Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PRILAKU KONSUMSI JUNKFOOD PADA ANAK DAN


REMAJA/DEWASA : KONSUMSI JUNKFOOD SEBAGAI PENYEBAB
OBESITAS PADA REMAJA DENGAN PENDEKATAN TEORI HEALTH
BELIFE MODEL
Dosen Pengampu : Yuliana Winarti, M.PH

Disusun Oleh :

Nurjanah : 2211102413006
Siti Fatimah : 2211102413022
Vionita Oktafiani : 2211102413232
Yunita : 2211102413222
Rabiatul Adiah : 2211102413184
Tita Apriana : 2211102413148
Indah Ayu Lestari : 2211102413240
Siti Rivana : 2211102413058
Nazwa Naviza Alamsyah : 2211102413199

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAR TIMUR
TAHUN AJARAN 2022/2023
I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Dengan perkembangan zaman serta kemajuan teknologi yang pesat, sehingga kini
menjadi sangat mudah untuk melakukan sesuatu. Selain itu, hal ini juga turut
berperan dalam perubahan pola serta gaya hidup manusia pada saat ini. Salah satu
contohnya adalah dengan semakin banyak makanan siap saji atau biasa disebut
juga dengan junk food .
Kehadiran Junk food dalam industri makanan Indonesia dapat mempengaruhi pola
makan remaja. Junk food mengandung kalori, lemak, protein, gula dan garam
yang relatif tinggi dan rendah serat, jika dikonsumsi secara berkesi-nambungan
dan berlebihan dapat mengakibatkan masalah gizi lebih. terdapat
ketidakseimbangan antara konsumsi energi dan pengeluaran energi. Perubahan
pola kebiasaan hidup sebagai dampak perbaikan tingkat hidup dan kemajuan,
Tingkat konsumsi Junk food pada remaja saat ini tergolong tinggi, dimana rata-
rata remaja mengkonsumsi Junk food 3 sampai 4 kali dalam sebulan Tanpa
disadari, maraknya junk food selain memiliki dampak positif juga memiliki
dampak negatif untuk kesehatan tentunya. Dampak positif dapat dibuktikan dari
cara penyajian yang cepat untuk menghemat waktu yang dimiliki dan tidak sehat.
Tapi selain itu juga harus melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh junk
food, misalnya bertambahnya kadar lemak dalam tubuh sehingga dapat
menyebabkan obesitas atau kegemukan.
Obesitas atau dikenal dengan kegemukan, merupakan suatu masalah yang cukup
merisaukan dikalangan remaja Obesitas atau kegemukan terjadi disebabkan
penumpukan jaringan adiposa secara berlebihan.

1.2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana hubungan antara konsumsi junk food terhadap obesitas


remaja?

2) Apa saja faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Junkfood pada


Remaja?

3) Apa saja dampak Konsumsi Junkfood terhadap Kesehatan Remaja?

4) Bagaimana hubungan antara Konsumsi Junkfood dan Obesitas pada


Remaja berdasarkan HBM?

1.3. Tujuan
1) Untuk mengetahui hubungan antara konsumsi junk food terhadap obesitas
remaja
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang Mempengaruhi mengonsumsi
Junkfood pada Remaja
3) Untuk mengetahui dampak mengonsumsi Junkfood terhadap Kesehatan
Remaja
4) Untuk mengetahui hubungan antara Konsumsi Junkfood dan Obesitas
pada Remaja berdasarkan HBM

II. Pembahasan

2.1. Definisi

2.1.1. Konsep Health Belief Model (HBM)


Health Belief Model atau model kepercayaan adalah suatu bentuk
penjabaran dari model sosiopsikologis (Notoatmodjo, 2010: 115). Didalam
model sosiopsikologis ini terdapat 4 variabel yang menjadi ukuran dari
sikap dan keyakinan individu (Notoatmodjo, 2010: 113). Variabel-variabel
sosiopsikologis pada umumnya terdiri dari 4 kategori: (1) pengertian
kerentanan terhadap penyakit, (2) pengertian keseluruhan dari penyakit,
(3) keuntungan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi penyakit,
dan (4) kesiapan tindakan individu, akan tetapi masalah utama dari model
ini adalah rantai penyebab langsung antara sikap dan perilaku belum dapat
dijelaskan sehingga akan dijabarkan dalam model kepercayaan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010: 113).

Secara bahasa, Health Belief Model (HBM) memilki tiga kata utama
sebagai sebuah konsep, yakni health, believe, dan modal. Health diartikan
sebagai keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun social, dan tidak
hanya bebas dari penyakit dan catat (World Health Organization (WHO),
2017).

Belief dalam bahasa inggris memiliki arti percaya atau keyakinan.


Sehingga belief yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang menimbulkan
tindakan atau perilaku tertentu, misalnya seseorang percaya bahwa mandi
akan membuat tubuh bersih dari kotoran (Putri, 2016). Sedangkan Hayden
(2017: 67) mengatakan bahwasanya keyakinan sangat erat dengan budaya
yang merupakan presepsi seseorang tentang suatu benar meskipun itu tidak
suatu kebenaran. Sehingga dari kedua pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa belief merupakan suatu keyakinan terhadap sesuatu
baik benar atau salah yang dipengaruhi oleh budaya sehingga dari
keyakinan tersebut akan menimbulkan suatu tidakan atau perilaku.

Model adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide-ide dalam
bentuk yang disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam (Mahmud,
2008: 1). Sedangkan pengertian model yang mengacu pada Health Belief
Model ini adalah suatu representasi dari suatu ide dalam suatu kondisi.

Health Belief Model sejauh ini adalah teori yang paling umum digunakan
dalam pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan (Glanz & Lewis,
2002; Nationan Cancer Institute (NCI), 2003). Health Belief Model ini
juga menjadi salah satu dari teori perilaku kesehatan (Maulana, 2009:
51). Dimana teori kesehatan perilaku adalah kombinasi antara
pengetahuan, pendapat, dan tindakan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok yang mengacu pada kesehatan mereka (Kennedy, 2009).

Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas bagaimana


kegagalan partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan deteksi dini
penyakit (Glanzz dkk, 1997) dan sering dipertimbangkan sebagai
kerangka yang utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan
manusia (Schmidt dkk, 1990). HBM juga dapat dikatakan sebagai
formulasi konseptual untuk mengetahui persepsi individu apakah mereka
menerima atau tidak tentang kesehatan mereka, sehingga untuk
mengetahui tentang presepsi individu, dapat dinilai dari variabel yang
meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan, kepercayaan
mereka bahwa terdapat usaha agar menghindari penyakit tersebut (Putri,
2016).

Health belief model merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan


dari individu untuk mau atau tidak mau melakukan perilaku sehat (Becker,
1984). Health belief model juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk
teoretis mengenai kepercayaan individu dalam berperilaku sehat (Conner
dan Norman, 2005).

 Komponen Dasar Health Belief Model


Komponen dasar HBM, dibagi menjadi 6 teori, dimana empat presepsi
berikut berfungsi sebagai konstruksi utama model HBM ini, yakni: (1)
perceived seriousness, (2) perceived susceptibility, (3) perceived benefits,
dan (4) perceived barriers. Masing-masing presepsi ini, baik secara
individu maupun berkombinasi, dapat digunakan untuk menjelaskan
perilaku kesehatan. Baru-baru ini komponen lain telah ditambahkan ke
HBM, yakni: (1) cues to action, (2) self-efficacy (Hayden, 2009).
1. Perceived seriousness/severity
Perceived seriousness disebut juga sebagai keparahan yang dirasakan.
Keparahan yang dirasakan bermaksud sebagai presepsi seseorang terhadap
tingkat keparahan penyakit yang diderita individu (Anies, 2006). Sehingga
perceived seriousness juga memiliki hubungan dengan perilaku sehat, jika
presepsi keparahan individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat
(Conner, dkk, 2003).
Perceived seriousness ini juga mengacu pada tingkat keparahan
kondisi (konsekuensi medis yang meliputi kecacatan, rasa sakit, atau
kematian) dan dampaknya terhadap gaya hidup (konsekuensi social yang
meliputi kemampuan kerja, hubungan social, dan lain-lain) (Hochbaum,
1958). Contohnya individu percaya bahwa merokok dapat menyebabkan
kanker (Subagiyo, 2014).
2. Perceived susceptibility
Perceived susceptibility disebut juga sebagai kerentanan yang
dirasakan atau sebagai presepsi subyektif seseorang tentang risiko terkena
penyakit (Anies, 2006). Perceived susceptibility ini juga mengacu pada
keyakinan tentang kemungkinan mendapatkan suatu penyakit, misalnya,
seorang wanita pasti percaya ada kemungkinan mendapatkan penyakit
kanker payudara sebelum dia mendapatkan mammogram (Hayden, 2009).
3. Perceived benefits
Perceived benefits disebut juga sebagai manfaat yang dirasakan. Ini
mengacu pada persepsi seseorang tentang efektivitas berbagai tindakan
yang tersedia untuk mengurangi ancaman penyakit atau penyakit (atau
untuk menyembuhkan penyakit) (Lamorte, 2016). Jalannya tindakan yang
dilakukan seseorang untuk mencegah (atau menyembuhkan) penyakit atau
penyakit bergantung pada pertimbangan dan evaluasi dari yang dirasakan
dan manfaat yang dirasakan, sehingga orang tersebut akan menerima
tindakan kesehatan yang disarankan jika dianggap bermanfaat (Hochbaum,
1958).
Ketika seseorang yakin bahwa ia rentan terhadap sesuatu penyakit dan
juga sudah mengetahui bahaya penyakit tersebut, ia tidak akan begitu saja
menerima tindakan kesehatan yang dianjurkan kepadanya, kecuali bila ia
yakin bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi ancaman penyakit dan ia
sanggup melakukannya (Anies, 2006).
Contohnya individu yang sadar akan keuntungan deteksi dinipenyakit
akan terus melakukan perilaku sehat seperti medical check up rutin.
Contoh lain adalah kalau terdapat seseorang tidak merokok, maka dia tidak
akan terkena kanker (Subagiyo, 2014).
4. Perceived barriers
Perceived barriers disebut juga sebagai rintangan yang dirasakan. Ini
mengacu pada perasaan seseorang terhadap hambatan untuk melakukan
tindakan kesehatan yang disarankan (Lamorte, 2016). Ada variasi yang
luas dalam perasaan penghalang, atau hambatan, yang menghasilkan
analisis biaya/manfaat. Orang tersebut mempertimbangkan keefektifan
tindakan terhadap persepsi bahwa hal itu mungkin mahal, berbahaya
(misalnya, efek samping), tidak menyenangkan (misalnya menyakitkan),
menyita waktu, atau merepotkan (Glanz, 2008).
Contoh dari komponen ini adalah jika terdapat seseorang yang
terbiasa merokok, kemudian tidak merokok, maka pasti merasakan mulut
terasa masam. Contoh lain yakni SADARI (periksa payudara sendiri)
untuk permpuan dirasa susah dalam menghitung masa subur, sehingga
membuat perempuan enggan untuk melakukan SADARI (Subagiyo,
2014).
5. Cues to action
Cues to action disebut juga sebagai strategi untuk mengaktifkan
kesiapan. Inilah rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu proses
pengambilan keputusan untuk menerima tindakan kesehatan yang
direkomendasikan (Lamorte, 2016). Isyarat ini bisa bersifat internal
(misalnya nyeri dada, mengi, dan lain-lain) atau eksternal (misalnya pesan-
pesan kesehatan melalui media massa, nasihat atau anjuran teman atau
konsultasi dengan petugas kesehatan) (Anies, 2006).
Bila seseorang termotivasi dan dapat merasakan tindakan yang
menguntungkan untuk diambil, perubahan aktual sering terjadi bila ada
isyarat eksternal atau internal untuk memicu tindakan. Besarnya isyarat
yang dibutuhkan untuk memicu tindakan akan bergantung pada motivasi
untuk berubah dan keuntungan yang dirasakan (Hochbaum, 1958).
Contoh dari komponen ini salah satunya, saat ini, banyak dokter atau
media massa merekomendasikan bertindak dalam konteks berhenti
merokok (Subagiyo, 2014) .
6. Self-efficacy
Self-efficacy disebut sebagai keyakinan dalam kemampuan seseorang
untuk mengambil tindakan (Anies, 2006). Ini mengacu pada tingkat
kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk berhasil melakukan
perilaku. Self-efficacy adalah konstruksi dalam banyak teori perilaku
karena berhubungan langsung dengan apakah seseorang melakukan
perilaku yang diinginkan (Lamorte, 2016).

2.1.2. Definisi Obesitas dan Junkfood

2.1.2.1. Definisi Obesitas


Obesitas dapat didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal
atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan. Seseorang bisa
dikatakan kelebihan berat badan bila Indeks Massa Tubuh (IMT)
lebih besar atau sama dengan 25 (Agtadwimawanti,2012). Obesitas
adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan
lemak tubuh yang berlebihan (Suryoprajoyo, 2009).
Obesitas adalah kondisi medis yang ditandai dengan akumulasi
berlebihan dari lemak tubuh yang berdampak negatif terhadap
kesehatan seseorang. Obesitas terjadi ketika jumlah lemak tubuh
melebihi batas normal yang diterima secara medis. Biasanya,
obesitas diukur dengan menggunakan indeks massa tubuh (BMI),
yang menghitung perbandingan antara berat dan tinggi seseorang.
Obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit,
termasuk penyakit jantung, diabetes tipe 2, gangguan pernapasan,
dan beberapa jenis kanker.

2.1.2.2. Definisi Junkfood


Junk food adalah istilah yang mendeskripsikan makanan yang tidak
sehat dan memiliki sedikit nilai gizi. Junk food mengandung tinggi
lemak, tinggi garam dan tinggi gula, serta rendah serat (WHO,
2011). Junkfood adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan makanan yang rendah nilai gizinya dan kaya akan
lemak, gula, garam, dan kalori. Makanan junkfood seringkali
kurang dalam kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, serat, dan
protein yang penting untuk pemeliharaan kesehatan tubuh. Contoh
makanan junkfood meliputi makanan cepat saji, keripik, permen,
minuman bersoda, kue kering, dan makanan ringan yang diproses
secara komersial. Konsumsi junkfood yang berlebihan dapat
menyebabkan masalah kesehatan seperti obesitas, penyakit
jantung, diabetes, gangguan pencernaan, dan gangguan
metabolisme lainnya.
2.2. Hubungan antara Konsumsi Junkfood dan Obesitas pada Remaja
Proverawati (2010) mengungkapkan pola makan makanan cepat saji juga dapat
mempercepat tingkat obesitas. Pangkalan Ide (2007) mengungkapkan Berbagai
produk junk food yang hadir untuk memenuhi kebutuhan orang makan cepat
lantaran desakan waktu. Bila hal itu berlanjut terus, maka akan ketagihan dalam
jumlah besar, maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan fisik dan berbagai
penyakit bisa muncul seperti, obesitas. Suharjo (2008) mengungkapkan Konsumsi
tinggi lemak mudahkan terjadinya obesitas. Berdasarkan teori yang ada dan hasil
penelitian yang ditemukan, peneliti berpendapat bahwa fakta yang ada sesuai
dengan teori dengan hubungan positif kuat antara konsumsi junk food terhadap
obesitas dimana apabila remaja dalam waktu sering mengkonsumsi junk food
menyebabkan remaja mengalami peningkatan berat badan dan apabila hal itu
dibiarkan dan remaja terus menerus mengkonsumsi junk food maka dapat
berujung pada obesitas.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Junkfood pada Remaja


Obesitas terjadi dikarenakan oleh banyak faktor, diantaranya seperti faktor
genetik, jenis kelamin, faktor lingkungan seperti pola makan, aktivitas fisik, serta
sosial ekonomi. Konsumsi junk food juga diduga sebagai salah satu faktor
penyebab yang paling banyak berperan terhadap peningkatan kejadian obesitas
karena mempunyai kandungan gizi yang sedikit (Lestari et al, 2018).

2.4. Dampak Konsumsi Junkfood terhadap Kesehatan Remaja


Junk Food disebut makanan instan atau makanan cepat saji yang kini telah
berkembang pesat di persaingan perusahaan makanan di Indonesia. Makanan
cepat saji dinilai sebagian orang lebih efektif terhadap waktu dan mudah
ditemukan. Tak hanya itu saja, makanan cepat saji juga memiliki cita rasa yang
lezat ditambah lagi harganya yang terjangkau.
Makanan cepat saji sudah lama mengundang kontroversi di negara kita karena
terungkapnya beberapa dampak buruk yang ia miliki. Dampak buruk itu
disebabkan oleh kandungan zat-zat berbahaya di dalam makanan instan seperti
lilin yang ada pada mie instan. Tak berhenti disitu, nyatanya di dalam makanan
cepat saji terkandung bahan pengawet dan penyedap yang kini disebut
micin.Fenomena kata micin kini mendadak kerap digunakan para remaja hingga
dewasa bila seseorang mengalami hal-hal yang kurang normal. Maksud dari hal
kurang normal itu seperti seseorang yang telat berpikir, lama menjawab bila diajak
bicara dan lain sebagainya. Tak dielakkan, makanan cepat saji memang
mengandung zat berbahaya seperti yang telah diungkapkan di atas.
Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa keseringan mengkonsumsi
makanan cepat saja memang tidak berdampak secara langsung ke tubuh. Namun,
makanan-makanan cepat saji yang dikonsumsi akan tertimbun di dalam tubuh
yang kemudian hari menjadi penyebab penyakit mematikan seperti kanker. Tak
hanya kanker, penyakit berbahaya juga mengintai misalnya stroke, usus buntu dan
penyakit ginjal.
Maka bila Anda termasuk ke dalam orang yang hobi mengkonsumsi makanan
cepat saja, kurangilah hal itu dan mulai sayangi tubuh serta diri Anda sendiri.
Perlu diketahui bahwa salah satu kandungan di dalam makanan instan yaitu lilin
sulit dicerna tubuh. Lilin itu menghancurkan prinsip kerja sistem pencernaan
tubuh sehingga makanan yang mengandung lilin akan dicerna dengan waktu
minimal dua hari.

2.5. Hubungan antara Konsumsi Junkfood dan Obesitas pada Remaja


berdasarkan HBM
Kejadian obesitas ini dapat dipengaruhi oleh faktor konsumsi makanan seperti
junk food dan aktivitas fisik yang dilakukan. Hal ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh Trushna Shah et al pada tahun 2014 dengan responden 138
mahasiswa, 58,4% mahasiswa setuju bahwa mereka menyukai fast food dan 34%
dari mereka mengkonsumsi fast food bukan karena tidak tersedianya makanan
rumah tetapi karena life style ataupun gaya hidup para remaja tersebut.
Dari hasil penelitian ini didapat bahwa hampir 90% dari mereka mengonsumsi
fast food dengan 22,45% dan 9,52% mengalami pre-obesitas dan obesitas. Faktor
aktivitas fisik juga berpengaruh pada kejadian obesitas, remaja yang cenderung
kurang melakukan aktivitas atau lebih banyak melakukan aktivitas fisik ringan
lebih beresiko mengalami obesitas karena kurangnya pengeluaran energi, hal ini
diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Steffen et al, yang menyatakan
bahwa perilaku sedentarian pada remaja adalah faktor resiko yang kuat untuk
remaja menderita kegemukan dan obesitas. Hal ini disebabkan gaya hidup yang
kurang bergerak mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh dan tidak
dikeluarkan sebagai energi. Jika kondisi ini dipertahankan lebih lama, dapat
menyebabkan penumpukan di daerah abdominal, baik pria maupun wanita.

III. Kesimpulan dan Saran

3.1. Kesimpulan
Apabila remaja sering mengonsumsi junk food menyebabkan remaja mengalami
peningkatan berat badan, dan apabila hal itu dibiarkan dan terus menerus
mengonsumsi junk food maka dapat berujung pada obesitas. Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi konsumsi junk food pada remaja, seperti faktor
genetik, jenis kelamin, faktor lingkungan seperti pola makan, aktivitas fisik, serta
sosial ekonomi. Selain itu, mengonsumsi junk food tidak berdampak langsung ke
tubuh. Namun, akan tertimbun didalam tubuh yang kemudian hari menjadi
penyebab penyakit mematikan dan berbahaya seperti kanker, stroke, usus buntu
dan penyakit ginjal. Hasil penelitian Steffen et al menyatakan bahwa perilaku
sedentarian pada remaja adalah faktor resiko yang kuat untuk remaja menderita
kegemukan dan obesitas. Hal ini disebabkan gaya hidup yang kurang bergerak
mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh dan tidak dikeluarkan sebagai
energi

3.2. Saran
Hendaknya memperhatikan pola konsumsi mereka sesuai dengan prinsip-prinsip
konsumsi dan tidak mengabaikan kesehatan yang hanya memperturutkan hawa
nafsu semata yang akan merugikan diri sendiri karena mengkonsumsi junk food
apalagi secara berlebihan akan memicu berbagai penyakit berbahaya seperti mual,
muntah, diare, sakit kepala, obesitas atau kegemukan, diabetes, jantung, kencing
manis, kolesterol hingga kanker.

VI. Daftar Pustaka

Leila Pebriani, Agnes Frethernety, Elsa Trinovita. 2022. STUDI LITERATUR :


PENGARUH KONSUMSI JUNK FOOD TERHADAP OBESITAS.
Palangkaraya. Jurnal Surya Medika.
https://journal.umpr.ac.id/index.php/jsm/article/download/3103/2660
Yesa Lovenia Ambarriyati, Yustina Kristianingsih. 2017. KONSUMSI JUNK
FOOD DAN OBESITAS PADA REMAJA. Surabaya. Jurnal Penelitian
Kesehatan. https://journal.stikvinc.ac.id/index.php/jpk/article/view/118
Mei Risna Fadilah Muharrom. Teori Health Belief Model.
https://www.academia.edu/34711807/teori_health_belief_model
https://dinkes.deliserdangkab.go.id/dampak-buruk-junk-food-untuk-kesehatan-
tubuh.html
Thesa Ananda Prima, Hafni Andayani, Mars Nashrah Abdullah. 2018.
HUBUNGAN KONSUMSI JUNK FOOD DAN AKTIVITAS FISIK
TERHADAP OBESITAS REMAJA DI BANDA ACEH. BANDA ACEH. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Biomedis.
http://jim.usk.ac.id/FKB/article/view/6754/2782
http://journal.stikvinc.ac.id/index.php/jpk/article/view/118/96

Anda mungkin juga menyukai