Perilaku sehat adalah upaya individu yang merasa dirinya sehat dan bertujuan
memelihara, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan (Rosmalia & Sriani, 2017). Kasl &
Cobb & Parsons (dalam Sarafino & Smith, 2014) telah mencatat bahwa status kesehatan individu
memengaruhi jenis perilaku kesehatan yang dilakukan dan dorongan untuk melakukannya.
Gambaran contoh perilaku yang dilakukan individu ketika mereka sehat, mengalami suatu gejala
atau simptom, dan sakit.
Pertama, perilaku sehat yang dimaksud dapat berupa olahraga, makan makanan sehat,
melakukan cek kesehatan secara berkala, dan apabila diperlukan dapat melakukan vaksinasi
untuk pencegahan suatu penyakit. Aktivitas ini dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan baik serta dapat menghindari penyakit. Perilaku sehat bergantung pada faktor motivasi
yang kaitannya dengan persepsi individu tentang ancaman penyakit.
Kedua, perilaku yang muncul akibat gejala yang dimiliki oleh individu sebagai cara
untuk menentukan masalah dan obat yang dibutuhkan. Gejala yang dimaksud meliputi;
mengeluh, umumnya sakit perut, dan mencari bantuan orang-orang terdekat atau praktisi medis.
Namun beberapa individu memungkinkan untuk tidak berkonsultasi atas gejala yang dimiliki
karena takut akan diagnosa yang muncul dan beberapa individu terkendala dengan masalah
ekonomi.
Ketiga, perilaku sakit yang mengacu pada keinginan individu untuk sembuh setelah
individu tersebut merasa sakit dan mengetahui penyakitnya. Perilaku ini terdapat peran khusus
yang membuat individu dapat terlepas dari kewajiban sehari-harinya sebagai salah satu proses
untuk pemulihan diri setelah mendapat resep dan rekomendasi praktisi medis.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan health behavior adalah suatu usaha
individu untuk menjadi lebih sehat atau mempertahankan kondisi kesehatannya, dan usaha ini
memiliki beberapa aspek agar dapat berhasil dilakukan.
Model biopsikososial dapat kita bagi menjadi 3 bagian agar lebih mudah kita pahami
setiap aspeknya dengan lebih detail dan mendalam. 3 bagian tersebut, yaitu :
Aspek Biologi
Saat membicarakan health behavior proses mental merupakan hal yang tidak bisa
ditinggalkan karena seluruh proses tubuh yang dilakukan, dipengaruhi oleh proses
mental. Begitu pula gaya hidup baik sehat maupun buruk yang dijalani seseorang pun
dipengaruhi oleh proses mental yang terjadi di pikiran kita.
2). Emosi. Emosi merupakan perasaan subjektif yang dirasakan oleh seseorang
terkait berbagai hal. Emosi sangat memengaruhi bagaimana seseorang menjalani
hidupnya dan bagaimana seseorang memilih gaya hidupnya. Contohnya adalah orang-
orang dengan emosi yang relatif positif akan cenderung lebih jarang terkena penyakit
karena mereka akan berusaha menerapkan gaya hidup yang sehat serta akan lebih mudah
memulihkan diri mereka sendiri apabila terjangkit penyakit dibandingkan dengan mereka
yang memiliki emosi yang relatif negatif. Emosi juga dapat memengaruhi kesehatan dan
gaya hidup seseorang dalam hal persepsi, apabila seseorang memiliki persepsi bahwa
dokter adalah tempat yang buruk maka mereka akan lebih sulit disembuhkan apabila
terkena penyakit.
3). Motivasi. Unsur ini memungkinkan manusia untuk memulai suatu hal. Contoh
dalam hal ini ialah mereka yang termotivasi untuk berpenampilan sehat dan bugar maka
akan berusaha untuk menjaga gaya hidup yang sehat dan menetapkan sasaran yang harus
dicapai kedepannya agar tetap sehat. Contoh lain adalah orang-orang yang pernah
terjangkit penyakit yang cukup kronis lalu termotivasi untuk melakukan penyembuhan,
maka mereka akan berusaha untuk meninggalkan kebiasaan buruknya di masa lalu.
Aspek Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, memiliki hubungan dengan antar individu dan
antar kelompok dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika terjadi interaksi, individu dapat
memengaruhi individu lain atau kelompok lain begitu juga sebaliknya. Pada jenjang yang
cukup luas masyarakat dapat memengaruhi kesehatan individu dengan mempromosikan
nilai-nilai tertentu dari budaya yang ada seperti sehat dan bugar adalah hal yang baik.
Aspek sosial yang berpengaruh diantaranya; usia, jenis kelamin, budaya, status sosial
ekonomi, dan spiritual. Menurut Sallis & Story (dalam Sarafino & Smith, 2014)
karakteristik lingkungan suatu komunitas dianggap dapat memengaruhi aktivitas fisik dan
pola makan masyarakat. Adanya karakteristik tersebut dapat diturunkan menjadi faktor-
faktor sosial yang mungkin memiliki pengaruh dan dorongan terhadap individu mengenai
wellness, yaitu faktor dalam individu, faktor interpersonal, dan faktor dalam komunitas.
Faktor dalam individu adalah bagaimana mempertimbangkan cara untuk meningkatkan
kesehatan, menjaga keseimbangan dalam hidup, menetapkan batasan pada perilaku tidak
sehat, dan dorongan untuk melakukan perilaku sehat. Lalu, faktor interpersonal umumnya
terjadi karena individu yang hidup dalam sistem keluarga mungkin mengalami masalah
dalam upaya mereka untuk meningkatkan kesehatan. Beberapa masalah muncul karena
keluarga terdiri dari individu dengan motivasi dan kebiasaan masing-masing yang
kemudian mengadopsi perilaku antar anggota keluarganya, agar terjadi wellness-health
behavior perlu individu yang memberikan dukungan dan dorongan kepada individu lain
agar mengubah gaya hidupnya dari waktu ke waktu. Kemudian faktor dalam komunitas
yang dipromosikan atau didorong oleh lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat,
dan sistem keperawatan dapat memengaruhi masyarakat mengadopsi kebiasaan-
kebiasaan yang mengarah pada perilaku sehat.
Ketiga aspek ini saling berhubungan erat dan berkesinambungan untuk menentukan
health behavior pada individu. Seperti yang telah dijabarkan pada bagian pengertian bahwa
health behavior memiliki beberapa faktor penentu salah satu faktor penentu tersebut adalah
faktor biopsikososial.
Salah satu contoh yang dapat kita ambil adalah adiksi merokok, jika kita lihat dari aspek
biopsikososial dapat kita pahami kenapa seseorang mengalami adiksi rokok. Dilihat dari faktor
biologis menurut Ducci dan Goldman (2012) dari hasil penelitian keluarga, adopsi, dan saudara
kembar menunjukan relevansi genetik pada perkembangan adiksi. Dari faktor psikologis adiksi
merokok dapat dilihat dari motivasi individu tersebut untuk memulai dan mempertahankan
adiksi merokok. Dan, dari faktor sosial dapat kita lihat dari bagaimana lingkungannya menilai
adiksi merokok, jika dalam lingkungan individu tersebut menilai adiksi merokok adalah suatu
hal yang biasa maka individu tersebut akan cenderung menganggap merokok adalah hal yang
biasa dan bukan hal yang perlu dipermasalahkan.
Menurut Ducci dan Goldman (2012), genetik memengaruhi setiap tahapan mulai dari
inisiasi sampai adiksi, walaupun determinan genetik berbeda. Adiksi dapat didefinisikan sebagai
hasil interaksi dari genetik dan lingkungan tempat tinggal. Adiksi yang merupakan bagian dari
kemauan, bawaan lahir, dan lingkungan tempat tinggal memiliki banyak sekali tantangan, baik di
ranah medis, genetis, hukum, dan moral. Dari pendapat Ducci dan Goldman dapat kita lihat
hubungan yang kuat dari biopsikososial dan health behavior.
Hambatan dalam pelaksanaan health behavior dapat dilihat dari aspek biologis seseorang.
Menurut Ducci dan Goldman (2012) apabila individu memiliki gen CHRNA5 - CHRNA3 -
CHRNA4 maka individu tersebut akan memiliki kecenderungan untuk merokok pada orang
dewasa, hal ini akan terjadi apabila individu tersebut sudah melalui masa inisiasi penggunaan
nikotin atau merokok. Hal ini dapat mempersulit individu yang memiliki gen tersebut untuk
berhenti merokok.
Weinstein mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa tiap individu tetap melakukan
unhealthy behavior dikarenakan persepsi yang tidak begitu akurat dalam sebuah tindakan dan
suspek pada unrealistic optimism mereka. Terdapat 4 hal faktor kognitif yang menurut Weinstein
yang berkontribusi dalam unrealistic optimism:
Faktor-faktor tersebut yang menunjukkan bahwa sebuah persepsi risiko bukanlah suatu
proses yang rasional.
a. Adanya sikap medical establishment dari suatu individu yang lebih mengutamakan
penyembuhan daripada pencegahan.
b. Terdapat hambatan-hambatan yang berasal dari internal individu tersebut karena
kebiasaan kesehatan yang telah diperolehnya sejak kecil sehingga sulit untuk merubah
kebiasaan tersebut.
Tiap orang mempelajari hal yang berkaitan dengan health behavior terutama dengan cara
operant conditioning dimana perilaku berubah karena suatu konsekuensi (Sarafino, 2001).
Terdapat 3 tipe konsekuensi yang penting:
a. Reinforcement. Dimana ketika kita melakukan sesuatu yang membawakan sebuah tujuan,
kepuasan atau kebahagiaan, tindakan tersebut akan membuat individu tersebut
mengulangi kebiasaan tersebut. Contohnya seorang anak yang mendapatkan sesuatu yang
dia inginkan seperti mainan atau uang jika ia menyikat giginya setiap sebelum tidur.
b. Extinction. Jika konsekuensi yang membuat seseorang mempertahankan sebuah behavior
tersebut dihilangkan, maka kecenderungan responnya secara perlahan akan menghilang
juga. Sebuah proses atau prosedur extinction ada, hanya jika tidak ada alternatif dari
konsekuensi atas perilaku tersebut. Seperti kebiasaan sikat gigi, jika uang sudah tidak
diberikan apakah anak akan terus menyikat giginya, jika diberikan reinforcer yang lain,
seperti sebuah pujian dari orang tuanya atau dari kepuasan anak tersebut dengan
penampilan giginya.
c. Punishment. Saat apa yang dilakukan individu membawa sebuah konsekuensi yang tidak
diinginkan. Pengaruh hukuman pada perilaku yang akan datang tergantung dari
individunya.
Jika sebuah perilaku sudah dilakukan dalam waktu yang lama maka perilaku tersebut
akan menjadi sebuah kebiasaan dan orang tersebut akan melakukannya secara otomatis dan tanpa
kesadaran.
3
direkomendasikan. Maka, dari paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa Health belief
model yaitu suatu model kognitif yang berupa kerangka kerja konseptual yang berguna
untuk memberikan pemahaman, prediksi, maupun alasan individu untuk mau atau tidak
mau melakukan, dan patuh atau tidak patuhnya individu dalam melakukan tindakan
kesehatan yang berfokus pada sikap dan belief yang ada pada individu tersebut.
Health beliefs model juga menegaskan bahwa persepsi seseorang mengenai kerentanan
pengobatan dapat memberikan pengaruh keputusan seseorang dalam perilaku terhadap
kesehatannya (Setiyaningsih, dkk, 2016). Health belief model ini juga banyak digunakan
sebagai suatu pendekatan untuk intervensi, dimana pendekatan tersebut merupakan suatu
pendekatan khusus yang dapat membawa individu lebih dapat mengenali penyakitnya,
sehingga individu dapat menumbuhkan kesadaran dalam hal perilaku. Model ini
menjelaskan adanya hubungan antara keyakinan dan perilaku kesehatan, dimana hal ini
dikatakan bahwa perilaku kesehatan yang tepat terbentuk berdasarkan keyakinan pribadi
(Green & Murphy, 2014). Model ini menunjukan bahwa setiap orang dapat memberikan
reaktivitas yang baik terhadap kesehatan apabila mereka merasa berisiko (perceived
susceptibility), memiliki resiko sangat serius (perceived severity) dan perubahan perilaku
yang menunjukan manfaat bagi mereka (benefit perceived) serta mereka dapat
menghilangkan hambatan untuk perilaku kesehatan (perceived barriers) (Megawati &
Syahrul, 2019).
Hal ini sama dengan yang dijelaskan oleh Glanz & Viwanath (dalam Kusumaningrum
& Sari, 2018) Menurut teori health belief model, perilaku pencarian pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh adanya persepsi individu pada penyakit atau kondisi yang akan
dialaminya. Apabila seseorang menganggap dirinya rentan terhadap kondisi tersebut maka
ia akan percaya bahwa kondisi tersebut akan memiliki dampak serius, dan memiliki
kepercayaan bahwa tindakan pencegahan akan memiliki manfaat untuk mengurangi
kerentanan serta keparahan suatu kondisi, dan percaya bahwa manfaat yang diharapkan
akan lebih besar dari pada hambatan dari suatu tindakan, maka individu tersebut akan
cenderung melakukan tindakan untuk mengurangi resiko dari suatu penyakit
4
B. Sejarah Perkembangan Teori Health Beliefs Model
Health belief model dikemukakan pertama kali oleh Resenstock 1966, kemudian
disempurnakan oleh Becker, dkk 1970 dan 1980. Sejak tahun 1974, teori Health belief
model telah menjadi perhatian para peneliti. Konsep utama dari health belief model adalah
perilaku sehat ditentukan oleh kepercayaan individu atau persepsi tentang penyakit dan
sarana yang tersedia untuk menghindari terjadinya suatu penyakit. Health belief model
(HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950-an oleh sekelompok psikolog sosial
di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat, dalam usaha untuk menjelaskan
kegagalan secara luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi
penyakit. Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-
gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa,
terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis. Oleh karena itu, lebih dari
tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara
luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku
dengan kesehatan.
Health beliefs model mengungkapkan bahwa kepercayaan inti tersebut dapat digunakan
untuk memprediksi kemungkinan perilaku akan terjadi. Sarafino & Smith (2011)
mengelompokkan komponen-komponen dari health beliefs model menjadi dua bagian, yang
pertama adalah percieved threat yang berisikan kerentanan terhadap penyakit, tingkat
keparahan penyakit, dan isyarat untuk bertindak, serta percieved benefits and barrrier yang
berisikan manfaat dan pengorbanan perilaku.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teori Health Beliefs Model Health beliefs model
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dipengaruhi faktor demografis, faktor karakteristik
psikologis, dan juga faktor structural variable yang mencakup faktor ilmu pengetahuan.
1) Faktor demografis
Dalam faktor demografis, kelas sosial masyarakat sangat mempengaruhi
health beliefs model individu. Individu dengan kelas sosial
6
ekonomi menengah ke bawah cenderung kurang dalam mengetahui pengetahuan
seputar faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit. 2) Faktor karakteristik
psikologis
Faktor karakteristik psikologis berkaitan erat dengan bagaimana persepsi dan
sikap individu terhadap suatu ancaman penyakit dan pengobatan. Sebagai contoh,
individu merasa ketakutan untuk menjalani pengobatan medis dalam rangka
menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
3) Faktor structural variable
Faktor structural variable yang sangat berperan dalam memengaruhi health
beliefs model individu adalah tingkat pendidikan atau edukasi. Individu dengan
tingkat pendidikan yang rendah cenderung merasa tidak rentan terhadap suatu
penyakit karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki, sehingga hal ini seringkali
menyebabkan individu justru menjadi potensial untuk terkena penyakit tertentu.
7
yang signifikan antara pengetahuan penyakit yang didapat dari informasi-informasi
kesehatan dan perilaku kesehatan preventif (Ogden, 2007).
Di samping itu, terdapat beberapa hasil penelitian yang bertentangan. Janz dan Becker
(1984) menemukan bahwa niat perilaku sehat muncul apabila individu merasakan
kerentanan rendah, tidak setinggi yang diperkirakan, dan beberapa penelitian telah
mengemukakan adanya hubungan antara kerentanan rendah (tidak tinggi) dan perilaku
sehat (Becker et al. 1975; Langlie 1977). Janz dan Becker (1984) dalam teori Health
Beliefs Model menemukan bahwa tidak ada hubungan antara manfaat dan keparahan yang
dirasakan individu, dan bahwa prediktor terbaik dari perilaku kesehatan adalah persepsi
hambatan dan kerentanan yang dirasakan terhadap penyakit. Namun, Becker and
Rosenstock (1984) dalam tinjauan terhadap 19 studi menggunakan meta-analisis yang
mencakup ukuran HBM untuk memprediksi kepatuhan, menghitung bahwa prediktor
kepatuhan terbaik adalah biaya dan manfaat serta tingkat keparahan yang dirasakan
(Ogden, 2007).
Teori Health Beliefs Model telah dikritik akibat adanya hasil penelitian yang
bertentangan tersebut. Teori ini juga dikritik karena memiliki beberapa kelemahan, di
antaranya:
1) Teori ini hanya berfokus pada pemrosesan informasi secara sadar. Padahal, tidak semua
hal yang dilakukan oleh individu didasari oleh hasil pemrosesan informasi tersebut
(contoh: apakah seseorang hanya akan menyikat giginya setelah memikirkan pro dan con
dari kegiatan tersebut?)
2) Teori ini hanya menekankan pada individu saja dan tidak memperhatikan aspek lain
seperti aspek sosial dan lingkungan.
3) Tidak adanya peran dari aspek emosional seperti rasa takut dan penyangkalan. 4) Telah
dikemukakan bahwa faktor alternatif seperti ekspektasi akan hasil dan self-efficacy dapat
memunculkan perilaku sehat (Seydel et al. 1990; Schwarzer 1992, dalam Ogden, 2007)
5) Schwarzer (1992, dalam Ogden, 2007) telah mengkritik teori Health Beliefs Model karena
pendekatan statisnya pada keyakinan akan kesehatan dan mengemukakan bahwa teori
Health Beliefs Model mendeskripsikan keyakinan sebagai sesuatu yang terjadi bersamaan
dan tidak mengalami perubahan, perkembangan atau proses.
8
6) Leventhal dkk. (1985, dalam Ogden, 2007) berpendapat bahwa perilaku sehat lebih
disebabkan oleh persepsi atas gejala daripada faktor individu seperti yang dikemukakan
oleh teori Health Beliefs Model.
F. Contoh Penerapan Teori Health Beliefs Model Dalam Kasus Kesehatan Judul : Health Belief
Model: Determinants of Hypertension Prevention Behaviorin Adults at Community Health
Center, Sukoharjo, Central Java
Penyakit hipertensi adalah salah satu penyakit berbahaya yang banyak dialami oleh
seseorang, baik disadari maupun tidak disadari. Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah
menjadi salah satu daerah dengan prevalensi tingkat penderita hipertensi yang cenderung
tinggi dengan jumlah kasus tercatat sebanyak 36.827 kasus pada tahun 2015, dan terus
mengalami peningkatan pada setiap tahun.
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terserang penyakit
hipertensi, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol (seperti jenis kelamin, genetik, dan
umur), dan juga faktor yang dapat dikontrol (seperti obesitas, kurang olah raga, merokok,
konsumsi garam dan lemak berlebih). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah terserang penyakit hipertensi adalah dengan melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pembiasaan pola hidup sehat
dengan mempelajari perilaku yang tepat, dimana hal ini dapat dikaji melalui teori model
kepercayaan kesehatan (health beliefs model) dengan dikaitkan terhadap 6 dimensi teori
health beliefs model.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 160 subjek yang terdiri dari 62 laki-laki dan 98
perempuan dengan prosentase subjek berusia <35 tahun sebanyak 51,90% dan subjek
dengan usia >35 tahun sebanyak 48,10% diperoleh hasil sebagai berikut:
1) Terdapat hubungan yang positif antara persepsi kerentanan dengan perilaku pencegahan
melalui variabel antara persepsi ancaman. Individu yang percaya dirinya memiliki resiko
yang rendah untuk terkena hipertensi maka berkemungkinan untuk melakukan tindakan
yang tidak sehat, sebaliknya individu yang rentang terserang hipertensi melakukan
perilaku hidup sehat
9
untuk mengurangi resiko terserang penyakit dan juga mengambil tindakan untuk
penyembuhan hipertensi yang dirasakan.
2) Terdapat hubungan yang positif antara persepsi keseriusan dengan perilaku pencegahan
hipertensi melalui variabel antara persepsi ancaman. Tingkat keparahan penyakit yang
dirasakan oleh individu menyebabkan individu tersebut percaya bahwa dampak dari
keparahan penyakitnya tersebut dapat menjadi ancaman bagi hidupnya. Oleh karena itu,
individu tersebut berusaha mengambil tindakan untuk melakukan pengobatan dan
pencegahan terhadap penyakit tersebut agar tidak mengancam hidupnya.
3) Terdapat hubungan yang positif antara cues to action dengan perilaku pencegahan
hipertensi melalui variabel antara persepsi ancaman. Cues to action atau isyarat tindakan
ini berhubungan dengan tingkat kepatuhan minum obat anti hipertensi yang diperoleh
melalui mengetahui tentang layanan kesehatan atau pun konsultasi.
4) Terdapat hubungan langsung antara persepsi ancaman dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Ketika ancaman penyakit hipertensi meningkat, maka individu akan
melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit tersebut.
5) Terdapat hubungan langsung antara persepsi manfaat dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Individu yang percaya bahwa tindakan tertentu dapat mengurangi kerentanan
terhadap suatu penyakit, maka individu tersebut akan cenderung melakukan perilaku
yang dapat mencegah penyakit tersebut.
6) Terdapat hubungan langsung antara persepsi hambatan dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Hambatan dalam pencegahan atau penanganan penyakit dapat berupa biaya
pengobatan yang mahal, tidak menyenangkan, menyakitkan, efek samping pengobatan,
atau prosedur medis. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap keputusan individu untuk
mengambil tindakan pencegahan atau penanganan penyakit yang diderita.
7) Terdapat hubungan antara efikasi diri (self efficacy). Individu cenderung melakukan pola
hidup sehat atau perilaku kesehatan ketika mereka berpikir bahwa tindakan tersebut akan
berhasil mengatasi penyakit yang dideritanya. Efikasi diri berfungsi sebagai kontrol diri
untuk dapat mengubah gaya hidup ke arah yang lebih sehat.
Pada tahun 1967, Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengembangkan sebuah teori
bernama Teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action). Icek Ajzen merupakan
salah satu profesor di Universitas Massachusetts, beliau mendapatkan gelar Ph.D di
Universitas Illinois dan menjadi Visiting Professor di Universitas Tel-Aviv selama
beberapa tahun. Sedangkan, Martin Fishbein adalah seorang Profesor dalam bidang
psikologi di Universitas Illinois. Mereka berdua menjelaskan teorinya lewat buku
berjudul “Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and
Research“ pada tahun 1975, dan beberapa jurnal serta paper. Lewat karya tulisannya
tersebut mereka membahas bagaimana peran sikap(attitude) dan norma subjektif
(subjective norm) terhadap pembentukan perilaku (behavior). Kemudian pada tahun
1988, komponen pengendalian perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control)
ditambahkan sebagai salah satu komponen dalam pembentukan perilaku, hal inilah yang
melandasi pembentukan teori tindakan terencana (Theory of planned behavior) sebagai
pengembangan dari teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) (Werner 2004).
Asumsi pokok dalam teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) adalah
bagaimana seorang individu rasional dalam mempertimbangkan perilaku beserta
implikasinya. Rasional dalam hal ini, bahwa individu harus menyadari betul akan
konsekuensi dan dampak dari perilaku yang akan dilakukannya (Basu 1996; Bazerman
2002; Eppen et al. 1998). Komponen dasar dari perilaku menurut teori ini ada dua, yaitu
sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) dan norma subjektif (Subjective
Norm).
B. Pengembangan Teori
1. Theory of Reasoned Action ( TRA)
Asumsi dasar teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) adalah
bagaimana seorang individu rasional dalam mempertimbangkan perilaku serta
implikasinya. Pada teori tindakan beralasan dilakukan atau tidak perilaku ditentukan
oleh niat individu. Niat untuk melakukan atau tidak perilaku tersebut dipengaruhi
oleh hubungan dengan sikap (attitude towards behavior), dan hubungan dengan
pengaruh sosial seperti norma subjektif (subjectives norms).
Teori tindakan beralasan menjelaskan bahwa ada beberapa tahapan manusia
melakukan perilaku yaitu, pada tahap awal diasumsikan perilaku ditentukan
berdasarkan niat (intention). Selanjutnya, tahap kedua adalah niat dapat dijelaskan
dengan bentuk sikap terhadap perilaku (attitudes towards the behavior) dan norma
subjektif (subjective norm). pada tahap ketiga mempertimbangkan sikap dan norma
subjektif dalam bentuk kepercayaan mengenai konsekuensi terhadap perilaku dan
ekspektasi normatif dari orang yang relevan.
Ajzen untuk mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat
untuk melakukan perilaku, melengkapi teori tindakan beralasan dengan keyakinan
(beliefs) bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs),
sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs).
\3. Penilaian (mengkaji seberapa sukses tahap coping yang diterapkan) Tahap terakhir dari
model regulasi diri Leventhal adalah appraisal atau penilaian. Hal tersebut melibatkan individu
untuk mengevaluasi apakah strategi coping yang digunakan sudah efektif dan menentukan
apakah akan melanjutkan menggunakan strategi tersebut atau memilih alternatif yang lain.
Komunikasi adalah proses pemindahan informasi, ide, emosi, keterampilan dan lain-
lain dengan menggunakan simbol seperti kata, figur dan grafik, serta memberi,
meyakinkan ucapan dan tulisan (Mufid, M., 2005). Komunikasi merupakan proses yang
dinamis yang terjadi antara komunikator dan komunikan. Fungsi Komunikasi di antaranya
ialah memahami diri sendiri dan orang lain, memaparkan hubungan yang bermakna, serta
mengubah sikap dan perilaku. Terdapat aspek-aspek psikologis dalam proses terjadinya
komunikasi, yaitu:
A. Sensasi
Sensasi berasal dari kata sense yang artinya alat penginderaan, yang
menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Wolman (dalam Rakhmat, 1994)
menyatakan bahwa sensasi merupakan pengalaman elementer yang segera, yang tidak
memerlukan penguraian verbal, simbolis atau konseptual dan terutama sekali
berhubungan dengan alat indera. Sedangkan menurut Plotnik (2005), sensasi merupakan
sejumlah informasi yang relatif kurang bermakna yang terjadi ketika otak memproses
sinyal-sinyal elektrik yang berasal dari panca indera.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sensasi merupakan
fenomena menangkap dan menerima sejumlah rangsang yang terjadi akibat proses
sensorik yang berkaitan dengan alat indera kita. Dalam konteks ini, komunikasi dapat
disampaikan oleh komunikator serta diterima oleh komunikan melalui alat indera.
B. Persepsi
Persepsi adalah proses pencarian informasi oleh individu untuk dimengerti dan
dipahaminya. Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar
akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Persepsi juga diberi arti
sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2000). Menafsirkan
makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan persepsi, tetapi juga atensi, ekspektasi,
motivasi dan memori (Desiderato, dalam Rakhmat, 1994). Pada proses persepsi, hasil
interpretasi terhadap rangsang-rangsang yang diterima sampai rangsangan itu disadari
dan dimengerti.
C. Memori
Memori adalah kemampuan untuk menerima, menyimpan, dan mengulang kesan
atau informasi. Menurut Schlessinger dan Groves (dalam Rakhmat, 2000), memori
adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam
fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya.
Terdapat tiga proses dalam memori diantaranya perekaman, yaitu pencatatan informasi
melalui reseptor indera dan sirkuit saraf internal. Selanjutnya proses penyimpanan, yaitu
proses yang menentukan berapa lama informasi itu berada, dalam bentuk apa, dan
dimana. Terakhir, proses pemanggilan yang menurut Mussen dan Rosenzweig (1973)
berarti menggunakan informasi yang disimpan (Rakhmat, 2000). Dalam konteks ini,
komunikan melakukan perekaman, penyimpanan, serta pemanggilan memori ketika
dirinya menerima informasi dari komunikator.
Dalam konteks kepatuhan dan ketidakpatuhan dalam pengobatan, komunikasi
memegang peranan sangat penting. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat yaitu adanya komunikasi. Komunikasi yang
lebih baik dapat menimbulkan kepatuhan yang lebih baik, kesamaan bahasa antara
pasien dan dokter juga berpengaruh kepada kepatuhan pengobatan (Edi, I Gede., 2015).
Hal ini didukung oleh studi eksperimental terhadap pasien penyakit asma yang dilakukan
Gamble, dkk (2011) menyatakan bahwa pendekatan komunikasi merupakan salah satu
aspek yang berpengaruh terhadap meningkatnya kepatuhan.
Menurut Kozier (2010), kepatuhan adalah perilaku individu sesuai anjuran terapi
dan kesehatan. Kemudian Taylor (1991), mendefinisikan kepatuhan terhadap pengobatan
adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu mengikuti anjuran yang
berhubungan dengan kesehatan atau penyakit. Pendapat tersebut didukung oleh Safarino
(dalam Tritiadi, 2007), yang mengungkapkan bahwa kepatuhan atau ketaatan merupakan
tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter
ataupun orang lain. Dari berbagai pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa perilaku
kepatuhan terhadap pengobatan ialah sejauh mana upaya dan perilaku seorang individu
yang menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau anjuran yang diberikan oleh tenaga
profesional kesehatan untuk menunjang kesembuhannya.
Dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan merujuk pada situasi ketika perilaku
seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasihat yang diusulkan
oleh seorang praktisi kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi
lainnya seperti nasihat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui suatu
kampanye media massa (Ian & Marcus,2011).
Salah satu teori yang berkaitan dalam kepatuhan terhadap pengobatan adalah Teori
Perilaku Preced Proceed oleh Lawrence Green (1980). Teori ini berdasar pada tindakan
seseorang yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap
pengobatan, yang dimana dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu :
1) Faktor predisposisi (predisposing factors), faktor yang mendahului perilaku seseorang yang
akan mendorong untuk berperilaku yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai
dan persepsi yang mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan tindakan. Hal ini
dapat berupa persepsi pasien terhadap berat ringannya penyakit, munculnya keyakinan
untuk sembuh serta harapan-harapan yang dapat memotivasi pasien untuk patuh terhadap
pengobatan yang diberikan kepadanya.
2) Faktor pendukung atau pendorong (enabling factors), faktor yang memotivasi individu atau
kelompok untuk melakukan tindakan yang berwujud lingkungan fisik, tersedianya fasilitas
dan sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana kesehatan, waktu pelayanan, dan
kemudahan transportasi.
3) Faktor penguat (reinforce factors), mencakup sikap dan dukungan keluarga, teman, guru,
orang-orang disekitar pasien, penyedia layanan kesehatan, pemimpin serta pengambil
keputusan.
Program pencegahan filariasis tidak akan berjalan lancar apabila masyarakat tidak
bersedia menjalankan program dengan minum obat pencegahan filariasis yang dibagikan.
Kepatuhan minum obat pada POMP yang masih berada dibawah target di Kota Pekalongan
dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah perilaku masyarakat, pelayanan
kesehatan yang mencakup promosi, peran tenaga kesehatan dan sarana pelayanan
kesehatan. Kepatuhan minum obat masyarakat Kota Pekalongan juga dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor lain, yaitu pengetahuan, sikap atau kesadaran, serta praktik yang
mereka lakukan terkait POMP. Dengan demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pencegahan
filariasis masyarakat Kota Pekalongan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Harfaina, dkk (2019) pada hasil
analisis kualitatif melalui proses wawancara mendalam terdapat dua faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat pencegahan filariasis masyarakat Kota
Pekalongan, yaitu persepsi kerentanan dan self efficacy. Pada faktor persepsi kerentanan
terdapat informan yang tidak merasa rentan terkena filariasis karena sudah melakukan
pencegahan lain seperti menggunakan obat nyamuk. Pada faktor self efficacy terdapat
informan yang beranggapan tidak mampu mengikuti POMP Filariasis karena efek samping
pengobatan dan anggapan bahwa mereka sehat.
a. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Melalui Terapi Mindfulness Spiritual Islam
- Ardinata., Dwidiyanti, S., Sari. S. P., (2019)
Penelitian ini membahas tentang ketidakpatuhan pasien yang menjadi masalah utama
dalam proses pengobatan, di mana hanya sepertiga pasien skizofrenia yang patuh.
Penelitian ini menyebutkan bahwa terapi skizofrenia tidak hanya harus dilakukan
dengan pengobatan, namun juga pendekatan holistik, salah satunya adalah spiritual
islam. Hasilnya menyatakan bahwa pelatihan spiritual islam membantu pasien
mengenali masalah yang menyebabkan masalah mereka.Temuan ini mendukung
penggunaan Islamic Spiritual Mindfulness sebagai intervensi untuk meningkatkan
tingkat kepatuhan pengobatan pasien dengan kondisi kesehatan mental dan kejiwaan.
b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Pasien Pada Pengobatan: Telaah
Sistematik - Edi, I. G. M. S (2015)
Peneltitian ini bertujuan untuk mengkaji penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
tentang kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. Penelitian ini menyebutkan bahwa
banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien pada pengobatan sehingga sulit
memprediksi penyebab ketidakpatuhan pada tingkat individu, untuk itu dibutuhkan
penelitian-penelitian mengenai pengembangan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan
pasien pada pengobatan.
c. Kepatuhan Minum Obat Pasien Rawat Jalan Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Soerojo Magelang - Naafi, A. M., Perwitasari, D. A., Darmawan, E (2016) Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien rawat jalan skizofrenia dan
untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pasien dengan tingkat kepatuhan minum
obat. Penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuesioner kepatuhan minum obat, seperti
MARS (Medication Adherence Rating Scale). Hasilnya menunjukan bahwa 2,5% pasien
memiliki kepatuhan rendah, 90% pasien kepatuhan sedang, dan 7,5% pasien kepatuhan
tinggi.
d. Hubungan Peran Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia - Nurjamil,
D., Rokayah, C. (2017)
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara peran keluarga
dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di poliklinik jiwa RSAU dr. M.
Salamun. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
peran keluarga dan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Sikap keluarga terhadap
anggota keluarga yang menderita skizofrenia adalah menerima keadaan diri penderita.
Sikap menerima keadaan penderita maka dapat digunakan sebagai motivasi untuk
merawat penderita skizofrenia dan juga untuk proses kesembuhan anggota keluarga yang
menderita skizofrenia.