Anda di halaman 1dari 25

ASESMEN DAN INTERVENSI PENDIDIKAN

ANALISIS BLINDCASE JENJANG TK

Dosen Pengampu:

Dr. Novi Qonitatin, S.Psi., M.A.

Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok K
Adielia Faradhita P 15000119130261
Hana Kamilah 15000119140268
Nasya Vyra Diah 15000119140317
Rahel Tiodora 15000119130217
Safira Amalia 15000119140197
Salwa Putri Setiani 15000119140111
Tsaltsabila Azzahra 15000119120029

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-NYA, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. Novi Qonitatin, S.Psi., M.A. dan ibu Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati,
M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah membimbing
kami dan teman-teman yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka pemenuhan tugas kelompok. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan kita. Karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami, sehingga masih banyak ditemukan kekurangan dalam
makalah ini. Maka dari itu, kami mohon kritik dan saran dari teman-teman dalam
menyempurnakan makalah ini.

Semarang, 27 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
KASUS ........................................................................................................................... 4
IDENTIFIKASI SUBJEK............................................................................................ 4
A. RANCANGAN ASESMEN .................................................................................. 5
1. Wawancara Klinis ............................................................................................. 5
a. Gejala yang Ditunjukkan oleh Subjek ......................................................... 5
b. Hipotesis ...................................................................................................... 5
c. Tinjauan Teoritis ......................................................................................... 5
2. Memilih Tes ...................................................................................................... 7
a. Capute Scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic & Auditory
Milestone Scale-CAT/CLAMS) .................................................................. 7
b. Denver Developmental Screening Test (DDST-II) .................................... 11
c. Panduan Observasi ...................................................................................... 16
d. Panduan Wawancara ................................................................................... 17
3. Menyelenggarakan Tes ...................................................................................... 19
4. Integrasi Data .................................................................................................... 20
5. Menulis Laporan Asesmen ................................................................................ 20
6. Memberi Feedback ............................................................................................ 20
B. RANCANGAN INTERVENSI
1. Terapi Wicara
2. Terapi Musik ..................................................................................................... 22
3. Terapi Bermain .................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 25

3
KASUS
Ola adalah siswa TK berusia 5 tahun. Ia dirujuk gurunya ke psikolog terkait
permasalahan akademis. Ia kesulitan mengikuti aktivitas yang menuntut kemampuan
verbal-lisan (bercerita, menyebutkan sesuatu, menyanyi, dan menirukan instruksi guru).
Wawancara awal kepada orangtua dan guru menunjukkan ada permasalahan perilaku dan
emosional seperti perhatian mudah teralihkan dan mudah tersinggung jika merasa
perkataannya tidak dimengerti orang lain.
Ola mengalami keterlambatan berbicara yang teridentifikasi ketika berusia 3
tahun. Dia baru mulai mengucapkan dua patah kata pada usia lebih dari 2 tahun. Begitu
memasuki usia sekolah, orangtua lebih berfokus dalam meningkatkan kepercayaan diri
dan penyesuaian Ola terhadap tugas sekolah dan menstimulasinya untuk
mengembangkan kemampuan berbicara. Kesalahan artikulasi yang terjadi saat berbicara
seperti penggantian fonem, (mengucapkan “kapal” menjadi “tapal”, “sendok” menjadi
“sedok”) seringkali ditoleransi oleh orangtua. Kesalahan artikulasi yang dialami Ola ini
mengakibatkannya berbicara tidak jelas dan sulit dimengerti ketika berbicara.

IDENTITAS SUBJEK
Nama : Ola
Pendidikan : TK
Usia : 5 Tahun

4
HYPOTHESIS TESTING MODEL

A. RANCANGAN ASESMEN
1. Wawancara Klinis
a. Gejala yang ditunjukkan oleh subjek
- Subjek mengalami keterlambatan bicara dan baru mulai mengucapkan dua patah
kata pada usia lebih dari 2 tahun.
- Subjek kesulitan untuk mengikuti aktivitas verbal-lisan seperti bercerita,
menyebutkan sesuatu, menyanyi, dan menirukan instruksi guru.
- Terjadi kesalahan artikulasi saat berbicara seperti penggantian fenom yaitu
pengucapan “kapal” menjadi “tapal” dan “sendok” menjadi “sedok”.
- Perhatian mudah teralihkan dan mudah tersinggung jika merasa perkataannya
tidak dimengerti orang lain.
b. Hipotesis
Berdasarkan kasus tersebut, subjek memenuhi kriteria DSM-V yaitu language
disorder lebih tepatnya mengalami apraksia lisan.
c. Tinjauan Teoritis
Gangguan bahasa atau language disorder merupakan masalah terkait
penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, seperti bahasa isyarat atau kata yang
diucapkan individu, atau memahami apa yang dikatakan orang lain. Gangguan
bahasa ini biasanya berpengaruh pada kosakata dan tata bahasa, yang membatasi
kecakapan atau kapasitas wacana individu. Pada awal (onset), ukuran kosa kata
yang lebih kecil dan kurang variasi dari apa yang diharapkan; kata-kata dan frasa
pertama anak kemungkinan akan terlambat; dan kalimat lebih pendek dan kurang
kompleks disertai tata bahasa yang salah (grammatical errors).
Terdapat kriteria diagnostik mengenai gangguan bahasa menurut DSM V, yaitu:
a) Kesulitan individu secara terus-menerus dalam perolehan dan penggunaan
bahasa lintas modalitas (lisan, tertulis, bahasa isyarat, dan lain-lain), yang
dikarenakan defisit pemahaman yang meliputi hal berikut:
● Pengurangan kosa kata (pengetahuan dan penggunaan kata)

5
● Terbatasnya struktur kalimat (kemampuan meletakkan kata dan akhiran
kata bersama agar membentuk satu kalimat sesuai kaidah tata bahasa dan
morfologi)
● Gangguan dalam wacana (kemampuan penggunaan kosakata dan
penyambungan kalimat guna menjelaskan atau menggambarkan topik,
rangkaian peristiwa, atau melakukan percakapan)
b) Kemampuan bahasa individu secara substansial dan terukur di bawah usia
yang diharapkan, sehingga menyebabkan keterbatasan fungsional dalam
komunikasi efektif, partisipasi sosial, prestasi akademik, atau kinerja
pekerjaan, baik secara individu maupun dalam kombinasi
c) Gejala muncul pada masa perkembangan awal individu
d) Kesulitan tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran atau sensorik,
disfungsi motorik, kondisi medis atau neurologis dan tidak lebih baik
dijelaskan oleh disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
atau keterlambatan perkembangan global individu.
Salah satu sebab-sebab gangguan perkembangan bicara dan bahasa dapat
muncul adalah apraksia lisan. Apraksia lisan merupakan gangguan motorik wicara
individu yang dapat terjadi pada berbagai usia. Pada anak, penyebab dari
gangguan ini masih dipelajari lebih lanjut dan pada beberapa kasus gangguan ini
disebabkan oleh hambatan suplai oksigen ke otak bayi saat persalinan.
Anak dengan apraksia lisan mengalami kesulitan merencanakan dan
menghasilkan urutan gerak organ wicara yang tepat dan sesuai untuk ekspresi
yang dapat dipahami lawan bicara (Apraxia-Kids, dalam Indah, 2005). Apraksia
lisan memiliki beberapa tingkatan, ringan, sedang dan berat. Hambatannya adalah
menggerakkan motorik organ wicara seperti lidah, bibir, lahang, dan langit-langit
lunak karena kesulitan dalam pemrograman bahasa di otak.
Untuk menegakkan diagnosa apraksia lisan pada anak, Bowen (1998)
merekomendasikan observasi pada kemampuan wicara anak sebagai berikut:
1) Anak tidak mengucapkan kata, kosakata sedikit antara 100-200 kata. Ujaran
maksimal terdiri dari kombinasi dua kata.
2) Anak menunjukkan kesulitan mengucapkan kata, sedikit mencoba berbicara
tapi mudah frustasi.

6
3) Anak menggunakan isyarat atau gesture untuk berkomunikasi, termasuk
menggunakan ekspresi wajah dan gerak tubuh. Cenderung menirukan bunyi
(suara mobil, mesin, binatang, dll.)
4) Pemahaman bahasanya sangat bagus meskipun bahasa ekspresinya jauh
tertinggal.
5) Karakteristik tutur anak:
● Pengucapan kata tidak jelas, kecuali yang tingkat kesulitannya rendah
seperti kata ’no’
● Kesalahan pengucapan baik vokal maupun konsonan. Contoh: kata
‘milk’ diucapkan ‘meh’
● Pengucapan tidak konsisten. Contoh: kata ‘me’ diucapkan bervariasi
‘bee’, ‘nee’,’dee’.
● Pengucapan fonem yang benar pada satu kata tetapi tidak dapat
digunakan pada kata lain. Contoh: fonem /p/ diucapkan dengan benar
pada kata ‘poppy’ tapi ketika melafalkan kata ‘happy’ diucapkan ‘huh-
ee’.
● Ketika diminta menirukan kata, anak tampak ragu dan sulit memulai
● Tutur anak dengan intonasi dan pola penekanan yang aneh, banyak jeda.

2. Memilih Tes
a. Capute Scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical Linguistic & Auditory Milestone
Scale-CAT/CLAMS)
Capute Scales (CAT/CLAMS) merupakan suatu metode uji tapis spesifik
yang menilai kemampuan komunikasi dan fungsi kognitif pada anak berusia 0
sampai 36 bulan. Kegiatan identifikasi dini adalah salah satu fungsi integral dalam
pelayanan kesehatan dasar serta tanggung jawab semua profesional pelayanan
kesehatan anak. Karena itu, semua dokter anak diwajibkan memiliki kemampuan
dalam melaksanakan interpretasi alat skrining perkembangan yang reliable dan
valid. Capute scales merupakan salah satu alat skrining yang bisa menilai secara
akurat aspek-aspek perkembangan utama pada anak, termasuk komponen bahasa
dan visual-motor.

7
Capute Scales terdiri dari dua jenis pemeriksaan, yaitu cognitive adaptive
test (CAL) dan clinical linguistic and auditory milestone scale (CLAMS). Tes
CLAMS terdiri dari 29 milestones sekuensial sejak anak lahir hingga usia 36
bulan. Menurut Capute dkk (1986), CLAMS memiliki korelasi yang kuat dengan
Bayley Scales of Infant Development (BSID) dalam mengidentifikasi anak-anak
yang memiliki masalah kognitif. CAT/CLAMS memiliki set pengujian visual
motor yang ditambahkan dalam set pengujian skala bahasa untuk membedakan
gangguan bahasa, apakah gangguan tersebut merupakan gangguan tersendiri atau
gangguan komunikasi sebagai bagian dari gangguan kognitif global.
Dengan menggunakan Capute Scales, dokter bisa menilai perkembangan
anak secara akurat pada beberapa aspek perkembangan utama. Keberhasilan
pengukuran yang tepat dari aspek perkembangan akan membantu dalam
menegakkan diagnosis banding dari sebagian besar kategori utama gangguan
perkembangan yang dialami anak pada masa bayi dan kanak-kanak dini. Terdapat
beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Capute Scales, yaitu :
1. Usia ekuivalen atau age equivalent (AE) merupakan usia (dalam bulan) anak
yang berfungsi sesuai dengan perkembangan yang diuji. Usia ekuivalen bisa
ditentukan dari penambahan usia basal dengan total bobot nilai desimal (point
values) yang diperoleh dari tiap uji di atas usia basal yang mampu dilakukan
oleh anak.
2. Usia basal atau basal age merupakan usia tertinggi di antara tingkatan usia
seorang anak mampu menyelesaikan semua gugus tugas dengan benar.
3. Usia ceiling atau ceiling age merupakan usia termuda di antara tingkatan usia
seorang anak tidak mampu melakukan semua gugus tugas, atau dapat
dikatakan gugus tugas tertinggi apabila seorang dapat menyelesaikannya
dengan benar.
4. Usia kronologis atau chronological age (CA) merupakan usia (dalam bulan)
anak sebenarnya pada saat dilakukan uji.
5. Developmental quotient (DQ) merupakan skor yang menggambarkan
proporsi perkembangan anak normal pada usia tersebut. Secara aritmetika,
DQ dihitung dengan membagi AE dengan CA, dan dinyatakan dalam
persentase perkembangan yang diharapkan untuk usia kronologis.

8
6. Expressive language quotient (ELQ) merupakan usia ekuivalen pada
expressive language milestone dibagi dengan CA lalu dikali dengan 100.
7. Receptive language quotient (RLQ) merupakan usia ekuivalen pada receptive
language milestone dibagi dengan CA lalu dikalikan dengan 100.
8. Language quotient (LQ) merupakan total usia ekuivalen bahasa dibagi
dengan usia kronologis (CA) dan dikalikan dengan 100. LQ merupakan
sinonim dari CLAMS DQ.
9. Problem solving (cognitive/adaptive) quotient merupakan total visual motor
(problem solving) age equivalent dibagi dengan usia kronologis (CA) lalu
dikalikan dengan 100. Ini merupakan sinonim dari CAT DQ.
10. Full scale (composite) developmental quotient (FSDQ) merupakan nilai
rerata CAT DQ dan CLAMS DQ, yaitu untuk mengetahui kemampuan
keseluruhan pada anak.
Berikut adalah petunjuk umum untuk pelaksanaan Capute Scales
1. Mempersiapkan alat (kit) yang terdiri dari cincin merah dengan tali, kartu
bergambar yang sudah dilaminasi, cangkir, gelas atau mangkok, pegboard
dengan peg, lonceng, kain, krayon, tongkat 8 inci (20 cm), panel transparan,
formboard dengan berbagai bentuk, cheerios atau serela lain yang kecil dan
berbentuk bulat.
2. Teknik pelaksanaan
a. Menentukan perkiraan usia perkembangan anak saat pengujian.
b. Memperkirakan usia perkembangan, apakah dapat dilakukan dengan
kuisioner pra-skrining perkembangan (KPSP) dan Denver II.
c. Pemeriksaan gugus tugas dimulai dari dua tingkatan usia lebih rendah
dari perkiraan usia perkembangan anak (usia basal).
d. Melanjutkan uji hingga tercapai tingkatan usia perkembangan yang
tertinggi (usia ceiling).
e. Semua respon terhadap penilaian dicatat dalam lembar penilaian
- gunakan “lulus” jika anak mampu/dilaporkan oleh orang tua
mampu melakukan gugus tugas dengan benar.
- gunakan “gagal” jika anak tidak mampu/dilaporkan oleh orang tua
tidak mampu melakukan gugus tugas dengan benar.

9
f. Setiap gugus tugas memiliki bobot nilai tertentu.
g. Menjumlahkan nilai gugus yang mampu dilakukan anak di antara usia
basal dan usia ceiling.
h. Menentukan usia basal, melakukan pemeriksaan gugus tugas mulai dari
usia perkiraan ke arah tingkatan usia yang lebih muda hingga ditemukan
dua tingkatan usia, di mana anak mampu melakukan semua gugus
tersebut.
i. Menentukan usia ceiling, melakukan pemeriksaan semua gugus tugas
yang ada di atas tingkatan usia basal, hingga ditemukan tingkatan usia di
mana anak tidak mampu melakukan semua gugus tugas di satu tingkatan.
j. Menghitung usia ekuivalen, usia basal ditambah dengan total bobot nilai
desimal dari gugus tugas di atas usia basal yang mampu dilakukan oleh
anak.
k. menghitung DQ, yaitu usia ekuivalen dibagi usia kronologis, lalu
dikalikan dengan 100.
l. Menginterpretasikan nilai DQ, yaitu sebagai berikut :
- Normal, dikatakan anak berkembang secara normal jika DQ pada
kemampuan bahasa dan visual motornya > 85, dengan demikian
FSDQ juga > 85.
- Suspek, dikatakan seperti itu jika DQ pada suatu atau kedua aspek
berada di antara 75-85. Anak yang suspek harus dipantau dengan
ketat.
- Retardasi mental, dikatakan anak mengalami retardasi mental jika
kedua aspek (bahasa dan visual motor) menghasilkan DQ < 75.
- Gangguan komunikasi (communication disorder), dikatakan
mengalami gangguan komunikasi jika aspek bahasa terlambat
(delayed), namun aspek visual motor berada dalam batas normal
(DQ > 85),.

10
b. Denver Developmental Screening Test (DDST-II)
Denver Developmental Screening Test merupakan metode pengkajian
yang digunakan secara luas untuk mengetahui perkembangan anak pada usia 0-6
tahun. Test ini dinamakan ‘Denver’ karena dibuat di University of Colorado
Medical Center di Denver. Denver test merupakan tes skrining pada untuk
mengetahui adanya masalah kognitif dan perilaku pada anak prasekolah yang
dikembangkan oleh William K. Frankenburg dan J.B. Dodds pada tahun 1967.

11
DDST mengalami beberapa kali revisi dan revisi terakhir dikenal dengan Denver
II yang merupakan revisi dari DDST dan DDST-R (Revised Denver
Developmental Screening Test).
Deteksi penyimpangan perkembangan pada bayi sulit dilaksanakan
dengan pemeriksaan fisik rutin. Karena itu, DDST dikembangkan untuk
membantu para petugas kesehatan dalam mendeteksi masalah perkembangan
anak usia dini. Menurut Frankenburg, tujuan utama dari DDST bukan untuk
menetapkan diagnosis akhir, tetapi tujuan utamanya adalah sebagai metode cepat
untuk mengidentifikasi anak-anak yang memerlukan evaluasi lebih lanjut. Denver
II dapat dilaksanakan untuk beberapa tujuan, yaitu :
1. Menilai tingkat perkembangan anak sesuai dengan usianya.
2. Menilai tingkat perkembangan anak yang tampak sehat.
3. Menilai tingkat perkembangan anak yang tidak menunjukkan gejala,
kemungkinan adanya kelainan perkembangan.
4. Memastikan anak yang diduga mengalami kelainan perkembangan.
5. Memantau anak yang berisiko mengalami kelainan perkembangan.
Denver II bukan tes IQ dan bukan alat peramal kemampuan adaptif atau
intelektual pada masa mendatang. Test ini juga tidak digunakan untuk
menetapkan diagnosis seperti kesukaran belajar, gangguan bahasa, gangguan
emosional, dan sebagainya. Denver II lenin diarahkan untuk membandingkan
kemampuan perkembangan anak dengan anak lainnya dengan usia yang sama,
bukan sebagai pengganti evaluasi diagnostik atau pemeriksaan fisik. Tes ini tidak
memiliki kriteria kesimpulan hasil perkembangan anak “abnormal”, namun yang
ada hanyalah “normal”, “tersangka”, dan “tak dapat diuji”.
Dalam lembar Denver II terdapat 125 item tugas perkembangan sesuai
dengan usia anak-anak dimulai dari usia 0 sampai 6 tahun. Setiap tugas
digambarkan dalam bentuk kotak persegi panjang horizontal yang berurutan
menurut umur. Item-item tersusun dalam formulir dan dikategorikan menjadi 4
sektor, yaitu :
1. Sektor Personal-Sosial, merupakan penyesuaian diri di masyarakat dan
kebutuhan pribadi.

12
2. Sektor Motorik Halus-Adaptif, merupakan koordinasi mata dan tangan,
kemampuan untuk menggunakan benda yang kecil, serta pemecahan
masalah.
3. Sektor Bahasa, merupakan kemampuan mendengar, mengerti, dan
menggunakan bahasa.
4. Sektor Motorik Kasar, merupakan kemampuan untuk duduk, berjalan, dan
melakukan gerakan umum yang menggunakan otot besar lainnya.

Pada formulir Denver di atas, terdapat 125 tugas perkembangan menurut


usia pada halaman depan dan terdapat pedoman tes untuk item tertentu pada
halaman belakang. Pada garis horizontal paling atas dan paling bawah terdapat
skala usia dalam bulan dan tahun, dimulai dari anak lahir hingga usia 6 tahun.
Pada usia 0-24 bulan, jarak antara 2 tanda atau garis tegak kecil adalah 1 bulan.
Setelah usia 24 bulan, jarak antara 2 tanda adalah 3 bulan. terdapat 125 item yang

13
digambarkan dalam bentuk persegi panjang dan ditempatkan dalam neraca usia.
Item ini menunjukkan 25%, 50%, 75%, dan 90% dari seluruh sampel standar anak
normal yang mampu melaksanakan tugas tersebut. Contohnya, item”menggosok
gigi tanpa bantuan” memiliki makna sebagai berikut :
1. 25% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa bantuan di usia <
33 bulan (2 tahun 9 bulan).
2. 50% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa bantuan di usia 42
bulan (3 tahun 6 bulan).
3. 75% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa bantuan di usia 51
bulan (4 tahun 3 bulan).
4. 90% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa bantuan di usia <
63 bulan (5 tahun 3 bulan)
Ada beberapa kotak yang memiliki catatan kecil angka seperti 1, 2, dan 3
yang menunjukkan bahwa item tersebut membutuhkan petunjuk khusus yang
harus dilihat di bagian belakang lembar tes sesuai dengan angka yang tertulis.
Selain itu, terdapat huruf “L” pada beberapa kotak yang menandakan bahwa item
tersebut bisa dinilai LULUS/LEWAT berdasarkan laporan dari orang tua atau
pengasuh anak.
Dalam pelaksanaan tes Denver II, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1. Semua item harus diuji sesuai dengan prosedur yang terstandarisasi (sesuai
pedomen pelaksaaan tes per item).
2. Perlu kerja sama aktif dari anak karena anak harus merasa tenang, aman,
senang, sehat (tidak lapar, tidak mengantuk, tidak haus, dan tidak rewel).
3. Harus terbina kerja sama yang baik antara kedua belah pihak. Dimulai dengan
berkenalan terlebih dahulu dengan orang tua, lalu mendekati anak agar ia
merasa lebih nyaman dengan kehadiran orang baru.
4. Tersedia ruangan yang cukup luas, ventilasi baik, dan memberikan kesan
yang santai serta menyenangkan.
5. Orang tua harus mengetahui bahwa tes ini bukan tes kepandaian (IQ),
melainkan tes untuk melihat perkembangan anak secara keseluruhan. Orang

14
tua harus diberi tahu bahwa anak tidak selalu mampu melaksanakan semua
tugas yang diberikan.
6. Item tes disajikan secara fleksibel, namun lebih dianjurkan untuk mengikuti
petunjuk berikut :
- item yang kurang memerlukan keaktifan anak sebaiknya didahulukan,
seperti sektor personal-sosial, lalu dilanjutkan dengan sektor motorik
halus-adaptif.
- item yang lebih mudah didahulukan. Anak harus diberi pujian jika
mampu menyelesaikan tugas dengan baik, juga ketika ia mampu
menyelesaikan tugas namun kurang tepat. Ini bertujuan agar anak tidak
segan melanjutkan tes berikutnya.
- item dengan alat sama sebaiknya dilakukan secara berurutan agar lebih
efisien.
- hanya alat yang digunakan yang diletakkan di atas meja.
- pelaksanaan tes pada bayi dalam posisi berbaring sebaiknya dilakukan
secara berurutan.
- pelaksanaan tes pada semua sektor dimulai dari item yang terletak di
sebelah kiri garis umur, lalu dilanjutkan ke item di sebelah kanan garis
umur.
7. Jumlah item yang dinilai bergantung pada lamanya waktu yang tersedia, yang
penting pelaksanaannya mengacu pada tujuan tes, yaitu mengidentifikasi
perkembangan anak dan menentukan kemampuan anak yang relatif lebih
tinggi.
Terdapat beberapa alat pokok yang dibutuhkan dalam penerapan Denver II, yaitu :
1. Benang wol merah,
2. Icik-icik dengan gagang kecil,
3. Boneka kecil dengan botol susu,
4. Cangkir kecil dengan pegangan,
5. Kubus (dengan rusuk 2,5 cm) berjumlah 8 buah, berwarna merah, biru, kuning,
dan hijau masing-masing 2 buah,
6. Botol kecil berwarna bening dengan tutup berdiameter 2 cm,

15
7. Manik-manik (dalam penerapannya ada yang mengganti manik dengan kismis
atas pertimbangan tertentu),
8. Lonceng kecil,
9. Bola tenis,
10. Pensil merah, dan
11. Kertas folio berwarna putih.
Selain peralatan pokok, pelaksanaan tes Denver II memerlukan peralatan tambahan
sebagai penunjang, seperti :
1. Jika memungkinkan, disediakan 1 meja dan 3 kursi berukuran kecil untuk
tempat tes.
2. Ruangan yang cukup luas untuk melakukan tes motorik kasar.
3. Meja khusus dengan kasur atau selimut untuk tempat pemeriksaan bayi.

c. Panduan Observasi
Menurut Arikunto (2006) observasi adalah mengumpulkan data atau
keterangan yang harus dijalankan dengan melakukan usaha-usaha pengamatan
secara langsung ke tempat yang akan diselidiki. Sedangkan menurut Kamus
Ilmiah Populer (dalam Suardeyasasri, 2010) kata observasi berarti suatu
pengamatan yang teliti dan sistematis, dilakukan secara berulang- ulang. Metode
observasi seperti yang dikatakan Hadi dan Nurkancana (dalam Suardeyasasri,
2010) adalah suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis baik secara langsung
maupun secara tidak langsung pada tempat yang diamati.
No. Karakteristik Checklist
1. Pengucapan kata tidak jelas
2. Kesalahan pengucapan baik vokal maupun
konsonan
3. Pengucapan tidak konsisten
4. Pengucapan fonem yang benar pada satu kata
tetapi tidak dapat digunakan pada kata lain
5. Ragu ketika diminta menirukan kata
6. Penggunaan intonasi dan penekanan yang tidak
sesuai
7. Kosakata tergolong sedikit (100-200 kata)

16
8. Menggunakan isyarat atau gestur dalam
berkomunikasi (ekspresi wajah dan gerak tubuh)
9. Pemahaman bahasanya sangat baik meskipun
bahasa ekspresinya jauh tertinggal

d. Panduan Wawancara
Wawancara adalah situasi berhadap-hadapan antara pewawancara dan
responden yang dimaksudkan untuk menggali informasi yang diharapkan, dan
bertujuan mendapatkan data tentang responden dengan minimum bias dan
maksimum efisiensi (Singh, 2002). Sementara Steward & Cash (1982)
mendefinisikan wawancara sebagai sebuah proses komunikasi dyad
(interpersonal), dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, bersifat serius,
yang dirancang agar tercipta interaksi yang melibatkan aktivitas bertanya dan
menjawab pertanyaan.
Panduan wawancara sebagai berikut:

Interview Guide Subjek

Identitas Subjek
Hubungan dengan Subjek: Ibu

Opening ● Mengucapkan salam


● Menjelaskan maksud dan tujuan interview
● Menanyakan kabar (rapport)
● Menjelaskan bahwa informasi pribadi akan dijaga
kerahasiaannya

Body ● Bagaimana perkembangan komunikasi Ola pada saat ini?


● bagaimana perasaan Ibu ketika mengetahui bahwa ola
terkena apraksia ?
● Bagaimana cara Ibu berkomunikasi dengan Ola pada
keseharian?
● Bagaimana cara Ibu berkomunikasi kepada Ola ketika
mengetahui Ola mengalami keterlambatan bicara ?
● Apa saja permasalahan yang dialami ketika mengajarkan
Ola berbicara?
● Ketika ibu mengajarkan komunikasi kepada ola dan
mengalami permasalahan, bagaimana cara Ibu untuk
menanggulangi masalah tersebut?

17
Closing ● Mengucapkan terima Kasih atas ketersediaan subjek
● Mengucapkan salam
● Mengucapkan selamat menjalani aktivitas selanjutnya.

Interview Guide Subjek

Identitas Subjek
Hubungan dengan subjek: Ayah

Opening ● Mengucapkan salam


● Menjelaskan maksud dan tujuan interview
● Menanyakan kabar (rapport)
● Menjelaskan bahwa informasi pribadi akan dijaga
kerahasiaannya

Body ● Bagaimana perkembangan komunikasi Ola pada saat ini?


● bagaimana perasaan Bapak ketika mengetahui bahwa ola
terkena apraksia ?
● Bagaimana cara Bapak berkomunikasi dengan Ola pada
keseharian?
● Bagaimana cara Bapak berkomunikasi kepada Ola ketika
mengetahui Ola mengalami keterlambatan bicara ?
● Apa saja permasalahan yang dialami ketika mengajarkan
Ola berbicara?
● Ketika ibu mengajarkan komunikasi kepada ola dan
mengalami permasalahan, bagaimana cara Bapak untuk
menanggulangi masalah tersebut?

Closing ● Mengucapkan terima Kasih atas ketersediaan subjek


● Mengucapkan salam
● Mengucapkan selamat menjalani aktivitas selanjutnya.

Interview Guide Subjek

Identitas Subjek
Hubungan dengan subjek : Guru Ola

Opening ● Mengucapkan salam


● Menjelaskan maksud dan tujuan interview

18
● Menanyakan kabar (rapport)
● Menjelaskan bahwa informasi pribadi akan dijaga
kerahasiaannya

Body ● Bagaimana interaksi Ola dengan temannya di sekolah?


● Apakah Ola aktif di sekolahnya ?
● Apakah terdapat perbedaan cara para guru untuk
berkomunikasi dengan Ola?
● Apakah para guru membimbing dan juga mengajarkan Ola
untuk mengatasi apraksia yang dialami?

Closing ● Mengucapkan terima Kasih atas ketersediaan subjek


● Mengucapkan salam
● Mengucapkan selamat menjalani aktivitas selanjutnya.

3. Menyelenggarakan Tes
Tanggal Metode Asesmen Tujuan Subjek Tempat
Pertemuan 1 Wawancara • Mengetahui • Ayah • Rumah Ola
informasi • Ibu • Sekolah
mengenai • Guru Ola
kegiatan sehari- TK
hari subjek yang
diteliti.
• Mengetahui
apakah terdapat
tanda-tanda
kelainan pada
masa kehamilan.
Pertemuan 2 Observasi • Untuk melihat • Ola • Rumah Ola
perilaku subjek
ketika sedang
berkomunikasi
dengan orang
lain.

19
Pertemuan 3 Capute Scales • Mengetahui • Ola • Rumah Ola
(Cognitive kesalahan
artikulasi pada
Adaptive
subjek.
Test/Clinical • Mengetahui
Linguistic & berapa banyak
kosakata yang
Auditory Milestone
telah dikuasai
Scale- subjek.
CAT/CLAMS)
Pertemuan 4 Denver • Melihat • Ola • Rumah Ola
Development perkembangan
Screening Test bahasa Subjek
(DDST-II)

4. Integrasi Data
Berdasarkan hasil asesmen, hipotesis awal yaitu subjek memenuhi kriteria
DSM-V berupa language disorder atau lebih tepatnya apraksia lisan. Subjek
merupakan individu yang mengalami keterlambatan bicara yang ditunjukkan dengan
kemampuan individu yang baru dapat mengucapkan dua patah kata pada usia lebih
dari 2 tahun. Subjek juga mengalami kesulitan dalam mengikuti aktivitas verbal-lisan
dan melakukan kesalahan artikulasi saat berbicara. Sehingga hipotesis awal dapat
dianggap benar.

5. Menulis Laporan Asesmen


Hasil laporan asesmen ini ditujukan kepada ayah, ibu, dan guru TK. Laporan
asesmen ini menjelaskan bahwa subjek merupakan individu dengan gangguan
bahasa, khususnya apraksia lisan.

6. Memberi Feedback
Rancangan intervensi yang akan kami lakukan berupa terapi wicara, terapi
musik, dan terapi bermain. Penjabaran tentang terapi-terapi tersebut akan dijelaskan
pada rancangan intervensi.

20
B. RANCANGAN INTERVENSI
1. Terapi Wicara
Terapi wicara adalah terapi yang diberikan guna melatih kemampuan anak
dalam menyampaikan informasi melalui kemampuan verbal atau oral dengan
menggunakan berbagai media (Ernawati, 37 2012). Mudjito (2014) mengatakan
bahwa terapi wicara merupakan suatu cara atau teknik pengobatan terhadap suatu
kondisi patologis di dalam menginterpretasikan ide, pikiran dan perasaan ke bentuk
ekspresi verbal atau media komunikasi secara oral. Tujuan dari terapi wicara ini
adalah sebagai usaha perbaikan kondisi berbicara suatu individu yang mengalami
gangguan dalam bahasa dan bicara untuk dapat mengeluarkan ide-ide yang ada
dalam bentuk kata-kata serta penguasaan bahasa.
Menurut Sardjono dalam (Handayani, 2007) Terdapat tujuh metode terapi
wicara (speech therapy), antara lain; metode babbling, metode imitasi, metode
analogi, metode manipulasi, metode diagram, metode visual, serta metode auditif,
tactil dan motor kinesthetic. Berdasarkan kasus, dari tujuh metode yang ada dalam
terapi wicara ini, terdapat empat metode yang sesuai dengan kondisi subjek yaitu:
● Metode Babbling, anak diminta untuk mengucapkan bunyi-bunyi (ngoceh)
secara random, yang bertujuan melatih keaktifan anak dalam penyesuaian dri
dengan suasana baru serta menyeleksi suatu bunyi yang anak utarakan.
● Metode Imitasi, klien menirukan bunyi suku-suku kata yang diucapkan speech
therapist. Disamping itu, terapis akan memberikan arahan dalam meyakinkan
huruf-huruf yang diucapkan klein yang kurang sempurna atau salah.
● Metode Analogi, klien diminta untuk mengucapkan bunyi-bunyi atau kata-kata
dengan didahului oleh bunyi atau kata yang mudah dan mempunyai dasar bunyi
yang sama. Misalnya, pengucapan huruf “d” didahului dengan latihan
pengucapan huruf “b”.
● Metode Manipulasi, penggunaan media alat sebagai penggambaran suatu huruf.
Misalnya, untuk jari telunjuk menggambarkan huruf b maupun jari d
menggambarkan huruf d.

Terapi wicara ini memiliki tiga tahapan dalam pelaksanaannya, meliputi (1)
Pengumpulan data dengan melalui wawancara pengamatan dan melakukan tes,
setelah itu dilakukan pengolahan yaitu menganalisis data dan menetapkan diagnosa.

21
(2) Menetapkan metode atau tujuan dengan hasil dari tahapan persiapan. (3)
Evaluasi, pada tahap ini dilakukan pembahasan hasil terapi dan langkah selanjutnya.

2. Terapi Musik
Terapi musik merupakan tipe terapi nonverbal yang menggunakan
pemanfaatan musik sebagai media terapi. Terapi musik memiliki lima keunggulan
yaitu memberi peluang berpikir serta merasakan secara langsung, memberi peluang
“mengisi” perasaan untuk beberapa periode sehingga bisa dieksplorasi, diuji, dan
diolah lewat kerja sama dengan terapis, mengkondisikan ekspresi pikiran dan
perasaan klien secara non verbal, diperoleh perumpamaan dan asosiasi yang tidak
dapat diakses melalui pemahaman verbal, diperoleh keuntungan fisiologis secara
langsung melalui kebebasan bereksplorasi dan mencoba berbagai solusi terhadap
pikiran dan perasaan melalui cara-cara yang kreatif (Djohan, 2003: 190-191).
Terdapat beberapa proses penerapan terapi musik, yaitu kegiatan
bernyanyi, kegiatan bermain musik, kegiatan gerakan-gerakan ritmis, serta
mendengarkan musik. Berdasarkan kasus, dari empat proses penerapan terapi musik
ini, penerapan kegiatan bernyanyi merupakan kegiatan yang sesuai dengan kondisi
subjek. Kegiatan bernyanyi ini dapat dilakukan untuk membantu individu yang
mengalami gangguan artikulasi pada kemampuan bahasa, irama, dan kontrol
pernafasan. Melalui kegiatan bernyanyi bersama dapat digunakan untuk
meningkatkan sikap perhatian individu kepada orang lain. Sedangkan, dari lirik lagu
dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman individu akan kosa kata dari lirik
lagu tersebut.

3. Terapi Bermain
Landreth (2001) mengatakan bahwa terapi bermain merupakan salah satu
sarana yang digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi
anak bermain adalah simbol verbalisasi. Terapi bermain bertujuan untuk
menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri mereka,
memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari aturan sosial dan mengatasi
masalah mereka, serta memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan
mencoba sesuatu yang baru. Berikut teknik terapi bermain yang sesuai dengan kasus:

22
a. Permainan mencocokan huruf alfabet
Permainan ini akan menyenangkan untuk anak serta dapat membantu anak
dalam mengenali dan belajar huruf alfabet, serta memperkenalkan huruf besar
dan huruf kecil dan mencocokannya kedalam teka-teki yang menarik. Tujuan
dari permainan ini adalah anak mampu mengenali huruf alfabet, huruf besar dan
huruf kecil alfabet, melatih memori otak atau daya ingat anak, mengenalkan
warna-warna di huruf pada anak, serta mengembangkan kemampuan berpikir
dan konsentrasi anak.
b. Bermain membaca dan mengenal simbol atau gambar
Permainan ini merupakan bentuk permainan edukatif yang dilakukan
oleh anak mulai usia Toddler (1-3), sehingga dapat dilakukan karena subjek pada
kasus sudah berumur 5 tahun. Pada permainan ini pula, anak akan dikenalkan
berbagai macam simbol yang ada dilingkungan sekitar mereka, serta anak juga
akan menghafal simbol tersebut secara tidak langsung sehingga tingkat kognitif
dan sosial anak sudah terlatih sejak dini melalui permainan ini. Tujuan dari
permainan ini yaitu mengenalkan simbol-simbol pada anak serta melatih
kognitif (daya ingat) anak.
c. Bercerita
Secara psikologis membaca atau bercerita merupakan salah satu bentuk
bermain yang paling sehat. Kebanyakan anak kecil lebih menyukai cerita tentang
orang dan hewan yang dikenalnya. Selain itu karena anak kecil cenderung
egosentrik mereka menyukai ceritera yang berpusat pada dirinya. Mula-mula
anak-anak suka cerita imajinatif yang khayal kemudian seiring dengan
berkembangnya kecerdasan dan pengalaman sekolah anak yang lebih besar
menjadi realistik, dan minat anak pun beralih ke cerita petualangan, kekerasan,
kemewahan dan cinta serta pendidikan.

Terapi Bermain memiliki pendekatan terpadu yang meliputi:


● Relating, terapis hendaknya dapat mengembangkan suasana yang hangat
dan permisif, namun tetap dapat membantu anak bertanggungjawab
terhadap tingkah lakunya dan mengajar anak bagaimana cara yang lebih
baik untuk memenuhi kebutuhannya.

23
● Releasing, dalam terapi bermain yang aman dan dijaga, anak dapat
mengekspresikan pikiran dan emosinya yang selama ini disembunyikan.
● Recreating, anak menciptakan kembali kejadian-kejadian yang lalu,
kejadian-kejadian sekarang dan pengalaman-pengalaman perasaan yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tersebut.
● Reexperiencing, anak-anak mulai mengembangkan pengertian kejadian-
kejadian masa lalu dan menghubungkan pengertian itu dengan pikiran,
perasaan dan tingkah laku sekarang.
● Resolving, anak memperoleh pengertian bahwa dia mempunyai masalah dan
bereksperimen dengan berbagai pemecahan ataupun mengembangkan
keterampilan anak dalam menghadapi masalah.

Pelaksanaan sesi terapi bermain ini memiliki tiga langkah, yaitu (1)
pembuatan rancangan treatment (dari asesmen subjek), (2) pelaksanaan
treatment (ada kontrol dan batasan dalam pelaksanaan treatment, salah satunya
memastikan bahwa alat-alat permainan aman dimainkan anak-anak), (3)
Evaluasi treatment (berkaitan dengan apakah terapi efektif atau kurang efektif).

24
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani, K. (2019). Pelaksanaan Terapi Wicara bagi Anak Tunagrahita di Autis Center
Provinsi Bengkulu. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.

Kiki Joesyiana. (2018). PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN OBSERVASI


LAPANGAN (OUTDOOR STUDY) PADA MATA KULIAH MANAJEMEN
OPERASIONAL (Survey pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Semester III
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Persada Bunda). PeKA: Jurnal Pendidikan Ekonomi
Akuntansi FKIP UIR Vol 6 No 2 Tahun 2018 P- ISSN: 2337-652x | E-ISSN: 2598-
3253
Lazuardi, N. A. (2016). Hubungan Perkembangan Kemampuan Kognitif Adaptif dengan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Laporan Hasil Penelitian Karya
Tulis Ilmiah. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Lukman Nul Hakim. (2013). ULASAN METODOLOGI KUALITATIF:
WAWANCARA TERHADAP ELIT. Aspirasi Vol. 4No. 2, Desember 2013
Nugroho, Heru Santoso Wahito. Petunjuk Praktis Denver Developmental Screening Test.
Penerbit Buku Kedokteran, Accessed 28 10 2021.

Raharjo, E. (2007). Musik sebagai Media Terapi. Journal of Arts Research and
Education, 8 (3). Doi: https://doi.org/10.15294/harmonia.v8i3.772

Rohmah, N. (2018). Terapi Bermain. LPPM Universitas Muhammadiyah Jember.

Zellawati, A. (2011). Terapi Bermain untuk Mengatasi Permasalahan pada Anak.


Majalah Ilmiah INFORMATIKA, 2 (3).

25

Anda mungkin juga menyukai