Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN GIZI

“Health Belief Model dan Teori Precede Proceed Model (L. Green) dalam
Perubahan Perilaku”

Oleh :

Kelompok 2

1. G2B020107 Ifa Firdausa 6. G2B020019 Kinanti Sesha Anindita


Rahmatillah 7. G2B020134 Nur Rizqiya Husniyatun
2. G2B020108 Niswatun Qonita 8. G2B020136 Ayu Karisma
3. G2B020021 Siti Yunita Dewi 9. G2B020111 I'in Inayah
4. G2B020029 Ibtisam Aisyah Alimi 10. G2B020131 Caesariyanti Maretha
Haifa 11. G2B020137 Siti Hajar Ibroniyah
5. G2B020033 Novianti Lestari 12. G2B020132 Dwita Ariyana

Dosen Pengampu :

Sri Hapsari SP, S. Gz, M. Gz

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

TAHUN 2021-2022
Health Belief Model

Health Belief Model (HBM) adalah teori psikologi yang berupaya untuk menjelaskan dan
memprediksi perilaku sehat dengan berfokus pada sikap dan keyakinan individu. HBM pertama
kali dikembangkan pada 1950-an oleh psikolog sosial yaitu Godfrey Hochbaum, Irwin
Rosenstock, dan Stephen Kegels yang bekerja di layanan kesehatan masyarakat Amerika Serikat.
Model ini dikembangkan sebagai tanggapan terhadap kegagalan program pemindaian kesehatan
TB yang sudah dibuat gratis. Sejak lahirnya, model ini telah berhasil diterapkan pada berbagai
bidang kesehatan, seperti misalnya untuk memprediksi perilaku yang tidak menunjukkan
gejala-gejala sakit, seperti misalnya melakukan vaksinasi, penyakit serius seperti kanker, maupun
penyakit kronis yang bersifat menahun (Janz & Becker, 1984). Model ini merupakan salah satu
teori yang dinilai efektif dan terbukti penerapannya untuk mencegah penularan atau munculnya
berbagai jenis penyakit ataupun dalam penelitian-penelitian perilaku kesehatan lainnya (Glanz,
Rimer, & Viswanath, 2008; Siddiqui, Ghazal, Bibi, Ahmed, Sajjad, 2016).

Konsep dasar dari teori HBM adalah bahwa perilaku menjaga kesehatan ditentukan oleh
keyakinan atau persepsi personal individu mengenai suatu penyakit dan strategi-strategi yang
tersedia untuk menurunkan kemunculan penyakit tersebut. HBM merupakan integrasi dari tiga
teori tentang pembentukan perilaku yaitu stimulus-response theory, cognitive theory (Janz,
Champion, & Stretcher, 2002), dan value expectation theory. Stimulus-response theory melihat
bahwa individu akan memunculkan, mengubah, menghilangkan atau mempertahankan
perilakunya berdasarkan konsekuensi dari aksi/tindakan yang diambilnya. Perubahan pada
perilakunya dikendalikan oleh persepsinya sendiri tentang konsekuensi tersebut,sejauh mana
konsekuensinya itu berperan sebagai reinforcement, punishment, atau reward baginya. Cognitive
theory menekankan teorinya pada peran hipotesis atau harapan subyektif individu yang berasal
dari persepsi, sikap, ataupun keinginan individu. Di sini dijelaskan bahwa kita lebih baik
mempengaruhi persepsi atau harapan individu saat kita ingin mengubah perilaku seseorang
daripada kita melakukan intervensi secara langsung terhadap perilakunya. Value expectation
theory melihat bahwa perilaku manusia muncul sebagai hasil perkalian antara nilai dari
konsekuensi yang ditimbulkan dari perilaku tersebut dengan estimasi kemungkinan munculnya
konsekuensi tersebut. Dalam teori ini, sikap seseorang terhadap suatu objek merupakan hasil
perhitungan dari tingkat ekspektasi (harapan) seseorang terhadap atribut-atribut/elemen-elemen
objek sikap tersebut yang dikali dengan tingkat perasaan subjektif individu terhadap objek sikap
tersebut. Dengan kata lain, sikap = harapan x nilai. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari
planned behaviour theory.

Dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan, integrasi dari ketiga teori ini hendak
menunjukkan bahwa perilaku terkait kesehatan dibentuk oleh keinginan seseorang untuk
menghindari penyakit atau menjadi sembuh, dan juga oleh keyakinannya bahwa perilaku
kesehatan ini akan membuatnya mencapai situasi bebas dari penyakit atau sembuh (Glanz,
Rimer, & Viswanath, 2008). Secara lebih detail, HBM memuat persepsi individu pada 5 area
yaitu (1) persepsi tentang tingkat kerentanan seseorang terhadap suatu penyakit tertentu, (2)
tingkat keparahan penyakit tersebut, (3) manfaat dari mengambil tindakan pencegahan, dan (4)
hambatan untuk tindakan pencegahan tersebut, (5) self-efficacy. Bagaimana seseorang bisa
memiliki persepsi tertentu dipengaruhi oleh faktor demografis dan psikologisnya. Latar belakang
usia, gender, status sosial ekonomi, dll berkontribusi pada bagaimana seseorang memahami
dunia. Begitu pula dengan kepribadian, tekanan dari orang-orang yang signifikan, kebiasaan, dll
juga berperan pada pembentukan persepsi. Selain mempengaruhi persepsi, faktor-faktor tersebut
juga mempengaruhi motivasi seseorang untuk melakukan tindakan, sebelum akhirnya tindakan
tersebut benar-benar dilakukan. Pada bagian akhir, di luar aspek-aspek kunci di atas, terdapat
pula yang disebut “tanda-tanda/sinyal-sinyal untuk melakukan tindakan”.

Secara lebih detail, berikut ini deskripsi masing-masing aspek kunci-kunci tersebut:

1. Persepsi kerentanan menunjukkan sejauh mana individu mempersepsi bahwa ia rentan untuk
mengalami sakit atau terjangkit suatu penyakit, apakah ia berisiko untuk menjadi sakit atau
mudah tertular dari orang lain, dsb.
2. Persepsi tingkat keparahan menunjukkan persepsi individu sejauh mana rasa sakit yang akan
dideritanya jika ia terjangkit suatu penyakit atau jika ia melakukan tindakan yang
mengancam/membahayakan kesehatannya. Tingkat keparahan yang dipersepsikannya mulai
dari sejauh mana penyakit yang akan dialaminya itu akan membawanya pada
ketidaknyamanan yang dirasakan pada organ tertentu, membuatnya menjadi cacat, atau
mengantarnya pada kematian. Begitu pula dengan tindakan berisiko yang mengancam
kesehatannya, sejauh mana ia mempersepsi tindakan terkait kesehatannya itu akan
membuatnya menjadi sakit.
3. Persepsi manfaat menunjukkan sejauh mana individu mempersepsi manfaat dari metode atau
cara-cara pencegahan yang disarankan/direkomendasikan untuk mereduksi risiko atau
keseriusan penyakit yang akan diderita akibat perilaku kesehatan yang kurang baik.
4. Persepsi hambatan menunjukkan sejauh mana individu melihat potensi munculnya dampak
negatif dari perilaku kesehatan yang disarankan/direkomendasikan sehingga perilaku
kesehatan tersebut cenderung tidak dilaksanakan. Beberapa contoh diantaranya adalah
persepsi bahwa perilaku kesehatan yang disarankan ini berbiaya tinggi, menyita banyak
waktu, prosedurnya rumit, dsb.
5. Self-efficacy yaitu sejauh mana individu merasa yakin bahwa ia mampu melaksanakan suatu
tindakan sehingga mencapai tujuan yang diharapkan. Di sini individu membuat perkiraan,
sejauh mana perilaku kesehatan yang direncanakannya dapat membawanya pada
tujuan/capaian tertentu. Self-efficacy akan berfungsi efektif pada tahap inisiasi atau untuk
mempertahankan perilaku kesehatan yang kompleks dalam waktu yang panjang. Dalam upaya
mencapai perubahan perilaku yang sukses, maka seseorang perlu merasa terancam dengan
kondisi pola perilakunya saat ini dan percaya bahwa perubahan pada suatu perilaku yang
spesifik akan mendatangkan manfaat, mereka juga perlu merasa mampu untuk menghadapi
dan mengatasi hambatan-hambatan yang muncul sehingga dapat menampilkan tindakan.

Health belief model dapat menjelaskan tentang perilaku pencegahan pada individu. Hal
ini menjelaskan mengapa terdapat individu yang mau mengambil tindakan pencegahan,
mengikuti skrining, dan mengontrol penyakit yang ada. Pada orang dewasa, sedikitnya 10 menit
aktivitas fisik sedang tiga kali sehari dapat membantu mencegah penyakit tidak menular dan
memperpanjang harapan hidup.

Health Belief Model yang dicetuskan oleh Becker pada tahun 1974 digunakan untuk
mempelajari perilaku seseorang terhadap perilaku pencegahan penyakit dan kepatuhan perilaku
kesehatan. Dengan dasar ini pula, penelitian dengan judul “Hubungan Antara Health Belief
Model dengan Perilaku Kepatuhan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Pandemi COVID-19 pada Emerging Adult“ memilih menggunakan aspek-aspek Health Belief
Model oleh Becker. dalam mengkaji perilaku kepatuhan seseorang dalam menjalankan kebijakan
perilaku kesehatan yang disarankan pada saat pandemi.

Penelitian mengenai kepatuhan terhadap anjuran perilaku kesehatan saat pandemi sering
dikaji menggunakan Health Belief Model. Salah satunya adalah penelitian pustaka yang
dilakukan Bish & Michie yang merangkum 26 penelitian kemudian mengkaji hubungan faktor
demografis dan dimensi Health Belief Model dengan kepatuhan dalam melakukan perilaku
kesehatan pada pandemi pernapasan akut (SARS), flu burung (H5N1), dan flu babi (H1N1).
Dimensi perceived susceptibility ditemukan mempunyai hubungan yang lebih besar jika
dikaitkan dengan perilaku penghindaran pada pandemi SARS.Dimensi Perceived Severity
ditemukan pada penelitian bahwa mereka yang merasa bahwa flu babi lebih parah lebih
melakukan perilaku mencuci tangan, menggunakan desinfektan, dan melakukan tindakan
preventif lainnya. Dimensi Perceived Benefit ditemukan pada penelitian yang dilakukan di
Inggris bahwa adanya hubungan dengan perilaku penghindaran dalam melindungi diri dari
penyakit pada pandemi flu babi. Dimensi perceived barrier ditemukan dalam penelitian kualitatif
di Inggris,bahwa alasan seseorang memiliki perceived barrier dalam melakukan perilaku
kesehatan yang direkomendasikan, seperti lupa untuk mencuci tangan, serta kurangnya ruang
untuk menjaga jarak temu dengan orang lain. Hal ini mana memengaruhi seberapa besar
kemungkinan individu akan melakukan suatu perilaku kesehatan saat pandemi.
Teori Precede Proceed Model (L. Green)

dalam Perubahan Perilaku

A. Pengertian Model Precede-Proceed

Green (1980) telah mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan
untuk membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal precede. Precede adalah
singkatan Predisposing (predisposisi), Reinforcing (Memperkuat), Enabling (Mengaktifkan),
Causes (Penyebab), Educational Diagnosis (Pendidikan Diagnosa) dan Evaluation (Evaluasi)
yang merupakan suatu model pendekatan yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah
kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau
mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan
kesehatan. Precede memberikan serial langkah yang menolong perencana untuk mengenal
masalah mulai dari kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Namun pada tahun 1991 Green menyempurnakan kerangka tersebut menjadi
Precede-Proceed. Proceed (Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and
Environmental Development). Precede-Proceed harus dilakukan secara bersama. Precede
digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan program,
sedangkan Proceed digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan, serta
implementasi dan evaluasi (Azwar, 2015). Precede bagian dari fase (1-4) berfokus pada

perencanaan program, dan bagian Proceed fase (5-8) berfokus pada implementasi dan evaluasi.

Delapan fase dari model panduan dalam menciptakan program promosi kesehatan, dimulai

dengan hasil yang lebih umum dan pindah ke hasil yang lebih spesifik.Secara bertahap, proses
mengarah ke penciptaan sebuah program, pemberian program, dan evaluasi program (Fertman,
2010)

B. Tujuan Model Model Precede-Proceed

Bagian paling penting dari perencanaan program adalah analisis komunitas atau yang
biasa dikenal sebagai analisis kebutuhan (need assessment). Keberhasilan program promosi
kesehatan tergantung dari data yang didapat tentang individu, kelompok atau sistem yang akan
menjadi fokus dari program. Berdasarkan data tersebut perencana program dapat memahami
masalah kesehatan yang perlu diatasi dan sumberdaya yang tersedia. Model Precede dan Proceed
juga berperan penting dalam perencanaan pendidikan dan promosi kesehatan karena
menyediakan bentuk untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah
kesehatan, perilaku dan pelaksanaan program. Model Precede adalah kerangka untuk proses
perkembangan sistematis dan program-program edukasi kesehatan, dikembangkan antara tahun
1968 - 1974. Tujuan Precede pada fase diagnosis masalah, menetapkan prioritas masalah dan
diagnosis program. Precede untuk diagnosa dan perencanaan memimpin edukator kesehatan
untuk berpikir secara deduktif, untuk memulai dengan konsekuensi final dan bekerja kembali ke
penyebab asli. Proceed ditambahkan pada model ini pada akhir 1980-an berdasarkan pada
percobaan Lawrence W. Green bersama dengan Marshall Krueter pada berbagai macam posisi
dengan pemerintahan federal dan Kaiser Family Foundation. Tujuan Proceed digunakan untuk
menetapkan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan, serta implementasi dan evaluasi.
Kerangka Precede didirikan pada persyaratan dari empat disiplin:

a) Epidemiologi
b) Ilmu pengetahuan sosial dan tindakan (behaviour),
c) Administrasi
d) Edukasi

Dalam penerapan Precede, dua proporsi dasar ditekan: Pertama, kesehatan dan tindakan
kesehatan disebabkan oleh faktor-faktor ganda, dan kedua, karena kesehatan dan tindakan
kesehatan ditentukan oleh faktor-faktor ganda, upaya-upaya edukasi kesehatan untuk
mempengaruhi tindakan harus multidimensional.

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor
perilaku (behavioural causes) dan factor diluar perilaku (non-behavioural causes). Sedangkan
faktor perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi mencakup


pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pendukung (enabling factors) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti air bersih, tempat pembuangan
sampah, tempat cuci tangan, dan sebagainya.
3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) Faktor ini meliputi faktor sikap dan
perilaku tokoh masyarakat,tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya
perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan
perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, dari pasien, hingga petugas
kesehatan itu sendiri. Precede digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas
masalah dan tujuan program,sedangkan proceed digunakan untuk menetapkan sasaran
dan kriteria kebijakan, serta implementasi dan evaluasi.

C. Model Precede Proceed menurut Lawrence Green memiliki 9 Fase yaitu :

1. Diagnosis Sosial

Dari fase pertama yaitu penilaian social (social assessment). Pada fase ini peneliti
akan mengidentifikasikan indikator derajat kesehatan masyarakat.

2. Diagnosis Epidemiologi

Pada fase penilaian epidemiologi, perilaku dan lingkungan


(epidemiologi,behavior and environmental assessment) terdiri dari dua langkah. Langkah
pertama yaitu melihat tingkat kemaknaan dari suatu masalah kesehatan melalui data
epidemiologi. Langkah kedua yaitu mengidentifikasi faktor etiologikal atau determinan
kesehatan yang terdapat didalam genetik, pola perilaku serta keadaan lingkungan di
populasi yang terhubung dengan prioritas kesehatan yang telah diidentifikasi pada
langkah pertama dan juga pada fase penilaian sosial (social assessment).

3. Diagnosis Perilaku dan Lingkungan


Masalah perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi perilaku dan status
kesehatan atau kualitas hidup seseorang atau masyarakat diidentifikasi.

4. Diagnosis Pendidikan dan Organisasi

Identifikasi diagnosis pendidikan dan organisasional dilakukan berdasarkan


determinan perilaku yang mempengaruhi status kesehatan seseorang atau masyarakat,
yaitu :

● Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempengaruhi dan menentukan


perilaku seseorang. Faktor ini meliputi pengetahuan, sikap,persepsi, kepercayaan dan
nilai atau norma yang diyakini seseorang.

● Faktor pendorong (enabling factors)

Faktor pendorong diartikan sebagai faktor yang dapat memungkinkan


seseorang mengubah perilakunya. Faktor ini meliputi lingkungan fisik,sarana
kesehatan, dan terjangkaunya fasilitas dan sumber kesehatan.

● Faktor Penguat (reinforcing factors)

Yaitu perilaku orang lain yang berpengaruh (toma, toga, guru, petugas
kesehatan, orang tua, pemegang kekuasaan ) yang dapat menjadi pendorong
seseorang untuk berperilaku.

5. Diagnosis Kebijakan dan Administrasi

Pada fase ini, dilakukan analisis kebijakan, sumber daya, dan peraturan yang
berlaku yang dapat memfasilitasi atau menghambat pengembangan program promosi
kesehatan. Untuk diagnosis administratif, dilakukan tiga penilaian, yaitu sumber daya
yang dibutuhkan untuk melaksanakan program, yaitu sumber daya yang terdapat di
organisasi dan masyarakat,serta hambatan pelaksanaan program. Untuk diagnosis
kebijakan, dilakukan identifikasi dukungan dan hambatan politis, peraturan dan
organisasional yang memfasilitasi program serta pengembangan lingkungan yang dapat
mendukung kegiatan masyarakat yang kondusif bagi kesehatan. Fase ini melangkah dari
perencanaan dengan Precede ke implementasi dan evaluasi dengan Proceed. Precede
digunakan untuk meyakinkan bahwa program akan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan
individu atau masyarakat sasaran.

6. Implementasi

Pada tahap ini, merencanakan suatu intervensi (secara besar pada fase fase
sebelumnya), berdasarkan analisis. Sekarang, yang harus kita lakukan adalah
menjalankannya. Fase ini hanya berupa pengaturan dan pengimplementasian intervensi
yang telah direncanakan sebelumnya. Pada fase ini, intervensi yang telah disusun pada
fase kelima diterapkan secara langsung pada masyarakat.

7. Evaluasi Proses

Fase ini bukanlah mengenai hasil, tetapi mengenai prosedur. Evaluasi disini
berarti apakah kita sedang melakukan apa yang telah kita rencanakan sebelumnya. Jika,
sebagai contoh, kita menawarkan melakukan pelayanan kesehatan diare tiga hari dalam
sepekan pada daerah pedesaan, apakah dalam kenyataannya kita benar-benar melakukan
pelayanan kesehatan tersebut. Kita juga menetapkan untuk memberikan penyuluhan
setiap hari senin dan khamis untuk melakukan penyuluhan tentang diare dan
penanganannya di puskesmas berdekatan, setiap selasa dan rabu melakukan penyuluhan
ke sekolah-sekolah apakah kita benar- benar melaksanakan sesuai yang direncanakan

8. Evaluasi Dampak

Pada fase ini, kita mulai melakukan evaluasi terhadap sukses awal dari upaya kita.
Apakah intervensi tersebut menghasilkan efek yang kita inginkan pada faktor perilaku
atau lingkungan yang kita harapkan untuk berubah. Mengukur efektivitas program dari
sudut dampak menengah dan perubahan perubahan pada faktor predisposing, enabling,
dan reinforcing.
Dari teori Precede dan Proceed diketahui bahwa salah satu cara untuk mengubah
perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi yaitu
mengubah pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap masalah kesehatan melalui kegiatan
pendidikan kesehatan.
Daftar Pustaka

Otty Mulijaty Purwodihardjo & Angela Oktavia Suryani, 2020, ‘Aplikasi Health Belief Model
dalam Penanganan Pandemi Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta’, Jurnal Perkotaan , Vol. 12 No.
1, Hal 21 - 28 .

Rachman, R. A., Noviati, E. & Kurniawan, R., 2021. EFEKTIFITAS EDUKASI HEALTH
BELIEF MODELS DALAM PERUBAHAN PERILAKU PASIEN HIPERTENSI ;
LITERATUR REVIEW. Healthcare Nursing Journal, 3(1), pp. 71-80.

Azwar, F. H., 2015. Teori Perubahan Perilaku, Jambi: Universitas Jambi.

Rachmawati, W. C., 2019. PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU. Malang: Penerbit
Wineka Media.

Berhimpong, M. . J. A., Rattu, . A. J. M. & Pertiwi, J. M., 2020. Analisis Implementasi Aktivitas
Fisik Berdasarkan Health Belief Model Oleh Tenaga Kesehatan di Puskesmas. Indonesian
Journal of Public Health and Community Medicine, 1(4), pp. 54-62.

Sulaeman, E. S., Murti, B. & W., 2015. Aplikasi Model PRECEDE-PROCEED Pada
Perencanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Berbasis Penilaian
Kebutuhan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kedokteran Yarsi, 23(3), pp. 149-164.

aradista, m. a., rini, p. a. & pratitis, n., 2020. Hubungan Antara Health Belief Model dengan
Perilaku Kepatuhan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama Pandemi
COVID-19 pada Emerging Adult. jurnal penelitian psikologi, 1(02), pp. 119-120.

Wahyusantoso, S. & Chusairi, A., 2021. Hubungan Health Belief Model pada Perilaku Prevensi
saat Pandemi Covid-19 di Kalangan Dewasa Awal. Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan
Mental (BRPKM), 1(1), pp. 129-136.

Silvanasari, Angelia Irwina dan Trisna Vitaliati. 2019. Faktor Penguat yang Berhubungan dengan
Kecanduan Penggunaan Smartphone pada Remaja dengan Pendekatan Precede Proceed Model.
Program Studi Ilmu Keperawatan. Stikes dr. Soebandi.

Anda mungkin juga menyukai