Disusun Oleh
Kelompok 11
Ireni Nida Nadhifah nst 15010115140189
Shabrina Sis Pratama Putri 15010115140131
Ardina Anggraini 15000118140219
Dita Indah Lestari 15000118140225
Dhimas Aldry Dyanfa Yudistya 15000120140072
M. Sulthan Hafidz R 15000120140358
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
1
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL…………………………………………………………………….1
DAFTAR ISI………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………3
1.1 Latar Belakang……………………………………………………3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………...3
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………3
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………….…5
2.1 Gangguan perilaku abnormal ADHD…………………………….5
2.2 Autisme dan gangguan spektrum autisme………………………..8
2.3 Disabilitas intelektual…………………………………………….9
2.4 Gangguan belajar…………………………………………………11
2.5 Gangguan komunikasi……………………………………………25
BAB III PENUTUP………………………………………………………27
3.1 Kesimpulan………………………………………………………27
3.2 Saran …………………………………………………………….27
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….28
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku abnormal adalah bagian dari kenyataan dalam kehidupan kita saat ini. Baik
disadari ataupun tidak, perilaku abnormal banyak terjadi di sekitar kita. Prilaku
tersebut adalah perilaku yang jarang dilakukan sesuai dengan norma, menyebabkan
stress pribadi, tidak diharapkan dan difungsi perilaku (Davison, Neale DAN Kring,
2004). Sayangnya, masyarakat masih kurang memahami perilaku abnormal tersebut,
sehingga perilaku-perilaku abnormal yang ada sering dianggap keliru.
Menurut Setiafitri (2014), autis merupakan kelainan perilaku penderita yang hanya
tertarik pada kativitas mentalnya sendiri, seperti melamun atau berkhayal. Gangguan
perilaku tersebut dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata,
ataupun kesulitan dalam menggembangkan Bahasa dan pengulangan tingkah laku.
Tidak mudah bagi orang tua untuk mengadapi kenyataan bahwa anak yang
dilahirkannya mengalami perilaku abnormal. Awalnya orang tua akan bingung karena
belum memiliki pemahaman tentang perilaku abnormal. Orang tua juga berfikir
bahwa anak yang memiliki gangguan abnormal adalah akibat dosa perbuatan dari
orang tua sendiri, tidak banyak juga pasangan suami istri bertengkar dan saling
menyalahkan.
3
2. Untuk memahami tentang Autism spectrum disorder (ASD) atau yang lebih sering
disebut autisme merupakan gangguan perkembangan saraf.
3. Untuk mengetahui keterbatasan dari seorang penyandang disabilitas
4. Untuk mengetahui faktor yg mempengaruhi seperti Disleksia,Disgrafia,
Dyscalculia
5. Untuk mengetahui dampak dan penyebab gangguan komunikasi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
g. Sering kehilangan hal-hal yang diperlukan untuk tugas atau
aktivitas
h. Sering mudah terganggu oleh rangsangan asing
i. Sering menjadi pelupa dalam aktivitas sehari-hari
6
C. Perawatan dan Hasil
1. Farmakoterapi (Medikamentosa)
2. Terapi perilaku
Dalam penanganan ini dapat berupa intervensi pendidikan dan sekolah, dan
juga psikoterapi. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi konflik orang
tua dan anak serta mengurangi ketidakpatuhan anak. Teknik terapi perilaku
biasanya melibatkan penguatan perilaku positif yang bertujuan mencegah
perilaku yang mengganggu.
Memberikan edukasi dan juga arahan kepada seluruh anggota keluarga anak
seputar ADHD.
Tiga medikasi untuk menangani ADHD, yaitu :
7
1) Pemoline, obat ini menimbulkan efek menguntukan bagi perilaku
dikelas dengan menambah proses kognitif dan memiliki efek samping
yang lebih kecil dari Ritalin.
2) Straterra, merupakan obat stimulant yang mudah diperoleh. Efek
sampingnya meliputi menurunnya selera makan, mual, muntah, dan
kelelahan.
3) Adderall, merupakan kombinasi dari amfetamin dan
dextroamfetamin.
Namun riset menunjukkan bahwa adderall tidak lebih baik dari dua
medikasi sebelumnya.
8
Sebagai contoh, anak kurang merespon atau menoleh jika dipanggil, kurang
kontak mata, gangguan bahasa seperti bicara kata yang kurang dimengerti.
Tidak bersosialisasi.
Kurang keinginan anak untuk berbagi, atau bermain dengan teman sebaya.
Cenderung cuek dengan orang lain.
Gerakan repetitif.
Terdapat gerakan tubuh tidak bertujuan yang dilakukan berulang-ulang,
contoh seperti jalan jinjit, mengepak-ngepak tangan (flapping) dan body
rocking.
Gangguan sensori.
Respon indera cenderung hipersensitif atau hiposensitif terhadap rangsangan.
9
rumah, keterampilan sosial, keterlibatan dalam komunitas, kesehatan dan keamanan,
akademik dan kemampuan bekerja.
American Psychological Association (APA) membuat klasifikasi penyandang
disabilitas intelektual berdasar tingkat kecerdasan atau skor IQ, yaitu
-ringan (debil,) skor IQ 55-70
-sedang (imbesil), skor IQ 40-55
-berat, skor IQ 25-40
-sangat berat, skor IQ < 25.
Ada banyak program dan sumber daya yang tersedia untuk membantu anak-anak ini
saat mereka tumbuh dewasa.
Berikut ciri-cirinya yang bisa dikenali:
1. kegagalan untuk memenuhi tonggak intelektual.
2. duduk, merangkak, atau berjalan lebih lambat dari anak-anak lain.
3. masalah belajar berbicara atau kesulitan berbicara dengan jelas.
4. masalah memori.
5. ketidakmampuan untuk memahami konsekuensi dari tindakan.
6. ketidakmampuan untuk berpikir logis.
7. perilaku kekanak-kanakan yang tidak sesuai dengan usia anak.
8. kurangnya keingintahuan.
9. kesulitan belajar.
10. IQ di bawah 70.
11. ketidakmampuan untuk menjalani kehidupan mandiri sepenuhnya karena
tantangan dalam berkomunikasi, menjaga diri sendiri, atau berinteraksi dengan
orang lain.
10
Masa Prenatal
Pada masa prenatal atau saat bayi masih di dalam kandungan, bayi memiliki risiko
menyandang disabilitas intelektual dengan penyebab tertentu.
Masa Perinatal
Pada masa perinatal atau saat proses melahirkan ada beberapa penyebab lain yang
menjadi alasan terjadinya disabilitas intelektual pada anak. Bisa jadi ada yang
namanya anoxia atau kekurangan oksigen saat proses lahiran, entah karena
ketubannya pecah atau mandet dalam proses pembukaan dan lain-lain.
Masa Postnatal
Pada masa postnatal atau setelah melahirkan, penyebab disabilitas intelektual yang
dapat terjadi adalah infeksi, malnutrisi, toksin, dan lingkungan yang kurang
menstimulasi anak.
11
diharuskan membaca untuk mempelajari sesuatu yang lebih
spesifik.
b. Gejala-Gejaka Dylexia
Menurut Jamaris (2014) menyebutkan beberapa gejala individu
yang mengalami dylexia yaitu:
1. Membaca secara terbalik seperti: duku dibaca kudu,huruf D
dibaca huruf B atau huruf P dibaca Q.
2. Menulis secara terbalik
3. Mengalami kesulitan dalam menyebutkan Kembali informasi
yang diberikan secara lisan
4. Kualitas tulisan buruk, karakter huruf yang ditulis tidak jelas
5. Memiliki kemampuan menggambar kurang baik
6. Sulit dalam memngikuti perintah yang diberikan secara lisan
7. Mengalami kesulitan dalam menentukan arah kiri dan kanan
8. Mengalami kesulitan dalam memahami dan mengingat cerita
yang baru dibaca
9. Mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran secara
tertulis
10. Mengalami dikslesia bukan disebabkan keadaan mata dan
telinga yang tidak baik atau karena disfungsi otak
11. Mengalami kesulitan dalam menggabungkan bunyi huruf
menjdi kata yang berarti
12. Sangat lambat dalam membaca sebab kesulitan dalam
mengenal huruf, mengingat bunyi huruf dan menggabungkan
bunyi huruf menjadi kata yang berarti.
c. Penyebab dileksia
Menurut Mulyadi (2010) menjelaskan beberapa penyebab
dileksia yaitu:
1. Biologis
Diantara yang termasuk dalam kesulitan membaca yang
disebabkan oleh faktor biologis yaitu, Riwayat keluarga
12
yang pernah mengalami dileksia, kehamilan yang
bermasalah serta masalah Kesehatan yang cukup
relevan
2. Kognitif
Faktor kognitif yang dijadikan sebagai penyebab
dileksia diantaranya yaitu, pola artikulasi Bahasa dan
kurangnya kesadaran bunyi-bunyi Bahasa yang
diproduksi oleh alat ucap manusia.
3. Perilaku
Faktor perilaku yang dapat dijadikan sebagai faktor
penyebab dileksia yaitu masalah dalam hubungan
social, stress yang merupakan implikasi dari kesulitan
belajar serta gangguan motorik.
d. Teori dileksia
Mulyadi (2010) menjelaskan bahwa dileksia merupakan
gangguan yang bersifat heterogen dan masing-masing ahli
memiliki pendapat yang berbeda-beda. Pendekatan kognitif
diajukan oleh piaget yang memandang kemampuan Bahasa
sebagai salah satu kemampuan yang berkembang dari proses
pematangan kognitif.
Mulyadi (2010) menjelaskan teori kognitif yang terbagi
menjadi dua teori yaitu :
1. Teori Deficit Fonologi (phonological deficit theory)
Teori ini ditemukan oleh Pringle Morgan pada tahun
1896. Morgan melihat membaca sebagai proses yang
melibatkan pemisahan teks ke dalam grapheme. Teori
ini menganggap bahwa orang individu yang mengalami
dileksia mempumyai kelemahan fonologi yang
menyebabkan kesulitan menggambarkan fenomena.
2. Double Deficit Theory
Wolf dan Blower (2002) mengemukakan teori ini
muncuk sebagai akibat bertambahnya jumlah anak-anak
13
dileksia yang tidak sempat didiagnosa sebab gejala-
gejala yang muncul pada mereka hanya dianggap
sebagai bagian dari kelemahan fonologi.
A. Gangguan Membaca Khas
a. Ciri-ciri gangguan membaca khas menurut DSM-5
Kemampuan membaca anak harus lebih rendah
tingkatannya daripada kemampuan yang diharapkan
berdasarkan pada usia, intelegensi umum dan tingkatan
sekolah seperti memahami isi bacaan
Gangguan perkembangan khas membaca biasanya
didahulukan oleh Riwayat gangguan perkembangan
berbicara atau berbahasa
Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung
pada taraf yang diharapkan dari kemampuan membaca,
berbahasa atau tulisan (namun dalam tahap awal belajar
membaca tulisan abjad dapat terjadi kesulitan
mengucapkan huruf abjad, menyebut nama yang benar
dari tulisan dan dalam menganalisis atau
mengelompokkan bunyi-bunyi (meskipun ketajaman
pendengaran normal.
Dapat terjadi kesalahan dalam kemampuan membaca
lisan, seperti berikut ini:
a) Ada kata-kata atau bagian-bagian yang mengalami
penghilangan, penggantian, penyimpangan atau
penambahan
b) Kecepatan membaca yang lambat
c) Salah memulai, keraguan yang lama atau kehilangan
bagian dari teks lain dan tidak tepat Menyusun kalimat
d) Susunan kata-kata yang terbalik dalam kalimat atau
huruf-huruf yang terbalik dalam kata-kata
Dapat juga terjadi kekurangan dalam memahami bacaan
seperti berikut ini
e) Ketidak-mampuan menyebut Kembali isi bacaan
14
f) Ketidak-mampuan untuk menarik kesimpulan dari
materi bacaan
g) Dalam menjawab pertanyaan tentang bacaan lebih
menggunakan pengetahuan umum sebagai latar
belakang informasi yang berasal dari materi bacaan
tersebut
2) Disgrafia
a. Definisi
Anak-anak normal dan anak disgrafia secara fisik dan
psikologis pada umumnya sama, tetapi Ketika dalam proses
belajar di dalam kelas, anak disgrafia terlihat sulit atau lambat
dalam menulis. Menurut Yusuf dkk (2003), disgrafia ditandai
dengan adanya gangguan atau kesulitan dalam mengikuti satu
atau lebih bentuk pengajaran menulis dan keterampilan yang
terkait dengan menlis, seperti mendengarkan, berbicara atau
membaca.
b. Penyebab Disgrafia:
Pada umumnya penyebab disgrafia tidak bisa diketahui secara
pasti, namun apabila disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada anak
maupun orang dewasa dapat diduga bahwa penyebab disgrafia
terjadi disebabkan trauma kepala, baik disebabkan kecelakaan,
penyakit ataupun yang lainnya. Penyebab paling umum adalah
neurologis, yaitu adanya gangguan pada otak bagian kiri depan
yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Menurut Lerner (2000) ada beberapa faktor penyebab disgrafia
yaitu:
1. Gangguan Motorik
Anak yang perkembangan motoriknya belum matang
atau mengalami gangguan akan kesulitan dalam
menulis. Tulisannya tidak jelas. Terputus-putus dan
tidak mengikuti garis.
2. Gangguan persepsi
15
Anak yang kesulitan dalam menulis akan menunjukkan
perilaku yang mudah bosan dalam belajar sebab
individu kesulitan dalam mengekspresikan sesuatu.
3. Gangguan memori
Gangguan memori juga dapat menjadi penyebab
terjadinya kesulitan menulis sebab individu tidak
mampu mengingat apa yang ditulis. Jika gangguan
menyangkut ingatan visual maka individu akan sulit
untuk mengingat huruf atau kata dan jika gangguan
tersebut menyangkut memori auditori maka individu
akan mengalami kesulitan menulis kata-kata yang baru
saja diucapkan oleh guru.
4. Kemampuan memahami instruksi
Ketidakmampuan memhami instruksi dapat
menyebabkan individu sering keliru menulis kata-kata
yang sesuai dengan perintah guru
5. Kemampuan melaksanakan Cross Modal
Kemampuan ini menyangkut kemampuan menstransfer
dan mengorganisasikan fungsi visual ke motorik.
Kemampuan ini dapat menyebabkan individu
mengalami gangguan koordinasi mata-tangan sehingga
tulisan menjadi tidak jelas, terputus-putus atau tidak
mengikuti garisan lurus.
c. Gejala-Gejala Disgrafia
Pada umumnya individu yang menderita disgrafia
menunjukkan semua atau beberapa gejala. Kendell dan
Stefanyshyn (2012) memberikan rincian gejala-gejala disgrafia
sebagai berikut:
1. Terdapat ketidak-konsitenan bentuk huruf dalam
tulisannya
2. Saat menulis penggunaan huruf besar dan huruf kecil
tercampur
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisan tidak
proporsional
16
4. Individu tampak harus berusaha keras saat
mengkomunikasikan suatu ide
5. Pengetahuan atau pemahaman hanya melalui tulisan
6. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap,
cara memegang alat tulis sering kali terlalu dekat
bahkan hampir menempel dengan kertas
7. Berbicara pada diri sendiri Ketika sedang menulis atau
malah terlalu memperhatikan tangan yang dipaki untuk
menulis
8. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis
yang tepat dan proporsional
9. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta
menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
3) Diskalkulia
a. Definisi
Asal kata Dyscalculia yaitu berasal dari Bahasa Yunani yang
artinya adalah “ketidakmampuan berhitung”. Awalan “dys”
berarti “ketidakmampuan” sedangkan “calculus” berarti
“kerikil”. Sebab zaman dahulu menghitung dengan alat bantu
kerikil maka dari sinilah istilah diskalkulia berasal.
Pada dasarnya gangguan belajar merupakan salah satu masalah
yang sering ditemukan pada sekolah. Pada umumnya, 5% dan
8% dari usia anak sekolah mengalami gangguan belajar
diskalkulia. Menurut Suharmini (2015) diskalkulia adalah
ketidakmampuan berhitung yang disebabkan gangguan pada
system saraf pusat. Sering kali individu lemah dalam konsep
arah dan waktu, serta gangguan pada memorinya. Individu
mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk geometric,
symbol, konsep angka, sulit menghafal penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian secara cepat.
Diskalkulia dapat juga didenifisikan sebagai kesulitan belajar
matematika atau diskalkulia yang merupakan ketidakmampuan
dalam melaksanakan keterampilan matematika dengan
17
kapasitas intelektual pada diri individu. Selain itu pengertian
diskalkulia juga dapat diartikan sebagai masalah yang dapat
memberikan dampak terhadap pengoperasian perhitungan
dalam matematika (Media &Berseri, 2017).
b. Jenis-Jenis Diskalkulia
Menurut Patricia & Zamzam, 2019) beberapa jenis diskalkulia
yaitu terdri dari:
1. Diskalkulia kuantitatif adalah individu yang mengalami
kesulitan dalam keterampilan menghitung dan
mengkalkulasi
2. Diskalkulia kualitatif adalah individu mengalami
kesulitan menguasai keterampilan yang diperlukan
dalam melakukan operasi matematika seperti
penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan
akar kuadrat.
3. Diskalkulia intermediate adalah siswa yang tidak
mampu untuk mengoperasikan symbol atau bilangan
seperti <,>,{.-,+ selain itu individu juga mengalami
kesulitan Ketika jumlahnya lebih besar dari 1.000.000
sehingga individu akan membutuhkan bantuan untuk
memngerjakannya.
4. Diskalkulia verbal yaitu siswa dapat membaca dan
menulis bilangan akan tetapi mengalami kesulitan dan
tidak dapat paham tentang makna dari bilangan,
mengingat nama bilangan atau mengenali bilangan
Ketika diucapkan oleh guru.
5. Diskalkulia proctagnostic yaitu siswa mengalami
kesulitan dalam melakukan manipulasi sesuatu secara
otomatis, misalnya apabila membandingkan bilangan
dalam melihat mana yang lebih kecil atau besar akan
mengalami kesulitan dengan kuantitas, volume atau
persamaan baik secara praktis ataupun sistematis.
18
6. Diskalkulia leksikal yaitu individu mampu membaca
digit secara tunggal akan tetapi tidak dapat mengingat
dalam jumlah yang besar
7. Diskalkulia grafis yaitu individu mengalami kesulitan
dalam menulis symbol dan bilangan matematika baik
berupa angka, lambing
8. Diskalkulia indiagnostik yaitu merupakan kesulitan
yang dialami individu dalam mengingat ide atau konsep
matematika setelah selesai mempelajarinya, hal tersebut
mempengarhui dalam memahami pembelajaran
berikutnya.
9. Diskalkulia operasional yaitu individu mengalami
kesulitan dalam melakukan operasi dan hitungan
aritmatika, selain itu juga memiliki masalah untuk
melakukan perhitungan yang membutuhkan
memanipulasi angka dan pemahaman terhadap symbol
angka.
c. Gejala-gejala Diskalkulia
Menurut Suzana &Maulida (2019) ada beberapa gejala-gejala
pada individu yang mengalami gangguan diskalkulia yaitu:
1. Ditandai dengan gannguan dalam memahami pola
hubungan keruangan. Contoh dari gangguan tersebut
seperti “atas-bawah”, “puncak-dasar”, “jauh-
dekat”,”kecil-tinggi”, “tinggi-rendah”, “depan-
belakang”, “awal-akhir”. Pada individu yang telah
memasuki Sekolah Dasar biasanya sudah mampu
menguasai konsep tersebut. Dalam kehidupan sehari-
hari individu telah memahami konsep tersebut dari
pengalaman yang dimiliki individu melalui lingkungan
sosial baik Ketika individu bermain dengan temannya
atau di dalam kehidupan sehari-harinya. Individu yang
mengalami memahami konsep tentang pola hubungan
keruangan dapat disebabkan oleh faktor kesulitan dalam
berkomunikasi dan lingkungan sosialnya tidak
19
mendukung kondisi yang kondusif agar terjalin
komunikasi. Hal tersebut disebabkan oleh dua kondisi,
diantaranya kondisi instrinsik yang ada sebab
ketidakmampuan otak dan kondisi ekstrinsik berupa
lingkup sosial yang tidak mendukung adanya
komunikasi sehingga menyebabkan individu mengalami
gangguan dalam memahami beberapa konsep-konsep
pola hubungan keruangan bisa menyulitkan pemahaman
siswa mengenai system bilangan secara keseluruhan.
Keadaan yang tampak apabila individu tidak bisa
melakukannya seperti individu merasakan jarak tiap
angka pada garis bilangan atau penggaris, sehingga
tidak mengetahui bahwa angka 4 ternyata lebih dekat ke
angka 5 daripada ke angka 7.
2. Abnormalitas persepsi visual
Ketidakmampuan individu dalam melihat macam-
macam objek dalam satu kelompok dan hubungan
diantaranya dapat terjadi disebabkan adanya gejala
abnormalitas persepsi visual. Individu yang mengalami
abnormalitas persepsi visual akan terlihat tidak mampu
apabila disuruh untuk menjumlahkan dua kelompok
benda yang masing-masing benda tersebut terdiri dari
empat atau lima anggota. Sebaliknya siswa yang
memiliki kemampuan melihat macam-macam objek
dalam suatu kelompok dapat secara cepat dan tepat
dalam menentukan jumlah objek di dalam suatu
kelompok sebab hal tersebut sering terjadi dalam kontak
pada lingkungan sosial. Abnormalitas persepsi visual
yang dialami siswa dengan masalah tersebut akan
menghitung anggota benda tersebut satu persatu terlebih
dahulu sebelum kemudian menjumlahkannya.
3. Asosiasi visual-motorik
Individu diskalkulia tidak dapat menghitung beberapa
benda dengan berurutan Ketika membilang benda
20
tersebut. Contohnya seperti menghitung jumlah suatu
bilangan “satu, dua, tiga,…” tanpa memperhatikan
bahwa benda yang dihitung tersebut bukan benda
bilangan pertama akan tetapi individu baru memegang
benda kedua namun baru mengucapkan “satu” atau
kebalikannya baru menyentuh benda pertama namun
individu sudah mengucapkan “dua”. Oleh sebab itu
individu dengan masalah tersebut menunjukkan kesan
bahwa individu hanya menghafal bilangan tetapi tidak
memahami maknanya.
4. Perseverasi
Individu yang mengalami perseverasi ditandai dengan
hanya fokus pada satu objek saja dengan waktu yang
lama sehingga awalnya dapat menyelesaikan tugas
dengan baik, namun lambat laun fokusnya melekat pada
objek yang lain.
5. Ketidakmampuan dalam mengenal dan mehami symbol
Sebagian individu diskalkulia yang mengalami
ketidakmampuan dalam mengenal dan menggunakan
beberapa symbol matematika seperti :,+,-,x,>,< dan
symbol lainnya. Ketidakmampuan dalam memahami
symbol disebabkan adanya gangguan memori pada otak
atau adanya gangguan persepsi visual.
6. Gangguan penghayatan tubuh
Individu yang mengalami kesulitan berhitung dapat
ditandai dengan adanya gangguan penghayatan tubuh
(body image). Individu yang mengalami masalah ini
akan merasa sukar untuk memahami hubungan dari
bagian-bagian tubuhnya sendiri. Gangguan yang
dialami individu tersebut seperti individu disuruh untuk
menggambar bagian tubuh manusia, maka yang
individu lakukan adalah meggambar dengan beberapa
bagian yang tidak lengkap atau menempatkan bagian
21
tubuh pada posisi yang tidak tepat. Contohnya: kaki
diletakkan di tangan, atau bagian telinga yang
diletakkan pada bagian hidung.
7. Kesulitan memahami Bahasa dan membaca
Individu yang mengalami kesulitan pada memahami
Bahasa dan membaca disebabkan pelajaran matematika
banyak menggunakan simbol -simbol tertentu. Oleh
karena itu, kesulitan dalam kemampuan memahami
Bahasa dapat mempengaruhi kemampuan siswa pada
pelajaran, seperti halnya soal matematika yang didesain
bebentuk soal cerita menuntut kemampuan membaca
untuk menyelesaikan sehingga individu yang
mengalami kesulitan memahami Bahasa dan membaca
akan susah untuk menyelesaikan soal tersebut.
8. Performance IQ lebih rendah daripada Verbal IQ
Apabila dilakukan tes inteligensi dengan mengandalkan
alat WISC maka akan diperoleh individu yang
mengalami diskalkulia memiliki skor Performance IQ
yang lebih rendah daripada skor Verbal. Hal tersebut
dikarenakan tes inteligensi tersebut mempunyai dua
kategori tes, diantaranya tes performance dan tes verbal.
Cakupan dari sub tes performance diantaranya
melengkapi objek, Menyusun objek, Menyusun gambar,
Menyusun balok dan coding. Sedangkan tes verbal
terdiri dari informasi, persamaan aritmatika, bendahara
kata serta pemahaman.
22
penguasaan pada kemampuan dasar berhitung
tambah,kurang,kali dan bagi.
b. Ciri-ciri gangguan berhitung khas
Kemampuan berhitung harus secara lebih rendah
daripada tingkat yang seharusnya dicapai berdasarkan
usianya, intelegensi umum, tingkat sekolah.
Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas
normal sesuai dengan umur mental anak.
Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan
pengajaran atau efek langsung dari ketajaman
penglihatan, pendengaran atau fungsi neurologis dan
tidak disebabkan sebagai akibat dari gangguan
neurologis, gangguan jiwa atau gangguan-gangguan
lainnya.
23
Secara klinis terdapat gangguan yang sampai menganggu
aktivitas beratnya gangguan ini dilihat dari ukuran skolastik,
gangguan perkembangan yang mendahului, masalah yang
terkait
Gangguan aktivitas tersebut harus dalam masa perkembangan
dalam artian harus sudah ada pada awal usia sekolah
Harus tidak ada faktor luar yang dapat menjadi alasan untuk
kesulitan skolastik seperti: pindah sekolah,system pengajaran
24
pengajaran, atau efek langsung dari ketajaman
penglihatan, pendengaran atau fungsi neurologis.
25
Anak berkebutuhan khusus biasanya diikuti dengan beberapa karakteristik atau
ciri-ciri sesuai dengan gannguan yang dialami, yaitu:
1. Tidak memiliki perhatian untuk berkomunikasi atau tidak ingin
berkomunikasi untuk tujuan sosial. Bahkan, 50% tidak menggunakan Bahasa
sama sekali.
2. Gumaman yang biasa muncul sebelum anak dapat berkata-kata mungkin tidak
Nampak pada anak autis.
3. Mereka yang berbicara mengalami abnormalitas dalam intonasi, rate, volume,
da nisi Bahasa. Misalnya, berbicara seperti robot, mengulang-ulang apa yang
di dengar, sulit menggunakan Bahasa dalam interaksi sosial.
4. Sering tidak memahami ucapan yang ditunjukkan kepada mereka.
5. Sulit memehami bahwa satu kata memiliki bahnyak arti.
6. Menggunakan kata yang aneh atau kiasan.
7. Terus mengulangi pertanyaan meskipun sudah dijawab dan memperpanjang
pertanyaan mengenai topi yang ia sukai tanpa peduli dengan lawan bicaranya.
8. Sering mengulangi kata-kata yang baru saja atau pernah mereka dengar, tanpa
maksud berkomunikasi.
9. Gangguan dalam komunikasi non-verbal, misalnya tidak menggunakan
gerakan tubuh layaknya orang lain dalam mengekspresikan perasaannya atau
mersakan perasaan orang lain, contohnya geleng kepala, mengangkat alis,
melambaikan tangan dll.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berbagai gangguan atau perilaku abnormal dapat terjadi pada anak-anak yang
berkembang hingga remaja, bahkan hingga dewasa. Gangguan tersebut umumnya
berupa gangguan neurologis-perkembangan. Gangguan lainnya berupa gangguan
tingkah laku, gangguan eliminasi, gangguan kecemasan dan gangguan mood.
Gangguan lainnya yang tidak dijelaskan dalam makalah ini adalah gangguan makan
dan gangguan tidur. Gangguan ini umumnya tidak memiliki dasar neurologis-
fisiologis atau dasar medis yang jelas. Gangguan-gangguan tersebut dapat
mengakibatkan hendaya dalam berbagai fungsi kehidupan seperti fungsi sosial,
akademik/pendidikan dan pekerjaan. Gangguan tersebut menganggu individu untuk
bisa berfungsi sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari. Penyebab
berbagai gangguan umumnya merupakan variasi dari faktor genetika dan faktor
lingkungan (nature dan nurture). Penanganan yang dilakukan dapat berupa terapi
dengen pendekatan medis dan pendekatan psikologis. Terapi yang lebih efektif
melibatkan berbagai pendekatan psikologis untuk gangguan-gangguan tertentu.
3.2 Saran
Penyusunan makalah yang telah disusun tentunya masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kritik dari pembaca sangat dibutuhkan dalam penyusunan makalah
selanjutnya karena perlu adanya banyak sumber referensi dalam penyusunan makalah
mengenai gangguan perilaku abnormal agar teori yang disusun lebih akurat dan dapat
menambah wawasan bagi pembaca.
27
DAFTAR PUSTAKA
Mutiani, R., & Suyadi, S. (2020). Diagnosa Diskalkulia Generasi Alpha: Masalah dan
Perkembangannya. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 4(1), 104-112.
Nofitasari, A., & Ernawati, N. (2015). Teori dan metode pengajaran pada anak
Dyslexia.
28
Tanoyo, P,D. (1962). Diagnosis dan tata laksanan Attebtion deficity/hyperacyivity
disorder. Universitas Udayana: Denpasar
29