Anda di halaman 1dari 6

1) Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)

The Health Belief Model (HBM) atau Model Kepercayaan Kesehatan


adalah model perubahan perilaku kesehatan yang dikembangkan untuk
menjelaskan dan memprediksi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
terutama dalam hal pelayanan kesehatan. Health Belief Model dikembangkan
pada tahun 1950 oleh ahli psikologi sosial Irwin M. Rosenstock, Godfrey M.
Hochbaum, S. Stephen Kegeles, dan Howard Leventhal di Departemen
Kesehatan AS dan menjadi salah satu teori yang paling dikenal dan paling
banyak digunakan dalam penelitian tentang perilaku kesehatan (Tarkang dan
Francis, 2015).
Health Belief Model telah diterapkan hampir di seluruh belahan dunia
untuk memprediksi berbagai perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
seperti deteksi dini tanpa gejala dan imunisasi. Kemudian model ini
dikembangkan penerapannya pada pasien dengan adanya manifestasi klinis.
Beberapa contoh penerapan Health Belief Model antara lain: perilaku gaya
hidup, perilaku seksual beresiko, dan perilaku yang berkaitan dengan penyakit
kronis (Abolfotouh et al., 2015).
Rawlett (2011) menyebutkan model kepercayaan kesehatan (Health
Belief Model) adalah bagian dari model sosio-psikologis. Model ini muncul
berdasarkan adanya kenyataan bahwa masalah kesehatan ditandai dengan
kegagalan individu atau masyarakat dalam mengusahakan pencegahahan
ataupun penyembuhan penyakit.

Persepsi
Persepsi Persepsi
Persepsi
Persepsi Manfaat Hambatan
Manfaat Hambatan
Persepsi
Kerentanan

Kerentanan Perilaku
Kesehatan
Persepsi Perilaku
Kesehatan
Ancaman
Gambar 2.1 Health Belief Model (Rosenstock et al., 1988)
Persepsi
Rosenstock et al. (1988) membagi komponen Health belief model yang
Keparahan Cues antara lain: Efikasi
menjadi determinan perilaku kesehatan
to action
a) Persepsi kerentanan (perceived susceptibility) diri
Perceived susceptibility mengacu pada persepsi subjektif individu
tentang penurunan kondisi kesehatan, atau persepsi subjektif seseorang
terhadap risiko tertular penyakit. Dimensi ini diformulasikan berdasarkan
penerimaan terhadap diagnosa, perkiraan kerentanan seseorang dan
kerentanan terhadap semua penyakit. Semakin besar risiko yang dirasakan,
akan semakin besar pula kemauan seseorang untuk terlibat dalam perilaku
untuk mengurangi risiko tersebut.
Hal yang mendasari seseorang bertindak untuk mengatasi atau
mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan terhadap
penyakit tersebut. Suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan
muncul apabila individu telah merasakan bahwa ia atau komunitasnya rentan
terhadap penyakit tertentu. Hal ini menjadi logis ketika seseorang percaya
bahwa ia memiliki risiko penyakit tertentu. Misalnya seorang wanita yang
melakukan pap smear karena dia percaya akan adanya kemungkinan terkena
kanker serviks. Namun hal sebaliknya terjadi ketika orang percaya bahwa
mereka tidak berisiko terhadap suatu penyakit, maka pola hidupnya akan
jauh dari perilaku sehat. Contohnya ketika seseorag yang berada pada risiko
tinggi HIV namun tidak melakukan praktik seks yang aman.
b) Persepsi keparahan (perceived severity)
Persepsi keparahan mengacu pada persepsi subjektif individu terkait
tingkat keparahan apabila menderita suatu penyakit. Gagasan ini muncul
berdasarkan anggapan individu bahwa jika suatu penyakit tidak diobati maka
semakin berat penyakit, akan semakin besar pula ancaman yang harus
dihadapi.

c) Persepsi ancaman (perceived threat)


Persepsi tentang ancaman akan mendorong seseorang untuk
mengambil tindakan pencegahan atau langkah-langkah penyembuhan.
Persepsi tentang ancaman juga dapat mendorong adanya motivasi kesehatan
yang muncul pada individu karena adanya tanda dan gejala penyakit.
Motivasi yang muncul pada setiap individu berbeda-beda tergantung pada
tingginya kepedulian individu atau kelompok terhadap masalah kesehatan
(Ersin dan Zuhal, 2011).
d) Persepsi manfaat (perceived benefits)
Perceived benefits mengacu pada persepsi individu tentang manfaat
atau keuntungan yang dirasakan apabila mengurangi risiko suatu penyakit.
Persepsi ini mendorong seseorang untuk mempertimbangkan keuntungan
dari segi biaya yang harus dikeluarkan apabila melakukan tindakan
pencegahan penyakit. Individu atau komunitas akan mengambil tindakan
apabila merasakan manfaat dari tindakan tersebut untuk mengurangi
ancaman.
Orang cenderung mengadopsi perilaku sehat ketika mereka percaya
bahwa perilaku sehat dapat menurunkan peluang terkena penyakit. Manfaat
yang dirasakan memainkan peranan penting bagi seseorang untuk
mengadopsi perilaku pencegahan sekunder misalnya skrining kanker serviks.
Perempuan yang merasakan manfaat skrining lebih mugkin untuk menjalani
daripada mereka yang tidak melihat skrining sebagai suatu manfaat.
e) Persepsi tentang hambatan (perceived barriers)
Persepsi ini didasarkan pada pendapat individu tentang hambatan
dalam menerapakan kebiasaan hidup sehat. Jika individu percaya bahwa
suatu kebiasaan di lingkungannya lebih menguntungkan, maka ia cenderung
mempertahankan kebiasaan tersebut. Hal ini dapat menjadi ancaman individu
untuk berperilaku sehat.
Perubahan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Hambatan
untuk bertindak dapat berupa perasaan tidak menyenangkan atau sakit saat
mendapatkan pengobatan, perasaan ditolak, selain itu hambatan dapat berupa
biaya baik bersifat monetary cost (biaya pengobatan) maupun time cost
(waktu yang digunakan selama perawatan maupun waktu yang digunakan ke
tempat layanan kesehatan yang dinilai mengurangi produktivitas). Hambatan
juga dapat berupa perasaan tidak menyenangkan saat menjalani suatu
prosedur medis. Misalnya wanita yang belum terikat pernikahan namun telah
aktif secara seksual akan merasa takut dan melihat skrining pap smear
sebagai sesuatu yang memalukan.
f) Petunjuk tindakan (cues to action)
Petunjuk tindakan atau Cues to action bisa berasal dari orang atau
kejadian yang menjadi alasan individu atau komunitas merubah
kebiasaannya. Contohnya pengalaman sakit sebelumnya ataupun individu
sehat yang menjadi panutan seseorang dalam bertindak. Mengetahui sesama
anggota komunitasnya terkena IMS merupakan dorongan yang kuat bagi
seseorang untuk menerapkan pola hubungan seksual yang aman.
g) Keyakinan diri (self-efficacy)
Keyakinan diri atau self efficacy merupakan kepercayaan akan
kemampuan diri seseorang dalam melakukan sesuatu. Sebagian besar orang
tidak akan bertindak atau mencoba melakukan sesuatu yang baru kecuali
mereka percaya bahwa mereka dapat melakukannya. Jika individu atau
komunitas percaya bahwa kebiasaan baru dapat berdampak positif, atau
bermanfaat tetapi ia merasa tidak dapat melakukannya maka perubahan tidak
akan pernah terjadi.
Selain komponen-komponen tersebut di atas, faktor pendukung yang
lain seperti kampanye media massa, nasehat dan anjuran dari anggota keluarga
atau komunitas dapat memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap perilaku seseorang.
A. Kerangka berpikir
Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia (Rhomadona, 2013)
maupun di luar negeri (Rotheram-Borus et. al. 1999; Montcalm and Meyer, 2000; Scheer
et al. 2002; Richter et al. 2008; Sandfort et al. 2013; Nguyen et al. 2016), didapatkan hasil
bahwa perempuan lesbian mempunyai perilaku seksual seperti, penggunaan sex toy
bersama-sama, terdapat lesbian yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki
(biseksual), dan ada pula lesbian yang tidak setia terhadap partner seksualnya sehingga
cenderung berganti-ganti pasangan. Beberapa penelitian juga menyebutkan tentang lesbian
IDU (injection drug user). Beberapa perilaku tersebut menempatkan perempuan lesbian
sebagai salah satu kelompok yang berisiko tertular HIV/AIDS. hal ini didukung oleh
adanya pemahaman bahwa lesbian merupakan kelompok yang “kebal” terhadap
HIV/AIDS maupun IMS sehingga kelompok lesbian merasa aman melakukan hubungan
seksual tanpa pengaman.
Perilaku seksual tersebut di atas menempatkan lesbian pada kelompok risiko
HIV/AIDS sehingga digunakan pendekatan Health Belief Model sebagai prediktor
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada komunitas lesbian. Health Belief Model (Model
kepercayaan kesehatan) merupakan suatu model perubahan perilaku kesehatan yang
dikembangkan untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan. Teori health
belief model menjadi salah satu teori yang paling banyak dikenal dan paling banyak
digunakan dalam penelitian perilaku kesehatan. Model ini menunjukkan bahwa persepsi
kerentanan, persepsi keparahan, persepsi ancaman, persepsi manfaat, persepsi hambatan,
cues to action dan efikasi diri dapat memicu individu (lesbian) untuk menerapkan perilaku
pencegahan HIV/AIDS. Beberapa komponen di atas dapat menjadi stimulus untuk
bertindak dalam rangka mencegah penularan HIV/AIDS. Selain Health Belief Model,
karakteristik lesbian seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, juga mempengaruhi perilaku pencegahan HIV/AIDS pada lesbian.
Karakteristik
lesbian

Perilaku Persepsi
Persepsi seksual lesbian hambatan
Kerentanan

Perilaku
Persepsi Persepsi
Pencegahan
ancaman HIV/AIDS
manfaat

Persepsi
keparahan Cues toBelief
Action
Efikasi diri
Gambar 2.2 Kerangka berpikir menurut pendekatan Health Model
(Rosenstock et al., 1988)

Anda mungkin juga menyukai