Anda di halaman 1dari 11

Paper Teori Perubahan Perilaku Health Belief Model (HBM)

PENERAPAN TEORI PERUBAHAN PERILAKU HEALTH BELIEF


MODEL (HBM) DALAM JURNAL PENELITIANKEIKUTSERTAAN
PELANGGAN WANITA PEKERJA SEKS DALAM VOLUNTARY
CONSELING AND TESTING (VCT)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Promosi Kesehatan

Dosen Pengampu : Ibu Tanjung Anita

Disusun Oleh:
Arfiyanti Diah Witjaksani
J410140094

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahuwataala. Salawat dan
salam kita kirimkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Sallallahu-
alaihiwasallam, karena atas hidayah-Nyalah paper ini dapat diselesaikan.

Paper yang berjudul “PENERAPAN TEORI PERUBAHAN PERILAKU HEALTH BELIEF


MODEL (HBM) DALAM JURNAL PENELITIANKEIKUTSERTAAN PELANGGAN
WANITA PEKERJA SEKS DALAMVOLUNTARY CONSELING AND TESTING (VCT)” ini
penulis sampaikan kepada pembina mata kuliah Promosi Kesehatan sebagai salah
satu tugas dari mata kuliah tersebut.

Penulis memohon kepada dosen pengampu khususnya, umumnya para


pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ini, baik
dari segi bahasanya maupun isi, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya karya-karya tulis
yang akan datang.

Surakarta, 06 Oktober 2015


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Dewasa ini tak kurang penyakit yang menyerang manusia. Banyak penyakit
disekitar kita ini sebenarnya bisa kita cegah dengan perilaku sehat. Dengan kata
lain kunci untuk mencapai kesehatan yang lebih baik adalah dengan
mengembangkan strategi untuk mengabungkan pilihan sehat dalam keseharian
kita.
Di Indonesia infeksi Human Immunodefisiency Virus(HIV) / Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS) menunjukkan besaran masalah yang cenderung
meningkat. Peningkatan tersebut juga terjadi di Propinsi Jawa Te-ngah, dimana data
KPA Jawa Tengah menunjukkan sampai dengan Desember 2009 dilaporkan
sebanyak 2.488 kasus HIV dan AIDS dengan rincian 1.518 infeksi HIV dan 970 kasus
AIDS dan sebanyak 319 orang diantaranya sudah meninggal dunia.

Memperhatikan risiko tingginya penularan tersebut, diperlukan penanganan


tidak hanya dari segi medis, tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan
pendekatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder dan tertier.
Salah satu upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang
sudah terinfeksi HIV atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS sukarela.

Mengingat kelompok wanita pekerja seks (WPS) dan pelanggannya merupakan


salah satu kelompok yang menjadi pintu masuknya penularan HIV/AIDS dari
kelompok berisiko ke masyarakat, maka seharusnya terdapat kesadaran pada WPS
maupun pelanggannya untuk melakukan Voluntary Conseling and Testing (Center
for Health and Gender Equity. 2003). Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti
jurnal yang terkait pada paper ini pada bulan November 2011 di Resosialisasi
Argorejo Semarang menunjukkan kesadaran WPS dalam melakukan VCT sudah baik,
yaitu mencapai 96% WPS telah bersedia berpartisipasi. Permasalahan yang
ditemukan adalah sangat kurangnya kesediaan pelanggan untuk melakukan VCT, yai-
tu hanya 4,5 % saja yang bersedia.

Berdasarkan rendahnya partisipasi pelanggan WPS dalam melakukan VCT,


maka ingin dilakukan upaya pengkajian faktor penyebabnya melalui teori Health
Belief Model yang dimana dalam esai ini akan menjadi salah satu alternatif teori
dalam membentuk perilaku sehat.

HBM atau Health Belief Model dikembangkan pertama kali tahun 1950-an


oleh seorang psikologis sosial di layanan kesehatan Publik AS yaitu dimulai
dengan adanya kegagalan pada program pencegahan dan pencegahan penyakit
(Hocbaum 1958; Rosenstok 1966).Mereka mengembangkannya dengan
mengemukaan kerentanan yang dirasakan untuk penyakit TBC. Stephen Kegels
(1963) menunjukkan hal yang serupa mengenai kerentanan yang dirasakan untuk
masalah gigi yang parah dan perhatian untuk mengunjungi dokter gigi menjadi
tindakan preventif sebagai salah satu solusi masalah gigi. Selanjutnya, HBM
dipelajari sebagai perilaku terhadap gejala gejala sakit yang terdiagnosis
terutama tentang kepatuhan terhadap proses pencarian penyembuhan.
Sebelumnya, Witson (1925) mengembangkan teori yang dinamakan
sebagai Teori S-R atau stimulus rangsangan yang menyatakan bahwa  semua
yang terjadi (perilaku) diakibatkan karena adanya penguatan (reinforcement),
kemudian Skiner (1938) menguatkan bahwa setiap perilaku yang mendapatkan
ganjaran memungkinkan seseorang akan meningkatkan atau mengulangi perilaku
tersebut.
Health Belief Model (HBM) adalah model psikologis yang mencoba untuk
menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan. Hal ini dilakukan dengan
berfokus pada sikap dan keyakinan individu. HBM memiliki fungsi model
pencegahan atau preventif.
HBM memiliki enam komponen utama dalam penerapannya, antara lain:
1.      Perceived Susceptibility
Perceived Susceptibility adalah kepercayaan seseorang dengan menganggap
menderita penyakit adalah hasil melakukan perilaku terentu. Perceived
susceptibility juga diartikan sebagai perceived vulnerability yang berarti
kerentanan yang dirasakan yang merujuk pada kemungkinan seseorang dapat
terkena suatu penyakit. Perceived susceptibility ini memiliki hubungan positif
dengan perilaku sehat. Jika persepsi kerentanan terhadap penyakit tinggi maka
perilaku sehat yang dilakukan seseorang juga tinggi. Contohnya seseorang
percaya kalau semua orang berpotensi terkena kanker.
2.      Perceived Severity
Perceived Severity adalah kepercayaan subyektif individu dalam menyebarnya
penyakit disebabkan oleh perilaku atau percaya seberapa berbahayanya penyakit
sehingga menghindari perilaku tidak sehat agar tidak sakit. Hal ini
berarti perceived severityberprinsip pada persepsi keparahan yang akan diterima
individu. Perceived severity juga memiliki hubungan yang positif dengan perilaku
sehat. Jika persepsi keparahan individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat.
Contohnya individu percaya kalau merokok dapat menyebabkan kanker.  
3.      Perceived Benefits
Perceived Benefits adalah kepercayaan terhadap keuntungan dari metode yang
disarankan untuk mengurangi resiko penyakit. Perceived benefitssecara ringkas
berarti persepsi keuntungan yang memiliki hubungan positif dengan perilaku
sehat. Individu yang sadar akan keuntungan deteksi dini penyakit akan terus
melakukan perilaku sehat seperti medical check up rutin. Contoh lain adalah
kalau tidak merokok, dia tidak akan terkena kanker. 
4.      Perceived Barriers
Perceived barriers adalah kepercayaan mengenai harga dari perilaku yang
dilakukan. Perceived barriers secara singkat berarti persepsi hambatan atau
persepsi menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak sehat.
Hubunganperceived barriers dengan perilaku sehat adalah negatif. Jika persepsi
hambatan terhadap perilaku sehat tinggi maka perilaku sehat tidak akan
dilakukan. Contohnya, kalau tidak merokok tidak enak, mulut terasa asam.
Contoh lain SADARI(periksa payudara sendiri) untuk perempuan yangdirasa
agak susah dalm menghitung masa subur membuat perempuan enggan untuk
melakukanSADARI.
5.      Cues to Action
Cues to action adalah mempercepat tindakan yang membuat seseorang merasa
butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata untuk melakukan
perilaku sehat. Cues to action juga berarti dukungan atau dorongan dari
ligkungan terhadap individu yang melakukan perilaku sehat. Saran dokter atau
rekomendasi telah ditemukan utnuk menjadi cues to action untuk bertindak
dalam konteks berhenti merokok  (Weinberger et al 1981;. Stacy dan Llyod 1990)
dan vaksinasi flu (Clummings et al 1979).
6.      Self Efficacy
Hal yang berguna dalam memproteksi kesehatan adalah self efficacy. Hal ini
senada dengan pendapat  Rotter (1966) dan Wallston mengenai teori self-
efficacy oleh Bandura yang penting sebagai kontrol dari faktor-faktor perilaku
sehat. Self efficacy dalam istilah umum adalah kepercayaan diri seseorang dalam
menjalankan tugas tertentu.  Self Efficacyadalah kepercayaan seseorang
mengenai kemampuannya untuk mengadopsi perilaku atau merasa percaya diri
dengan perilaku sehat yang dilakukan.
Faktor lain yang juga mempengaruhi persepsi HBM antara lain:
1. Variabel demografi: umur, jenis Kelamin, ras, pekerjaan.
2. Variabel sosio-psikologi: Ekonomi, kepribadian.
3. Motivasi kesehatan: Individu terdorong  untuk tetap pada keadaan sehat.
4. Kontrol Perasaan: Ukuran tingkat self-efficacy.
5. Ancaman: Termasuk bahaya yang muncul tanpa melakukan tindakan kesehatan.
Berikut adalah ilustrasi faktor yang memengaruhihealth belief model dan
komponen health belief model:
           
HBM merupakan model kognitif yang artinya  perilaku individu dipengaruhi
proses kognitif dalam dirinya. Sehingga untuk menjalankan atau memperoleh
persepsi dalam diri suatu individu didasarkan oleh faktor-faktor internal seperti,
variabel demografi yang meliputi ras, usia, jenis kelamin; variabel sosio-
psikologis meliputi, kepribadian, teman sebaya (peers), dan tekanan kelompok;
serta variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman tentang masalah.
B.           Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penerapan teori perubahan perilaku health belief model dalam jurnal
penelitian keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks dalam voluntary conseling
and testing (vct)?
2.    Mengapa teori perubahan perilaku helath belief modelmampu menjadi landasan
dalam jurnal penelitian keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks dalamvoluntary
conseling and testing (vct)?

C.           Tujuan
1.    Untuk mengetahui penerapan teori perubahan perilakuhealth belief model dalam
jurnal penelitian keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks dalam voluntary
conseling and testing (vct).
2.    Untuk mengetahui alasan teori perubahan perilaku health belief model menjadi
landasan dalam jurnal penelitian keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks
dalamvoluntary conseling and testing (vct).

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Penerapan Health Belief Model (HBM) Dalam Jurnal Penelitian Keikutsertaan


Pelanggan Wanita Pekerja Seks DalamVoluntary Conseling And Testing (VCT).
1.    Perceived Susceptibility (Kerentanan Yang Dirasakan).
Contoh Pertanyaan: Bagaimana pendapat anda mengenai kerentanan akan HIV/AIDS
yang didapat dalam melakukan voluntary conseling and testing (vct)?
Perceived Susceptibility adalah persepsi individu mengenai kerentanan yang
mereka rasakan apakah individu dapat terkena suatu penyakit tertentu yang
berhujung untuk melakukan perilaku sehat khususnya pencegahan.
Dari hasil penelitian ini, responden yang persepsi tentang ke-rentanannya rendah
memiliki proporsi lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan dengan
responden yang persepsinya tinggi. Sebaliknya responden yang persepsi tentang
kerentanannya tinggi memiliki proporsi lebih besar untuk melakukan VCT
dibandingkan dengan responden yang persepsinya rendah. Ini artinya, responden
yang memiliki persepsi kerentanannya tinggi memilih untuk bertindak melakukan
pencegahan melalui tes vct yaitu, melakukan  tes darah apakah responden positif
terinfeksi Human Immunodefisiency Virus (HIV).
2.    Perceived Severity (Keparahan Yang Dirasakan)
Contoh Pertanyaan: Menurut anda tindak lanjut seperti apa yang harus dilakukan
setelah mendapat hasil diagnosa dari pemeriksaan voluntary conseling testing (vct)?
Dari hasil penelitian ini, responden yang persepsi tentang keparahan rendah
memiliki proporsi lebih besar untuk tidak melakukan tindak lanjut usai mengetahui
hasil VCT yang negatif dibandingkan dengan responden yang persepsinya tinggi.
Sebaliknya responden yang persepsi tentang keparahannya tinggi memiliki proporsi
lebih besar untuk melakukan tindak lanjut usai mengetahui hasil VCT yang positif
dibandingkan dengan responden yang persepsinya rendah.
Responden yang merasa dirinya tidak harus melakukan pencegahan tindak lanjut
akan menghindari aktivitas yang menyebabkan terinfeksi HIV.  Sedangkan responden
yang merasa dirinya harus melakukan pencegahan tindak lanjut akan mencari
pengobatan dan hal ini dipengaruhi oleh Perceived Severity yaitu, persepsi
keparahan suatu individu yang mungkin dirasakan bila mengidap suatu penyakit
serta pandangan individu mengenai tingkat keparahan suatu penyakit yang
dideritanya sehingga mendorong untuk mencari pengobatan, keseriusan ini akan
bertambah apabila akibat dari suatu penyakit berakhir dengan kematian,
pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan
sosial.
3.    Perceived Benefit (Keuntungan Yang Dirasakan)
Contoh Pertanyaan: Bagaimana pendapat anda mengenai manfaat dari voluntary
conseling and testing (vct)?
Dari hasil penelitian ini, responden yang persepsi tentang manfaat VCT rendah
memiliki proporsi lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan dengan
responden yang persepsinya tinggi. Sebaliknya responden yang persepsi tentang
manfaat VCT tinggi memiliki proporsi lebih besar untuk melakukan VCT
dibandingkan dengan responden yang persepsinya rendah.
Penerimaan Susceptibility seseorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya
dapat menimbulkan keseriusan adalah mendorong untuk menghasilkan suatu
kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada
kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbaga upaya yang tersedia dalam
mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan
(perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut.
Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya
kepekaan/kerentanan (Susceptibility) dan keseriusan/keparahan (Severity), sering
tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan
kecuali jika upaya yang diperlihatkan tersebut dirasa manjur dan cocok.
4.    Perceived Barriers/Cost (Hambatan Yang Dirasakan)
Contoh pertanyaan: Menurut anda, penghalang apa yang bisa menghambat
seseorang untuk melakukan pemeriksaan voluntary conseling and testing (vct)?
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Health Belief Model yang menyatakan
bahwa dalam melakukan tindakan pencegahan maupun pengobatan HIV/AIDS
dipengaruhi oleh Perceived Barriers/Cost yaitu, persepsi terhadap biaya/ aspek
negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan termasuk
dalam melakukan VCT. Tidak hanya biaya yang mampu menjadi faktor
penghalang, aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan
lainnya yang mampu menghambat seseorang melakukan pencagahan antara lain
seperti ketidakpastian, efek samping; atau penghalang yang dirasakan seperti
khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup, pengalaman tidak menyenangkan, rasa
sakit, harus menyediakan waktu, tempat pemeriksaan yang  jauh, rasa takut dan malu
dengan petugas kesehatan, prosedur yang lama dan rumit, dan faktor-faktor
lainnya yang mungkin berperan sebagai penghalangan untuk merekomendasikan
suatu perilaku.
5.    Cues to Action (Isyarat Melakukan Tindakan)
Contoh pertanyaan: Menurut anda, bagaimana cara mendapatkan motivasi agar
seseorang mau untuk melakukan voluntary conseling and testing (vct)?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki motivasi (isyarat
melakukan tindakan) rendah memiliki proporsi lebih besar untuk tidak melakukan
VCT dibandingkan dengan responden yang motivasinya tinggi. Sebaliknya
responden yang motivasinya tinggi memiliki proporsi lebih besar untuk melakukan
VCT dibandingkan dengan responden yang motivasinya rendah.
Menurut Rosenstock (1982), bahwa dalam melakukan tindakan kesehatan terdapat
faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan
tersebut. Isyarat ini dapat bersifat:
  Isyarat internal, yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal dari dalam diri individu,
misal gejala yang dirasakan (demam, panas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, dan lain-lain).
  Isyarat eksternal, yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal dari interaksi interper-
sonal, misal media massa, pesan, nasehat, anjuran atau konsultasi dengan petugas
kesehatan.
Dalam praktik VCT, seoarang pelanggan WPS akan melakukan VCT karena pernah
mengikuti sosialisasi penyakit HIV/AIDS dari petugas kesehatan, membaca poster
tentang HIV/AIDS atau pengalaman sesama pelanggan atau pekerja.
6.    Self Efficacy (Kemanjuran Diri)
Contoh pertanyaan: Bagaimana pendapat anda akan hasil yang diperoleh usai
melakukan tindak pencegahan maupun pengobatan secara rutin sekaligus
bersamaan dengan menjalankan pola hidup yang aman seperti setia pada pasangan?
      Apabila responden memiliki tingkat Self Efficacy yang tinggi kemungkinan untuk
memperoleh hasil negatif atas terkena suatu penyakit sangatlah rendah. Sebaliknya,
apabila responden memiliki tingkat Self Efficacy yang rendah, kemungkinan untuk
memperoleh hasil positif atas terkena suatu penyakit cukup tinggi.
B.           Alasan Teori Perubahan Perilaku Health Belief Model Menjadi landasan Dalam Jurnal
Penelitian Keikutsertaan Pelanggan Wanita Pekerja Seks Dalam Voluntary Conseling
And Testing (VCT).
Menurut Teori Health Belief Model (HBM), kemungkinan individu akan
melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua
keyakinan atau penilaian kesehatan (health beliefs) yaitu : ancaman yang
dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) dan
pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and costs).
Ancaman yang dirasakan terhadap risiko akan muncul. Hal ini mengacu
sejauh mana seorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan
ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan
tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan meningkat. Perilaku
tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada ketidak-kekebalan yang
dirasakan (perceived vulnerability) yang merupakan kemungkinan bahwa orang-
orang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka.
Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa dengan adanya persepsi tinggi
tentang kerentanan akan HIV&AIDS yang diperoleh pada saat melakukan VCT
maka dapat menimbulkan praktik yang baik dalam pencegahan IMS dan
HIV&AIDS. Oleh karenanya teori perubahan perilaku Health Belief Model tanpa
disadari mampu menjadi landasan dalam penelitian ini.

BAB III
PENUTUP

A.           Simpulan
Pada penelitian Keikutsertaan Pelanggan Wanita Pekerja Seksual Dalam
Voluntary Conseling and Testing (VCT), teori perubahan perilaku Health Belief
Modelmampu menjadi landasan dari hasil akhir penelitian ini. Hal ini disebabkan
karena untuk menjalankan komponen-komponen dalam teori Health Belief
Model membutuhkan proses kognitif, yaitu kepercayaan seseorang yang
didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu lainnya yang
mampu memengaruhi perilaku atau tindakan suatu individu terhadap sesuatu.
B.           Saran
Health Belief Model dapat menjadi titik acuan atau panduan dalam
memberikan pesan untuk memperbaiki pengetahuan (knowledge) dan keyakinan
(belief) khususnya memberikan pesan yang didisain untuk promosi kesehatan
yang dipublikasikan melalui media masa.

DAFTAR PUSTAKA

Fibriana Ika Arulita. Januari 2013. Keikutsertaan Pelanggan Wanita Pekerja Seks Dalam
Voluntary Conseling and Testing (VCT). Universitas Negeri Semarang. Volume 8,
No.2.http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas, 03 Oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai