Anda di halaman 1dari 8

Review film “Temple Grandine”

Pada film berjudul Temple Grandin menggambarkan kehidupan seorang anak dengan
autis, bernama Temple Grandine. Perempuan ini semasa kecilnya hanya akan memperhatikan
apa yang diasenangi. Ketika sang ibu mencoba untuk mengajaknya berbicara dan mengajaknya
untuk belajar menyebutkan beberapa kata, Grandine terlihat tidak tertarik, eolah ia memiliki
dunianya sendiri. Pada usia 6 bulan, Temple mulai menunjukkan tanda- tanda autisme. Ketika
digendong, iaterkesan memberontak dan ingin diletakan. Pada usia 2 tahun, terlihat jelas bahwaia
hipersensitif terhadap rasa, suara, bau dan sentuhan. Suara dan pakaian tertentumenimbulkan
siksaan baginya. Akibat hipersensitif ini ia sering berteriak, marah danmelempar segala sesuatu.
Namun ketertarikannya yang ekslusif terhadapbarang-barang atau benda tertentu seperti
tangannya sendiri, apel, koin atau pasir membuat ia dapat menarik diri dari lingkungannya
selama beberapa lama.

Ketika sang ibu kemudian gelisah dengan keadaan anaknya yang seolah tidak memperhatikan
perintah dari dirinya dan tifak seperti usia sebayanya yaitu bermain dan ceria, kemudian sang ibu
membawa Grandine yang pada saat itu berusia 4 tahun ke dokter. Interaksi dan komunikasi
merupakan salah satu modal bagi seseorang untuk memperoleh berbagai informasi melalui
lingkungan. Lingkungan sampai saat ini diyakini sebagai sumber yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan seseorang. Jika seseorang mengalami hambatan dalam interaksi dan
komunikasi, diyakini orang tersebut akan mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya
Dokter kemudian mendiagnosis Grandine dengan autis atau infantile skizofrenia. Sebagaimana
umumnya pada waktu itu, dokter menyarankannya untuk dirawat dirumah sakit atau institusi.
Namun Ibunya menolak dan hanya memasukkannya keterapi bicara. Kelasnya terbatas dan
terstruktur. Meski metode pendidikan tidak didesain untuk autisme, namun terapi ini
berpengaruh bagi perkembangan Temple. Pada usia 4 tahun ia mulai bicara dan pada usia 5
tahun ia mampu untuk masuk Tk biasa.
Anak autis sebagai salah satu bagian dari anak berkebutuhan khusus mengalami
hambatan pada keterampilan interaksi dan komunikasi. Keadaan ini diperburuk oleh
adanya gangguan tingkah laku yang menyertai setiap anak autis, bahkan hambatan inilah
yang paling mengganggu pada anak autis dalam melakukan interaksi dan komunikasi dengan
lingkungannya.

Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam
kamus psikologi umum ( 1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata
lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan
sehari - hari. Oleh karena itu penderita autism sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga
tahun. Pada awalnya istilah “autisme” diambilnya dari gangguan
schizophrenia,dimana autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang
menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada perbedaan
yang jelas antara penyebab dari autisme padapenderita skizofrenia dengan penyandang autisme
infantile. Pada skizofrenia,autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya
terkandunghalusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkanpada
anak-anak dengan autisme infantile terdapat kegagalan dalamperkembangan yang tergolong
dalam kriteria Gangguan Pervasif dengankehidupan autistik yang tidak disertai dengan halusinasi
dan delusi.

Dari gejala yang telah disebutkan ibunya, benar bahwa Grandine menderita autis yang sesuai
dengan kriteria DSM IV. Adapun kriteria autis berdasar DSM IV adalah sebagai berikut :

Diagnosis autisme berdasarkan DSM-IV-TR


A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-
masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3)
1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2 dari
beberapa gejala berikut ini :
a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi
wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut
ini:
a. Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang
dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-ulang.
d. Kurang mampu bermain imajinatif ( make believe play ) atau permainan imitasi
sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1dari
gejala berikut ini :
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan intensitas yang
abnormal/ berlebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan
tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.
d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari
obyek.
B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu
bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain
simbolik dan imajinatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak.
Selain gejala yang diketahui dari heteroanamnesis, bisa dilihat dari film terdapat gejala-gejala
lain yang mendukung diagnosis autis seperti di bawah ini

1. sensitif terhadap suara dan warna


2. marah apabila rutinitas yang seharusnya berubah
3. suka mengulang-ulang kata
4. gerakan tangan dan kaki berlebihan
5. mengeluarkan suara aneh (nada tinggi dan datar)
6. tidak mau dipeluk
7. tidak ada kontak mata
8. sering didapatkan ekolalia (membeo)
9. tertarik pada benda tertentu

Sejumlah anak penderita autis biasanya memiliki pencernaannya yang buruk dan ditemukan
adanya peradangan usus. Peradangan tersebut diduga disebabkan oleh virus. Mungkin ini berasal
dari virus campak. Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada
otak yang menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur
Candida yang berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur, maka sekresi enzim
ke dalam usus berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna
dengan sempurna. Colitis juga ditemukan pada Temple Grandine sehingga ia hanya
mengkonsumsi jelly.

Sejak kecil, Temple Grandine terus mendapat stimulus dari ibunya agar ia dapat menjadi
anak normal lainnya. Ibunya ingin membuat Temple Grandine dapat berbicara dan berorilaku
layaknya anak normal yaitu berjabat tangan saat memperkenalkan diri. Selain itu, Temple
Grandine diperlakukan layaknya anak normal dimana ia mendapat pendidikan hingga kuliah
walaupun ia sulit dalam berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Secara tidak langsung, dalam film telah dijelaskan penatalaksanaan bagi penderita autis antara
lain seperti yang telah dilakukan oleh ibu Temple yaitu terapi wicara dan terapi perilaku/tingkah
laku. Akan tetapi, masih banyak terapi yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :

1. Terapi okupasi
2. Intervensi biomedis
3. Diet
4. Terapi floor time
5. Terapi musik

Selain terapi yang dilakukan oleh ibunya, Temple sendiri juga berusaha mengontrol emosinya
seperti marah, gugup, gelisah dengan membuat hug box. Hug box ini merupakan alat yang
membuat Temple menjadi aman dan nyaman serta merasa seperti dipeluk. Hal ini merupakan
salah satu contoh terpai autis yaitu terapi integrasi sensorik.

Dilihat dari kisah Temple, bahwa tidak semua penderita autis selamanya memiliki kualitas hidup
yang rendah. Hal ini tergantung pada lingkungan sekitar dan motivasi dari orang-orang terdekat.
Ini terbukti dari kisah nyata yang dialami oleh Temple Grandin. Temple bisa menjadi profesor
dalam bidang sains di salah satu universitas di Amerika Serikat dan menjadi konsultan autis.
Berdasarkan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa semakin cepat
terdiagnosis dan semakin cepat ditanagani dengan cara yang benar maka prognosisnya akan jauh
lebih baik.

Kompleksnya masalah yang dialami anak autis tidak hanya mengakibatkan hambatan
dalam belajar tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Meskipun demikian,
tidak berarti anak autis tidak mempunyai potensi yang bisa dikembangkan. Meskipun
prosentasinya kecil, diperkirakan kurang dari 20% dari populasi anak yang mengalami autis.
Mereka memiliki potensi rata-rata bahkan ada yang di atas rata-rata. Tidak jarang
diantara mereka ada yang bisa berhasil mencapai prestasi akademik tertinggi seperti anak
pada umumnya yang tidak autis. Sedangkan sebagian besar lainnya membutuhkan upaya
penanganan secara komprehensif melibatkan berbagai keahlian. Autis disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor genetic, gangguan pada system saraf, faktor psikogenik dan faktor
bilogis serta lingkungan.

Terdapat beberapa masalah dalam anak autis, yaitu dalam hal masalah lingkungan. Seperti yang
terdapat pada film Temple Grandine, dimana Temple Grandin hanya akan mendengar suara –
suara yang menurut dia menarik untuk didengar. pasien dengan autis akan lemah dalam control
suara, hal ini juga tampak pada Temple Grandin diman ia kesulitan mengatur intonasi suara saat
berbicara dengan orang lain. selain itu, pasien dengan autis memiliki kesulitan dalam melakukan
gerakan tubuh, dimana penderita autis cenderung lebih kaku dalam menggerakkan tubuh, sperti
yang terlihat pada Temple Grandinn.

Dalam film tersebut diceritakan bahwa Grandine hidup dengan kemampuan visualisasi yang
sangat baik, hanya dengan melihat sejenak, ia mampu memvisualisasikan yang dilihatnya. Dia
memiliki kemampuan yang di luar kemampuan manusia pada umumnya. Cerita Temple Grandin ini
menunjukkan bahwa penderita autisme tidak selalu menyebabkan ia tidak mampu
mengembangkan potensi dirinya. Umumnya orang memperkirakan gangguan
perkembangan yang parah akan berdampak bagi perkembangan individu
selanjutnya pada masa yang akan datang. Namun ternyata 10% dari penyandang
autisme mampu hidup dengan baik pada masa dewasa,mereka memiliki pekerjaan,
dan berkeluarga. Dalam film tersebut juga diceritakan bahwa Temple Grandine
sangat tertarik kepada ilmu tentang binatang dimana ia meneliti sikap sapi dalam
kesehariannya di peternakan sapi hingga desain tentang perilkau sapi pun diterima
di perusahaan.

Berdasarkan film Temple Grandin, bahwa tidak selamanya orang autis tidak bisa
berbicara dan tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain serta berbeda dengan
orang lain. dengan memberikan stimulus yang terus menerus serta dukungan dari
orang terdekat akan memberikan semangat bagi penderita autis untuk bisa
mberkomunikasi dengan orang lain. pasien dengan autis memang berbeda tapi
tidak mengalami kekurangan.

Temple Grandin adalah seorang wanita autism yang penuh perjuangan. Ia berhasil mendapatkan
gelar Doktor Ilmu Hewan dan sekaligus menjadi professor pada Universitas Kolorado. Sekarang
ini ia mengajar di sebuah universitas, menulis beberapa buku tentang ilmu hewan, autisme dan
kehidupan pribadinya.
Daftar Pustaka

Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatri. 9 th ed. Philadelpia :
Lippincott William & Wilkins. 2003

Sadock BJ, Kaplan HI. Kaplan – Sadock. Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara. 2010

Anda mungkin juga menyukai