Anda di halaman 1dari 16

Perkembangan Psikososial

Teori perkembangan kepribadian yang paling banyak diterima

adalah teori yang dikembangkan oleh Erikson (1963). Erikson

menggunakan konsep-konsep biologis tentang periode kritis dan

epigenesis, menjelaskan konflik atau masalah inti yang harus dikuasai

individu selama periode kritis dalam perkembangan kepribadian.

Keberhasilan pencapaian atau penguasaan terhadap setiap konflik intii

ini terbenuk berdasarkan keberhasilan pencapaian atau penguasaan nti

sebelumnya (Wong, Hockenberry-Eaton, Wlson, Winkelstein, &

Schwartz, 2008).

Pendekatan Erikson dalam membahas proses perkembangan

anak adalah dengan menguraikan lima tahapan perkembangan Perkembangan Psikososial

Teori perkembangan kepribadian yang paling banyak diterima

adalah teori yang dikembangkan oleh Erikson (1963). Erikson

menggunakan konsep-konsep biologis tentang periode kritis dan

epigenesis, menjelaskan konflik atau masalah inti yang harus dikuasai


individu selama periode kritis dalam perkembangan kepribadian.

Keberhasilan pencapaian atau penguasaan terhadap setiap konflik intii

ini terbenuk berdasarkan keberhasilan pencapaian atau penguasaan nti

sebelumnya (Wong, Hockenberry-Eaton, Wlson, Winkelstein, &

Schwartz, 2008).

Pendekatan Erikson dalam membahas proses perkembangan

anak adalah dengan menguraikan lima tahapan perkembangan

psikososial yaitu: percaya vs tidak percaya (0-1 tahun), Otonomi vs rasa

malu dan ragu (1-3 tahun), Inisiatif vs rasa bersalah (3-6 tahun),

Industry vs Inferority (6-12 tahun), Identitas vs keracunan peran (12-18

tahun).

Menurut erikson (1982), faktor penentu harga diri adalah

pandangan anak akan kemampuan kerja produktif mereka. Anak usia

sekolah (6-12 tahun) berada pada tahap Industry vs Inferiority, dimana

anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan anak lainnya

melaui kegiatan yang dilakukan, baik dalam kegiatan akademik maupun


dalam pergaulan melaui permainan yang dilakukan bersama. Otonomi

mulai berkembang pada anak dalam fase ini, terutama awal usia 6 tahun

dengan dukungan keluarga terdekat. Perubahan fisik, emosi, dan sosial

pada anak akan terjadi mempengaruhi gambaran anak terhadap

tubuhnya (body image). Interaksi sosial lebih luas dengan teman,

umpan balik berupa kritik dan evaluasi dari teman atau lingkungannya

mencerminkan penerimaaan dari kelompok akan membantu anak

semakin mempunyai konsep diri yang positif. Perasaan sukses dicapai

anak dengan dilandasi adanya motivasi internal untuk beraktivitas yang

mempunyai tujuan. Kemampuan anak untuk berinteraksi sosial lebih

luas dengan teman di lingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan

perasaan sukses (sense of industry).

Perasaan tidak adekuat dan rasa inferiority atau rendah diri akan

berkembang apabila anak terlalu mendapat tuntutan dari lingkungannya psikososial yaitu: percaya vs
tidak percaya (0-1 tahun), Otonomi vs rasa

malu dan ragu (1-3 tahun), Inisiatif vs rasa bersalah (3-6 tahun),
Industry vs Inferority (6-12 tahun), Identitas vs keracunan peran (12-18

tahun).

Menurut erikson (1982), faktor penentu harga diri adalah

pandangan anak akan kemampuan kerja produktif mereka. Anak usia

sekolah (6-12 tahun) berada pada tahap Industry vs Inferiority, dimana

anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan anak lainnya

melaui kegiatan yang dilakukan, baik dalam kegiatan akademik maupun

dalam pergaulan melaui permainan yang dilakukan bersama. Otonomi

mulai berkembang pada anak dalam fase ini, terutama awal usia 6 tahun

dengan dukungan keluarga terdekat. Perubahan fisik, emosi, dan sosial

pada anak akan terjadi mempengaruhi gambaran anak terhadap

tubuhnya (body image). Interaksi sosial lebih luas dengan teman,

umpan balik berupa kritik dan evaluasi dari teman atau lingkungannya

mencerminkan penerimaaan dari kelompok akan membantu anak

semakin mempunyai konsep diri yang positif. Perasaan sukses dicapai

anak dengan dilandasi adanya motivasi internal untuk beraktivitas yang


mempunyai tujuan. Kemampuan anak untuk berinteraksi sosial lebih

luas dengan teman di lingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan

perasaan sukses (sense of industry).

Perasaan tidak adekuat dan rasa inferiority atau rendah diri akan

berkembang apabila anak terlalu mendapat tuntutan dari lingkungannya

dan anak tidal berhasil memenuhinya. Harga diri yang kurang pada fase

ini akan mempengaruhi tugas-tugas untuk fase remaja dan dewasa.

Pujian atau penguatan (reinforcement) dari orangtua atau orang dewasa

terhadap prestasi yang dicapainya menjadi begitu penting untuk

menguatkan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu. dan anak tidal berhasil memenuhinya. Harga
diri yang kurang pada fase

ini akan mempengaruhi tugas-tugas untuk fase remaja dan dewasa.

Pujian atau penguatan (reinforcement) dari orangtua atau orang dewasa

terhadap prestasi yang dicapainya menjadi begitu penting untuk

menguatkan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu.

Kesehatan Jiwa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan


bugar dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman

adalah relatif, karena bersifat subjektif sesuai orang yang mendefinisikan dan

merasakan.

Jiwa yang sehat sulit didefenisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada

beberapa indikator untuk menilai kesehatan jiwa. Karl Menninger

mendefinisikan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai

kemampuan untuk meyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan

berinteraksi dengan baik, tepat dan bahagia. Michael Kirk Patrick

mendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah orang yang bebas dari gejala

gangguan psikis, serta dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya.

Clausen mengatakan bahwa orang yang sehat jiwa adalah orang yang dapat

mencegah gangguan mnetal akibat berbagai stressor, serta dipengaruhi oleh

besar kecilnya stressor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan, agama dan

sebgainya. Kesehatan Jiwa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan

bugar dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman
adalah relatif, karena bersifat subjektif sesuai orang yang mendefinisikan dan

merasakan.

Jiwa yang sehat sulit didefenisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada

beberapa indikator untuk menilai kesehatan jiwa. Karl Menninger

mendefinisikan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai

kemampuan untuk meyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan

berinteraksi dengan baik, tepat dan bahagia. Michael Kirk Patrick

mendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah orang yang bebas dari gejala

gangguan psikis, serta dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya.

Clausen mengatakan bahwa orang yang sehat jiwa adalah orang yang dapat

mencegah gangguan mnetal akibat berbagai stressor, serta dipengaruhi oleh

besar kecilnya stressor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan, agama dan

sebgainya.

Menurut Undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan

Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran

sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai


berikut: "Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan

perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang

dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna

kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan

memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam

hubungannya dengan manusia lain.

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dalam

pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah setiap

kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap

individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu,

dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau

masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari

kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,

mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan
perkembangan orang lain.

2.3.1 Kriteria Orang Sehat Jiwa

World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan

kriteria orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan Menurut Undang-undang No 3
Tahun 1966 yang dimaksud dengan

Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran

sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai

berikut: "Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan

perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang

dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna

kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan

memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam

hubungannya dengan manusia lain.

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dalam

pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah setiap

kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap
individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu,

dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau

masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari

kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,

mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan

perkembangan orang lain.

2.3.1 Kriteria Orang Sehat Jiwa

World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan

kriteria orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan

hal berikut, diantaranya: 1) menyesuaikan diri secara konstrutif pada

kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk, 2) merasa bebas secara

relatif dari ketegangan dan kecemasan, 3) memperoleh kepuasan dari

usahanya atau perjuangan hidupnya, 4) Merasa lebih puas untuk

memberi dan menerima, 5) berhubungan dengan orang lain secara


tolong-menolong dan saling memuaskan, 6) mempunyai daya kasih

sayang yang besar, 7) menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai

pelajaran di kemudian hari, 8) mengarahkan rasa permusuhan pada

penyelesaian yang kreatif dan konstruktif

2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa

Maramis (2010, dalam Yusuf, 2015) mengatakan bahwa manusia

bereaksi secara keseluruhan-somato-psiko-sosial. Gejala tidak sehat

jiwa (gangguan jiwa) yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi

yang sakit dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya.

1. Faktor Somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada

neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat

kematangan dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan

perinatal.

2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu

dan anak, peranan ayah, persaingan antarsaudara kandung,

hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat.


Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosional, hal berikut, diantaranya: 1)
menyesuaikan diri secara konstrutif pada

kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk, 2) merasa bebas secara

relatif dari ketegangan dan kecemasan, 3) memperoleh kepuasan dari

usahanya atau perjuangan hidupnya, 4) Merasa lebih puas untuk

memberi dan menerima, 5) berhubungan dengan orang lain secara

tolong-menolong dan saling memuaskan, 6) mempunyai daya kasih

sayang yang besar, 7) menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai

pelajaran di kemudian hari, 8) mengarahkan rasa permusuhan pada

penyelesaian yang kreatif dan konstruktif

2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa

Maramis (2010, dalam Yusuf, 2015) mengatakan bahwa manusia

bereaksi secara keseluruhan-somato-psiko-sosial. Gejala tidak sehat

jiwa (gangguan jiwa) yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi

yang sakit dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya.

1. Faktor Somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada


neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat

kematangan dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan

perinatal.

2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu

dan anak, peranan ayah, persaingan antarsaudara kandung,

hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat.

Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosional,

konsep diri dan pola adaptasi juga akan mempengaruhi kemampuan

untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka

dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa

bersalah yang berlebuhan.

3. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola

mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah

kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan,

dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan

keagamaan.
Pentingnya Dukungan Kesehatan Jiwa-Psikososial bagi Peserta Didik

Sebagai orangtua, sudah menjadi kewajibannya terus memberikan motivasi dan dukungan kepada anak.

Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini. Sebagian siswa belum bisa masuk sekolah dan
masih harus menjalani sekolah online.

Namun bagi satuan pendidikan di daerah berstatus PPKM level 1-3, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sudah memperbolehkan menggelar
pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.

Tidak hanya sekedar mempersiapkan sarana dan prasarana terkait protokol kesehatan (prokes), penting
bagi pihak sekolah dan keluarga untuk memberikan dukungan kejiwaan dan psikososial. Terlebih bagi
peserta didik yang mungkin terdampak pandemi Covid-19.

Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) adalah dukungan jenis apa pun dari luar atau lokal
yang bertujuan melindungi atau meningkatkan kesejahteraan psikologis. Atau mencegah serta
menangani kondisi kesehatan jiwa dan psikososial.

DKJPS dipakai berbagai pihak untuk merespons kondisi kedaruratan maupun bencana, salah satunya
pandemi Covid-19. DKJPS mengintegrasikan pendekatan biologis, psikologis, dan sosiokultural di bidang
kesehatan, sosial, pendidikan dan komunitas.

DKJPS dalam situasi kedaruratan mengedepankan berbagai tingkatan intervensi agar diintegrasikan
dalam kegiatan respons pandemi Covid-19. Tingkatan-tingkatan ini disesuaikan dengan spektrum
kebutuhan kesehatan jiwa dan psikososial dan digambarkan dalam piramida intervensi.

Mulai dari mempertimbangkan aspek sosial dan budaya dalam layanan-layanan dasar. Hingga
memberikan layanan spesialis untuk orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa dan psikososial yang
lebih berat.
Dalam konsep DKJPS, diperkenalkan sebuah piramida intervensi dalam upaya memberikan dukungan
kejiwaan dan psikososial. Dukungan ini bisa berupa beberapa hal sebagai berikut ini:

1. Pertimbangan sosial dan layanan dasar keamanan

Dalam kondisi Pandemi Covid-19, orangtua tidak boleh stres terlebih dahulu sehingga mereka bisa
memenuhi hak-hak pengasuhan anaknya yang berada di usia sekolah.

Kreativitas orang tua dalam berinteraksi juga mempengaruhi mental anak-anak untuk tetap ceria dan
bersedia bergaul dengan orang-orang di sekitarnya. Orangtua juga didorong menggunakan kata-kata
positif dalam menjelaskan situasi yang terjadi, sehingga anak tidak merasa stres karena tidak aman.

2. Memperkuat dukungan masyarakat dan keluarga

Dalam konteks pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas di sekolah, lingkungan sekolah harus
menjadi ruang yang ramah anak.

Guru sebagai orang terdekat di luar orangtua berperan penting dalam menjaga psikososial peserta didik.
Kehadiran guru yang aktif menyapa baik saat melakukan sekolah daring atau luring. Hal ini akan
membuat peserta didik merasa terus diperhatikan.

3. Dukungan nonspesialis terfokus

Lingkungan sekolah dan keluarga juga harus memperhatikan bila terjadi perubahan sikap yang signifikan
dari peserta didik. Bila peserta didik nampak murung, tidak bersemangat atau perubahan fisik dan
emosional lainnya, keluarga atau pun guru dapat membantu mengarahkan peserta didik untuk
berkonsultasi.

Misalnya kepada pihak-pihak nonspesialis yang bisa memberikan bantuan layanan kesehatan jiwa dasar
seperti guru BK, dokter layanan kesehatan primer, maupun kader kesehatan.

4. Layanan spesialis

Bila kondisi kejiwaan maupun psikososial peserta didik tidak berangsur membaik, maka pihak sekolah
maupun keluarga dapat membantu peserta didik mendapatkan layanan kesehatan spesialis. Seperti
perawat kesehatan jiwa, psikolog, psikiater, dan lain-lain.
Pihak sekolah maupun keluarga diharapkan dapat menjangkau bahkan menjalin kerja sama khusus
dengan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa terdekat.

Sinergi yang baik antara orangtua, guru, masyarakat, dan pemerintah juga sangat diperlukan demi
meminimalisir dampak pandemi Covid-19 pada peserta didik.

Dari sudut pandang psikologis, guru dapat berperan sebagai:

(1) pakar psikologis

pendidikan, artinya seseorang yang memahami psikologis pendidikan dan mampu

mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;

(2) seniman dalam

hubungan antar manusia (artis in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki

kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia khususnya dengan siswa-siswa

sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan

; (3) pembentuk kelompok, yaitu mampu

membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitas, aktivitas sebagai cara untuk mencapai

tujuan pendidikan;

(4) catalytic agent atau inovator, yaitu orang yang mampu menciptakan

suatu pembaharuan bagi pembuat suatu hal yang lebih baik

; (5) petugas kesehatan mental

(mental hygiene worker) artinya, guru bertanggungjawab bagi terciptanya kesehatan mental

para siswa.

Anda mungkin juga menyukai