Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menentukan apakah perilaku seorang anak itu abnormal tergantung pada
harapan kita tentang apa yang normal bagi seorang anak pada usia tertentu dalam
budaya tertentu (Nevid, Rathus, & Greene, 2018). Banyak gangguan perkembangan
neurologis (neurodevelopmental disorder) pada DSM-5. Gangguan ini melibatkan
pelemahan fungsi atau perkembangan otak yang memengaruhi perkembangan
psikologis, kognitif, sosial, atau emosional anak. Kategori gangguan mental tersebut
meliputi gangguan spektrum autisme, disabilitas , gangguan belajar spesifik,
gangguan belajar spesifik, gangguan komunikasi, gangguan pemusatan-
perhatian/hiperaktivitas (ADHD). Menurut Callanan dkk.(dalam Navid dkk,2018)
karena anak-anak jarang melabeli perilakunya sebagai abnormal, maka defenisi
normalitas sangat bergantung pada bagaimana perilaku anak dilihat dari kacamata
budaya tertentu.
Film The Black Balloon (2008). Autistic menjadi isu utama dalam film ini
karena mental terbelakang yang disebablan jaringan otak tidak berkembang dengan
sempurna. Penderita autistic memiliki dunianya sendiri, tanpa bisa mengontrol semua
tindakan yang mereka lakukan. Baik dan buruk tidak begitu bisa mereka bedakan,
karena perkembangan jaringan otaknya yang lambat atau bahkan berhenti. Sebagian
penderita penyakit ini tidak mampu membedakan mana yang baik untuk dilakukan,
mana yang tidak. Ini juga tergantung pada tingkat perkembangan otak mereka. Seperti
dalam film ini, Charlie Mollison (Luke Ford) merupakan penderita autistik yang
perkembangan otaknya hanya sampai pada usia balita, padahal secara fisik dia terlihat
seperti remaja berusia 18 tahun. Tentu dia berkembang dengan tubuh layaknya orang
dewasa namun perkambangan otak yang dimiliki hanya memiliki kapasitas berpikir
tidak lebih dari anak usia 5 tahun, Charlie begitu merepotkan keluarganya. Tidak saja
anggota keluarga dibuat gelisah olehnya, termasuk orang-orang sekitar. Ini yang
kemudian menjadi dilema berat untuk keluarganya. Bagaimana menghadapi sikap
sinis, olok-olok, merendahkan dan bahkan menghina dari orang lain.
Thomas Mollison (Rhys Wakefield), harus berbesar hati dengan keadaan
saudaranya. Tidak mudah bagi Thomas untuk menghadapi ini. Dengan usia yang

1
tidak jauh dari Charlie, secara fisik mereka berdua tidak memiliki badan yang jauh
berbeda. Tetapi dengan keadaan Charlie, Thomas diminta melihat hati nuraninya dan
ayah (Erik Thompson) memintanya berdamai dengan keegoisan demi Charlie.
Penderita autistik memiliki prilaku stimulasi diri seperti berputar-putar,
mengepak-ngepakkan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit, mengeryitkan bagian
hidung sepertisedang mengendus, dan sebagainya. Gejala ini ditampilkan detail dalam
film. Diperlihatkan juga Charlie begitu senang mengerakkan tangan sambil memukul-
mukulkan tongkat kayunyake lantai.
Ketika Thomas memulai berhubungan dengan Jackie (Gemma Ward), dia
berusaha menutupi kenyataan bahwa ia memiliki saudara yang menderita gangguan
autistik. Jackie kaget ketika pertama datang mengantar topi Charlie yang tertinggal
saat Charlie kabur dan masuk sembarangan ke rumahnya. Jackie melihat Charlie yang
mengacak-acak kotorannya sendiri. Tidak mudah bagi Thomas untuk membuka ‘aib’
ini pada Jackie. Perlahan Jackie mulai bisa merasakan kegelisahan jiwa Thomas yang
terpenjara dengan kondisi suadaranya itu dan alasan mengapa Thomas menutupi hal
tersebut.
Film ini mempertanyakan sejauh mana seorang manusia yang ‘normal’ bisa
berpikir dan bertindak sehat menghadapi seorang yang abnormal dan bahkan tidak
bisa berpikir. Tentu ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Memilih untuk
mementingkan diri sendiri dan menjadi pribadi yang tidak tahu sama sekali dengan
hal yang terjadi. Atau memilih untuk empati karena membawa diri menjadi pribadi
yang baik dengan memaklumi dan menerima dengan lapang dada seseorang yang
bahkan tidak bisa memakai pakaian sendiri.
Thomas akhirnya memilih Pilihan kedua yang akhirnya coba untuk berdamai.
Mencoba berdamai dengan keegoisannya. Mencoba memahami dan memaklumi
semua tindakan yang dilakukan Charlie tanpa pemikiran sama sekali dan menerima
keluarganya seutuhnya atas kekurangan yang dimiliki oleh Charlie.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan gangguan autisme dan spektrum autisme ?


2. Apa yang dimaksud dengan disabilitas intelektual ?
3. Apa yang dimaksud dengan gangguan pembelajaran ?

2
4. Apa yang dimaksud dengan gangguan komunikasi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi, jenis, penyebab, ciri-ciri dan penanganan terkait


gangguan autisme dan spektrum autisme.
2. Untuk mengetahui definisi, jenis, penyebab, dan penanganan terkait disabilitas
intelektual.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dan oenyebab terkait gangguan pembelajaran.
4. Untuk mengetahui definisi dan jenis terkait gangguan komunikasi.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Gangguan Autisme dan Spektrum Autisme


1. Pengertian
Autisme adalah gangguan pada anak yang ditandai munculnya gangguan
dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi
sosial, dan perilakunya. Autisme memang merupakan kelainan perilaku yang
penderitanya hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri (dalam
Veskarisyanti, Galih A. 2008)
Kata Autisme berasal dari bahasa Yunani “Autos”, yang berarti “self”.
Isitilah ini pertama kali digunkan pada tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugene
Blueler, untuk mengacu pada gaya berpikir yang aneh dari penderita skizofrenia.
Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri
sebagai pusat alam semesta dan percaya bahwa kejadian eksternal mengacu ke
diri sendiri (dalam Nevid, Jeffery S. 2014)
Kanner (1943) mengatakan bahwa anak-anak dengan disabilitas intelektual
tampak menutup diri dari semua masukan dari dunia luar, menciptakan semacam
“kesendirian autistik”
2. Gangguan Spektrum Autisme
A. Kekurangan yang presisten menyangkut komunikasi sosial dan interaksi sosial
pada berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh hal-hal sebagai berikut,
yang terjadi saat ini atau telah lalu (contoh dibawah ini hanya bersifat ilustratif,
tidak menyeluruh):
1) Kekurangan dalam hubungan timbal balik sosial-emosional, yang berkisar.
Contohnya mulai dari pendekatan sosial ynag abnormal dan kegagalan
melakukan percakapan bolak-balik yang normal, berkurangnya berbagai
minat, emosi, atau dampak, hingga gagal memulai atau merespon interaksi
sosial.
2) Kekurangan dalm perilaku komunikasi nonverbal yang digunakan untuk
interaksi sosial, yang berkisar. Contohnya mulai dari komunikasi verbal dan
nonverbal yang tidak terintegrasi dengan baik, kelainan pada kontak mata
dan bahasa tubuh atau kekurangan dalam memahami dan menggunakan

4
gerak tubuh (gestur), hingga hilangnya ekspresi wajah dan komunikasi
nonverbal.
3) Kekurangan dalam mengembangkan, menjaga dan memahami hubungan,
yang berkisar. Contohnya mulai dari kesulitan menyesuaikan perilaku agar
sesuai dengan konteks sosial , kesulitan dalam berbagai permainan
imajinatif atau dalam berteman, hingga tidak adanya minat terhadap teman
sebaya.
B. Pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas atau repititif seperti yang
ditunjukkan setidaknya dua dari hal berikut, yang terjadi saat ini atau telah lalu
(contoh dibawah ini hanya bersifat ilustratif, tidak menyeluruh):
1) Pergerakan motorik, penggunaan objek, atau bicara yang repetitif atau klies
(misalnya, stereotip motorik sederhana, menyusun mainan atau
membalikkan benda, ekolalia, idiosinkrasi dalam berbahasa).
2) Desakan akan hal yang sama, setia pada rutinitas yang kaku, atau pola
perilaku verbal dan nonverbal yang sudah diritualkan (misalnya, distress
yang ekstrem atas perbuatan kecil, kesulitan melakukan transisi, pola pikir
yang kaku, ritual salam, perlu mengabil rute yang sama atau makanan yang
sama setiap hari).
3) Minat yang sangat terbatas atau terpaku dengan intensitas atau fokus yang
tidak normal (misalnya, ikatan yang kuat atau tertarik dengan objek yang
tidak biasa, minat yang dibatasi secara berlebihan).
4) Hiperaktif atau Hiporeaktif terhadap input sensoris atau minat yang tidak
biasa dalam aspek sensoris lingkungan (misalnya, pengabaian yang tampak
nyata pada rasa sakit/suhu, respons negatif pada suara atau tekstur tertentu,
mencium atau menyentuh objek secara berlebihan, daya tarik visual
terhadap cahaya atau gerakan).
C. Simtom atau gejala harus muncul pada periode perkembangan awal (tetapi
mungkin tidak akan sepenuhnya sampai tuntutan sosial melebihi kpasitas yang
terbatas, atau mungkin disembunyikan dengan stategi yang akan dipelajari
nanti)
D. Simtom yang menyebabkan pelemahan yang signifikan secara klinis di bidang
sosial, pekerjaan atau area penting lain dari fungsi yang ada.
E. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh disabilitas intelektual
(gangguan perkembangan intelektual) atau keterlambatan pertumbuhan global.

5
Disabilitas intelektual dan gangguan spektrum autisme sering terjadi secara
bersamaan; untuk membuat diagnosis gangguan spektrum autisme dan
disabilitas intelektual, komunikasi sosial harus berada dibawah tingkat
pertumbuhan umum yang diharapkan.
Individu yang telah didiagnosis menderita gangguan autistik, gangguan
Asperger, atau gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan secara
spesifik dalam DSM IV harus didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme.
Individu yang mengalami kelemahan komunikasi sosial yang nyata, dimana
simtom-simtomnya tidak memenuhi kriteria gangguan spektrum autisme, harus
dievaluasi dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatik).
3. Tipe Autisme
Berikut ini merupakan tipe-tipe autisme (dalam Galih A. 2008):
a. Aloof, anak dengan tipe ini cenderung menarik diri dari kontak sosial dan
cenderung untuk menyendiri di pojok.
b. Pasisive, anak autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial
melainkan hanya menerimanya saja.
c. Active but odd, anak pada tipe ini melakukan pendekatan namun hanya berifat
satu sisi yang repetitif dan aneh.
4. Penyebab
Autisme dapat disebabkan karena adanya gangguan neurobiologis pada
susunan saraf pusat (otak). Biasanya gangguan ini terjadi dalam tiga bulan
pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak
sempurna. Penyebab gangguan otak ini bisa karena Virus (toxoplasmosis,
cytomegalo, rubela, dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke
janin. Bisa juga karena selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat
yang sangat polutif, yang meracuni janin (dalam Veskarisyanti, Galih A. 2008).
Ada juga penyebab lain yaitu dari faktor genetik dan ini masih diteliti,
pasalnya manusia banyak mengalami mutasi genetik, yang dapat terjadi karena
cara hidup yang semakin modern (penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-
hari, faktor udara yang semakin terpolusi).
Autisme yang melanda anak-anak sudah tampak sebelum anak tersebut
mencapai umur 3 tahun. Perkembangan yang terganggu pada anak yang
mengalami autisme adalah dalam bidang:
a. Komunikasi

6
Munculnya kualitas komunikasi yang tidak normal, ditunjukkan dengan:

1) Keterlambatan berbicara

2) Tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar


3) Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan
komunikasi dua arah
4) Anak tidak imajinatif dalam permainan/cenderung menonton
5) Bahasa yang selalu diulang-ulang
b. Interaksi Sosial

1) Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah


yang tidak berekspresi

2) Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi


kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.

3) Ketidakmampuan anak untuk berempati, dan mencoba membaca emosi


yang dimunculkan orang lain.

c. Perilaku
Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas.
Banyak pengulangan terus menerus dan stereotipik seperti:
1) Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna,
misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama,
menggosokkan kaki di keset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu
aktivitas tersebut terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat
tergangu dan menangis bahkan berteriak-teriak minta diulang.
2) Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku
yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir
seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam. Selain itu
munculnya suatu preokupasi dengan bagian benda/ mainan tertentu yang
tidak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan
bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
3) Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti
menggoyang-goyangkan badan, geleng-geleng kepla.
d. Gangguan Sensoris

7
1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
2) Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
3) Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan takut.
e. Pola Bermain
1) Tidak bermain pada anak-anak pada umumnya.
2) Tidak suka bermain dengan anak sebaya.
3) Tidak bermain sesuai fungsi mainan
4) Menyenangi benda-benda yang berputar.
5) Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang selalu dipegang dan
dibawa kemana-mana.
f. Emosi
1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa
alasan.
2) Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak
diberikan keinginan.
3) Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku menyakiti dirinya
sendiri, serta tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang
lain.
5. Ciri-Ciri Autisme
Menurut Leekan, Prior,& Uljarevic (2011) salah satu ciri utama autisme
adalah pergerakan stereotip yang repetitif dan tanpa tujuan, berulang-ulang
memutar benda, bertepuk tangan, berayun maju mundur dengan lengan memeluk
kaki. Mereka mungkin juga membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit
tangan dan bahu, atau menjambak rambut mereka. Mereka juga dapat menjadi
marah/tantrum atau panik secara tiba-tiba.

Ciri lain dari autisme adalah keengganan menerima perubahan lingkungan,


sebuah ciri yang disebut “penjagaan kesamaan” (preservation of sameness). Jika
ada objek yang dikenal digeser dari tempat biasanya, anak autistik dapat
mengamuk atau terus menangis sampai objek itu dikembalikan pada tempat
semula. Anak-anak autistik akan bersikeras untuk makan makanan yang sama
setiap harinya.

Ciri-ciri umum yang menonjol pada anak autisme adalah kesendirian anak.

8
Ciri-ciri lainnya meliputi:

a. Kekurangan yang signifikan dalam ketrampilan sosial, bahasa, serta


komunikasi dan perilaku ritualistik atau stereotip.
b. Enggan berbicara atau jika memiliki kemampuan berbahasa, biasanya
digunakan secara tidak lazim, seperti pada ekolalia (mengulang kembali apa
yang di dengar dengan nada suara yang tinggi yang monoton).
c. Penggunan kata ganti secara terbalik (menggunakan kata “kamu” atau “dia”
bukan “saya”).
d. Penggunaan kata-kata yang hanya dipahami oleh mereka yang memiliki
kedekatan dengan anak-anak tersebut.
e. Cenderung untuk menaikkan nada suara di akhir kalimat, seolah-olah sedang
bertanya. Komunikasi nonverbal juga bisa terganggu atau hilang.

Contoh, anak-anak autistik akan menghindari kontak mata dan tidak mau
menunjukkan ekspresi wajah. Mereka juga lambat dalam merespon terhadap
orang dewasa yang mencoba mendapatkan perhatiannya. Meskipun mereka tidak
responsif terhadap orang lain, mereka dapat menunjukkan emosi yang kuat,
terutama emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut.

6. Penanganan Autisme
Eikeseth dkk ( dalam Nevid dkk, 2018) meskipun autism belum dapat
disembuhkan, program perilaku yang internsif yang menerapkan prinsip-prinsip
pembelajaran di lingkungan anak dapat meningkatkan keterampilan belajar dan
Bahasa serta perilaku adaptif secara sosial pada anak-anak autistic secara
signifikan. Pendekkatan berdasarkan pembelajaran tersebut biasanya disebut
analisis perilaku terapan (applied behavior analysis-ABA) atau model
penanganan ABA.
B. Disabilitas Intelektual
1. Pengertian
Intellectual Disorder (DI) adalah gangguan pada individu yang memiliki
keterbatasan atau kekurangan yang signifikan dalam perkembangan fungsi
intelektual dan perilaku adaptif (seperti kurangnya keterampilan konseptual, sosial,
dan praktis dalam kehidupan sehari-hari). Anak anak yang memiliki yang
menderita ID cenderung memiliki kekurangan dalam berpikir secara nalardan

9
keterampilan memecahkan masalah, kemampuan berpikir abstrak, penilaian,
maupun prestasi sekolah (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
Disabilitas intelektual dimulai sebelum usia 18 tahun selama pertumbuhan
anak dan berlanjut selama hidupnya. Namun banyak anak yang menderita ID
kondisinya menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu, terutama saat mereka
mendapat dukungan, bimbingan, dan kesempatan pendidikan. Sebaliknya mereka
yang dibesarkan pada lingkungan yang kurang mendukung dapat menyebabkan
kondisinya memburuk.
Diagnosis ID didasarkan pada skor IQ yang rendah dan penurunan fungsi
adaptif yang terjadi sebelum usia 18 tahun, yang mengakibatkan penurunan fungsi
yang signifikan dalam memenuhi standar dan tanggung jawab sosial yang
diharapkan. Penurunan ini berdampak pada kesulitan melakukan tugas sehari-hari
dibandingkan dengan orang seusianya pada lingkup budaya tertentu, yang terbagi
menjadi 3 domain (Nevid, Rathus, & Greene, 2018):
a. Konseptual, keterampilan yang berhubungan dengan penggunaan
bahasa,membaca, menulis, berhitung, penalaran, ingatan, dan memecahkan
masalah
b. Sosial, di antaranya keterampilan terkait kesadaran akan pengalaman orang
lain, kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, dan
kemampuan menjalin hubungan yang erat dengan orang lain
c. Praktis, di antaranya kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri, memenuhi
tanggung jawab pekerjaan, mengatur keuangan)
2. Pengklasifikasian
Tingkat keparahan penderita ID bergantung fungsi adaptif anak, atau
kemampuan untuk memenuhi tuntutan yang diharapkan dari anak di sekolah atau
di rumah. Sebagian besar anak yang menderita ID (sekitar 85%) berada pada taraf
ringan. Anak-anak ini umumnya mampu memenuhi tuntutan akademis dasar
seperti membaca cerita sederhana. Setelah dewasa, mereka umumnya dapat
berfungsi secara independen, meskipun mungkin membutuhkan bimbingan dan
dukungan. Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai tingkat ID (Nevid,
Rathus, & Greene, 2018):
a. Ringan (Skor IQ 50-70)
Penderita pada usia prasekolah (0-5 tahun) sering tidak dianggap cacat secara
intelektual oleh orang biasa, tetapi lebih lambat dalam berbicara dan berjalan

10
ketimbang anak-anak lain. Pada usia sekolah (6-21 tahun) menguasai
keterampilan praktis serta keterampilan membaca dan aritmetika hingga kelas 3
sampai 6 SD dengan pendidikan khusus. Pada usia 21 tahun ke atas biasanya
dapat mencapai kemampuan vokasional yang meadai untuk merawat diri
(mungkin sesekali membutuhkan bimbingan).
b. Sedang (Skor IQ 35-49)
Pada usia prasekolah terdapat keterlambatan yang mencolok pada
perkembangan motorik (terutama membaca). Di 6-21 tahun dapat mempelajari
komunikasi sederhana, perawatan kesehatan dan keselematan dasar, serta
keterampilan manual sederhana, namun tidak mengalami kemajuan pada
fungsi membaca dan aritmetika. Dan di usia 21 ke atas dapat melakukan tugas
sederhanadalam lingkungan tertutup, berpartisipasi dalam rekreasi sederhana,
berpergian seorang diri ke tempat yang dikenal
c. Parah (Skor IQ 20-34)
Ditandai dengan keterlambatan dalam perkembangan motorik seperti
kemampuan komunikasi yang minim atau tidak ada sama sekali. Biasanya
mampu berjalan, tetapi memiliki disabilitas tertentu seperti dapat memahami
pembicaraan dan memberikan respon. Juga dapat menyesuaikan diri dengan
rutinitas sehari-hari dan aktivitas repetitif (memerlukan pengarahan dan
pengawasan terus-menerus di lingkungan.
d. Sangat Parah (Skor IQ di bawah 20)
Kapasitas minimal untuk berfungsi di area psikomotor (memerlukan bantuan
perawat). Keterlambatan yang nyata di semua bidang pertumbuhan, dapat
menunjukan respon emosional dasar, dapat merespon latihan keterampilan
dengan menggunakan kaki, tangan, rahang (memerlukan pengawasan ketat).
Dapat berjalan (mungkin membutuhkan bantuan perawat), dapat berbicara
secara primitif.
3. Penyebab Disabilitas Intelektual (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
a. Sindrom Down dan Abnormalitas Kromosom Lainnya.
Penyebab Disabilitas Intelektual yang paling sering diidentifikasi adalah simrom
down (Down Syndrome),yang ditandai oleh adalah adanya kelebihan kromosom
pada pasangan kromosom ke-21, sehingga menybabkan kromosom menjadi 47
bukan 46 seperti pada individu normal. Sindrom ini terjadi ketika pasangan
kromosom ke-21 padasel telur atau sperma gagal membelah secara normal

11
sehingga menghasilkan kromosom ekstra. Sindrom ini dapat ditelusuri ke sel tel
telur ibu pada sekitar 90% kasus, dan sekitar 10% sisanya disebabkan oleh
sperma ayah (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
Orang yang mengalami down sindrom dapat dikenali melalui ciri-ciri fisik:
seperti wajah bulat, hidung lebardan datar,serta lipatan kecil pada kulit di ujung
mata, yang memberi kesan sipit.Lidah yang menjulur, tangan yang kecil
berbentuk persegi dengan jari-jari yang pendek, serta ukuran tangandan kaki
yang tidak proporsional dengan ukuran tubuh. Penderita down syndrome juga
mengalami masalah fisik lain seperti kelainan pembentukan jantung dan
kesulitan pernapasan. Penderita juga cenderung kehilangan ingatan dan
mengalami emosi yang kekanak-kanakan.
Anak-anak dengan Down syndrome mengalami cenderung tidak terkoordinasi
dan memiliki kekuatan otot yang lemah sehingga sulit melakukan tugas fisik
dan bermain seperti anak lainnya. Mereka juga mengalami kesulitan dalam
mengikuti instruksi yang diberikan dan keterbatasan dala mengekspresikan
pikiran mereka dengan jelas secara verbal.
Selain Down syndrome, abnormalitas kromosom juga dapat mengakibatkan
disabilitas intelektual, seperti pada sindrom Klinefelter dan sindrom Turner.
Sindrom Klinefelter hanya terjadi pada pria, ditandai dengan adanya tambahan
kromosom X, yang menghasilkan pola kromosom XXY dan bukan XY.
Sindrom Turner hanya terjadi pada wanita dan ditandai oleh adanya satu
kromosom X, bukan dua kromosom X seperti pada wanita normal.
b. Sindrom Fragile X
Gangguan ini disebabkan oleh mutasi gen tunggal pada area kromosom X.
Dampak sindrom Fragile X berkisar dari gangguan pembelajaran ringan sampai
ID yang sangat parah yang dapat menyebabkan gangguan bicara atau fungsi
yang berat pada penderitanya. Sindrom ini memiliki dampak yang lebih parah
pada pria daripada wanita, karena wanita memiliki dua kromosom X sedangkan
pria hanya punya satu.
c. Phenylketonuria (PKU)
Gangguan ini disebabkan oleh gen resesif yang mencegah anak untuk
memetabolism asam amino fenilalanin (phenylalanine) yang ditemukan pada
banyak makanan, sehingga mengakibatkan penumpukan dalam tubuh yang
berdampak pada kerusakan sistem saraf pusat yang berujung pada disabilitas

12
intelektual
d. Faktor-Faktor Prenatal
Beberapa kasus ID disebabkan oleh infeksi maternal atau penyalahgunaan obat
selama masa kehamilan. Rubella (campak Jerman) pada ibu, contohnya, dapat
ditularkan ke anak yang belum lahir,yang menyebabkan kerusakan otak
sehingga menimbulkan disabilitas intelektual. Infeksi matrnal lain yang dapat
menyebabkan DI pada anak meliputi sifilis,cytomegalovirus, dan herpes
genital.
Obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi
melalui plasenta. Sebagian dapat mengakibatkan cacat fisik dan ID parah.
Anak-anak yang ibunya mengkonsumsi alkohol selama kehamilan sering kali
lahir dengan fetal alcohol syndrome. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan
oksigen atau cedera kepala, juga akan membuat anak menghadapi risiko yang
lebih besar terhadap gangguan neurologis, termasuk ID. Prematuritas dan
Infeksi pada otak seperti encephalitis dan meningitis juga menimbulkan risiko
disabilitas intelektual dan gangguan pertumbuhan lainnya. Serta anak-anak
yang terkena racun, seperti cat yang mengandung timbal juga dapat mengalami
kerusakan otak yang menyebabkan ID.
e. Budaya-Keluarga
Sebagian besar kasus ID berada pada tingkat keparahan yang ringan dan tidak
disebabkan oleh faktor biologis. Kasus ini biasanya memiliki akar budaya-
keluarga, seperti dibesarkan pada lingkungan rumah atau sosial-budaya yang
buruk dan kurang memiliki aktivitas yang menstimulasi secara intelektual atau
mengalami penelantaran atau kekerasan

4. Penanganan
Penangan yang dilakukan untuk disabilitas intelektul dengan menggunakan
intervensi. Pelayanann yang dibutuhkan oleh anak-anak yang menderita disabilitas
intelektual bergantung pada tingkat keparahan dan jenis retardasi ( Navid dkk,
2018). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak yang menderita bentuk disabilitas
intelektual ringan dapat menyamai tingkat kompetensi anak kelas enam SD dan
anak-anak yang menderita parah atau berat mungkin membutuhkan perawatan
dari institusi terkait pada fasilitas perawatan residusial yang ada di masyarakat,
seperti group home.

13
C. Gangguan Pembelajaran
1. Klasifikasi
a. Gangguan Membaca (Disleksia)
Anak-anak yang mengalami disleksia kesulitan dalam memahami atau
mengenali kata dasar ataupun memahami apa yang mereka baca, atau mungkin
membaca secara perlahan atau dengan putus-putus. Penderita mengalami
kesulitan kesulitan dalam menguraikan huruf-huruf dan kombinasi huruf serta
kesulitan menerjemahkan menjadi suara yang tepat. Mereka juga mungkin salah
mengartikan huruf seperti jungkir balik (misalnya bingung antara w dan m, atau
d dan Anak-anak dan remaja yang mengalami disleksia lebih rentan mengalami
berbagai masalah seprti depresi, harga diri rendah, dan ADHD (Nevid, Rathus,
& Greene, 2018).
Disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang
yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca. Gangguan
ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi
mengarah pada otak yang telah mengolah dan memproses informasi yang
sedang dibaca (Lidwina, 2012).
Ciri-ciri Disleksia (Lidwina, 2012)
1) Ragu-ragu dalam berbicara
2) Kesulitan memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang
diucapkannya, juga bermasalah dalam menentukan arah (atas-bawah) dan
waktu (sebelum-sesudah, sekarang-kemarin).
3) Kesalahan mngeja yang dilakukan terus menerus, seperti misalnya kata
“gajah” diucapkan menjadi “gagah”.
4) Membaca kata demi kata secara lamban dan intonasi naik turun.
5) Membalikkan huruf, kata, dan angka yang mirip. Misalnya b-d, u-n, kuda-
daku, 9-6
6) Kesulitan dalam menulis
b. Gangguan Menulis (Disgrafia)
Gangguan ini ditandai oleh kesalahan dalam mengeja, tata bahasa, atau tanda
baca, gangguan legibilitas atau kelancaran menulis, serta kesulitan menyusun
kalimat atau paragraf yang jelas dan teratur (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
Pada umumnya anak-anak yang menderita disgrafia menunjukkan semua atau

14
beberapa gejala. Kendell dan Stefanyshyn (dalam Suhartono, 2016) menrincinya
sebagai berikut:
1) terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2) saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3) ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4) anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide,
pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5) sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap, caranya memegang
alat tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas.
6) berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu
memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7) cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan
proporsional.
8) tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan
yang sudah ada.

c. Gangguan Berpikir Aritmetika dan Matematika

Anak-anak mengalami masalah dalam memahami aritmetika dasar, seperti


mengerjakan penjumlahan atau pengurangan, mempelajari tabel perkalian, atau
menyelesaikan soal matematika. Masalah ini mungkin tampak sejak anak duduk
di kelas 1 tetapi umumnya tidak disadari sampai anak duduk di kelas 2 atau 3
SD (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).

d. Gangguan Fungsi Eksekutif


Keterampilan fungsi eksekutif adalah serangkaian kemampuan mental yang
lebih tinggi dalam melakukan tugas-tugas pengorganisasian, perencanaan,dan
pengoordinasian yang dibutuhkan untuk mengemban tugas yang diemban
seseorang. Akibatnya, penderita mungkin sering mengabaikan tugas
sekolah,tidak mengerjakan pekerjaan rumah, atau tidak mempunyai rencana
untuk mengerjakan tugas tepat waktu (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
2. Penyebab
Peneliti berspekulasi bahwa disleksia mungkin memiliki dua bentuk umum,
yang satu lebih dipengaruhi secara genetis dan satu lagi dipengaruhi secara
lingkungan. Bentuk genetik mencakup kerusakan pada sirkuit saraf di otak yang

15
digunakan pembaca untuk memproses suara bahasa. Dalam bentuk yang
dipengaruhi lingkungan,sirkuit sifatnya lebih baik tetapi orang-orang lebih
mengandalkan ingatan dibanding strategi decoding untuk memahami
tulisan.jenis kedua ini lebih sering terjadi pada anak-anak yang latar blakang
pendidikannya kurang.

D. Gangguan Komunikasi
1. Pengertian
Gangguan komunikasi (communication disorders) adalah kesulitan yang persisten
dalam memahami atau menggunakan bahasa atau berbicara dengan jelas dan fasih.
Karena pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, gangguan ini dapat
menghambat kemampuan seseorang untuk berhasil di sekolah, di tempat kerja atau di
situasi sosial (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
2. Klasifikasi ((Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
a. Gangguan Bahasa
Gangguan bahasa (Language disorder meliputi kemampuan menghasilkan atau
memahami bahasa verbal. Mungki ada gangguan spesifik, seperti perkembangan kosa
kata yang lambat, kesalahan dalam tata bahasa,kesulitan mengingat kembali kata,dan
masalah dalam membuat kalimat dengan panjang dan kompleksitas yang sesuai
dengan usia individu. Anak-anak yang mengalami kesulitan ini mungkin juga
memiliki gangguan bunyi bahasa (artikulasi), yang menambah bicara mereka.
b. Gangguan Bicara
Gangguan Bunyi Bahasa (speech sound disorder), yang sebelumnya disebut
gangguan fonologis, terjadi kesulitan dalam mengartikulasikan suara dalam berbicara
tanpa adanya kerusakan pada mekanisme bicara oral atau gangguan neurologis
Gagap (stuttering) yang persisten, yang disebut gangguuan kefasian childhood-onset
(childhood-onset fluency disorder). Gangguan ini ditandai dengan oleh satu atau
lebihh karakteristik berikut :
1). Repetisi suara dan suku kata
2). Perpanjangan (prolongasi) suara-suara tertentu
3). Interjeksi atau penyisipan suara yang tidak tepat
4). Kata-kata yang terputus
5). Hambatan dalam berbicara
6). Siromlukusi

16
7). Adanya tekanan fisik ketika mengucapkan kata-kata, dan
8). Repetisi kata yang terdiri dari suku kata tunggal
c. Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Gangguan komunikasi sosial (pragmatis) atau social (pragmatic)
communication disorder adalah gangguan jenis baru dalam DSM-5. Diagnosisnya
berlaku pada anak-anak yang mengalami kesulitan berkomunikasi yang berkelanjutan
dan parah secara verbal dan nonverbal dengan orang lain dalam konteks alaminya di
sekolah, di rumah atau di tempat bermain. Kekurangan komunikasi ini menyulitkan
mereka untuk berpartisipasi penuh dalam interaksi sosial dan berdampak buruk
terhadap prestasi. Penanganan gangguan komunikasi biasanya dilakukan dengan
terapi bicara dan Bahasa khusus atau dengan pelatihan kelancaran, yang melibatkan
pembelajaran untuk berbicara lebih lambat dan mengatur pernapasan diri serta
bertahap mulai dari kata dan kalimat yang lebih sederhana ke yang lebih kompleks
(NIDCD, 2010).

BAB III

KESIMPULAN

1. Kesimpulan

17
Perilaku seorang anak itu abnormal tergantung pada harapan kita tentang apa
yang normal dan abnormal berdasarkan apa yang diyakini oleh budaya tertentu.
Gangguan perkembangan neurologis (neurodevelopmental disorder) yang melibatkan
pelemahan fungsi atau perkembangan otak yang memengaruhi perkembangan
psikologis, kognitif, sosial, atau emosional anak terdiri dari gangguan spektrum
autisme, disabilitas intelektual, gangguan belajar spesifik, gangguan belajar spesifik,
gangguan komunikasi, gangguan pemusatan-perhatian/hiperaktivitas (ADHD). Ada
beberapa pengertian, klasifikasi dan penanganan terkait gangguan perkembangan
neurologis. Beberapa gangguan belum dapat disembuhkan secara total namun
beberapa sudah menemukan cara dalam menangani penderita gangguan
neurodevelopmental antara lain terapi perilaku, perawatan berbasis komunitas, dan
sebagainya. Film The Black Balloon mengangkat autistic menjadi isu utama dalam
film ini karena mental terbelakang yang disebablan jaringan otak tidak berkembang
dengan sempurna. Film juga menceritakan bagaimana perilaku yang dimunculkan dan
dampak yang ditimbulkan sehingga menceritakan juga bagaimana perilaku yang
orang sekitar berikan kepada si penderita.

DAFTAR PUSTAKA
18
Lidwina, Soeisniwati.2012, Disleksia berpengaruh pada kemampuan membaca dan
menulis. Jurnal STIE Semarang. Vol 4. Hal 9-17

Nevid, Jeffery S., Rathus, Spencer A., Greene., Psikologi Abnormal di Dunia yang
Terus Berubah, edisi kesembilan. (2014). Erlangga

Suhartono. 2016. Pembelajaran menulis untuk anak disgrafiadi sekolah dasar.


Transformatika. Vol 12. Hal 107-119

Veskarisyanti, Galih A., 12 Terapi Autis Paling Efektif & Hemat untuk Autisme,
Hiperaktif, dan Reterdasi Mental. (2008). Pustaka Anggrek.

Lembar Kontribusi

19
20

Anda mungkin juga menyukai