Disusun Oleh :
KEDIRI
2020/2021
6.1 PENDAHULUAN
Health Belief Model atau HBM merupakan sebuah teori psikologi yang
berupaya menjelaskan dan memprediksi perilaku sehat dengan berfokus pada
sikap dan keyakinan individu. Konsep dasar dari teori HBM adalah bahwa
perilaku menjaga kesehatan ditentukan oleh persepsi personal individu untuk
memahami suatu penyakit dan strategi-strategi yang tersedia untuk
menghentikan kemunculan penyakit tersebut. HBM juga merupakan integrasi dari
tiga teori tentang pembentukan perilaku yaitu stimulus-response theory, cognitive
theory, dan value expectation theory (Janz, Champion, & Strecher, 2002 dalam
Purwodiharjo O.M & Suryani A.O, 2020).
Health Belief Model pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an oleh
sekelompok psikolog sosial yaitu Godfrey Hochbaum, Irwin Posensrock, dan
Stephen Kagels yang bekerya pada layanan kesehatan masyarakat US Public
Health Service untuk menjelaskan kegagalan seseorang berpartisipasi dalam
program pencegahan atau pendeteksian penyakit. Kemudian model tersebut
dikembangkan agar dapat diterapkan pada seseorang terhadap gejala dan
perilakunya dalam respons pada diagnosis penyakit, khususnya kepatuhan pada
regimen medis. Meskipun model tersebut lambat laun berkembang dalam
respons terhadap masalah program praktis, diberikan dasar teori psikologi
sebagai bantuan untuk memahami sebab serta kekuatan dan kelemahannya
(Pakpahan M., Siregar D., dkk., 2021).
Teori Health Belief Model telah berhasil diterapkan pada berbagai bidang
kesehatan untuk memprediksi perilaku yang tidak menunjukkan gejala-gejala
sakit, seperti misalnya melakukan vaksinasi, penyakit serius seperti kanker,
maupun penyakit kronis yang bersifat menahun (Janz & Becker, 1984 dalam
Purwodihardjo O. T. & Suryani A.O., 2020). Teori Health Belief Model juga
diterapkan pada lembaga kesehatan seperti rumah sakit untuk membantu rumah
sakit dalam memahami kebutuhan kesehatan masyarakat selaras pula kaitannya
dengan perwujudan kestabilan ekonomi sosial rumah sakit.
6.4 HUBUNGAN HEALTH BELIEF MODEL DENGAN RUMAH SAKIT
a Persepsi Kerentanan
Menurut Rosenstock pada tahun 1980, persepsi kerentanan
merupakan persepsi subjektif individu terhadap resiko tertular penyakit.
Persepsi kerentanan memungkinkan individu melakukan tindakan
pencegahan maupun pengobatan, karena individu tersebut merasa
rentan terhadap suatu penyakit. (Wakhida, 2016). Kepercayaan individu
tentang rentan atau tidaknya mereka tertular suatu penyakit dan persepsi
mereka tentang manfaat dari pencegahan penyakit dapat dipengaruhi
oleh kesiapan mereka untuk bertindak. Rosenstock pada tahun 1982
menyatakan bahwa individu memiliki persepsi kerentanan (perceived
susceptibility) tentang kemungkinan terkena suatu penyakit yang akan
mempengaruhi perilaku mereka khususnya untuk melakukan pencegahan
atau mencari pengobatan, Mereka yang merasa dapat terkena penyakit
akan lebih cepat merasa terancam dan akan bertindak untuk mencegah
penyakit bila dirinya merasa bahwa sangat mungkin terkena penyakit
tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa persepsi kerentanan menunjukkan
sejauh mana individu menganggap bahwa dirinya rentan untuk
mengalami sakit atau terjangkit suatu penyakit. Contoh studi kasusnya
yakni pada saat pandemi Covid-19 pada saat ini, yaitu apakah seseorang
akan berkeinginan melakukan vaksinasi sebagai langkah pencegahan
Covid-19 atau tidak.
b Persepsi Keparahan
Persepsi keparahan menunjukkan persepsi individu mengenai
sejauh mana rasa sakit yang akan dideritanya jika individu tersebut
terjangkit suatu penyakit atau jika ia melakukan tindakan yang
mengancam atau membahayakan kesehatannya. Tingkat keparahan
yang dipersepsikannya mulai dari sejauh mana penyakit yang akan
dialaminya membawa ketidaknyamanan yang dirasakan pada organ
tertentu membuatnya menjadi cacat atau beresiko menyebabkan
kematian begitu pula dengan tindakan eresiko yang mengancam
kesehatan, sejauh mana individu mempersepsi tindakan terkait
kesehatannya itu akan membuatnya menjadi sakit.
Hasil penelitian yang relevan dengan teori Health Belief Model
keparahan atau keseriusan yang dirasakan menentukan ada tidaknya
pencegahan terhadap penyakit. Persepsi keparahan sering didasarkan
pada informasi medis, pengetahuan atau keyakinan seseorang bahwa dia
akan mendapat kesulitan akibat penyakit yag akan mempersuit hidupnya
Hyden (2009). Keparahan yang dirasakan menentukan ada tidaknya
tindakan pencegahan yang dilakukan terhadap penyakit. Contoh studi
kasusnya yaitu ibu hamil yang memiliki persepsi keparahan tinggi tentang
penyakit HIV AIDS akan meningkatkan keinginan untuk menggunakan
VCT.
c Persepsi Ancaman
Menurut Rosenstock (1982), mereka yang merasa dapat terkena
penyakit akan lebih cepat merasa terancam. Pandangan individu tentang
beratnya penyakit tersebut dapat berupa pandangan mengenai resiko
atau kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari suatu penyakit
tersebut. Semakin berat resiko suatu penyakit akan menyebabkan
semakin besar ancaman yang dirasakan. Ancaman ini mendorong
individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan
penyakit. Contoh studi kasusnya yaitu hasil penelitian dari Sutrisni pada
tahun 2016 yang mengungkapkan bahwa ada pengaruh antara persepsi
ancaman dengan kesediaan tes HIV. Ibu hamil yang memiliki persepsi
bahwa penyakit HIV AIDS sangat berbahaya, akan melakukan tindakan
pencegahan lebih dini.
d Persepsi Manfaat
Menurut teori Healty Belief Model, Rosenstock (1982), individu
yang percayai manfaat dari suatu perilaku bagi dirinya dan lingkungan
akan memicu individu untuk menetapkan melakukan perilaku tersebut
atau tidak.Persepsi manfaat ( perceived benefits) merupakan penilaian
individu mengenai keuntungan yang didapat dengan melakukan perilaku
kesehatan yang disarankan, semakin baik persepsi manfaat seseorang
terhadap perilaku pencegahan penyakit semakin besar kemungkinan dia
kan melakukan kegiatan tersebut.
Dapat disimpulkan persepsi manfaat menunjukkan sejauh mana
individu mempersepsi manfaat dari metode atau cara cara pencegahan
yang disarankan atau direkomendasikan untuk mencegah atau
memperkecil keseriusan dari suatu penyakit yang akan diderita akibat
perilaku yang kurang sehat. Contoh studi kasusnya yaitu pada kasus
seseorang yang menganggap bahwa olah raga pagi secara rutin akan
memberikan efek untuk menjaga kesehatan atau daya tahan tubuh maka
individu tersebut akan mau melakukan tindakan tersebut.
e Persepsi Hambatan
Dalam melakukan tindakan pencegahan suatu penyakit maupun
mencari pengobatan dipengaruhi oleh perceived barier yaitu hmbatan
yang timbul dalam melakukan suatu tindakan. Hambatan umum yang
dialami seseorang dalam menentukan tindakan kesehatan atau
memanfaatkan pelayanan kesehatan didominasi oleh kendala yang
bersifat pribadi. Hambatan yang dirasakan merupakan unsur penentu
terjadinya perubahan perilaku atau tidak.
Persepsi hambatan menunjukkan sejauh mana individu melihat
potensi munculnya dampak negatif dari perilaku kesehatan yang
disarankan atau direkomendasikan sehingga perilaku kesehatan tersebut
cenderung tidak dilaksanakan, beberapa contoh persepsi hambatan yaitu
perilaku yang disarankan berbiaya tinggi, menyita banyak waktu,
prosedurnya rumit dan lain sebagainya. Contoh studi kasusnys ysitu
dalam penelitian Rosi beserta teman (2017) yang mengatakan masih
banyak wanita yang tidak menggunakan vaksin HPV karena terdapat
beberapa hambatan yaitu kurangnya informasi mengenai vaksin HPV,
mahalnya harga vaksin, masih jarang fasilitas kesehatan yang
menyediakan vaksin HPV, ketakutan wanita dalam menguunakan vaksin
HPV,
a Faktor demografis
Faktor demografis merupakan faktor menyangkut populasi
penduduk berdasarkan berbagai klasifikasi seperti usia, gender, dan
pendidikan.
Faktor –faktor demografis meliputi beberapa hal seperti berikut :
Usia
Usia merupakan salah satu penentu kedewasaan berpikir
dari seseorang. Semakin banyak umur seseorang maka
seseorang tersebut berkemungkinan memiliki pemikiran yang
lebih kritis dan juga rasional terhadap sesuatu, khususnya
terhadap pelayanan kesehatan yang ia butuhkan. Pada usia
anak-anak, umumnya mereka belum memikirkan bagaimana ai
menejaga kesehatannya. Berbeda dengan mereka yang sudah
berusia dewasa, yang pastinya ia akan lebih memahami keadan
kesehatannya dan juga kebutuhannya akan pelayanan
kesehatan.
Gender
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan antara perempuan
dan laki-laki cukup berbeda. Menurut survei di Amerika Serikat,
perempuan memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita
suatu penyakit dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga,
perempuan memiliki kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi pula dari pada laki-laki.
Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya memicu masyarakat memiliki
pandangan yang berbeda-beda akan kebutuhan pelayanan
kesehatan. Masyarakat yang hidup di lingkungan yang masih
mempercayai kebudayaan mistis akan memungkinkan
masyarakat tersebut memiliki kebutuhan yang rendah akan
pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan karena lebih
memilih untuk datang ke dukun atau paranolmal ketika
mengalami gangguan kesehatan.
b Faktor Sosiopsikologis
Faktor –faktor Sosiopsikologis meliputi beberapa hal seperti berikut :
Kepribadian
Kepribadian seseorang dapat mempengaruhi tindakannya
dalam upaya mempertahankan kesehatan. Orang-orang yang
memiliki kepribadian tertutup akan berkemungkinan lebih rendah
mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan daripada
mereka yang mampu terbuka dan mau untuk menerima edukasi
mengenai kesehatan.
Kelas Sosial
Kelas sosial pada masyarakat dibagi menjadi tiga, yaitu
upper class (kelas atas), middle class (kelas menengah), dan
lower class (kelas bawah). Setiap kelas memiliki kecenderungan
tersendiri terhadap kebutuhan untuk tetap sehat. Kelas atas sosial
memungkinkan manusianya lebih mengerti bagaimana cara
mereka untuk tetap sehat, sebab memiliki cukup uang untuk
mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan. Kelas atas juga
memungkinkan manusianya untuk memilih dan memilah
pelayanan kesehatan terbaik baginya.
Kelas menengah sosial memungkinkan manusianya untuk
mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan secara cukup.
Mereka yang berada pada kelas menengah sosial biasanya akan
memandang kesehatan sebagai hal yang penting namun
pelayanan yang mereka pilih mencakup pelayanan umum yang
disediakan oleh layanan kesehatan. Sedangkan, kelas bawah
sosial berkemungkinan membuat manusianya tidak mendapatkan
informasi dengan baik mengenai kesehatan dan juga pelayanan
kesehatan. Mereka cenderung membutuhkan pelayanan
kesehatan hanya ketika ancaman yang di derita sudah dirasa
parah dan benar-benar membutuhkan penanganan.
Tekanan Sosial
Tekanan sosial pada masyarakat dapat memicu
munculnya persepsi yang sama dengan tekanan yang ada pada
sosial tersebut. Misalnya, seseorang yang memiliki persepsi baik
terhadap pelayanan kesehatan dapat berubah tidak mempercayai
pelayanan kesehatan karena mendapatkan pengaruh berupa
tekanan berasal dari lingkungan yang menganggap remeh
pelayanan kesehatan.
c Faktor Srtuktural
Edukasi
Tingkat edukasi masyarakat dapat menentukan
kecenderungan masyarakat terhadap kebutuhan pelayanan
kesehatan. Masyarakat dengan tingkat edukasi atau pendidikan
yang rendah memiliki lebih sedikit pemahaman mengenai
pentingnya menjaga diri agar tetap sehat. Mereka juga cenderung
tidak menjadikan pelayanan kesehatan sebagai sarana untuk
sembuh dari sakit karena merasa bahwa kesembuhan didapatkan
dari pengobatan-pengobatan alternatif yang ada pada
masyarakat.
Pengalaman tentang Suatu Masalah
Manusia yang memiliki pengalaman terhadap sesuatu
akan berkemungkinan memiliki pemahaman yang lebih baik
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki pengalaman.
Misalnya, ketika seseorang memiliki ayah dengan penyakit
diabetes dan menjadi saksi keganasan penyakit tersebut yang
menimpa ayahnya, ia suatu saat akan lebih menjaga dirinya agar
tidak menderita penyakit yang sama dengan ayahnya. Di dalam
upayanya, seseorang tersebut akan berkemungkinan
memanfaatkan jenis-jenis pelayanan pencegahan untuk
mengantisipasi agar terhindar dari penyakit tersebut.
Purwodihardjo, O. M., & Suryani , A. O. 2020. Jurnal Perkotaan. Aplikasi health belief
model dalam penanganan pandemi covid-19 di provinsi dki jakarta, Vol. 12 No. 1
(21-38). Diakses dari 1262-Article Text-6586-2-10-20210219.pdf
Agustina, S.A. 2019. HEARTY Jurnal Kesehatan Masyarakat. Hubungan komponen health
belief model dengan upaya pencegahan infeksi menular seksual pada ibu rumah
tangga melalui penggunaan kondom, Vol. 7 No. 2 (47-88). Diakses dari 2874-
6750-1-SM (1).pdf
Pakpahan, M., Siregar, D., dkk. 2021. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Yayasan Kita Menulis : Februari 2021. Diakses dari http://lib.stikes-mw.id/wp-
content/uploads/2021/03/FullBook-Promosi-Kesehatan-dan-Perilaku-
Kesehatan.pdf
Purwodihardjo, Otty Mulijaty, dan Suryani Angela Oktavia. 2020. Jurnal Perkotaan.
Aplikasi health belief model dalam penanganan pandemi covid-19 di provinsi dki
jakarta. Vol. 12 No. 1 Hal. 21–38.
Nugrahani,Rosi Rizqy dkk. 2017. Journal of Epidemiology and Public Health. Health Belief
Model on the Factors Associated with the Use of HPV Vaccine for the Prevention of
Cervical Cancer among Women in Kediri, East Java., 2(1): 70-81