Anda di halaman 1dari 19

ANAK ADHD AUTISM

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus
Dosen Pengampu : Asih Puji Hastuti, M.A

Disusun Oleh :

Puteri Anggita Dewi (2319001)

FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
STAINU TEMANGGUNG
2020/2021
PEMBAHASAN

A. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)


1. Definisi
Sebagian besar profesional sekarang percaya bahwa ADHD terdiri dari tiga
masalah pokok: (1) kesulitan dalam perhatian berkelanjutan, (2) pengendalian
atau penghambatan impuls, dan (3) kegiatan berlebihan. Beberapa periset
seperti Barkley, menambahkan masalah lain seperti: (4) kesulitan mematuhi
peraturan dan instruksi, dan (5) adanya variabilitas berlebih dalam merespon
situasi, khususnya pekerjaan sekolah. ADHD merupakan suatu gangguan
perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku,
khususnya untuk mengantisipasi tindakan dan keputusan masa depan. anak
yang mengidap ADHD relatif tidak mampu menahan diri untuk merespon
situasi pada saat itu. Mereka benar-benar tidak bisa menunggu (Martin, 1998).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder merupakan kesulitan dalam
memusatkan perhatian dan mempertahankan fokus pada kebanyakan tugas.
Seorang anak penyandang ADHD cenderung bergerak terus secara konstan dan
tidak bisa tenang, sehingga mereka sering kesulitan untuk belajar di sekolah,
mendengar dan mengikuti instruksi orang tua dan bersosialisasi dengan teman
sekelasnya. Anak penyandang ADHD menunjukkan kurangnya perhatian,
impulsifitas dan perilaku hiperaktif. Anak penyandang ADHD memiliki
berbagai masalah untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Masalah
ini termasuk kesulitan akademik, masalah dalam berteman, dan menjaga
persahabatan, masalah keluarga, dan perilaku melawan terhadap orang dewasa
dalam hal hubungan dengan orang lain, mereka sering kali bersikap bossy, dan
agresif yang mengakibatkan mereka dihindari oleh kebanyakan teman
sekelasnya (Flanagen, 2005).
Taylor (1998) mengatakan yang dimaksud dengan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) – yang kemudian sering disebut dengan hiperaktivitas,
digunakan untuk menyatakan suatu pola perilaku seseorang yang menunjukkan
sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsive (semaunya
sendiri). Anak-anak yang hiperaktif selalu bergerak, tidak mau diam bahkan
dalam berbagai situasi, misalnya ketika sedang mengikuti pelajaran di kelas
yang menuntut untuk bersikap tenang. Anak-anak hiperaktif tidak dapat
menikmati asyiknya bermain atau memainkan permainan yang sesuai dengan
usianya dan akan bergerak dari satu permainan ke permainan yang lain. Hal ini
mengisyaratkan bahwa anak-anak hiperaktif tidak memperoleh kepuasaan
sebanyak yang dikehendakinya.
Penelitian menunjukkan bahwa ADHD terdapat pada 3-5% dari populasi.
ADHD adalah masalah kesehatan mental yang paling sering terjadi pada anak-
anak. ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan
(Flanagen, 2005).

2. Faktor Penyebab
Belum dapat dipastikan penyebab sebenarnya dari ADHD. Flanagen (2005)
menyebutkan bahwa terdapat beberapa hipotesis penelitian dengan dukungan
kuat berkaitan dengan faktor penyebab, yaitu:
a. Keturunan/faktor genetik
Anak penyandang ADHD kebanyakan memiliki hubungan kekerabatan
yang dekat dengan individu yang tampak memiliki gejala serupa.hubungan
kekerabatan yang dimaksud meliputi orang tua, paman, atau bibi. Anak
yang mengidap ADHD empat kali lebih mungkin memiliki orang tua yang
mengidap ADHD daripada anak normal. Martin, 1998 menyebutkan bahwa
sejumlah penelitian menegaskan unsur genetis yang kuat sebagai penyebab
pada adanya gangguan perhatian. Jika seorang anak kembar identik
mengidap ADHD, maka kembar ynag satu akan berisiko memiliki gejala
kurang perhatian yang lebih tinggi.
b. Defisit neurotransmitter
Dua neurotransmiter pada otak tampaknya berperan dalam regulasi
jumlah pembangkitan dan perhatian. Kedua neurotransmiter tersebut adalah
noradrelanine dan dopamine. Walaupun mustahil melakukan penelitian
secara langsung terhadap pengaruh kedua neurotransmiter ini terhadap
perilaku anak, ada beberapa bukti tidak langsung yang mendukung
pendapat bahwa neurotransmiter berperan. Konsumsi pengobatan stimulan
memengaruhi regulasi kedua neurotransmiter ini. noradrenaline
membangkitkan sel berikutnya, sedangkan dopamine mengurangi respons
yang tak diinginkan.
c. Kelambatan perkembangan sistem pembangkitan di otak
Ada beberapa indikasi bahwa anak yang mengidap ADHD menderita
kelambatan pembangkitan yang membuat mereka tidak sensitif terhadap
rangsangan yang datang. Jadi, hiperaktivitas yang mereka alami mungkin
mencerminkan pencairan rangsangan dan bukan karena rangsangan yang
berlebihan
d. Perkembangan orak yang abnormal
Otak yang abnormal merujuk pada tidak berfungsinya lobus frontal.
Lobus frontal adalah area pada orak yang mengumpulkan input auditori dan
visual yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa lobus ini dibombardir
dengan banyak informasi yang tidak tersaring dan tidak sesuai. Otak
penderita ADHD tidak mempunyai kegiatan kimiawi yang cukup untuk
mengatur dan mengendalikan apa yang si penderita lakukan atau pikirkan.
Pengobatan akan menaikkan aktivitas otak dan memberikan tambahan
ëenergi pada otak untuk mengendalikan pikiran dan tingkah laku. Pada otak
penderita ADHD kegiatan / aktivitas otaknya lebih sedikit (warna
merah/oranye/putih) dibandingkan dengan otak anak yang tidak menderita
ADHD. 

3. Simtom dan Diagnosis


Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori utama, yaitu :
a. Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian
Gejala ini dapat muncul dalam perilaku  :
 Ketidak mampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan
dalam mengerjakan tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
 Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
 Kadang terlihat tidak perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
 Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
 Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
 Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang
memerlukan proses mental yang lama
 Sering kehilangan barang miliknya
 Mudah terganggu stimulus dari luar
 Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari

b. Hiperaktivitas-Impulsivitas.
Perilaku yang disebabkan oleh hiperkativitas-impulsivitas antara lain:
 Gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk
 Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana
seharusnya duduk tenang
 Berlari berlebihan atau menanjat-manjat yang tidak tepat sutuasi
 Kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yag menyangkan
 Seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
 Berbicara terlalu banyak
 Sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan (impulsivitas)
 Terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh agresifitas dalam bentuk
sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain; sering
memulai perkelahian; menggunakan senjata tajam yang dapat melukai
orang lain; berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain; menyiksa
binatang; menyanggah jika dikonfrontasi dengan korban dari
perilakunya; memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual

Berdasarkan PPDGJ III, gangguan ini dapat ditegakkan dengan


memenuhi kriteria umum mengenai gangguan hiperkinetik (F90).
F90. Gangguan Hiperkinetik
Pedoman diagnostik:
a. Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.
Kedua ciri ini menjadi syarat  mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata
ada pada lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, di klinik)
b. Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya
tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak-
anak ini sering kali beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya
kehilangan minatnya  terhadap tugas yang satu karena perhatiannya
tertarik pada hal lain. Berkurangnya ketekunan dan perhatian ini
seharunya hanya didiagnosis bila sifatnya berlebihan bagi anak dengan
usia atau IQ yang sama.
c. Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang  berlebihan,
khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Hal ini
tergantung pada situasinya, mencakup anak itu berlari-lari atau
melompat-lompat sekeliling ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi
dalam situasi yang menghendaki anak itu tetap duduk, terlalu banyak
bicara dan ribut, atau kegugupan/kegelisahan dan berputar-putar atau
berbelit-belit. Tolok ukur untuk penilaiannya ialah bahwa suatu aktivitas
disebut berlebihan dalam konteks apa yang diharapkan pada suatu situasi
dalam konteks apa yang diharapkan pada suatu situasi dan dibandingkan
dengan anak-anak-anak yang sama umur dan nilai IQ-nya. Ciri khas
perilaku ini paling nyata di dalam suatu situasi yang berstruktur dan
diatur yang menuntun suatu tingkat sikap pengendalian diri yang tinggi.
d. Gambaran penyerta tidaklah cukup bahkan tidak diperlukan bagi suatu
diagnosis, namun demikian ia ia dapat mendukung. Kecerobohan dalam
hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam situasi yang berbahaya
dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang
diperlihatkan dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan
orang lain, terlampau cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
belum lengkap diucapkan orang, atau tidak sabar menunggu gilirannya),
kesemuanya merupakan ciri khas dari anak-anak dengan gangguan ini.
e. Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi dan
haruslah di catat secara terpisah bila ada; namun demikian tidak boleh
dijadikan bagian dari diagnosis aktual mengenai gangguan hiperkinetik
yang sesungguhnya.
f.Gejala-gejala dari gangguan tingkah laku bukan merupakan kriteria
eksklusi ataupun kriteria iklusi untuk diagnosis utamanya,tetapi ada
tidaknya gejala-gejala itu dijadikan dasar untuk subdivisi utama dari
gangguan tersebut.

4. Penanganan
Terdapat beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk
mengembalikan fungsi kerja anak yang mengidap ADHD dengan beberapa
terapi, yaitu :
a. Terapi Bermain
Terapi bermain sering digunakan untuk menangani anak-anak dengan
ADHD. Melalui proses bermain anak-anak akan belajar banyak hal,
diantaranya :
 Belajar mengenal aturan
 Belajar mengendalikan emosi
 Belajar menunggu giliran
 Belajar membuat perencanaan
 Belajar beberapa cara untuk mencapai tujuan melalui proses bermain
b. Terapi Medis
Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa ADHD berhubungan dengan
fungsi otak, terutama pada bagian yang bertanggung jawab mengatur
pemusatan perhatian, konsentrasi, pengaturan emosi, dan pengendalian
perilaku. Terapi medis biasanya berupa pemberian beberapa macam obat
dengan sasaran area tersebut, yaitu membantu memusatkan perhatian dan
mengendalikan perilaku, termasuk perilaku agresif.
c. Terapi Back in Control
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk
menangani anak dengan  ADHD adalah dengan mengkombinasikan
beberapa pendekatan dan metode penanganan. Program terapi “Back in
Control” dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program ini berbasis
pada sistem yang berdasar pada aturan, jadi tidak tergantung pada
keinginan anak untuk patuh. Program ini lebih cenderung ke sistem training
bagi orang tua yang diharapkan dapat menciptakan sistem aturan yang
berlaku di rumah sehingga dapat mengubah perilaku anak.
Peningkatan efektivitas program, sebaiknya dilakukan dengan kerja sama
antara orang tua dengan pihak sekolah untuk melakukan proses yang sama
bagi anaknya ketika dia di sekolah. Orang tua harus selalu melakukan
monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan dan konsisten atas program
yang dijalankan. Begitu juga ketika program ini dilaksanakan bersama-
sama dengan pihak sekolah  maka orang tua sangat memerlukan
keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk melakukan proses
monitoring dan evaluasi. Dalam program ini, yang harus dilakuan orang
tua adalah :
 Buat aturan sejelas mungkin sehingga pengasuh pun dapat mendukung
pelaksanaan tanpa banyak penyimpangan.
 Jalankan aturan tersebut dengan ketat
 Jangan memberi imbalan atau hukuman atas tanggapan terhadap aturan
itu. Jalankan saja sesuai yang sudah ditetapkan
 Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan
kata-kata kunci yang tidak akan diperdebatkan.

B. Autism
1. Definisi
Autism berasal dari kata Auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme
seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autism baru diperkenalkan sejak
tahun 1943 (Handojo, 2006). Autis atau autism adalah salah satu dari lima tipe
gangguan perkembangan pervasif (PDD), yang ditandai tampilnya
abnormalitas pada domain interaksi sosial. Autism merupakan tipe yang paling
populer dari PDD. Autism mengacu pada problem dengan interaksi sosial,
komunikasi, dan bermain imajinatif yang mulai muncul sejak anak berusia di
bawah 3 tahun. Anak penyandang autism mempunyai keterbatasan pada level
aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis pun mengalami beberapa
derajat retardasi mental (Priyatna, 2010).
Autism merupakan sebuah sindrom patologis yang jarang namun serius,
menimpa individu di masa kanak-kanak, dicirikan kondisi penarikan diri total,
kurangnya kemampuan meresponse secara sesuai atau kurangnya minat kepada
orang lain, gangguan komunikasi dan linguistik serius, dan kegagalan untuk
mengembangkan attachment normal (Reber & Reber, 2010)
Perilaku autism digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif
(berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk
perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit,
menendang, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Sering juga terjadi anak
menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit ditandai dengan gangguan
bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih
sayang tapi untuk meraih kue), defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain
tidak benar, dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab,
menangis tanpa sebab, dan melamun (Handojo, 2006).

2. Faktor Penyebab
Sampai saat ini, para ilmuwan belum yakin pada apa yang menjadi
penyebab autism, tetapi kemungkinan besar berhubungan erat dengan faktor
genetika dan pengaruh lingkungan. Penelitian pada individu dengan autism
menemukan adanya penyimpangan di beberapa area pada otak. Penelitian lain
menunjukkan bahwa individu dengan autism mempunyai level abnormal dari
serotonin atau neurotransmitter lain di otak (Priyatna, 2010).
Hal ini menunjukkan bahwa kelainan autism dapat saja timbul akibat terjadi
disrupsi perkembangan otak normal pada masa awal pekembangan janin yang
disebabkan karena adanya cacat pada gen yang mengatur pertumbuhan otak
dan gen yang mengatur bagaimana neuron saling berkomunikasi satu sama lain
(Priyatna, 2010).
Beberapa ahli menyebutkan autism disebabkan karena multifaktorial.
Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain
berpendapat bahwa autism disebabkan oleh psikiatri / jiwa. Ahli lainnya
berpendapat bahwa disebabkan oleh kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat yang beracun yang mengakibatkan
kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah pada tingkah laku dan
fisik termasuk autism (Handojo, 2006).
Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak autism dijumpai suatu
kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami
kelainan neuro-anatomis. Sebab timbulnya kelainan tersebut belum dapat
dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, mulai dengan
penyebab genetika, infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi,
serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa gangguan tersebut
terjadi pada fase pembentukan organ-organ (organogenesis) yaitu pada usia
kehamilan antara 0-4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia
kehamilan setelah 15 minggu (Handojo, 2006).
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar ditemukan beberapa fakta
yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus parietalis, cerebellum dan sistem
limbiknya. 43% penyandang autism mempunyai kelainan pada lobus parietalis
otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan juga
ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan VII.
Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar
berbahasa dan proses atensi. Juga didapatkan jumlah sel Purkinye di otak kecil
yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan
dopamin. Akibtanya terjadi gangguan atau kekacauan lalu-lalang impuls di
otak. Ditemukan pula kelainan pada sistem limbik yaitu pada hippocampus dan
amygdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan
emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif
atau sangat pasif. Amygdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai
rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan
rasa takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya
ingat. Terjadilah kesulitan dalam menyimpan informasi baru. Perilaku yang
diulang-ulang, aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus
(Handojo, 2006).
Sementara itu, beberapa faktor risiko yang mungkin untuk autism meliputi:
a. Telat menjadi orang tua (advanced age of parents)
Menurut hasil penelitian, kombinasi dari hereditas dan mutasi genetik
spontan adalah akar dari sebagian besar kasus autism. Mutasi genetik
tersebut terjadi diduga akibat tren masyarakat saat ini, yaitu melambatkan
diri untuk menikah, hamil, dan punya anak karena alasan tertentu.
Minoritas kaum autism disebabkan oleh mutasi yang diwarisi dari salah
satu orang tua (kebanyakan dari ibu). Keturunannya mempunyai
kesempatan 50% untuk mewarisi mutasi tersebut. Orang tua memiliki
mutasi seperti itu tetapi tidak menampilkan simtom yang parah bagi
dirinya sendiri.
b. Mutasi genetik spontan dengan penyebab yang tidak diketahui
Setidaknya 15% dari anak dengan autism memiliki mutasi-mutasi genetik
yang bukan merupakan warisan dari orang tua mereka. Mutasi baru yang
spontan ini seringkali ditemukan pada anak yang megidap autism klasik.
Anak-anak yang sedang tumbuh hanya berpeluang sekitar 1% untuk
mempunyai mutasi spotan. Anak-anak autism mempunyai mutasi, tetapi
tidak semua dari mereka berbagi mutasi yang sama. Dalam hal ini ada
banyak mutasi berbeda yang terjadi di kalangan anak dengan autism.
c. Genetika dan autism versus hereditas dan autism
Hanya sebagian kecil anak mengidap autism karena keturunan, sementara
yang lainnya berhubungan erat dengan faktor genetika.
d. Bobot bayi lahir rendah (BBLR) dan lahir prematur
Temuan hasil penelitian untuk risiko BBLR dan lahir prematur dengan
autism adalah:
1) BBLR dengan bobot kurang dari 5,5 pound mempunyai resiko 2,3 kali
lebih besar untuk mengidap autism dibandingkan dengan bayi lahir
normal.
2) Bayi perempuan dengan BBLR mempunyai resiko tiga kali atau
bahkan lebih tinggi untuk mengembangkan autism, dibandingkan bayi
laki-laki BBLR.
3) Risiko dari BBLR dan lahir prematur tidak Cuma autism, tetapi dapat
pula autism yang disertai dengan gangguan perkembangan lainnya.
Bayi dengan bobot lahir kurang dari 2.500 g dan kelahiran prematur pada
kehamilan kurang dari 33 minggu berhubungan dengan resiko
peningkatan sekitar dua kali lipat untuk mengidap autism.
3. Simtom dan Diagnosis
Simtom-simtom utama dalam autism adalha ketidakmampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, berbagai masalah komunikasi, mencakup
kegagalan untuk mempelajari bahasa atau ketidakwajaran bicara seperti
ekolalia dan pembalikan kata ganti, serta mempertahankan kesamaan, yaitu
suatu keinginan obsesif untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari dan
lingkungan sekelilingnya selalu sama persis (Davidson, Neale & Kring, 2010).
Untuk dapat mengenal autism dengan baik diperlukan diagnosis yang luas,
karena individu dengan autism (1) ada yang mempunyai IQ yang tinggi dan
ada pula yang mengidap retardasi mental, (2) ada yang senang ngobrol (chatty)
dan ada juga yang pendiam sediam-diamnya, (3) ada yang berperilaku metodis
dan ada pula yang acak-acakan (disorganized). Karakter pokok dari autism
antara lain: (1) adanya gangguan pada domain interaksi sosial, (2) bermasalah
dengan komunikasi verbal dan nonverbal, dan (3) tampilnya suatu aktivitas
dengan interest yang tidak biasa, repetitif, atau sangat unik dan boleh jadi tidak
kita pahami sama sekali (Priyatna, 2010).
Munculnya perilaku-perilaku tersebut pada setiap individu dengan autism
bervariasi, mulai dari level rendah sampai ke level cacat (disable). Saat masih
berusia infant, anak dengan autism sudah mulai menampilkan perilaku tidak
responsif terhadap orang lain, atau dia hanya berfokus dengan intent pada satu
item tertentu dengan mengesampingkan kehadiran orang lain untuk jangka
waktu yang lama. Menginjak usia anak-anak, individu dengan autism boleh
jadi mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal seperti anak lain
seusianya. Namun secara perlahan terjadi penarikan-penarikan dan kemudian
dia pun menjadi tidak peduli terhadap keterlibatan sosial (Priyatna, 2010).
Anak-anak dengan autism dapat:
a. Gagal merespons saat dipanggil namanya sendiri dan seringkali
menghindari kontak mata dengan orang lain.
b. Mengalami kesulitan untuk menafsirkan apa yang sedang dipikirkan atau
dirasakan oran lain. Mereka tidak mampu memahami isyarat-isyarat sosial
yang berlaku, cenderung bersikap cuek saat ada yang mengajak bercakap
kepadanya, tidak memperhatikan raut muka lawan bicara untuk
menyesuaikan perilaku yang harus ditampilkan, serta kurangnya rasa
empati.
Anak dengan autism suka melakukan gerak repetitif seperti melompat-
lompat, berputar-putar, ataupun menampilkan perilaku menganiaya dirinya
sendiri seperti menggigit lengan sendiri atau membenturkan kepalanya. Mereka
terlambat menguasai kealian dalam berbicara dari anak-anak lain seusianya.
Anak dengan autism tidak tahu cara bermain secara interakif dengan anak lain.
Banyak anak dengan autism yang mengalami penurunan sensitivitas terhadap
nyeri, tetap bereaksi over-sensitive terhadap suara, sentuhan, atau rangsangan
sensori lain. Anak-anak dengan autism pun beresiko lenih tinggi untuk
mengalami beberapa kondisi penyerta (co-existing conditions) lainnya,
termasuk sindrom kerapuhan X (yang menyebabkan retardasi mental), tuberous
sclerosis, kejang epilepsi, sindrom Tourette, ketidakmampuan belajar, dan
gangguan defisit atensi (Priyatna, 2010).
Derajat keparahan dan simtom dari autism sangat bervariasi, terutama pada
pengidap autism ringan. Perilaku inti autism antara lain:
a. Ketidakmampuan untuk membangun hubungan pertemanan dengan
kawan-kawan sebayanya.
b. Sulit memulai suatu percakapan, dan setelah terjadi percakapan pun
kembali dia kesulitan untuk tetap nyambung
c. Tidak adanya atau kurangnya kemampuan untuk bermain imajinatif dan
sosial saat dia bermain dengan anak-anak lain seusianya
d. Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitif, dan tidak biasa.
e. Pola interest (minat) yang sangat ketat dan tidak boleh diganggu siapa
pun, dengan intensitas dan fokus yang abnormal
f. Preokupasi (keasyikan) pada objek tertentu atau subjek tertentu
g. Kepatuhan yang tidak fleksibel terhadap suatu rutinitas atau ritual
tertentu.
Gejala autism dapat timbul sejak lahir dan anak tidak pernah mengalami
perkembangan perilaku yang normal. Namun ada juga anak yang sejak lahir
tampak normal dan baru pada usia sekitar dua tahun terjadi hambatan
perkembangan pada perilakunya dan bahkan kemudian terjadi kemunduran
(regresi). Kesulitan dalam diagnosis dapat terjadi jika selain autism, anak juga
menderita gangguan lain seperti hiperaktivitas, epilepsi, retardasi mental,
sindroma Down, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena seringkali
perhatian tertuju pada gangguan penyerta, sehingga gangguan autismnya
sendiri luput terdiagnosis (Handojo, 2006).
Sementara itu, kriteria gangguan autistik dalam DSM-IV-TR (Davidson,
Neale & Kring, 2010), yaitu:
a. Terdapat enam atau lebih dari kriteria pada (1), (2), dan (3) di bawah
ini, dengan minimal dua kriteria dari (1) dan masing-masing satu dari
(2) dan (3):
(1) Hendaya dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua
dari kriteria berikut:
- Hendaya yang tampak jelas dalam penggunaan perilaku
nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, dan bahasa
tubuh
- Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak
sebaya sesuai dengan tahap perkembangan
- Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain
secara spontan
- Kurangnya ketimbalbalikan sosial atau emosional
(2) Hendaya dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal satu
dari kriteria berikut:
- Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa
upaya untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa
bicara (gerakan nonverbal)
- Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
- Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
- Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru.
(3) Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud
dalam minimal satu dari kriteria berikut ini:
- Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang
sangat khas dan berlebih-lebihan
- Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang
tak ada gunanya
- Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
- Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian dari suatu
benda.
b. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu dari
bidang berikut yang berawal sebelum usia tiga tahun, yaitu interaksi
sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan
imajinatif (cara bermain yang kurang variatif).
c. Bukan disebabkan oleh sindrom Rett atau gangguan disintegratif di
masa kanak-kanak.
4. Penanganan
Penanganan yang paling menjanjikan untuk autism adalah penanganan yang
berciri psikologis, melibatkan prosedur modeling dan pengondisian operant.
Meskipun prognosis anak-anak autism secara umum tetap buruk, penelitian
mutakhir menunjukkan bahwa penanganan behavioral intensif yang melibatkan
orang tua sebagai terapis anak dapat memungkinkan beberapa anak tersebut
berpartisipasi dengan baik dalam hubungan sosial yang normal. Berbagai
penanganan dengan obat-obatan telah diberikan, namun terbukti kurang efektif
dibanding intervensi behavioral (Davidson, Neale & Kring, 2010).
Autis masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya oleh
kedokteran. Para pakar belum sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun,
sebagian pakar setuju bahwa sindrom autis terjadi karena kelainan pada otak.
Hingga kini, bisa tidaknya autis di sembuhkan (total) juga masih menjadi
pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun orang tua
hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Penanganan yang diberikan juga
harus di sesuaikan dengan gejala yang di perlihatkan oleh anak tersebut. Anak
autis yang memiliki inteligensi rata-rata, mampu berkomunikasi dan tidak
memiliki perilaku yang melukai diri sendiri maupun orang lain. Hal tersebut
berbeda fokus penanganannya dengan anak autis yang memiliki mental
retardasi, tidak berbicara, serta memiliki perilaku yang melukai diri sendiri atau
orang lain. Saat ini ada berbagai terapi autis, baik yang diakui oleh dunia medis
maupun yang masih berdasarkan disiplin ilmu tradisional. Diharapkan dengan
mencoba terapi ini anak yang mengalami autis bisa berkembang lebih baik.
(Kosasih, 2012). Macam-macam terapi autis di antaranya sebagai berikut:
1. Metode ABA (Applied Behavioral Analysis)
Kelebihan metode ini dari metode lain adalah sifatnya yang sangat
terstruktur, kurikulumnya jelas dan keberhasilannya bisa dinilai secara
objectif. Dan penatalaksanaannya dilakukan selama 4-8 jam sehari. Dalam
metode ini, anak dilatih berbagai macam keterampilan yang berguna bagi
hidup bermasyarakat, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara dan
berbahasa. Di Indonesia metode ini lebih dikenal dengan metode Lovaas
(mama orang yang mengembangkannya) di Yayasan Autis Indonesia
(YAI).
2. Masuk kelompok khusus
Di kelompok ini mereka mendapatkan kurikulum yang khusus dirancang
secara individual. Mereka yang belum siap masuk ke dalam kelompok
bermain, bisa diikutsertakan kedalam kelompok khusus. Disini anak akan
mendapatkan penanganan terpadu yang melibatkan berbagai tenaga ahli
seperti psikeater, psikologi, terapis wicara, terapis okupasi, dan
ortopedagok. Sayangnya tidak semua penyandang autis bisa mengikuti
pendidikan formal meskipun tingkat kecerdasannya masih bisa masuk ke
sekolah luar biasa atau SLB dikarenakan jika perilaku si anak tidak bisa
diperbaiki seperti agresif, hiperaktif, dan tidak bisa berkonsentrasi.
3. Penggunaan alat bantu
Banyak anak autism belajar lebih baik dengan menggunakan
penglihatannya. Dengan memperlihatkan gambar anak dapat
berkonsentrasi. Alat bantu visual dapat kita buat dengan menggunakan
benda konkret, foto berwarna atau gambar. Alat bantu visual dapat
membantu anak mengerti tentang sesuatu yang akan terjadi yaitu dengan
menggunakan urutan gambar, misalnya gambar aktivitas makan.
4. Terapi-terapi lainnya, dibagi menjadi :
a. Terapi akupuntur: metode tusuk jarum ini diharapkan bisa
menstimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.
b. Terapi musik: musik diharapkan memberikan getaran gelombang yang
akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak.
c. Terapi perilaku: tujuannya agar anak dapat memfokuskan perhatian,
bersosialisai dengan lingkungannya unutk meningkatkan pemahaman
dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya
mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara instensif,
teratur, dan konsisten pada usia dini. Terapi perilaku terdiri dari terapi
wicara, terapi okupasi dan menghilangkan perilaku asosial.
d. Terapi anggota keluarga: orang tua yang memiliki anak autis harus
mendampingi dan memberi perhatian penuh pada anak hingga
terbentuk ikatan emosional yang kuat (Kosasih, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2010). Psikologi abnormal (ed.
9.). Terjemahan oleh Noermalasari Fajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Handojo, Y. (2006). Autisma. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
Kosasih, E. (2012). Cara bijak memahami anak berkebutuhan khusus.
Bandung: Yrama Widya
Priyatna, A. (2010). Amazing autism!. Jakarta: Kompas Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai