Anda di halaman 1dari 3

Kenali Perbedaan Anak Hiperaktif dan Anak ADHD

“Anak hiperaktif belum tentu menderita ADHD, harus dilihat apakah terdapat gangguan fungsi
sosial dan akademis atau tidak”
Tidak jarang kita melihat anak-anak berlari kesana kemari, bermain kejar-kejaran atau petak
umpet dengan teman seusianya. Hal ini wajar karena bermain bersama orang lain merupakan
tahapan perkembangan penting dalam fase tumbuh kembang anak-anak. (Parten, 1932)
Orang tua pun tentunya bahagia melihat anaknya tampak aktif bermain, selayaknya anak-anak
usia sebayanya. Namun terkadang ada juga orang tua yang mengeluhkan aktivitas anaknya
terlalu berlebihan, kondisi yang seringkali disebut sebagai hiperaktif. Banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan kondisi hiperaktif ini, bisa jadi karena mereka pernah mendengar
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, atau yang lebih dikenal dengan istilah
ADHD, pada anak. Meskipun begitu tidak banyak orang tua yang tahu bahwa sebenarnya
hiperaktif dan ADHD merupakan dua kondisi yang berbeda.

Apakah yang dimaksud dengan Hiperaktif?


Kondisi Hiperaktif sebenarnya sulit untuk didefinisikan secara pasti, karena seseorang
mendapatkan label hiperaktif atas pengamatan dari orang disekitarnya. Meskipun begitu
terdapat ciri-ciri dan karakteristik tertentu yang membantu untuk mengidentifikasi kondisi
hiperaktif, terutama apabila perilaku anak mengganggu aktivitas di sekolah dan mengganggu
interaksi sosial dengan temannya.
Anak yang hiperaktif biasanya menunjukkan peningkatan aktivitas motorik dan kecenderungan
untuk melakukan tindakan impulsif, ditandai dengan keinginan untuk bergerak maupun
berbicara terus menerus tanpa memperhatikan situasi dan kondisi saat itu. Beberapa contoh
perilaku yang menunjukkan kecurigaan ke kondisi hiperaktif adalah:

 Berteriak dan berlari meskipun sedang bermain di dalam ruangan atau saat berada di
tempat yang seharusnya sunyi (seperti perpustakaan).
 Merubah-rubah posisi duduk dan berjalan kesana kemari di tengah kelas saat gurus
masih menjelaskan
 Menjawab pertanyan yang belum selesai diucapkan oleh guru
 Menyerobot antrian karena tidak sabar menunggu giliran
Kondisi hiperaktif yang dialami anak bisa saja mengarah pada diagnosis ADHD. Meskipun begitu
kondisi hiperaktif juga dapat disebabkan oleh kondisi lain seperti hipertiroidisme (kadar
hormon tiroid yang berlebihan), gangguan pada otak atau gangguan psikologis.
Apakah yang dimaksud dengan Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD)?
Sesuai dengan namanya, ADHD terdiri dari dua kumpulan gejala, yaitu gejala gangguan
pemusatan perhatian (inatensi) dan gejala gangguan hiperaktivitas. Gangguan ADHD dapat
dibagi menjadi tiga subtipe berdasarkan gejala yang muncul.
1. Dominan inatensi (ADHD-I) apabila terdapat minimal 6 dari 9 gejala sebagai berikut:
a. Sering membuat kesalahan ceroboh pada pekerjaan atau sekolah
b. Sulit memusatkan perhatian pada pekerjaan atau mainan
c. Sering terlihat tidak fokus pada pembicaraan yang berlangsung
d. Sulit untuk mengikuti arahan atau instruksi
e. Sulit mengorganisir tugas atau pekerjaan
f. Sering menghindari pekerjaan yang membutuhkan waktu lama
g. Sering mengalami kehilangan barang untuk aktivitas tertentu (pen, dompet)
h. Sering tampak kebingungan
i. Seringkali melupakan aktivitas yang dijalankan sehari-hari

2. Dominan hiperaktif-impulsif (ADHD-H) apabila terdapat minimal 6 dari 9 gejala sebagai


berikut:
a. Sering merasa gelisah (mengetukkan kaki atau tangan, menggeliat di kursi)
b. Sering meninggalkan kursi pada situasi yang seharusnya tetap duduk diam
c. Sering berlari dan berteriak tanpa melihati situasi dan kondisi
d. Saat waktu bermain, seringkali tidak bisa bermain dengan tenang
e. Merasa harus selalu bergerak
f. Sering berbicara dengan berlebihan
g. Sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diucapkan,
h. Tidak sabar menunggu giliran datang
i. Sering memotong percakapan orang lain

3. Kombinasi (ADHD-C): menunjukkan minimal 6 gejala inatensi dan 6 gejala hiperaktif


Dari ketiga jenis ADHD, tipe kombinasi adalah jenis yang paling sering ditemukan yaitu sekitar
70%, dengan tipe inatensi sekitar 18,3% dan tipe hiperaktif-impulsif sekitar 8,3%. Penyebab dari
ADHD sendiri masih belum diketahui secara pasti namun riset menunjukkan faktor genetik dan
lingkungan berperan dalam memicu terjadinya ADHD. Beberapa faktor risiko yang berkaitan
dengan kehamilan adalah infeksi virus, merokok, kurang asupan gizi, dan konsumsi alkohol saat
hamil.
Selain menunjukkan gejala-gejala yang disebutkan di atas, syarat lain yang harus dipenuhi agar
diagnosis ADHD dapat ditegakkan adalah:
1. Beberapa gejala inatensi dan/atau gejala hiperaktif-impulsif timbul pada saat usia masih
belum mencapai 12 tahun
2. Beberapa gejala timbul pada minimal dua kondisi atau situasi, seperti contohnya di
rumah, di sekolah atau di tempat kerja, saat bersama keluarga, saat bersama teman
atau rekan kerja
3. Gejala-gejala tersebut harus menimbulkan gangguan pada interaksi sosial, pekerjaan
atau akademis
4. Gejala-gejala yang timbul bukan disebabkan oleh gangguan perilaku lainnya
Terapi utama yang diberikan pada anak dengan ADHD adalah pemberian obat golongan
stimulan (amfetamin atau metilfenidat) atau non-stimulan (antidepresan atau agonis-alfa).
Terapi pendukung berupa terapi psikoedukasi pada keluarga dan teman serta program
pelatihan kognitif dan perilaku penderita juga dapat dipertimbangkan.
Perbedaan Kondisi Hiperaktif dan ADHD
Kondisi hiperaktif merupakan kumpulan gejala-gejala yang dapat mengarah pada gangguan
ADHD subtipe hiperaktif-impulsif atau tipe kombinasi, namun perlu diingat bahwa terdapat
kriteria-kriteria yang perlu dipenuhi.
Jadi apabila kondisi hiperaktif sang anak tidak menyebabkan gangguan pada interaksi sosial,
akademis atau pekerjaan serta bukan disebabkan oleh gangguan perilaku lainnya, maka orang
tua jangan lansung mengambil kesimpulan bahwa anak menderita ADHD. Bisa saja perilaku
hiperaktif tersebut akan menurun seiring dengan bertambahnya usia anak dan tidak menjadi
ADHD.
Referensi
1. Magnus, W., Nazir, S., Anilkumar, A. C., & Shaban, K. (2020). Attention Deficit

Hyperactivity Disorder (ADHD). In StatPearls. StatPearls Publishing.

2. Parten, M. B. (1932). Social participation among pre-school children. The Journal of

Abnormal and Social Psychology, 27(3), 243–269. https://doi.org/10.1037/h0074524

3. Primadhani. (2015). Attention Deficit Hyperactivity Disorder: Diagnosis dan Pendekatan

Holistik. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

4. Zentall, S. S. (1980). Behavioral comparisons of hyperactive and normally active children

in natural settings. Journal of Abnormal Child Psychology, 8(1), 93–109.

Anda mungkin juga menyukai