Anda di halaman 1dari 10

PERILAKU SEHAT DAN HEALTH LITERACY

A. Definisi Perilaku Sehat dan Health Literacy

1. Pengertian Peilaku Sehat


Perilaku sehat merupakan perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku kesehatan pada dasarnya
adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku sehat mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah atau
menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah atau penyebab masalah kesehatan dan
perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan. Contoh: makan dengan gizi seimbang, olahraga
teratur, tidak merokok dan minuman keras (Notoatmodjo, 2010).
2. Aspek – aspek Perilaku Sehat

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sehat yaitu :


Sarafino dan Smith (2011) menyatakan beberapa faktor yang turut mempengaruhi perilaku hidup sehat
sebagai berikut :
1. Faktor genetika atau keturunan yang mempengaruhi perilaku hidup sehat seperti minum alkohol
yang berlebih.
2. Pembelajaran perubahan perilaku ditentukan oleh konsekuensinya. Tiga jenis konsekuensi yang
penting adalah reinforcement , punishment dan extinction. Reinforcement didapat jika melakukan
sesuatu yang memiliki konsekuensi positif, misalnya mendapat hadiah setiap kali menyikat gigi.
Hukuman atau punishment diperoleh jika melakukan tindakan yang mendatangkan konsekuensi
negatif, misalnya bermain korek api dan dimarahi oleh orang tua. Konsekuensi extinction terjadi
jika konsekuensi dihilangkan dan respon yang dihasilkan bertahap menjadi negatif terutama jika
tidak ada penguat yang menggantikan.
3. Perilaku yang berhubungan dengan hidup sehat juga di pengaruhi oleh faktor sosial, seperti
teman atau keluarga yang akan mendorong atau mematahkan perilaku tertentu. Contohnya
merokok karena pergaulan atau tidak merokok karena takut di usir rumah.
4. Faktor kognitif juga turut berkontribusi dalam perilaku sehat yang akan di tampilkan. Jika
memiliki pergetahuan yang benar tentang hidup sehat dan solusi yang baik maka hal tersebut
akan mendorong gaya hidup sehat.
5. Optimisme yang tidak realistis juga turut mempengaruhi perilaku hidup sehat. Jika individu
sangat optimis terhadap kesehatannya, mereka cenderung abai untuk menjaga kesehatannya.
.
4. Klasifikasi Perilaku Sehat
Klasifikasi perilaku sehat menurut Notoatmodjo (2007) yaitu :
a. Makan dengan Menu seimbang (approriate diet). Menu seimbang di sini dalam arti kualitas
(mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh), dan kuantitas dalam arti jumlahnya cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh (tidak kurang, tetapi juga tidak lebih). Secara kualitas
mungkin di Indonesia dikenal dengan ungkapan empat sehat lima sempurna.
b. Olahraga teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti frekuensi dan
waktu yang digunakan untuk olahraga. Dengan sendirinya kedua aspek ini tergantung dari usia,
dan status kesehatan yang bersangkutan.
c. Tidak merokok, Merokok adalah kebiasaan jelek yang mengakibatkan berbagai macam penyakit.
Ironisnya kebiasaan merokok ini, khususnya Indonesia, seolah-olah sudah membudaya. Hampir
50% penduduk Indonesia usia dewasa merokok.
d. Tidak minum-minuman alkohol Kebiasaan minum alkohol cenderung meningkat. Sekitar 1%
penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum-minuan alkohol
dan makin meningkat pula.
e. istirahat yang cukup. Dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk
penyesuaian dengan lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras dan
berlebihan, sehingga waktu istirahat berkurang. Hal ini juga dapat membahayakan kesehatan.
Istirahat cukup bukan saja berguna untuk memelihara kesehatan fisik, tetapi juga untuk
kesehatan mental. Istirahat yang cukup adalah kebutuhan dasar manusia untuk
mempertahankan kesehatan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
f. Pengendalian atau manajemen stres, Stress akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya
bermacam-macam bagi kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntutan hidup yang keras
seperti diuraikan di atas. Kecenderungan stress akan meningkat pada setiap orang. Stres tidak
dapat dihindari oleh siapa saja, namun yang dapat dilakukan adalah mengatasi, mengendalikan
atau mengelola stress tersebut agar tidak mengakibatkan gangguan kesehatan, baik kesehatan
fisik maupun kesehatan mental (Notoatmodjo,2010). Kita harus dapat mengendalikan atau
mengelola stress dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
g. Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan,Perilaku atau gaya hidup lain yang baik
untuk kesehatan, yang intinya adalah tindakan atau perilaku seseorang agar dapat terhindar dari
berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan, termasuk perilaku untuk meningkatkan
kesehatan (Notoatmodjo,2010).
5. Pengertian Health Literacy
Menurut Institute of Medicine (2004), literasi kesehatan merupakan sejauh mana individu
memiliki kapasitas untuk memperoleh, memproses, dan memahami mengenai informasi kesehatan dasar
dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk dapat membuat keputusan yang tepat mengenai
kesehatan (Chen et al., 2011). Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), literasi kesehatan
adalah keterampilan kognitif dan sosial yang menentukan motivasi dan kemampuan individu untuk
mendapatkan akses, memahami dan menggunakan informasi dalam mendukung dan menjaga kesehatan
yang baik.
6. Pentingnya Health literacy
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari WHO dalam Konferensi Global ke-7 tahun 2009
mengenai promosi kesehatan dan pembangunan, dikemukakan bahwa literasi kesehatan penting untuk
diidentifikasi sebab (WHO, 2009):

1. Seluruh individu berhubungan dengan kesehatan


Literasi kesehatan merupakan kebutuhan seluruh individu sebab setiap individu
selalu dihadapkan dengan situasi yang menuntut individu tersebut membuat keputusan
berhubungan dengan kesehatan serta mengaplikasikanenya. Seseorang dengan tingkat
literasi kesehatan yang rendah cenderung cenderung melakukan perilaku berisiko dan
memiliki kesehatan yang lebih buruk. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Dennison et al. (2011) dan Chen et al. (2011) bahwa seseorang dengan kondisi kronis
seperti gagal jantung disertai literasi kesehatan inadekuat akan meningkatkan risiko
perawatan yang buruk karena kurangnya pengetahuan mengenai penyakitnya serta dapat
menurunkan kepercayaan diri untuk mampu melakukan perawatan yang efektif. Pada pasien
dengan literasi kesehatan rendah akan kesulitan dalam mengikuti dan memahami prosedur
pengobatan yang harus dilakukan seperti kesulitan dalam membaca label obat, memahami
peringatan yang tertera pada label obat, serta menentukan dosis obat yang harus
dikonsumsi oleh pasien ketika berada di rumah sesuai resep dokter sehingga lebih berisiko
mengalami kesalah dalam menjalani pengobatan (Cajita et al., 2015; Chen et al., 2011;
Dennison et al., 2011; Wolf et al., 2007). Hal tersebut dapat menyebabkan pasien berisiko
menjalani pengobatan yang kurang (under-treatment) atau berlebihan (over-treatment) dan
akan lebih berbahaya jika pasien mengalami efek samping obat yang mengakibatkan
komplikasi.
2. Hasil akhir kesehatan yang buruk
Bukti menunjukkan bahwa tingkat literasi kesehatan inadekuat berpengaruh
terhadap kesehatan yang buruk, kurangnya pemahaman mengenai penyakit dan prosedur
pengobatan sehingga sering menyebabkan kesalahan dalam pengobatan. Seseorang dengan
literasi kesehatan rendah membuat pasien kurang dapat mengenali tanda dan gejala
penyakitnya sehingga menyebabkan pasien terlambat mencari perawatan. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Schillinger et al. (2002) yang mengungkapkan
bahwa literasi kesehatan yang rendah pada pasien diabetes berhubungan dengan buruknya
kemampuan pasien dalam mengontrol gula darah dan menyebabkan tingkat komplikasi yang
tinggi.
3. Peningkatan angka penyakit kronis
Angka kejadian penyakit kronis di berbagai negara semakin meningkat dan paling
sering dialami oleh individu dengan usia lebih tua sedangkan dalam menangani penyakitnya
diperlukan keterlibatan pasien agar dapat mengelola penyakitnya dengan lebih efektif.
Literasi kesehatan memainkan peran penting dalam manajemen diri penyakit kronis. Dalam
hal mengelola penyakit kronis atau penyakit yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang
individu harus mampu memahami dan menilai atau mengevaluasi informasi kesehatan yang
sering berisi mengenai rejimen medis yang kompleks, serta mampu membuat keputusan
kesehatan yang tepat dan mengetahui bagaimana cara mengakses pelayanan ketika
dibutuhkan.
4. Biaya perawatan kesehatan
Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa terjadi biaya tambahan
dalam perawatan kesehatan sebesar 3-5% pada individu yang memiliki literasi kesehatan
yang rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalichman et al. dalam
Santosa (2005) yang menunjukkan bahwa penderita HIV yang memiliki tingkat literasi
kesehatan yang rendah memiliki sel CD4 yang lebih rendah, viral load yang lebih tinggi,
ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi antiretroviral, dan lebih sering menjalani rawat inap di
rumah sakit yang tentunya akan meningkatkan biaya perawatan kesehatan.
5. Tuntutan informasi kesehatan
Ketidaksesuaian antara isi informasi kesehatan dengan tingkat kemampuan
membaca seseorang. Isi informasi kesehatan seringkali menggunakan bahan seperti istilah
kesehatan yang sulit dipahami sehingga pasien sering kesulitan dalam membaca maupun
menafsirkannya.
6. Ekuitas (equity)
Seseorang dengan tingkat literasi kesehatan yang rendah diartikan bahwa individu
tersebut tidak mampu mengelola kesehatan mereka sendiri secara efektif, tidak mampu
mengakses pelayanan kesehatan, tidak memahami informasi kesehatan yang tersedia
sehingga mengakibatkan individu tersebut kesulitan dalam membuat keputusan kesehatan
yang tepat berdasarkan informasi yang didapatkan dan hal tersebut berdampak pada ekuitas
atau pemerataan peluang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu upaya
meningkatkan literasi kesehatan merupakan alat penting dalam menurunkan kesenjangan
kesehatan.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi literasi kesehatan
Berdasarkan model konseptual yang dikembangkan oleh Paasche-Orlow and Wolf (2007), literasi
kesehatan dipengaruhi oleh karakteristik sosiodemografis serta kemampuan kognitif dan fisik yang seluruh
hal tersebut merupakan penentu hasil kesehatan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya dilaporkan bahwa literasi kesehatan pada seseorang juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, suku/budaya, bahasa, kemampuan kognitif, status sosial ekonomi, pekerjaan,
pendapatan, akses informasi kesehatan, dan akses pelayanan kesehatan (Cajita et al., 2015; Tung et al., 2014;
Santosa, 2012).
a. Usia
Berdasarkan sistematik riview yang dilakukan oleh Cajita et al. (2015) dilaporkan bahwa terdapat
8 penelitian yang mengatakan seseorang dengan tingkat usia semakin bertambah dewasa cenderung
memiliki literasi kesehatan yang semakin menurun. Sebab pada usia yang semakin bertambah
dewasa terjadi penurunan kemampuan berfikir, kemampuan sensoris, rentang waktu yang lama
sejak pendidikan terakhir dan penurunan kemampuan tersebut mempengaruhi kemampuan dalam
membaca dan memahami informasi (Shah et al., 2010; Ng & Omariba 2010 dalam Santosa, 2012).
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan sistematik riview yang dilakukan oleh Cajita et al. (2015) dilaporkan bahwa jenis
kelamin perempuan cenderung memiliki literasi kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pria. Namun penelitian yang dilakukan oleh Macabasco et al., (2011) dikemukakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakana antara jenis kelamin dengan literasi kesehatan.
c. Pendidikan
Pendidikan dilaporkan memiliki korelasi yang positif dengan literasi kesehatan. Hal tersebut
sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Macabasco et al., (2011) dan Laramee (2007).
Seseorang dengan tingkat pendidikan sekolah yang rendah lebih mungkin memiliki literasi kesehatan
yang rendah. Selain berdampak pada pembentukan pengetahuan kesehatan, pendidikan juga
membentuk keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan dalam pembelajaran kesehatan, misalnya
kemampuan membaca berbagai sumber informasi kesehatan dan kemampuan menggunakan
internet (Santosa, 2012).
d. Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif mempunyai korelasi yang kuat dengan literasi kesehatan. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Morrow et al. (2006) dan Hawkins (2012) yang menyatakan
seseorang yang memiliki fungsi kognitif lebih baik menunjukkan tingkat literasi kesehatan yang lebih
tinggi.
e. Bahasa
Literasi kesehatan yang adekuat juga membutuhkan keterampilan dalam berkomunikasi, baik
dari individu tersebut maupun pemberi layanan kesehatan agar dapat terjalin interaksi yang baik
sehingga informasi kesehatan dapat tersampaikan dengan baik (Kindig et al., 2004). Bahasa
merupakan salah satu yang berpengaruh dalam cara seseorang mengaplikasikan keterampilan
tersebut. Sebab ketika petugas kesehatan menjelaskan mengenai prosedur pengobatan
menggunakan istilah kesehatan yang sulit ditambah apabila bahasa utama yang pasien gunakan
sehari-hari bukan merupakan bahasa nasional (bahasa resmi yang digunakan di negaranya) maka hal
tersebut dapat menyebabkan pasien tidak memahami instruksi yang telah diberikan (Santosa, 2012).
f. Etnis
Etnis dapat mempengaruhi tingkat literasi kesehatan pada seseorang khususnya pada kaum
minoritas dalam suatu populasi sehingga lebih banyak individu yang memiliki literasi kesehatan
rendah. Tempat pemukiman yang terpisah, sulitnya akses pendidikan, dan berbagai hambatan dalam
ekonomi menjadi beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi (Santosa, 2012).
Masyarakat dengan berbagai latar belakang etnis juga dapat memiliki hambatan dalam komunikasi
kesehatan karena merasa petugas kesehatan tidak mengetahui pengobatan tradisional dan budaya
terkait dengan kesehatan yang ada pada komunitas mereka. (American College of Physicians, 2010).
g. Pekerjaan
Menurut Ng & Omariba 2010 dalam Santosa, 2012, dengan bekerja maka seseorang terlibat lebih
banyak dalam kegiatan membaca, menulis, berhitung dalam konteks pekerjaannya. Hal tersebut
dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam memahami istilah, angka, dan teks bacaan yang
juga dapat mereka aplikasikan ketika membaca informasi kesehatan. Selain itu, dengan bekerja maka
lebih besar kemungkinan bagi seseorang untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari tempatnya
bekerja (Santosa, 2012).
h. Pendapatan
Faktor ekonomi mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mendapatkan akses pendidikan
dan pelayanan kesehatan, sehingga hal tersebut mempengaruhi pula kemampuan seseorang dalam
memperoleh, memahami, dan mengaplikasikan informasi kesehatan (Pawlak, 2005). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ng & Omariba (2010) yang mengatakan bahwa seseorang
dengan tingkat pendapatan yang rendah cenderung memiliki tingkat literasi kesehatan yang rendah
pula.
i. Akses Pelayanan Kesehatan
Akses pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mendapatkan
informasi kesehatan. Adanya program jaminan kesehatan sebagai salah satu bagian akses pelayanan
kesehatan juga sangat berkontribusi dalam peningkatan literasi kesehatan yang adekuat. Sesuai
dengan penelitian oleh Bains dan Egede (2011) juga menunjukkan hasil bahwa pada orang-orang
yang memiliki tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat proporsi tingkat literasi kesehatan
inadekuat yang lebih besar.
j. Akses Informasi Kesehatan
Speros mengungkapkan bahwa literasi merupakan sebuah kemampuan meta-kognitif yang
melibatkan kemampuan membaca, memahami, dan berhitung. Untuk melengkapi kemampuan
tersebut seseorang harus mempunyai pengalaman kesehatan dimana individu tersebut terpapar
oleh istilah kesehatan dan penjelasan agar informasi kesehatan yang diterimanya terlihat logis.
Literasi kesehatan membutuhkan familiaritas atau pengenalan dengan struktur dan jenis informasi
kesehatan (misalnya pemberian brosur untuk pasien). Paparan terhadap informasi kesehatan
tersebut akan membentuk kemampuan baru dibanding kemampuan literasi secara umum (Santosa,
2012).
8. Kerangka Kerja Literasi Kesehatan (Health Literacy Framework)
Institute of Medicine mengembangkan kerangka kerja literasi kesehatan. Kerangka kerja ini
menggambarkan tiga bidang utama yang berpengaruh terhadap literasi kesehatan dan menjadi titik dalam
memberikan intervensi dilihat dari interaksi individu dengan sistem pendidikan, sistem kesehatan, serta
faktor sosial budaya yang dianggap bahwa 3 bidang utama tersebut pada akhirnya akan memrikan
kontribusi terhadap hasil akhir (outcome) dan biaya kesehatan (Institute of Medicine, 2009).

2
Sistem
Kesehatan
1
Sosial
dan Literasi Hasil akhir dan
Budaya Kesehatan biaya kesehatan

Sistem
Pendidikan
3

Gambar Kerangka kerja literasi kesehatan (Health Literacy Framework).

Sumber: (Institute of Medicine, 2009).


Dilihat dari kerangka kerja di atas dikatakan bahwa literasi kesehatan didasarkan pada interaksi
antara keterampilan individu dengan sistem pelayanan kesehatan, sistem pendidikan, dan faktor sosial
budaya. Keterampilan tersebut meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbicara,
mendengarkan, budaya serta pengetahuan. Faktor sosial budaya termasuk ke dalam titik intervensi sebab
budaya didapatkan melalui interaksi antar individu dan media nyata seperti buku, televisi yang akan
berdampak terhadap informasi kesehatan dan dapat mempengaruhi persepsi individu dalam masyarakat
mengenai pengetahuan penyakit, hambatan proses perawatan, serta hambatan bahasa. Namun, sebagian
besar instrumen yang tersedia untuk mengukur literasi kesehatan yang tersedia saat ini hanya melihat
keterampilan membaca seseorang yang dilihat dari kemampuan membaca termasuk pelafalan kata,
berhitung, dan memahami bacaan tersebut tanpa mengukur keterampilan penting lainnya .

B. Hubungan Perilaku Sehat dan Health Literacy Dengan Menggunakan Teori ABC

Hubungan antara perilaku sehat dengan health literacy sangat erat hubungannya karena
seseorang berperilaku sehat itu harus didukung dengan pengetahuan, motivasi, dan kompetinsi untuk
mengakses, memahami, menilai dan menerapkan informasi kesehatan untuk membuat keputusan dan
mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan seseorang atau
individu. Dari beberapa aspek diatas maka Hubungan perilaku sehat dengan health literacy dengan
menggunakan Teori ABC.

a. Teori ABC (Anteseden-Behavior-Consequences)


Model ABC atas perubahan perilaku merupakan gabungan dari 3 (tiga) elemen, yaitu anteseden,
behavior dan consequnces (ABC). Menurut para pendukung model tersebut, perilaku dapat di ubah
dengan melalui 2 (dua) cara, yaitu berdasarkan apa yang mempengaruhi perilakusebelum terjadi (exente)
dan apa yang menpengaruhi perilaku setelah terjadi (ex-post). Ketika kita mencoba mempengaruhi
perilaku sebelum perilaku itu terbentuk berarti kita telah menggunakan antecedents. Sementara itu ketika
kita berusaha mempengaruhi perilaku dengan melakukan sesuatu stelah perilaku itu terbentuk berarti
kita menggunakan consequnces. Jadi sebuaah antecedents mendorong terbentuknya perilaku yang
selanjutnya akan di ikuti oleh sebuah cobcequnces. Pemahaman ketiga elemen ini berinteraksi sangat
bermanfaat bagi para manejer untuk menganalisis permasalahan kinerja, menentukan ukuran-ukuran
korektif, dan mendesain lingkungan kerja yang kondusif dan sistem manajemen yang mempunyai kinerja
tinggi.
1. Antesden
Antesden adalah peristiwa lingkungan yang menbentuk tahapp atau pemicu perilaku.
(Holland dan Skinner, 1961: Sulzer-Azroff dan Mayer,1977: Bandura, 1977;Miller, 1980). Batasan
tersebut menunjukan bahwa dengan adanya antesden dapat memicu terjadinya perilaku
seseorang, artinya dengan adanya sebuah peristiwa bisa menjadikan seseorang untuk
berperilaku.
2. Perilaku (Behavior)
Menurut Galler (2002), perilaku mengacu pada tindakan individu yang dapat ]di amati
orang lain. Robert Kwick dalam (Notoadmodjo, 2003) medefenisikan perilaku adalah tindakan-
tindakan atau perbuatan organisme yang dapat di amati bahkan dipelajari. Dengan demikian
perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan luas, antara lain berjalan , berbicara, menangis, trtawa, bekerja, kuliah,
menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun tidak
langsung dari pihak luar (Natoatmodjo, 2003).
Skinner (1938), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisasi tersebut merespons, maka teori Skinner
ini di sebut dengan teori S-O-R (stimulus-organisme-respons).
3. Konsekuensi (Consequnces)
Konsekuensi adalah peristiwa lingkungan yang mengikuti sebuah perilaku, yang juga
menguatkan, melemahkan, atau menghentikan suatu perilaku (Holland dan Skinner,1961; Miller,
1980). Consequnses adalah kejadian kejadian yang mengikuti perilaku dan mengubah adanya
kemungkinan perlaku dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan meningkatkan perilaku dan mengurangi
perilaku tertentu.
Terdapat 4 (empat) consequnces keperilakuan, dua meningkatkan perlaku tertentu dan
dua lainnya mengurangi (Daniels, 1989):
1. Consequnces yang meningkatkan perilaku tertentu:
a. Positive reinforcement (R+), misalnya memperoleh sesuatu yang kita inginkan.
b. Negative reinforcoment (R-), melepaskan diri atau menghindari sesuatu yang kita inginkan.
2. Consequnces yang menurunkan perilaku tertentu:
a. Mendapatkan segala sesuatu yang kita inginkan (P+)
b. Gagal untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan (P-).
Contoh :
Seorang penderita TB menceritakan keluhannya kepada keluarganya dan mendaptkan
nasehat dari keluarganya untuk memeriksakan diri kepuskesmas untuk mengetahui penyakinya
dan pengobatan penyakitnya. Disini si penderita ini bisa saja tidak memerikasakan diri
kepuskesmas karena si penderita ini tidak tau soal penyakitnya ini karena kurangnya
pengetahuan dan informasi kesehatan (pengetahuan dan kurangnya infosmasi ini health literacy)
dan inilah yang disebut dengan (Antecedent).
Penderita TB ini akhirnya mengunjungi puskesmas untuk memeriksakan penyakitnya
(Behavior). Karena adanya informasi dari kelurga maka sipenderita kepuskesmas dan dia
mendapatkan motivasi dari keluarganya untuk kepuskesmas. Proses selanjutnya sipenderita
penyakit TB ini akan mengambil keputusan melanjutkan pengobatan kepuskesmas pada bulan
berikutnya (positif) atau tidak melanjutkan pemeriksaan bulan selanjutnya (negative) dari respon
penderita kelangkah selanjutnya ini disebut Consequences

b. Teori Snehandu B.Kar


Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku merupakan fungsi :
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (Behaviour intention ).
b. Dukungan sosial dari masyrakat sekitarnya ( Social-support).
c. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(Accessebility of information).
d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan
(Personal autonomy).
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak( action situation)
(Irwan, 2017).
c. Teori Health Belief Model
Teori perilaku model The Health Belief biasa digunakan dalam menjelaskan perubahan
perilaku kesehatan di masyarakat. Beberapa hal yang dikembangkan dalam model The health belief
antara lain teori adopsi tindakan (action). Teori ini menekankan pada sikap dan kepercayaan individu
dalam berperilaku khususnya perilaku kesehatan(Irwan, 2017.)
Teori perubahan perilaku kesehatan yang dikembangkan meletakan adanya
keyakinan/persepsi individu terhadap tindakan medis/kesehatan yang telah didapatkan. Adanya
pengalaman pengobatan dalam diri individu maupun pengalaman orang lain menumbuhkan persepsi
tentang kesehatan(Irwan, 2017).
d. Theory Self efficacy
Self efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu tentang kemampuannya untuk mencapai tingkat
kinerja dengan menggunakan pengalamannya terhadap peristiwa-peristiwa lampau yang
mempengaruhi kehidupannya(Irwan, 2017).
e. Teori Dukungan Sosial (Social Support Theory)
Dukungan sosial (social support) didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal,
saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan
subyek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat
memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku(Irwan, 2017).
Dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang
diberikan oleh orang- orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang
terjadi sehari-hari dalam kehidupan(Irwan, 2017).
f. Theory Social Cognitive of Self-Regulation
Teori Kognitif Sosial (SCT) pertama kali dikenal sebagai teori pembelajaran sosial, seperti
yang didasarkan pada prinsip-prinsip belajar dalam konteks sosial manusia. Model self-regulation
sebenarnya mengacu pada proses pemecahan masalah. Pemecahan masalah kesehatan masyarakat
pada dasarnya tidak berbeda dengan pemecahan masalah lain(Irwan, 2017).
g. Theory of Planned Behavior
Teori Perilaku yang direncanakan (Planned Behavior Theory) yang disingkat dengan PBT
merupakan pengembangan lebih lanjut dari TRA. Seperti pada teori TRA, faktor inti dari TPB adalah
niat individu dalam melakukan perilaku tertentu(Irwan, 2017).
Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu persepsi terhadap
pengendalian yang dapat dilakukan (perceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan dalam
upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku
tertentu(Irwan, 2017).
h. Perceived behavioral control (PBC)
Perceived behavioral control (PBC) adalah ukuran sejauh mana individu percaya tentang
mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu (Hogg & Vaughan, 2005). Menurut Feldman
(1995), PBC adalah persepsi tentang kesulitan atau kemudahan dalam melaksanakan tingkah laku,
berdasarkan pada pengalaman sebelumnya dan hambatan yang diantisipasi dalam melaksanakan
tingkah laku tertentu. Peneliti menyimpulkan PBC sebagai persepsi individu terhadap kadar
kemudahan dan kesulitan suatu tingkah laku serta kontrol yang dimiliki untuk melaksanakan tingkah
laku tersebut(Irwan, 2017).
C. Aplikasi Perilaku Sehat dan Health Literacy Dalam Kehidupan Sehari-hari

1. Perilaku Sehat
a. Mengatur Makanan dan Pola Makan
Diet berarti mengatur makan. Hal ini mengandung makna bahwa makan harus seimbang
dengan kebutuhan tenaga. Contohnya Kalau seseorang bekerja dengan kebutuhan tenaga
yang banyak, seperti tukang batu, pengayuh becak, atau seorang atlet berarti kebutuhan
makan juga banyak. Sebaliknya,seseorang yang bekerja di atas meja seperti sekretaris atau
kepala kantor yang memerlukan tenaga tidak banyak, maka makanan yang dibutuhkan juga
tidak banyak . ( Almatsier, 2005:13 )
b. Menjaga Kesehatan Pribadi
Tugas lain dalam usaha mendapatkan kesehatan yang baik adalah dengan cara menjaga
kesehatan pribadi. Kesehatan pribadi dapat diartikan sebagai aktivitas rutin yang biasa
dilakukan oleh setiap orang, contohnya seperti mandi, menggosok gigi, berpakaian,
kebersihan rambut (Irianto (2004: 83)
c. Mengatur Istirahat
Mengatur istirahat berarti mengatur antara bekerja dan beristirahat. Tenaga manusia ada
batasnya, kapan harus bekerja dan kapan harus istirahat. Jika antara bekerja dan istirahat
tidak seimbang, dapat menyebabkan badan menjadi tidak nyaman dan bisa menimbulkan
sakit. Istirahat bagi tubuh diperlukan untuk memberikan kesempatan pada alat-alat tubuh
atau organ-organ tubuh mengurangi pekerjaaanya secara faali sehingga tubuh dapat
melakukan kerja sehari-hari dengan baik. Contohnya Istirahat yang baik adalah tidur selama
7-8 jam setiap hari. Tidur sebaiknya dilakukan pada malam hari setelah seharian fisik
bekerja.
d. Berolahraga Teratur
Olahraga yang teratur adalah olahraga yang dilakukan setiap dua hari sekali. Olahraga yang
cocok dan mudah dilakukan oleh setiap orang adalah olahraga aerobik, seperti jalan kaki,
jogging, senam aerobik, berenang, bersepeda atau permainan ringan, seperti tenes meja
atau golf. Olahraga permainan lebih disukai banyak orang karena menyenangkan. Olahraga
permainan lebih cocok untuk pengembangan motorik anak (Poppen, 2002:41)
2. Health literacy
Sebagai contoh ada seorang pasien yang mengatakan “saya telah berhenti mengkonsumsi kopi karena
setelah beberapa kali mengkonsumsi kopi saya merasa sakit kepala yang berlebihan dan ketika saya
periksakan keadaan saya ke puskesmas saya mendapatkan hasil bahwa tekanan darah saya meningkat.
Setelah itu saya mencoba untuk berhenti minum kopi dan hasilnya saya tidak pernah merasakan sakit
kepala yang berlebihan lagi. Saya menyimpulkan sendiri bahwa kopi dapat meningkatkan tekanan darah”
dan ada juga yang mengatakan “saya mendapatkan infomasi tetapi menurut saya informasi tersebut
kurang benar, seperti harus minum obatnya rutin karena untuk apa kita minum obat kalau tekanan darah
kita sudah normal (sembuh) atau sudah tidak merasakan pusing lagi”.

D. Hubungan antara psikologi dengan ilmu kesehatan masyarakat


Hubungan antara psikologi dengan ilmu kesehatan masyarakat adalah
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Machfoedz, Ircham (2005). Pendidikan Kesehatan dan Promosi Kesehatan. Jakarta : Tramaya .
Notoatmodjo, Soekidjo (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan . Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Prof. Dr. Soekidhjo Notoatmodjo. S.K.M. M. Com. H. Promosi Kesehatan, Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta.
2010.
Ratzan, S.C. Health Literacy: Communication for the public good, Health Promotion International, 16 (2), 2001. 207-
214.
Sarafino, E.P. , & Smith, T.W. (2011). Health psychology : Biopsychosocial interactions (7th ed.). Danvers : John
Wiley & Sons, Inc
Taylor, S.E. (2012). Health psychology (9th ed.). New York : McGraw-Hill.
White, S. Assessing the N ation’s Health Literacy, American Medical Association Foundation. 2008.

Anda mungkin juga menyukai