Anda di halaman 1dari 5

HEALTH BELIEF MODEL

Nada Nur Zahra


NIM: 111711133091
Mata Kuliah : Perilaku Sehat Kelas : C-1

I. SEJARAH

Health Belief Model (HBM) dikembangkan oleh Rosenstock (1966) an diteruskan


oleh Becker dan koleganya selama tahun 1970-an sampai 1980an dalam rangka untuk
memprediksi perilaku untuk mencegah penyakit serta respon perilaku terhadap
perawatan pasien penyakit kronis (Ogden, 2007). Menurut Rosenstock (1974), diawal
tahun 1950 Layanan Kesehatan Masyarakat berpusat pada cara pencegahan penyakit
dan tidak terlalu fokus pada pengobatan penyakit. Dengan demikian masalah –
masalah seputar gejala – gejala penyakit yang dimiliki oleh pasien, kepatuhan mereka
pada cara dan aturan – aturan medis serta komunikasi terkait pasien dan dokter
bukanlah yang menjadi fokus konsen kesehatan masyarakat pada saat itu. Namun hal
lain yang jelas terjadi pada waktu itu adalah ketidaksadaran orang – orang untuk
menerima pencegahan dan screening tests untuk mendeteksi lebih awal penyakit yang
tidak dapat disadari gejala apapun sampai tes dilakukan (asimtomatik). Termasuk tes
atau pencegahan pada penyakit Tuberculosis (TBC/TB) lalu selanjutnya pada kanker
serviks, penyakit gigi, polio dan influenza.

Hal – hal yang telah dijelaskan diatas menjadi salah satu faktor penyebab yang
mempengaruhi munculnya teori yang dikembangkan untuk menjelaskan perilaku
pencegahan (preventive) penyakit. Suatu teori yang harus berurusan dengan individu
yang sedang tidak menderita penyakit yang melumpuhkan melainkan lebih
berorientasi pada penghindaran dari munculnya penyakit (Irwin M. Rosenstock,
1974).

Orang – orang yang bekerja pada masalah – masalah yang merujuk pada masalah
kesehatan masyarakat dulunya di latih sebagai psikolog sosial. Sehingga, mereka
sedikit banyak terpengaruhi oleh teori Kurt Lewin bahwa yang menentukan apa yang
akan manusia lakukan adalah berasal dari persepsi dia terhadap dunia dan bukan
berasal dari lingkungan fisik. Pada akhirnya para peneliti awal – awal ini berpegangan
pada filosofis yang kuat dan berkomitmen untuk meningkatkan informasi ilmiah
dengan cara membangun dari pekerjaan – pekerjaan sebelumnya (Irwin M.
Rosenstock, 1974).

II. DEFINISI

Health Belief Model adalah suatu teori yang menyatakan bahwa seseorang
memiliki sesuatu yang biasa disebut perceived susceptibility yaitu kerentanan
yang dirasa oleh individu tersebut. Persepsi individu mengenai kemungkinan
bahwa dirinya akan terjangkit suatu penyakit dapat mempengaruhi bagaimana
cara ia berperilaku, lebih spesifiknya bagaimana perilaku mereka untuk mencegah
penyakit itu dan cara mencari pengobatan. Seseorang yang merasa rentan untuk
terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam sehingga individu itu
akan segera bertindak untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit tersebut.
Kerentanan yang dirasakan oleh individu ini tergantung pada persepsi mereka
terhadap resiko yang dihadapi oleh dirinya dalam keadaan tersebut (Shaver,
2005).

Seperti yang dijelaskan teori model ini, jika seorang individu ingin mengambil
tindakan demi upaya menghindari suatu penyakit maka individu perlu percaya
bahwa ia :

(1) bahwa ia memang rentan terhadap penyakit tersebut.

(2) bahwa jika penyakit itu menimpanya maka penyakit itu setidaknya akan
menimbulkan efek dan tingkat keparahan moderat yang akan mempengaruhi
beberapa komponen dalam hidup individu tersebut.

(3) dan individu harus percaya bahwa dengan ia mengambil suatu tindakan, maka
akan berpengaruh baik dalam pengurangan tingkat kerentanan individu
terhadap suatu penyakit tersebut. Dan jika penyakit itu sudah terlanjur terjadi
maka dengan mengambil suatu tindakan, itu akan mengurangi tingkat
keparahan penyakit. Sehubungan dengan pengambilan tes untuk deteksi dini
dari suatu penyakit, faktor – faktor yang sama dianggap diperlukan tetapi
sebagai tembahan, individu haruslah percaya bahwa ia sedang menderita
penyakit ini walaupun tidak ada gejala yang tampak ataupun gejala yang ia
rasakan (Irwin M. Rosenstock, 1974).
III. KOMPONEN

Teori Health Belief Model (HBM) memiliki enam determinan perilaku (Armitage
& Conner, 2000) :
(1) Perceived Susceptibility (persepsi kerentanan)
(2) Perceived Severity (persepsi keparahan)
(3) Perceived Benefits (persepsi manfaat)
(4) Perceived Barriers
(5) Health Motivation (berhubungan dengan motivasi seorang individu untuk
terikat dengan perilaku yang sehat)
(6) Cues to Action: adalah suatu dorongan dan motivasi yang membuat seseorang
merasa perlu untuk berperilaku sehat (Conner & Norman, 2003).

Secara general sebenarnya semua ke-enam komponen dihormati sebagai prediktor


mandiri dari perilaku sehat. Namun, secara konseptualisasi implisit dari teori
Health Belief Model (HBM) adalah kombinasi dari Perceived Susceptibility dan
Perceived Severity untuk memproduksi perceived threat dan perceived benefits
dengan perceived barriers untuk menentukan evaluasi dari aksi yang di lakukan.
Perilaku sehat cenderung dilakukan jika seorang individu mepersepsikan ancaman
dari suatu penyakit (contohnya tingkat kerentanan dan keparahan yang tinggi)
(Armitage & Conner, 2000).

IV. APLIKASI
Salah satu contoh pengaplikasian Health Belief Model (HBM) adalah screening
untuk kanker serviks, apakah pasien rentan terhadap kanker serviks, apakah
kanker serviks adalah ancaman yang parah untuk pasien, apakah manfaat dari
screening tinggi. Ini juga bisa diaplikasikan jika pasien memiliki dorongan (cues
to action) dari dalam misalnya gejala yang berkaitan dengan kanker serviks (tidak
perduli apakah gejala itu benar atau salah), atau dorongan eksternal berupa iklan
tentang kanker serviks (Ogden, 2007).

V. KELEBIHAN
Beberapa penelitian menunjukan dukungannya kepada Health Belief Model
(HBM). Penelitian mengindikasikan bahwa perilaku seperti: safe sex, melakukan
vaksin, menemui dan mengecek kesehatan secara teratur ke dokter atau
berolahraga secara teratur berhubungan dengan persepsi individu terhadap faktor
kerentanannya, faktor masalahnya, faktor manfaat dari perilaku sehat. Beberapa
penelitian (Sutton, 1982; Flay 1985) juga mendukung bahwa cues of action dapat
memprediksi perilaku sehat dalam hal dorongan eksternal seperti menerima
informasi dari luar. Informasi yang memperingatkan akan bahaya bisa merubah
attitude dan perilaku sehat dalam area kesehatan gigi dan mulut, mengemudi
dengan aman, dan perilaku tidak merokok (Ogden, 2007).

VI. KEKURANGAN
Health Belief Model (HBM) kerap kali di kritik akibat komponen yang di
formulasikan tanpa definisi dan tanpa adanya aturan jelas dalam
mengkombinasikannya. Contohnya, walaupun ancaman mungkin adalah ancaman
yang berakibat parah dan rentan, ancaman itu menunjukan prediktor perilaku yang
terpisah – pisah. Selain itu, walauhubungan antara Health Belief Model (HBM)
dengan perilaku sebenarnya secara statistik terlihat signifikan, efeknya sendiri itu
sebenarnya kecil (Armitage & Conner, 2000). Selanjutnya Sheeran dan Abraham
(1996) dalam Armitage & Conner (2000) mengatakan lebih lanjut bahwa Health
Belief Model (HBM) lemah dalam tingkat prediksi validitasnya karena fungsi dari
definisi konstruknya lemah, kurangnya aturan kombinasi, dan tidak adanya bukti
dari validitas diskriminan dari komponen Health Belief Model (HBM) dan
variabel dari model lain.
Selain itu masih ada beberapa kritik yang dilemparkan pada Health Belief Model
(HBM), yaitu (Ogden, 2007):
(1) terlalu menekankan pada individu dan terkesan mengabaikan peran sosial dan
peran lingkungan.
(2) Hubungan antara beliefs yang berbeda – beda.
(3) Kurangnya peran faktor emosional dalam teori ini (contohya: denial)
Daftar Pustaka

Armitage, C. J., & Conner, M. (2000). SOCIAL COGNITION MODELS AND HEALTH: A
STRUCTURED REVIEW. Psychology and Health, Vol. 15, 173-189.

Conner, M., & Norman, P. (2003). Predicting Health Behaviour, Research and Practice with
Social Cognition Model. Buckingham: Open University Press.

Irwin M. Rosenstock, P. (1974). Historical Origins of the Health Belief Model. Health
Education Monographs VOL. 2, NO. 4, 328-335.

Ogden, J. (2007). Health Psychology a textbook: Fourth Edition. England: Open University
Press.

Shaver, F. M. (2005). Sex Workers Research, Metodological and Ethical Challanges. Journal
of Interpersonal Violence, 20(2), 296-319.

Anda mungkin juga menyukai