Anda di halaman 1dari 14

Dosen Pengampu : 1. Rohmah Rifani, S.Psi., M.Si.

, Psikolog
2.Noviyanti Pratiwi, S.Psi., M.Psi., Psikolog

PSIKOLOGI KESEHATAN
(Kompromi Perilaku Sehat)

(Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas dalam mata
kuliah Psikologi Kesehatan)

Kelas B
Kelompok 5:
Nirma Magfirandha 1471041051
Widya Sukmayanti

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017
POKOK BAHASAN MATERI

A. Kompromi perilaku sehat

1. Definisi

2. Karakteristik

B. Perilaku bermasalah

1. Obesitas

a. Definisi

b. Faktor penyebab

c. Intervensi

2. Alkohol

a. Definisi

b. Faktor penyebab

c. Intervensi

3. Merokok

a. Definisi

b. Faktor penyebab

c. Intervensi
A. Kompromi perilaku sehat
1. Definisi
Perilaku merupakan suatu respon yang dikeluarkan oleh individu
disebabkan karena adanya stimulus atau rangsangan. Perilaku dapat
dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku
terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup merupakan respon individu
terhadap sesuatu yang belum dapat diamati oleh individu lain sedangkan
perilaku terbuka merupakan keadaan ketika individu merespon secara nyata
dalam bentuk tindakan sehingga individu lain dapat mengamati dengan jelas
dan mudah (Rahmadian, 2011). Dengan perilaku tersebut individu dapat
melakukan berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari termasuk perilaku sehat.

Remer dan Schwazer (Rahmadani, 2011) mengemukakan bahwa perilaku


sehat merupakan perilaku individu yang terlibat dalam pemeliharaan,
perlindungan, dan atau peningkatan kesehatan diri saat ini dan untuk
menghindari penyakit di masa yang akan datang. Conner (2002)
mengemukakan bahwa perilaku sehat meliputi penggunaan layanan medis
seperti kunjungan dokter, vaksin, dsb juga termasuk olahraga, diet, dsb. Jika
individu dapat melakukan perilaku sehat, maka terdapat pula individu yang
tidak melakukannya bahkan menjadikan kesehatan tubuhnya terancam.
Taylor (2015) mengemukakan bahwa kompromi perilaku sehat merupakan
keadaan ketika individu mempraktikkan perilaku bermasalah yang dapat
melemahkan atau membahayakan kesehatan, misalnya merokok. Dengan
uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa kompromi perilaku sehat dapat
terbentuk karena kebiasaan individu dalam melakukan perilaku yang tidak
sehat, sehingga membuat perilaku tidak sehat tersebut ada terus menerus dan
sulit dihentikan.

2. Karakteristik Kompromi perilaku sehat


Taylor (2015) mengemukakan bahwa mengenali individu yang melakukan
kompromi dalam perilaku sehat dapat ditinjau dengan melihat karakteristik
kompromi perilaku sehat, yaitu:
a. Rentan pada remaja/dewasa
Kompromi perilaku sehat merupakan suatu keputusan terhadap risiko
yang telah diketahui sebelumnya. Perilaku seperti minum secara
berlebihan, merokok, menggunakan obat-obatan terlarang,
mempraktikkan seks, dan mengambil risiko kecelakan, kematian dini.
Walaupun tidak semua kompromi perilaku sehat dimulai dan berkembang
selama remaja/dewasa namun sangat mungkin perilaku itu dimulai sejak
masa kanak-kanak dan dipeliharan hingga dewasa.
b. Budaya teman sebaya
Kompromi perilaku sehat yang dilakukan dapat terjadi karena pengaruh
budaya teman dan lingkungan. Seperti anak-anak yang meniru perilaku
temannya. Mereka meniru individu yang dikagumi. Sedangkan
kerentanan kompromi perilaku sehat yang terjadi pada masa remaja dapat
disebabkan karena keinginan menjadi menarik bagi orang lain. Selain itu
dapat pula disebabkan karena perilaku tersebut menyennagkan,
meningkatkan remaja untuk mengatasi stres, dan mencari sensasi padahal
semua kompromi perilaku sehat setidaknya menjadi satu penyebab utama
kematian atau penyakit kronis.
c. Berkembang secara bertahap
Kompromi perilaku sehat dapat berkembang secara bertahap dimulai
dengan mencoba perilaku tersebut, kemudian individu terlibat secara
teratur dalam melakukan perilaku (kompromi perilaku sehat). Sehingga
banyak kompromi perilaku sehat menggambarkan suatu proses yaitu pada
tahap awal hanya terjadi kerentanan, kemudian individu mencoba
melakukan kompromi perilaku sehat dan akhirnya menjadi kebiasaan dan
menganggap hal tersebut biasa, sehingga sering dilakukan.
d. Penyalahgunaan
Individu yang melakukan penyalahgunaan zat dari berbagai jenis baik
rokok, makanan, alkohol atau narkoba. Dapat pula penyalahgunaan
perilaku misalnya perilaku seksual. Semua hal ini diprediksi berasal dari
faktor yang sama yaitu konflik dengan orang tua dan rendahnya self-
control. Termasuk juga dengan remaja yang cenderung melakukan
penyimpangan dan sikap yang rendah diri akan menunjukkan kompromi
perilaku sehat. Remaja yang sekolah sambil bekerja memiliki peningkatan
risiko minuman alkohol, rokok, dan penyalahgunaan ganja. Remaja yang
melakukannya cenderung memiliki perilaku yang buruk di lingkungan
sekolah. Mulai dari masalah keluarga, penyimpangan, rendah diri
merupakan faktor pemicu. Juga termasuk ketika individu mencapai
pubertas dini, memiliki IQ rendah, temperamen keras, dan sikap yang
toleran terhadap penyimpangan akan memprediksi perilaku kesehatan
yang buruk.

B. Perilaku Bermasalah
Taylor (2015) menegmukakan bahwa kompromi terhadap perilaku sehat
akan menimbulkan perilaku bermasalah yang bertahan lama dan sulit
dihentikan. Melakukan praktik kompromi perilaku sehat merupakan satu
alasan kelas sosial sangat berhubungan dengan penyebab penyakit dan
kematian. Hal ini disebabkan karena individu yang berada pada kelas sosial
bawah melakukan perilaku bermasalah sebagai bentuk coping terhadap
stressor. Taylor (2015) menegmukakan bahwa Perilaku bermasalah dapat
meliputi obesitas, merokok, dan alkohol. Berikut uraian penjelasan:

1. Obesitas
a. Definisi dan karakteristik
Obesitas merupakan kelebihan dari berat badan akumutalif. Pada
umumnya berat badan berkisar antara 20-27% dari tinggi pada wanita dan
15-22% pada pria. Obesitas menjadi masalah utama yang menggantikan
masalah malnutrisi sebagai kontributor penyebab rendahnya kesehatan
dunia bahkan di masa yang akan datang dapat menjadi wabah penyakit
dan kematian lebih dari merokok. Obesitas menjadi berbahaya karena
merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan banyak
penyakit. Obsesitas menjadi penyebab tingginya tingkat kematian pada
semua penderita kanker termasuk kanker spesifik seperti kanker kolon,
rektum, liver, pankreas, dsb.
b. Faktor penyebab (Taylor, 2015)
- Ekonomi sosial (SES) dan budaya
Gallo (Taylor 2015) mengemukakan bahwa faktor risiko obesitas
meliputi kelas sosial dan budaya. Perempuan Amerika dan Afrika yang
memiliki kelas sosial rendah lebih mudah terserang obesitas.
Sedangkan pada laki-laki bukan disebabkan oleh SES. Orang lebih
kurus dapat digambarkan sebagai orang yang memiliki level SES yang
tinggi dan dari negara maju.
- Stres
Stres dapat memengaruhi pola makan meskipun setiap orang memiliki
cara yang berbeda. Sebagian orang makan lebih banyak ketika berada
dalam tekanan dan sebagian lainnya makan lebih sedikit. Orang yang
memiliki tidak menjaga tubuh, stres atau kecemasan dapat
menyebabkan masalah psikologis. Stres dan kecemasan tidak
menghalangi konsumsi makanan tetapi yang menjadi penyebabnya
adalah kurangnya self-control.
c. Intervensi
Kebanyakan orang mengobati obesitas dengan berbagai kebiasaan sehat.
Berikut ini contoh intervensi
- Dieting
Program menurunkan berat badan dimulai dengan perawatan diet.
Individu dilatih untuk membatasi kalori dan karbohidrat yang
dikonsumsi. Namun makanan tetap disajikan untuk menjamin
konsumsi makanan yang tepat. rajin berolahraga dan memakan
makanan yang berasal dair tumbuhan dapat membantu menjaga tubuh
tetap langsing.
- Surgery
Prosedur operasi untuk mengobati obesitas digambarkan sebagai cara
yang ekstrim. Dilakukan operasi pada perut untuk mengurangi
kapasitas penampung makanan, sehingga berat badan individu tidak
lebih. Konseuensi dari prosedur operasi adalah mengalami masalah
kesehatan yang lebih komplikatif.
- CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
Banuak intervensi obesitas menggunakan CBT untuk mengurangi
perilaku makan yang maladaptif. Pertama dilakukan dengan screening.
Program dimulai dengan penyaringan orang yang bersedia
menurunkan berat badannya dan motivasinya dari diri sendiri.
Kemudian melakukan self-monitoring. Klien dilatih untuk memonitor
diri sendiri dalam mengetahui apa yang dia makan. Menjadikan klien
peduli dengan apa yang dimakan dan membuatnya bekerja keras untuk
menurunkan berat badan. Banyak klien yang terkejut dengan hasil
monitoringnya terkait apa, kapan, dan seberapa banyak yang mereka
sebenarnya makan. Kemudian melakukan kontrol terhadap stimulus
yaitu dnegan melatih klien untuk memodifikasi lingkungan yang dapat
menyebabkannya makan berlebih dengan cara memodifikasi konsumsi
makanannya. Selanjutnya mengontrol makanan dapat dilakukan
dengan memakan makanan secara perlahan, sehingga mencega mulut
mengunya lebih banyak makanan. Kemudian self reinforcement yaitu
dengan memberikan positif reinforcement ketika sukses melakukan
satu program. Dan kemudian adalah controlling self-talk yaitu
melakukan rekonstruksi kognitif. Melakukan olahraga, self
management dan meminta dukungan sosial karena individu yang
memiliki dukungan sosial kuat akan lebih sukses menjalankan program
penurunan berat badannya.
d. Gangguan Makan
Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami gangguan parah
dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan
ekstrem atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita
atau keprihatinan tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Gangguan
makan meliputi (American Psychiatric Association /APA, 2005) :
- Anorexia nervosa
Dalam istilah, anorexia berarti hilang selera makan dan nervosa berarti
ada sebab emosional yang menyebabkan selera makan menjadi hilang.
Akan tetapi, pada kenyataannya, anorexia nervosa tidak kehilangan
keinginan untuk makan. Penderita anorexia nervosa sengaja
melaparkan diri.
- Bulimia
Dalam bahasa Yunani, Bulimia berarti “lapar seperti sapi jantan”.
Gangguan seperti ini menyebabkan penderitanya makan dalam jumlah
besar dan banyak diikuti dengan mengeluarkan makanan dengan cara
memuntahkan, berpuasa, atau olahraga secara berlebihan untuk
menghindari naiknya berat badan. Bullimia negatif biasanya
penderikan akan makan dalam jumlah dilakukan secara diam-diam
karena dipicu oleh stres dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkan
hingga ia menjadi sangat kekenyangan (Grillo, Shiffmant, dan Carter-
Campbell dalam Davison, Neale dan Kring, 2012). Suatu studi
menunjukkan bahwa ditemukan penderita bullima nervosa akan lebih
memungkinkan untuk makan banyak disaat sedang sendiri dan pada
saat pagi atau siang hari. Selain itu, penderita bullimia akan
menghindari makanan yang disukainya selama satu hari setelah
episode makan sepuasnya di hari yang lain (Waters, Hill, & dan Waller
2011 dalam Davison, Neale & Kring, 2012). Bagai studi lain telah
membuktikan bahwa makan berlebihan akan mungkin terjadi setelah
inraksi sosial yang negatif atau adanya persepsi atas hubungan sosial
yang negatif.

2. Alkohol
a. Definisi dan karakteristik
DSM-IV-TR membedakan antara ketergantungan alkohol dan
penyalahgunaan alkohol. Istilah penyalahgunaan sering kali digunakan
untuk merujuk kedua aspek konsumsi alkohol yang berlebihan dan
berbahaya. Orang-orang yang tergantung pada alkohol secara umum
memiliki simtom-simtom gangguan seperti toleransi atau putus zat.
(Schuckit dkk 1998). Efek pemutusan total alkohol pada peminum kronis
dan berat dapat cukup dramatis karena tubuh telah terbiasa dengan zat
tersebut. Secara subjektif, orang yang bersangkutan sering kali mengalami
kecemasan, depresi, lemah, tidak dapat diam, dan tidak dapat tidur.
Tremor otot, terutama otot-otot kecil dijari, wajah, kelopak mata, bibir,
dan lidah dapat terlihat jelas dan denyut nadi, tekanan darah, serta suhu
tubuh meningkat. Seseorang yang telah menjadi peminum berat selama
beberapa tahun juga dapat mengalami Delirium Tremens (DTS) bila kadar
alkohol di dalam darah mendadak turun. Orang yang bersangkutan
mengalami delirium dan tremor serta halusinasi yang utamanya visual,
namun dapat juga taktil. Delirium dan penyakit fisiologis dadakan yang
disebabkan oleh putus alkohol mengindikasikan bahwa orang tersebut
mengalami kecanduan. Alkohol memiliki efek yang sifatnya “biphasic”.
Efeknya mula-mula adalah meningkatkan (stimulant); dimana orang yang
meminumnya akan mengalami peningkatan perasaan -merasa lebih
mampu bersosialisasi dan lebih sejahtera seiring dengan meningkatnya
kadar alcohol dalam darah. Namun setelah tingkatan alcohol tersebut
mencapai puncak dan mulai menurun, alcohol memiiki efek depresan,
yaitu meningkatkan emosi negative. Jumlah alcohol yang besar juga dapat
menggangu proses berpikir yang lebih kompleks, keseimbangan
koordinasi motorik, pembicaraan, dan penglihatan (Davison, Neale, dan
Kring, 2012).
Pengaruh alkohol dalam tubuh terkait dengan interaksinya dengan
beberapa system syaraf dalam tubuh. Alkohol menstimulasi reseptor
GABA, yang dapat menimbulkan efek turunnya ketegangan. Alkohol juga
meningkatkan Serotonin dan Dopamin, dan hal ini dapat menimbulkan
efek menyenangkan yang dirasakan individu. Akhirnya alkohol
menghambat reseptor Glutamat yang dapat menyebabkan efek intoksikasi
alcohol pada kemampuan kogniti, seperti bicara tidak jelas dan hilangnya
ingatan.

Menurut Jellinek (Davidson, Neale, & Kring, 2012) untuk mencapai


tahap ketergantungan terhadap alkohol, biasanya individu mengalami
beberapa tahapan :

- Tahapan pra-alkoholik: Individu kadang-kadang minum pada acara


tertentu, dan belum ada konsekuensi serius yang ditimbulkan.
- Tahapan prodromal: Individu minum dalam jumlah banyak namun
belum tampak gejala masalah yang dapat diamati dari luar.
- Tahapan krusial: Hilangnay kontrol terhadap perilaku minum alkohol,
dan kadang-kadang indiidu minum secara sangat berlebihan.
- Tahapan kronis: Aktivitas primer individu sepanjang hari adalah
seputar memperoleh dan meminum alkohol.
b. Faktor penyebab
Davidson, Neale, dan Kring, (2012) mengemukakan bahwa etiologi
penyalahgunaan zat adalah :
Variabel Sosiokultural
- Pengaruh Teman Sebaya
- Pengaruh Genetik
- Pola Asuh
- Pengaruh Media Dan Jenis Perilaku
- Lingkungan Sosial
- Variabel Keluarga -- Pangawasan Orang Tua
- Pengaruh Kalornpok Sabaya
Variabel Psikologis
- Pengaruh alkohol pada mood: dapat menguatkan mood positive
maupun negatif.
- Keyakinan tentang prevalensi penggunaan obat dan berbagai risiko
kesehatan yang dikaitkan dengan obat tersebut: sejauh mana seseorang
meyakini bahwa suatu obat berbahaya dan prevalensi penggunaan
yang dilihatnya pada orang lain. Meningkatnya penggunaan mariyuana
secara dramatis pada tahun 1990-an terutama terjadi di kalangan
remaja yang menganggap mariyuana tidak berbahaya. Banyak perokok
yang tidak yakin bahwa mereka mengalami peningkatan risiko
terhadap kanker atau penyakit kardiovaskular.
- Karakteristik kepribadian yang dapat membuat beberapa orang lebih
mungkin menggunakan obat-obatan secara berlebihan.
c. Intervensi CBT
Taylor (2015) mengemukakan bahwa pada terapi perilaku individu
diajarkan cara untuk mengurangi kecemasan, antara lain dengan pelatihan
relaksasi, asertivitas, keterampilan control diri, dan strategi baru untuk
dapat menguasai lingkungan. Mereka juga diberi beberapa program
kondisioning untuk mengubah pola minum atau menghentikann kebiasaan
minum. Cara lain menurut Davison, Neale, dan Kring (2012) adalah
melalui terapi aversif; dimana orang tersebut mendapat hukuman (berupa
kejutan atau rasa mual) apabilan melihat, mencari, atau berusaha minum
alkohol. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan mengajarkan
pasien untuk mengontrol kebiasaan minum mereka dengan cara sebagai
berikut :

- Stimulus control; pasien mempersempit situasi dimana mereka boleh


minum.
- Modifikasi topografi minum (misalnya hanya seteguk, bukan
menghabiskan 1 sloki).
- Memberi imbalan jika berhasil berhenti.

3. Merokok
a. Definisi dan karakteristik
Davison & Neale (2001) mengemukakan bahwa nikotin adalah zat
dalam tembakau yang menyebabkan kecanduan. Zat tersebut merangsang
berbagai reseptor nikotinik di dalam otak. Jalur-jalur neural yang
terakivasi merangsang neuron-neuron dopamin di daerah mesolimbik yang
tampaknya berperan dalam menghasilkan atau menguatkan efek sebagian
besar obat-obatan kimia. Beberapa pemikiran mengenai kemampuan
tembakau untuk menyebabkan kecanduan dapat. dinilai dengan
mempertimbangkan seberapa besar pengorbanan yang dilakukan orang-
orang untuk dapat tetap mengisapnya. Komponen yang kemungkinan
paling berbahaya dalam asap tembakau adalah nikotin, karbon monoksida,
dan yang terakhir terutama mengandung beberapa hidrokarbon tertentu,
yang banyak di antaranya disebut karsinogen.

b. Faktor penyebab
- Lingkungan
Penyebab dari lingkungan dapat beraneka ragam salah satunya dalah
pengaruh teman sebaya. Kebanyakan individu merokok karena tekanan
dari teman sebaya yang juga perokok. Individu akan merokok ketika
berada bersama teman-temannya. Selain itu penyebabnya adalah
peraturan yang tidak disiplin. Misalnya di sekolah yang tidak
menerapkan larangan merokok akan membuat siswa mencoba untuk
merokok. Faktor lain adalah dari keluarga. Jika orang tua seorang anak
merokok, maka anaknya pun cenderung mengikuti.
- Identitas diri
Secara ideal, identitas diri yang baik dipersepsikan oleh kebanyakan
remaja adalah mereka yang dekat dengan rokok atau seorang perokok.
Individu yang memiliki self esteem rendah, lingkungan yang terisolasi,
cenderung mengikuti kebanyak perilaku orang lain yaitu dengan
merokok. Namun di sisi lain, identitas diri dapat dijadikan sebagai cara
untuk berhenti dari merokok. Individu yang telah membangun identitas
diri yang baik akan mengikuti aturan dengan tidak merokok.
c. Intervensi
- Menerapkan perilaku yang menolakrokok
Media menjadi sarana yang masif dan efektif untuk memberikan
edukasi kepada orang agar berhenti merokok. Banyak orang yang
mengetahui konsekuensi negatif dari merokok, sehingga hal ini bisa
menjadi pesan agar orang lain tidak merokok.
- Dukungan sosial dan stres management
Lingkungan sosial yang mendukung individu untuk tidak meroko akan
membuat motivasi untuk berhenti merokok semakin kuat. Karena
meroko dapat disebabkan oleh stres, maka melakukan manajemen stres
dapat membantu individu untuk berhenti merokok.
DAFTAR PUSTAKA

Conner, M. (2002). Health behaviors. UK:University of Leeds.

Davidson, G.C, Neale, J.M & Kring, A.M. 2012. Psikologi Abnormal, 9th Edition.
Depok: Rajawali Pers.

Rahmadian, S. (2011). Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Perilaku


Sehat Mahasiswa Beberapa Perguruan Tinggi di Tangerang Selatan. Skripsi.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Taylor, S. E. (2015). Health Psychology 9th. New York: McGraw-Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai