (saya memiliki rasa sakit di dada saya) atau social messages (dokter telah
mendiagnosis rasa sakit ini sebagai angina). Symptom perception merupakan respon berbeda
setiap individu terhadap peranan faktor psikologis, sedangkan social messages merupakan
pendapat orang lain dan tenaga kesehatan. Setelah individu tersebut menerima informasi tentang
kemungkinan penyakit tersebut, menurut teori pemecahan masalah, individu tersebut kemudian
akan termotivasi untuk kembali ke keadaan normal atau ‘bebas masalah’.
\Symptom perception dan social messages akan berkontribusi terhadap illness cognition yang
dibangun berdasarkan 5 dimensi, yaitu identitas, penyebab, konsekuensi, jangka waktu, dna
terapi. Representasi kognitif tersebut akan memberikan makna pada masalah dan memungkinkan
individu untuk mempertimbangan strategi coping yang sesuai. Akan tetapi, representasi kognitif
bukan satu-satunya konsekuensi dari Symptom perception dan social messages. Mengidentifikasi
masalah penyakit juga akan mengakibatkan perubahan dalam keadaan emosional. Keadaan
emosional tersebut bisa berupa
\ketakutan, kecemasan, maupun depresi. Misalnya, seseorang merasakan gejala suatu penyakit
dan setelah itu ia mendapatkan social messages bahwa gejala atau rasa sakit yang mereka
rasakan mungkin terkait dengan penyakit jantung koroner. Hal tersebut dapat mengakibatkan
individu tersebut mengalami kecemasan. Oleh karena itu, strategi coping yang digunakan harus
berhubungan dengan illness cognition dan keadaan emosional individu
\2. Coping (mengelola masalah agar dapat mencapai status keseimbangan) Tahap
selanjutnya adalah pengembangan dan identifikasi strategi coping yang sesuai. Terdapat 2
kategori dalam strategi coping: (1) approach coping (minum pil, pergi ke dokter, beristirahat)
dan (2) avoidance coping (denial, wishful thinking). Ketika dihadapkan pada sebuah penyakit,
individu akan mengembangkan atau mencari strategi coping yang sesuai sebagai upaya untuk
kembali ke keadaan normal yang sehat.

\3. Penilaian (mengkaji seberapa sukses tahap coping yang diterapkan) Tahap terakhir dari
model regulasi diri Leventhal adalah appraisal atau penilaian. Hal tersebut melibatkan individu
untuk mengevaluasi apakah strategi coping yang digunakan sudah efektif dan menentukan
apakah akan melanjutkan menggunakan strategi tersebut atau memilih alternatif yang lain.

2.1 Peran Health Beliefs Terhadap Kepatuhan

Kondisi iatrogenik adalah kondisi di mana individu mengalami masalah kesehatan


akibat perawatan medis. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kesalahan praktisi seperti
kesalahan pemberian jenis obat atau dosis, atau bisa juga disebabkan karena suatu efek
samping dari pengobatan normal seperti efek samping setelah menjalankan operasi atau
penggunaan obat baru. Cerita yang kita dengar dari pasien yang menerima perawatan dapat
mempengaruhi kita dalam memutuskan menggunakan layanan medis.
Ketidakpercayaan individu terhadap praktisi dapat menghentikan individu mencari
perawatan yang mereka butuhkan. Dua masalah kepercayaan yang dipertimbangkan: 1.
Kekhawatiran individu terhadap praktisi yang tidak akan merahasiakan informasi.
Cheng dkk dalam (Sarafino & Smith, 2011) menemukan bahwa sebagian besar remaja
Amerika memiliki keinginan untuk menyembunyikan masalah kesehatannya dari orang
tua mereka, seperempat lainnya mengatakan jika orang tua mereka mengetahui maka
mereka akan melupakan pengobatan.
2. Landrine & Klonoff dalam (Sarafino & Smith, 2011) Adanya cerita, beberapa diantaranya
benar, tentang tenaga medis yang melakukan praktik diskriminatif dan kekejaman terhadap
kelompok minoritas.
Dalam teori health beliefs gejala menjadi alasan awal individu mengambil keputusan
perawatan medis. Becker & Rosenstock dalam (Sarafino & Smith, 2011) mengemukakan
pengambilan keputusan akan perawatan medis berasal dari penilaian ancaman, penilaian
ancaman berasal dari gejala yang dirasakan oleh individu. Besarnya ancaman yang
dirasakan individu berasal dari tiga faktor utama. Faktor pertama adalah isyarat untuk
bertindak, yang mencakup gejala, saran yang diterima orang sakit yang berasal dari rujukan
awam, dan informasi yang didapat dari media massa seperti deskripsi gejala kanker. Dua
faktor yang lainnya yaitu kerentanan dan keseriusan yang dirasakan.
Tingkat ancaman yang dirasakan individu dapat bertambah apabila individu merasakan
kerentanan terhadap suatu penyakit dan merasakan keseriusan dari dampak fisik dan sosial
tertular penyakit. Dalam penelitian Becker & ROsenstock; Rosenstock & Kirscht dalam
(Sarafino & Smith, 2011) menunjukkan bahwa faktor yang terdapat pada health beliefs
mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan dalam seberapa cepat individu
menggunakan layanan medis.
Menurut Blass dalam (Hartono, 2006) kepatuhan adalah suatu kondisi dimana individu
menerima perintah dan memperlihatkan perilaku taat terhadap sesuatu atau seseorang.
Aspek kepatuhan menurut Darley & Blass dalam (Hartono, 2006) yaitu: 1. Beliefs
(Mempercayai); individu akan menjadi patuh apabila percaya pada suatu tujuan
dari dibentuknya suatu peraturan dan diberikan perlakuan adil oleh orang yang memberi
perintah.
2. Accept (Menerima); individu secara sadar menerima perintah yang diajukan. 3. Act
(Melakukan); individu melakukan perintah yang telah diajukan dan diterima dari orang
lain.
Secara umum praktisi kesehatan seperti dokter tidak mengetahui seberapa baik
pasien mematuhi saran medis yang telah diberikan. Davis dalam (Sarafino & Smith, 2011)
mengemukakan jika seorang praktisi mengetahui pasiennya tidak mematuhi saran yang
telah diberikan, praktisi cenderung menyalahkan pasien karena tidak memahami saran atau
memahami situasi yang sulit. Sebenarnya praktisi pun bisa menjadi salah satu alasan pasien
tidak mematuhi saran yang telah diberikan. Berikut beberapa alasan yang dapat
mempengaruhi kepatuhan seseorang, diantaranya:
1. Penyakit atau regimen medis
2. Pasien
3. Interaksi antara praktisi dengan pasien

Regimen Medis dan Karakteristik Penyakit


Perubahan kebiasaan yang telah diterapkan seorang pasien akan sulit dilakukan
misalnya memulai berolahraga teratur, mengurangi minum alkohol, berhenti merokok, atau
mengurangi kalori. Contoh seseorang yang sangat menyukai pedas dan ketika makan harus
menggunakan saus atau sambal terkena penyakit radang tenggorokan kemudian dokter
menyarankan untuk mengurangi makan-makanan pedas akan sulit untuk dilakukan.
Menurut Dolecek dalam (Sarafino & Smith, 2011) mengungkapkan bahwa saran dokter
untuk mengubah kebiasaan lebih mudah dipatuhi pada individu yang memiliki penyakit
serius beresiko tinggi. Tetapi Dounbar dkk dalam (Sarafino & Smith, 2011) mengatakan
bahwa saran meminum obat lebih dipatuhi daripada saran untuk mengubah kebiasaan.
Ingersoll, Cohen, dan Wiebe dalam (Sarafino & Smith, 2011) mengatakan bahwa
kegagalan mematuhi aturan pengobatan disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan pasien
karena adanya kerumitan aturan pengobatan yang diberikan seperti rumitnya jadwal dan
dosis pemberian obat. Selain pemberian jadwal dan dosis yang rumit, menurut NKF dan
Swigonski dalam (Sarafino & Smith, 2011) keharusan melakukan tugas yang rumit juga
membuat aturan medis ini menjadi sulit dilakukan oleh pasien misalnya seperti pada
individu yang menderita ginjal kronis yang harus melakukan beberapa tugas.
Selanjutnya faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap nasehat yang
diberikan adalah durasi, biaya, dan efek samping dari regimen medis. Kepatuhan
mengalami penurunan dari waktu ke waktu (Parrish, Webe dalam Sarafino & Smith, 2011).
Penyakit akut biasanya mendapat regimen jangka pendek yang memberikan efek
menguntungkan yang jelas dan cukup cepat, sedangkan penyakit kronis biasanya mendapat
regimen jangka panjang yang memberikan manfaat lebih lambat dan kurang jelas. Selain itu
menurut Murdaugh, NCHS, Oiette, Heisler & Wagner dalam (Sarafino & Smith, 2011)
mengatakan bahwa biaya dan efek samping berperan dalam kepatuhan. Mayoritas orang
akan patuh terhadap pengobatan apabila mereka memiliki pendapatan atau asuransi yang
dapat memenuhi pembayaran atau terlepas dari biaya mereka dapat merasakan pentingnya
manfaat pengobatan. Individu yang tidak mampu membeli atau merasakan masalah efek
samping dari suatu obat, akan mengurangi dosis atau menghentikan pengobatan tersebut.
Faktor Usia, Jenis Kelamin, dan Sosiokultural
Menurut Korsch dkk dalam (Sarafino & Smith, 2011) meskipun masing-masing
faktor tidak berkaitan erat dengan kepatuhan, namun ketika mengkombinasi antara faktor
usia, jenis kelamin, dan sosiokultural dapat mempengaruhi kepatuhan. Faktor usia
mempengaruhi kepatuhan dalam berbagai cara tergantung penyakitnya. Manne dkk dalam
(Sarafino & Smith, 2011) mengemukakan bahwa pada pasien kanker anak-anak, anak-anak
yang berusia lebih muda memiliki kepatuhan yang lebih besar untuk meminum antibiotik
daripada anak-anak yang lebih dewasa. Menurut Johnson dkk dalam (Sarafino & Smith,
2011) pada pasien diabetes, anak-anak lebih patuh dalam melakukan diet khusus
dibandingkan dengan remaja.
La Greca & Stone dalam (Sarafino & Smith, 2011) mengemukakan bahwa seiring
bertambahnya usia, anak-anak semakin bertanggung jawab terhadap perawatan medisnya.
Remaja memiliki kemungkinan lebih kecil dari kelompok usia lain untuk mematuhi
pengobatan jangka panjang yang membuat dirinya berbeda dari teman-temannya.
Murdaugh dalam (Sarafino & Smith, 2011) menyatakan ketidakpatuhan pengobatan pada
orang tua disebabkan oleh gangguan penglihatan, pendengaran, dan kognitif.
Kemudian untuk sosiokultural sendiri terdapat dua faktor sosial budaya yang dapat
mempengaruhi pengobatan. Pertama, adanya kepercayaan atau kebiasaan pada beberapa
kelompok budaya yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Kedua, rendahnya tingkat melek
huruf dan risiko kesehatan yang tinggi pada kelompok minoritas.

Interaksi antara Pasien dengan Praktisi


Bonnie Svarstad dalam (Sarafino & Smith, 2011) dalam penelitiannya menghasilkan: 1.
Kurangnya pengetahuan pasien tentang pengobatan mereka. Separuh tidak mengetahui
seberapa lama pengobatannya dan seperlimanya tidak mengetahui tujuan atau seberapa
sering meminum obat yang telah diresepkan.
2. Kurangnya pengetahuan pasien seringkali disebabkan oleh kurangnya informasi yang
dibutuhkan dokter.
3. Sedikitnya pertanyaan yang diajukan pasien pada saat kunjungan.
4. Semakin jelas arahan dokter semakin banyak individu yang mematuhi.

2.2 Aspek Psikologis dalam Komunikasi

Komunikasi adalah proses pemindahan informasi, ide, emosi, keterampilan dan lain-
lain dengan menggunakan simbol seperti kata, figur dan grafik, serta memberi,
meyakinkan ucapan dan tulisan (Mufid, M., 2005). Komunikasi merupakan proses yang
dinamis yang terjadi antara komunikator dan komunikan. Fungsi Komunikasi di antaranya
ialah memahami diri sendiri dan orang lain, memaparkan hubungan yang bermakna, serta
mengubah sikap dan perilaku. Terdapat aspek-aspek psikologis dalam proses terjadinya
komunikasi, yaitu:

A. Sensasi
Sensasi berasal dari kata sense yang artinya alat penginderaan, yang
menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Wolman (dalam Rakhmat, 1994)
menyatakan bahwa sensasi merupakan pengalaman elementer yang segera, yang tidak
memerlukan penguraian verbal, simbolis atau konseptual dan terutama sekali
berhubungan dengan alat indera. Sedangkan menurut Plotnik (2005), sensasi merupakan
sejumlah informasi yang relatif kurang bermakna yang terjadi ketika otak memproses
sinyal-sinyal elektrik yang berasal dari panca indera.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sensasi merupakan
fenomena menangkap dan menerima sejumlah rangsang yang terjadi akibat proses
sensorik yang berkaitan dengan alat indera kita. Dalam konteks ini, komunikasi dapat
disampaikan oleh komunikator serta diterima oleh komunikan melalui alat indera.

B. Persepsi
Persepsi adalah proses pencarian informasi oleh individu untuk dimengerti dan
dipahaminya. Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar
akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Persepsi juga diberi arti
sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2000). Menafsirkan
makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan persepsi, tetapi juga atensi, ekspektasi,
motivasi dan memori (Desiderato, dalam Rakhmat, 1994). Pada proses persepsi, hasil
interpretasi terhadap rangsang-rangsang yang diterima sampai rangsangan itu disadari
dan dimengerti.

Proses Sensasi Menjadi Persepsi (Plotnik, 2005)


1. Adanya stimulus berupa cahaya, suara, suhu, dan lain sebagainya 2. Adanya proses
transduksi, yakni proses dimana panca indera merubah energi fisik ke sinyal-sinyal
listrik yang kemudian menjadi impuls saraf dan diteruskan ke otak untuk diproses
3. Primary areas pada otak merubah impuls saraf menjadi sensasi
4. Sensasi diubah menjadi image yang bermakna (persepsi) pada association areas di
otak
5. Terjadi personalized perception, yakni pengalaman, lingkungan, emosi, serta ingatan-
ingatan personal akan turut mempengaruhi persepsi.

Dalam konteks ini, komunikan mempersepsikan informasi yang diterimanya dari


komunikator dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Beberapa faktor
yang turut mempengaruhi persepsi diantaranya yaitu perhatian, faktor-faktor eksternal
seperti gerakan, intensitas, perulangan, faktor-faktor internal seperti faktor biologis,
sosiopsikologis, dan sosiogenis, faktor personal seperti kebutuhan dan pengalaman masa
lalu, serta faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek
efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu.

C. Memori
Memori adalah kemampuan untuk menerima, menyimpan, dan mengulang kesan
atau informasi. Menurut Schlessinger dan Groves (dalam Rakhmat, 2000), memori
adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam
fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya.
Terdapat tiga proses dalam memori diantaranya perekaman, yaitu pencatatan informasi
melalui reseptor indera dan sirkuit saraf internal. Selanjutnya proses penyimpanan, yaitu
proses yang menentukan berapa lama informasi itu berada, dalam bentuk apa, dan
dimana. Terakhir, proses pemanggilan yang menurut Mussen dan Rosenzweig (1973)
berarti menggunakan informasi yang disimpan (Rakhmat, 2000). Dalam konteks ini,
komunikan melakukan perekaman, penyimpanan, serta pemanggilan memori ketika
dirinya menerima informasi dari komunikator.
Dalam konteks kepatuhan dan ketidakpatuhan dalam pengobatan, komunikasi
memegang peranan sangat penting. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat yaitu adanya komunikasi. Komunikasi yang
lebih baik dapat menimbulkan kepatuhan yang lebih baik, kesamaan bahasa antara
pasien dan dokter juga berpengaruh kepada kepatuhan pengobatan (Edi, I Gede., 2015).
Hal ini didukung oleh studi eksperimental terhadap pasien penyakit asma yang dilakukan
Gamble, dkk (2011) menyatakan bahwa pendekatan komunikasi merupakan salah satu
aspek yang berpengaruh terhadap meningkatnya kepatuhan.

2.3 Aspek Psikologis dalam Kepatuhan terhadap Pengobatan

Menurut Kozier (2010), kepatuhan adalah perilaku individu sesuai anjuran terapi
dan kesehatan. Kemudian Taylor (1991), mendefinisikan kepatuhan terhadap pengobatan
adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu mengikuti anjuran yang
berhubungan dengan kesehatan atau penyakit. Pendapat tersebut didukung oleh Safarino
(dalam Tritiadi, 2007), yang mengungkapkan bahwa kepatuhan atau ketaatan merupakan
tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter
ataupun orang lain. Dari berbagai pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa perilaku
kepatuhan terhadap pengobatan ialah sejauh mana upaya dan perilaku seorang individu
yang menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau anjuran yang diberikan oleh tenaga
profesional kesehatan untuk menunjang kesembuhannya.
Dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan merujuk pada situasi ketika perilaku
seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasihat yang diusulkan
oleh seorang praktisi kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi
lainnya seperti nasihat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui suatu
kampanye media massa (Ian & Marcus,2011).
Salah satu teori yang berkaitan dalam kepatuhan terhadap pengobatan adalah Teori
Perilaku Preced Proceed oleh Lawrence Green (1980). Teori ini berdasar pada tindakan
seseorang yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap
pengobatan, yang dimana dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu :
1) Faktor predisposisi (predisposing factors), faktor yang mendahului perilaku seseorang yang
akan mendorong untuk berperilaku yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai
dan persepsi yang mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan. Hal ini
dapat berupa persepsi pasien terhadap berat ringannya penyakit, munculnya keyakinan
untuk sembuh serta harapan-harapan yang dapat memotivasi pasien untuk patuh terhadap
pengobatan yang diberikan kepadanya.
2) Faktor pendukung atau pendorong (enabling factors), faktor yang memotivasi individu atau
kelompok untuk melakukan tindakan yang berwujud lingkungan fisik, tersedianya fasilitas
dan sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana kesehatan, waktu pelayanan, dan
kemudahan transportasi.
3) Faktor penguat (reinforce factors), mencakup sikap dan dukungan keluarga, teman, guru,
orang-orang disekitar pasien, penyedia layanan kesehatan, pemimpin serta pengambil
keputusan.

Menurut Sarafino dan Smith (2011), kepatuhan terhadap pengobatan sering


dipengaruhi oleh faktor kognitif dan emosional. Seseorang yang sedang dalam masa
pengobatan, mereka harus harus mampu secara kognitif dan emosional untuk memahami
dan mengingat apa yang harus mereka lakukan. Arahan yang diberikan oleh petugas medis
kepada pasien seringkali rumit dan diberikan pada saat pasien mungkin tidak mendengarkan
dengan cermat. Bahkan jika informasi kesehatan disampaikan dalam bentuk tertulis,
kebanyakan pasien dewasa pun mungkin tidak dapat memahaminya karena kemampuan
membaca yang terbatas. Peran fungsi kognitif dan emosi pada kepatuhan juga bisa menjadi
penting di luar pengaturan medis. Orang yang mengalami kesulitan memperhatikan,
mengingat, atau merencanakan, kurang patuh dibandingkan orang lain untuk melakukan
pengobatan dalam waktu dan dosis yang tepat (Stilley et al., 2010). Dan pengaruh negatif,
terutama depresi, telah dikaitkan dengan rendahnya tingkat kepatuhan (Marteau &
Weinman, 2004; Trivedi et al., 2008).
Adapun dua faktor psikologis lain yang terkait dengan kepatuhan, yaitu efikasi diri
dan dukungan sosial. Secara umum, orang yang merasa mereka dapat melaksanakan
rejimen dan menerima kenyamanan, perhatian, dan bantuan yang mereka butuhkan dari
keluarga, teman, atau kelompok pendukung lebih cenderung mengikuti nasihat medis
daripada klien yang kurang memiliki dukungan sosial (DiMatteo, 2004; Dunbar Jacob &
Schlenk, 2001). Efikasi diri dapat mencakup kepercayaan diri seseorang untuk dapat
melakukan aktivitas atau pulih dari penyakitnya (Schwarzer et al., 2008). Dukungan sosial
paling efektif jika keluarga yang kompak memberikan dukungan nyata atau instrumental
dalam merawat penderita sakit. .

2.4 Analisis Kasus Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan

Kasus mengenai ketidakpatuhan terhadap pengobatan diambil dari jurnal “Faktor


Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat sebagai Upaya Pencegahan
Filariasis di Kota Pekalongan” karya Harfaina, dkk. Filariasis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang
mengakibatkan cairan limfe tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga terjadi
pembengkakan pada tungkai dan lengan. Penyakit filariasis dapat menular dengan perantara
nyamuk. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian namun dapat menyebabkan cacat
permanen dan stigma sosial. Penyakit filariasis dapat dikendalikan secara efektif dengan
proses eliminasi.
Bentuk eliminasi pada penyakit ini adalah dengan melakukan pengobatan massal.
Program eliminasi bertujuan untuk memutus rantai penularan melalui pengobatan massal
dan survei darah jari dengan demikian mengurangi penularan oleh nyamuk. Terdapat dua
strategi yang dilakukan, yaitu dengan melakukan pengobatan massal atau Mass Drug
Administration (MDA) satu kali dalam setahun selama lima tahun berturut-turut di daerah
endemis dan penatalaksanaan klinis bagi penderita filariasis kronis. Program eliminasi
filariasis di Indonesia menggunakan pengobatan massal dengan dua macam obat, yaitu
Diethylcarbamazine citrate (DEC) dan Albendazole.

Pemberian obat massal pencegahan (POMP) telah dilakukan selama 5 tahun


berturut-turut, namun melalui hasil evaluasi, kota Pekalongan masih berada dalam kategori
endemis filariasis dan dinyatakan gagal. Kegagalan POMP Filariasis selama 5 tahun dapat
disebabkan oleh rendahnya pengetahuan tentang pencegahan filariasis. Berdasarkan survei
yang dilakukan, kepatuhan pengobatan massal filariasis oleh masyarakat kota Pekalongan
masih berada dibawah target (85%), yaitu 72,8%. Dalam 5 tahun menjalankan POMP
Filariasis, daerah endemis di Kota Pekalongan belum mencapai target tingkat kepatuhan
pengobatan, yaitu masih dibawah 65%.

Program pencegahan filariasis tidak akan berjalan lancar apabila masyarakat tidak
bersedia menjalankan program dengan minum obat pencegahan filariasis yang dibagikan.
Kepatuhan minum obat pada POMP yang masih berada dibawah target di Kota Pekalongan
dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah perilaku masyarakat, pelayanan
kesehatan yang mencakup promosi, peran tenaga kesehatan dan sarana pelayanan
kesehatan. Kepatuhan minum obat masyarakat Kota Pekalongan juga dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor lain, yaitu pengetahuan, sikap atau kesadaran, serta praktik yang
mereka lakukan terkait POMP. Dengan demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pencegahan
filariasis masyarakat Kota Pekalongan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Harfaina, dkk (2019) pada hasil
analisis kualitatif melalui proses wawancara mendalam terdapat dua faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pencegahan filariasis masyarakat Kota
Pekalongan, yaitu persepsi kerentanan dan self efficacy. Pada faktor persepsi kerentanan
terdapat informan yang tidak merasa rentan terkena filariasis karena sudah melakukan
pencegahan lain seperti menggunakan obat nyamuk. Pada faktor self efficacy terdapat
informan yang beranggapan tidak mampu mengikuti POMP Filariasis karena efek samping
pengobatan dan anggapan bahwa mereka sehat.

2.5 Riset-Riset Terkini Mengenai Kepatuhan dan Ketidakpatuhan dalam Pengobatan

a. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Melalui Terapi Mindfulness Spiritual Islam
- Ardinata., Dwidiyanti, S., Sari. S. P., (2019)
Penelitian ini membahas tentang ketidakpatuhan pasien yang menjadi masalah utama
dalam proses pengobatan, di mana hanya sepertiga pasien skizofrenia yang patuh.
Penelitian ini menyebutkan bahwa terapi skizofrenia tidak hanya harus dilakukan
dengan pengobatan, namun juga pendekatan holistik, salah satunya adalah spiritual
islam. Hasilnya menyatakan bahwa pelatihan spiritual islam membantu pasien
mengenali masalah yang menyebabkan masalah mereka.Temuan ini mendukung
penggunaan Islamic Spiritual Mindfulness sebagai intervensi untuk meningkatkan
tingkat kepatuhan pengobatan pasien dengan kondisi kesehatan mental dan kejiwaan.
b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Pasien Pada Pengobatan: Telaah
Sistematik - Edi, I. G. M. S (2015)
Peneltitian ini bertujuan untuk mengkaji penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
tentang kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. Penelitian ini menyebutkan bahwa
banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien pada pengobatan sehingga sulit
memprediksi penyebab ketidakpatuhan pada tingkat individu, untuk itu dibutuhkan
penelitian-penelitian mengenai pengembangan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan
pasien pada pengobatan.
c. Kepatuhan Minum Obat Pasien Rawat Jalan Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Soerojo Magelang - Naafi, A. M., Perwitasari, D. A., Darmawan, E (2016) Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien rawat jalan skizofrenia dan
untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pasien dengan tingkat kepatuhan minum
obat. Penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuesioner kepatuhan minum obat, seperti
MARS (Medication Adherence Rating Scale). Hasilnya menunjukan bahwa 2,5% pasien
memiliki kepatuhan rendah, 90% pasien kepatuhan sedang, dan 7,5% pasien kepatuhan
tinggi.
d. Hubungan Peran Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia - Nurjamil,
D., Rokayah, C. (2017)
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara peran keluarga
dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di poliklinik jiwa RSAU dr. M.
Salamun. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
peran keluarga dan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Sikap keluarga terhadap
anggota keluarga yang menderita skizofrenia adalah menerima keadaan diri penderita.
Sikap menerima keadaan penderita maka dapat digunakan sebagai motivasi untuk
merawat penderita skizofrenia dan juga untuk proses kesembuhan anggota keluarga yang
menderita skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai