Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

GANGGUAN PERKEMBANGAN NEUROLOGIS

ANGGOTA:
Elsa Maya M. 111711133004
Indah Safitri 111711133011
Ulfatul Fitria 111711133073
Nada Nur Zahra 111711133091
Audrey Wanda C 111711133100
PSIKOPATOLOGI D - 1

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
BAB I
KERANGKA TEORI

1.1 Definisi Sindrom


1.1.1 Gangguan Intelektual

Gangguan Intelektual adalah defisit dalam kemampuan umum seperti dalam


penalaran, pemecahan masalah (problem solving), perencanaan (planning), dan pemikiran
abstrak (abstract thinking), judgement, pembelajaran dalam akademik, dan belajar dari
pengalaman. Gangguan dalam hal ini dapat mengakibatkan individu menjadi sulit
beradaptasi dimana individu cenderung gagal memenuhi standar dalam hal kemandirian,
tanggung jawab sosial dalam kehidupan sehari - hari termasuk dalam hal komunikasi,
partisipasi sosial, akademik dan pekerjaan serta kemandirian dalam rumah dan di
komunitas (DSM 5)
1.1.2 Gangguan Belajar
Gangguan belajar spesifik didiagnosis ketika terdapat defisit spesifik dalam
kemampuan individu untuk memahami atau memproses informasi secara efisien dan
akurat. Gangguan perkembangan saraf ini pertama kali bermanifestasi selama masa sekolah
dan ditandai dengan adanya kesulitan persisten dan gangguan dalam keterampilan
membaca, menulis, dan matematika. Kinerja akademik dari individu yang menderita
gangguan belajar ini jauh di bawah rata-rata anak seusianya. Untuk beberapa individu,
gangguan belajar dapat menjadi gangguan seumur hidup yang dapat menghambat kegiatan
yang tergantung pada keterampilan, termasuk kinerja individu dalam pekerjaan (DSM 5)
1.1.3 Autisme
Menurut edisi ke lima dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM 5), Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah sebuah gangguan pengembangan
syaraf yang ditandai dengan gangguan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial
(contohnya seperti inisiasi sosial dan respon, komunikasi non-verbal, social awareness dan
hubungan) yang berulang – ulang, perilaku restriktif, minat, atau aktivitas. (APA, 2013b).
Selain defisit komunikasi sosial, ASD juga ditandai dengan adanya keterbatasan pola
perilaku, minat, atau kegiatan yang repetitif.
1.1.4 ADHD
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan
perkembangan saraf yang menyebabkan individu menjadi sulit memfokuskan perhatian,
disorganisasi, serta sikap yang impulsif dan hiperaktif. Kurang perhatian dan disorganisasi
menyebabkan individu tidak mampu untuk fokus dalam mengerjakan suatu tugas dan
aktivitas bersikap seperti tidak ingin mendengarkan orang lain. Hiperaktif dan impulsif
membuat individu beraktivitas yang berlebihan, gelisah, sulit untuk tetap duduk diam dan
berpotensi mengganggu aktivitas orang lain. ADHD sering berlanjut hingga dewasa,
sehingga dapat menyebabkan gangguan dalam kehidupan sosial, akademik dan pekerjaan
(DSM 5,)

1.2 Gejala
1.2.1 Gejala Gangguan Intelektual
Ciri-ciri penting dari gangguan intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
adalah defisit dalam kemampuan mental umum (Kriteria A) dan gangguan dalam fungsi
adaptif sehari-hari, dibandingkan dengan usia orang lain sebayanya (Kriteria B). Gangguan
intelektual terjadi selama periode perkembangan (Kriteria C). Diagnosis cacat intelektual
didasarkan pada penilaian klinis dan pengujian fungsi intelektual dan adaptif.
1.2.2 Gejala Gangguan Belajar
Dikutip dari DSM 5, gejala gangguan belajar adalah sebagai berikut:
A. Kesulitan belajar dan menggunakan keterampilan akademik, setidaknya
salah satu dari gejala berikut ini muncul dan bertahan selama 6 bulan,
meskipun telah dilakukan intervensi yang ditargetkan pada kesulitan-
kesulitan itu:
- Ketidak akuratan dalam membaca, membaca dengan lambat walau
sudah berusaha.
- Tidak dapat memahami kata yang dibaca.
- Kesulitan dalam pengejaan.
- Kesulitan dengan ekspresi tertulis (kesalahan grammar, tanda baca
etc.)
- Kesulitan dalam memahami pelajaran yang berhubungan dengan
angka.
- Kesulitan dengan penalaran matematis, memiliki kesulitan yang
dalam menerapkan konsep, fakta, atau prosedur matematika.
B. Keterampilan akademik di bawah rata - rata jika di bandingkan dengan
teman seusianya, sehingga hal ini menyebabkan gangguan signifikan
dengan kinerja akademik atau pekerjaan, atau dengan aktivitas kehidupan
sehari-hari.
C. Kesulitan belajar dimulai sejak periode usia sekolah tetapi mungkin tidak
termanifestasi sepenuhnya sampai individu dihadapkan dengan tuntutan
akademik tertentu (misalnya, seperti dalam tes dengan waktu yang terbatas,
membaca atau menulis laporan kompleks panjang dengan waktu yang
ketat).
1.2.3 Gejala Autisme
Menurut DSM 5, gejala - gejala autisme adalah sebagai berikut:
A. Gangguan dalam komunikasi dan interaksi sosial misalnya:
- Kesulitan dalam hal timbal balik sosial, gagal dalam merespon pada
interaksi sosial.
- Kesulitan dalam komunikasi nonverbal yang digunakan untuk
interaksi sosial, misalnya dalam hal kontak mata dan bahasa tubuh
atau tidak dapat memahami dan menggunakan gestures.
- Kesulitan dalam membentuk, memahami, dan mempertahankan
hubungan sosial.
B. Pola perilaku yang repetitive:
- Gerakan motorik yang di ulang - ulang, contoh: menjajarkan mainan
secara berulang.
- Rutinitas yang tidak flexible, perilaku verbal dan nonverbal yang
yang sama. contoh : memakan makanan yang sama setiap hari.
- Minat terhadap sesuatu dengan intensitas yang tidak normal,
misalnya: kelekatan dengan benda - benda yang tidak biasa.
- hiporeaktif terhadap input sensorik atau minat yang tidak biasa pada
aspek sensorik lingkungan, contohnya: ketidakpedulian terhadap
rasa sakit / suhu, respon negatif terhadap suara atau tekstur tertentu.
C. Gejala harus muncul pada periode perkembangan awal anak.
D. Gejala menyebabkan gangguan signifikan secara klinis pada masalah sosial,
pekerjaan, atau lainnya.
1.2.4 Gejala ADHD
Gejala ADHD muncul pada saat anak-anak. Gejala utamanya berupa hambatan
konsentrasi, pengendalian diri, serta hiperaktif (Wahidah, 2018).
A. Inatensi: anak yang mengalami ADHD umumnya mempunyai kesulitan
dalam hal memusatkan perhatian. Stimulus yang muncul secara tiba - tiba
dan spontan akan sangat mempengaruhi konsentrasi individu. Hal ini
menyebabkan proses penerimaan informasi dari eksternal menjadi
terhambat.
B. Impulsifitas: Pikiran dan tindakan individu dengan ADHD umumnya tidak
selaras. Individu dengan ADHD umumnya perasaan begitu mendominasi
sehingga mereka sangat cepat merespon. Individu dengan ADHD juga sulit
dalam menentukan skala prioritas, sehingga dapat mengganggu kepribadian
dan lingkungannya.
C. Hiperaktifitas: individu dengan ADHD memiliki gerakan motorik yang
berlebih dibanding dengan aktivitas motorik anak normal seusianya.
Individu dengan ADHD banyak bergerak tanpa merasa lelah dan sangat
sulit untukditenangkan.

1.3 Etiologi

1.3.1 Gangguan Intelektual

Penyebab gangguan intelektual diungkapkan Kemis & Rosnawati (


2013:15) dapat dirinci sebagai berikut:

i. Genetik

Kerusakan/kelainan Biokimiawi, Abnormalitas Kromosomal

ii. Faktor yang terjadi sebelum lahir (pre-natal)

1. Infeksi Rubella (cacar)

2. Faktor Rhesus (Rh)

iii. Kelahiran (natal) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat
kelahiran

iv. Setelah lahir (post-natal) akibat infeksi misalnya: meningitis (peradangan pada
selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan
protein

v. Faktor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan

vi. Gangguan metabolism/nutrisi

Pendapat lain menurut Wiyani (2014:104) penyebab gangguan intelektual


secara umum dapat dibagi menjadi tiga penyebab:

i. Penyebab Pre – natal

Ada empat kelainan yang dapat terjadi pada masa pre – natal yang dapat
menyebabkan gangguan intelektual, antara lain:

1. Kelainan Kromosom

Kelainan kromosom yang dapat menyebabkan gangguan intelektual


adalah trisomi 18 atau sindrom Edward, dan trisomi13 atau sindrom Patau, sindrom
Klinefelter, dan sindrom Turner. Selain itu, kelainan kromosom – X yang tergolong
cukup sering menyebabkan gangguan intelektual adalah FragileX syndrome,
sindrom ini dibawa oleh ibu.

2. Kelainan Metabolik

Ada lima kelainan metabolik yang dapat menyebabkan gangguan


intelektual. Pertama, Phenylketonuria merupakan kelainan metabolik yang mana
tubuh tidak dapat mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin. Kedua,
galaktosemia, merupakan gangguan metabolik yang disebabkan tubuh tidak dapat
menggunakan galaktosa yang dimakan. Ketiga, penyakit Tay-Sachs atau infantile
amaurotic idiocy, merupakan gangguan meyabolisme lemak. Keempat, hipotiroid
kongental, merupakan defisiensi hormon tiroid bawaan. Kelima, defiensi yodium.

3. Infeksi

Merupakan peradangan yang diderita oleh seorang individu. Ada dua


infeksi yang menyebabkan gangguan intelektual, yaitu infeksi rubela (campak
Jerman) dan infeksi cytomegalovirus.

4. Intoksikasi

Fetal alchohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang


diakibatkan intoksikasi (kemabukan atau keracunan) alkohol pada janin karena ibu
hamil minum minuman mengandung alkohol.

ii. Penyebab Perinatal

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa bayi lahir premature dan jika


bayi semakin rendah berat lahirnya semakin banyak pula kelainan yang dialaminya
baik fisik atau mentalnya. Asfiksa, hipoglikemia, perdarahan, intraventrikular,
kernicterus dan meningitis juga dapat menimbulkan kerusakan otak dan menjadi
penyebab tibulnya gangguan intelektual.

iii. Penyebab Post – natal

Faktor-faktor post-natal seperti infeksi, trauma, malnutrisi, intoksikasi,


kejang, dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan
gangguan intelektual.

1.3.2 Gangguan Belajar

Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar


terdiri atas dua macam.

i. Faktor intern seseorang, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang mungkin


dari dalam diri seseorang, seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi
seseorang, slow learner, factor genetik, susah membaca atau menulis, susah
fokus, mengalami kesulitan dalam mengikuti suatu perintah, dan
sebagainya.

ii. Faktor ekstern seseorang, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari
luar diri orang tersebut, baik dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
serta lingkungan masyarakat.

iii. Faktor khusus, selain faktor-faktor umum tesebut ada pula sindrom yang
menyebabkan gangguan belajar yaitu sindrom yang menurut (Reber, 1988
dalam Muhibbin Syah, 2013) berupa satuan gejala yang muncul sebagai
indikator adanya keabnormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajar,
yaitu

1. Disleksia yang merupakan ketidak mampuan belajar membaca

2. Disgrafia yang merupakan ketidak mampuan menulis

3. Diskalkulia yang merupakan ketidak mampuan dalam memahami


matematika, juga termasuk symbol-simbol yang ada didalam matematika

1.3.3 Autisme

Dalam beberapa artikel dan jurnal dinyatakan bahwa penyebab mutlak


autism belum diketahui, namun ada beberapa spekulasi yang hingga kini diyakini
merupakan beberapa penyebab autism itu sendiri. Menurut Sari (2009) autis
merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori mengenai penyebab dari autis
diantaranya adalah sebagai berikut:

i. Faktor Genetik

Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan. Sampai
saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme. Namun kejadian
autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala
autisme tidak muncul meskipun anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman,
M; Shattock, P; Ariani, E, 2002).

ii. Kelainan Anatomis Otak


Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan
laju kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki
puzzling sign of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian corpus
callosum, biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum
merupakan pita tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan
dan otak kiri. Kegiatan crossing bagian otak yang berbeda menjadi kurang
terkoordinir sehingga lalu lintas stimulus tidak harmonis.

iii. Disfungsi Metabolik

Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah


komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai
makanan dan dilaporkan komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari lembaga psikiatri
biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk
menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu
memetabolisme komponen amino phenolik (Mujiyanti, 2011).

iv. Infeksi Kandidiasis

Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang
meradang sangat mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dari spesies
Candida. Kultur feces dan tes-tes laboratorium lainnya seringkali mengidentifikasi
pertumbuhan Candida albicans yang berlebihan. Ternyata beberapa riset
mengidentifikasikan bahwa beberapa spesies Candida dan jamur lainnya dapat
menjadi penyebab utama dari banyak tingkah laku yang tidak pantas dan masalah
kesehatan yang terlihat pada pasien autistik (McCandless, 2003).

v. Teori kelebihan opioid dan hubungannya dengan diet protein kasein dan
protein gluten

Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi


dan emosi penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan makanan
yang tidak sempurna khususnya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum dan
biji-bijian (sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari
susu dan produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka terjadi
peningkatan jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya peningkatan
jumlah peptide yang terbentuk diusus sehingga yang masuk ke aliran darah pun
relative lebih banyak, demikian juga yang melewati sawar darah otak. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).

1.3.4 ADHD

Penyebab pasti dari ADHD ini hingga saat ini masih belum diketahui,
namun beberapa hal sebagai factor penyebab ADHD yang diyakini ialah

i. Faktor Genetik

Dari penelitian faktor keturunan pada anak kembar dan anak adopsi,
tampak bahwa factor keturunan membawa peran sekitar 80%. Dengan kata lain
bahwa sekitar 80% dari perbedaan antara anak-anak yang mempunyai gejala
ADHD di kehidupan bermasyarakat akan ditentukan oleh factor genetic. Anak
dengan orang tua yang menyandang ADHD mempunyai delapan kali kemungkinan
resiko mendapatkan anak ADHD. Namun, belum diketahui gen mana yang
menyebabkan ADHD (Paternotte & Buitelaar, 2010:17)

ii. Faktor Fungsi Otak

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa secara biologis ada dua


mekanisme di dalam otak yaitu pengaktifan sel sel saraf dan penghambat sel sel
saraf. Pada reaksi eksitasi sel sel saraf terhadap adanya rangsangan dari luar adalah
melalui panca indra. Dengan reaksi inhibisi, sel-sel saraf akan mengatur bila terlalu
banyak eksitasi. Pada perkembangan seorang anak pada dasarnya mengaktifkan
sistem sistem ini adalah perkembangan terbanyak. Pada anak kecil, sistem
pengereman atau sistem hambatan belumlah cukup berkembang; setiap anak balita
bereaksi impulsive, sulit menahan diri, dan menganggap dirinya pusat dari dunia.
Umumnya sistem inhibisi akan mulai pada usia 2 tahun, dan pada usia 4 tahun
akan berkembang secara kuat. Tampaknya pada anak ADHD perkembangan sistem
ini lebih lambat, dan juga dengan kapasitas yang lebih kecil. Sistem penghambat
atau pengereman di otak bekerja kurang kuat atau kurang mencukupi. Dari
penelitian juga disebutkan bahwa adanya neuro-anatomi dan neuro-kimiawi yang
berbeda antara anak yang menyandang ADHD dan tidak (Paternotte & Buitelaar,
2010:19).

iii. Faktor Lingkungan

Saat ini tidak lagi diperdebatkan apakah ADHD disebabkan oleh


lingkungan ataukah gen, namun sekarang lebih mengarah pada bagaimana
hubungan atau interkasi yang terjadi antara factor genetic dan lingkungan. Dengan
kata lain, ADHD juga begantung pada kondisi gen tersebut dan efek negative dari
lingkungan, bila hal ini terjadi secara bersamaan maka dapat dikatakan bahwa
lingkungan penuh resiko. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan secara
luas, termasuk lingkungan psikologis, lingkungan fisik, serta lingkungan biologis
(Paternotte & Buitelaar, 2010:18).

1.4 Pengukuran dan Diagnosis

1.4.1 Gangguan Intelektual

Dalam mendiagnosis akan dilakukan pemeriksaan pada kondisi pasien


secara menyeluruh. Pemeriksaan dilakukan dengan mewawancarai pasien dan
orang tuanya, melakukan observasi secara langsung, dan menjalankan serangkaian
tes intelektual dan kemampuan penyesuaian diri pasien dengan lingkungan.

Seseorang yang menderita gangguan intelektual akan menunjukkan 2


tanda utama, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang buruk dan nilai IQ di
bawah rata-rata.

Beberapa tes yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan


tersebut, yaitu

a. Tes darah.

b. Tes urine.

c. Pemindaian, seperti CT scan dan MRI.

d. Pemeriksaan aktivitas listrik otak atau elektroensefalografi (EEG).

1.4.2 Gangguan Belajar

Teknik yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kesulitan belajar ialah


tes prasyarat (prasyarat pengetahuan serta prasyarat keterampilan), tes diagnostik,
wawancara, pengamatan, dsb.

a. Tes prasyarat adalah tes yang digunakan untuk mengetahui apakah


prasyarat yang diperlukan untuk mencapai penguasaan kompetensi tertentu
terpenuhi atau belum. apakah prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
penguasaan kompetensi tertentu terpenuhi atau belum. Prasyarat ini
meliputi prasyarat pengetahuan dan prasyarat keterampilan.
b. Tes diagnostik digunakan untuk mengetahui kesulitan peserta didik dalam
menguasai kompetensi tertentu. Misalnya dalam mempelajari operasi
bilangan, apakah peserta didik mengalami kesulitan pada kompetensi
penambahan, pengurangan, pembagian, atau perkalian

c. Wawancara dilakukan dengan mengadakan interaksi lisan dengan peserta


didik untuk menggali lebih dalam mengenai kesulitan belajar yang
dijumpai peserta didik.

d. Pengamatan (observasi) dilakukan dengan jalan melihat secara cermat


perilaku belajar peserta didik. Dari pengamatan tersebut diharapkan dapat
diketahui jenis maupun penyebab kesulitan belajar peserta didik.

1.4.3 Autisme

Adapun untuk menegakkan diagnosis autisme dapat digunakan kriteria


diagnostik menurut DSM IV, yaitu

a. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2 dan 3 di bawah ini:

i. Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala)

1. Gangguan pada beberapa kebiasaan nonverbal seperti kontak mata,


ekspresi wajah, postur tubuh, sikap tubuh dan pengaturan interaksi sosial

2. Kegagalan membina hubungan yang sesuai dengan tingkat


perkembangannya

3. Tidak ada usaha spontan membagi kesenangan, ketertarikan, ataupun


keberhasilan dengan orang lain (tidak ada usaha menunjukkan, membawa,
atau menunjukkan barang yang ia tertarik)

4. Tidak ada timbal balik sosial maupun emosional

ii. Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala)

1. Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bahasa yang diucapkan


(tidak disertai dengan mimik ataupun sikap tubuh yang merupakan usaha
alternatif untuk kompensasi)

2. Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup. Terdapat kegagalan


dalam kemampuan berinisiatif maupun mempertahankan percakapan
dengan orang lain.
3. Penggunaan bahasa yang meniru atau repetitif atau bahasa idiosinkrasi

4. Tidak adanya variasu dan usaha untuk permainan imitasi sosial sesuai
dengan tingkat perkembangan

iii. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat
dan aktivitas (minimal 1 gejala)

1. Kesibukan (preokupasi) dengan satu atau lebih pola ketertarikan stereotipik


yang abnormal baik dalam hal intensitas maupun fokus

2. Tampak terikan kepada rutinitas maupun ritual spesifik yang tidak berguna

3. Kebiasaan motorik yang stereotipik dan repetitif (misalnya mengibaskan


atau memutar-mutar tangan atau jari, atau gerakan tubuh yang kompleks)

4. Preokupasi persisten dengan bagian dari suatu obyek

1.4.4 ADHD

Hingga saat ini masih belum ada tes pasti yang dapat mendiagnosa ADHD
terhadap anak maupun orang dewasa. ADHD baru dapat didiagnosa setelah
seseorang menunjukkan beberapa atau semua gejala-gejala dari ADHD secara
teratur selama lebih dari 6 bulan.

BAB II
ANALISA KASUS
2.1 Deskripsi Kasus Secara Umum (ADHD)
2.1.1 Penampakan Fisik Kasus
LH merupakan siswa di sekolah dasar islam terpadu Surabaya. Sejak
kecil LH sudah memiliki kesulitan untuk mengontrol perilakunya. Perilaku
hiperaktif membuat LH tidak mampu duduk dalam keadaan diam.
Melakukan kegiatan semaunya dan tidak menghiraukan perintah dari orang
tua, guru, shadow (guru pendamping), dan terapis. LH juga memiliki
kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar. Kesulitan tersebut seperti
tidak mampu fokus ketika belajar di dalam kelas, tidak mampu mengerjakan
tugas secara mandiri, tidak mendengarkan perintah atau instruksi guru,
tidak mampu duduk diam, mengerjakan kegiatan di luar aktivitas belajar di
dalam kelas.
Ketika peneliti melakukan observasi kepada LH di dalam kelas, LH
mengalami kesulitan untuk fokus pada kegiatan belajar di dalam kelas,
karena LH tidak mampu belajar dalam keadaan diam. LH sering berdiri dari
tempat duduk, dalam 1 menit LH mampu berdiri sebanyak 5 kali dari tempat
duduk. LH sering melihat teman-temannya ketika guru menerangkan di
depan kelas. Suka menggigit pensil hingga patah, dan menggoyangkan
kursi. Ketika guru memberikan tugas, LH sering tidak mampu mengerjakan
sendiri. LH sering melihat teman-temannya, mencoret-coret meja,
mengganggu teman seperti memukul teman, mencubit, dan mengambil
barang milik teman.
LH sering jalan dan lari-lari di dalam kelas ketika proses belajar
mengajar. Biasanya LH berjalan menuju meja guru dan mengajak guru
berbicara. Selain itu LH juga jalan-jalan menuju bangku temannya baik
untuk melihat apa yang dikerjakan oleh temannya atau mengganggu teman.
LH juga sering keluar dari kelas seperti berlari menuju perpustakaan
dan juga ruang guru. Ketika berada di dalam perpustakaan biasanya LH
mengambil buku tentang dinosaurus. Namun ketika keluar menuju ruang
guru, LH sering memakan dan meminum apa yang ada di meja guru.
Saat belajar di dalam kelas subyek dibantu oleh shadow teacher
(guru pendamping) untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan guru
dengan baik. Dampingan ini berupa membuka hal buku, membacakan soal
yang ada di papan tulis, menuliskan soal dan jawaban yang diberikan oleh
LH. Di sekolah LH juga menjalani terapi, terapi dilakukan seminggu 3 kali.
2.1.2 Gejala-gejala yang Tampak
Berdasarkan kasus tersebut, LH mengalami gejala-gejala ADHD.
Gejala adanya gangguan ADHD ditunjukkan dengan tidak mampunya
subjek mengontrol gerakannya sendiri sehingga subjek cenderung tidak bisa
belajar dalam keadaan diam, suka berlari-lari di dalam kelas, melihat teman-
temannya, mengganggu teman dan mengajak ngobrol temannya. Selama ini
konsentrasi belajar subjek yang kurang fokus dapat dilihat dari perilaku
subyek yang suka melakukan hal lain diluar kegiatan belajar di dalam kelas.
Ketika proses belajar mengajar subyek sering tidak mendengarkan instruksi
guru dan sering keluar dari kelas.
2.1.3 Perawatan yang diterima kasus selama ini
Subjek yang mengalami ADHD sekolah di SD Inklusi Surabaya.
Saat dalam proses belajar di kelas dan menyelesaikan tugas-tugasnya,
biasanya subyek akan didampingi oleh shadow (guru pendamping).
Bimbingan shadow yang berupa mengambilkan buku subyek, membacakan
soal, dan membantu subyek untuk tetap duduk diam sangat membantu
sekali dalam meningkatkan konsentrasi belajar subyek.
3 (tiga) model dalam bimbingan belajar yang dilakukan pada subjek
di sekolah Islam Terpadu Surabaya.

Terapis Guru kelas, Siswa ADHD


shadow, orang
tua

Kerjasama guru kelas, shadow, orangtua, dan terapis sangat


membantu subyek ADHD dalam meningkatkan konsentrasi belajarnya.
Pemberian terapi yang diberikan pada subyek penelitian LH seperti terapi
okupasi, terapi konsentrasi dan terapi afeksi atau emosi.
Dengan indikasi subjek yang mengalami ADHD dan kesulitan
subjek untuk diam dan konsentrasi, terapis memberikan tiga terapi pada
subjek yaitu:
1. Terapi okupasi yaitu untuk meningkatkan motorik halus.
2. Terapi konsentrasi yaitu untuk meningkatkan kemampuan
konsentrasi subjek.
3. Terapi afeksi atau emosi yaitu untuk mendukung masalah
interaksi sosialisasi subjek dengan lingkungan.
2.2 Analisa Kasus
2.2.1 Analisa Etiologi Gejala Kasus

Dalam kasus tersebut, LH semenjak kecil mengalami


kesulitan dalam mengotrol perilakunya. Perilaku hiperaktif membuat LH
tidak mampu duduk dalam keadaan diam. Melakukan kegiatan semaunya
dan tidak menghiraukan perintah dari orang tua, guru, shadow (guru
pendamping), dan terapis. LH juga memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi
dalam belajar. Kesulitan tersebut seperti tidak mampu fokus ketika belajar
di dalam kelas, tidak mampu mengerjakan tugas secara mandiri, tidak
mendengarkan perintah atau instruksi guru, tidak mampu duduk diam,
mengerjakan kegiatan di luar aktivitas belajar di dalam kelas.
Maka dapat dijelaskan bahwa etiologi kasus tersebut yaitu dari
faktor biologis. Pada anak kecil, sistem pengereman atau sistem hambatan
belumlah cukup berkembang; setiap anak balita bereaksi impulsive, sulit
menahan diri, dan menganggap dirinya pusat dari dunia. Umumnya sistem
inhibisi akan mulai pada usia 2 tahun, dan pada usia 4 tahun akan
berkembang secara kuat. Tampaknya pada anak ADHD perkembangan
sistem ini lebih lambat, dan juga dengan kapasitas yang lebih kecil. Sistem
penghambat atau pengereman di otak bekerja kurang kuat atau kurang
mencukupi. Dari penelitian juga disebutkan bahwa adanya neuro-anatomi
dan neuro-kimiawi yang berbeda antara anak yang menyandang ADHD
dan tidak (Paternotte & Buitelaar, 2010:19).

2.2.2 Rancangan Intervensi


 Menggunakan pendekatan Adlerian dan ABC. Teori Adlerian telah
diterapkan di lingkungan pendidikan, pendidikan orang tua,
konseling keluarga, dan kerja kelompok semua bidang penting dari
aplikasi untuk anak-anak didiagnosis dengan ADHD Kottman;
Sweeney (Portrie; Hill & Betkh, 2009). ABC merupakan
pendekatan pengobatan aktif dan dinamis yang memanfaatkan
energi yang melekat dan dibangun di atas kekuatan dari anak-anak
daripada mengobati gejala dengan terapi obat (Amalia, 2018).
 Integrasi ABC dengan terapi bermain Adlerian memberikan peluang
untuk merangkul kebutuhan anak, keterlibatan orang tua, dukungan
sebaya, dan konseling. Pendekatan integratif ini akan membutuhkan
pergeseran paradigma di luar terapi tarik standar (Amalia, 2018).

Tahap Terapi Bermain Adlerian:


1. Pengembangan Hubungan Konseling.
Hubungan dapat dimulai dengan kegiatan menantang dan maju yang lebih
menantang, hal tersebut merupakan komponen penting dari ABC.
Dalam pendekatan ini, konselor melibat anak-anak dalam kegiatan yang
dianggap “permintaan yang rendah” sehingga klien mengalami
hubungan konseling yang menyenangkan dengan tantangan fisik,
emosional, dan mental minimal.
2. Menjelajahi Gaya Hidup Mereka
Tahap kedua dapat dimulai ketika anak-anak dan konselor kesehatan mental
telah mengembangkan dan membangun hubungan akrab Kottman;
Sweeney (Portrie; Hill & Betkh, 2009). Konselor dapat mengeksplorasi
gaya hidup anak-anak dengan menilai tujuan mereka dari perilaku
melalui suasana keluarga, konstelasi keluarga, dan kenangan awal
(Amalia, 2018). Sebagai perilaku anak-anak dieksplorasi melalui gaya
hidup mereka, perilaku salah diidentifikasi oleh orang tua atau konselor
juga dibahas. Anak-anak didiagnosis dengan ADHD sering merasa
putus asa, tidak memadai, putus asa, dan tidak berharga Barkley
(Portrie; Hill & Betkh, 2009). Mereka mungkin mengganggu di dalam
kelas dalam upaya untuk mencari perhatian atau kekuasaan Kottman
&Warlick (Portrie; Hill & Betkh, 2009).
3. Membantu mereka mendapatkan informasi tentang gaya hidup mereka
Konselor membantu anak-anak dan orang tua lebih memahami kemampuan
mereka dan tujuan perilaku Kottman (Portrie; Hill & Betkh, 2009).
Melalui proses ini anak-anak dan orang tua mencapai wawasan tentang
bagaimana perilaku mereka mempengaruhi rasa memiliki dan
signifikansi Kottman (dalam Portrie; Hill & Betkh, 2009). Agar anak-
anak untuk lebih memahami perilaku mereka dan bagaimana mereka
mempengaruhi hubungan interpersonal mereka, konselor didorong
untuk memberikan kesempatan bagi orang tua untuk mengalami dunia
anak-anak mereka dengan ADHD bertahan (Amalia, 2018).
4. Reorientasi dan ulangan untuk pendidikan mereka.
Proses pendidikan ulang ini mungkin melibatkan konselor kesehatan
mental, anak, orang tua, dan guru. Peran konselor adalah untuk
mengajarkan pemecahan masalah, mengidentifikasi solusi yang
mungkin, menguji efektivitas solusi, dan mengevaluasi bagaimana
keputusan dibuat Kottman & Warlick (Portrie; Hill & Betkh, 2009).
Mengidentifikasi ketika masalah telah muncul dan bagaimana
mengkomunikasikan kebutuhan saat pemecahan masalah adalah alat
komunikasi yang efektif untuk mengajar anak dan keluarga.

2.3 Diagnosa Multiaksal


 Aksis I : F90 Gangguan Perilaku dan Emosional Onset Kanak-Remaja
 Aksis II : Z03.2 – Tidak Ada Diagnosis
 Aksis III : G00-G99 – Penyakit Susunan Saraf
 Axis IV : Masalah pendidikan
 Axis V : GAF Scale 70-61

2.4 Deskripsi Kasus Secara Umum (Learning Disorder)


2.4.1 Penampakan Fisik Kasus
Terdapat 4 siswa yang bersekolah di SD Muhammadiyah 22 Sruni
mengalami kesulitan membaca. Salah satunya adalah Erlangga Pramudya siswa
kelas VB yang mengalami kesulitan membaca. Dia anak yang pendiam dan susah
bergaul dengan teman-temannya. Erlangga sering diminta untuk membaca oleh
guru tetapi suaranya sangat pelan sehingga tidak terdengar oleh guru dan teman-
temannya.
Kualitas tulisannya juga kurang baik dan selalu ada huruf yang kurang
dalam suatu kalimat. Misalnya ketika diminta untuk menulis kalimat "Rani pergi
ke rumah nenek bersama ayah dan ibunya" Erlangga menulis "Rani pergi ke rumh
nenek bersma ayah dan ibunya". Dalam kata "bersama" huruf "s" juga ditulis
terbalik. Selain itu Erlangga juga sulit dalam mengikuti perintah yang diberikan
oleh guru. Hal ini dibuktikan ketika guru menulis materi di papan tulis dan
menyuruh siswa untuk menyalinnya. Erlangga hanya diam dan tidak menulisnya
sehingga guru mendekat dan menyuruhnya menulis dengan sedikit mendiktenya.
Erlangga adalah anak kedua dari pasangan suami istri Dwi kustanto dan Sri
Margani. Bapak Dwi bekerja sebagai penyedia alat sound sistem untuk acara
hajatan sedangkan ibunya bekerja sebagai TKW di Taiwan sehingga Erlangga
hanya mendapat perhatian dari ayahnya ketika di rumah. Ayahnya juga jarang di
rumah kalau ada pekerjaan yang mengharuskannya bekerja sampai larut malam.
Bapak Dwi mengetahui bahwa anaknya mengalami kesulitan dalam
membaca tetapi tidak ada penanganan khusus yang dilakukan karena sudah
mempercayakan pihak sekolah yang memberikan kelas tambahan kepada anaknya.
Bapak Dwi juga tidak mengajari anaknya belajar ketika di rumah sehingga anak
cenderung malas untuk belajar karena tidak bisa membaca. Kemampuan membaca
anaknya tidak akan meningkat kalau tidak ada dukungan dari orang tuanya.
2.4.2 Gejala-gejala yang Tampak
Berdasarkan kasus tersebut, Erlangga mengalami dyslexia karena Erlangga
kesulitan dalam belajar membaca dan sering menulis dengan terbalik. Seperti kasus
diatas ketika Erlangga menuliskan huruf s dengan terbalik. Selain itu, Erlangga juga
sulit dalam mengikuti perintah yang diberikan oleh guru. Hal ini dibuktikan ketika
guru menulis materi di papan tulis dan menyuruh siswa untuk menyalinnya.
Erlangga hanya diam dan tidak menulisnya sehingga guru mendekat dan
menyuruhnya menulis dengan sedikit mendiktenya.
2.4.3 Perawatan yang diterima kasus selama ini
Orang tua Erlangga tidak ada penanganan khusus yang dilakukan karena
sudah mempercayakan pihak sekolah yang memberikan kelas tambahan kepada
anaknya.
Upaya untuk mengatasi kesulitan membaca dilakukan pada jam tambahan
dengan berbagai metode seperti dengan metode GilinghamStillman (menyajikan
gambar), Phonic method, cerita/dongeng, dan Hegge-kirk-kirk. Dalam kegiatan
pembelajaran itu sendiri, guru sudah menggunakan media pembelajaran yang
cukup baik sedangkan untuk siswa yang mengalami kesulitan membaca, guru
menggunakan kalimatkalimat lebih sederhana dalam membantu mengatasi
kesulitan membaca (dyslexia) di kelas VB.
2.5 Analisa Kasus
2.5.1 Analisa Etiologi Gejala Kasus

Dari kasus tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa etiologi kasus


tersebut yaitu dari faktor interns seseorang yakni hal-hal atau keadaan-
keadaan yang mungkin dari dalam diri seseorang, seperti rendahnya
kapasitas intelektual/inteligensi seseorang, slow learner, factor genetik,
susah membaca atau menulis, susah fokus, mengalami kesulitan dalam
mengikuti suatu perintah, dan sebagainya. Dapat dilihat dalam kasus
tersebut Erlangga kesulitan dalam belajar membaca dan sering menulis
dengan terbalik. Selain itu, Erlangga juga sulit dalam mengikuti perintah
yang diberikan oleh guru. Hal ini dibuktikan ketika guru menulis materi di
papan tulis dan menyuruh siswa untuk menyalinnya. Erlangga hanya diam
dan tidak menulisnya.
2.5.2 Rancangan Intervensi
a. Intervensi ini dilakukan di sekolah, maka perlunya kesepakatan dari pihak
sekolah dan pihak orang tua.
b. Program ini juga melibatkan peran serta orang tua untuk mendampingi anak
belajar di rumah (minimal 30 menit setiap malam)
c. Fokus perhatian yaitu pada masalah membaca dan proses pengkodean
(reading and decoding problem)
Tahapan-tahapan yang dilakukan:
1. Pengulangan konsep dasar: pengetahuan tentang perbedaan antara fonem
vokal dan konsonan, kombinasi fonem (contoh: “ou” dan “sp”), serta
menggabungkan huruf menjadi kata.
2. Penguasaan materi bacaan, dilakukan dengan cara:
a. Guru mereviu bagian-bagian penting dari suatu buku dan menuliskan kata-
kata yang dianggap sering menimbulkan masalah pada anak disleksia.
b. Kata-kata tersebut ditulis dalam kartu-kartu yang menarik dan diberikan
kepada siswa untuk kemudian dilakukan proses pengkodean.
c. Siswa berlatih untuk mengidentifikasi huruf dari masing-masing kata,
memadukan/menggabungkan huruf dan mempelajari definisi atau makna
dari kata tersebut.
d. Jika siswa berhasil berlatih masing-masing kata sebanyak dua kali tanpa
kesalahan, guru membaca keseluruhan bagian/kalimat dan siswa mengikuti
sambil menunjuk bagian tersebut dengan jari atau pensil
e. Siswa kemudian membaca kalimat tersebut dengan suara keras dan
diperdengarkan kepada guru dan dirinya sendiri
f. Tiap-tiap halaman dari buku diulang sampai anak berhasil mencapai target
minimal dua kesalahan tiap halaman.
3. Penambahan jumlah kosakata, dilakukan dengan cara :
o Siswa diberikan 3 kata setiap hari dan dipelajari di rumah
o Kata-kata tersebut akan diujikan pada tes mengeja dan kosakata pada ke
esokan harinya.
o Siswa harus mengeja atau menyebutkan kata tersebut secara lisan dan
menuliskan definisinya.
o Memberikan reinforcement setiap kali anak berhasi menguasai kata-kata
tersebut baik dari segi pengejaan maupun maknanya.

2.6 Diagnosa Multiaksial


 Aksis I : F81.0 Gangguan Membaca Khas
 Aksis II : Z03.2 – Tidak Ada Diagnosis
 Aksis III : G00-G99 – Penyakit Susunan Saraf
 Axis IV : Masalah Pendidikan
 Axis V : GAF Scale 80-71
2.7 Deskripsi Kasus Secara Umum (Autisme)
2.7.1 Deskripsi Fisik Kasus
Y adalah seorang anak yang memiliki hambatan perkembangan komunikasi
serta menunjukkan perilaku yang khas di usia 2 tahun. Y belum bisa bicara dan
seringkali tidak menengok ketika dipanggil dan tidak memiliki kontak mata dengan
orang lain. Y juga senang melihat objek-objek yang berputar. Akhirnya orang tua
Y membawanya ke dokter spesialis syaraf dan menyarankan Y untuk menjalani
serangkaian terapi.

Y mengikuti beberapa terapi seperti terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi
okupasi. Ketika berada di rumah, Y berkomunikasi saat membutuhkan sesuatu
seperti “pipi” (pipis), “nasi..nasi” “andu” (handuk), dan “patu” (sepatu). Orang tua
Y beberapa kali memintanya untuk memperjelas ucapannya dengan mengatakan
“ayo diulangi..Y minta…(nama benda)”. Y juga akan mengucapkan kata
idiosinkratik (kata yang diulang-ulang) seperti “vios..vios..vios” ketika merasa
tidak nyaman.

Saat ini Y berusia 19 tahun dan bersekolah di sekolah autis khusus remaja.
Di sekolah Y sering terlihat duduk sendirian di pojok ruangan sambil menutup
telinganya. Selain tampak menyendiri, Y juga menunjukkan perilaku tantrum
dalam bentuk berteriak dan memukul-mukul kepala dengan frekuensi 1-5 kali
sehari. Pembelajaran yang diikuti Y di sekolah berupa pembelajaran komunikasi
terintegrasi dengan pelajaran bahasa Indonesia dan Budi Pekerti. Guru juga
memberikan pendampingan individual apabila Y tidak mau mengikuti instruksi
sederhana.

2.7.2 Gejala-gejala yang Tampak

Gejala-gejala yang tampak pada Y adalah tidak merespon ketika


dipanggil, tidak memiliki kontak mata dengan orang lain dan adanya
keterlambatan bicara.

Ketika berkomunikasi, Y menggunakan Idiosyncratic words. Y juga


tidak menunjukkan minat bermain dengan teman sebayanya. Y memiliki fokus
berlebih pada objek yang berputar. Y juga memiliki perilaku tantrum dalam
bentuk teriakan dan menyakiti diri sendiri.

2.7.3 Perawatan yang Diterima Kasus Selama Ini

Y mulai menjalani terapi pada usia 2,5 tahun. Y megikuti berbagai


macam terapi, seperti terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi, terapi
snozzle, dan terapi biomedis. Khusus untuk terapi wicara, subjek menjalaninya
sejak usia 3 hingga 14 tahun. Terapis subjek memiliki latar belakang pendidikan
khusus terapi wicara.

Y mengikuti terapi ABA (Applied Behavior Analysis (ABA) hingga usia


12 tahun. Terapi ABA digunakan untuk mengajarkan banyak hal pada
penyandang autisme, termasuk kemampuan berbahasa. Y mulai dapat
mengucapkan kata-kata pertama setelah 5-6 tahun terapi. Dalam
perkembangannya, Y menunjukkan kemajuan dalam mengenal dan memahami
berbagai kosakata. Y juga mau mengikuti instruksi guru di tempat terapi,
termasuk instruksi untuk berbicara menirukan kalimat. Hal ini sesuai dengan
hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terapi ABA efektif
dalam memunculkan imitasi suara pada anak (Ross dan Greer, 2003) dan melatih
anak berbicara (Jones, Carr, & Feeley, 2006; Tsiouri dan Greer, 2003; Yoder dan
Layton, 1988).

Saat ini Y tidak lagi mengikuti terapi ABA. Y tercatat sebagai siswa di
sekolah lanjutan autis. Sekolah sebenarnya sudah mendesain kegiatan-kegiatan
tematik yang diharapkan dapat menstimulus subjek untuk berkomunikasi.

2.8 Analisa Kasus

2.8.1 Analisa Etiologi Gejala Kasus

Anak autistik mengalami gangguan pada sistem pengolahan sensorik yang


berhubungan dengan kesulitan dalam hal menangkap makna pembicaraan,
mengungkapkan pikiran ke dalam bentuk kata-kata.

Subjek Y mengalami keterlambatan dalam berkomunikasi. Pada usia 7-8


tahun subjek baru mulai mengucapkan satu-dua kata dan komunikasinya juga
berupa idiosyncratic words.

Y tidak memiliki kontak mata dengan orang lain dan tidak merespon ketika
dipanggil. Y menjauhi orang lain dan tidak menunjukkan minat bermain dengan
sebayanya dan lebih suka menyendiri. Y juga menutup telinga saat diajak
berinteraksi oleh gurunya.

Anak autis tidak bisa mengidentifikasi dan memahami emosi yang


muncul dan kurang dalam hal ketimbalbalikan emosional. Y mengalami emosi tak
terkontrol yang diekspresikan dalam bentuk tantrum yang bisa terjadi 1-5 kali
dalam sehari, berupa perilaku berteriak-teriak dan memukul-mukul kepalanya.

Y juga mengalami kesulitan dalam mengontrol diri (gangguan


neurologi di otak) yang mengakibatkan perilaku ritualistik. Selain itu, adanya
gangguan motorik halus, contohnya perilaku stereotip, hiperaktif, dan hipoaktif.
Y hipoaktif karena lebih sering diam, menyendiri, dan suka memperhatikan objek
berputar sebagai bentuk perilaku stereotip.

Maka dapat dijelaskan bahwa etiologi kasus tersebut yaitu dari


faktor biologis, seperti faktor genetik, kelainan anatomis otak seperti yang
dikatakan Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan laju
kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki
puzzling sign of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian
corpus callosum, biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus
callosum merupakan pita tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere
otak kanan dan otak kiri. Kegiatan crossing bagian otak yang berbeda menjadi
kurang terkoordinir sehingga lalu lintas stimulus tidak harmonis.

Selain itu, ada faktor disfungsi metabolik. Sebuah publikasi dari


lembaga psikiatri biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas
rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak
tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik (Mujiyanti,
2011).

2.8.2 Rancangan Intervensi

Intervensi dilakukan dengan pendekatan behavioral, seperti teknik


modelling dan operant conditioning menggunakan reinforcement positif apabila
menunjukkan perilaku yang diharapkan seperti lebih patuh, mau berbicara dan
bermain dengan anak-anak lain. Reinforcement bisa disesuaikan dengan tingkat
kesulitan aktivitas yang dilakukan. Contohnya, seperti pujian.

Selain itu, diperlukan kerja sama antara sekolah dan orang tua dalam
menerapkan metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children). Pendekatan dalam TEACCH disebut
dengan Pengajaran Berstuktur (Mesibov & Shea, 2010: 571). Yamada,
Kobayashi, & Sasaki (2013: 23) menyatakan bahwa pengajaran berstruktur
diciptakan dengan berfokus pada perbedaan utama dalam aspek neurologis anak
autis. Berasal dari masalah neurologis ini, anak autis mempunyai berbagai
karakteristik. Salah satu karakteristknya yaitu membutuhkan pendekatan
berstruktur. Mesibov & Shea (2010: 572-574) berpendapat bahwa prinsip-
prinsip dalam metode TEACCH antara lain yaitu: 1) penataan lingkungan, 2)
informasi visual, 3) ketertarikan khusus sebagai penguat, dan 4) komunikasi
yang bermakna.

Panerai, Ferrante, & Zingale, (2002: 322) menyatakan bahwa TEACCH


menggunakan prinsip penyesuaian tempat aktivitas agar jelas dan dapat
diperkirakan untuk memfasilitasi perhatian dan kenyamanan anak. Maknanya,
pelaksanaan program mengutamakan kenyamanan dan perhatian anak. Anak
autis akan lebih mudah untuk memusatkan perhatiannya dan belajar dengan
adanya pengaturan struktur fisik ini.
Informasi visual merupakan elemen kunci dari struktur fisik, jadwal,
perintah (komunikasi) dan pengingat tentang apa yang diharapkan dan
batasannya (Mesibov & Shea, 2010: 573). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
diketahui bahwa struktur visual merupakan dasar dari prinsip TEACCH.

TEACCH menggunakan ketertarikan khusus sebagai penguat jika tugas


berhasil diselesaikan (Mesibov & Shea, 2010: 573). Penguat diberikan setelah
anak berhasil menyelesaikan suatu tugas. Dengan menggunakan penguat yang
disukai, anak akan lebih semangat dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.

Komunikasi yang bermakna dalam Metode TEACCH dilakukan dengan


menggabungkan suatu obyek ataupun simbol visual yang dipasangkan dengan
kata yang diucapkan untuk mengartikan aktivitas yang dilakukan (Mesibov &
Shea, 2010: 574). Dengan cara ini, komunikasi akan lebih bermakna bagi anak
autis karena selain mendapatkan informasi secara auditori mereka juga
mendapatkan informasi secara visual.

2.9 Diagnosa Multiaksial

Aksis I : 299.00 (F84.0) Autisme masa kanak

Aksis II : Z03.2 Tidak ada diagnosis

Aksis III : tidak ada

Aksis IV : tidak ada diagnosis

Aksis V : 60-51 gejala sedang (moderate), disabilitas sedang

2.10 Deskripsi Kasus Secara Umum (Intellectual Disorder)

2.10.1 Deskripsi Fisik Kasus

D adalah anak laki-laki berusia 12 tahun 7 bulan. D mulai bicara pada


usia 4 tahun secara lancar, sebelumnya D hanya mengucapkan kata yang kurang
jelas (ngoceh) seperti “ba...baa...dan wa..waa” untuk berkomunikasi. D kesulitan
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru dikarenakan kesulitan
D dalam memaknai norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat sehingga D
membutuhkan bantuan dari orang lain. Di lingkungannya baik di sekolah
maupun di rumah D hanya bermain hanya dengan anak yang jauh dibawah
usianya, sedangkan reaksi D ketika bertemu dengan orang dewasa sering tidak
memperdulikannya walaupun sebenarnya D mengetahui keberadaan orang
tersebut.

D masuk SD pada usia 6 tahun. Selama di sekolah tersebut guru guru


mengeluhkan dan tidak sanggup untuk mendidik D disebabkan tingkah lakunya
yang selalu mengganggu teman-teman lainnya dan sering menganggap mudah
pelajaran walaupun sebenarnya D tidak bisa.

Ketika dilaksanakannya ujian, D selalu sangat cepat menjawab


dibandingkan teman-teman lainnya, terlihat D cuma membaca sekali saja dan
langsung menjawab tanpa berpikir secara seksama sehingga hasilnya banyak
yang salah. Setelah selesai, D keluar kelas tanpa permisi, dan guru
memerintahkan untuk mengecek kembali ulangannya, tetapi D bersikeras bahwa
pekerjaannya telah selesai di jawab.

Selama di rumah D sering melawan perintah orangtuanya dan seenaknya


sendiri, apabila sesuatu tidak dipenuhi oleh orangtuanya seperti meminta uang D
terus mengejar-ngejar orangtuanya sampai diberikan uang, kalau tidak diberikan
D akan memukul diri sendiri, marah dan membenturkan kepalanya ke tembok. D
sangat pintar dalam memanfaatkan situasi, menurut bapaknya D sering minta
uang pada saat ada tamu dan bapaknya memberikan uang tersebut karena takut
akan bertengkar dengan D. Karena tingkah lakunya, orang tuanya cenderung
tidak mempedulikan D dan selalu menyuruhnya bermain diluar.

D seringkali memotong pembicaraan orang lain atau mengamuk apabila


keinginannya tidak segera dipenuhi, meminta perhatian saat itu juga, membuat
keributan kalau disuruh menunggu beberapa menit, dan melakukan hal-hal
seperti selalu merengek-rengek dan mengejar bapakknya apabila D minta
sesuatu, melemparkan barang yang ada disekitarnya hanya mendapatkan sesuatu
yang diinginkannya.

Waktu dikelas dan pelajaran yang aktif seperti tanya jawab D cepat
dalam menangkap pertanyaan yang diajukan oleh gurunya, namun apabila
pelajaran yang kurang aktif seperti menulis D menjadi kurang konsentrasi
bahkan seringkali D tertidur. Untuk itu guru menggedor-gedor meja agar D
terbangun dan konsentrasi lagi dalam pelajaran, selama tanya jawab D terlihat
aktif dan sering bercanda dengan teman dan gurunya. D selalu mengaku bisa
dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan namun setelah ditanya ulang
D menjawab salah, setelah diulang beberapa kali baru D mengerti.

Selama di SLB, perilaku yang dikeluhkan oleh guru adalah perilaku


sangat aktif dan sulit berkonsentrasi, perilaku menentang dan tidak menuruti
perintah yang diberikan oleh guru maupun orangtua, selalu bicara selama
pelajaran berlangsung serta tidak dapat duduk tenang selama pelajaran
berlangsung.

2.10.2 Gejala-gejala yang Tampak

D memiliki keinginan-keinginan tidak terkendali dan cenderung


melakukan kegiatan yang sistematis, serta dalam menyelesaikan kegiatan selalu
ingin cepat selesai sehingga hasilnya menjadi tidak maksimal.

Jika melakukan kegiatan yang membutuhkan konsentrasi, D sering


mudah putus asa bahkan sering menghentikan kegiatannya dan beralih pada
kegiatan yang lain selain itu D sangat aktif yang sifatnya situasional terutama di
saat D berada di sekolah. Karakteristik ini sesuai dengan Hallahan & Kauffman
(1988) yang mengatakan karakteristik kognitif anak retardasi mental diantaranya
mereka mempunyai kemampuan yang terbatas dalam perhatian, anak retardasi
mental bingung bagaimana cara membagi perhatian, ingatannya pendek; mereka
selalu mempunyai kesulitan jika diberikan tugas-tugas yang terkait dengan
memori (Hallahan & Kauffman. 1988) Woolfolk (dalam Taylor, dkk. 2005).

Emosi D cenderung tidak stabil, dan bila menginginkan sesuatu D harus


segera melakukannya seperti menyela pembicaraan orang lain tanpa
menyelesaikan pembicaraan sampai selesai dan tidak mampu dalam menunggu
giliran. Apabila permintaan D tidak terpenuhi, maka D akan mudah mengamuk
dan banyak bicara. Taylor, dkk, (2005: 182) mengatakan karakteristik perilaku
anak retardasi mental bervariasai sebagaimana umumnya anak lainnya, tetapi
pada umumnya anak retardasi mental menunjukkan beberapa masalah perilaku
seperti impulsivitas sehingga anak kesulitan dalam mengontrol dirinya.

D mempunyai aspek kognisi yang kurang dibandingkan anak-anak


seusianya yang berfungsi pada taraf retardasi mental ringan sehingga D kesulitan
dalam mempelajari hal-hal yang baru dan dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang sederhana. Melakukan kegiatan dengan cara mengulang-ulang
sehingga D cenderung tidak kreatif dan tidak memiliki inisiatif. Memberikan
perintah kepada D harus kongkrit karena pola pikir D yang praktis dan
sederhana.

Hardman, Drew & Egan (2002) menjelaskan bahwa ciri utama dari
individu yang mengalami retardasi mental adalah intelektual yang kurang untuk
menerjemahkan penilaian dan ketepatan dimana individu memperoleh,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan yang baru didapatnya dibandingkan
dengan individu lainnya yang normal. Pengetahuan dan kapasitas memori dari
individu retardasi mental secara dibawah rata-rata dibandingkan anak normal
seusianya. Anak dengan retardasi mental memiliki kekurangan dalam konsep
abstrak, dalam menjelaskan sesuatu haruslah dalam bentuk konkrit.

D cenderung kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan


yang baru dikarenakan kesulitan D dalam memaknai norma-norma sosial yang
berlaku dimasyarakat sehingga D membutuhkan bantuan dari orang lain. Di
lingkungannya baik di sekolah maupun di rumah D hanya bermain hanya dengan
anak yang jauh dibawah usianya, sedangkan reaksi D ketika bertemu dengan
orang dewasa sering tidak memperdulikannya walaupun sebenarnya D
mengetahui keberadaan orang tersebut. Anak retardasi mental yang mempunyai
kesulitan dalam bertingkah laku sesuai dengan usianya, biasanya akan lebih
memilih anak-anak yang usianya lebih rendah dari dirinya sebagai temannya.

Dalam asesmen, kapasitas intelektual D berfungsi pada taraf Mild


mentally retarded (IQ=52, Stanford Binet). Secara umum kemampuannya saat
ini masih berkembang setara dengan usia 5 tahun 8 bulan, yang berarti
mengalami kelambatan 6 tahun 3 bulan. Akibat dari keterbatasan kognisi di
lingkungan sosialnya D menjadi individu yang kurang mampu dalam
menyesuaikan diri, hanya bergaul dengan orang yang jauh dibawah usianya.

2.10.3 Perawatan yang Diterima Kasus Selama Ini

D dipindahkan dari sekolah negeri biasa ke SLB mulai kelas 2 hingga


kini kelas 4. Metode pengajaran di sekolah luar biasa disesuaikan dengan
kemampuan anak, namun selain itu D tidak mendapatkan perawatan apa apa.

2.11 Analisa Kasus

2.11.1 Analisa Etiologi Kasus


Dari kasus tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa etiologi kasus tersebut
yaitu dari faktor interns seseorang yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang
mungkin dari dalam diri seseorang, seperti rendahnya kapasitas
intelektual/inteligensi seseorang, faktor genetik, kejadian saat sebelum kelahiran,
infeksi, dan lain lain. Gangguan yang dialami juga bertambah parah karena adanya
faktor sosio kultural, dimana orang tua cenderung tidak peduli pada anak dan
selalu menuruti anak ketika anak sedang tantrum.

2.11.2 Rancangan Intervensi

Intervensi perilaku bisa dilakukan dengan konseling kepada orang


tua dan keluarganya tentang kondisi D. Konseling menekankan kepada
kelemahan dan kelebihan D. Dengan gangguan yang dialami D, D
memiliki kelebihan dalam berkomunikasi dan berkegiatan. D perlu
dilibatkan pada tugas-tugas rumah agar bisa merasa bermakna dalam
keluarganya dan terhindar dari hal-hal negatif bila D dibiarkan terlalu lama
bermain sendirian. Kebiasaan menyuruh D dengan perkataan yang keras
sebaiknya dihilangkan sebab akan menimbulkan D menjadi kurang
dihargai.

Dalam kelakuannya di sekolah, guru dapat menggunakan token


ekonomi dan memberikan laporan kelakuan baik setiap harinya yang harus
diberitahukan kepada orangtua. Laporan kelakuan baik ini juga membuat
adanya keterlibatan orangtua sehingga orangtua mengetahui dan
diharapkan memberikan teguran kepada anak apabila anak berperilaku
tidak sesuai dengan aturan di sekolah.

Selain itu, bisa dilakukan proses modeling yang menjadikan


orangtua atau orang yang menjadi pengawas D mengajarkan dan
mempraktekkan cara-cara dalam melakukan kegiatankegiatan dengan
benar khususnya pekerjaan rumah tangga, mengajarkan suatu hal baru
kepada D harus dengan kesabaran dan kelelatenan disebabkan perilaku D
yang selalu ingin cepat selesai dan seringkali kurang teliti sehingga D
mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan baik.

2.12 Diagnosis Multiaksial

Aksis I Tidak ada


Aksis II F70 Retardasi Mental Ringan

Aksis III K00-K93 Penyakit Sistem Pencernaan Aksis IV

(a) Masalah dengan “primary support group” (keluarga) D dicap


nakal oleh keluarganya dikarenakan seringnya D membantah
perintah yang diberikan oleh orangtua dan keluarga lainnya.

(b) Masalah Pendidikan D sekarang sekolah di sekolah luar biasa


kelas empat digabung dengan anak-anak kelas lima, hal ini disebabkan D
dianggap mampu dalam mengikuti pelajaran di kelas. Sebelumnya D dua kali
pindah sekolah normal.

Aksis V GAF = 60-51 (gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gangguan neurologis berkaitan erat dengan kondisi fungsional syaraf


manusia dimana sistem saraf merupakan suatu sistem kompleks dalam tubuh
manusia yang fungsinya sangat penting dan berpengaruh besar terhadap
keseluruhan aktivitas manusia. Sistem syaraf saling berkaitan satu dengan lainnya,
sehingga gangguan pada sistem ini juga akan mengganggu keseluruhan fungsi
sistem dalam tubuh lainnya. Berdasarkan dari pemaparan definisi, gejala dan
kasus terkait gangguan neurologis pada manusia seperti gangguan intelektual,
gangguan belajar, autisme maupun ADHD diatas, gangguan neurologis
menyebabkan terganggunya individu dalam aspek kognitif, reseptif dan juga
perilaku behavior. Aspek Kognitif berhubungan dengan fungsi sistem syaraf pada
otak dimana proses . Gangguan pada sistem ini akan menyebabkan seseorang
mengalami defisit pada kemampuan berpikir umum seperti penalaran,
kemampuan matematis (hitungan), pemahaman, konsentrasi dan daya ingat. Hal
ini nampak pada gejala yang dialami oleh penderita gangguan intelektual dan
gangguan belajar. Aspek reseptif, berhubungan dengan proses penerimaan
informasi. Menyebabkan individu mengalami defisit dalam komunikasi terhadap
orang lain serta kurang peka terhadap stimulus sekitar serta terutama berhubungan
dengan hubungan sosial seperti yang dialami oleh penderita autisme. Aspek
behavioural, Nampak pada penderita ADHD dimana gangguan neurologis
menyebabkan pola perilaku yang hiperaktif dan kompulsif. Dampak dari
terganggunya sistem saraf ini secara keseluruhan, akan menghambat individu
dalam melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari serta fungsi sosial di
masyarakat.

3.2 Saran

Gangguan neurologis tidak dapat sepenuhnya di atasi, namun kita dapat


meminimalisir dampaknya, faktor sosio kultural sangat berpengaruh terhadap
kondisi penderita gangguan neurologis, untuk itu perlu adanya peningkatan
kesadaran melalui pemahaman dalam bentuk sosialisasi atau lainnya terkait dengan
gangguan neurologis kepada masyarakat terlebih untuk orang-orang yang masih
awam akan hal ini. Selanjutnya, perlu adanya deteksi sejak dini oleh orang tua
terhadap gangguan neurologis pada anak,agar segera di temukan intervensi dan
terapi yang tepat dari terapis, serta perlu adanya studi lebih lanjut yang mengkaji
fenomena terkait gangguan neurologis ini secara lebih detail lagi oleh para ahli di
masyarakat agar didapatkannya penanganan yang tepat sesuai kondisi dan tingkat
gangguan neurologis penderita (mulai dari yang ringan hingga yang paling berat).
Pengajar di bidang pendidikan baik di sekolah formal maupun non-formal, perlu
juga dibekali pengetahuan tentang ini kepada mereka agar mereka dapat men-
treatmen para anak didik dengan gangguan neurologis dengan semestinya.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. N. (2017). Terapi Modifikasi Perilaku Untuk Penanganan Hiperaktif Pada Anak
Retardasi Mental Ringan. Jurnal Ecopsy, 4(1), 41-51.
Amalia, Rizky. 2018. Intervensi terhadap Usia Anak Dini yang Mengalami Gangguan ADHD
Melalui Pendekatan Kognitif Perilaku dan Alderian Therapy. Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini : Universitas Pahlawan Tuanku Tambuasai.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental
Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.
Washinton DC.
Anjani, dkk. 2013. Studi Kasus Tentang Konsentrasi Belajar Pada Anak ADHD (ATTENTION
HYPERACTIVITY DISORDER) di SDIT AT-Taqwa Surabaya dan SDN V Babatan
Surabaya. Artikel Ilmiah: Universitas Negeri Surabaya.
Budhiman, M., Shattock, P., & Ariani, E. (2002). Langkah awal menanggulangi autisme dengan
memperbaiki metabolisme tubuh. Jakarta : Nirmala
Feronika, Linda. 2016. Studi Analisis Tentang Kesulitan Membaca (Dyslexia) Serta Upaya
Mengatasinya Pada Siswa Vb Sd Muhammadiyah 22 Sruni, Surakarta. Artikel
Publikasi Ilmiah : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kemis dan Ati Rosnawati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita. Bandung:
PT. Luxima Metro Media.
McCandless, J. 2003. Children With Starving Brains. F. Siregar, Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Mujiyanti, DM. 2011. Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi Pada Anak Autis di Kota
Bogor.Skripsi. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Nugraheni, D N, 2008. Pengaruh Sikap Tentang Kebersihan Diri Terhadap Timbulnya Skabies
(Gudik) Pada Santriwati di Pondok Pesantren AlMuayyid. Skripsi Mahasiswa Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Paternotte, Arga & Buitelaar, Jan. 2010. ADHD Attention Deficit Hyperactive Disorder. Jakarta:
Pernada
Portrie-Bethke, Torey; Hill, Nicole; Bethke, Jerid G. 2009. Strength-Based Mental Health
Counseling for Children with ADHD: An Integrative Model of Adventure-Based
Counseling and Adlerian Play Therapy. Journal of Mental Health Counseling. 31 (4),
323-337

Saleh, Umniyah. Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus Learning Disabilities: Kasus Disleksia.
Universitas Hasanuddin.

Syah, Muhibbin. 2013. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Wahidah, Evita Yuliatul. (2018). “Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder) Perspektif Psikologi Pendidikan Islam Kontemporer”.
Millah: Jurnal Studi Agama, Vol. 17, no. 2 (2018), pp. 297-318, DOI :
10.20885/millah.vol17.iss2.art6
Wijayaptri, N. W. P. (2015). Hambatan Komunikasi pada Penyandang Autisme Remaja:
Sebuah Studi Kasus. INKLUSI, 2(1), 41-62.
Winarno. (2013). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Isi, Strategi, dan Penilaian.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wiyani. 2014.Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini.Yogyakarta: GAVA MEDIA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai