Anda di halaman 1dari 7

Frotteurisme

A. Definisi
Frotteurisme menurut J.P. Chaplin dalam Kartono (2009), berawal dari
kata frottage dan frotter dalam bahasa Perancis yang artinya menggesek-
gesek, mengurut-urut, memijit-mijit, atau meraba-raba. Frotteurisme
merupakan salah satu penyimpangan seksual atau perilaku seks yang tidak
wajar dalam kategori paraphilia. Paraphilia adalah perasaan seksual atau
perilaku yang dapat melibatkan mitra seksual yang tidak manusia, tanpa izin,
atau yang melibatkan penderitaan atau siksaan oleh satu atau kedua pasangan.
Paraphilia terdiri dari berbagai jenis, yaitu eksibisionisme, fetisisme,
frotteurisme, pedofilia, masokisme seksual, sadisme seksual, fetisisme
transvestic dan voyeurisme.
Frotteurisme merupakan perilaku kejahatan yang dalam hal ini pelaku
dapat dituntut dengan pasal 281 KUH Pidana yang menyebutkan bahwa
“diancam dengan pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada
di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan.”

Frotteurisme dapat didefinisikan sebagai:


1. Perbuatan kelamin yang tidak wajar dalam mana orgasme
diperoleh dengan cara menggosok-gosokan dan meremas-remas
pakaian dari seorang anggota lawan jenis kelamin.
2. Fenomena dimana seseorang mendapatkan kepuasan seks dengan
cara meraba-raba orang lain yang disenangi, biasanya tanpa
sepengetahuan orang yang bersangkutan atau korban.
3. Seseorang yang mencapai orgasme dengan jalan menggosok-
gosokkan diri pada pakaian lawan jenis di tengah-tengah banyak
kerumunan orang.

B. Psikopatologi

Frotteurisme biasanya dilakukan oleh seorang yang sangat pemalu,


dan tidak mempunyai keberanian sama sekali untuk malakukan coitus. Pelaku
selalu saja merasa diselimuti oleh perasaan rendah diri, malu, dan tidak
berdaya (Kartono, 2009). Frotteurisme sering dilakukan di tempat-tempat
ramai seperti dalam transportasi umum contohnya bis dan kereta api, dimana
dapat terjadi situasi berdesakan antara penumpang. Kebanyakan seorang
perilaku frotteur merupakan lelaki dan korban merupakan perempuan.
Meskipun begitu, kejadian perempuan kepada lelaki, perempuan kepada
perempuan, dan lelaki kepada lelaki juga dapat ditemukan.

Pada awalnya penyebab kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan,


seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor
genetik. Umumnya kelainan seks terjadi pada batin atau kejiwaan seseorang
walaupun dari segi fisik penderita penyakit seks batin tersebut sama dengan
orang-orang normal yang lain. Namun orang yang penderita penyakit ini
memiliki kebiasaan seks yang cenderung aneh. Perilaku hiperseks sering
terjadi karena abnormalitas neurofisiologis dalam masa perkembangan pada
awalnya. Kelainan ini juga dapat dicetuskan dan ditekankan lagi oleh faktor
psikososial lain, seperti pelecehan seksual saat masa kanak, pola asuh orang
tua yang buruk, stimulus seksual yang tidak wajar atau abnormal saat masa
pertumbuhan, dan lain-lain (Patra, 2013).

Pelaku frotteurisme memiliki ciri-ciri dalam bentuk sifat atau


kebiasaan, karena terlihat dari bentuk fisik, pelaku frotteurisme ini tidak ada
bedanya dengan orang normal lainnya. Seseorang sudah dapat di bilang
frotteurisme ketika orang tersebut telah memperoleh kepuasan saat melakukan
“gesekan” terhadap korbannya dan ketagihan untuk melakukannya berulang
kali.

Masih sedikit yang telah diketahui mengenai psikopatologi


frotteurisme, tetapi dapat dikatakan bahwa ini merupakan insting partial.
Pelaku frotteurisme jarang sekali mencari pertolongan akan kondisi dirinya
secara sukarela. Kraft-Ebbing pada bukunya Psychopathia Sexualis
menjelaskan bahwa perilaku ini merupakan perilaku masturasi dari seorang
individu hiperseks yang tidak yakin akan virilitasnya dalam corpore feminae
(Kraft-Ebbing, 1925). Ia juga mempercayai bahwa frotteurisme memuat
kedua elemen dari fetisisme dan eksibisionisme. Allen (1969) berpendapat
bahwa perilaku ini merupakan perilaku kemesuman yang tidak lazim, yang
jarang dapat dijangkau oleh bantuan psikiater, karena pelaku melakukan
aksinya dengan diam-diam dan sering tidak atau belum ditangani secara
hukum.

Etiopatogenesis (penyebab, perjalanan penyakit, dan efek dari


penyakit) mengenai frotteurisme belum diketahui secara jelas dan belum ada
konsensus ilmiah pasti yang dapat digunakan. Namun, beberapa ahli
berpendapat bahwa perilaku ini dapat juga dicetuskan pada awalnya oleh
bersentuhannya organ genital pelaku secara random atau tidak sengaja dengan
orang lain yang ia anggap menarik secara seksual. Apabila perilaku ini
diulang terus menerus dan berhasil pelaku akan terus berusaha melakukannya
lebih lanjut. Prevalensi pasti dari perilaku hiperseksual ini tidak diketahui.
Mayoritas dari frotteur adalah lelaki dan korbannya perempuan. Biasanya,
puncak onset terjadinya kelainan adalah pada umur 15 sampai 25 tahun.

C. Solusi

Solusi yang tepat untuk pelaku kelainan seksual frotteurisme ini,


pertama harus disadari bahwa perilaku ketagihan seksual ini tidak akan hilang
dengan sendirinya, harus mendapatkan pengobatan dan terapi untuk
menyembuhkannya. Mengobati ketagihan seks sangat tergantung dari orang
yang bersangkutan. Jika ia bisa menyadari bahwa perbuatannya salah dan ada
kemauan untuk mengubahnya, pengobatan menjadi lebih mudah. Proses
pengobatan bisa berupa serangkaian terapi mengenai kesehatan seksual,
hubungan cinta yang sehat, pernikahan, atau mengikuti program support
group dan dibantu obat-obatan tertentu, diperlukan untuk menahan dorongan
seksual yang berlebihan.

Pelaku frotteurisme ini memiliki yang cenderung pemalu dan tidak


memiliki keberanian untuk berhubungan seks secara langsung dengan lawan
jenisnya. Sehingga hal yang tepat ketika korban mengalami peristiwa tersebut,
baiknya korban membentak lansung pelaku atau menegurnya sehingga pelaku
tidak melakukan perbuatannya.

Dalam beberapa kajian pustaka ditemukan beberapa kasus frotteurisme


yang berhasil disembuhkan melalui psikoterapi. Salah satunya menggunakan
terapi perilaku atau behavior therapy. Kuruvillas (1983), melaporkan satu
kasus frotteurisme yang berhasil sembuh melalui terapi ini. Pasien pelaku
frotteur mengaku mengalami gangguan cemas saat berada di situasi yang
memerlukan interaksi sosial, dan memilki kecenderungan untuk
menghindarinya yang menyebabkan pasien kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain. Gangguan ini juga berpengaruh pada pekerjaan pasien.
Terapis kemudian menetapkan desensitisasi sistematik untuk mengatasi
gangguan ini. Pasien diajarkan untuk melakukan relaksasi otot Jacobson, dan
setelah beberapa sesi terapi pasien dapat mengatasi gangguan cemasnya saat
berada di tempat umum. Namun, keinginan dan rasa urgensi pasien untuk
menggesekkan organ genitalnya masih ada. Setelah itu terapis memutuskan
untuk melakukan terapi aversi pada pasien ini dengan menggunakan low-
voltage electric shock (Kuruvillas, 1983).

D. Persepsi di masyarakat
Di lingkungan masyarakat umum, istilah frotteurisme ini jarang
ditemukan, namun ketika membahas dari apa yang dilakukan dalam perbuatan
frotteurisme ini, masyarakat kerap menjumpainya. Di lingkungan kota yang
bisa dibilang sibuk, masyarakat sering menemukan kejadian frotteurisme ini
di angkutan umum yang ramai dan padat.

Di tengah masyarakat, perilaku tersebut dikatakan kelainan seks


namun ada juga yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan perbuatan
iseng. Apabila masyarakat menemukan kejadian tersebut, masyarakat lebih
memilih untuk membentak pelaku, karena hal ini cukup untuk membuat
pelaku berhenti melakukan kegiatannya tersebut. Namun hal ini jarang terjadi
ketika dalam situasi sebenarnya, ketika berhadapan dengan pelaku korban
terkadang diam (tidak menyadari), itu dikarenakan situasi yang ramai dan
kurang sadarnya pelaku terhadap perbuatan ini dan ketika disadari, banyak
korban yang merasa malu untuk bertindak dan membentak ketika berada
dalam keadaan terebut.

E. Upaya Pencegahan

Pola asuh orang tua dan stimulasi yang diberikan oleh lingkungan pada
seseorang harus diakui punya peran yang besar dan signifikan terutama dalam
memperkuat identitas dan tumbuh kembang psikis seorang anak. Pada konteks
ini, pertumbuhan dan perkembangan masa kanak-kanak menjadi masa yang
sangat urgen dan signifikan dalam hal pertumbuhan psikologis dan
kecenderungan berinteraksi serta bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Pada masa ini hendaklah para orangtua memberikan bimbingan dan
pengarahan, termasuk di dalamnya problematika dan wawasan seksualitas.

Ditinjau dari kacamata psikoanalisis, perbincangan tentang seks yang


dianggap tabu, karena seks dipicu oleh dorongan-dorongan naluri dalam id.
Seperti seorang remaja (dan juga banyak orang dewasa) yang pada umumnya
tidak mau mengakui aktfitas seksualnya dan sulit diajak berdiskusi tentang
seks, lebih dikarenakan sebab tabu atau larangan diseputar itu. Tabu ini
mempersulit komunikasi. Sulitnya komunikasi, khususnya dengan orang tua,
dapat menjadi sebab seseorang terjebak dalam perilaku seksual menyimpang.

Seseorang yang memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang


memadai tentang seks dan tambahan lagi berpacaran, mereka ini rentan
terhadap perilaku seksual menyimpang, seperti hubungan seks sebelum
menikah. Kurangnya keterbukaan informasi tentang seks dapat disebabkan
karena orang tua tabu membincangkan persoalan seks dengan anaknya,
sementara seorang anak lebih banyak memperoleh informasi itu dari teman-
temannya.

Tidak dipungkiri adanya kecenderungan gaya hidup pergaulan bebas


saat ini terutama di kota-kota besar. Tanpa adanya bimbingan dan pengarahan,
termasuk di dalamnya problematika dan wawasan seksualitas, seorang anak
rentan mengikuti gaya hidup yang salah tersebut.

Allen, C. (1969). A Textbook of Psychosexual Disorders. London, Oxford University


Press.
Kartono, K. (2009). Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung: Mandar
Maju.
Kraft-Ebbing, R. V. (1925). Psychopathia Sexualis. New York, Physicians and
Surgeons Book Company.
Patra, A., Bharadwaj, B., Shaha, K., Das, S., Rayamane, A. and Tripathi, C. (2013).
Impulsive frotteurism: A case report. Medicine, Science and the Law, 53(4), pp.235-
238.

Anda mungkin juga menyukai