Anda di halaman 1dari 7

Health Believe Model

Pandangan Subjektif Individu Terhadap Kerentanan Pada Covid-19

HEALTH BELIEVE MODEL

Health belief model [1] dikemukakan pertama kali oleh Resenstock 1966, kemudian
disempurnakan oleh Becker, dkk 1970 dan 1980.Sejak tahun 1974, teori Health belief model
telah menjadi perhatian para peneliti. Model teori ini merupakan formulasi konseptual untuk
mengetahui persepsi individu apakah mereka menerima atau tidak tentang kesehatan mereka.
Variabel yang dinilai meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan, kepercayaan
mereka bahwa terdapat usaha agar menghindari penyakit tersebut.

Gambaran Health Belief Model terdiri dari 6 dimensi, diantaranya:


a. Perceived susceptibility atau kerentanan yang dirasakankonstruk tentan resiko atau
kerentanan (susceptibility) personal, Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang
menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis,
dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap
adanya resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan susceptibilily (kepekaan)
terhadap penyakit secara umum.
b. Perceived severity atau kesriuasan yang dirasa.Perasaan mengenai keseriusan terhadap
suatu penyakit, meliputikegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis
(sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi
(seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli
yang menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman yangdirasakan
(perceived threat).
c. Perceived benefitsm, manfaat yang dirasakan.Penerimaan susceptibility sesorang
terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat)
adalah mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah
perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari
berbagai upaya yang tersedia dalammengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-
keuntungan yangdirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan
tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan
(susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima
apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa
manjur dan cocok.
d. Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan untuk berubah, atau apabila individu
menghadapi rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Sebagai
tambahan untuk empat keyakinan (belief) atau persepsi. Aspek-aspek negatif yang
potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau
penghalang yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang
mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.
e. Health motivation dimana konstruk ini terkait dengan motivasi individu untuk selalu
hidup sehat. Terdiri atas kontrol terhadap kondisi kesehatannya serta health value
(Conner, 2005).
f. Cues to action suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang menjadi isyarat bagi
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku. (Becker dkk, 1997 dalam
Conner & Norman, 2003). Isyarat-isyarat yang berupa faktorfaktor eksternal maupun
internal, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat atau anjuran kawan atau
anggota keluarga lain, aspek sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan
tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama,
suku, keadaan ekonomi, sosial, dan budaya, self-efficacy yaitu keyakinan seseorang
bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau menampilkan suatu perilaku
tertentu

Ahli-ahli psikologi sosial [2] telah mengembangkan bermacam model untuk menjelaskan dan
memperkirakan perilaku-perilaku terkait kesehatan, terutama dalam menggunakan sarana
kesehatan.

Pada 1950-an, beberapa psikolog sosial di Amerika Serikat (AS) mulai mengembangkan
Health Belief Model (HBM) yang masih digunakan secara luas dalam riset perilaku kesehatan
hingga kini. HBM dapat dilihat sebagai perpaduan pendekatan filosofis, medis, dan psikologis
untuk menjelaskan kepatuhan atau ketidakpatuhan masyarakat dalam melakukan upaya
kesehatan. Model ini dikembangkan untuk mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan baik
jangka panjang maupun jangka pendek.

HBM terdiri atas enam komponen:

1. Persepsi kerentanan (perceived susceptibility), yaitu bagaimana seseorang memiliki


persepsi atau melihat kerentanan dirinya terhadap penyakit.
2. Persepsi keparahan (perceived severity), yaitu persepsi individu terhadap seberapa serius
atau parah suatu penyakit.
3. Persepsi manfaat (perceived benefit), yaitu persepsi individu akan keuntungan yang ia
dapat jika melakukan upaya kesehatan.
4. Persepsi hambatan (perceived barriers), yaitu persepsi individu akan adanya hambatan
dalam melakukan upaya kesehatan.
5. Petunjuk bertindak (cues to action), yaitu adanya kejadian atau dorongan untuk
melakukan upaya kesehatan yang berasal dari kesadaran diri atau dorongan orang lain;
misalnya iklan kesehatan atau nasihat dari orang lain.
6. Kemampuan diri (self-efficacy), yaitu persepsi individu tentang kemampuan yang
dimilikinya. Seseorang yang menginginkan perubahan dalam kesehatannya dan merasa
mampu, akan melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mengubah perilaku
kesehatannya; demikian pula sebaliknya.

HBM menjelaskan kenapa masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan pandemi
COVID-19. Di satu sisi, masyarakat kurang memiliki pemahaman seberapa rentan mereka
tertular COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat melakukan pencegahan, dan
kurangnya petunjuk untuk bertindak.

Di sisi lain masyarakat menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses pada fasilitas
kesehatan. Kelima faktor tersebut akhirnya menyebabkan terjadinya salah persepsi terkait
self-efficacy: mereka tidak yakin akan kemampuan dan tindakannya.
Jika masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap kerentanan diri, bahaya penyakit,
keuntungan dari upaya pencegahan yang dilakukan dan mendapat petunjuk bertindak serta
minimalnya hambatan, maka self-efficacy dapat dibangun.
Keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan seseorang untuk dapat menjalankan protokol
kesehatan dapat ditumbuhkan dengan cara melihat pencapaian kesehatan yang ia lakukan
pada masa lalu; melihat keberhasilan orang lain (jika orang lain bisa, maka saya pun bisa);
bersikap tegas dengan diri sendiri; dan menghilangkan sikap emosional dan menetapkan
tujuan.

Hasil studi di Iran Utara [3] menunjukkan bahwa gender perempuan, hambatan yang
dirasakan, kemanjuran diri yang dirasakan, kepercayaan yang fatalistik, minat yang dirasakan,
dan kehidupan, di dalam kota, memiliki perilaku pencegahan terbaik dari COVID-19.

Di ranah pendidikan [4], membangun perubahan perilaku kesehatan pada siswa tidak cukup
dengan mengaplikasikan Teori Health Belief Model, namun juga perlu dielaborasi dengan
perubahan perilaku siswa sebagaimana dijelaskan dalam Teori Sosial Kognitif. Menurut Teori
Sosial Kognitif, perubahan perilaku hanya dapat dilakukan melalui kegiatan mengamati dan
menduplikasi (Bandura, 1995). Paparan informasi yang bersifat sugestif dan persuasif
diyakini mampu membentuk perilaku seseorang dalam mengamati dan menduplikasi sesuatu.
Teori ini mengindikasikan bahwa hubungan antara manusia dan lingkungannya sangat
kompleks, sehingga perlu berfokus pada metode promosi dalam mengubah perilaku
kesehatan.

Dalam konteks promosi kesehatan melalui lingkungan sekolah, kebijakan kesehatan hanya
akan efektif jika pengambilan kebijakan mendorong warga sekolahnya berperilaku sehat. Hal
itu dapat diatur melalui kebijakan sekolah yang didasarkan pada tiga pilar, yaitu aktivitas
pembelajaran, pelayanan kesehatan yang diberikan, serta iklim sekolah dan lingkungan
organisasi yang mendukung. Integrasi pendidikan kesehatan di dalam kelas dapat diperkuat
dengan aktivitas belajar di luar kelas. Siswa dapat sering didorong untuk melakukan aktivitas
mempromosikan pentingnya kesehatan atau membuat bahan-bahan promosi kesehatan seperti
poster, leaflet, video, dan sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut didasarkan pada
pemahaman siswa akan pentingnya kesehatan bagi hidup mereka.

Di Indonesia. Beberapa faktor yang membuat orang enggan menggunakan masker antara lain,
perilaku sosial, persepsi terhadap ancaman penyakit, persepsi terhadap variabel demografi
memiliki peran, berfokus pada kenyamanan kesehatan, budaya reaktif, ketidaktegasan
penerapan protokoler pencegahan, dan keyakinan akan nasib. [5]

Dalam penelitian yang dilakukan di Singapura. Intervensi kompleks yang menggunakan


pendekatan multipel yang menargetkan lima komponen Model Kepercayaan Kesehatan,
terutama kerentanan yang dirasakan, diperlukan untuk meningkatkan penggunaan sungkup
wajah di masyarakat. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas intervensi
yang diterapkan. [6]

Dalam penelitian di Kerala [7] Kebanyakan orang yang tinggal di seluruh Kerala mendekati
pandemi COVID-19 dengan cara yang sama, tanpa memandang usia, pendidikan, atau
kaitannya dengan bidang perawatan kesehatan. Persepsi masyarakat yang dijelaskan oleh
Health Belief Model sangat dipengaruhi oleh pendekatan pelayanan kesehatan primer oleh
pemerintah dan untuk perubahan perilaku selanjutnya.

Dalam penelitian di Sao Paolo Brazil [8] Kuesioner berbasis model keyakinan kesehatan
dengan menggunakan ukuran kuantitatif memungkinkan konfirmasi keyakinan populer
tentang risiko infeksi covid-19. Keuntungan dalam pendekatan ini terletak pada kemungkinan
mengidentifikasi individu secara cepat, langsung dan kuantitatif profil kepercayaan untuk
setiap dimensi dalam kuesioner, berfungsi sebagai sekutu komunikasi yang hebat proses dan
pendidikan kesehatan masyarakat.
Dalam penelitian di Arab Saudi terhadap warga Sudan [9]. Temuan menunjukkan bahwa
konstruksi HBM berkorelasi satu sama lain serta faktor sosio-demografis lainnya. Efikasi diri
berkorelasi negatif dengan kerentanan sementara secara positif dengan manfaat keparahan
dan hambatan untuk kebersihan tangan, manfaat dan hambatan jarak sosial. Kesimpulan
Temuan menunjukkan bahwa konstruksi HBM berkorelasi satu sama lain serta faktor sosio-
demografis lainnya. Efikasi diri harus diperhitungkan sebagai faktor perubahan yang kuat
terhadap persepsi kerentanan dan keparahan. Korelasi yang ditemukan dalam studi ini
mungkin membantu mendorong upaya perubahan perilaku.

Dalam penelitian Iran [10] Penelitian ini dilakukan untuk memprediksi perilaku preventif
petugas kesehatan (Petugas kesehatan) terhadap COVID-19 berdasarkan Teori Motivasi
Perlindungan (PMT). Perilaku pencegahan terhadap COVID-19 di antara petugas kesehatan
dinilai pada tingkat yang relatif diinginkan. Berdasarkan PMT, ancaman dan penanganan
Penilaian merupakan prediktor motivasi proteksi untuk melakukan pencegahan COVID-19.
Pertimbangan efikasi diri personel dan pengetahuan mereka tentang efektifitas perilaku
protektif dalam merancang program pelatihan staf direkomendasikan.

Penelitian di Singapura [11] Pengklasifikasi teks berbasis pembelajaran mendalam yang


dikembangkan dalam penelitian tersebut membantu untuk menentukan persepsi publik
terhadap jarak fisik, menggunakan empat konstruksi utama HBM. Model klasifikasi dapat
digunakan oleh petugas kesehatan untuk mengkarakterisasi perilaku kesehatan masyarakat
melalui lensa media sosial. Dalam studi masa depan, bermaksud untuk memperluas model
untuk mempelajari persepsi publik tentang intervensi penting lainnya oleh otoritas kesehatan
masyarakat.

Dalam sebuah makalah disebutkan [12] menyarankan penerapan HBM untuk COVID-19
dalam mengurangi perilaku yang memprovokasi kecemasan dan ketakutan dan mengubah
keyakinan individu yang diinformasikan oleh kesan prasangka dari ancaman yang dirasakan
dan isyarat langsung dari manfaat yang dirasakan dari hambatan yang dirasakan untuk
tindakan menginformasikan perilaku (melalui self-efficacy yang dirasakan) .

Kerentanan yang dirasakan, keparahan yang dirasakan, dan ancaman yang dirasakan
mengubah perilaku sedemikian rupa sehingga seseorang lebih mungkin untuk mengambil
hasil yang sehat secara serius jika ancaman yang dirasakan lebih besar. Karena ancaman yang
dirasakan akan lebih besar jika tingkat keparahan yang dirasakan lebih besar, karena ancaman
yang dirasakan lebih besar jika kerentanan yang dirasakan lebih besar - sehingga individu
mengalami hasil yang merugikan. Manfaat yang dirasakan terkait perilaku selama COVID-19
terkait dengan persepsi publik tentang manfaat seperti kepatuhan yang sehat terhadap
karantina dengan menghabiskan waktu bersama anggota keluarga, atau menghabiskan waktu
berkualitas sendirian untuk menumbuhkan hobi atau kebiasaan yang diinginkan. Menjelajahi
cara untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan yang dirasakan membantu hambatan
individu, pribadi, budaya, keuangan dan kejuruan. Efikasi diri yang dirasakan adalah tentang
perilaku pencegahan dengan memperkuat langkah-langkah positif dan keyakinan bahwa
seseorang memiliki kemampuan untuk mengatasi situasi tertentu. Mitigasi penyakit dan
perilaku mitigasi COVID-19 yang efektif memerlukan upaya signifikan untuk memperkuat
keyakinan tentang penyakit yang mencakup tingkat keparahan dan kerentanan ancaman,
menghilangkan hambatan untuk bertindak, dan memperkuat keyakinan efikasi diri. Temuan
empiris adalah fitur yang menonjol pada keadaan wabah COVID-19 ini - menangani
masyarakat umum tentang risiko kesehatan dan ancaman yang dirasakan; mengulangi
masalah kesehatan mental mempengaruhi fiksasi pada pandangan tidak empiris; dan
mendorong modifikasi gaya hidup dan memotivasi perubahan perilaku membantu penilaian
stres dan strategi mengatasi.

Studi di Korea Selatan [13] menyoroti pariwisata 'tanpa tindakan' sebagai perilaku
perlindungan kesehatan yang berasal dari persepsi individu tentang risiko COVID-19.
Berdasarkan kerangka Health Belief Model dan Extended Theory of Planned Behavior,
penelitian ini mengkaji pengaruh persepsi risiko COVID-19 terhadap behavioral intention
terhadap untact tourism. Survei online diberikan kepada warga Korea Selatan pada bulan
Maret dan April 2020. Sebanyak 877 kuesioner digunakan untuk analisis data. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persepsi risiko afektif merupakan anteseden yang signifikan
dari sikap, sedangkan persepsi risiko kognitif ditemukan berpengaruh positif terhadap norma
subjektif. Terlepas dari pengaruh signifikan dari persepsi risiko kognitif dan afektif pada niat
perilaku, persepsi risiko afektif memberikan pengaruh negatif pada niat perilaku, yang
bertentangan dengan hipotesis asli. Sikap ditemukan menjadi mediator yang signifikan antara
persepsi risiko afektif dan niat perilaku sedangkan norma subjektif memediasi hubungan
antara persepsi kognitif dan niat perilaku. Jenis kelamin dan status perkawinan sebagian
memoderasi hubungan yang dihipotesiskan di antara konstruksi. Studi ini memberikan
implikasi tepat waktu dan berwawasan bagi praktisi pariwisata yang diharapkan
mempersiapkan bidang pasca-korona untuk normal baru setelah pengalaman hidup terbatas
selama pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Komunitas Apoteker [14] cenderung memiliki peran langsung dalam memerangi kesalahan
informasi dan membantu pasien memilih perilaku sehat. Untuk itu, konstruksi HBM tentang
ancaman yang dirasakan, hambatan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan, kemanjuran diri
yang dirasakan, dan isyarat untuk bertindak dapat segera digunakan untuk membantu
memperkuat perilaku yang membatasi COVID-19, seperti jarak sosial dan tetap di rumah jika
memungkinkan.

Untuk mengurangi risiko penyebaran virus COVID-19, aplikasi telah dikembangkan yang
melacak kontak dengan individu yang terinfeksi COVID-19 dan memperingatkan individu
yang berisiko tertular virus. Namun, keefektifan aplikasi ini sangat bergantung pada
serapannya oleh populasi. Penelitian ini menyelidiki faktor-faktor yang memengaruhi niat
penggunaan aplikasi, berdasarkan model keyakinan kesehatan. Selain itu, asosiasi dengan
konsumsi berita responden dan kondisi kesehatan mereka diselidiki. Sebuah survei dilakukan
di Belgia (Flanders) kepada 1.500 responden berusia 18 hingga 64 tahun. Pemodelan
persamaan struktural digunakan untuk menyelidiki hubungan antara konstruksi model. Secara
total, 48,70% responden berniat menggunakan aplikasi pelacakan COVID-19. Prediktor
paling penting adalah manfaat yang dirasakan dari aplikasi, diikuti oleh kemanjuran diri dan
hambatan yang dirasakan. Keparahan yang dirasakan dan kerentanan yang dirasakan tidak
terkait dengan niat penggunaan aplikasi. Selain itu, isyarat untuk bertindak, keterpaparan
individu terhadap konten media (digital), dikaitkan secara positif dengan niat penggunaan
aplikasi. Seiring bertambahnya usia responden, persepsi manfaat dan efikasi diri mereka
untuk menggunakan aplikasi menurun. Inisiatif untuk merangsang penggunaan aplikasi
COVID-19 harus meningkatkan persepsi manfaat dan efikasi diri. Hambatan yang dirasakan
oleh beberapa calon pengguna adalah kekhawatiran mereka tentang privasi. Oleh karena itu,
saat mengembangkan dan meluncurkan aplikasi, bagaimana privasi individu dilindungi harus
dijelaskan lebih lanjut. Untuk mempertahankan manfaat yang dirasakan dalam jangka
panjang, opsi tambahan dapat diintegrasikan untuk menginformasikan dan membantu
pengguna. [15]

Kesimpulan
Dari berbagai uraian diatas, maka disimpulkan sebagai berikut :
1. Pendangan Subjektif tehadap Covid-19 terbagi dalam dua kelompok umum. Yaitu
kelompok masyarakat dan tenaga kesehatan (dengan berbagai profesi didalamnya)
2. Dalam HBM model, jika masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap kerentanan
diri, bahaya penyakit, keuntungan dari upaya pencegahan yang dilakukan dan mendapat
petunjuk bertindak serta minimalnya hambatan, maka self-efficacy dapat dibangun.
3. Sedangkan untuk tenaga kesehatan, prediktor motivasi proteksi untuk melakukan
pencegahan COVID-19. Pertimbangan efikasi diri personel dan pengetahuan mereka
tentang efektifitas perilaku protektif.
Daftar Pustaka

1. Charles Abraham and Paschal Sheeran. 2015. The Health Belief Model.
https://www.researchgate.net/publication/290193215
2. Anastasia Heni. 2020. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Patuh Pada Protokol Covid-
19. Akademi Ilmuan Muda Indonesia.com https://almi.or.id/2020/06/05/analisis-
penyebab-masyarakat-tidak-patuh-pada-protokol-covid-19/ (diakses 22 Agustus 2020)
3. Hossein Shahnazi, 2020. Assessing PreventiveHealthBehaviorsfromCOVID-
19BasedontheHealthBelief Model (HBM) among People in Golestan Province:
A Cross-Sectional Studying Northern Iran. Faculty of Health, Golestan University of
Medical Sciences, Gorgan, Iran.
4. Diyan Nur Rakhmah, 2020. Sekolah Promosi Kesehatan dan Upaya Resiliensi
Pendidikan di Tengah Pandemi. www.kependudukan.lipi.go.id.
http://kependudukan.lipi.go.id/id/berita/53-mencatatcovid19/1018-sekolah-promosi-
kesehatan-dan-upaya-resiliensi-pendidikan-di-tengah-pandemi
5. Hayuning Purnama Dewi, 2020. Berkaca Dari Indira Khalista, Mengapa Masih Banyak
Masyarakat Yang Ogah Pakai Masker? www.ubaya.ac.id
https://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2903/Berkaca-dari-Indira-Khalista--
Mengapa-Masih-Banyak-Masyarakat-yang-Ogah-Pakai-Masker-.html
6. Shin Wei Sim dkk, 2020. The use of facemasks to prevent respiratory infection: a
literature review in the context of the Health Belief Model. US National Library of
Medicine National Institutes of Health, Singapore.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4293989/
7. Regi Jose dkk, 2020. Public perception and preparedness for the pandemic COVID 19: A
Health Belief Model approach. Clinical Epidemiology and Global Health.
https://cegh.net/article/S2213-3984(20)30166-4/fulltext
8. Costa MF, 2020. Health belief model for coronavirus infection risk determinants.
Departamento de Psicologia Experimental. Instituto de Psicologia. Universidade de São
Paulo. São Paulo, SP, Brasil.
9. Elwalid Fadul Nasir, 2020. Study of the Sudanese perceptions of COVID-19: Applying
the Health Belief Model. Preventive Dentistry Department College of Dentistry, King
Faisal University, Arab Saudi.
10. S. Bashirian dkk, 2020. Factors associated with preventive behaviours of COVID-19
among hospital staff in Iran in 2020: an application of the Protection Motivation Theory.
Social Determinants of Health Research Center, Hamadan University of Medical
Sciences, Hamadan, IR Iran
11. Saw Swee Hock, 2020. Use of Health Belief Model–Based Deep Learning Classifiers for
COVID-19 Social Media Content to Examine Public Perceptions of Physical Distancing:
Model Development and Case Study. School of Public Health, National University of
Singapore. Singapore.
12. Sonia Mukhtar, 2020. Mental health and emotional impact of COVID-19: Applying
Health Belief Model for medical staff to general public of Pakistan. US National
Library of Medicine National Institutes of Health.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7151322/
13. So Young Bae dkk, 2020. The effect of coronavirus disease-19 (COVID-19) risk
perception on behavioural intention towards ‘untact’ tourism in South Korea during
the first wave of the pandemic (March 2020). College of Hotel and Tourism
Management, Kyung Hee University, South Korea.
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13683500.2020.1798895
14. Ronald “Ron”CaricoJr dkk, 2020. Community pharmacists and communication in the
time of COVID-19: Applying the health belief model. Research in Social and
Administrative Pharmacy.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S155174112030293X
15. https://clinowl.com. Tracing the COVID-19 Virus: A Health Belief Model Approach to
the Adoption of a Contact Tracing App. https://clinowl.com/tracing-the-covid-19-virus-a-
health-belief-model-approach-to-the-adoption-of-a-contact-tracing-app/

Anda mungkin juga menyukai