Anda di halaman 1dari 36

PSIKOLOGI KESEHATAN

PERILAKU DAN PERUBAHAN PERILAKU YANG MEMPENGARUHI


STATUS KESEHATAN

Disusun oleh :

Kelompok 3

Aditya Rahman (10516227)


Amelia Septiani (10516704)
Intan Pertiwi (13516545)
Nabila Rahma Dewi (15516217)
Yayang Apgi S (17516734)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2019
1. Perilaku yang dapat meningkatkan Kesehatan dan mengganggu
Kesehatan
Menurut Sassen (2018) perilaku kesehatan dapat dibagi menjadi dua yaitu:
perilaku yang mengganggu kesehatan dan perilaku yang meningkatkan
kesehatan.
a. Perilaku yang mengganggu kesehatan memiliki efek negatif pada kesehatan
atau mengakibatkan seseorang terkena masalah kesehatan. Contoh perilaku
yang mengganggu kesehatan adalah tingkat konsumsi lemak yang terlalu
tinggi, atau menggunakan obat yang tidak sesuai dengan resep.
b. Perilaku yang meningkatkan kesehatan mengarah pada manfaat kesehatan
atau melindungi seseorang terhadap kemunculan atau memburuknya
masalah kesehatan. Contoh perilaku yang meningkatkan kesehatan adalah
aktif secara fisik atau menjaga keseimbangan antara aktivitas dan istirahat /
tidur.

Seorang ahli (Becker, 1979) membuat klasifikasi tentang perilaku


kesehatan. Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya
atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya. Perilaku ini mencakup antara lain:

a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). Menu seimbang di sini


dalam arti kualitas (mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh), dan
kuantitas dalam arti jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh
(tidak kurang, tetapi juga tidak lebih). Setara kualitas mungkin di
Indonesia dikenal dengan ungkapan empat sehat lima sempurna.
b. Olahraga teratur, yang juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas
dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. Dengan
sendirinya kedua aspek ini akan tergantung dari usia, dan status kesehatan
yang bersangkutan
c. Tidak merokok. Merokok adalah kebiasaan jelek yang mengakibatkan
berbagai macam penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok ini, khususnya di
Indonesia seolah/olah sudah membudaya. Hampir 50% penduduk
Indonesia usia dewasa merokok, bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar
15% remaja kita telah merokok. Inilah tantangan pendidikan kesehatan
kita.
d. Tidak minum/minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minuman keras dan
mengkonsumsi narkoba (narkotika dan bahan/bahan berbahaya lainnya)
juga cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa
diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minuman keras ini.
e. Istirahat cukup, dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan
untuk penyesuaian lingkungan modern, mengharuskan orang untuk
bekerja keras dan berlebihan, sehingga kurang waktu istirahat. Hal ini
dapat juga membahayakan kesehatan.
f. Mengendalikan stres. Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya
bermacam/macam bagi kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntutan
hidup yang keras seperti diuraikan di atas. Kecenderungan stres akan
meningkat pada setiap orang. Stres tidak dapat kita hindari, maka yang
penting agar stres tidak menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus
dapat mengendalikan atau mengelola stres dengan kegiatan/kegiatan yang
positif.
g. Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya : tidak
berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita
dengan lingkungan, dan sebagainya.

2. Pengertian Diet Sehat dan Pola Makan Sehat


Diet sehat adalah diet yang membantu menjaga atau meningkatkan
kesehatan secara keseluruhan. Diet sehat memberi tubuh nutrisi penting:
cairan, makronutrien, mikronutrien, dan kalori yang cukup (Lean, 2015). Diet
sehat sangat penting untuk kesehatan dan nutrisi yang baik. Ini melindungi
Anda terhadap banyak penyakit kronis yang tidak menular, seperti penyakit
jantung, diabetes, dan kanker. Makan berbagai makanan dan mengurangi
konsumsi garam, gula, dan lemak jenuh yang diproduksi oleh industri, sangat
penting untuk diet sehat (World Health Organization, 2019).
Sizer, Webb dan Whitney (2006) menjelaskan tentang indikator diet sehat
sebagai berikut:

a. Asupan makanan tetap mengikuti pedoman piramida makanan.


b. Frekuensi makan tetap 3 kali sehari dan menghindari makan di malam
hari.
c. Penurunan berat badan tidak boleh terlalu cepat. Tidak boleh lebih dari 2
pon/minggu agar tidak menimbulkan stress pada tubuh.
d. Diet harus sesuai dengan kondisi individu, tidak menimbulkan rasa lelah
dan lapar. Kecukupan energi dipertahankan 1200 – 1500 kkal/hari agar
tidak terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
e. Menghindari produk – produk yang menjanjikan dapat menurunkan berat
badan dengan cepat.
f. Melakukan olahraga teratur yaitu 30 menit/ hari selama 5 hari/minggu.
g. Setelah berat badan yang diingikan tercapai sebaiknya mempertahankan
pola hidup sehat.

Deskripsi pola makan sehat cenderung menggambarkan makanan dalam


hal kelompok makanan yang lebih luas dan membuat rekomendasi untuk
konsumsi relatif masing-masing kelompok ini.
a. Buah dan sayuran: berbagai macam buah dan sayuran harus dimakan,
lebih disarankan lima porsi atau lebih harus dimakan per hari.
b. Roti, pasta, sereal dan kentang lainnya: karbohidrat kompleks harus
dimakan banyak, lebih disarankan yang kaya serat.
c. Daging, ikan, dan alternatif: daging, ikan, dan alternatif harus dimakan
dalam jumlah sedang dan direkomendasikan agar varietas rendah lemak
yang dipilih.
d. Susu dan produk susu: harus dimakan dalam jumlah sedang dan
disarankan rendah lemak harus dipilih jika memungkinkan.
e. Makanan berlemak dan manis: makanan seperti keripik, permen, dan
minuman manis harus dimakan jarang dan dalam jumlah kecil.

3. Pengaruh Diet Terhadap Kesehatan


Diet merupakan kegiatan yang sedang menjadi tren bagi kebanyakan orang
dari jaman dulu hingga sekarang, terutama bagi yang memiliki kelebihan berat
badan. Tidak bisa dipungkiri bahwa diet masih disalah artikan oleh banyak
orang. Banyak yang menganggap diet itu adalah memangkas waktu makan atau
bahkan tidak makan sama sekali agar berat badan cepat turun. Ini adalah
anggapan yang sama sekali tidak benar.
Diet yang sebenarnya adalah mengatur pola makan dan memilah jenis
makanan sehat yang seharusnya dikonsumsi untuk menunjang penurunan berat
badan. Pelaku diet pada umumnya yang sangat takut memiliki badan yang
gemuk, sering kali tidak memperhatikan mengenai diet yang sehat, sehingga
diet yang dilakukannya jauh dari hidup sehat. Gangguaan kesehatan yang
sering dialami jika salah melakukan program diet tersebut biasanya terjadi
setelah diet tersebut sudah dijalankan selama waktu tertentu.
Pengaturan pola makan adalah hal terpenting dalam menjalankan diet.
Keseimbangan antara kebutuhan nutrisi dan jumlah energi yang dibakar dalam
tubuh harus seimbang sehingga akan menghasilkan berat badan yang ideal
pula. Kebiasaan hidup sehat terutama berolahraga juga sangat menunjang
keberhasilan diet. Diet yang dilakukan hanya dengan mengurangi jumlah
makan atau bahkan tidak makan sama sekali, jika tidak diimbangi dengan
kebiasaan hidup sehat dan pola makan yang benar, hanya akan memberikan
gangguan kesehatan pada tubuh.
Diet yang dilakukan secara benar akan membuat berat badan menjadi
ideal, kesehatan dan daya tahan tubuh juga akan meningkat. Keseimbangan
jiwa dan raga akan berpengaruh juga terhadap otak sehingga daya pikir juga
akan meningkat ke hal yang positif. Diet yang sebenarnya adalah mengatur
pola makan dan memilah jenis makanan sehat yang seharusnya dikonsumsi
untuk menunjang penurunan berat badan.

Adapun manfaat-manfaat dari diet tersebut:

a. Diet dapat menurunkan dan menaikkan berat badan. Banyak orang yang
salah pengertian akan diet. Banyak yang mengganggap diet hanyalah
program untuk menurunkan berat badan, namun nyatanya diet dapat di
lakukan untuk menaikkan berat badan, hingga mendapatkan berat badan
yang ideal.
b. Diet dapat meningkatkan metabolisme tubuh
c. Diet berguna untuk menyeimbangkan pola makan sehari-hari
d. Diet dapat mengguatkan tulang seringnya kegemaran orang dalam
mengkonsumsi daging tanpa menyeimbangkannya dengan buah dan
sayuran mengakibatkan kadar protein berlebihan yang dapat mengganggu
ginjal. Akibatnya, penyerapan kalsium terganggu dan memaksa tubuh
mengambil kalsium dari tulang. Namun saat seseorang melakukan diet, hal
ini tidak terjadi.
e. Memperlancar pencernaan pada saat melakukan diet karbohidrat
kompleks dalam tubuh seseorang dicerna secara berangsur-angsur dan
teratur sehingga menyediakan sumber glukosa tetap. Inilah yang akhirnya
memperlancar pencernaan seseorang.
f. Diet dapat menyehatkan kulit saat seseorang melakukan diet yang mana
lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah-buahan, membuat banyaknya
vitamin alami yang masuk ketubuh. Itulah yang akhirnya membuat kulit
menjadi sehat. Bahkan pada beberapa buah yang kulitnya dapat di
konsumsi dapat membuat kulit tampah lebih cerah.

Berdasarkan Jurnal Physiology of Gastrointestinal and Liver Physiology,


seringnya berat badan seseorang mengalami naik dan turun, ternyata juga
berpengaruh negatif pada organ hati.

a. Kerusakan Hati
Berat badan yang tidak stabil dapat meningkatkan kandungan lemak
pada hati. Hal tersebut dapat membawa seseorang kepada risiko yang lebih
tinggi terhadap penyakit-penyakit degeneratif yang berhubungan dengan
organ hati.
b. Kerontokan Rambut
Diet yang buruk dapat menyebabkan ketidak seimbangan nutrisi yang
malah membuat tubuh anda tidak sehat. Salah satu tandanya adalah
terjadinya kerontokan rambut yang berlebihan.
c. Kerusakan pada organ lambung
Seringnya seseorang bergonta-ganti pola diet karena kurangnya
pengetahuan tentang pola diet itu sendiri dapat menimbulkan penyakit
pada lambung seperti maag dan asam lambung tinggi.
d. Mengurangi daya otak (daya kognisi)
Diet yang buruk dan tidak memperhatikan nutrisi dapat mengurangi
daya kecerdasan otak karena suplai energy tubuh yang berkurang.
e. Mengurangi kepadatan tulang
Setiap kali berat Anda turun, Anda juga kehilangan kepadatan tulang.
Menyebabkan Anda rentan terhadap patah tulang.Satu episode penurunan
berat badan yang tiba-tiba dilanjutkan dengan kenaikan berat badan yang
cepat dapat meningkatkan kemungkinan berkembangnya penyakit pada
tulang seperti osteoporosis.
Pola makan berkaitan dengan kesehatan dalam dua cara yaitu dengan
memengaruhi timbulnya penyakit dan bagian dari treatment serta manajemen
setelah penyakit didiagnosis.

Diet dan onset penyakit

Diet memengaruhi kesehatan melalui berat badan individu dalam hal


perkembangan gangguan makan atau obesitas. Gangguan makan berkaitan
dengan masalah fisik seperti penyakit jantung, serangan jantung, pertumbuhan
terhambat, osteoporosis dan reproduksi. Obesitas berkaitan dengan diabetes,
penyakit jantung, dan beberapa penyakit kanker. Selain itu, beberapa penelitian
menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara diet dan penyakit
seperti penyakit jantung, kanker dan diabetes. Banyak penelitian telah
membahas peran diet dalam kesehatan meskipun terkadang kontroversial,
penelitian menunjukkan bahwa makanan seperti buah dan sayuran, ikan
berminyak dan serat oat dapat mencegah penyakit, sementara garam dan lemak
jenuh dapat memudahkan kesehatan yang buruk.

Diet dan mengobati penyakit

Diet juga memiliki peran dalam mengobati penyakit setelah didiagnosis.


Pasien obesitas sebagian besar dikelola melalui intervensi berbasis makanan.
Pasien yang didiagnosis dengan angina, penyakit jantung atau setelah serangan
jantung juga dianjurkan untuk mengubah gaya hidup mereka dengan perhatian
khusus seperti berhenti merokok, meningkatkan aktivitas fisik mereka dan
menerapkan pola makan yang sehat. Perubahan diet juga penting bagi
manajemen diabetes tipe 1 dan tipe 2. Kadang-kadang ini bertujuan untuk
menghasilkan penurunan berat badan karena penurunan 10 persen berat badan
telah terbukti menghasilkan peningkatan metabolisme glukosa. Intervensi diet
juga digunakan untuk meningkatkan manajemen diabetes secara mandiri dan
bertujuan untuk mendorong pasien diabetes untuk mematuhi diet yang lebih
sehat.
4. Model teori perilaku diet (developmental of eating behavior- exposure-
social learning & associative learning), cognitive theories (motivation &
social cognition model) dan weight concern & the role of body
dissatisfaction & restrained eating)

Model Perkembangan Perilaku Makan

Pendekatan perkembangan perilaku makan menekankan pentingnya


belajar dan pengalaman dan berfokus pada pengembangan preferensi makanan
di masa kecil. Model Perkembangan Perilaku Makan Pendekatan
perkembangan perilaku makan menekankan pentingnya belajar dan
pengalaman dan berfokus pada pengembangan preferensi makanan di masa
kecil. Perintis awal penelitian ini adalah Davis (1928), yang melakukan
penelitian terhadap bayi dan anak kecil yang tinggal di bangsal pediatri di AS
selama beberapa bulan. Pekerjaan itu dilakukan pada saat kebijakan pemberian
makan saat ini mendukung rezim pemberian makan yang sangat terbatas dan
Davis tertarik untuk memeriksa respons bayi terhadap makanan pilihan sendiri.
Dia mengeksplorasi apakah ada ‘cara naluriah untuk menangani masalah
nutrisi optimal’. Anak-anak ditawari beragam 10 hingga 12 makanan sehat
yang disiapkan tanpa gula, garam, atau bumbu dan bebas untuk makan apa pun
yang mereka pilih. Laporan terperinci dari penelitian ini menunjukkan bahwa
anak-anak dapat memilih makanan yang konsisten dengan pertumbuhan dan
kesehatan dan bebas dari masalah makan. Hasil dari penelitian ini
menghasilkan teori 'kebijaksanaan tubuh' yang menekankan preferensi
makanan bawaan tubuh. Sejalan dengan ini, Davis menyimpulkan dari datanya
bahwa anak-anak memiliki mekanisme pengaturan bawaan dan dapat memilih
makanan yang sehat. Dia juga, bagaimanapun, menekankan bahwa mereka
hanya dapat melakukannya selama makanan sehat tersedia dan berpendapat
bahwa preferensi makanan anak-anak berubah dari waktu ke waktu dan
dimodifikasi oleh pengalaman.
Exposure
Manusia perlu mengkonsumsi berbagai makanan untuk memiliki diet
seimbang dan belum menunjukkan rasa takut dan menghindari bahan makanan
baru yang disebut neophobia. Ini disebut 'paradoks omnivora' (Rozin 1976).
Karena itu anak-anak kecil akan menunjukkan respons neofobik terhadap
makanan tetapi harus datang untuk menerima dan mengonsumsi makanan yang
awalnya tampak mengancam. Penelitian telah menunjukkan bahwa paparan
terhadap makanan baru dapat mengubah preferensi anak-anak. Misalnya, Birch
dan Marlin (1982) memberi anak-anak 2 tahun makanan baru selama periode
enam minggu. Satu makanan disajikan 20 kali, satu 10 kali, satu 5 kali
sementara yang lain tetap novel. Hasil menunjukkan hubungan langsung antara
paparan dan preferensi makanan dan menunjukkan bahwa minimal sekitar 8
hingga 10 paparan diperlukan sebelum preferensi mulai bergeser secara
signifikan. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa dampak pajanan
terhadap makanan baru bersifat akumulatif: jika semakin banyak makanan baru
ditambahkan ke dalam makanan, mereka mengambil lebih sedikit eksposur
sebelum mereka dapat diterima (Williams et al. 2008). Wardle et al. (2003)
melakukan uji coba yang melibatkan mengidentifikasi sayuran yang paling
tidak disukai pada anak usia 2-6 tahun dan kemudian menugaskan mereka ke
salah satu dari tiga kelompok: paparan, informasi atau kontrol. Hasilnya
menunjukkan bahwa setelah 14 hari, mereka yang berada dalam kelompok
paparan, yang melibatkan paparan harian terhadap sayuran, makan lebih
banyak sayuran dalam uji rasa dan melaporkan peringkat yang lebih tinggi dari
menyukai dan peringkat dibandingkan dengan dua kelompok lainnya.
Demikian pula, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dapat
mengidentifikasi dan mau mencicipi sayuran jika orang tua mereka
membelinya (Busick et al. 2008). Eksposur sederhana karena itu dapat
mengubah asupan dan preferensi.
Neophobia telah terbukti lebih besar pada pria daripada wanita (baik orang
dewasa maupun anak-anak), untuk menjalankan dalam keluarga (Hursti dan
Sjoden 1997), menjadi minimal pada bayi yang disapih menjadi makanan padat
tetapi lebih besar pada balita, anak-anak prasekolah dan orang dewasa (Birch et
al. 1998). Neophobia kadang-kadang disebut sebagai 'pemilih makanan' atau
'pemakan rewel' dan dapat diukur menggunakan kuesioner (MacNicol et al.
2003). Satu penjelasan hipotesis untuk dampak pajanan adalah pandangan
'keamanan yang dipelajari' (Kalat dan Rozin 1973) yang menunjukkan bahwa
preferensi meningkat karena makan makanan tidak menghasilkan konsekuensi
negatif. Saran ini telah didukung oleh penelitian yang mengekspos anak-anak
baik untuk hanya melihat makanan atau untuk melihat dan merasakan
makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melihat makanan baru tidak
cukup untuk meningkatkan preferensi dan rasa itu diperlukan (Birch et al.
1987). Hipotesis paparan juga didukung oleh bukti yang menunjukkan bahwa
neophobia berkurang dengan bertambahnya usia (Birch 1989).

Pembelajaran sosial
Pembelajaran sosial menggambarkan dampak dari mengamati perilaku
orang lain pada perilaku seseorang dan kadang-kadang disebut sebagai
'pemodelan' atau 'pembelajaran observasional'. Ini telah dieksplorasi dalam hal
teman sebaya, orang tua dan media.
a. Teman sebaya
Sebuah studi awal mengeksplorasi dampak 'saran sosial' pada perilaku
makan anak-anak dan mengatur agar anak-anak mengamati serangkaian
model peran yang terlibat dalam perilaku makan yang berbeda dengan
perilaku mereka sendiri (Duncker 1938). Model yang dipilih adalah anak-
anak lain, orang dewasa yang tidak dikenal dan pahlawan fiksi. Hasilnya
menunjukkan perubahan yang lebih besar dalam preferensi makanan anak
jika modelnya adalah anak yang lebih tua, teman atau pahlawan fiksi. Orang
dewasa yang tidak dikenal tidak memiliki dampak pada preferensi makanan.
Dalam penelitian lain, pemodelan sebaya digunakan untuk mengubah
preferensi anak-anak terhadap sayuran (Birch 1980). Pada akhir penelitian,
anak-anak menunjukkan perubahan preferensi sayuran mereka yang
bertahan pada penilaian tindak lanjut beberapa minggu kemudian. Dampak
pembelajaran sosial juga telah ditunjukkan dalam studi intervensi yang
dirancang untuk mengubah perilaku makan anak-anak menggunakan
pemodelan peer berdasarkan video (Lowe et al. 1998). Serangkaian
penelitian ini menggunakan materi video 'dudes makanan', yang adalah
anak-anak yang lebih tua dengan antusias mengonsumsi makanan yang
ditolak, yang ditunjukkan kepada anak-anak dengan riwayat penolakan
makanan. Hasil menunjukkan bahwa paparan 'dudes makanan' secara
signifikan mengubah preferensi makanan anak-anak dan secara khusus
meningkatkan konsumsi buah dan sayuran. Preferensi makanan karena itu
berubah melalui menonton orang lain makan.
b. Orangtua
Sikap orang tua terhadap perilaku makan dan makan juga penting bagi
proses pembelajaran sosial. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa
remaja lebih cenderung makan sarapan jika orangtua mereka melakukannya
(Pearson et al. 2009) dan bahwa makan emosional sesuai dengan remaja dan
orang tua mereka (Snoek et al. 2007). Klesges et al. (1991) menunjukkan
bahwa anak-anak memilih makanan yang berbeda ketika mereka diawasi
oleh orang tua mereka dibandingkan dengan ketika mereka tidak, dan
Olivera et al. (1992) melaporkan korelasi antara asupan makanan ibu dan
anak-anak untuk sebagian besar nutrisi pada anak-anak prasekolah, dan
menyarankan agar orang tua menargetkan untuk mencoba meningkatkan
diet anak-anak. Demikian juga, Contento et al. (1993) menemukan
hubungan antara motivasi kesehatan ibu dan kualitas diet anak-anak, dan
Brown dan Ogden (2004) melaporkan korelasi yang konsisten antara orang
tua dan anak-anak mereka dalam hal asupan makanan ringan, motivasi
makan dan tubuh ketidakpuasan. Oleh karena itu perilaku dan sikap orang
tua adalah pusat dari proses pembelajaran sosial dengan penelitian yang
menyoroti hubungan positif antara diet orang tua dan anak-anak.
Namun, ada beberapa bukti bahwa ibu dan anak tidak selalu sejalan satu
sama lain. Sebagai contoh, Wardle (1995) melaporkan bahwa ibu menilai
kesehatan lebih penting bagi anak-anak mereka daripada untuk diri mereka
sendiri. Alderson dan Ogden (1999) juga melaporkan bahwa sementara para
ibu lebih termotivasi oleh kalori, biaya, waktu dan ketersediaan untuk diri
mereka sendiri, mereka menilai nutrisi dan kesehatan jangka panjang lebih
penting bagi anak-anak mereka. Studi ini menyimpulkan bahwa prediktor
terbaik dari perilaku makan anak perempuan adalah tingkat pembatasan
makan ibu dan persepsi ibu tentang risiko putrinya menjadi kelebihan berat
badan. Singkatnya, perilaku dan sikap orang tua dapat memengaruhi
perilaku anak-anak mereka melalui mekanisme pembelajaran sosial.
Namun, asosiasi ini mungkin tidak selalu langsung dengan orang tua yang
membedakan antara mereka dan anak-anak mereka baik dalam hal motivasi
terkait makanan dan perilaku makan.
c. Media
Radnitz et al. (2009) menganalisis kandungan gizi makanan di televisi
yang ditujukan untuk anak-anak di bawah 5 tahun dan menunjukkan bahwa
makanan yang tidak sehat diberikan hampir dua kali lebih banyak waktu
tayang udara dan ditunjukkan lebih bernilai secara signifikan daripada
makanan sehat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan
anak-anak yang obesitas mengenali lebih banyak dari iklan makanan
daripada anak-anak lain dan bahwa tingkat pengakuan berkorelasi dengan
jumlah makanan yang dikonsumsi. Selain itu, semua anak makan lebih
banyak setelah terpapar iklan makanan daripada iklan non-makanan.
Demikian pula, King and Hill (2008) menunjukkan iklan anak-anak untuk
makanan sehat atau kurang sehat dan mengukur rasa lapar mereka, pilihan
makanan dan penarikan produk. Tidak ada efek yang ditemukan untuk
kelaparan atau pilihan makanan tetapi anak-anak dapat mengingat lebih
banyak hal yang kurang sehat daripada makanan sehat. Singkatnya, faktor-
faktor pembelajaran sosial adalah pusat pilihan makanan. Ini termasuk
orang-orang penting lainnya di lingkungan terdekat, khususnya teman
sebaya, orang tua, dan media, yang menawarkan informasi baru,
memberikan contoh peran dan menggambarkan perilaku dan sikap yang
dapat diamati dan dimasukkan ke dalam repertoar perilaku individu itu
sendiri.
Pembelajaran asosiatif

Pembelajaran asosiatif mengacu pada dampak dari faktor-faktor kontingen


pada perilaku. Terkadang faktor-faktor kontingen ini dapat dianggap sebagai
penguat sejalan dengan pengkondisian operan. Dalam hal perilaku makan,
penelitian telah mengeksplorasi dampak memasangkan isyarat makanan
dengan aspek lingkungan. Secara khusus, makanan telah dipasangkan dengan
hadiah, digunakan sebagai hadiah dan dipasangkan dengan konsekuensi
fisiologis. Penelitian juga mengeksplorasi hubungan antara kontrol dan
makanan. Demikian pula sebuah studi intervensi menggunakan video untuk
mengubah perilaku makan melaporkan bahwa konsumsi sayuran yang
bermanfaat meningkatkan perilaku itu (Lowe et al. 1998). Namun, pada tujuh
bulan, ketika program telah selesai, level telah kembali ke garis dasar. Satu
studi eksperimental baru-baru ini mengeksplorasi dampak dari memasangkan
gambar makanan ringan dengan potensi konsekuensi kesehatan negatif seperti
obesitas atau jantung yang tidak sehat (Hollands et al. 2011; lihat Fokus pada
Penelitian 5.1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan tidak hanya
menghasilkan sikap implisit lebih negatif terhadap makanan ringan tetapi juga
mengurangi asupan dalam tugas pilihan perilaku yang menawarkan makanan
ringan atau buah. Oleh karena itu, pilihan makanan yang bergizi dapat
mendorong makan sehat baik dengan memperkuat makanan sehat secara positif
atau memperkuat yang tidak sehat.

a. Perilaku Makan yang Bermanfaat


Beberapa penelitian telah meneliti efek dari perilaku makan yang
bermanfaat seperti "jika Anda makan sayuran, saya akan senang dengan
Anda". Misalnya, Birch et al. (1980) memberi anak makanan dalam
pergaulan dengan perhatian orang dewasa yang positif dibandingkan dengan
situasi yang lebih netral. Ini terbukti meningkatkan preferensi makanan.
Demikian pula sebuah studi intervensi menggunakan video untuk mengubah
perilaku makan melaporkan bahwa konsumsi sayuran yang bermanfaat
meningkatkan perilaku itu (Lowe et al. 1998). Selanjutnya, sebuah
intervensi memperkenalkan program makan siang sekolah 'pilihan anak-
anak' di mana anak-anak diberi token untuk makan buah atau sayuran yang
nantinya bisa ditukar dengan hadiah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
preferensi dan konsumsi meningkat pada dua minggu setelah program
(Hendy et al. 2005). Namun, pada tujuh bulan, ketika program telah selesai,
level telah kembali ke garis dasar.
Satu studi eksperimental baru-baru ini mengeksplorasi dampak dari
memasangkan gambar makanan ringan dengan potensi konsekuensi
kesehatan negatif seperti obesitas atau jantung yang tidak sehat (Hollands et
al. 2011; lihat Fokus pada Penelitian 5.1). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasangan tidak hanya menghasilkan sikap implisit lebih negatif
terhadap makanan ringan tetapi juga mengurangi asupan dalam tugas pilihan
perilaku yang menawarkan makanan ringan atau buah. Oleh karena itu,
pilihan makanan yang bergizi dapat mendorong makan sehat baik dengan
memperkuat makanan sehat secara positif atau memperkuat yang tidak
sehat.
b. Makanan sebagai Hadiah
Penelitian lain telah mengeksplorasi dampak dari menggunakan makanan
sebagai hadiah. Untuk penelitian ini, mendapatkan akses ke makanan
bergantung pada perilaku lain, seperti 'jika Anda berperilaku baik, Anda
dapat memiliki biskuit'. Birch et al. (1980) memberi anak-anak makanan
baik sebagai hadiah, sebagai camilan atau dalam situasi non-sosial (kontrol).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan makanan meningkat jika
makanan disajikan sebagai hadiah tetapi kondisi yang lebih netral tidak
berpengaruh. Ini menunjukkan bahwa menggunakan makanan sebagai
hadiah meningkatkan preferensi untuk makanan itu. Namun, hubungan
antara makanan dan hadiah tampaknya lebih rumit dari ini. Dalam sebuah
penelitian, anak-anak ditawari jus buah pilihan mereka sebagai sarana untuk
diizinkan bermain di area bermain yang menarik (Birch et al. 1982). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa menggunakan jus sebagai sarana untuk
mendapatkan hadiah mengurangi preferensi untuk jus. Demikian pula,
Lepper et al. (1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan yang
digunakan sebagai hadiah menjadi yang paling disukai, yang telah didukung
oleh penelitian serupa (lihat Birch 1999). Contoh-contoh ini analog dengan
mengatakan, "jika Anda makan sayuran, Anda bisa makan puding".
Meskipun orang tua menggunakan pendekatan ini untuk mendorong anak-
anak mereka makan sayuran, bukti menunjukkan bahwa ini mungkin
meningkatkan preferensi anak-anak mereka untuk puding lebih jauh karena
memasangkan dua makanan menghasilkan makanan 'hadiah' yang
dipandang lebih positif daripada makanan 'akses'. . Seperti yang
disimpulkan oleh Birch, 'walaupun praktik ini dapat mendorong anak-anak
untuk makan lebih banyak sayuran dalam jangka pendek, bukti dari
penelitian kami menunjukkan bahwa dalam jangka panjang upaya kontrol
orang tua mungkin memiliki efek negatif pada kualitas diet anak-anak
dengan mengurangi preferensi mereka untuk mereka. makanan (1999: 10)
Namun, tidak semua peneliti setuju dengan kesimpulan ini. Dowey
(1996) meninjau literatur yang meneliti makanan dan penghargaan dan
berpendapat bahwa bukti yang bertentangan mungkin berhubungan dengan
perbedaan metodologis antara penelitian dan bahwa penelitian yang
dirancang untuk mengubah preferensi makanan harus dilakukan dalam
situasi kehidupan nyata, harus mengukur hasil dari waktu ke waktu dan
tidak hanya pada satu titik waktu, harus melibatkan instruksi yang jelas
kepada anak-anak dan harus mengukur asupan makanan yang sebenarnya,
bukan hanya preferensi yang dinyatakan anak. Studi intervensi yang
dijelaskan sebelumnya memasukkan pertimbangan metodologis ini ke
dalam desainnya (Lowe et al. 1998) dan menyimpulkan bahwa preferensi
makanan dapat ditingkatkan dengan menawarkan hadiah untuk konsumsi
makanan selama 'konteks simbolik' dari pengiriman hadiah positif dan tidak
menunjukkan bahwa 'makan makanan target adalah aktivitas bernilai
rendah' (Lowe et al. 1998: 78)
c. Makanan dan Kontrol
Asosiasi antara makanan dan hadiah menyoroti peran kontrol orangtua
terhadap perilaku makan. Beberapa penelitian telah membahas dampak
kontrol ketika studi menunjukkan bahwa orang tua sering percaya bahwa
membatasi akses ke makanan dan melarang anak-anak untuk makan
makanan adalah strategi yang baik untuk meningkatkan preferensi makanan
(Casey dan Rozin 1989). Birch (1999) meninjau bukti untuk dampak
penerapan segala bentuk kontrol orang tua atas asupan makanan dan
berpendapat bahwa itu bukan hanya penggunaan makanan sebagai hadiah
yang dapat memiliki efek negatif pada preferensi makanan anak-anak tetapi
juga upaya untuk membatasi anak akses ke makanan. Dia menyimpulkan
dari ulasannya bahwa 'strategi pemberian makan anak yang membatasi
akses anak-anak ke makanan ringan sebenarnya membuat makanan terbatas
lebih menarik' (1999: 11). Misalnya, ketika makanan disediakan secara
gratis, anak-anak akan memilih lebih banyak makanan yang dibatasi
daripada makanan yang tidak dibatasi, terutama ketika ibu tidak ada (Fisher
dan Birch 1999; Fisher et al. 2000). Dari perspektif ini, kontrol orangtua
tampaknya akan berdampak buruk pada perilaku makan anak. Selain itu,
penelitian lain menunjukkan bahwa kontrol orangtua mungkin tidak
berdampak pada beberapa populasi (Constanzo dan Woody 1985). Ada
beberapa kemungkinan penjelasan untuk hasil yang bertentangan ini.
Pertama, penelitian telah dilakukan dengan menggunakan populasi yang
berbeda di berbagai negara.
Kedua, penelitian telah menggunakan ukuran yang berbeda, dengan
Birch et al. (2001) menggunakan kuesioner pemberian makan anak yang
mengoperasionalkan kontrol dalam hal pemantauan, pembatasan dan
tekanan untuk makan, dan Wardle et al. (2002) menggunakan Parental
Feeding Style Questionnaire (PFSQ) yang mengoperasionalkan kontrol
dalam hal pembatasan dan barang-barang seperti "Saya mengontrol berapa
banyak makanan ringan yang harus dimiliki anak saya". Secara khusus,
mengendalikan lingkungan anak dalam hal makanan apa yang dibawa ke
rumah atau kafe dan restoran mana yang mereka kunjungi dapat mendorong
makan sehat tanpa memiliki efek rebound dari bentuk kontrol yang lebih
jelas. Peran kontrol rahasia lebih lanjut didukung oleh bukti bahwa anak-
anak makan sesuai dengan jumlah di piring mereka dan bahwa prediktor
terbaik dari jumlah yang dikonsumsi adalah jumlah yang disajikan,
menunjukkan bahwa orang tua dapat berhasil mengendalikan diet anak-anak
mereka (Mrdjenovic dan Levitsky 2005).
d. Konsekuensi Makanan dan Fisiologis
Studi juga mengeksplorasi hubungan antara isyarat makanan dan respons
fisiologis terhadap asupan makanan. Ada banyak literatur yang
mengilustrasikan perolehan dari keengganan makanan setelah konsekuensi
gastrointestinal negatif (mis. Garcia et al. 1974). Misalnya, versi untuk
kerang dapat dipicu setelah satu kasus sakit perut setelah konsumsi kerang.
Penelitian juga mengeksplorasi pasangan isyarat makanan dengan rasa
kenyang yang mengikuti konsumsi mereka. Satu studi awal bayi
menunjukkan bahwa sekitar 40 hari bayi menyesuaikan konsumsi susu
mereka tergantung pada kepadatan kalori minuman yang diberikan (Formon
1974). Demikian pula, anak-anak dapat menyesuaikan asupan makanan
mereka sesuai dengan rasa makanan jika rasa tertentu telah secara konsisten
dipasangkan dengan kepadatan kalori yang diberikan (Birch dan Deysher
1986).

Masalah dengan model perkembangan

Pendekatan perkembangan perilaku makan memberikan bukti terperinci


tentang bagaimana preferensi makanan dipelajari di masa kecil. Perspektif ini
menekankan peran pembelajaran dan menempatkan individu dalam lingkungan
yang kaya akan isyarat dan penguat. Analisis semacam itu juga memungkinkan
interaksi moderat antara pembelajaran dan fisiologi. Namun, ada beberapa
masalah dengan perspektif ini sebagai berikut.

 Banyak penelitian yang dilakukan dalam perspektif ini telah terjadi di dalam
laboratorium sebagai sarana untuk menyediakan lingkungan yang
terkendali. Meskipun metodologi ini memungkinkan penjelasan alternatif
untuk dikecualikan, sejauh mana hasilnya akan digeneralisasikan ke
pengaturan yang lebih naturalistik masih belum jelas.
 Model perkembangan mengeksplorasi makna makanan dalam hal makanan
sebagai hadiah, makanan sebagai sarana untuk mendapatkan hadiah,
makanan sebagai status, makanan sebagai menyenangkan dan makanan
sebagai permusuhan. Namun, makanan memiliki serangkaian makna yang
jauh lebih beragam yang tidak dimasukkan ke dalam model ini. Misalnya,
makanan dapat berarti kekuatan, seksualitas, agama, dan budaya.
 Setelah dimakan, makanan dimasukkan ke dalam tubuh dan dapat
mengubah ukuran tubuh. Ini juga sarat dengan serangkaian makna yang
kompleks seperti daya tarik, kontrol, kelesuan, dan kesuksesan. Model
perkembangan tidak membahas arti tubuh.
 Model perkembangan mencakup peran untuk kognisi karena beberapa
makna makanan, termasuk hadiah dan keengganan, dianggap memotivasi
perilaku. Namun, kognisi ini tetap implisit, dan tidak dijelaskan secara
eksplisit.

Singkatnya, model perkembangan perilaku makan menyoroti peran sentral


untuk belajar. Dari perspektif ini, perilaku makan dipengaruhi oleh paparan
yang dapat mengurangi neophobia, pembelajaran sosial melalui pengamatan
orang lain yang penting dan pembelajaran asosiatif karena isyarat makanan
dapat dipasangkan dengan aspek lingkungan dan konsekuensi fisiologis dari
makan.

Model Kognitif Perilaku Makan


Pendekatan kognitif untuk perilaku makan berfokus pada kognisi individu
dan telah mengeksplorasi sejauh mana kognisi memprediksi dan menjelaskan
perilaku. Sebagian besar penelitian menggunakan pendekatan kognitif
didasarkan pada model kognisi sosial. Model-model ini telah diterapkan pada
perilaku makan baik sebagai sarana untuk memprediksi perilaku makan dan
sebagai pusat intervensi untuk mengubah perilaku makan. Bagian bab ini
berfokus pada penelitian menggunakan teori tindakan beralasan (TRA) dan
teori perilaku terencana (TPB) karena ini paling umum telah diterapkan pada
aspek perilaku makan (lihat Bab 3 untuk detail).

a. Menggunakan TRA dan TPB


Beberapa penelitian menggunakan pendekatan kognitif sosial untuk
perilaku makan telah difokuskan pada prediksi niat untuk mengkonsumsi
makanan tertentu. Sebagai contoh, penelitian telah mengeksplorasi sejauh
mana kognisi berhubungan dengan niat untuk makan biskuit dan roti
gandum (Sparks et al. 1992), susu skim (Raats et al. 1995), makanan
organik (Arvola et al. 2008) dan ikan (Verbeke dan Vackier 2005). Banyak
penelitian menunjukkan bahwa niat perilaku bukan merupakan prediktor
yang baik dari perilaku yang telah menghasilkan pekerjaan mengeksplorasi
niat kesenjangan perilaku (Gollwitzer 1993; Sutton 1998a). Oleh karena itu,
penelitian juga menggunakan TRA dan TPB untuk mengeksplorasi
prediktor kognitif perilaku aktual. Penelitian juga menunjukkan peran
kontrol perilaku yang dirasakan dalam memprediksi perilaku khususnya
dalam kaitannya dengan penurunan berat badan (Schifter dan Ajzen 1985)
dan makan sehat (Povey et al. 2000). Selain itu, penelitian menyoroti
pentingnya perilaku dan kebiasaan masa lalu dalam memprediksi sejumlah
aspek makan termasuk makanan laut.

Masalah dengan model kognitif

Model kognitif perilaku makan menyoroti peran kognisi yang membuat


eksplisit kognisi yang tetap hanya tersirat dalam perspektif perkembangan. Ini
memberikan kerangka kerja yang berguna untuk mempelajari kognisi ini dan
menyoroti dampaknya terhadap perilaku. Namun, ada beberapa masalah
dengan pendekatan ini.

 Sebagian besar penelitian yang dilakukan dalam perspektif kognitif


menggunakan metode kuantitatif dan menyusun kuesioner berdasarkan
model yang ada. Pendekatan ini berarti bahwa kognisi yang diperiksa dipilih
oleh peneliti daripada ditawarkan oleh orang yang sedang diteliti. Ada
kemungkinan bahwa banyak kognisi penting terlewatkan yang merupakan
pusat pemahaman perilaku makan.
 Meskipun berfokus pada kognisi, yang dimasukkan oleh model terbatas dan
mengabaikan kekayaan makna yang terkait dengan makanan dan ukuran
tubuh.
 Penelitian dari perspektif kognitif mengasumsikan bahwa perilaku adalah
konsekuensi dari pemikiran rasional dan mengabaikan peran pengaruh.
Emosi seperti rasa takut (kenaikan berat badan, penyakit), kesenangan (lebih
dari kesuksesan yang pantas diobati) dan rasa bersalah (tentang makan
berlebihan) dapat berkontribusi terhadap perilaku makan.
 Beberapa model kognitif menggabungkan pandangan orang lain dalam
bentuk konstruk 'norma subjektif'. Ini tidak cukup menangani peran sentral
yang dimainkan orang lain dalam perilaku sosial seperti makan.
 Kadang-kadang model kognitif muncul tautologis di mana variabel
independen tidak tampak terpisah secara konseptual dari variabel dependen
yang digunakan untuk memprediksi. Sebagai contoh, apakah kognisi 'Saya
yakin saya bisa makan buah dan sayuran' benar-benar berbeda dari kognisi
'saya bermaksud makan buah dan sayuran'?
 Meskipun model kognitif telah diterapkan secara luas pada perilaku,
kemampuan mereka untuk memprediksi perilaku aktual tetap buruk,
meninggalkan sejumlah besar variasi untuk dijelaskan oleh faktor-faktor
yang tidak ditentukan.

Singkatnya, dari perspektif kognitif sosial, perilaku makan dapat dipahami


dan diprediksi dengan mengukur kognisi seseorang tentang makanan.
Penelitian di bidang ini menunjukkan peran penting secara konsisten untuk
sikap terhadap makanan (mis. 'Saya pikir makan makanan sehat itu
menyenangkan') dan peran keyakinan individu tentang kontrol perilaku (mis.
'Seberapa yakin Anda bahwa Anda bisa makan diet sehat? '). Ada juga
beberapa bukti bahwa ambivalensi dapat memoderasi hubungan antara sikap
dan niat dan bahwa niat implementasi dapat mengubah perilaku. Namun, tidak
ada bukti untuk norma sosial atau variabel lain yang dihipotesiskan.
Pendekatan semacam itu mengabaikan peran berbagai kognisi lain, terutama
yang berkaitan dengan makna makanan dan makna ukuran, dan kadang-kadang
hubungan antara variabel lemah, meninggalkan banyak perbedaan dalam
perilaku makan yang tidak dapat dijelaskan.

Model Kepedulian Berat Perilaku Makan

Makna makanan dan berat Sejauh bab ini telah mengeksplorasi model
perkembangan dan kognitif perilaku makan. Model perkembangan
menekankan peran pembelajaran dan asosiasi dan model kognitif menekankan
peran sikap dan keyakinan. Namun, makanan dikaitkan dengan banyak makna
seperti hadiah, perayaan, buah terlarang, keluarga berkumpul, menjadi ibu
yang baik dan menjadi anak yang baik. Selain itu, sekali dimakan, makanan
dapat mengubah berat dan bentuk tubuh, yang juga terkait dengan makna
seperti daya tarik, kontrol, dan kesuksesan (Ogden 2010). Sebagai hasil dari
makna-makna ini, banyak wanita, khususnya, menunjukkan perhatian berat
badan dalam bentuk ketidakpuasan tubuh, yang sering mengakibatkan diet.

Ketidakpuasan tubuh

Ketidakpuasan tubuh muncul dalam banyak bentuk (lihat Grogan 2008


untuk tinjauan literatur tentang ketidakpuasan tubuh). Telah dijelaskan sebagai
berikut.

a. Estimasi Ukuran Tubuh Terdistorsi


Beberapa penelitian mengkonseptualisasikan ketidakpuasan tubuh dalam
hal estimasi ukuran tubuh terdistorsi dan persepsi bahwa tubuh lebih besar
dari yang sebenarnya. Ini dapat diukur dengan meminta orang untuk
menyesuaikan jarak antara dua sinar cahaya agar sesuai dengan lebar aspek
yang berbeda dari tubuh mereka (Slade dan Russell 1973), dengan meminta
peserta untuk menandai kedua ujung selembar kertas seukuran aslinya
(Gleghorn et al. 1987), untuk menyesuaikan dimensi horizontal pada
gambar televisi atau video sendiri (Freeman et al. 1984), atau untuk
mengubah dimensi pada cermin yang menyimpang (Brodie et al. 1989).
Penelitian ini secara konsisten menunjukkan bahwa individu dengan
gangguan makan yang terdefinisi secara klinis menunjukkan distorsi
persepsi yang lebih besar daripada subyek non-klinis. Namun, penelitian ini
juga menunjukkan bahwa sebagian besar wanita, dengan atau tanpa
gangguan makan, berpikir bahwa mereka lebih gemuk daripada yang
sebenarnya.
b. Perbedaan antara Realitas Ideal versus Persepsi
Beberapa penelitian telah menekankan ketidaksesuaian antara persepsi
realitas dengan persepsi ideal, tanpa membandingkan ukuran aktual individu
yang diukur secara objektif oleh peneliti. Penelitian ini cenderung
menggunakan gambar-gambar siluet seluruh tubuh dengan berbagai ukuran
di mana subjek diminta untuk menyatakan mana yang paling dekat dengan
bagaimana mereka terlihat sekarang dan yang terbaik menggambarkan
bagaimana mereka ingin terlihat. Telah ditunjukkan secara konsisten bahwa
sebagian besar anak perempuan dan perempuan ingin menjadi lebih kurus
daripada mereka dan sebagian besar laki-laki ingin menjadi sama atau lebih
besar
c. Perasaan Negatif tentang Tubuh
Cara terakhir dan paling sering di mana ketidakpuasan tubuh dipahami
hanyalah dalam hal perasaan dan kognisi negatif terhadap tubuh. Ini telah
dinilai dengan menggunakan kuesioner seperti Body Shape Questionnaire
(Cooper et al. 1987), Skala Kepuasan Area Tubuh (Brown et al. 1990) dan
subskala ketidakpuasan tubuh dari Eating Disorders Inventory (Garner
1991). Kuisioner ini menanyakan pertanyaan seperti 'Apakah Anda khawatir
bagian tubuh Anda terlalu besar?', 'Apakah Anda khawatir paha Anda
menyebar ketika Anda duduk?' Dan 'Apakah dengan wanita kurus membuat
Anda merasa sadar akan berat badan Anda? Ketidakpuasan tubuh dapat
dikonseptualisasikan sebagai perbedaan antara persepsi individu tentang
ukuran tubuh mereka dan ukuran tubuh mereka yang sebenarnya, perbedaan
antara persepsi mereka tentang ukuran aktual dan ukuran ideal mereka, atau
hanya sebagai perasaan tidak puas dengan ukuran tubuh dan bentuk.
Namun, konseptualisasi mana pun yang digunakan dan alat pengukuran
mana pun yang dipilih untuk mengoperasionalkan ketidakpuasan tubuh,
tampaknya jelas bahwa itu adalah fenomena umum dan tentu saja bukan
yang terbatas pada beberapa individu dengan gangguan makan yang
ditentukan secara klinis.

Berdiet

Perhatian berat perilaku makan termasuk peran ketidakpuasan tubuh seperti


yang dijelaskan di atas. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan kritis terhadap
penampilan Anda secara konsisten berkaitan dengan diet yang pada gilirannya
memengaruhi perilaku makan. Istilah 'menahan makan' telah menjadi semakin
identik dengan diet, dan teori menahan dikembangkan sebagai kerangka kerja
untuk mengeksplorasi perilaku ini. Makan yang dibatasi diukur menggunakan
skala seperti Skala Restraint (Heatherton et al. 1988), bagian makan yang
dibatasi pada Kuesioner Perilaku Makan Belanda (van Strien et al., 1986) dan
bagian menahan makanan dari Kuisioner Makan Faktor Tiga (Stunkard). dan
Messick 1985). Langkah-langkah laporan diri ini mengajukan pertanyaan
seperti 'Seberapa sering Anda diet?', 'Seberapa sadar Anda dengan apa yang
Anda makan?', 'Apakah Anda mencoba makan lebih sedikit pada waktu makan
daripada yang ingin Anda makan?', Dan “Apakah Anda memperhitungkan
berat badan Anda dengan apa yang Anda makan?” Teori menahan diri (mis.
Herman dan Mack 1975; Herman dan Polivy 1984) dikembangkan untuk
mengevaluasi penyebab dan konsekuensi dari diet (disebut makan terkendali)
dan menunjukkan bahwa pelaku diet menunjukkan tanda-tanda kurang makan
dan makan terlalu banyak.

Diet dan kurang makan

Menahan makan bertujuan untuk mengurangi asupan makanan dan beberapa


penelitian telah menemukan bahwa kadang-kadang tujuan ini berhasil.
Thompson et al. (1988) menggunakan metodologi uji preload / taste untuk
memeriksa perilaku makan pemakan terkendali. Metode eksperimental ini
melibatkan memberikan subjek preload kalori tinggi (mis. Milk shake berkalori
tinggi, cokelat batangan) atau preload kalori rendah (misal cracker). Setelah
makan / minum preload, subyek diminta untuk mengambil bagian dalam tes
rasa. Ini melibatkan subjek yang diminta untuk menilai serangkaian makanan
yang berbeda (mis. Biskuit, camilan, es krim) untuk berbagai kualitas yang
berbeda, termasuk rasa asin, kesukaan, dan rasa manis. Subjek dibiarkan
sendiri untuk jumlah waktu yang ditentukan untuk menilai makanan dan
kemudian jumlah yang mereka makan ditimbang (subjek tidak tahu bahwa ini
akan terjadi). Tujuan dari metode uji preload / pengecapan adalah untuk
mengukur asupan makanan di lingkungan yang terkontrol (laboratorium) dan
untuk menguji efek preloading pada perilaku makan partisipan. Thompson dan
rekannya melaporkan bahwa dalam situasi eksperimental ini, pemakan yang
terkontrol mengonsumsi lebih sedikit kalori daripada pemakan yang tidak
terkendali setelah preload yang rendah dan tinggi. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa pelaku diet makan sama dengan yang tidak terkendali
(mis. Sysko et al. 2007). Pemakan yang dikendalikan bertujuan untuk makan
lebih sedikit dan terkadang berhasil. Di lain waktu upaya ini mungkin tidak
efektif tetapi setidaknya tidak membahayakan (lihat Bab 15 untuk diskusi
tentang diet dan manajemen obesitas).

Diet dan Makan berlebihan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat makan yang terkendali


lebih tinggi terkait dengan peningkatan asupan makanan. Sebagai contoh,
penelitian asli oleh Herman dan Mack (1975) menggunakan paradigma preload
/ taste test, dan melibatkan pemberian kelompok pelaku diet dan non-dieter
baik preload kalori tinggi atau preload kalori rendah. Hasilnya diilustrasikan
pada Gambar 5.9 dan menunjukkan bahwa, sedangkan yang tidak diet
menunjukkan perilaku pengaturan kompensasi, dan makan lebih sedikit pada
uji rasa setelah preload kalori tinggi, para pelaku diet lebih banyak
mengonsumsi tes rasa jika mereka memiliki preload kalori tinggi. daripada jika
mereka memiliki preload kalori rendah. Ini telah disebut 'disinhibisi', 'peraturan
tandingan' atau 'apa efeknya' dan telah diidentifikasi sebagai karakteristik
makan berlebihan pada pemakan yang terkendali (Herman dan Mack 1975).
Bentuk disinhibisi atau efek 'apa sih' ini menggambarkan makan berlebihan
sebagai respons terhadap preload kalori tinggi. Disinhibition secara umum
telah didefinisikan sebagai 'makan lebih banyak sebagai hasil dari
melonggarnya pengekangan sebagai respons terhadap tekanan emosional,
intoksikasi atau preloading' (Herman dan Polivy 1989: 342) dan definisinya
membuka jalan bagi banyak penelitian yang meneliti peran menahan diri dalam
memprediksi perilaku makan berlebihan.

5. Penyebab Overeating
a. Analisis Sebab-Akibat Dari Makan Berlebihan
Penelitian telah mengeksplor mekanisme yang memungkinkan untuk
makan berlebihan yang ditunjukkan oleh orang yang mengendalikan
makannya. Herman dan Polivy menyatakan bahwa diet dan pesta makan
memiliki kaitan sebab-akibat, menahan diri tidak hanya menjadi penyebab
makan berlebihan tapi juga berkontribusi sebagai sebab-akibat dari makan
berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa berusaha untuk tidak makan
secara paradoks meningkatkan kemungkinan makan berlebihan dan
merupakan perilaku yang berusaha dihindari oleh pelaku diet.
b. Model Batasan Dari Makan Berlebihan
Dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana diet menyebabkan makan
berlebihan, Herman dan Polivy mengembangkan model batasan yang
mewakili integrasi perspektif fisiologis dan kognitif pada asupan makanan.
Model batasan menunjukkan bahwa asupan makanan diatur oleh batas diet
yang ditentukan secara kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku diet
berusaha untuk menggantikan kontrol fisiologis dengan kontrol kognitif
dengan cara mengkonsumsi makanan pada kesempatan tertentu. Herman
dan Polivy menjelaskan setelah mengkonsumsi makanan rendah kalori,
pelaku diet dapat mempertahankan tujuan dietnya untuk masa depan
karena asupan makanan tetap dalam batas yang ditentukan oleh batas diet.
Namun, setelah pelaku diet melewati batas diet (misalnya memakan
sesuatu yang tidak diizinkan), mereka akan mengkonsumsi makanan
semaunya sampai tekanan dari batas kenyang diaktifkan.
c. Perubahan Kognitif
Makan berlebihan yang ditemukan pada pelaku diet juga telah dipahami
dalam hal perubahan dalam set kognitif individu. Set kognitif dari pelaku
diet yang tidak mampu menahan dan penurunan dalam self-control
mencerminkan model pasif dari makan berlebihan. Efek dari
ketidakpedulian mengandung unsur-unsur kepasifan seperti menyerah dan
meminta berhenti untuk makan. Hasil wawancara dengan individu yang
mengendalikan makan dan individu yang tidak mengendalikan makan
mengungkapkan bahwa banyak individu yang mengendalikan makan
melaporkan kognisi pasif setelah mengkonsumsi makanan kalori tinggi,
termasuk pemikiran seperti ‘saya akan menerima setiap dorongan makan
yang saya dapat’ dan ‘saya tidak bisa diganggu, terlalu banyak usaha
untuk berhenti makan’. Pelaku diet merespon makanan berkalori tinggi
dengan meningkatkan keadaan pikiran yang aktif ditandai dengan kognisi
seperti pemberontak, tertantang, dan menantang. Alih-alih secara pasif
menyerah pada keinginan besar untuk makan, secara aktif memutuskan
untuk makan berlebihan sebagai bentuk pemberontakan terhadap
pembatasan makanan yang dibuat sendiri. Kondisi pikiran memberontak
ini juga telah dideskripsikan oleh para pelaku pesta makan bahwa pesta
makan adalah cara untuk melepaskan dendam.
d. Perubahan Suasana Hati
Pelaku diet jadi makan berlebihan sebagai respon terhadap penurunan
suasana hati. Para peneliti juga berpendapat bahwa pelaku diet mungkin
makan berlebihan sebagai cara mengalihkan tanggung jawab atas suasana
hati negatif mereka dari aspek kehidupan mereka yang tidak terkendali.
Teori perubahan suasana hati tentang makan berlebihan didukung oleh
penelitian yang menunjukkan bahwa pelaku diet makan lebih banyak dari
pada yang tidak diet ketika merasa cemas, terlepas dari kelezatan
makanan.
e. Peran Penyangkalan
Penelitian kognitif menggambarkan bahwa menekan pikiran dan
pengendalian pikiran dapat memiliki efek paradoks yang membuat
individu berusaha menekan pikiran yang lebih menarik perhatian. Hal ini
disebut teori proses ironis dari pengendalian mental. Keputusan untuk
tidak makan makanan tertentu atau makan lebih sedikit dari biasanya
adalah inti dari set kognitif pelaku diet. Oleh karena itu, setelah makanan
ditolak, makanan itu secara bersamaan menjadi terlarang yang berarti
makanan tersebut jadi merusak upaya penurunan berat badan.
f. Teori Melarikan Diri
Individu yang cenderung makan berlebihan menunjukkan standar tinggi
dan cita-cita yang menuntut, akhirnya menghasilkan harga diri yang
rendah, tidak suka pada diri sendiri, dan suasana hati yang menurun. Bagi
individu yang makan berlebihan, self-awareness yang tinggi menjadi tidak
menyenangkan karena dapat menimbulkan kritik kepada diri sendiri dan
suasana hati yang rendah. Oleh karena itu individu terdorong untuk
melarikan diri agar bisa menghindar dari ketidak nyamanan, meskipun
melarikan diri dapat memberikan kebebasan pada diri sendiri dari kritik
dan mengurangi hambatan tetapi dapat menyebabkan makan berlebihan.

g. Makan Berlebihan Sebagai Relapse


Terdapat hubungan antara kurang makan dan makan berlebihan dari
individu yang menahan makan dan perilaku perokok aktif atau alkoholik.
Pecandu alkohol pasif percaya pada pemulihan total atau relapse (kambuh)
yang dengan sendirinya dapat meningkatkan perkembangan dari relapse
(kambuh) menjadi relapse (kambuh) total. Transisi dari lapse ke relapse
dan keterkaitannya dengan perubahan suasana hati dan kognisi
diilustrasikan pada gambar 5.11.

Hubungan ini telah didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa


makan berlebihan dan alkoholik dapat dipicu oleh keadaan yang berisiko
tinggi dan suasana hati yang rendah. Selain itu, transisi dari lapse
(penyimpangan) ke relapse (kambuh) pada alkoholik dan perilaku makan
telah ditemukan berkaitan dengan atribusi internal. Secara khusus, peneliti
yang mengeksplorasi relapse (kambuh) dalam perilaku adiktif telah
mengidentifikasi Abstinence Violation Effect (AVE) yang menggambarkan
transisi dari lapse (penyimpangan) satu minuman menjadi relapse
(kambuh) yang melibatkan disonansi kognitif (misalnya ‘saya berusaha
untuk tidak minum tetapi saya baru sama minum’), atribusi internal
(misalnya ‘ini salahku’), dan rasa bersalah (misalnya ‘saya orang yang
tidak berguna’). Faktor-faktor ini menemukan refleksi dalam makan
berlebihan yang ditunjukkan oleh pelaku diet.

h. Peran Kontrol
Diet dikaitkan dengan makan berlebihan dan banyak mekanisme lain
yang berbeda. Inti dari semua ini adalah peran kontrol. Sebagai contoh,
kontrol ditantang oleh kondisi berisiko tinggi, dirusak oleh penurunan
mood atau perubahan kognitif dan masalah dengan kontrol diperburuk
oleh atribusi internal – efek yang berkaitan terhadap penolakan. Proses ini
diilustrasikan pada gambar 5.12.
6. Peran Diet Dalam Perubahan Suasana Hati dan Kognitif
Sebuah studi klasik oleh Keys dkk. mengemukakan bahwa makan
berlebihan mungkin bukan satu-satunya konsekuensi dari membatasi asupan
makanan. Penelitian ini melibatkan 36 pria sehat yang tidak melakukan diet
tetapi mereka menerima sekitar setengah dari asupan makanan normal selama
12 minggu dikontrol dengan hati-hati, akibatnya mereka kehilangan 25% dari
berat badan asli. Keys menyatakan bahwa pikiran mereka yang terus menerus
berkembang tentang makanan mengakibatkan mereka menimbun atau mencuri
makanan. Mereka menunjukkan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan
perubahan suasana hati dengan depresi serta sikap apatis yang sering terjadi.
Pada akhir periode dari diet, para pria diizinkan bebas makan. Mereka jadi
sering makan secara terus menerus dan melaporkan kehilangan kontrol atas
perilaku makan, kadang-kadang mengakibatkan adanya pesta makan yang
berlebihan. Hasil ini menunjukkan bahwa diet dapat memiliki beberapa
konsekuensi negatif dan perubahan ini mungkin terlibat dalam penyebab
makan berlebihan.

Polivy dan Herman mempertanyakan mengapa para pelaku diet terus


melakukan diet ketika diet mereka gagal, ketika diet mereka tidak
menunjukkan penurunan berat badan, dan ketika diet memiliki banyak
konsekuensi negatif, dan berpendapat bahwa para pelaku diet menunjukkan
false hope syndrome. False hope syndrome adalah antisipasi yang tidak
realistis yang membuat seseorang memulai upaya perubahan diri dan kriteria
keberhasilan yang tidak dapat dicapai. False hope syndrome meningkatkan
persepsi kontrol yang diinduksi dengan membuat resolusi atau komitmen untuk
mengubah dan memperbaiki diri sendiri yang mungkin dapat membuat banyak
orang merasakan rasa percaya diri yang salah dalam kemungkinan mereka
mencapai tujuan. Ketika harapan-harapan yang tidak realistis ini tidak
terpenuhi, hasil dari upaya mengubah diri mungkin berupa kekecewaan,
keputusasaan, dan persepsi tentang diri sendiri sebagai kegagalan.

7. Pengertian olahraga-aktivitas fisik-fitness perilaku olahraga, sasaran


olahraga
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk
memelihara gerak (mempertahankan hidup) dan meningkatkan kemampuan
gerak (meningkatkan kualitas hidup). Seperti halnya makan, olahraga
merupakan kebutuhan hidup yang sifatnya periodik artinya olahraga sebagai
alat untuk memelihara dan membina kesehatan, tidak dapat ditinggalkan.
Pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari
konsep bermain, games, dan sport. Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah
proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat
mendorong, mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan
rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk
permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Pengertian aktivitas fisik adalah setiap pergerakan tubuh akibat aktivitas
otot-otot skelet yang mengakibatkan pengeluaran energi. Setiap orang
melakukan aktivitas fisik antara individu satu dengan yang lain tergantung
gaya hidup perorangan dan faktor lainnya.
Terdapat beberapa pengertian dari beberapa ahli mengenai aktivitas fisik
diantaranya menurut Almatsier (2003) aktivitas fisik ialah gerakan fisik yang
dilakukan otot tubuh dan sistem penunjangnya.
Ada tiga sasaran olahraga kesehatan yang ingin dicapai yaitu:

a. Sasaran minimal, bertujuan mempertahankan kemampuan gerak yang


masih ada dengan memelihara dan meningkatkan kelenturan gerakan
persendian. Latihan yang dikerjakan adalah perenggangan dan pelemasan.
b. Sasaran antara atau peralihan berupa pemeliharaan serta peningkatan
kekuatan dan daya tahan otot agar dapat meningkatkan kemampuan
gerakannya lebih lanjut.
c. Sasaran utama, yaitu memelihara dan meningkatkan kapasitas aerobik,
yakni jantung-paru. Olahraga kesehatan harus diusahakan sampai pada
sasaran utama.
8. Peran olahraga dalam meningkatkan status kesehatan (fisik dan
psikologis)
Kesehatan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Menjaga
kesehatan dapat dilakukan dengan melakukan olahraga, karena sudah terbukti
dapat menyehatkan badan. Dan manfaat olahraga terhadap kesehatan tubuh itu
sendiri juga sudah dijelaskan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
(olah raga kesehatan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan)
Dengan berolahraga akan melancarkan peredaran darah yang berguna untuk
kesehatan jantung serta dapat meningkatkan konsentrasi.
Olahraga juga dapat meningkatkan kepadatan tulang, sehingga baik
mencegah Osteoporosis. Berolahraga merupakan salah satu aspek penting
dalam membentuk tubuh yang sehat dan bugar. Olahraga perlu dilakukan
secara teratur dalam durasi waktu tertentu. Selain itu, olahraga yang dilakukan
tidak harus membuat tubuh melakukan hal yang berat. Olahraga juga bisa
dilakukan dengan melakukan beberapa jenis gerakan ringan, santai dan
menyenangkan.

Manfaat olahraga yang disampaikan oleh Daniel Landers, Profesor


Pendidikan Olahraga dari Arizona State University:
a. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
Olahraga yang dilakukan dengan teratur, akan meningkatkan fungsi
hormon-hormon dalam tubuh di mana hormon-hormon ini mampu
meningkatkan daya tahan tubuh.
b. Meningkatkan Fungsi Otak
Keteraturan dalam berolahraga dapat membantu meningkatkan
konsentrasi, kreativitas, dan kesehatan. Dengan olahraga, jumlah oksigen
di dalam darah akan meningkat sehingga memperlancar aliran darah
menuju otak. Sehingga meningkatkan fungsi otak.
c. Mengurangi Stres
Stres dapat terjadi pada siapa saja. Dengan olahraga, seseorang dapat
dibantu untuk mengatasi emosi dan mengurangi kegelisahan sehingga
mengurangi stres dalam dirinya. Bagi yang rutin melakukan olaharga
memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan orang yang
tidak berolahraga. Aktivitas olahraga menyebabkan tubuh bereaksi
termasuk otak. Karena otak akan melepaskan banyak hormon termasuk
endorphin yang bisa mempengaruhi suasana hati menjadi lebih gembira,
riang dan senang.
d. Menurunkan Kolesterol.
Ketika melakukan olahraga, tubuh bergerak dan membantu tubuh
membakar kalori yang ada sehingga menghasilkan energi yang dibutuhkan
tubuh untuk bekerja. Sehingga membantu tubuh mengurangi tertimbunnya
lemak dalam tubuh. Olahraga yang teratur juga dapat membakar kolesterol
LDL dan trigliserida serta meningkatkan kadar kolesterol baik (HDL). Hal
ini sangat membantu tubuh tetap fit dan mengurangi resiko darah tinggi,
stroke, kegemukan, dan penyakit jantung.
9. Faktor – faktor yang memprediksi perilaku olahraga.
a. Hidup sehat
Olahraga adalah kelas khusus aktivitas fisik dimana orang menggunkan
tubuh mereka demi kesehatan atau pengembangan tubuh (dalam Sarafino,
1994)
b. Emosi
Wilis dan Campbell psikologi olahraga berhubugan kognisi, emosi dan
performance untuk membentuk kararter yang lebih tegar.
c. Values
Values sangat mempengaruhi praktek kebiasaan sehat. Contoh, olahraga
pada wanita mungkin dianggap diinginkan dalam satu budaya, tapi tidak
diinginkan di budaya lain (Taylor, 2009).
d. Personal goals
Kebiasaan sehat sangat terikat dengan personal goals. Jika kebugaran
pribadi atau prestasi atlit merupakan tujuan penting orang mungkin akan
lebih berolahraga secara teratur daripada jika kebugaran tujuan pribadi
(Taylor, 2009)

Cara meningkatkan perilaku olahraga

Weinberg dan Gould (2003) mengatakan bahwa karakter merupakan sebuah


konsep dari moral, yang tersusun dari sejumlah karakteris-tik yang dapat
dibentuk melalui aktivi-tas olahraga, antara lain: rasa terharu (compassion),
keadilan (fairness), sikap sportif (sport personship), integritas (integrity).Semua
nilai tersebut ditanamkan melalui ketaatan atau kepatuhan seseorang dalam
berkompetisi sesuai dengan peraturan permainan yang berlaku pada cabang
olahraga yang digelutinya. Didalam peraturan permainan melekat semangat
keadilan dan tuntutan kejujuran para pelaku olahraga saat menjalankan
pertandingan.
DAFTAR PUSTAKA

Becker, M. H. (1979). Psychosocial aspects of health related behavior, dalam


H.E., Freeman dan S.levine (eds.,) Handbook of medical sociology. Pretince
Hall Englewood Cliffs, New Jersey.
Ekasari, F. M., Riasmini, M. N., & Hartini, T. (2019). Meningkatkan Kualitas
Hidup Lansia Konsep Dan Berbagai Intervensi. Malang: Wineka Media.
Gould, D. & Weinberg, R. S. (2002). Foundation of sport and exercise
phsychology, 3nd edition. Champaigh, IL: Human Kinetics.
Indiriawati, L., Sari, W., & Dewi, S. C. (2016). Care Yourself Stroke. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Journal Physiology of Gastrointestinal and Liver Physiology.
Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. (2009) Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (Persagi).
Lean, Michael E.J. (2015). "Principles of Human Nutrition". Medicine. 43 (2):
61–65.
Ogden, J. (2010). The psychology of eating: From healty to disordered behavior.
United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Ogden, J. (2012). Health psychology. New York: McGraw-Hill Education.
Polivy, J. (2001). The false hope syndrome: Unrealistic expectations of self-
change. International Journal of Obesity, 25(1), 80-84.
Sassen, B. (2018). Nursing: Health education and improving patient self-
management. Switzerland: Springer.
Sarafino, E. P. (2006). Health psychology: biopsychosocial interaction. Fifth
edition. USA: John wiley &sons, Inc.
Sizzer, F. S., Webb, F. S., & Whitney, E. N. (2006). Nutrition: Concepts and
controversies. United States: Thomson Wadsworth.
Taylor, S. E. (2009). Health psychology. Seventh edition. New York: McGraw-
Hill.
World Health Organization. (2019). Healthy diet.
Yulianti, E., & Noor, M. (2012). Bugar Dengan Olahraga. Jakarta: PT. Balai
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai