TINJAUAN TEORITIS
Kesehatan jiwa menurut WHO adalah kondisii sejahtera secara fisik , social dan
mental yang lengkap dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan. Atau dapat
dikatakan bahwa individu sehat jiwa apabila berada dalam kondisi fisik, mental dan
social yang terbebas dari gangguan (penyakit) atau tidak dalaam kondisi tertekan
sehingga dapat mengendalikan stress yang timbul. Sehingga memungkinkan individu
untuk hidup produktif dan mampu melakukan hubungan social yang memuaskan.
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.03 Tahun 1966, Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
mental yang sejahtera sehingga memungkinkan sesorang berkembang secara optimal
baik fisik, intelektual dan emosional dan perkembagan tersebut berjalan secara selaras
dengan keadaan orang lain sehingga memungkinkan hidup harmonis dan produktif.
Pada tahun 1959 dalam sidang di Geneva, WHO telah berhasil merumuskan kriteri
sehat jiwa. WHO menyatakan bahwa, seseorang dikatakan mempunyai sehat jiwa, jika
memiliki kriteria sebagai berikut:
Pada tahun 1984, WHO menambahkan dimensi agama sebagai salah satu dari 4 pilar
sehat jiwa yaitu: Kesehatan secara holistik yaitu sehat secara jasmani/ fisik (biologik);
sehat secara kejiwaan (psikiatrik/ psikologik); sehat secara sosial; dan sehat secara
spiritual (kerohanian/ agama). Sesesorang dikatakan sehat jiwa jika:
Menurut (Hakim, 2010) Masalah pada kesehatan jiwa adalah permasalahan yang
harus diatasi secara komprehensif, faktor pendukungnya adalah sebagai berikut:
Faktor fisik cukup dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa pada sescorang,
contohnya adalah saat seseorang mengetahui bahwa tubuhnya digerogoti kanker, pada
saat itu juga seseorang telah kehilangan sebagian kehidupannya, walaupun secara
pemikiran sadar tetapi mental emosionalnya telah terganggu dan mempercepat proses
penurunan sistem kekebalan tubuh secara drastis dan semangat hidupnya juga
berkurang.
Kekuatan pada mental dan emosional yang mendukung dan saran positif
diperlukan untuk membangunkan semangat hidup dalam mengembalikan kesehatan
secara jasmani dan rohani.
Masa pra sekolah menurut Erikson (1963, dalam Feist J, 2008) adalah masa ketika anak
berumur 3-6 tahun. Masa prasekolah merupakan pertumbuhan dasar yang akan
mempengaruhi dan menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya. Usia lima tahun
pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini
berlangsung sangat pendek dan tidak dapat diulang lagi, sehingga masa prasekolah disebut
sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window of opportunity)
dan “masa kritis” (critical period). Setiap kelainan/ penyimpangan sekecil apapun apabila
tidak terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya
manusia kelak kemudian hari (Depkes, 2007).
Erikson (1963, dalam Wilson, 2007) berpendapat bahwa pada masa pra sekolah anak
memiliki perkembangan psikososial yang disebut sebagai masa inisiatif. Pada masa ini anak
telah memiliki beberapa keterampilan yang akan mendorong anak melakukan beberapa
kegiatan, namun adakalanya anak akan mengalami kegagalan. Sedangkan beberapa ciri
pertumbuhan dan perkembangan anak pra sekolah (3-6 tahun) menurut Papalia (2008), anak
mengalami pertumbuhan fisik yang berlangsung stabil, penampilannya menjadi lebih
ramping dan bagian tubuhnya makin mirip dengan potongan tubuh orang dewasa, sedangkan
perkembangan anak mengalami peningkatan seperti aspek motorik, kognitif, bahasa, emosi,
kepribadian, moral, spiritual, dan psikososial.
World health organitation (WHO) melaporkan bahwa 5-25% anak-anak usia pra sekolah
menderita disfungsi otak minor, termasuk gangguan perkembangan motorik halus
(Widati,2012). Sedangkan menurut (KayLambkin, dkk, 2007) secara global dilaporkan anak
yang mengalami gangguan berupa kecemasan sekitar 9%, mudah emosi 11-15%, gangguan
perilaku 9-15%. Kehidupan anak juga ditentukan olah keberadaan bentuk dukungan keluarga,
hal ini dapat terlihat bila dukungan keluarga yang sangat baik maka pertumbuhan dan
perkembangan anak relatif stabil, tetapi apabila dukungan keluarga kurang baik, maka anak
akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat menganggu psikologis anak (Irdawati,
2010).
Banyak hal yang dapat mempengaruhi perkembangan anak usia Pra Sekolah. Salah
satunya sikap pendidik anak dirumah (Ibu, Ayah, nenek, tente, dll) dan lingkungan. Dimana
menurut Keliat et al (2011) sikap pendidik dan lingkungan suka melarang dan menyalahkan
membuat anak kehilangan inisiatif, sehingga anak akan mudah mengalami rasa bersalah jika
melakukan keselahan dan tidak kreatif, seperti malu untuk tampil, anak takut salah
melakukan sesuatu, anak membatasi aktivitasnya sehingga anak terkesan malas dan tidak
mempunyai insiatif yang baik.
Kegagalan-kegagalan yang terjadi pada usia prasekolah bisa menyebabkan anak memiliki
perasaan bersalah sehingga sementara waktu anak tidak mau berinisiatif atau berbuat. Tahap
inisiatif ini disebut juga sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau
yang biasa disebut tahap bermain. Kemampuan anak dalam bermain ini penting sekali
sebagai dasar dalam mengembangkan kemampuan sosialisasi. Bila tugas-tugas
perkembangan ini terhambat, anak akan merasa bersalah dalam melakukan aktivitasnya
sehingga akan sulit mengembangkan inisiatif pada kegiatan lainnya (Erikson, 1963 dalam
Feist J, 2008).
Yusuf, Ahmad. 2015. Buku ajar kesehatan jiwa. Jakarta: salemba medika.