Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
NYA sehingga makalah yang berjudul “Psikologi dan Pendidikan Anak
Tunawicara” ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih baik kedepannya. Kami juga mengetahui ketebatasan maupun
pengalaman kami yang masih banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca mengenai ketidaksempurnaan makalah
yang kami buat.

Palembang,22 Februari 2019

Valencia Natalia

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG MASALAH..................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................5
C. TUJUAN PENELITIAN...................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
1.1. BATASAN KELAINAN BICARA DAN BAHASA.......................................6
1.2. KARAKTERISTIK KELAINAN BICARA DAN BAHASA..........................9
1.3. ETIOLOGI KELAINAN BICARA DAN BAHASA.....................................10
1.4. IDENTIFIKASI KELAINAN BICARA DAN BAHASA..............................17
1.5. DAMPAK PERKEMBANGAN DARI KELAINAN BICARA DAN
BAHASA....................................................................................................................19
1.6. INTERVENSI TERHADAP KELAINAN BICARA DAN BAHASA..........20
BAB III............................................................................................................................26
PENUTUP......................................................................................................................26
A. KESIMPULAN...............................................................................................26
B. SARAN...........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................28

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada jaman sebelum abad ke-16 sudah terdapat anak-anak cacat


yang dulunya disia-siakan dan diperlakukan dengan buruk. Namun,
sesudahnya mereka dilindungi dan dikasihani. Tetapi ketika memasuki
masa Renaissance dan Reformasi, orang-orang yang menderita cacat
mental malah diperlakukan semakin buruk, yakni dengan diikat dan
dipasung.

Ketika memasuki abad ke-16, rumah sakit di Paris mulai menyediakan


penanganan bagi penderita gangguan emosional. Kemudian muncullah
Joh Luke yaitu orang pertama yang membedakan antara keterbelakangn
mental dengan gangguan emosional. Setelahnya, mulai muncul beberapa
tokoh yang meneliti dan membahas mengenai anak-anak yang
berkebutuhan khusus.

Menurut Suran & Rizzo (1979) anak yang tergolong luar biasa atau
memiliki kebutuhan khusus, ialah anak yang secara signifikan berbeda
dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya.
Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terlambat dalam
mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal,
meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh,
retardasi mental, dan gangguan emosional dapat dikatagorikan sebagai
anak khusus atau luar biasa, karena memerlukan penanganan yang
terlatih dari tenaga profesional.

Terdapat beberapa jenis anak yang dikategorikan sebagai anak


berkebutuhan khusus, salah satunya yakni anak yang mengalami
gangguan berbicara.

3
Bicara dan bahasa merupakan alat komunikasi. Komunikasi sendiri
merupakan proses encoding (mengirim pesan dalam bentuk yang dapat
dipahami) dan proses decoding (menerima dan memahami pesan).
Komunikasi selalu melibatkan pengiriman dan penerimaan berita, namun
tidak selalu melibatkan bahasa, misalnya komunikasi nonverbal.

Hal ini tampak pada anak yang masih kecil, dimana hanya dengan
menunjuk saja, ia sudah bisa memperoleh apa yang diinginkannya.
Namun, pada beberapa kasus, masalah akan menjadi serius apabila anak
semakin besar tidak bisa mengungkapkan sesuatu secara verbal, dan
inilah yang seringkali dikaitkan dengan kelainan bicara dan bahasa.

Secara umum, kelainan bicara dan bahasa adalah hambatan dalam


komunikasi verbal yang efektif, sedemikain rupa sehingga pemahaman
akan bahasa yang diucapkan berkurang.

Manifestasi kelainan bicara dapat dalam bentuk-bentuk yang berbeda


seperti terlambat belajar bicara, pemakaian bahasa di bawah usia,
keganjilan dalam artikulasi, penggunaan bahasa yang aneh, gagap,
intonasi suara atau kualitas suara yang lain dari biasanya,
ketidakmampuan untuk menggunakan kata-kata yang tepat, ekspresi diri
yang buruk, sedikit bicara atau secara keseluruhan kurang bicara.

4
B. RUMUSAN MASALAH
1. APA SAJA BATASAN KELAINAN BICARA DAN BAHASA?
2. BAGAIMANA KARAKTERISTIK DARI KELAINAN BICARA DAN
BAHASA?
3. BAGAIMANA ETILOGI DARI KELAINAN BICARA DAN
BAHASA?
4. BAGAIMANA IDENTIFIKASI TERHADAP KELAINAN BICARA
DAN BAHASA?
5. APA SAJA DAMPAK PERKEMBANGAN KELAINAN BICARA
DAN BAHASA?
6. BAGAIMANA INTERVENSI TERHADAP ANAK KELAINAN
BICARA DAN BAHASA?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. UNTUK MENGETAHUI BATASAN KELAINAN BICARA DAN
BAHASA
2. UNTUK MENGETAHUI KARAKTERISTIK DARI KELAINAN
BICARA DAN BAHASA
3. UNTUK MENGETAHUI ETILOGI DARI KELAINAN BICARA DAN
BAHASA
4. UNTUK MENGETAHUI IDENTIFIKASI TERHADAP KELAINAN
BICARA DAN BAHASA
5. UNTUK MENGETAHUI DAMPAK PERKEMBANGAN KELAINAN
BICARA DAN BAHASA
6. UNTUK MENGETAHUI INTERVENSI TERHADAP ANAK
KELAINAN BICARA DAN BAHASA

5
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. BATASAN KELAINAN BICARA DAN BAHASA

Berdasarkan kategori yang dikemukakan oleh America Speech-


Langiage Hearing Association ( dalam Hallahan & Kauffman, 2006),
kelainan bicara digolongkan sebagai berikut:

1. Kelainan komunikasi, meliputi:


a. Kelainan bicara, yaitu
 Kelainan suara,
 Kelainan artikulasi dan
 Gangguan kelancaran bicara
b. Kelainan bahasa
 Bentuk bahasa
 Isu bahasa
 Fungsi bahasa
2. Variasi dalam komunikasi, meliputi:
a. Perbedaan komunikasa/dialek
b. Komunikasi tambahan (augmentative communication systems)

Di bawah ini akan dibahas mengenai masing-masing istilah agar


diperoleh gambaran yang jelas mengenai perbedaan satu istilah dengan
istilah yang lain.

A. Kelainan Suara

Salah satu aspek dari ekspresi verbal adalah kualitas suara


pembicara. Bicara normal memiliki variasi dalam nada (tone), alunan, dan
volume suara yang sesuai. Pada beberapa orang, pola kontrol dan

6
variasinya terganggu sehingga kualitas suara terlalu keras atau terlalu
lembut, terlalu rendah atau terlalu tinggi nadanya atau tampaknya
stereotipe.

Sebagaimana kelainan bicara lainnya, pada perkembangan normal


dapat terjadi masalah semacam ini, misalnya pada anak laki-laki yang
beranjak remaja. Namun, waspadailah anak-anak yang pengucapan
(pronounciation), keras/lemah, kualitas suara, kelancaran bicara, dan
rentang ekspresinya berbeda dengan teman sebaya mereka. Perhatikan
juga anak-anak yang jarang bicara, bisa saja hal tersebut bukan
disebabkan karena mereka pemalu, tetapi karena kesulitan bicara (dalam
Woolfolk, 1998).

B. Kelainan Artikulasi

Cartwright, Cartwright, & Wand ( dalam Woolfolk, 1998) mengatakan


bahwa kelainan artikulasi meliputi kesalahan-kesalahan dimana anak
mendistorsikan bunyi kata (shup untuk sup), mensubstitusikan bunyi suatu
kata dengan yang lainnya (cenang untung senang), menambahkan bunyi
yang tidak relevan terhadap suatu kata (ider untuk ide), atau
menghilangkan suatu bunyi pada suatu kata (sa-it untuk sakit).

Jenis kelainan artikulasi misalnya lipsing. Maksudnya suatu kelainan


artikulasi dimana suatu bunyi digantikan / disubstitusi dengan bunyi lain.
Sebagai contoh, huruf s diucapkan sh, sehingga apabila menyebutkan
sulit menjadi shulit. Masalah artikulasi lain yang sering terjadi adalah
lalling, dimana bunyi r dan l didistorsikan.

Masalah-masalah dalam artikulasi adalah karakteristik umum yang


muncul dalam perkembangan bicara. Semua anak memproduksikannya
sewaktu belajar berbicara. Misalnya, sebagian besar anak yang
berbahasa Inggris baru berhasil membunyikan smeua bunyi bahasa
Inggris pada usia 6 sampai 8 tahun (dalam Woolfolk, 1998). Bila masalah
ini menetap sementara usianya semakin besar, maka ini akan

7
mengganggu karena menghambat komunikasi yang jelas dapat
menyebabkan frustasi, baik pada pembicara maupun pendengar.

C. Gangguan Kelancaran Bicara

Masalah yang paling dikenal adalah ketidakteraturan dalam “timing”


bicara. Hal ini biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan dalam
mengontrol pernapasan saat bicara. Contoh stuttering (gagap). Gagap
merupakan salah satu gangguan bicara yang ditandai dengan gangguan
kelancaran (fluency), alunan (flow) atau ritme suara.

Gangguan ritme dan kelancaran bahasa bisa berbentuk tersendat-


sendat, adanya pengulangan-pengulangan, tampak tegang, bunyi/suara
panjang, atau suku kata/kata yang panjang terpatah-patah. Gangguan ini
bisa muncul pada saat anak belajar bicara (2-6 tahun), dan keadaan ini
biasanya diketahui oleh orangtua sebelum anak masuk sekolah.

Anak yang gagap tampak sensitif, kadang-kadang tegang dan menarik


diri. Mereka juga seringkali menunjukkan kecemasan dan rasa malu
(dalam Woolfolk, 1998). Setengah dari kasus-kasus gagap menghilang
selama masa remaja awal (wiig, 1982 dalam Woolfolk, 1998). Jika gagap
berlanjut lebih dari setahun, anak sebaiknya segera dibawa ke terapis
bicara. Intervensi dini sangan penting (Onslow, 1992 dalam Woolfolk,
1998).

Kelainan yang termasuk gangguan kelancaran bicara yang lain adalah


cluttering, dimana anak berbicara dengan sangat cepat, iramanya tidak
beraturan dan kadang-kadang ucapannya tidak jelas, terputar balik dan
sulit dipahami.

D. Kelainan Bahasa

Sering dikenal dengan expressive aphasia atau severe language


delay. Suatu kelainan bahasa biasanya disebabkan oleh disfungsi

8
susunan syaraf pusat yang menghalangi pemahaman atau penggunaan
kata-kata.

Aphasia adalah suatu istilah yang menunjukkan ketidakmampuan


dalam menggunakan kata-kata. Aphasia reseptif, bila kemampuan
tersebut menghalangi pemahaman bahasa lisan. Aphasia ekspresif, bila
tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk mengekspresikan suatu
ide atau berkomunikasi secara verbal. Kedua tipe aphasia ini dapat terjadi
pada orang yang sama dan dapat terjadi tanpa disadari oleh orang yang
bersangkutan.

Gangguan bahasa ini juga merupakan penyimpangan pemahaman


dan penggunaan bahasa lisan, tertulis, dan/ atau sistem simbol yang lain.
Gangguan ini bisa bersifat luas dan emlibatkan gangguan:

a. Bentuk bahasa (fonologi, morfologi, sintaks)


b. Isi bahasa (semantik)
c. Fungsi bahasa dalam komunikasi (pragmatik)

Sedangkan untuk istilah-istilah lain, misalnya variasi komunikasi,


sebenarnya tidak dapat dimasukkan sebagai kategori ketunawicaraan
murni. Misalnya perbedaan komunikasi/dialek, merupakan variasi sistem
simbol yang digunakan oleh sekelompok individu yang mencerminkan
asal daerah, lingkungan sosial atau budaya.etnis.

1.2. KARAKTERISTIK KELAINAN BICARA DAN BAHASA

Prevalensi kelainan bicara dan bahasa sulit dihitung karena jenis


gangguan dan jenis kelainannya sangat bervariasi dan luas, sulit
diidentifikasi, serta seringkali terjadi sebagai bagian dari kelainan lainnya
(Hallahan & Kauffman, 2006, hal. 289). Namun, mereka mengestimasi
bahwa sekitar 10-15% anak-anak pra sekolah dan 6% siswa sekolah
dasar dan menengah pertama mengalami gangguan bicara, sedangkan
gangguan bahasa dialami oleh 3% anak usia pra sekolah dan 1% anak
usia sekolah.

9
Doorlag dan Lewis (1991) juga mengatakan bahwa sebagian besar
masalah bicara terdeteksi pada usia dini, misalnya gangguan artikulasi
umum ditemukan terjadi pada anak-anak di usia sekolah awal. Lalu,
gangguan bahasa juga diidentifikasi terjadi pada anak-anak yang lebih
muda tetapi dapat bertahan selama usia sekolah dasar dan menengah
pertama (hal. 313).

Sementara itu, Sheirdan (1973, dalam Telford & Sawrey, 1981)


mengemukakan bahwa karakteristik-karakteristik khusus pada anak-anak
dengan gangguan bicara, yaitu kemungkinan-kemungkinan:

 Terjadi pada anak-anak yang lahir prematur


 Kemungkinannya empat kali lipat pada anak yang belum
berjalan pada usia 18 bulan
 Belum bisa berbicara dalam bentuk kalimat pada usia dua
tahun
 Memiliki gangguan penglihatan
 Sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk (clumsy) oleh
gurunya
 Dari segi perilaku kurang bisa menyesuaikan diri
 Sulit membaca
 Banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan

1.3. ETIOLOGI KELAINAN BICARA DAN BAHASA

Masalah kelainan bicara dan bahasa kerap berkaitan erat dengan


kelainan lain yang seringkali merupakan kelainan tambahan dari
ketidakmampuan yang lainnya. Kelainan ini paling sering tampak pada
kasus-kasus keterbelakangan mental, luka kepala yang bersifat traumatik
(head injury), kesulitan belajar atau autisme (Hallahan & Kauffman, 2006,
hal. 289).

10
Menurut Sardjono (1990)  Anak tunawicara dapat terjadi karena
gangguan  ketika :

1.    Sebelum anak dilahirkan/ masih dalam kandungan (pre natal)


2.  Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (umur neo natal)
3. Setelah dilahirkan ( pos natal)
1. Gangguan pre natal
a. Hereditas (keturunan)
Yaitu apabila anak tunawicara sejak dalam kandungan karena diantara
keluarga terdapat tunawicara atau membawa gen tunawicara sehingga
ketika lahir anak tersebut memiliki gangguan tunawicara. Ini disebut
dengan tuli genetis. Perbedaan rhesus ayah dan ibu juga dapat
menyebabkan abnormalitas pada kelahiran anak.
b. Anoxia
Kekurangan oksigen dalam janin dapat menyebabkan kerusakan pada
otak dan syaraf yang menyebabkan ketidaksempurnaan organ salah
satunya organ bicara seperti pita suara,tenggorokan,lidah,dan mulut.
2. Gangguan neo natal
a. Prematur
Bayi-bayi prematur yang lahir dengan berat badan tidak normal dan
lahir dengan organ tubuh yang belum sempurna dapat mengakibatkan
kebisuan yang kadang disertai ketulian. Kurangnya berat pada ketika lahir
juga dapat menyebabkan jaringan-jaringan
3. Gangguan pos natal
a. Infeksi
Sesudah dilahirkan anak menderita infeksi misalnya campak yang
menyebabkan tuli preseftik, virus akan menyerang cairan
koklea,menyebabkan anak menderita otitis media (koken). Akibat yang
sama akan terjadi bila anak menderita scaerlet fever,dipteri, batuk hejang
atau tertular sifilis.
b. meningitis(radang selaput otak)

11
Penderita akan mengalami kelainan pada pusat syaraf pendengaran
dan akan mengalami ketulian perseptif.
c. infeksi alat pernafasan
Seseorang dapat menjadi tunawicara apabila terjadi gangguan pada
organ pernafasan seperti paru-paru, laring, atau gangguan pada mulut
dan lidah.
Secara spesifik, dikemukakan faktor-faktor yang berkaitan dengan
kelainan bicara dan bahasa, yaitu:

 Faktor sentral:
- Yaitu berhubungan dengan susunan syaraf pusat
- Ketidakmampuan berbahasa yang spesifik
- Keterbelakangan mental
- Autisme
- Defisit dalam hal perhatian dan hiperaktivitas
- Luka otak (head injury)
- Gangguan fungsi kognitif
- Lain-lain
 Faktor periferal
- Yaitu berhubungan dengan gangguan sensoris atau fisik
- Gangguan pendengaran
- Gangguan penglihatan
- Gangguan fisik
- Gangguan motorik yang berhubungan dengan bicara
 Faktor lingkungan dan emosional, dikarenakan oleh faktor
lingkungan fisik dan psikologik:
- Penelantaran dan penganiayaan
- Masalah perkembangan perilaku dan emosi
- Tidak adekuat dalam mempelajari bahasa di rumah

12
 Faktor-faktor campuran, yaitu faktor-faktor kombinasi di atas
(Nelson, 1993 dalam Hallahan & Kauffman, 1994; Woolfolk,
1998).

Mengingat faktor penyebab kelainan bicara dan bahasa sangatlah


bervariasi maka di bawah ini akan dibahas satu persatu.

1. Etiologi dari Kelainan Suara

Masalah kualitas suara dapat disebabkan oleh suatu penyakit,


misalnya laryngitis dimana suara menjadi serak, adanya tumor pada pita
suara. Pada beberapa kasus, orang tersebut harus belajar berbicara
kembali karena karakteristik suaranya menjadi rendah dan serak.

Kelainan dalam pitch (tinggi/rendahnya nada), yakni suara bernada


terlalu tinggi atau terlalu rendah, atau monoton, dapat disebabkan oleh
konflik emosional, kebiasaan yang salah dalam menggunakan suara atau
menggunakan suara secara berlebihan, kondisi fisik yang lemah dan
hilangnya pendengaran. Contoh penggunaan suara yang salah atau
berlebihan adalah cheerleader, dimana karena sering beteriak-teriak
menyebabkan abnormalitas dalam suara.

Beberapa orang yang mengalami masalah psikologik juga kehilangan


suara atau sering disebut sebagai aphonia atau abnormalitas suara yang
parah (Hallahan & Kauffman, 2006). Gangguan suara yang berhubungan
dengan resonansi juga bisa disebabkan oleh abnormalitas fisik, misalnya
karena celah di langit-langit mulut (clef palate) atau karena kerusakan
otak, begitu juga pada orang yang mengalami tonsilitis dan sinusitis yang
parah.

13
2. Etiologi dari Kelainan Artikulasi

Kelainan artikulasi merupakan salah satu dari dua masalah kelainan


bicara yang paling umu terjadi pada anak usia sekolah (Woolfolk, 1998).
Seringkali kelainan artikulasi sulit dibedakan dengan kelainan suara.
Namun secara spesifik, kelainan suara merupakan kelainan karena
seseorang tidak menggunakan suara wicara secara semestinya/sesuai
dengan aturan standar.

Kelainan artikulasi ini sering juga diartikan sebagai keadaan dimana


suara bahasa diganti, dihilangkan, ditambah atau didistorsikan. Hilangnya,
pergantian, penambahan atau buruknya produksi kata ini membuat lawan
bicaranya menjadi sulit memahami pembicaraan. Akibat yang ditanggung
adalah seringnya anak tersebut diejek atau dijauhi secara sosial.

Penyebabnya bisa berasal dari kesalahan dalam memproduksi bunyi,


yang akhirnya menjadi kebiasaan. Pada mulanya, kesalahan tersebut
diproduksi karena koordinasi otot-otot mulut dan wajah yang tidak
adekuat. Pada anak kecil yang sedang belajar berbicara sering membuat
kesalahan dalam mengucapkan kata-kata tertentu. Tetapi hal ini belum
dapat dikatakan kelainan artikulasi.

Usia juga perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah seseorang


mengalami kelainan artikulasi atau tidak. Faktor kedua yang perlu
dipertimbangkan juga adalah lingkungan dimana anak dibesarkan, karena
seseorang belajar bicara melalui imitasi dari orang-orang di sekitarnya.
Inilah kelainan artikulasi yang sering disebut sebagai ahsil defisiensi
belajar.

Penyebab kelainan artikulasi yang lain adalah faktor biologis, misalnya


karena adanya luka otak atau kerusakan pada syaraf yang mengendalikan
otot bicara sehingga sulit untuk mengartikulasikan kata (Bernthal &
Bankson, 1998; Cannito, Yorkston, & Beukelman, 1998 dalam Hallahan &
Kauffman, 2006).

14
Pada banyak kasus juga disebabkan oleh karena adanya
keterbelakangan mental dan abnormalitas struktural oral seperti cleft
palate. Sedangkan faktor yang lebih ringan adalah karena tanggalnya gigi,
juga bisa menyebabkan kesulitan artikulasi. Artikulasi yang buruk juga
dapat disebabkan oleh rusaknya pendengaran.

Pada sebagian besar kasus lainnya, walaupun tidak terdapat


kerusakan, tampaknya kelainan artikulasi disebabkan oleh karena hasil
defisiensi dalam belajar. Bukti-bukti bahwa masalah artikulasi adalah
kesalahan yang dipelajari, datang dari penemuan bahwa anak pertama
dan anak-anak dari status sosial ekonomi tinggi mempunyai kemungkinan
yang lebih rendah dalam kesalahan artikulasi.

3. Etiologi dari Gangguan Kelancara Bicara

Penyebab dari gagap biasanyan banyak, tidak tunggal. Ada yang


mengatakan karena gangguan emosi, adanya kerusakan otak dan syaraf
yang menyeabkan gangguan organ bicara, atau terjadi pada saat anak
belajar berbicara. Prevalensi anak laki-laki dan wanita penderita gagap
adalah 4 : 1. Pendekatan yang plaing berguna untuk memahami gagap
adalah memandangnya sebagai hasil berbagai sebab yakni potensi
konstitusinya, hasil kumulatif dari belajar yang keliru dan hasil kecemasan
sehubungan dengan bicara.

Masalah kelancaran ini sering baru diidentifikasikan pada usia lima


tahun. Dan masalah ini akan semakin parah apabila guru dan orangtua
tidak menaruh perhatian khusus. Conture (2001dalam Hallahan dan
Kauffman, 2006) juga mengatakan bahwa mereka yang gagap lebih dari
satu setengan atau dua tahun berisiko menderita gagap kronis.

Jika mereka tidak ditangani lebih lanjut, maka anak akan mengalami
ketidakmampuan dalam berkomunikasi, mengembangkan perasaan diri
yang negatif, serta mengalami masalah dalam mengambil kesempatan
kerja atau pendidikan (Conture, 2001; Curlee & Siegel, 1997 dalam

15
Hallahan & Kauffman, 2006). Oleh karena itu, intervensi awal adalah
komponen penting sebelum dapat melakukan perbaikan.

4. Etiologi Kelainan Bahasa

Kelainan bahasa merupakan problem interdisiplin. Kelainan-kelainan


yang disebabkan oleh disfungsi susunan syaraf pusat atau kerusakan
susunan syaraf pusat, secara medis sukar diperbaiki. Akibatnya, mereka
mengalami masalah dalam program pendidikan, perawatan psikologis dan
latihan bahasa.

Anak dengan hambatan bahasa biasanya adalah anak cerebral palsy,


anak yang aphasia dan anak yang tidak mampu atau mengalami kesulitan
dalam mengembangkan kemampuan konseptual untuk menggunakan
bahasa (bukan cacat mental). Sebagai akibat dari ketidakmampuan
menggunakan bahasa, menyebabkan kesulitan pendidikan dan
perkembangan intelektualnya. Kelainan bahasa dapat disebabkan oleh
sebab-sebab congenital, penyakit atau trauma yang terjadi sewaktu
perinatal atau postnatal. Ada juga kelainan bahasa yang dikaitkan dengan
cacat mental atau gangguan emosional yang berat.

Berdasarkan etiologinya, kelainan bahasa dibedakan menjadi dua


subtipe, yaitu primer dan sekunder. Kelainan bahasa primer tidak
diketahui penyebabnya, sedangkan kelainan bahasa sekunder
disebabkan kondisi lain, seperti retardasi mental, kerusakan pendengaran,
gengguan spektrum autistik, cerebral palsy, atau kecelakaan otak yang
traumatis. Sedangkan ada faktor-faktor lain, misalnya tidak adanya
bahasa verbal karena anak terbiasa dengan komunikasi pralinguistik
dimana sebelum anak belajar bahasa lisan, anak sudah biasa bisa
berkomunikasi melalui gerakan dan suara-suara.

Ada pula anak-anak yang menggunakan bahasa yang berbeda secara


kualitatif, misalnya echolalia (meniru/membeo) atau menggunakan
jargon/istilah yang tidak sesuai dengan tuntutan situasi sosial. Bahasa

16
berbeda ini banyak terjadi pada kasus-kasus masalah emosional yang
parah atau masalah perilaku, keterbelakangan metal atau autisme.

Keterlambatan dalam penguasaan bahasa seringkali dikaitkan dengan


keterlambatan dalam perkembangan anak, atau karena lingkungan yang
kurang menyediakan pengalaman, termasuk di dalamnya kurangnya
stimulasi dalam bentuk bahasa oleh orang dewasa.

1.4. IDENTIFIKASI KELAINAN BICARA DAN BAHASA

Keluarga, orangtua, dan guru sebagai agen yang banyak


berhubungan dengan anak yang berperan besar dalam identifikasi
masalah kesulitan bicara dan bahasa anak.

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui ada


atau tidaknya masalah dalam bahasa secara awam, misalnya dengan
membandingkan penguasan anak terhadap bahasa dibandingkan dengan
patokan anak normal. Dalam hal ini anak dengan kelainan bahasa
kerapkali terlambat dibandingkan anak normal. Walaupun pada akhirnya
memang ia akan menguasai, tetapi pada waktu yang sudah sangat
terlambat.

Sementara itu, cara-cara yang lebih terstruktur misalnya dengan


melibatkan tes-tes terstandar dan tes-tes yang tidak terstandar
menggunakan skala perkembangan yang baku dan observasi perilaku
(Hallahan & Kauffman, 2006).

Tes terstandar sering kurang berguna untuk perencanaan program


intervensi, karena biasanya hanya mengarah pada diagnosa, namun
positif apabila dipergunakan untuk membandingkan kemampuan-
kemampuan anak dalam berbagai bidang. Skala perkembangan atau

17
observasi bisa melengkapi data anak dan tes terstandar, meskipun tidak
memiliki norma akan memberikan informasi yang cukup penting.

Intervensi yang efektif dilakukan di lingkungan alami anak serta


melibatkan guru dan orangtua, bukan hanya ahli patologi (Justice, 2006;
Owen, 2004 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Karena kelainan bahasa
bervariasi sangat luas dan dapat muncul pada berbagai macam individu,
baik dari masa kanak-kanak awal sampai masa tua, maka tidaklah
mengherankan apabila pengukuran dan intervensinya pun tidak pernah
sederhana dan selalu bersifat idiosinkratis (Gillam & Hoffman, 2001;
Owens, 2004; Ruscello, 2001 dalam Hallahan & Kauffman, 2006).

Doorlag dan Lewis (1991) dalam bukunya mengenai pendekatan


mainstream dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus memberikan
contoh yang baik mengenai peran tim mainstreaming dalam
mengidentifikasikan anak-anak dengan gangguan komunikasi, tim ini
bertemu untuk menyiapkan rencana asesmen.

Salah satu pertimbangan penting adalah kondisi pendengaran


siswa tersebut, perawat atau dokter sekolah diajak berdiskusi untuk
menentukan apakah gangguan pendengaran tersebut berkontribusi
terhadap buruknya performa bicara atau bahasa. Jika masalahnya adalah
gangguan bicara minor, maka ahli patologi bicara mengambil tanggung
jawab utama untuk asesmen. Jika gangguannya lebih serius, beberapa
ahli akan berpartisipasi dalam mengumpulkan infoemasi untuk asesmen.
Asesmen formal baru dimulai ketika orangtua dari siswa yang
bersangkutan memberikan persetujuan.

Dalam mengevaluasi kemampuan bicara siswa, ahli patologi bicara


dapat menggunakan pengukuran standard seperti Goldman-Fristoe Test
of Articulation (Goldman & Fristoe, 1972 dalam Doorlag & Lewis, hal.
313). Ia juga dapat bercakap-cakap dengan siswa dalam situasi informal
untuk mengevaluasi kelancaran bicara dan kualitas suara. Guru reguler

18
berperan mengobservasi pola pembicaraan sehari-hari siswa tersebut
dengan menggunakan sistem ceklis yang antara lain berisi item kualitas
suara, kelancaran bicara, dan produksi suara.

Asesmen untuk gangguan bahasa membutuhkan para ahli dari


beberapa disiplin. Selain guru reguler dan ahli patologi bicara dan bahasa,
tim mainstreaming ini juga melibatkan perawan sekolah, audiologis atau
spesialisasi lain yang mendeteksi gangguan pendengaran, serta guru
pendidikan khusus. Siswa dievalusai pada beberapa area, yaitu
pendengaran, prestasi akademis, dan kemampuan bahasa.

Asesmen bahasa berfokus pada penerimaan (reception) dan


ekspresi. Pengukuran standar yang dapat digunakan untuk mengukur
kedua hal ini misalnya Test of Language Development-2, Primary
(Newcomer & Hammill, 19880, yaitu tes individual yang sesuia untuk anak
usia 4-9 tahun. Tes ini mengukur tiga elemen penting bahasa, yaitu
semantik, sintaks, dan fonologi.

Sementara itu, untuk mengukur dimensi keempat bahasa, yaitu


pragmatik, dapat digunakan prosedur informal. Sebagai tambahan,
orangtua siswa, dan guru reguler juga dapat menjadi sumber berharga
dalam memberikan informasi mengenai performa berbahasa siswa.

1.5. DAMPAK PERKEMBANGAN DARI KELAINAN BICARA DAN


BAHASA

Konsekuensi kelainan bicara menyangkut tuntutan sosial dan


pendidikan yang dihadapi anak. Kelainan artikulasi mungkin tidak
menimbulkan konsekuensi yang negatif, sebaliknya kelainan bahasa akan
mempengaruhi setiap aspek perkembangan dan mempengaruhi
pendidikan, emosi, dan hubungan interpersonalnya.

19
Dalam mengamati konsekuensi kelainan bicara, tampak bahwa tipe-
tipe tertentu dari kelainan bicara, terlepas dari derajat beratnya,
mempunyai efek yang lebih besar terhadap perkembangan. Sebagai
contoh kelainan bahasa yang sedang, mempunyai efek yang lebih serius
terhadap perkembangan pendidikan daripada kelainan artikulasi atau
kelancaran bicara yang tergolong berat.

Konsekuensi perkembangan kelainan bicara menyangkut:

1. Kemapuan konseptual dan prestasi akademik.


Keterlambatan perkembangan bahasa dan aphasia ekspresif akan
mempengaruhi perkembangan pendidikan dan kognitif, karena
perkembangan pendidikan dan kognitif sangat tergantung pada
pemahaman dan penggunaan bahasa. Hal ini akan mempengaruhi
lagi kemampuan verbal dan nonverbalnya. Sebaliknya kelainan
artikulasi, kelancaran suara dan timing tidak menunjukkan efek
buruk pada perkembangan pendidikan dan kognitif.
2. Faktor personal dan sosial.
Kelainan artikulasi, timing, dan suara menyebabkan konsekuensi
negatif dalam hal relasi interpersonal dan perkembangan konsep
diri pada anak. Pandangan, ekspresi, ketidakpahaman orang lain
ketika berkomunikasi, dapat menyebabkan rasa rendah diri,
merasa terisolasi, tidak berani berbicara di depan umum dan bisa
menimbulkan kecemasan tersendiri bagi anak tunawicara ini.
1.6. INTERVENSI TERHADAP KELAINAN BICARA DAN BAHASA

Komunikasi merupakan bagian integral dalam kehidupan anak. Oleh


karenanya apabila anak mengalami kelainan dalam bicara ataupun
bahasa, maka harus segera ditangani. Membantu anak seperti ini tidak
dapat menjadi tanggung jawab satu bidang keahlian saja, melainkan
intervensinya haruslah merupakan kerjasama dengan guru kelas, ahli
patologi bicara, serta orangtua.

20
Ashman dan Elkins (1998) mengemukakan beberapa prinsip umum
penting dalam intervensi komunikasi, yaitu:

 Komunikasi merupakan aktivitas interaktif. Maka, kemampuan


bahasa hanya relevan sejauh itu dapat mempertemukan pembicara
dengan komunikasi yang dibutuhkan untuknya dalam berinteraksi
secara efektif dengan orang lain dalam kehidupan normal.
 Kemampuan komunikasi seharusnya dipelajari dan dilatihkan
dalam konteks sekolah dan rumah, dimana anak menjalani
kehidupan normalnya, dengan lawan bicara sehari-hari, seperti
orangtua, guru, atau teman sebaya.
 Ahli klinis harus mampu berperan secara fleksibel, dan meneruskan
kemampuan serta informasi-informasi relevan kepada orangtua,
guru, dan klien sendiri.
 Anak yang sebaiknya mendapatkan intervensi adalah mereka yang
menunjukkan jarak antara usia kronologis atau mental dengan
kemampuan komunikasinya, atau pola-pola gangguan komunikasi
yang berdampak pada fungsinya.
 Semua orang yang terlibat dengan klien harus bicara bersama
untuk mengembangkan sebuah program yang terkoordinasi.
 Tujuan intervensi dibuat berdasarkan perkembangan normal atau
kebutuhan komunikasi yang terlihat. Apabila memilih dasar kedua,
harus memiliki pemahaman tentang sifat alami komunikasi dan
perkembangan normalnya, serta alasan yang bagus mengapa tidak
mengikuti urutan perkembangan normal.
 Anak belajar melalui observasi dan melakukannya langsung. Maka,
intervensi perlu menggunakan kombinasi social learning dan
operant learning. Anak harus dilihat sebagai pelajar aktif yang perlu
mengobservasi lingkungan kemampuan target yang kaya, dimana
motivasi belajar sangat penting.
 Tujuan intervensi sebaiknya lebih banyak ke produktivitas daripada
mastery (penguasaan).

21
Kelainan-kelainan dalam gangguan komunikasi berbeda-beda sifat
maupun penyebabnya. Namun, perlu untuk diingat bahwa beberapa hal
yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Secara Medis

Perawatan kelainan bicara selain dilakukan oleh seorang speech


pathologist juga dilakukan oleh seorang ahli THT. Penanganan medis
penting dalam perawatan kelainan bicara yang disebabkan kerusakan
saluran pernafasan, otot wajah dan mulut. Misalnya pada kasus anak
yang mengalami cleft palate, maka upaya operasi perlu dilakukan sedini
mungkin, sehingga memungkinkan anak untuk belajar bahasa secara
tepat.

2. Secara Psikologis

Adanya kelainan bicara dapat menyebabkan problem penyesuaian diri.


Intervensi secara psikologis lebih banyak digunakan untuk menolong
anak-anak gagap dan anak-anak dengan kelainan bahasa. Intervensi
secara psikologis ini tampak kurang efektif pada kelainan bahasa
dibandingkan pada kasus gagap.

3. Dalam Pendidikan

Pada beberapa kasus, usaha intensif dilakukan dengan mengajarkan


anak bunyi-bunyi spesifik dan kemudian melalui pengulangan membentuk
kata yang dihubungkan dengan obyek stimulus tertentu. Walaupun
demikian anak dengan kelainan bahasa yang berat mungkin hanya sedikit
menunjukkan kemajuannya.

Keluarga perlu banyak menyediakan kegiatan bermain yang


memungkinkan anak menggunakan verbalisasi. Orangtua, dalam hal ini
paling berperan untuk mengajarkan anak untuk menguasai bahasa.
Sedangkan pada masa prasekolah, guru bisa mengajarkan anak

22
keterampilan bercakap-cakap, misalnya belajar menceritakan pengalaman
dan menceritakan mengapa sesuatu terjadi.

Keterampilan yang dikembangkan bukan hanya menambah


perbendaharaan kata. Guru sebagai tokoh panutan juga harus
menggunakan bahasa yang pantas untuk ditiru, misalnya dengan cara-
cara yang informatif, reflektif serta menawarkan pemecahan dalam
berespons terhadap siswa (dalam Hallahan & Kauffman, 2006).

Apabila anak tampak sangat bermasalah, maka guru karus


bekerjasama dengan speech language pathologist dalam lingkungan
alamiah anak sehingga anak belajar dari lingkungannya secara tepat dan
terarah. Hal ini penting, mengingat penggunaan bahasa merupakan
aktivitas sosial.

Cara-cara lain yang bisa dicoba misalnya, dengan menggunakan


teman sebayanya ataupun kegiatan sosiodrama. Sedangkan untuk
sekolah yang tidak memiliki ahli dalam bidang bicara dan bahasa, maka
beberapa hal prlu diperhatikan dalam menangani anak-anak dengan
kelainan bicara dan bahasa yaitu, guru-guru harus:

 Menerima anak sebagai individu penuh


 Menerima terhadap ketidaklancaran dengan cara yang santai dan
tidak mempermalukan
 Tidak melihat ke arah lain apabila berbicara dengan anak atau tidak
mengambil ahli pembicaraan anak
 Mendorong anak untuk berbicara di muka kelas tapi jangan dengan
cara memaksa
 Menyediakan tugas-tugas tanggung jawab nonverbal untuk tidak
terlalu menekankan kekurangannya
 Menekankan kelebihan-kelebihan yang dimiliki anak untuk
meningkatkan kepercayaan diri
 Mendorong partisipasi kelompok untuk mendukung anak

23
 Menyediakan pengalaman berbahasa oral bagi anak, misalnya
melalui kegiatan menyanyi, membaca berkelompok atau
percakapan biasa

Namun lepas dari semuanya, identifikasi awal dan penanganan yang


tulus serta serius akan dapan membantu anak untuk mengatasi
kesulitannya dan mendukungnya ke arah perbaikan.

A. Pendidikan Inklusif

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini difasilitasi


dalam tiga macam lembaga, yaitu Sekolah Khusus (SLB), Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB menampung anak
dengan jenis kelainan yang sama, sedangkan SDLB menampung anak
dengan jenis kelainan yang berbeda-beda. Pendidikan terpadu adalah
sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan dengan kurikulum,
guru, sarana, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.

Sampai saat ini sekolah terpadu yang ada baru menampung anak
tunanetra, tunarungu, itupun masih kurang baik perkembangannya. Hal ini
menyebabkan sulitnya anak-anak berkebutuhan khusus memperoleh
pendidikan yang memadai, disamping lokasi SLB yang biasanya berada di
ibu kota kabupaten saja sehingga sulit dijangkau (Mengenal Pendidikan
Inklusif, n.d.)

Keinginan untuk menyediakan satu sistem pendidikan yang lebih baik


bagi anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk tunawicara mulai
menghasilkan pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan inklusif, yaitu
penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas reguler (Staub & Peck, 1995 dalam Inklusi, n.d.).

Menurut Ashman & Elkins (1998) integrasi siswa yang mengalami


gangguan komunikasi tanpa ketidakmampuan mayor lain (gangguan
pendengaran, fisik, dan intelektual) ke kelas reguler bukanlah sebuah isu
penting.

24
Mereka membutuhkan keterlibatan para ahli patologi bicara (speech
phatologist), pada tingkat departemental atau kebijakan yang
membutuhkan. Di Amerika Serikat, misalnya mungkin saja dibuat subjek
atau mata pelajaran dalam kurikulum dimana siswa berkebutuhan khusus
dapat memperoleh nilai atau rangking yang bagus, serta subjek ynag
memang mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusif bukan hanya berarti membolehkan siswa


berkebutuhan khusus mengikuti sekolah, melainkan juga perlu perubahan
sistem dan evaluasi kembali orang-orang yang terlibat serta kondisi-
kondisi yang terjadi. Pendidikan inklusif juga menuntut adanya
penyesuaian atau modifikasi kurikulum (bahan ajar), peran serta guru,
sarana-prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan,
serta kegiatan belajar mengajar (Mengenal Pendidikan Inklusif, n.d.).

Perbedaan sangatlah dihargai, dan dipercaya dapat memperkuat kelas


serta menawarkan kesempatan yang lebih besar bagi anggotanya untuk
belajar. Contoh dari pernyataan tersebut adalah para guru menemukan
teknik yang mereka gunakan untuk membuat bahasa mereka lebih dapat
diapahami mampu meningkatkan pengajarannya dengan memfokuskan
perhatiannya pada apa yang mereka lakukan dengan bahasa mereka
serta bagaimana meningkatkan performa siswa-siswa lain (normal).

25
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kelainan bicara dan bahasa adalah hambatan dalam komuikasi verbal


yang efektif, sedemikain rupa sehingga pemahaman akan bahasa yang
diucapkan berkurang. Kelainan bicara digolongkan sebagai berikut,
kelainan suara, kelainan artikulasi, gangguan kelainan bicara, dan
kelainan bahasa.

Karakteristik dari anak yang mengalami kelainan bicara dan bahasa


sangat bervariasi karena kelainan bicara dan bahasa sulit diidentifikasi.
Namun, Sheirdan (1973, dalam Telford & Sawrey, 1981) mengemukakan
bahwa karakteristik-karakteristik khusus pada anak-anak dengan
gangguan bicara, yaitu kemungkinan-kemungkinan, terjadi pada anak-
anak yang lahir prematur, kemungkinannya empat kali lipat pada anak
yang belum berjalan pada usia 18 bulan, belum bisa berbicara dalam
bentuk kalimat pada usia dua tahun, memiliki gangguan penglihatan,
sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk (clumsy) oleh gurunya, dari
segi perilaku kurang bisa menyesuaikan diri, sulit membaca, dan banyak
terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan

Terdapat faktor-faktor yang secara spesifik berkaitan degan kelainan


bicara dan bahasa, yaitu faktor sentral, faktor periferal, faktor lingkungan

26
dan emosional, serta faktor-faktor campuran. Keluarga, orangtua, dan
guru sebagai agen yang banyak berhubungan dengan anak yang
berperan besar dalam identifikasi masalah kesulitan bicara dan bahasa
anak.

Konsekuensi kelainan bicara menyangkut tuntutan sosial dan


pendidikan yang dihadapi anak. Kelainan artikulasi mungkin tidak
menimbulkan konsekuensi yang negatif, sebaliknya kelainan bahasa akan
mempengaruhi setiap aspek perkembangan dan mempengaruhi
pendidikan, emosi, dan hubungan interpersonalnya.

Komunikasi merupakan bagian integral dalam kehidupan anak. Oleh


karenanya apabila anak mengalami kelainan dalam bicara ataupun
bahasa, maka harus segera ditangani. Membantu anak seperti ini tidak
dapat menjadi tanggung jawab satu bidang keahlian saja, melainkan
intervensinya haruslah merupakan kerjasama dengan guru kelas, ahli
patologi bicara, serta orangtua.

B. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber–sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.

Demikian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi


pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan
sampaikan kepada saya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ashman, A., & Elkins, J. 1998. Educating Children with Special Needs.
Australia: prentice Hall Australia Pty Ltd.

Doorlag, D.H., & Lewis, R.B. 1991. Teaching special students in The
Mainstream. 3rd ed., USA: MacMillan Publishing Company.

Hallahan, D.P., & Kauffman, J.M. 2006. Exceptional Leaner : An


Introduction to Special Education (International Edition: 10 th ed).
Boston: Allyn and Bacon.

Mangunsong, Frieda.2014. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan


Khusus Jilid Kesatu. Jakarta: LPSP3 UI.

Sardjono.1990. Orthopaedagogiek Lanjut. Surakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Suran, B.G., & Rizzo, J. V. 1979. Special Children: An Integrative


Approach. Glenview: Scotts, Foresman and Co.

Telford, C. W., & Sawrey, J. M. 1981. The Exceptional Individual. 4th ed.,

28
New Jersey: Prentice Hall Inc.

Woolfolk, A. E. 1998. Educational Psychology. Seventh Edition.


Massachusset: Allyn & Bacon.

29

Anda mungkin juga menyukai