Anda di halaman 1dari 100

PSIKOLOGI KESEHATAN

MELIHAT, MEMAHAMI, DAN MENDALAMI KESEHATAN


DARI SUDUT PANDANG ILMU PSIKOLOGI

ERYDANI ANGGAWIJAYANTO
DESI WULANSARI
ELDA NABIELA
APA ITU KESEHATAN DAN PSIKOLOGI
KESEHATAN
Erydani Anggawijayanto

1
PERGESERAN BIDANG KESEHATAN

Dibandingkan bidang-bidang psikologi yang lain,


perkembangan psikologi kesehatan relatif baru, tepatnya sekitar
tahun 1970an. Bidang ini berkembang untuk mengatasi
tantangan yang muncul akibat perubahan tren kesehatan dan
perawatan kesehatan. Satu abad yang lalu, harapan hidup rata-
rata di Amerika Serikat adalah sekitar 50 tahun, jauh lebih
pendek daripada sekarang. Pada masa itu orang Amerika
Serikat meninggal, sebagian besar karena penyakit menular
seperti pneumonia, tuberkulosis, diare, dan enteritis. Kondisi ini
diakibatkan karena kontak dengan air minum dan makanan
yang terkontaminasi, atau penularan dari orang sakit. Orang
mungkin mencari perawatan medis hanya setelah mereka
menjadi sakit, dan pihak medis akan menawarkan obat untuk
penyembuhan. Durasi sebagian besar penyakit seperti demam
tifoid, pneumonia, dan Difteri termasuk pendek, seseorang
dapat meninggal atau pulih dalam hitungan minggu (Brannon,
Updegraff & Feist, 2017).

Siklus kehidupan dan kematian telah mengalami perubahan dari


abad yang lalu. Di Amerika Serikat, usia harapan hidup saat ini
hampir 80 tahun. Pada tahun 1960, bangsa Jepang memiliki
usia harapan hidup 67 tahun dan kini meningkat menjadi 84
tahun, usia harapan hidup terpanjang di dunia. Sementara itu di
Indonesia, juga memiliki kecenderungan pola yang sama. Pada
tahun 1960an, usia harapan hidup Indonesia adalah 48 tahun
(Sumber World Bank) dan pada tahun 2018 telah meningkat
menjadi 69 tahun (BPS, 2019). Peningkatan kualitas sanitasi
publik di kebanyakan negara dibandingkan 50 tahun lalu dan
kemajuan teknologi kedokteran dalam pengobatan penyakit

2
menular sangat mempengaruhi peningkatan usia harapan hidup
masyarakat dunia.

Namun, keberhasilan perbaikan dalam pencegahan dan


pengobatan penyakit menular tersebut digantikan dengan jenis
penyakit yang muncul sebagai pembunuh utama masa ini:
penyakit kronis. Penyakit jantung, kanker, dan stroke
semuanya penyakit kronis sekarang menjadi penyebab
utama kematian di Amerika Serikat dan menyebabkan kematian
lebih besar daripada penyakit menular yang ada selama ini.
Penyakit kronis berkembang dan kemudian bertahan atau
berulang, mempengaruhi orang dalam jangka waktu yang lama
(Brannon, Updegraff & Feist, 2017).

Setiap tahun, lebih dari 2.000.000 orang di Amerika Serikat


meninggal karena penyakit kronis, dan lebih dari 130.000.000
orang hidup dengan setidaknya satu penyakit kronis (Brannon,
Updegraff & Feist, 2017). Di Indonesia, penyakit kardiovaskuler
menjadi penyebab utama kematian nomor satu (Emilia, 2017).
Penyakit kardiovaskuler diantaranya adalah jantung dan stroke,
dan penyakit ini termasuk dalam penyakit tidak menular.

KESEHATAN

Sarapan dalam porsi lengkap (Kahleova, Lloren, Mashchak, Hill,


& Fraser, 2017), Gula menyebabkan sebagian besar masalah
kesehatan masyarakat (Taubes, 2017), berjalan tanpa alas kaki
mungkin lebih baik bagi Anda daripada berjalan di sepatu
(Daoud et al., 2012), dan Diet bukan jawaban untuk obesitas
krisis (Mann et al., 2007). Hal-hal di atas adalah contoh temuan-
temuan terbaru bidang kesehatan yang dibagikan oleh media
sosial maupun media berita utama setiap harinya.

3
Banyak media yang selalu memanfaatkan kenyataan bahwa,
secara umum,orang tampaknya lebih memperhatikan
kesehatan dan berusaha untuk tetap sehat. Rak supermarket
dipenuhi dengan suplemen untuk meningkatkan kualitas hidup,
dan toko buku penuh dengan buku-buku rekomendasi tentang
bagaimana untuk hidup lebih baik. Lalu, apa sebenarnya arti
kesehatan itu sendiri? WHO mendefinisikan kesehatan sebagai
kondisi lengkap secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial
(WHO, 2017). Salah satu aspek yang dapat ditambahkan
adalah "rohani." Definisi seperti ini relatif umum ketika kita
melihat buku atau majalah yang mencakup kesehatan dengan
cara yang tidak spesifik.

Salah satu cara untuk melihat kesehatan adalah sebagai


kontinum dengan kesehatan yang optimal (didefinisikan secara
luas) pada salah satu ujung dan kesehatan yang buruk di yang
lain, duduk di dua ujung sebuah jungkat-jungkit. Beberapa hal
sehat yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari
menentukan posisi relatif kita (lebih dekat ke kesehatan yang
optimal atau lebih dekat dengan kematian) pada saat tertentu.
Hal sehat yang kita lakukan (misalnya, makan dan tidur
nyenyak, berolahraga, dan Luangkan waktu untuk bersantai)
membuat sisi kesehatan optimal dari jungkat-jungkit lebih berat.
Dan sebaliknya, hal tidak sehat yang kita lakukan (misalnya,
stres, merokok, dan minum alkohol berlebihan) membuat kita ke
sisi kesehatan yang buruk (Gurung, 2019).

PANDANGAN KESEHATAN LINTAS BUDAYA

Di kalangan medis Barat, Anda dikatakan sehat jika tidak ada


penyakit. Tentu saja, definisi ini berfokus terutama pada aspek
fisik atau biologis kehidupan. Pendekatan ini sering disebut
sebagai pendekatan biomedis untuk kesehatan. Sementara itu,

4
masyarakat non-Barat memiliki pemahaman yang berbeda
tentang kesehatan. Sebagai contoh, dalam pandangan medis
Cina, kesehatan adalah keseimbangan yin dan yang, dua
kekuatan pelengkap di alam semesta (kaptchuk, 2000; Santee,
2017). Yin dan yang sering diterjemahkan ke dalam panas dan
dingin, atau keseimbangan diantara dua kutub yang
berlawanan. Untuk kesehatan yang optimal Anda harus makan
dan minum dan menjalani hidup Anda dengan porsi yang sama
antara kualitas panas dengan kualitas dingin.

Pandangan mengenai keseimbangan antara dua kutub ini


merupakan elemen penting untuk budaya di tempat lain, seperti
meksiko dan India. Merujuk pada kitab Weda, sistem
kedokteran kuno di India fokus pada organ tubuh, pikiran dan
jiwa (Svoboda, 2004), sedangkan pendekatan meksiko amerika
percaya bahwa kesehatan dan penyakit disebabkan faktor
biologis maupun spiritual (Tovar, 2017). Pandangan meksiko-
amerika ini menggabungkan pandangan medis barat dengan
pandangan non-barat (Gurung, 2019). Konsep kesehatan di
Indonesia yang tertulis dalam UU no. 36 tahun 2009
menyebutkan kesehatan adalah keadaan sehat baik secara
fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dan
definisi kesehatan di Indonesia telah mencakup aspek biologis,
mental, rohani, sosial dan ekonomi.

Di sebagian besar negara di seluruh dunia, kesehatan dipahami


baik menggunakan pendekatan medis Barat dengan evidence-
based atau pendekatan adat tradisional (Prasadarao, 2014).
Dalam sistem tradisional, kisaran luas dari praktisi memberikan
bantuan. Sebagai contoh, Maori dari Selandia Baru memiliki
imam yang berbeda yang membantu menyembuhkan pikiran,
emanga , a a ika an Kel a ga (Mana ha o a, 2012).

5
Demikian pula, di daerah Sahara Afrika, ada empat jenis
penyembuh tradisional, baik pria dan wanita, yang menyediakan
perawatan kesehatan: petugas tradisional kelahiran,
penyembuh iman, ahli nujum dan Spiritualis serta dukun.
Sehingga tidak mengherankan, Religiositas seseorang telah
menjadi fokus utama psikolog kesehatan (Park & Carney, 2018).

Faktor-faktor budaya, agama maupun adat istiadat, merupakan


hal-hal penting untuk memahami kesehatan masyarakat.
Larangan makan babi dan minuman alkohol, perintah puasa,
hingga sholat lima waktu bagi umat islam, atau anjuran tidak
makan daging sapi bagi umat hindu, kewajiban mematuhi
perintah orang tua dalam kebanyakan budaya di Indonesia,
semua merupakan keyakinan yang mempengaruhi pola hidup
manusia. Pola hidup yang dilaksanakan secara konsisten akan
membentuk suatu perilaku. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, perilaku dapat merujuk pada kutub kesehatan baik
atau kutub kesehatan buruk dalam sebuah jungkat-jungkit
kesehatan.

Salah satu contoh perilaku mayoritas masyarakat Indonesia


adalah makan nasi putih. Sementara orang yang makan nasi
putih memiliki kadar glukosa darah yang tinggi, lebih tinggi jika
dibandingkan mengkonsumsi nasi merah (Yonathan &
Suhendra, 2013). Hal ini diikuti dengan kondisi bangsa
Indonesia menduduki peringkat keempat didunia dengan jumlah
penderita penyakit diabetes melitus terbanyak didunia (Depkes,
2018). Kebiasaan makan nasi putih pada mayoritas masyarakat
di Indonesia memiliki kaitan dengan jumlah penderita diabetes
melitus, sehingga perlu menciptakan perilaku sehat untuk
mencegah atau mengurangi potensi gangguan kesehatan
akibat kebiasaan makan.

6
Dua aspek paling penting yang membentuk kelompok budaya
dan sering menjadi bahan diskusi mengenai keragaman adalah
status sosial ekonomi (SES) dan jenis kelamin. SES sering
diukur dengan cara mengkombinasikan pendapatan dengan
level edukasi seseorang. SES menjadi salah satu konstuk yang
paling penting dan banyak dipelajari dalam Psikologi kesehatan
(Ruiz et al, 2019). Hampir setiap studi yang telah dilakukan
mengenai topik SES menunjukkan bahwa kemiskinan dan
gangguan cenderung muncul bersamaan, sering dihubungkan
dengan fakktor-faktor seperti akses ke pelayanan kesehatan
dan asuransi.

SES juga mempengaruhi dan mendasari hubungan setiap faktor


seperti ras, pengasuhan dan kesehatan kardiovaskular.
Hubungan antara SES dengan kesehatan juga bersifat
langsung, semakin kaya seseorang maka kesehatannya
semakin baik (Gurung, 2019). Beberapa cara untuk mengukur
SES kebanyakan melibatkan kuantifikasi pendapatan keluarga,
Pendidikan orang tua dan status pekerjaan. Penelitian
menunjukkan SES berasosiasi dengan beragam kesehatan,
kognitif dan outcame sosial emosional dengan efek pada masa
didalam Rahim hingga masa remaja (Gottfried, Gottfried,
Bathurst, Guerin & Parramore, 2003).

Selain SES, banyak perbedaan dalam kesehatan disebabkan


oleh jenis kelamin, yang mana hal ini merupakan bawaan,
karakteristik biologis (Rosenthal & Gronich, 2019). Sebagai
contoh, pria cenderung lebih cepat meninggal setelah
pendarahan otak dalam, salah satu tipe stroke (Marini et al,
2017). Pria dan wanita memiliki reaksi yang berbeda terhadap
rawat inap (Shlomi Polachek et al., 2017), kebutuhan informasi
kesehatan (Stewart, Abbey, Shnek, Irvine, & Grace, 2004), dan
penyakit secara umum (Westbrook & Viney, 1983). Jenis

7
kelamin juga memiliki interaksi dengan elemen kebudayaan
yang lain seperti ras dan etnis (Zissimopoulos, Barthold, Brinton,
& Joyce, 2017).

PSIKOLOGI KESEHATAN??

Psikologi kesehatan dikonsepkan sebagai bidang yang


mencakup bidang umum pengobatan perilaku bersama-sama
dengan bidang medis dan berbagai ilmu kesehatan masyarakat
dan pelayanan (Freedland, 2017). Di masa lalu, psikologi
kesehatan muncul ketika manusia merasakan penderitaan yang
lebih disebabkan penyakit kronis daripada disebabkan
kelaparan, infeksi, dan penyakit menular (Epidemiologic
transition; Omran, 2005). Kembali lebih jauh lagi, dua komponen
pertama dari pendekatan biopsikososial-berfokus pada biologi
dan psikologi-mewakili resolusi saat ini untuk perdebatan yang
telah lama terjadi.

Psikologi Kesehatan didefinisikan sebagai spesialisasi khusus


dari psikologi interdisipliner yang ditujukan untuk
mempromosikan dan memelihara kesehatan serta mencegah
dan mengobati penyakit (Leventhal, Weinman, Leventhal, &
Phillips, 2008; Matarazzo, 1982; Taylor, 1990). Psikolog
kesehatan memperhatikan dengan cermat cara pikiran,
perasaan, perilaku, dan proses biologi, semuanya berinteraksi
satu sama lain untuk mempengaruhi kesehatan dan penyakit
mulai dari penyakit jantung kronis dan kanker hingga diabetes
dan obesitas (Freedland, 2017) .

Dalam banyak hal, psikologi kesehatan lebih luas jika dianggap


sebagai subbidang dalam disiplin psikologi. Psikologi kesehatan
seperti halnya bidang psikologi lain yang dibangun di atas
gagasan teoritis dan temuan penelitian dari berbagai bidang

8
psikologi. Sebagai contoh, banyak cara untuk memahami
penyebab stres dan bagaimana cara mengatasinya berasal dari
Psikologi sosial dan kepribadian.

Seperti dalam evolusi psikologi, bahkan psikolog klinis seperti


Freud, Alexander, dan Dunbar berkontribusi pada
pengembangan bidang Psikologi kesehatan. Selain itu, dasar
biologis kesehatan juga telah dipelajari oleh psikolog fisiologis.
Sebagai contoh pengaruh perilaku dalam teori yang
dikembangkan Skinner dan Watson, penerapan teori perilaku
dasar (misalnya, pengkondisian klasik dan operan) dapat
membantu seseorang untuk berhenti merokok atau membantu
mereka untuk makan lebih baik atau berolahraga lebih banyak
(Gurung, 2019).

Contoh kebiasaan makan nasi pada kebanyakan masyarakat


Indonesia dan hubungannya dengan penyakit diabetes melitus
merupakan masalah yang telah banyak mendapat perhatian ahli
psikologi kesehatan. Kebiasaan makan erat kaitannya dengan
perilaku, sehingga banyak metode-metode yang telah
dikembangkan untuk merespon masalah tersebut. Kampanye
olah raga, makan-makanan bergizi, program diet karbohidrat
dan sebagainya merupakan upaya untuk mengurangi efek
negatif konsumsi makanan mengandung glukosa. Selain
diabetes melitus, masih banyak masalah-masalah di negara
Indonesia yang perlu mendapat perhatian dari psikologi
kesehatan. Ada banyak ruang bagi ilmu ini untuk membantu
peningkatan kesehatan masyarakat.

9
Setelah mempelajari definisi kesehatan dan psikologi
kesehatan, saatnya memeriksa apakah materi-materi diatas
telah tersimpan dengan baik di ingatan kalian.

1.) berapa usia harapan hidup di Amerika Serikat, pada awal


abad 20?

2.) Negara mana yang memiliki usia harapan hidup terpanjang


di dunia?

3.) sebutkan beberapa contoh penyakit kronis yang menjadi


pembunuh utama masa kini!

4.)Aspek kesehatan yang di ukur dengan membandingkan


antara level pendapatan dan Pendidikan di sebut?

5.) Definisi kesehatan di Indonesia merujuk pada UU nomer?

10
11
STRES : PENGERTIAN DAN EFEKNYA
Erydani Anggawijayanto

12
DEFINISI STRES

Stres merupakan realita sehari-hari yang sering muncul di


tengah masyarakat. Stres disebabkan oleh begitu banyak faktor
termasuk perubahan-perubahan besar dalam hidup yang
terjadi, seperti kematian orang tersayang, kehilangan pekerjaan,
bencana alam hingga kejadian-kejadian traumatis seperti teror
11 september, tsunami Aceh dan terakhir virus corona. Stress
juga terjadi karena perubahan-perubahan minor seperti putus
hubungan asmara, pindah tempat tinggal bahkan pindah
departemen kerja. Kejadian sehari-hari seperti kemacetan lalu
lintas, tugas yang terlalu banyak dan tempat tinggal yang tidak
nyaman pun dapat menyebabkan stres.

Pada dasarnya, tidak semua hal negatif merupakan penyebab


stres dan tidak semua hal positif otomatis bebas stres. Contoh
sederhana adalah dipecat dari pekerjaan. Umumnya dipecat
adalah hal negatif karena kehilangan sumber pemasukan,
namun bisa menjadi kejadian menyenangkan karena pekerjaan
itu adalah hal yang tidak disukai sehingga ada kesempatan
untuk mencari pekerjaan lain yang disukai. Penjelasan diatas
menunjukkan bahwa stres bersifat subjektif.

Stres telah dipelajari dalam berbagai macam pendekatan,


bahkan setiap orang memiliki gagasan sendiri terkait stres. Ada
beberapa cara untuk menjelaskan definisi stres, gagasan awal
stres adalah pandangan dalam konteks umum perilaku,
sehingga dibuat gambaran singkat mengenai proses-proses
yang terlibat dalam perilaku. Cannon (1929) melihat stres
sebagai aktivitas biologis dari tubuh ketika melakukan tindakan,
melibatkan aktivitas simpatis serta endokrin, mirip dengan
pendapat Selye(1956) yang melihat stres sebagai aktifasi
sejumlah sistem fisiologis.

13
Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa cara terbaik untuk
mengetahui kapan seseorang tertekan atau mengalami stres
adalah dengan melihat respon tubuh terhadap situasi
lingkungannya (Gruenwald, 2019). Respon terhadap situasi
stresor yang menyebabkan tekanan pada seseorang diproses
oleh sistem syaraf simpatik dan menghasilkan tekanan jantung,
pernafasan dan sirkulasi darah.

Komponen psikologis ditambahkan kedalam definisi-definisi


stres pertama oleh Lazarus (1966) yang menyebutkan kondisi
atau pengalaman perasaan ketika seseorang mempersepsi
bahwa permintaan sumber daya sosial dan personal lebih besar
daripada kemampuan individu untuk menyediakannya. Secara
singkat, ada ketidak seimbangan antara kebutuhan dan
ketersediaan sumber daya. Kaplan (1983) menyebutkan stres
psikososial merefleksikan ketidakmampuan individu untuk
mencegah atau mengurangi persepsi, ingatan, antisipasi atau
imajinasi dari lingkungan yang tidak dihargai. Teori-teori
psikologi mendefinisikan stres sebagai hasil permintaan yang
dirasakan pada organisme yang melebihi sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (Gurung, 2019).

SISTEM SYARAF DAN FISIOLOGIS STRES

Stres merupakan pengalaman psikologi yang mudah


mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Untuk memahami efek
fisiologis dari stres perlu memahami beberapa aspek sistem
syaraf dan sistem endokrin. Sistem syaraf pada manusia
memiliki milyaran sel individu yang disebut neuron, dengan
fungsi elektrokimiawi. Aktivitas elektrik pada neuron-neuron
melepaskan zat kimia yang disebut nurotransmiter dan
berfungsi sebagai sistem komunikasi utama pada neuron. Efek

14
stres pada tubuh merupakan sistem pertahanan terhadap
lingkungan

Pada sistem syaraf, terdapat CNS (Central nervous system)


yang terdiri dari otak dan tulang belakang dan PNS (Peripheral
nervous system) yang merupakan seluruh sistem syaraf selain
otak dan tulang belakang. PNS terdiri dari sistem syaraf somatik
yang terletak diseputar otot sistem indera dekat kulit, sedangkan
syaraf autonomic terletak disekitar organ internal. Sistem syaraf
autonomic penting dalam respon stres (Brannon, Updegraff, &
Feist, 2017).

Sistem syaraf autonomi terbagi dala dua bagian, yang pertama


adalah sistem syaraf simpatik yang menggerakkan sumberdaya
tubuh dalam menghadapi kondisi darurat, stresful, dan situasi
emosional (Pinel & Barnes, 2018). Reaksi tubuh yang muncul
seperti peningkatan detak jantung, kekuatan kontraksi detak
jantung, peningkatan sistem pernafasan, penyempitan
pembuluh darah dibawah kulit, penurunan akivitas
gastrointestinal (pendarahan di sistem pencernaan), stimulus
kelenjar keringat, pelebaran pupil mata, hingga perubahan
aliran darah dan jumlah oksigen yang menyebabkan
peningkatan kemampuan respon motorik terhadap ancaman
yang muncul (Brannon, Updegraff, & Feist, 2017).

Bagian kedua adalah sistem syaraf parasimpatik. Bagian ini


cenderung berlawanan dengan peran sistem simpatik seperti
mendorong terjadinya proses relaksasi, pencernaan dan
mengembalikan fungsi pertumbuhan normal. Sistem syaraf ini
aktif dalam kondisi normal, bukan kondisi penuh tekanan.
Sehingga, dapat dianalogikan, jika syaraf simpatik berfungsi
sebagai gas, parasimpatik sebagai rem (Brannon, Updegraff, &
Feist, 2017)..

15
Neuron-neuron yang ada di sistem ANS diaktivasi oleh
neurotransmiter, terutama asetilkolin dan norepinefrin.
Neurotransmiter memiliki efek yang kompleks, karena setiap
organ akan menghasilkan efek yang berbeda dari
neurotransmiter yang sama. Hal ini disebabkan setiap organ
memiliki penerima neurochemical yang berbeda-beda. Dan zat-
zat utama neurotransmiter tersebut saling menyeimbangkan
dan menghasilkan berbagai macam respon (Pinel & Barnes,
2019 ; Brannon, Updegraff, & Feist, 2017 ).

SISTEM NEUROENDOKRIN

Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar tanpa saluran yang


tersebar diseluruh tubuh. Sistem neuroendokrin terdiri dari
kelenjar-kelenjar endokrin yang berhubungan dengan sistem
syaraf. Sistem ini menghasilkan zat kimiawi yang disebut
hormon dan disebarkan keseluruh tubuh melalui aliran darah.

Sistem endokrin dan sistem syaraf memeiliki beberapa


kesamaan maupun perbedaan, keduanya membagi hasil
sintesis zat kimiawi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Jika
sistem endokrin menghasilkan zat kimiawi yang dinamankan
hormon, maka sistem syaraf menghasilkan neurotransmiter.
Perbedaan selanjutnya adalah proses aktivasi, pada sistem
syaraf respon terhadap stimulus berlangsung sangat cepat
dengan efek jangka pendek, sedangkan pada sistem endokrin
cenderung lambat dengan efek bertahan lebih lama.
Kedua sistem ini berhubungan dalam fungsi dan interaksi pada
neuroendokrin.

Kelenjar-kelenjar Endokrin yang penting untuk respon pada


stres

16
1. Kelenjar Pituitari
Terletak di otak dan berintaraksi langsung dengan sistem
syaraf, terutama dengan hipotalamus. Kelenjar ini
menghasilkan beberapa hormon yang mempengaruhi
kelenjar lain untuk menghasilkan hormon-hormon lain. Hal
ini membuat kelenjar pituitari disebut dengan kelenjar
master (master gland).
Salah satu hormon yang dihasilkan adalah
adrenocorticotropic (ACTH) yang berperan penting dalam
respon terhadap stres. Hormon ini dihasilkan ketika
kelenjar pituitari distimulus oleh hipotalamus ketika
mendapat respon yang diterjemahkan sebagai stresor.
2. Kelenjar Adrenal
Kelenjar ini terletak diatas setiap ginjal. Kedua kelenjar ini
menghasilkan hormon-hormon yang berfungsi merespon
stres. Salah satunya adalah kortisol yang sangat
berhubungan dengan stres. Level kandungan kortisol yang
bersirkulasi di dalam darah dapat digunakan sebagai index
tingkat stres. Selain darah, kortisol juga dapat diperiksa
didalam air liur dan urin.
Selain kortisol, kelenjar ini juga menghasilkan hormon
catecholamines yang mengandung epinefrin dan
norepinefrin. Hormon ini berfungsi untuk meningkatkan dan
menurunkan denyut jantung, pernafasan aliran dan
kekuatan otot. Epinefrin dan norepinefrin mengalir melalui
aliran darah, tetapi keberadaannya juga dapat diperiksa
melalui urin.

Aspek fisiologis stres juga berhubungan dengan kondisi


homeostasis, yaitu kondisi ideal fungsi-fungsi jasmani (Prus,
2018). Kondisi homeostatis menunjukkan bahwa tubuh manusia
pada dasarnya akan mempertahankan level optimal pada fungsi

17
seluruh bagian tubuh. Misal, ketika demam, hipotalamus akan
mempertahankan level temperatur tubuh dalam kondisi ideal
sehingga hormon ACTH akan mempengaruhi kelenjar adrenal
untuk menghasilkan hormon yang mempengaruhi fungsi tubuh
yang dapat menurunkan temperatur badan.

Proses pengaturan, seperti homeostatis, menyangga


organisme dari efek-efek perubahan internal maupun eksternal
tubuh. Sementara itu, proses perbaikan melakukan refresh,
menopang dan memperbaiki beberapa bentuk kerusakan sel.
Perlengkapan regulator atau pengatur hanya bekerja dalam
batas gangguan tertentu di dalam lingkungan internal tubuh.
Komponen perbaikan dari perlengkapan pengatur hanya
berfungksi untuk mengembalikan organisme kedalam kondisi
semula. Stres psikologis juga menunjukkan hubungan saling
mempengaruhi dengan proses pengerjaan aturan ini (Brentson
& Cacioppo, 2007).

Stresor, merupakan segala sesuatu yang mengganggu


keseimbangan homeostatis tubuh, sedangkan respon stres
merupakan segala hal yang dilakukan untuk mengembalikan
keseimbangan tersebut. Penjelasan ini menunjukkan bahwa
stresor bersifat subjektif bagi individu, ada hal yang bersifat
sebagai stresor bagi seseorang namun adalah hal biasa bagi
orang lain. Contohnya adalah presentasi, bisa menjadi hal
menyenangkan bagi seorang mahasiswa, bisa menjadi sumber
masalah bagi mahasiswa lainnya.

STRES DAN IMUNITAS TUBUH

Di awal tahun 2020, dunia digemparkan kasus covid-19 atau


dikenal dengan virus corona. Hingga saat ini korban meninggal
telah mencapai lebih dari 1600 orang (Kompas.com, 2020).

18
Virus ini pertama kali muncul di kota Wuhan, Provinsi Hubei,
China pada akhir Desember 2019 dan kini telah tersebar hampir
diseluruh dunia.

Virus corona termasuk dalam keluarga virus yang menyebabkan


penyakit dengan gejala paling ringan berupa flu biasa, hingga
gejala parah seperti MERS, SARS dan yang terbaru nCoV
(novel coronavirus) yang dapat menyebabkan kematian. Hingga
saat ini belum ditemukan obat untuk penyakit flu nCoV seperti
halnya sakit flu biasa. Obat-obat yang beredar dipasaran
merupakan obat untuk gejala yang muncul akibat virus flu. Sakit
flu akan pulih dengan sistem imun yang ada didalam tubuh
manusia, dan saat ini sudah ada 9000 lebih pasien flu virus
corona yang dinyatakan sembuh (Detik.com, 2020) meskipun
belum ada obat untuk penyakit ini.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tubuh memiliki


sistem imun yang menjaga dari gangguan-gangguan dari luar.
Selain gangguan fisiologis, sistem imun juga melindungi tubuh
dari penyakit yang berhubungan dengan stres. Sistem imun
memainkan peran sangat penting dalam menjaga dan
mempertahankan kesehatan.

Tinggal di bumi artinya tinggal di lingkungan yang penuh


organisme-organisme seperti bakteri, virus dan jamur.
Beberapa organisme tersebut mungkin tidak membahayakan,
namun juga ada yang dapat menyebabkan kematian seperti
virus corona. Sistem imun terdiri dari lapisan-lapisan, organ
tubuh dan proses yang bekerja melindungi tubuh dari
mikroorganisme-mikroorganisme asing. Sistem imun juga
menampilkan fungsi pembenahan dengan menyingkirkan sel-
sel rusak maupun yang berbahaya dan menjaga dari sel-sel

19
peniru (mutant cells). Secara otomatis, sistem imun akan
menyingkirkan mereka begitu mendeteksi keberadaannya.

Sistem imun menyebar di seluruh tubuh dalam bentuk sistem


lymphatic (lemah/tipis). Jaringan halus dalam sistem lymphatic
disebut getah bening (lymph) yang terdiri dari komponen
jaringan darah, sel darah merah dan trombosit. Lymph akan
berkeliling keseluruh tubuh melalui pembuluh darah kemudian
melewati kelenjar getah bening (Lymph node) yang akan
membersihkan aliran getah bening dari sel-sel mati, bakteri
bahkan sekedar debu yang masuk dalam tubuh.

Selain getah bening, terdapat salah satu jenis sel darah putih
yang disebut lymphocytes dan Thymus yang sangat penting
dalam sistem imun, salah satunya menghasilan T-Cells, B-Cells,
dan NK-Cells yang dapat membunuh mikroorganisme asing di
dalam tubuh.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan masalah psikologi?

Keberhasilan Ivan Pavlov dengan teori kondisioning klasik


menimbulkan pertanyaan sederhana dari para ahli fisiologis,
apakah kondisioning klasik dapat mempengaruhi fungsi
pemrosesan fisiologis yang tidak terlihat, seperti halnya sistem
imun?. Pada tahun 1975, Robert Ader dan Nicholas Cohen
menunjukkan interaksi antara sistem syaraf, sistem imun dan
perilaku. Penelitiannya menggunakan tikus, pemanis buatan
dan air menunjukkan bahwa sistem imun dapat dihasilkan
dengan pembelajaran asosiatif seperti sistem tubuh lainnya.
Penelitian ini awalnya tidak dapat diterima begitu saja, namun
setelah penelitian direplikasi, diulang dan menunjukkan hasil
yang cenderung sama, akhirnya diakui bahwa sistem imun dan

20
sistem tubuh lainnya saling bertukar informasi dalam berbagai
cara.

Hasil penelitian Ader dan Cohen memacu peneliti lain untuk


mengeksplorasi mekanisme fisik melalui interaksi-interaksi yang
terjadi. Para ahli di bidang psikologi mulai menggunakan
pengukuran fungsi imun untuk memeriksa efek perilaku
terhadap sistem imun.Salah satu peneitian menunjukkan
individu yang diperlihatkan gambar-gambar penyakit infeksi,
seperti cacar, kulit terluka dan bersin, dapat menyebabkan
peningkatan produksi sitoksin (Schaller, Miller, Gervais, Yager,
& Chen, 2010), sitoksin ini berguna pada sistem imun dan
mendasari beberapa kondisi seperti penyakit, depresi bahkan
penarikan sosial / social withdrawal (Eisenberger, Inagaki,
Mashal, & Irwin, 2010).

Lalu, apakah stres menyebabkan penyakit pada seseorang?


Seperti penjelasan diatas, tubuh memiliki sistem imun yang
dapat menjaga tubuh dari invasi hal-hal tidak di kenal.
penelitian-penelitian terkini menunjukkan bahwa
psychoneuroimmunology memiliki fungsi-fungsi respon sistem
imun, baik jangka pendek maupun panjang. Sitoksin berfungsi
dalam komunikasi antara sistem imun dengan sistem syaraf.
Selain itu, stres mungkin mendorong perubahan perilaku
manusia baik itu baik untuk kesehatan maupun buruk bagi
kesehatan.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa seseorang yang


mengalami stres berat dalam hidupnya, tidak mengembangkan
penyakit, namun kolesterol tinggi, merokok atau minum alkohol
adalah perilaku beresiko terhadap kesehatan, yang biasanya
dilakukan saat mengalami stres. Namun, benarkah demikian?

21
Penjelasan mengenai stres dan penyakit akan membahas hal
ini.

PANDANGAN MENGENAI STRES

Stres tidak memiliki definisi yang sederhana, meski telah


didefinisikan sebagai stimulus, respon maupun interaksi
keduanya. kadang disebut stimulus, seperti lingkungan kerja
dengan tekanan tinggi. Di sisi lain akan disebut sebagai respon
fisik, seperti jantung yang berdetak tidak teratur saat tertekan.
Pandangan yang lain menunjukkan stres sebagai interaksi
antara stimulus lingkungan dan individu tersebut.

Pada awal tahun 1930an, Hans Selye menyusun konsep stres


sebagai stimulus yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya.
Pada tahun 1950, Selye merubah fokus atau konsep stres
sebagai respon yang dihasilkan organisme. Sehingga Selye
membedakan stres sebagai stimulus dengan sebutan stresor
sedangkan stres sendiri diartikan sebagai respon dari stresor
(Brannon, Updegraff, & Feist, 2017).

Selye juga memperkenalkan istilah General adaptation


syndrome (GAS) atau Sindrom adaptasi umum, untuk
menjelaskan usaha tubuh untuk mempertahankan diri dari
stresor. Sindrom ini terbagi dalam tiga tahap, yang pertama
adalah reaksi alarm (alarm reaction), terjadi saat pertahanan
tubuh melawan stresor melalui aktivasi sistem syaraf simpatis.
hormon epinefrin atau adrenalin dilepaskan sehingga
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, nafas menjadi
lebih cepat dan darah segar dialirkan ke otot, kelenjar keringat
aktif dan sistem pencernaan cenderung tidak aktif.

22
Tahap kedua disebut sebagai tahap resistensi. Pada tahap ini
tubuh mulai beradaptasi dengan kondisi stres. Jika organisme
mampu beradaptasi, tahap ini akan lebih berlangsung lebih
lama, sementara itu akan menjadi lebih cepat jika organisme
cenderung sulit beradaptasi. Pada tahap ini, individu akan
berusaha tampak normal dan baik-baik saja, namun fungsi
organ dalam tidak berfungsi normal. Semakin lama berada
dalam tahap ini, maka perubahan hormonal dan neurologis akan
terjadi. Pada tahap ini, Selye menyebutkan beberapa penyakit,
diantaranya adalah hipertensi dan penyakit-penyakit
kardiovaskuler, hipertiroidisme hingga asma. Selye juga
berpendapat bahwa stres menyebabkan perubahan sistem
imunitas tubuh, lebih mudah mengalami infeksi.

Tahap ketiga disebut dengan exhaustion atau tahap kelelahan.


Organisme kehabisan kemampuan untuk melawan stres. Pada
tahap ini sistem syaraf parasimpatis kembali aktif, namun dalam
situasi abnormal. Efek pada individu adalah merasa lelah, tidak
berenergi dan berujung pada depresi bahkan menyebabkan
kematian.

Pandangan stres yang dikemukakan oleh Hans Selye belum


memasukkan faktor dan situasi psikologis individu, seperti
komponen emosional dan interpretasi individu terhadap
kejadian penuh tekanan. Pandangan stres dengan faktor
psikologis diperkenalkan oleh Richard Lazarus pada tahun
1960an, 10 tahun setelah Selye membedakan stres dan stresor.

Menurut Lazarus, interpretasi individu terhadap kejadian penuh


tekanan (stressful events) lebih penting daripada kejadiannya itu
sendiri. Bukan hanya lingkungan kejadian atau respon individu
terhadap stres akan tetapi persepsi individu pada situasi
psikologis adalah faktor penting. Contohnya seperti situasi

23
presentasi yang telah disebutkan sebelumnya, menjadi masalah
bagi seorang mahasiswa namun menjadi hal menyenangkan
bagi mahasiswa lainnya.

Faktor psikologis yang dikembangkan Lazarus merujuk pada


kemampuan seseorang untuk berpikir dan mengevaluasi
kejadian yang akan datang, sehingga manusia lebih rentan
dengan stresor psikologis dibandingkan organisme non human.
Kemampuan kognitif yang dimiliki manusia menjadi modal untuk
melawan stres, sehingga efek stres pada seseorang berdasar
perasaan pada ancaman, kerentanan dan kemampuan
menghadapi kejadian stres itu sendiri.

Stres psikologis didefinisikan sebagai hubungan tertentu antara


seseorang dengan lingkungan yang dinilai memberatkan dan
melebihi kemampuannya serta membahayakan
kesejahteraannya (Lazarus & Folkman, 1984). Definisi ini
menekankan pada interaksi pandangan terhadap stres, dimana
stres merupakan hubungan antara seseorang dan
lingkungannya. Definisi ini juga menekankan pada peran
seseorang dalam menilai situasi psikologis dan kemunculan
stres ketika seseorang menilai situasi sebagai ancaman,
menantang dan berbahaya.

Lazarus (1966) menyebutkan stres sebagai ketidakseimbangan


antara keinginan individu dan kemampuan individu untuk
mencapainya. Pandangan ini tergantung pada interpretasi
individu yang disebut appraisals (penilaian). Awalnya ada 2
tahap pada model penilaian cognitive Lazarus, yaitu, primary
appraisal. Sebelum tahap ini individu belum meyakini apakah
kejadian yang dialami bersifat positif, negatif atau netral, belum
yakin juga apakah berbahaya, mengancam atau menantang
(Gurung, 2019). Kemudian individu akan menilai secara

24
subjektif apakah kejadian yang dialaminya bersifat positif,
negatif atau netral.

Setelah membuat penilaian awal atau primary appraisal, orang


akan memeriksa kemampuan dirinya, apakah ia mampu dan
memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk menghadapi
kejadian yang dialami. Proses pemeriksaan diri ini disebut
secondary appraisal atau penilaian kedua (Gurung, 2019).
Tahap ini akan menghasilkan keputusan seseorang untuk
menghadapi atau tidak menghadapi kejadian yang ditemuinya
(fight or flight lawan atau tinggalkan).

Tahap ketiga, disebut reappraisal dikembangkan oleh Lazarus


dan Folkman (1984) mengenai kemungkinan perubahan
penilaian karena hadirnya informasi atau pengetahuan baru.
Contohnya pada hubungan kekasih yang putus, mungkin
awalnya dinilai sebagai kejadian negatif dan tidak
menyenangkan, namun setelah menjalaninya beberapa saat,
menemukan hal-hal positif, putus cintanya akan dinilai sebagai
kejadian yang cukup positif. Penilaian kognitif dapat berperan
penting dalam situasi stres dalam lingkup penelitian
labo a o i m (O Conno , Wil on, & La on, 2017) ma n
kesehatan psikologis secara umum (Gomes, Faria, & Lopes,
2016).

Penilaian kognitif yang dikembangkan Lazarus dan Folkman


dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satu yang paling
berpengaruh adalah kebudayaan. Misal, berbicara sambil
menatap mata adalah hal biasa bagi bangsa Eropa Amerika,
namun akan dianggap sebagai masalah jika dilihat dari budaya
Asia (Galanti, 2015). Memanggil nama pada orang yang lebih
tua mungkin biasa bagi masyarakat Eropa Amerika, tetapi bisa
menjadi masalah besar di Indonesia atau bangsa Asia.

25
DIATHESIS-STRESS MODEL

Untuk menjelaskan relasi suatu kejadian dan stres


berkepanjangan dengan gangguan psikologis, dalam kerangka
psikopatologi, dapat dijelaskan melalui pendekatan diathesis-
stress model (Tiegel, 2017). Pendekatan ini melibatkan
hubungan antara predisposisi kerentanan (diathesis) dan stres
(situasi / kondisi tekanan yang dialami) sebagai kontibutor
berkembangnya psikopatologi. Stres akan mengaktifkan
kerentanan yang dimiliki individu, sehingga menyebabkan
perkembangan dan munculnya gangguan.

Kerentanan individu yang berhubungan dengan stres


disebabkan faktor genetik atau ketidakseimbangan biokimia
yang menyebabkan individu rentan terhadap suatu gangguan.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa ada dua faktor yang
dibutuhkan untuk menghasilkan suatu gangguan. Pertama,
seseorang harus memiliki kecenderungan yang relatif permanen
terhadap gangguan. Kedua, seseorang itu harus memiliki
pengalaman stres. Pada individu yang memiliki kecenderungan
kuat terhadap gangguan, lingkungan dengan tingkat stres
rendah mungkin dapat menghasilkan gangguan.

Kekerasan pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan


kerentanan terhadap gangguan fisik maupun psikologis, pada
masa dewasanya dapat meningkatkan kerentanan pada
gangguan skizofrenia (Rosenberg, Lu, Mueser, Jankowski, &
Cournos, 2007), kecemasan dan depresi (Stein, Schork, &
Gelernter, 2008), PTSD (Storr, Lalongo, Anthony, & Breslau,
2007) dan penyakit infeksi (Cohen, 2005). Secara singkat,
individu yang memiliki kerentanan dan terpapar stres yang
signifikan bagi dirinya memiliki kemungkinan lebih besar

26
mengalami gangguan mental dibanding orang yang tidak
memiliki kerentanan tersebut (Pruessner, Cullen, Aas, & Walker,
2017).

STRES DAN PENYAKIT

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa stres tidak


mengembangkan penyakit-penyakit tertentu, namun perilaku
yang muncul ketika seseorang mengalami stres adalah
penyebab munculnya penyakit. Namun, konsep stres milik Hans
Selye memberikan penekanan pada respon kekebalan tubuh
dan bukti perkembangan tubuh, mendukung hipotesis adanya
interaksi diantara syaraf, endokrin dan sistem kekebalan tubuh
(Kemeny &Schedlowski, 2007). Stres juga terlibat dalam
beberapa penyakit fisik.

Ada sebuah asumsi yang menyebutkan stres dapat


mempercepat proses penuaan dengan cara memperpendek
ukuran telomeres. Telomere adalah area nucleotida yang
berada di bagian belakang kromosom. Telomere akan
melindungi kromosom dari kemunduran yang biasanya terjadi
pada proses penuaan. Ketika telomere menjadi pendek hingga
ukuran tertentu, maka kemampuan replikasi setiap sel akan
berkurang. Hal inilah yang menyebabkan proses penuaan
datang lebih cepat.

Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa pengalaman


stres dalam hidup baik stres yang baru muncul maupun yang
telah menetap dalam waktu lama berhubungan dengan cepat
lambatnya proses pemendekkan telomeres (Mathur, et
al.,2016). Dalam sebuah penelitian dengan partisipan wanita
dewasa sehat, menunjukkan bahwa partisipan yang memiliki
level stres tinggi memiliki telomere yang lebih pendek

27
dibandingkan pada partisipan yang memiliki level stres lebih
pendek (Epel et al., 2004). Selain itu, pemendekan telomere
memiliki kemungkinan berkontribusi terhadap kerentanan
terhadap infeksi (Cohen et al., 2013) bahkan berhubungan
dengan perkembangan kanker (Gunes & Rudolph, 2013).
Penelitian-penelitian mengenai peran stres dan penyakit tetap
menunjukkan bahwa stres dapat mempengaruhi munculnya
penyakit.

Sakit kepala adalah masalah umum yang dialami hampir


seluruh penduduk dunia di sepanjang hidup, ada individu yang
dapat menerima kondisi tersebut namun ada yang merasa tidak
nyaman dengan gangguan ini, bahkan ada sebagian orang yang
mengalami gangguan ini secara serius. Sakit kepala dapat
menjadi sinyal terjadinya penurunan kondisi kesehatan yang
cukup serius, namun reaksi individu tergantung pada frekuensi
dan keparahan serta kemampuan toleransi individu terhadap
gangguan tersebut(Brannon, Updegraff, & Feist, 2017). Ketika
kondisinya cukup parah dan berlangsung dalam waktu lama,
kebanyakan orang akan mulai mencari perawatan profesional.

Ada banyak jenis sakit kepala, bahkan lebih dari 100 tipe,
meskipun pembagiannya masih belum jelas (Andrasik, 2001).
Tipe yang paling sering muncul adalah tension headache, tipe
ini diasosiasikan dengan peningkatan tensi atau ketegangan
otot di kepala dan area leher (Brannon, Updegraff, & Feist,
2017). Sakit kepala migrain juga diasosiasikan dengan
ketegangan area ini, dan banyak pendapat percaya gangguan
ini berasal dari neuron-neuron di batang otak (Silberstein, 2004).

Stress dianggap sebagai faktor yang dapat mempercepat


munculnya ketegangan otot. Dan tipe stres yang banyak
dihubungkan dengan sakit kepala bukanlah kejadian traumatik,

28
namun kerepotan sehari-hari. Kelompok siswa yang memiliki
masalah sakit kepala kronis dan cukup sering melaporkan lebih
banyak kerepotan dibandingkan siswa yang jarang mengalami
sakit kepala (Bottos & Dewey, 2004).

Nash dan Thebarge (2006) menyampaikan cara-cara yang


memungkinkan terjadinya sakit kepala akibat pengaruh stres.
Pertama, stres sebagai faktor-faktor yang cenderung
mempengaruhi perkembangan sakit kepala. Kedua, stres
mungkin menyebabkan perubahan dari sakit kepala akut
(kadang-kadang terjadi) menjadi sakit kepala kronis. Ketiga,
stres dapat memperburuk episode gangguan, memperbesar
rasa sakit. Secara umum, stress dapat menurunkan kualitas
hidup seseorang melalui sakit kepala.

Selain sakit kepala, penyakit infeksi juga dipengaruhi oleh


stress. Seseorang dibawah tekanan cenderung lebih mudah
mengembangkan penyakit infeksi seperti flu. Penelitian Stone,
Reed dan Neale pada tahun 1987 mengindikasikan bahwa
partisipan yang mengalami penurunan kejadian yang diinginkan
atau peningkatan kejadian yang tidak diinginkan akan
mengembangkan penyakit infeksi seperti flu dalam waktu 3
hingga 4 hari. Penelitian ini didukung bahwa individu yang stres
akan mengalami gangguan atau sakit ketika dipaparkan dengan
virus flu (Brannon, Updegraff, & Feist, 2017).

Cohen et al. (1998) menemukan jika durasi kejadian penuh stres


lebih berpengaruh terhadap kerentanan pada virus flu
dibandingkan lever parah atau ringannya kejadian stres. Stres
berat dalam waktu kurang dari 1 bulan tidak mengembangkan
penyakit, sedangkan stres kronis lebih dari 1 bulan
menyebabkan peningkatan gejala flu. Orang yang
mempersepsikan level stres yang dialaminya diatas 25% akan

29
dua kali lebih mudah mengalami flu dibandingkan yang
mempersepsi dibawah 25%, sehingga stress dianggap sebagai
prediktor yang signifikan dalam pengembangan infeksi
(Brannon, Updegraff, & Feist, 2017).

Stres mempengaruhi vaksinasi tubuh yang menstimulus sistem


imun dalam tubuh untuk menghasilkan zat antibodi untuk
melawan virus. Orang-orang dengan stres berat, menunjukkan
produksi antibodi yang lemah jika dibandingkan pada individu
dengan stres hidup lebih ringan (Pedersen, Zachariae, &
Bovbjerg, 2009). Hubungan ini, antara stres dan respon vaksin
menunjukkan hasil yang berbeda antara dewasa awal dan
dewasa akhir, namun vaksinasi tubuh kurang efektif dalam
melindungi diri dari penyakit infeksi pada individu yang
mengalami stres.

Penyait kardiovaskuler (CVD), memiliki beberapa faktor resiko,


salah satunya adalah stres. Bukti yang menunjukkan bahwa
stres berperan sebagai faktor penye bab serangan jantung pada
orang dengan CVD sudah jelas. Stres merupakan trigger
serangan jantung pada individu dengan penyakit jantung
koroner (Kop, 2003; Sheps, 2007). Dalam penelitian yang
melibatkan stresor psikologis, seperti stres di kantor, stres di
tempat tinggal, masalah keuangan, kejadian besar di masa lalu,
depresi dan faktor eksternal, seluruh faktor tersebut
berhubungan dan memberikan kontribusi pada serangan
jantung. Dan di seluruh populasi yang terlibat pada penelitian ini
menunjukkan hal yang sama.

Peran stres dalam perkembangan penyakit jantung bersifat


tidak langsung dan melalui beberapa jalur, termasuk pelepasan
hormon sebagai respon stres atau sistem imun. sebagai contoh,
pelepasan hormon sitoksin sebagai respon sistem imun dapat

30
mendorong terjadinya peradangan yang mempengaruhi
perkembangan penyakit serangan jantung (Steptoe, Hamer, &
Chida, 2007).

Hipertensi sering dipahami sebagai tekanan darah tinggi, dan


hal itu di lihat sebagai akibat dari stres. Meskipun demikian,
hubungan antara stres dan tekanan darah tinggi tidaklah
sesederhana itu. Dalam sebuah studi longitudinal, tekanan
darah yang tidak normal membutuhkan waktu untuk normal
kembali setelah stresor psikologis memprediksi hipertensi lebih
dari tiga tahun (Stewart, Janicki, & Kamarck, 2006).

Selain penyakit-penyakit yang telah disampaikan sebelumnya,


sakit kepala, penyakit akibat infeksi, CVD dan hipertensi,
terdapat beberapa gangguan fisik lain seperti diabetes melitus
dan asma. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis
yang banyak dihubungkan dengan stres. DM terdiri dari dua
tipe, tipe pertama atau tipe tergantung pada insulin dan tipe dua
atau tipe tidak tergantung insulin. DM tipe satu biasanya dimulai
pada masa kanak-kanak dan membutuhkan suntikan insulin
untuk mengontrolnya, sedangkan tipe dua akan muncul pada
masa dewasa dan dikontrol dengan pengaturan pola makanan
(Brannon, Updegraff, & Feist, 2017). Stress, memiliki kontribusi
pada kedua tipe DM tersebut.

Stres mungkin berkontribusi secara langsung pada


perkembangan DM tipe satu melalui gangguan sistem imun
(Sepa, Wahlberg, Vaarala, Frodi, & Ludvigsson, 2005). Sistem
imun yang di ukur pada usia 1 tahun menunjukkan bahwa bayi
dengan keluarga yang memiliki tingkat stres tinggi
memperlihatkan indikasi antibodi yang konsisten dengan
diabetes (Brannon, Updegraff, & Feist, 2017). Sementara itu,
relasi stres dengan DM tipe dua telah dibuktikan dengan

31
penelitian yang cukup banyak. Stres memiliki hubungan dengan
kualitas hidup penderita DM tipe 2 (Zainuddin, Utomo, & Herlina,
2015) dan memiliki hubungan searah dengan kadar gula darah
(Pratiwi, Amatiria, & Yamin, 2014).

Asma merupakan gangguan pernafasan yang ditandai dengan


sesak nafas, peradangan jalur udara. Dan stres juga terlibat
dalam serangan asma (Chen & Miller, 2007). Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, ketika kondisi stres, sistem imun akan
melepaskan hormon sitoksin dan hormon ini cenderung
menyebabkan peradangan di saluran-saluran arteri maupun
saluran pernafasan. Di dalam lingkup penelitian laboratorium
maupun lingkngan sosial, stres terbukti mempengaruhi asma.

STRES DAN GANGGUAN PSIKOLOGIS

Selain penyakit-penyakit fisiologis yang telah disampaikan


sebelumnya, stres juga berpengaruh pada gangguan-gangguan
psikologis. Contoh sederhana, stres dapat merusak mood
seseorang, namun bagi orang lain stres dapat mempengaruhi
kondisi emosionalnya sehingga dapat dikategorikan sebagai
gangguan psikologis. Perubahan mood yang dialami pada
individu dengan kerentanan gangguan psikis dapat merubah
fungsi-fungsi imun. Fungsi imun juga berpengaruh pada
bebe a a gangg an ikologi (Dan e , O Conno , F e nd,
Johnson & Kelley, 2008)

Salah satu gangguan psikologis yang memiliki hubungan


dengan stres, dan banyak dibuktikan dalam penelitian-
penelitian adalah depresi. Penanganan yang tidak efektif dapat
menjadi salah satu sumber kerentanan terhadap depresi. Orang
yang dapat mengatasi stres secara efektif dapat menghindari

32
depresi, bahkan dengan banyak peristiwa yang dapat membuat
stres dalam hidup mereka.

Lazarus menganggap stres sebagai kombinasi dari stimulus


lingkungan dengan penilaian seseorang, kerentanan (Kanner et
al., 1981; Lazarus & DeLongis, 1983; Lazarus & Folkman, 1984)
dan kekuatan koping yang dirasakan (Brannon, Updegraff, &
Feist, 2017). Menurut teori ini, orang menjadi sakit bukan hanya
karena mereka memiliki pengalaman stres yang terlalu banyak,
tetapi juga karena mereka mengevaluasi pengalaman ini
sebagai ancaman atau kerusakan, karena mereka secara fisik
atau sosial rentan pada saat itu, atau karena mereka tidak
memiliki kemampuan untuk mengatasi peristiwa yang membuat
stres.

Kerentanan genetik adalah jenis faktor risiko lain untuk depresi.


Dalam sebuah studi longitudinal dengan partisipan kembar yang
berasal dari Swedia (Kendler, Gatz, Gardner, & Pedersen,
2007), stres merupakan faktor signifikan dalam depresi, tetapi
hanya dalam beberapa keadaan. Stres lebih mungkin untuk
diprediksi lebih awal dibandingkan dengan episode depresi
selanjutnya. Yang penting, stres juga lebih mungkin untuk
memprediksi depresi untuk orang dengan risiko genetik rendah
daripada tinggi.

Studi longitudinal lain menunjukkan interaksi antara gen dan


lingkungan dalam perkembangan depresi (Caspi et al., 2003).
Individu yang mewarisi versi tertentu dari pasangan gen yang
terlibat dengan neurotransmitter serotonin mengembangkan
depresi dan pikiran bunuh diri secara signifikan lebih sering
daripada individu dengan versi berbeda dari pasangan gen ini,
tetapi hanya ketika individu yang rentan mengalami peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan. Studi-studi ini menunjukkan

33
bahwa gen memberikan dasar bagi kerentanan yang
berinteraksi dengan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan
untuk memicu depresi.

Depresi yang memenuhi kriteria diagnostik untuk depresi klinis


(American Psychiatric Association, 2013) juga dikaitkan dengan
fungsi kekebalan tubuh, dengan hubungan yang lebih kuat
ditemukan di antara pasien yang lebih tua dan pasien yang
dirawat di rumah sakit. Selain itu, semakin parah depresinya,
semakin besar perubahan fungsi kekebalan tubuh. Sebuah
meta-analisis depresi dan fungsi kekebalan tubuh (Zorrilla et al.,
2001) menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan
banyak segi fungsi sistem kekebalan tubuh, termasuk
pengurangan sel-T dan penurunan aktivitas sel-sel pembunuh
alami. Hubungan antara depresi dan penurunan fungsi
kekebalan terlihat jelas di antara wanita yang menerima
pengobatan untuk kanker payudara, untuk siapa sistem
kekebalan yang sehat sangat penting dalam mempertahankan
diri terhadap infeksi (Sephton et al., 2009)

Selain depresi, stres juga berkaitan erat dengan gangguan


psikologis lain seperti gangguan kecemasan dan gangguan
PTSD, yang tidak akan dibahas banyak dalam buku ini.

Setelah membaca bagian ini, mari kita segarkan kembali


ingatan melalui kuis asik ini :

1. Sistem syaraf autonomic yang bekerja saat


menghadapi kondisi bahaya atau stres adalah?
2. Hormon dihasilkan oleh sistem yang disebut?
3. Pada situasi GAS / Sindrom adaptasi umum, pelepasan
adrenalin terjadi pada reaksi?

34
4. Area nucleotida yang terletak dibelakang kromosom
disebut?
5. Gangguan fisik pada saluran pernafasan yang sangat
berkaitan dengan stres disebut?

35
STRATEGI COPING,
PENGELOLAAN RASA SAKIT,
DAN PENDEKATAN ALTERNATIF
Elda Nabiela

36
STRATEGI COPING

Coping didefinisikan sebagai usaha untuk mengatasi situasi


yang membahayakan secara emosional serta menghilangkan
ancaman yang akan berdampak negatif pada seorang individu.
Coping seringkali dikaitkan dengan stres karena coping
dilakukan untuk menghadapi stressor. Usaha untuk
menghadapi stressor ini dapat berbeda pada setiap situasinya;
apa yang mungkin mampu mengatasi stressor di situasi tertentu
mungkin tidak bekerja sebaik di situasi lainnya, dinamakan
situational coping. Usaha yang dilakukan untuk menghadapi
stressor juga bervariasi pada setiap individu sehingga dapat
dikatakan bahwa setiap orang memiliki coping style mereka
masing-masing.

Pada dasarnya, coping style pada individu dapat dibagi menjadi


dua jenis, tipe coping mendekati (approach) dan menghindari
(avoidance). Seorang individu bisa saja mendekati stressor dan
berusaha aktif mengatasi suatu masalah atau malah berusaha
menjauhi masalah tersebut (Moos & Schaefer, 1993). Beberapa
contoh Tipe coping menghindari seringkali dikaitkan dengan
tingginya masalah kesehatan, aktivitas dapat membahayakan,
dan sifat kepribadian yang negatif (Holahan & Moos, 1985).
Setiap orang akan melakukan usaha tertentu atau perilaku
spesifik sesuai dengan masing-masing coping style yang
mereka miliki. Hal ini disebut strategi coping.

Strategi coping merujuk pada usaha khusus atau perilaku


spesifik yang digunakan individu untuk mengatasi atau

37
mengurangi stres (Drapeu,Blake,Dobson, & Körner, 2017;
Lazarus & Launier, 1978). Perilaku yang dilakukan untuk
mengurangi stres bisa bermacam-macam namun perilaku
tersebut dapat dibedakan dari apakah perilaku itu bertujuan
untuk mengatasi masalah atau menghindari masalah tersebut.
Dua strategi coping yang paling umum dikenal adalah coping
berfokus masalah dan coping berfokus emosi.

Problem-focused versus Emotion-focused Coping

Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa strategi


koping umumnya dibagi menjadi coping berfokus masalah dan
coping berfokus emosi. Perilaku pada coping berfokus masalah
selalu ditujukan pada stressor yang muncul, misalnya berusaha
untuk menghilangkan hambatan atau menyelesaikan penyebab
masalah yang terjadi. Strategi coping ini akan membuat individu
merasa memiliki kontrol lebih besar pada masalah yang terjad.
Contohnya, saat ditegur oleh atasan di kantor karena
melakukan kesalahan dalam mengerjakan laporan, kita
mungkin akan merasa sedih dan malu. Namun, kita bisa
mengatasi stressor tersebut dengan cara segera memperbaiki
laporan yang salah dan meminta maaf pada atasan. Fokus pada
perilaku yang dilakukan adalah dengan mencoba
menyelesaikan masalah yang menjadi penyebab stressor,
bukan pada hal lain misalnya perasaan.

Berbeda dengan coping berfokus masalah, strategi coping


berfokus emosi akan berfokus pada emosi yang kita rasakan
dalam menghadapi stressor sehingga cenderung akan

38
berusaha meminimalisir emosi tidak menyenangkan yang
dirasakan. Contohnya, ketika merasa sedih dan malu saat
ditegur oleh atasan, individu yang melakukan strategi coping
berfokus emosi mungkin akan menangis karena sedih, mungkin
tidak masuk kerja, karena merasa tidak siap untuk bertemu
kembali dengan atasan yang menegurnya, atau bahkan sampai
meminum alkohol untuk melupakan perasaan sedih yang
dirasakan.

Kedua strategi coping ini dapat digunakan sesuai dengan situasi


yang terjadi. Ketika melakukan strategi coping berfokus
masalah, ancaman atau sumber stressor yang terjadi akan bisa
diminimalisir atau dihilangkan sehingga emosi negatif yang ada
dalam situasi tersebut akan dengan sendirinya ikut menghilang.
Sebaliknya, strategi coping berfokus emosi memungkinkan
individu untuk meminimalisir efek dari emosi yang dirasakan
dalam suatu situasi menekan sehingga bisa menjadi lebih
tenang dalam merencanakan langkah selanjutnya.

Pain Management

Rasa sakit merupakan cara yang digunakan tubuh untuk


memberitahu ada luka yang perlu diperhatikan. Meskipun
demikian, ada orang-orang yang mengalami rasa sakit begitu
besar meskipun tidak ditemukan penyebab yang jelas. Rasa
sakit bukan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi
sebagian besar orang. Mereka berusaha untuk menghadapi
rasa sakit itu sebagai satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Dengan demikian, kita perlu memahami bagaimana rasa sakit

39
terjadi agar mampu mengelolanya dengan baik.

Tabel berikut menggambarkan kelebihan dan kekurangan dari


masing-masing strategi coping ini:
Jenis Strategi Kelebihan Kelemahan
Coping
Coping berfokus Menghilangkan stressor - Tidak selalu berhasil
masalah dan meminimalisir stres dalam segala situasi.
karena masalah sudah Misalnya ketika orang
terselesaikan terdekat meninggal,
strategi coping ini tidak
terlalu membantu
menghadapi kesedihan
- Belum tentu cocok
diterapkan oleh semua
orang
Coping berfokus - Strategi ini paling baik Dalam hubungannya
emosi digunakan ketika sumber dengan kesehatan, coping
stres berada di luar berfokus emosi bukan
kontrol individu tersebut pilihan yang paling baik.
- Strategi ini strategi ini kadang tidak
memungkinkan efektif karena mengabaikan
seseorang menghadapi sumber masalahnya.
masalah dengan lebih
tenang karena masalah
emosinya sudah teratasi.

Saat kulit menerima stimulus, receptor pada kulit melepaskan


impuls yang bergerak menuju spinal cord melalui dorsal root.
Dari spinal cord, impuls terseebut akan diteruskan ke thalamus
di otak. Korteks somatosensory primer di otak seolah berperan
sebagai peta kulit, dengan beberapa area di kulit yang memiliki
lebih banyak receptor. Serat A-delta dan C terlibat dalam proses
interpretasi rasa sakit, dengan serat A-delta mengirimkan pesan

40
rasa sakit dengan cepat sedangkan serat C mengirimkan pesan
rasa sakit dengan lebih lambat.

Otak dan sumsum tulang belakang memiliki mekanisme untuk


memodulasi sensor input sehingga memengaruhi persepsi
seseorang terhadap rasa sakit. Salah satu mekanismenya
adalah melalui neurochemical yang secara alamiah terjadi, yang
meredakan rasa sakit dan meniru efek obat-obatan opiate, yang
banyak terletak di sistem syaraf central dan peripheral.
Mekanisme kedua adalah sistem kontrol menurun melalui
periaqueductal gray atau medulla. Sistem ini memengaruhi
aktivitas spinal cord dan memengaruhi modulasi menurun dari
aktivitas spinal cord.

Rasa sakit tentu akan dipengaruhi oleh kerusakan yang dialami


tubuh. Namun, persepsi masing-masing individu terhadap rasa
sakit itu juga sama pentingnya. Rasa sakit dibagi menjadi tiga
kategori yakni akut, prakronis, atau kronis, tergantung dari
berapa lama rasa sakit muncul. Sakit akut merupakan sakit yang
masih bisa diatasi sendiri dan lukanya bertahan kurang dari 6
bulan. Sakit kronis berlanjut bahkan sampai setelah luka fisiknya
hilang. Sakit prakronis berada pada rentang antaara sakit akut
dan kronis. Semua kategori rasa sakit ini bisa diterapkan pada
gejala yang muncul misalnya sakit kepala, punggung, kanker,
atau bahkan rasa sakit yang dirasakan tanpa penyebab yang
jelas. Terdapat sebuah teori yang menyatakan bahwa spinal
cord dan otak dapat meningkatkan atau mengurangi rasa sakit
yang dirasakan. Hal ini disebabkan adanya satu set neuron di
otak yang mempertahankan suatu pola untuk menjelaskan apa

41
yang diterima oleh indera, sekaligus merespon ekspektasi serta
sinyal yang muncul, seperti rasa sakit.

Rasa sakit akut bisa muncul dari berbagai macam luka atau
penyakit, namun rasa sakit kronis hanya terdiri dari beberapa
sindrom atau gejala yakni sakit kepala, keluhan pada punggung
bagian bawah, nyeri sendi, rasa sakit yang dimunculkan karena
kanker, dan rasa sakit yang dirasakan tanpa penyebab pasti.
Ketika mengalami rasa sakit ini, tidak semua orang memiliki
sakit dalam kategori kronis. Misalnya, sakit kepala merupakan
rasa sakit paling umum yang dirasakan namun hanya sebagian
orang yang mengeluhkan masalah kronis seperti migraine atau
sakit kepala sebagian. Contoh lainnya, sebagian besar rasa
sakit yang disebabkan keluhan pada punggung masuk dalam
kategori akut, tapi bagi sebagian orang, rasa sakit ini sudah
termasuk dalam kategori kronis dan tidak tertahankan.

Rasa sakit dapat diukur melalui tiga hal berikut: (1) self report,
(2) observasi perilaku, dan (3) pemeriksaan fisiologis.
Pengukuran rasa sakit dilakukan dengan kombinasi dari ketiga
hal tersebut, dengan lebih mengandalkan self report. Self report
biasanya berupa kuesioner skala rating tentang sakit yang
dirasakan. Beberapa contohnya adalah Minnesota Multiphasic
Personality Inventory dan Beck Depression Inventory.
Observasi perilaku dilakukan dengan memperhatikan aktivitas
individu dan respon yang dimunculkan akibat rasa saktinya.
Pemeriksaan fisiologis dilakukan dengan memeriksa
ketegangan otot atau detak jantung.

42
Rasa sakit yang mucul dapat dikelola. Pengobatan rasa sakit
akut tentu lebih mudah karena sumbernya jelas, tidak seperti
rasa sakit kronis yang muncul tanpa adanya kerusakan jaringan
yang terlihat. Sebagian orang menerima perawatan medis untuk
mengurangi rasa sakitnya dan sebagian lagi menggunakan
pengelolaan perilaku untuk mengelola rasa sakit yang dimiliki.

PENDEKATAN MEDIS DALAM MENGELOLA RASA SAKIT

Obat

Obat analgesik meredekan rasa sakit tanpa menyebabkan


hilangnya kesadaran. Banyak obat analgesic yang beredar di
pasaran namun hampir semuanya dapat dibagi mejadi dua
kategori; opioid dan analgesik nonnarkotik (Julien, Advokat, &
Comaty, 2010).

Opioid meredakan rasa sakit dengan melibatkan reseptor opioid


dalam tubuh. Obat ini akan beraksi di reseptor opioid yang ada
di otak, menstimulasi sinyal untuk melakukan pemblokiran
presepsi rasa sakit sekaligus mengluarkan dopamine untuk
memicu munculnya rasa senang. Beberapa opioid pereda rasa
sakit contohnya adalah morfin, codein, oxycodone, dan
hydrocodone. Penggunaan pereda rasa sakit ini dibatasi
dengan resep dokter karena mengonsumsi obat ini dapat
menyebabkan baik toleransi dan ketergantungan.

Toleransi terjadi ketika respon tubuh terhadap obat menurun.


Dosis yang sama bisa jadi tidak efektif lagi untuk meredakan
sakit yang dirasakan setelah mengonsumsi secara rutin dalam

43
jangka waktu tertentu. Ketergantungan terjadi ketika tubuh
mengalami gejala-gejala tertentu (withdrawal symptoms) ketika
berhenti mengonsumsi obat tersebut. Karena kedua efek ini,
opioid adalah jenis obat yang berbahaya dan cenderung mudah
disalahgunakan.

Manfaat opioid lebih besar dari bahaya yang ditimbulkan pada


beberapa orang atau situasi karena tidak ada obat yang memiliki
efek lebih baik dalam meredakan rasa sakit. Namun, besarnya
potensi untuk disalahgunakan membuat opioid lebih cocok
digunakan untuk mengelola rasa sakit akut daripada krnois;
tidak ada bukti yang cukup bahwa opioid aman digunakan
dalam jangka panjang untuk mengelola rasa sakit kronis
(Manchikanti, dkk., 2011).

Analgesik nonnarkotik contohnya adalah berbagai macam obat


anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) dan acetaminophen. Aspirin,
ibuprofen, dan naproxen sodium terbukti menutupi sintesis
prostaglandin (Julian, dkk., 2010), suatu zat kimia yang
dikeluarkan jaringan yang rusak atau yang meradang.
Kehadiran zat kimia ini membuat neuron menjadi lebih sensitif
dan meningkatkan rasa sakit. Obat jenis ini akan bekerja pada
luka, bukan menstimulasi otak, namun obat ini mengubah
aktivitas neurokimia di sistem syaraf dan memengaruhi persepsi
terhadap rasa sakit. Hasilnya, NSAID tidak mengubah persepsi
terhadap rasa sakit ketika tidak ada luka yang dimiliki misalnya
pada situasi laboratorium dimana subjek menerima stimulus
rasa sakit eksperimental.

44
Tidak hanya obat-obatan analgesik yang bisa memengaruhi
rasa sakit. Obat antidepresan dan obat yang digunakan untuk
gejala kejang juga bisa mengubah persepsi terhadap rasa sakit
sehingga bisa digunakan untuk mengatasi beberapa jenis rasa
sakit (Maizels & McCarberg, 2005). Antidepresan dapat berguna
untuk mengobati keluhan rasa sakit di pungung atau bahkan
mencegah sakit kepala migraine (Iagnocco, dkk., 2008).
Namun, tidak semua jenis obat atau strategi memiliki efek yang
sama pada sebagian besar individu yang memiliki rasa sakit
kronis. Mereka mungkin bisa mempertimbangkan operasi atau
metode lain untuk meredakan sakitnya.

Operasi

Operasi dilakukan untuk memperbaiki sumber rasa sakit atau


mengubah sistem syaraf untuk meredakan rasa sakit. Operasi
juga dapat memengaruhi syaraf yang merespon atau
mengirimkan rasa sakit (van Zundert & van Kleef, 2005).
Prosedur ini mungkin menggunakan panas, dingin, atau
stimulus frekuensi radio untuk mengubah transmisi saraf dan
mengendalikan rasa sakit. Cara lain untuk mengatasi rasa sakit
dengan mengubah transmisi saraf melalui stimulasi
menggunakan implan yang hanya menstimulasi saraf, bukan
merusaknya. Dibutuhkan operasi untuk penanaman alat yang
dapat memberikan stimulasi listrik ke spinal cord atau otak.
Aktivasi sistem tersebut mampu meredakan rasa sakit dengan
mengaktifkan neuron dan dengan melepaskan neurotransmiter
yang menghambat rasa sakit. Proses ini tidak merusak jaringan
saraf.

45
TEKNIK PERILAKU UNTUK MENGELOLA RASA SAKIT

Para psikolog menyarankan untuk memberikan terapi dengan


mengajarkan bagaimana cara mengelola rasa sakit pada
pasien. Beberapa teknik perilaku telah terbukti efektif dalam
mengelola beberapa sindrom rasa sakit. Beberapa teknik yang
efektif akan dibahas dengan lebih detail satu persatu.

Teknik Relaksasi merupakan salah satu pendekatan untuk


mengelola rasa sakit dan mungkin merupakan kunci utama dari
teknik pengelolaan rasa sakit yang lain. Relaksasi otot progresif
dilakukan dengan cara duduk di kursi yang nyaman tanpa
gangguan lalu menegangkan dan melemaskan otot dalam tubuh
sesuai prosedur tertentu (Jacobson, 1938). Setelah mempelajari
prosedurnya, relaksasi ini dapat dilakukan sendiri di rumah
masing-masing.

Teknik relaksasi mampu mengatasi rasa sakit saat tegang atau


migrain (Fumal & Schoenen, 2008; Penzien, Rains, & Andrasik,
2002), rheumatoid arthritis (McCallie dkk., 2006), dan sakit pada
punggung (Henschke dkk., 2010). Suatu departemen dari
Institusi Teknologi Kesehatan Nasional mengumpulkan bukti
mengenai efektivitas relaksasi otot progresif ini dan memberi
nilai tertinggi dalam mengontrol rasa sakit (Lebovits, 2007).

Terapi Perilaku yang paling sering digunakan adalah modifikasi


perilaku. Modifikasi perilaku adalah proses pembentukan
perilaku melalui aplikasi prinsip operant conditioning. Tujuan
modifikasi perilaku adalah untuk membentuk perilaku, bukan

46
mengubah perasaan atau sensasi dari rasa sakit. Orang yang
merasakan sakit biasanya memiliki perilaku khusus untuk
mengomunikasikan ketidaknyamanan yang dirasakan mereka
akan komplain, mengeluh, menghela napas, berjalan pincang,
mengusap-usap bagian yang sakit, meringis, dan bolos kerja.

Modifikasi perilaku dilakukan dengan menghilangkan


reinforcement yang didapat oleh pasien ketika
mengekspresikan rasa sakitnya seperti perhatian atau empati.
Keluhan dan erangan untuk mengekspresikan rasa sakit mulai
diabaikan. Sebaliknya, reinforcement positif diberikan ketika
mereka melakukan perilaku positif seperti aktivitas fisik yang
lebih baik. Nantinya, modifikasi perilaku diharapkan dapat
mengurangi jumlah obat yang diminum, ijin sakit, keluhan, dan
meningkatkan aktivitas fisik positif.

Pendekatan perilaku ii dapat mengurangi intensitas rasa sakit,


mengurangi disabilitas, dan meningkatkan kualitas hidup
(Gatzounis, Schrooten, Crmbez, & Vlaeyan, 2012). Meskipun
demikian, pendekatan modifikasi perilaku ini tidak membahas
emosi negatif dan penderitaan yang biasanya muncul bersama
dengan rasa sakit yang dimiliki.

Terapi kognitif didasarkan pada prinsip bahwa belief atau


kepercayaan, standar pribadi, dan efikasi diri yang dimiliki
individu sangat mempengaruhi perilaku mereka (Bandura, 1986,
2001; Beck, 1976; Ellis, 1962). Terapi kognitif berfokus pada
teknik yang dibuat untuk mengubah kognisi, dengan asumsi
bahwa perilaku akan berubah ketika seseorang mengubah

47
kognisi mereka terlebih dahulu. Albert Ellis (1962) beranggapan
bahwa pikiran, khususnya pikiran irasional, merupakan akar dari
masalah perilaku. Dalam hubungannya dengan rasa sakit,
kecende ngan kogni i n k melak kan ca a o hi e ,
dimana individu akan menganggap suatu situasi tidak
menyenangkan menjadi sesuatu yang lebih buruk dari situasi
awalnya, akan membuat perilaku individu itu menjadi maladaptif
sekaligus memunculkan lebih banyak pikiran irasional. Contoh
dari catastrophize yang berhubungan dengan rasa sakit adalah
a a aki ini idak akan bi a hilang , ak dah idak angg
lagi , a a idak ada ang bi a ak lak kan n k
menghilangkan a a aki ini .

Ketika pikiran irasional sudah bisa diidentifikasi, terapis akan


membantu menyangkal pikiran ini dengan tujuan untuk
menghilangkan atau mengubah pikiran tersebut dengan pikiran
yang lebih rasional. Contohnya jika ada pasien yang percaya
bahwa rasa sakit mereka sangat berlebihan dan tidak ada yang
bisa dilakukan, maka terapis kognitif akan berusaha untuk
mengubah cara pandang pasien mengenai hal tersebut.
biasanya, terapi ini juga akan dikombinasikan dengan
perubahan perilaku sehingga muncullah terapi yang dinamakan
cognitive behavioral therapy (CBT).

Cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan jenis terapi yang


bertujuan untuk mengembangkan belief, sikap, pikiran, dan
kemampuan untuk membuat perubahan positif dalam perilaku.
Mirip seperti terapi kognitif, CBT menganggap bahwa pikiran
dan perasaan merupakan dasar dari perilaku, sehingga CBT

48
dimulai dengan mengubah sikap seseorang terhadap sesuatu
yang maladaptif. Mirip juga seperti konsep modifikasi perilaku,
CBT berfokus pada mengubah pola dan mengembangkan
kemampuan untuk mengubah perilaku yang bisa diamati. Dapat
dikatakan bahwa CBT menggunakan gabungan konsep terapi
kognitif dan terapi perilaku pada pasien.

Pada pasien dengan rasa sakit kronis, CBT akan menyasar


pikiran irasional seperti rasa takut dan catastrophizing (Leeuw
dkk., 2007; Thorn dkk., 2007) serta perilaku-perilaku pasien
untuk membantu mereka mengembangkan perilaku positif yang
berkontribusi pada kesehatan mereka.

Acceptance and commitment therapy (ACT) atau terapi


penerimaan dan komitmen merupakan terapi yang mendukung
pasien untuk meningkatkan penerimaan pada rasa sakitnya dan
lebih memfokuskan perhatian pada tujuan serta aktivitas lain
yang lebih mereka hargai.

Mindfulness merupakan jenis terapi yang dengan sengaja


memfokuskan pada kesadaran atas keadaan saat ini tanpa
menghakimi dan dengan penuh penerimaan (Kabat-Zinn, 1994).
Dalam hubungannya dengan sakit kronis, intervensi berbasis
mindfulness bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
penerimaan individu terhadap seluruh sensasi yang ada di
tubuhnya, baik rasa sakit dan tidak nyaman, serta seluruh emosi
yang menyertainya. Meski tampaknya aneh karena intervensi ini
meminta kita untuk sengaja memusatkan seluruh perhatian
pada rasa sakit, sudah ada beberapa penelitian yang

49
membuktikan bahwa terapi ini efektif dalam membantu pasien
dengan rasa sakit kronis.

PENDEKATAN ALTERNATIF

Selain strategi coping untuk menghadapi stres serta cara


mengelola rasa sakit yang telah disebutkan, terdapat beberapa
pendekatan alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi
masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

1. Pengobatan alternatif

Pengobatan alternatif dapat berupa sistem, praktik, dan


produk yang bukan merupakan bagian dari pengobatan
konvensional kedokteran saat ini melainkan obat
tradisional atau tritmen tradisional yang sering
digunakan banyak orang. beberapa pengobatan
alternatif diantaranya adalah pengobatan Cina
tradisional dan pengobatan Ayuverdic dari India.

Menurut pengobatan Cina tradisional, tubuh


mengandung energi atau chi yin dan yang sehingga
menjaga energi ini tetap seimbang adalah kunci tubuh
yang sehat. Pendekatan in percaya bahwa penyakit
muncul karena adanya hambatan pada aliran chi.
Teknik yang digunakan dalam pengobatan ini adalah
akupuntur, akupresur, obat herbal, pijat, dan latihan
menyeimbangkan energi berupa latihan qi gong atau tai
chi. Selain itu, diet juga penting dalam pengobatan Cina
tradisional. Diet yang dimaksud bukan dengan

50
menyeimbangkan karbohidrat dan protein namun
dengan memsakan dan menghindari beberapa jenis
makanan tertentu agar keseimbangan energi bisa terus
terjaga.

Pengobatan Ayuverdic menganggap bahwa tubuh yang


sehat merupakan kombinasi dari keseimbangan tubuh,
pikiran, dan ruh (spirit). Ketiga elemen ini dipercaya
masih sangat berhubungan dengan alam semesta
sehingga jika keseimbangannya terganggu, maka
kesehatan juga bisa memburuk. Pendekatan ini
percaya bahwa peristiwa dalam hidup bisa
menyebabakan ketidakseimbangan antara tubuh,
pikiran, dan ruh. Teknik yang digunakan dalam
pendekatan ini adalah latihan yoga, berpuasa,
memakan makanan tertentu, obat-obatan dari bahan
herbal, minyak atau mineral, dan pijat untuk
meringankan sakit serta melancarkan sirkulasi darah.

2. Produk dan diet aternatif

Yang termasuk dalam produk alternatif adalah


suplemen pendamping makanan serta diet khusus.
Banyak orang akan mengonsumsi vitamin, mineral dan
produk alamiah seperti tumbuhan, asam amino, atau
makanan lain untuk meningkatkan kesehatan tubuh
atau mengobati kondisi tertentu. Selain itu, ada diet
khusus yang bertujuan untuk menjaga kondisi tubuh
dengan membatasi atau hanya memakan makanan

51
tertentu. Contohnya, diet yang bertujuan untuk
mengurangi level kolestrol, diet vegetarian, atau diet
makrobiotik.

3. Praktik manipulatif

Praktik ini bertujuan untuk meringankan gejala yang


muncul pada tubuh. Terdapat beberapa teknik yang ada
dalam praktik manipulatif, di antaranya tritmen
chiropractic dan pijat. Chiropractic berfokus pada
pelurusan tulang belakang dan sendi-sendi
menggunakan teknik khusus yang mampu
meluruskannya. Pijat juga merupakan suatu teknik
manipulatif namun berfokus pada jaringan lunak seperti
otot. Ada beberapa jenis pijat yang sering digunakan di
seluruh dunia namun semuanya bermuara dengan
asumsi bahwa manipulasi seperti ini akan membantu
tubuh menyembuhkan dirinya sendiri.

4. Pengobatan tubuh-pikiran (mind-body medicine)

Pengobatan tubuh-pikiran merupakan teknik-teknik


yang dapat dilakukan dengan asumsi bahwa otak,
pikiran, tubuh, dan perilaku semua saling berinteraksi
dengan cara yang kompleks dan bahwa faktor
emosional, mental, sosial, dan perilaku memiliki efek
penting pada kesehatan (NCCIH, 2008/2015).
Beberapa tekniknya dikaitkan dengan ilmu psikologi
atau pengobatan alternatif. Teknik ini digunakan untuk

52
meningkatkan kesehatan atau mengobati masalah
kesehatan yang dimiliki. Beberapa contoh tekniknya
adalah meditasi, guided imagery, yoga, qi gong, tai chi,
atau hipnosis.

Meditasi dibagi menjadi dua, transendental dan


mindfulness. Meditasi transendental mengarahkan
orang untuk fokus pada satu pikiran atau suara untuk
mencapai relaksasi, sementara mindfulness
mendorong individu untuk fokus pada saat itu, menjadi
sadar akan detail dari pengalaman mereka saat ini.

Guided imagery mendorong individu untuk


membayangkan adegan menyenangkan untuk
mencapai relaksasi dan menghilangkan kecemasan.
Yoga melibatkan gerakan mempertahan postur tubuh
tertentu, pernapasan, dan meditasi, dengan tujuan
menyeimbangkan tubuh, pikiran, dan jiwa. Praktik qi
gong dan tai chi berasal dari pengobatan Cina
tradisional. Qi gong dan tai chi memiliki berbagai postur
dan gerakan yang dimaksudkan untuk mengarahkan
dan menyeimbangkan energi vital tubuh.

Hipnosis berupa relaksasi dan sugestif keduanya


memiliki potensi untuk meningkatkan kesehatan.
Pengobatan tubuh-pikiran juga memiliki pengaruh
dalam perubahan fisiologis. Meditasi, mindfulness, dan
qi gong dapat mengubah fungsi otak untuk pemrosesan
kognitif yang lebih efektif, memperlambat perubahan

53
fungsi otak yang menyertai penuaan, serta
meningkatkan beberapa komponen dalam menjaga
kekebalan tubuh.

Kuis Asik untuk menyegarkan pikiran

1. Menghilangkan stressor, adalah jenis strategi coping ?


2. Alarm tubuh yang memberitahukan adanya luka ditubuh
adalah?
3. Perilaku akan berubah jika pemikiran dirubah lebih
dahulu, adalah asumsi dasar teori?
4. Menurut konsep Yin dan Yang, tubuh sehat adalah
tubuh yang?
5. Pijat dan chiropractic merupakan terapi menggunakan
jenis praktik?

54
55
HUBUNGAN PERILAKU TIDAK SEHAT
DENGAN PENYAKIT KRONIS
Elda Nabiela

56
Manusia memahami bahwa hal-hal yang dilakukan tentu dapat
mempengaruhi kesehatan mereka. Meskipun demikian, tentu
ada saat-saat dimana seseorang melakukan hal yang ia tahu
buruk untuk kesehatan. Sejauh mana perilaku tersebut bisa
mempengaruhi kesehatan tentu akan berbeda bagi setiap
individu. Ada yang makan terlalu banyak, ada pula yang makan
terlalu sedikit. Ada yang malas bergerak dan ada juga yang
berolahraga secara berlebihan. Maka dari itu, perlu diketahui
bahwa apapun yang berlebihan itu tidak baik. Segala
sesuatunya akan lebih baik jika dilakukan dengan seimbang.
Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui lebih banyak tentang
macam-macam perilaku tidak sehat dan hubungannya dengan
penyakit kronis yang umum terjadi.

1. Perilaku Makan yang Tidak Sehat


Banyak definisi mengenai apa yang harus dimakan agar
bisa masuk dalam kategori sehat. Micahel Pollan (2008)
be ka a makanlah makanan ngg han, e ban ak
sayur-sayuran hijau, ta i jangan keban akan ka ena
saat ini sudah terlalu banyak makanan proses yang
beredar di pasaran. Gary Taubes (2017) menyatakan
ketidak setujuannya terhadap konsumsi gula,
menyalahkan gula sebagai penyebab mengapa orang-
orang menjadi gemuk.

Banyak panduan mengenai apa yang harus kita makan


dan panduan tersebut akan berbeda tergantung latar
belakang budaya kita. Contohnya, budaya atau agama

57
tertentu akan membatasi konsumsi beberapa makanan,
misal daging sapi pada agama Hindu atau daging anjing
dalam agama Islam. Budaya Cina percaya bahwa
makanan dapat dikategorikan menjadi makanan dingin
(sayur-sayuran, buah, produk susu, dan daging) dan
panas (lombok, bawang putih, bawang merah, biji-
bijian, minyak, alkohol) yang sangat berpengaruh pada
kesehatan sehingga konsumsi kedua jenis makanan ini
harus seimbang.

Perilaku makan yang sehat tentu adalah makan yang


tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, dengan
nutrisi seimbang. Perilaku makan yang tidak sehat bisa
menimbulkan obesitas dan gangguan makan lain
seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa.

Obesitas disebabkan oleh perpaduan faktor biologis,


psikologis, dan sosial (Berthoud & Morrison, 2008).
Kegemukan dipicu karena lemak yang menumpuk
terlalu banyak di tubuh. Alasan paling umumnya adalah
karena kombinasi pola makan buruk (makan terlalu
banyak atau sering makan makanan yang tinggi kalori)
dan kurangnya aktivitas fisik. Jika kalori yang masuk
lebih besar daripada kalori keluar, maka berat badan
juga akan bertambah. Kemudian, faktor genetik dan
lingkungan juga berpengaruh. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa saudara kembar identik yang
makan terlalu banyak akan memiliki berat badan yang

58
hampir sama, seadngkan saudara kembar fraternal
tidak menunjukkan pola ini (Bouchard dkk., 1990). Ada
pula 7 - 10 gen spesifik yang dikaitkan dengan obesitas
(Bradfield dkk., 2012). Salah satu gen pertama yang
dikaitkan dengan obesitas adalah gen ob yang
merupakan kode dari protein leptin (Campfield, Smith &
Burn, 1996). Leptin bertugas untuk memberi tanda akan
kepuasan, dan orang yang gen ob-nya bermutasi tidak
memiliki banyak leptin sehingga mungkin cenderung
makan lebih banyak. Tentu saja gen bukan menjadi
satu-satunya penentu obesitas; faktor lingkungan tentu
sangat berpengaruh.

Salah satu faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi


obesitas adalah perubahan pada ketersediaan
makanan dan bagaimana makanan dipasarkan (Linn &
Novoast, 2008). Industri fast food tentu bisa dijadikan
contoh menarik dengan promosi upsize mereka yang
bisa didapatkan hanya dengan membayar sedikit lebih
besar dari harga asalnya.

Anorexia nervosa merupakan keadaan dimana


seseorang mengalami ketakutan berlebihan jika berat
badannya meningkat, memiliki citra tubuh (body image)
yang terganggu, menolak untuk mempertahankan berat
badan normal, dan melakukan hal ekstrem untuk
menurunkan berat badannya. Orang-orang yang
menderita anorexia biasanya akan berolahraga 2-3 jam

59
sehari, meminum obat diet untuk menekan nafsu
makan, meminum obat pencahar, atau menolak makan.
Tidak peduli seberapa kurus mereka, orang yang
menderita anorexia akan selalu merasa perlu untuk
menurunkan berat badannya.

Bulimia nervosa merupakan kebiasaan makan


berlebihan yang diikuti dengan perilaku untuk
mengel a kann a kembali mi al dengan engaja
memuntahkan apa yang dimakan, berpuasa, dan
olahraga berlebihan. Orang yang menderita bulimia
biasanya akan makan secara sembunyi-sembunyi dan
akan merasa bersalah serta khawatir berat badannya
akan naik.

Kedua gangguan makan yang sudah disebutkan


berkaitan erat dengan faktor biologis dan psikologis.
Masalah pada kepercayaan diri yang rendah disertai
tekanan untuk menjadi langsing layaknya model atau
artis di televisi, atau memiliki role model yang buruk
seringkali membuat remaja melaparkan diri mereka,
khususnya remaja perempuan.

2. Perilaku merokok
Ketika melihat populasi secara keseluruhan, lebih
banyak laki-laki yang merokok dibandingkan
perempuan. Orang-orang yang berpenghasilan rendah
dan memiliki pendidikan lebih rendah juga akan

60
merokok lebih banyak dari pada orang dengan status
sosioekonomi yang lebih tinggi. Rokok adalah salah
satu substansi yang bisa menyebabkan
ketergantungan. Nikotin yang terdapat pada tembakau
akan dihisap sehingga transmisi ke otak lebih cepat dan
menyebabkan merokok memiliki efek yang langsung
terasa.

Banyak faktor yang menyebabkan orang-orang sulit


ketika diminta berhenti merokok. Secara biologis,
nikotin memiliki efek yang menyenangkan bagi otak dan
tubuh serta bekerja sangat cepat. Ketika menghisap
rokok, nikotin akan diserap oleh jaringan pada pipi
bagian dalam dan mencapai otak dalam waktu 15 detik.
Efek nikotin ini diantaranya adalah memperbaiki mood,
mengurangi rasa lapar, dan meningkatkan
konsentrasi/perhatian (Grunberg, Faraday, & Rahman,
2002).

Orang-orang mulai merokok dengan banyak alasan


psikologis yang berbeda. Beberapa orang yang
memiliki self esteem rendah akan mudah dipengaruhi
teman-temannya untuk mencoba rokok dan para
ekstrover yang menyukai stimulasi nikotin juga akan
merokok. Bahkan menurut Erikson (1968), perjuangan
untuk mengatasi inderioritas dan membangun identitas
akan membuat seseorang lebih rentan untuk merokok.
Turbin, Jessor, dan Costa (2002) kemudian

61
menambahkan bahwa merokok merupakan suatu
perilaku bermasalah yang khusus dan pasti akan dilalui
oleh semua remaja.

Faktor sosial dan budaya juga memainkan peran besar


terhadap perilaku merokok. Film dapat menjadi
pengaruh yang cukup signifikan karena banyak orang
ingin meniru apa yang dilakukan para pemeran film
tersebut. Terkadang, tekanan sosial dapat membuat
seseorang mulai merokok. Remaja yang memberontak
akan terlihat lebih banyak merokok daripada orang
dewasa karena ingin tampak berbeda. Di sisi lain,
banyak anak-anak yang merokok karena mereka ingin
terlihat sama dengan orang dewasa sehingga meniru
perilaku tersebut.

Merokok tentu memiliki memiliki konsekuensi buruk


bagi kesehatan. Tidak perlu diragukan bahwa rokok
dapat membunuhmu. Kemungkinan itu dapat
membesar seiring dengan frekuensi merokok, lamanya
merokok, serta kandungan tar dan nikotin yang ada di
rokok (Grunberg dkk., 2012); semakin besar ketiga hal
tersebut maka kemungkinan untuk membunuh makin
besar. Perokok memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mati karena penyakit jantung koroner, penyakir
kardiovaskular lain, atau kanker yang menyerang
saluran pernapasan seperti paru-paru, laring,
kerongkongan, pancreas, atau esophagus.

62
Bukan hanya perokok aktif, perokok pasif (yang
menghirup asap rokok dari pada perokok di sekitarnya)
juga memiliki risiko untuk terserang penyakit kronis.
Perokok pasif seringkali dikaitkan dengan penyakit
kronis seperti kanker paru-paru, penyakit
kardiovaskular, bahkan kecanduan menghirup asap
rokok. Dalam kaitannya dengan hal ini, bayi dan ibu
hamil memiliki risiko kesehatan yang lebih besar jika
berada dalam lingkungan yang sering terpapar asap
rokok. Menghirup asap rokok bagi ibu hamil bisa
mempengaruhi perkembangan neurobehavioral janin
yang dikandungnya.

3. Mengonsumsi Alkohol

Konsumsi alcohol secara berlebihan ternyata


berhubungan dengan 100.000 kematian setiap
tahunnya, menjadi penyebab ketiga kematian setelah
merokok serta aktivitas fisik yang kurang dan diet yang
tidak tepat (Mokdad dkk., 2005). Meskipun demikian,
beberapa riset menyebutkan bahwa mengonsumsi
alkohol dalam jumlah sewajarnya memiliki manfaat bagi
kesehatan.

Penyalahgunaan alkohol ditandai dengan salah satu


dari beberapa tanda-tanda ini: (1) kegagalan untuk
memenuhi tuntutan peran utama, (2) penggunaan

63
berulang kali yang sampai membahayakan fisik, (3)
masalah hukum berulang yang berkaitan dengan
alkohol, atau (4) masih tetap mengonsumsi meskipun
mengalami masalah sosial atau interpersonal berulang
yang berhubungan dengan alkohol (Wood, Vinson,
&Sher, 2002). Kemudian ada pula istilah binge drinker
yaitu laki-laki yang mengonsumsi lebih dari 5 minuman
beralkohol dalam sekali periode dan perempuan yang
mengonsumsi empat atau lebih minuman beralkohol
dalam sekali waktu setidaknya sekali selama 2 minggu
terakhir (Wechler, Moeykens, Davenport, Castillo, &
Hansen, 2000). Alkohol dikaitkan dengan keparahan
tingkat agresi (Tremblay, Graham, & Wells, 2008).
Penyalahgunaan alkohol 2.5 5 kali lebih tinggi pada
pria daripada wanita di usia 18 24 tahun (Grant, dkk.,
1991).

Seperti pada perilaku tidak sehat yang lain, penting


untuk mengkaji pendekatan biopsikososial untuk
memahami alasan orang mengonsumsi alkohol. Secara
biologis, ada beberapa prediktor genetic pada para
alkoholik (Johnson-Greene & Denning, 2008).
Penyalahgunaan alkohol cenderung menurun di
keluarga (Merikangas, 1990), dan kembar identik punya
kesamaan baik dalam konsumsi dan penyalahgunaan
alkohol daripada kembar fraternal (Ball & Murray, 1994;
McGue, 1999). Ada juga orang-orang yang lebih sensitif
pada alkohol karena memiliki gen tertentu seperti

64
subunit-beta dari dehydrogenase alkohol (Johnson-
Greene & Denning, 2008). Anak-anak yang lahir dari
alkoholik juga memiliki gelombang otak yang berbeda
saat merespon stimulus berupa melihat hal-hal yang
berkaitan dengan alkohol (Polich, Pollok, & Bloom,
1994).

Secara psikologis, ada tiga karakteristi kepribadian


yang berkaitan dengan alkoholik. Orang-orang neurotis,
impulsif, dan extrover memiliki kemungkinan lebih besar
untuk menjadi alkoholik (Finn & Robinson, 2012; Sher
& Trull, 1994). Mereka bukanlah penyebab langsung
mengapa orang mengonsumsi alkohol namun hanya
sebagai mediator dalam kasus ini. Penelitian juga telah
mengidentifikasi pola berpikir yang bisa membuat orang
berisiko menjadi alkoholik. Beberapa belief khusus
yang dimiliki mengenai efek perilaku, kognitif, dan
emosional (ekspektasi mengenai hasil yang akan
muncul) dapat memprediksi konsumsi alkohol pada
seseorang. Contohnya, jika remaja percaya bahwa efek
yang ditimbulkan setelah minum minuman keras itu
berguna bagi pergaulan mereka (misal membuat
mereka lebih lepas dan terbuka), maka mereka akan
lebih mungkin untuk mengonsumsi alkohol daripada
orang yang tidak memiliki kepercayan akan hal itu.

Jika menggabungkan penyebab biologis dan psikologis


mengapa orang minum minuman keras, alkohol

65
biasanya digunakan untuk mengurangi stres (Capell &
Greeley, 1987; Ostafin & Brooks, 2011). Konsumsi
alkohol berguna sebagai reinforcement perasaan positif
sehingga meningkatkan perilaku tersebut akhirnya
minum minuman keras dihubungkan dengan
penurunan stres.

Selain itu, dengan siapa seseorang bergaul dapat


mempengaruhi frekuensi minum minumman keras.
Penelitian Curran, Stice dan Chassin (1977) bahkan
menunjukkan bahwa peminum tidak hanya memilih
teman yang juga mengonsumsi minuman keras tapi
juga bisa mempengaruhi teman yang tidak minum
minuman keras. Kadang, ada juga orang yang berpikir
bahwa minum minuman keras di lingkungannya adalah
sesuatu yang wajar dan sebuah keharusan sehingga
mereka juga mulai melakukannya, padahal tentu saja
hal itu tidak benar. Tentu saja iklan minuman berakohol
yang tampak keren juga berpengaruh dalam
membentuk persepsi seseorang akan minuman ini.

Minum minuman beralkohol terlalu banyak memiliki


dampak buruk pada sebagian besar sistem organ, serta
bertanggung jawab atas banyak kecelakaan yang
sebagian besar fatal (NIAAA, 1997). Banyak janin yang
tidak berkembang sebagaimana mestinya karena
ibunya minum minuman keras. Kecelakaan di jalan raya
juga menjadi konsekuesnsi yang besar bagi para

66
peminum. Kerusakan otak juga bisa terjadi jika mulai
minum minuman beralkohol sejak remaja karena
perkembangan lobus frontal terjadi hingga usia 16 20
tahun. Fungsi otak pada orang dewasa juga akan
menurun jika terlalu sering mengonsumsi alkohol.

Penyakit kronis yang menyertai para peminum biasanya


menyerang liver. Masalahnya berbagai macam, mulai
dari lemak yang berliebihan di oran tersebut,
pembengkakan hati, sampai sirosis hati. Minum
minuma keras lebih dari 6 kali per hari juga
meningkatkan masalah kardiovaskular dan stroke.
Minum 3 4 kali sehari dan dengan frekuensi sering
juga dapat menyebabkan hipertensi.

Selain kesehatan fisik, penyalahgunaan minuman


beralkohol juga berhubungan dengan banyak masalah
psikologis dan perilaku sosial negatif. Keluarga dengan
orangtua pemabuk bisa membuat lingkungan yang
tidak nyaman bagi pertumbuhan anak; banyak
pertengkaran, tidak dekat, dan kekerasan pada anak
dilaporkan lebih banyak pada keluarga alkoholik (Bijur,
Kurzon, Overpeck, & Scheidt, 1992; Sher, 1991). Orang
yang menyalahgunakan minuman keras juga akan lebih
mungkin terlibat sex tidak aman (Leigh & Stall, 1993),
mengemudi dengan berbahaya (Yi, Stinson, Williams, &
Bertolucci, 1998), serta terlibat dalam kejahatan seperti
menyerang orang lain (Murdoch, Pihl, & Ross, 1990).

67
Orang yang minum terlalu banyak minuman keras juga
lebih berisiko untuk menderita gangguan psikologis
seperti kecemasan dan gangguan emosi (Kessler dkk.,
1997).

PENYAKIT KRONIS DAN PERILAKU TIDAK SEHAT

1. Penyakit Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular meliputi jantung dan pembuluh
darah (vena, venula, arteri, arteriol, dan kapiler).
Jantung memompa darah ke seluruh tubuh,
mengirimkan oksigen dan membuang kotoran dari sel
tubuh. Beberapa gangguan pada sistem kardiovaskular
dapat berupa (1) penyakit arteri koroner, terjadi ketika
arteri yang memasok darah ke jantung tersumbat oleh
plak dan membatasi suplai darah ke otot jantung; (2)
myocardial infarction (serangan jantung), disebabkan
oleh penyumbatan pada arteri koroner; (3) angina
pectoris, merupakan kelainan nonfatal dengan gejala
nyeri dada dan kesulitan bernafas; (4) stroke, terjadi
ketika pasokan oksigen ke otak terganggu; dan (5)
hipertensi (tekanan darah tinggi).

Beberapa peneliti mengidentifikasi sejumlah faktor


risiko pada sistem kardiovaskular. Faktor-faktor ini
adalah (1) risiko bawaan, (2) risiko fisiologis, (3) risiko
perilaku dan gaya hidup, dan (4) risiko psikososial.
Faktor risiko bawaan bersifat melekat; bertambahnya

68
usia, riwayat keluarga, jenis kelamin, dan budaya
merupakan hal-hal tidak dapat dimodifikasi. Tetapi,
mereka dengan risiko bawaan dapat mengurangi risiko
lain untuk menurunkan peluang mereka terkena
penyakit jantung. Kemudian, terdapat dua faktor risiko
fisiologis utama pada sistem kardiovaskular yakni
hipertensi dan kolesterol tinggi. Cara untuk
mengendalikanya adalah dengan melakukan diet yang
tepat.

Perilaku tidak sehat yang bisa menyababkan penyakit


kardiovaskular adalah merokok, makan makanan yang
tinggi lemak jenuh, makanan rendah serat dan rendah
vitamin antioksidan, serta tingkat aktivitas fisik yang
rendah. Risiko psikososial yang bisa meningkatkan
peluang munculnya penyakit kardiovaskular adalah
tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah;
kurangnya dukungan sosial; dan tingkat stres,
kecemasan, dan depresi yang terjadi secara terus-
menerus. Selain itu, rasa benci dan marah yang intens
dan keras serta perilaku menahan amarah yang
berlebihan juga bisa sedikit meningkatkan risiko
munculnya penyakit ini.

Selain beberapa perilaku di atas, faktor gaya hidup


seperti merokok, makan yang tidak sehat, serta gaya
hidup yang tidak bersih juga dapat memprediksi
kesehatan kardiovaskular. Peneliti menyebutkan

69
bahwa sebagian dari penurunan kematian akibat
penyakit jantung di Amerika dipengaruhi dari perubahan
perilaku dan gaya hidup. Selama periode waktu yang
digunakan untuk penelitian tersebut, jutaan orang
didapati telah berhenti merokok, mengubah pola makan
untuk mengendalikan berat badan dan kolesterol, dan
memulai program olahraga yang rutin.

Banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk


mengurangi risiko CVD. Obat-obatan, membatasi
konsumsi sodium, dan menurunkan berat badan dapat
mengendalikan hipertensi. Selain itu, obat-obatan, diet
yang tepat dan seimbang, serta olahraga dapat
menurunkan kadar kolesterol. Kemudian, pengelolaan
stres dengan lebih efektif juga bisa mengurangi risiko
penyakit kardiovaskular, pergi ke terapi jika menderita
depresi, dan belajar mengelola kemarahan agar tidak
meledak-ledak, serta belajar untuk mengekspresikan
frustrasi mereka dengan cara yang baik dan tidak
mengganggu.

2. Kanker
Kanker adalah penyakit yang ditandai oleh munculnya
sel-sel baru (neoplastik) yang tumbuh dan menyebar
tanpa bisa dikendalikan. Sel-sel ini bisa jinak atau
ganas, tetapi kedua jenis sel neoplastik tersebut tetap
berbahaya. Sel-sel yang ganas mampu bermetastasis
dan menyebar melalui darah atau kelenjar getah bening

70
ke organ tubuh lainnya, sehingga bisa mengancam
kehidupan si penderita.

Terdapat beberapa faktor risiko pada munculnya


kanker. Faktor risiko kanker yang tidak bisa
dikendalikan termasuk riwayat keluarga, latar belakang
etnis, dan usia lanjut. Latar belakang keluarga
merupakan faktor risiko dalam banyak jenis kanker;
mutasi gen khusus yang diwarisi dari keluarga bisa
meningkatkan risiko kanker payudara dua hingga tiga
kali lipat. Latar belakang budaya juga merupakan faktor
risiko pada kanker; dibandingkan dengan orang
Amerika-Eropa, orang Afrika-Amerika memiliki tingkat
kematian yang jauh lebih tinggi dari kanker, meskipun
pada kelompok etnis selain keduanya memiliki tingkat
kematian yang lebih rendah. Usia lanjut memiliki risiko
kematian yang paling besar pada kanker, selain
merupakan risiko utama kematian akibat kardiovaskular
dan penyakit lainnya. Paparan lingkungan terhadap
polusi udara atau radiasi juga bisa menjadi risiko
signifikan untuk kanker jika berkepanjangan.

Perilaku tidak sehat tentu saja menjadi faktor risiko


pada penyakit kanker. Lebih dari setengah dari
kematian akibat kanker di Amerika dikaitkan dengan
perilaku merokok atau gaya hidup yang tidak sehat
(yang dinilai dari pola makan dan aktivitas). Merokok
akan meningkatkan risiko kanker paru-paru, namun

71
penelitian juga menemukan rokok dapat merupakan
penyebab kematian akibat kanker lainnya.

Sementara itu, hubungan antara pola makan dan


kanker sangat kompleks; diet dapat meningkatkan atau
mengurangi risiko kanker. Makanan yang
terkontaminasi dan racun yang ada di makanan
meningkatkan risiko munculnya penyakit kanker.
Namun, diet yang tinggi buah-buahan, sayuran, biji-
bijian, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
dan biji-bijian dan rendah lemak, daging merah, daging
olahan, atau garam cenderung dikaitkan dengan
penurunan risiko berbagai jenis kanker. Pola makan
yang mengarah pada kelebihan berat badan atau
obesitas meningkatkan risiko munculnya penyakit ini.

Konsumsi alkohol tidak sekuat risiko kanker yang


didapat akibat pola makan yang tidak sehat, tetapi jika
ketergantungan terhadap alkohol disatukan dengan
perilaku merokok tentu akan meningkatkan risiko
kanker secara drastis. Kurangnya aktivitas gerak juga
meningkatkan risiko kanker, terutama kanker payudara.
Paparan sinar ultraviolet dan perilaku seksual pun bisa
meningkatkan risiko berbagai kanker. Penelitian juga
mengungkapkan adanya hubungan meskipun lemah
antara afek negatif, depresi, dan kanker.

72
Kuis refreshing
1. Zat apakah yang disalahkan oleh Gary Taubes sebagai
penyebab kegemukan?
2. Perilaku memuntahkan kembali makanan yang telah di
konsumsi merupakan gangguan yang disebut?
3. Apa sajakah faktor resiko pada sistem kardiovaskuler?
4. Pertumbuhan neoplastik yang tidak terkendali adalah ciri
penyakit?
5. Sebutkan beberapa efek nikotin yang menyebabkan
kebiasaan merokok sulit dihentikan?

73
74
PENYAKIT BERAT MASA KINI
Desi Wulansari

75
Pilek, sakit di bagian tubuh, sakit kepala, dan demam adalah
penyakit temporer yang sebagian besar dari kita mengalami.
Sayangnya, tidak semua penyakit bersifat temporer atau
sementara. Penyakit dapat berkembang menjadi kronis atau
penyakit jangka panjang yang bertahan selama bertahun-tahun.
Beberapa penyakit kronis bahkan mungkin bersifat terminal,
seperti kanker, diabetes, penyakit kardiovaskular (CVD), dan
penyakit jantung koroner (PJK). Kebanyakan orang dewasa
terkena dampak penyakit kronis dan 70% meninggal akibat
salah satu penyakit tersebut (CDC, 2018).

The National Center for Chronic Disease Prevention and Health


Promotion (2018) mendefinisikan penyakit kronis sebagai
penyakit yang dapat dicegah dan menimbulkan akibat signifikan
dalam mortalitas, morbiditas, dan biaya. Istilah "disease"
didefinisikan di sini sebagai proses yang objektif dan dapat
didefinisikan yang ditandai dengan gejala fisiologis (Sperry,
2006). Istilah "disease" sering digunakan secara bergantian
dengan istilah "illness," yang lebih umumnya didefinisikan
sebagai pengalaman subjektif dari keadaan penyakit

Penyakit akut sering memiliki satu penyebab, dapat diobati


dengan intervensi biologis tunggal atau terbatas, dan penyakit
dengan tingkat sedang biasanya dapat disembuhkan. Penyakit
kronis di negara maju jarang memiliki penyembuhan dan dapat
muncul kemudian mereda dan terus berulang. Nyeri punggung
dapat bersifat akut atau kronis; radang sendi biasanya kronis.
Intervensi biopsikososial biasa digunakan untuk membantu
penyesuaian penyakit kronis (Hoyt & Stanton, 2019).

Beberapa penyakit kronis terjadi pada awal kehidupan, seperti


asma, dan dapat berlangsung seumur hidup. Penyakit seperti
kanker, dapat menyerang pada usia berapa pun. Sebagian

76
besar penyakit kronis disertai oleh beberapa perubahan
fisiologis, psikologis, dan sosial untuk individu, dan budaya
memengaruhi cara-cara mengatasi penyakit-penyakit ini (Cho &
Lu, 2017; Cillessen, van de Van, & Karremans, 2017). Ada
perbedaan pada pria dan wanita dalam menghadapi penyakit
ini. Usia, suku dan agama, serta kelompok juga berpengaruh.
Dalam bab ini, kita akan fokus pada beberapa topik umum
seputar penyakit kronis. Bagaimana individu bereaksi ketika
tahu bahwa dirinya memiliki penyakit kronis? Apa yang
dilakukan dengan penyakit kronis terhadap hidup Anda? Apa
yang dapat Anda lakukan untuk mengatasinya? Bagaimana
individu yang berbeda mengatasinya?

PREVALENSI PENYAKIT KRONIS

Apa penyakit kronis yang paling umum? Secara historis,


beberapa bukti menunjukkan kebanyakan orang meninggal
pada usia yang relatif muda. Bukti arkeologis menunjukkan
bahwa penyebab utama kematian adalah pemangsaan oleh
hewan dan musuh manusia lainnya. Terdapat penyebab lain
seperti penyakit kronis. Sebagian besar penyakit yang
disebabkan oleh virus atau bakteri berumur pendek hanya
karena ada beberapa obat untuk mereka ketika individu
menderita penyakit tersebut ia akan meninggal. Selama
Kekaisaran Romawi (sekitar abad 100), usia harapan hidup
adalah antara 22 dan 25 tahun. Perkiraan terbaru, menunjukkan
bahwa wanita Barat yang lahir pada 2010 akan hidup sekitar 81
tahun dan pria akan hidup sekitar 76 tahun (Laporan Statistik
Nasional, 2016). Hal ini menunjukkan perubahan besar jika
dibandingkan dengan 100 tahun yang lalu: wanita yang lahir di
Indonesia pada tahun 1900 hidup rata-rata 48,3 tahun dan laki-
laki hidup 46,3 tahun. Perubahan dalam harapan hidup ini
sebagian besar disebabkan oleh perbaikan besar dalam

77
pengobatan yang dapat menunda kematian. Namun, tidak
semua individu memiliki harapan hidup yang sama. Data lain
menunjukkan perbedaan etnis yang dramatis dalam harapan
hidup baik berdasarkan jenis kelamin dan etnis selama
bertahun-tahun. Harapan hidup pria dan wanita Afrika Amerika
dan Eropa Amerika berubah seiring waktu, dan kedua kelompok
memiliki harapan hidup yang berbeda hari ini. Ada juga jenis
kelamin yang signifikan perbedaan wanita hidup rata-rata 5
tahun lebih lama daripada pria. Ilmu pengetahuan belum
mampu menjelaskan fakta ini. Alasan mungkin wanita memberi
dan menerima lebih banyak dukungan sosial, mungkin lebih
sehat secara biologis, dan terlibat dalam lebih sedikit dalam
perilaku berisiko tinggi

Saat ini, penyebab utama kematian adalah penyakit jantung,


kanker, penyakit pernapasan, penyakit serebrovaskular, dan
kecelakaan (CDC, 2016). Terdapat data statistik yang
mengejutkan: lebih dari 83 juta orang Amerika memiliki CVD
(total populasi Amerika Serikat adalah 327 juta); 76 juta orang
Amerika memiliki tekanan darah tinggi; hampir 7 juta orang
Amerika mengalami stroke (American Heart Association, 2018),
dan 12 juta pria dan wanita memiliki beberapa jenis kanker
(Jemal et al., 2017). Diabetes, penyakit yang dapat
mempercepat timbulnya CVD, adalah penyakit kronis umum
dengan lebih dari 18 juta orang Amerika diperkirakan memiliki
salah satu tipe, diabetes tipe 1 atau diabetes tipe 2 (American
Heart Association, 2018). Faktanya, penyakit jantung dan stroke
adalah penyebabnya. Sekitar 65% kematian karena diabetes
(CDC, 2018).

KOPING DALAM MENGHADAPI PENYAKIT KRONIS

78
Memperbaiki pola makan seseorang, tidak merokok, dan
meminnimalisir mengonsumsi minuman beralkohol dapat
membantu mencegah penyakit kronis, namun tidak menjamin
dapat terhindar dari penyakit-penyakit ini.

Sebelum kita membahas bagaimana seseorang dapat


mengatasi penyakit kronis, penting untuk mempertimbangkan
beberapa tujuan pengobatan. Ilmu pengetahuan telah membuat
banyak kemajuan dalam pengobatan kanker dan infeksi HIV,
dan beberapa penelitian menyarankan bahwa penyakit seperti
PJK dan diabetes dapat membaik (Campbell & Campbell, 2016;
Ornishet al., 1998); Namun, masih belum bisa menyembuhkan
penyakit ini. Karenanya, membantu orang mengatasi hal ini
penyakit menjadi sangat penting. Psikolog kesehatan telah
mempelajari berbagai bentuk penyesuaian ketika terjad
penyakit kronis (Hoyt, 2019). Lima bentuk penyesuaian utama
adalah keberhasilan pelaksanaan tugas sehari-hari,
ketidakhadiran gangguan psikologis, rendahnya tingkat
pengaruh negatif dan tingginya tingkat pengaruh positif, status
fungsional yang baik, dan kepuasan dalam berbagai bidang
kehidupan (Stanton, Collins, & Sworowski, 2001). Kondisi
psikologis yang paling umum dipelajari adalah kualitas hidup
(Morgan & McGee, 2016).

Kualitas Kehidupan

Ukuran yang paling umum digunakan tentang bagaimana


seseorang mengatasi penyakit kronis adalah ukuran kualitas
hidup yang dimiliki (Quality of Life). Kadang-kadang disebut
kualitas hidup terkait kesehatan (HRQOL) atau dibahas sebagai
kesejahteraan, 40 tahun terakhir telah terlihat peningkatan
penelitian tentang QOL (Morgan & McGee, 2016). Aspek QOL
yang menonjol dalam studi tentang bagaimana pasien

79
mengatasi penyakit dan penting untuk merencanakan
perawatan lebih lanjut (Brodsky, Spritzer, Hays, & Hui, 2017).
QOL pada awalnya adalah ukuran yang dibuat oleh dokter,
apakah penyakit itu ada atau tidak ada. Jika adanya gejala
penyakit itu kuat, diasumsikan bahwa QOL akan rendah.
Sekarang jelas bahwa pasien adalah hakim terbaik dari kualitas
hidup mereka sendiri. Bertanya kepada pasien seberapa
sakitnya yang mereka alami dan bagaimana perasaan mereka
(misalnya, menilai depresi dan kecemasan) adalah cara yang
efektif untuk menentukan seberapa baik mereka mengatasi
kondisi mereka (Morrow, Hayen, Quine, Scheinberg, & Craig,
2012).

Kualitas hidup meliputi beberapa komponen. Mirip dengan


ukuran penyesuaian, QOL mencakup ukuran status fisik dan
fungsi, status psikologis, fungsi sosial, dan adanya penyakit-
atau gejala terkait pengobatan. Seperti yang bisa ditebak,
menggunakan tampilan subjektif pasien dapat bersifat relatif
sehingga kurang tepat. Sebagai contoh, seorang pasien dapat
membandingkan kemajuan pengobatan dan kualitas hidup yang
sesuai pasien lain dan menjadi kecil hati. Meskipun demikian,
QOL masih merupakan ukuran utama penyesuaian penyakit
kronis.

Komponen Penyesuaian Psikososial

Mari kita lihat berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial


budaya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dan
penyesuaian.
Banyak dari kita akan menderita penyakit kronis pada suatu saat
dalam kehidupan kita. Namun, jelas perubahan perilaku dapat
sangat mengurangi kemungkinan tertular beberapa penyakit
kronis (LaCaille & Hooker, 2019; Mermelstein & Brikmanis,

80
2019). Lebih jauh, strategi psikologis dapat membantu
seseorang mengatasi masalah kronis penyakit. Misalnya, dalam
studi longitudinal pasien dengan penyakit radang usus dan
radang sendi, pasien yang menunjukkan rasa syukur tidak
terlalu tertekan (Sirois & Wood, 2017). Bahkan, kesyukuran
adalah prediktor signifikan penurunan depresi bahkan setelah
mengendalikan variabel psikologis lainnya seperti sebagai
kognisi penyakit. Demikian pula, dua variabel psikologis lainnya,
optimisme dan harapan, adalah alat bantu yang kuat untuk
membantu pasien mengatasi penyakit kronis (Schiavon,
Marchetti, Gurgel, Busnello, & Reppold, 2017).

Penyesuaian dengan penyakit kronis memiliki banyak


komponen berbeda. Pasien perlu mengatasi tidak hanya
pengaruh, perilaku, dan kognisi tentang penyakit tetapi juga
dengan memperbaiki gaya hidup mereka menerima pengobatan
dan mengelola bagaimana orang lain di jejaring sosial mereka
menanggapi penyakit mereka (Day, 2019; Hoyt & Stanton,
2019). Mereka mungkin mengalami banyak perasaan berbeda
termasuk kecemasan, depresi, dan frustrasi, dan mungkin tidak
dapat melakukan fungsi-fungsi umum seperti pergi bekerja atau
bahkan berbelanja bahan makanan sendiri. Sangat penting bagi
pasien untuk mengintegrasikan penyakit ke dalam kehidupan
mereka. Namun, mudah bagi pasien mengalami stres karena
penyakit (Chawla & Kafescioglu, 2012). Aktivitas harian,
perubahan gejala, dan emosi yang berfluktuasi bisa sangat luar
biasa (Emery, 2019). Ada banyak sekali tantangan untuk proses
penerimaan; manajemen diri yang sukses dengan psikososial,
dan dukungan dari lingkungan sangat penting. Selanjutnya,
terdapat beberapa komponen penyesuaian yang berbeda
menggunakan pendekatan utama dalam psikologi kesehatan.
Isu Biologis

81
Secara biologis, penyakit kronis yang berbeda akan memiliki
perawatan yang berbeda. Misalnya, penyakit jantung koroner
(PJK) dan kanker, dua penyebab utama kematian bagi orang
Amerika, menyebabkan perubahan signifikan pada tubuh.
Kanker menyebabkan sel tumbuh tak terkendali, merusak
jaringan di sekitarnya dan membatasi fungsi normal. Dalam
CHD, pembuluh darah di sekitar jantung tersumbat oleh plak
dan lemak, mengubah aliran darah dan kemungkinan
menyebabkan serangan jantung. Penyakit kronis lainnya seperti
diabetes dan asma juga memiliki korelasi fisiologis sebagai
perubahan sensitivitas insulin dan pemblokiran saluran
pernapasan (Kalyva, Eiser, & Papathanasiou,2016). Perubahan
fisiologis yang lambat membatasi fungsi di banyak daerah dan
sering disertai dengan rasa sakit (Hoyt & Stanton, 2012).
Akibatnya, rehabilitasi fisik merupakan komponen besar dari
setiap perawatan penyakit kronis. Hilangnya fungsi dan
peningkatan rasa sakit juga memiliki konsekuensi besar untuk
bagaimana pasien memandang dunia, dan masalah psikologis
perlu dipertimbangkan.

ISU PSIKOLOGIS

Aspek Psikologis Koping

Terdapat peran faktor psikologis dalam penyesuaian penyakit


kronis (Samson & Siam, 2008). Dalam ulasan literatur teoritis
dan empiris tentang penyesuaian pada penyakit kronis, Stanton
et al. (2001) mengidentifikasi dua aspek psikologis sebagai
multidimensi utama. Pertama, individu harus melakukan melalui
penyesuaian, yang mencakup aspek kognitif seperti pikiran
mengganggu dan mengubah pandangan diri, aspek emosional
seperti depresi dan kecemasan, dan aspek perilaku dan fisik
seperti terkait dengan rasa sakit atau tidak mampu melakukan

82
kegiatan sehari-hari. Kedua, orang yang sakit harus melakukan
penyesuaian interpersonal, negosiasi hubungan pribadi dengan
teman dan keluarga serta hubungan profesional dengan
penyedia layanan kesehatan. Penyesuaian positif mencakup
penguasaan tugas terkait penyakit, tidak adanya gangguan
psikologis dan perasaan negatif, persepsi kualitas hidup yang
tinggi, dan pemeliharaan status fungsional dan peran sosial
yang memadai (Hoyt & Stanton, 2019).

Mungkin salah satu sumber psikologis paling efektif yang dimiliki


seseorang dengan penyakit kronis adalah pendekatan mental
terhadap situasi dan penilaian individu (Lazarus & Folkman,
1984). Pasien dan penilaian sekunder dari penyakit tersebut
secara bersamaan dapat mempengaruhi bagaimana penyakit
mereka. Jika penyakitnya dilihat sebagai tantangan (penilaian
primer) dan mereka percaya mereka memiliki banyak dukungan
sosial untuk mengatasinya (penilaian sekunder), mereka
mungkin akan memiliki QOL yang lebih tinggi (Gatchel & Oordt,
2003b). Misalnya, dalam sebuah studi tentang keprihatinan
khusus kanker kolorektal dalam sampel populasi penderita
kanker kolorektal penilaian terhadap ancaman penyakit oleh
pasien secara signifikan memprediksi kualitas hidup mereka
hingga 2 tahun setelah perawatan (Steginga, Lynch, Hawkes,
Dunn, & Aitken, 2009).

Sejumlah psikolog kesehatan telah memodifikasi teori penilaian


kognitif dari konteks aslinya (mis., stres) dan telah disesuaikan
untuk membantu menjelaskan mengatasi penyakit kronis seperti
artritis, kanker payudara, kanker prostat, dan AIDS (Merz et al.,
2011; Schwartz & Rapkin, 2012). Bahkan, saat ini faktor
kepribadian juga dinilai berpengaruh. Profil Penilaian Kualitas
Hidup Versi 2 (QOLAPv2) membantu menilaiperbedaan
individu dan berguna dalam menjelaskan mengapa orang yang

83
mengalami kondisi kesehatan yang sangat berbeda mungkin
melaporkan QOL yang sama (Rapkin, Garcia, Michael, Zhang,
& Schwartz, 2017). Pertama kali dikembangkan dengan 4.173
responden, QOLAPv2 berguna lintas populasi dan memberikan
prediksi QOL yang lebih baik daripada ukuran kepribadian saja.
Respon Psikologis Terhadap Penyakit Kronis.

Ada beberapa respons psikologis umum terhadap penyakit


kronis (Martire & Schulz, 2012). Penyangkalan adalah satu
reaksi psikologis yang pertama kali dirasakan pada saat
seseorang diberi tahu bahwa dia menderita penyakit kronis.
Orang tersebut mungkin merasa tidak seimbang dan secara
sadar atau tidak sadar berusaha menolak kenyataan.
Penyangkalan mungkin muncul dalam periode yang sangat
singkat di awal proses karena mengurangi kecemasan, tetapi
berbahaya dalam jangka panjang karena mengurangi
kepatuhan terhadap pengobatan dan terkait dengan
keterlambatan dalam pelaporan dan mencari pengobatan.
Pengukuran penolakan dalam konteks ini dapat dilakukan
dengan Illness Denial Angket (IDQ; Ferrario et al., 2017). IDQ
adalah 24 item benar / salah berukuran tiga utama sub
komponen: penolakan emosi negatif, penolakan terhadap
perubahan, dan penghindaran secara sadar.

Reaksi psikologis umum lainnya terhadap hasil tes positif atau


bahkan mengalami gejala kronis penyakit adalah kecemasan.
Kecemasan mengganggu fungsi yang sehat, menyebabkan
seseorang untuk mengatasi gangguannya dengan buruk dan
menunda pengakuan dan pelaporan gejala. Kecemasan sering
tinggi ketika pasien sedang menunggu hasil tes,menerima
diagnosis, dan menunggu prosedur medis invasif.
Ketidaktahuan tentang perjalanan penyakitnya atau tidak
memiliki informasi yang cukup tentang penyakit yang diderita

84
terutama memicu kecemasan. Kurangnya kecemasan yang
disebabkan oleh informasi lebih menonjol pada populasi SES
yang lebih rendah dan pada beberapa kelompok etnis.

Reaksi negatif yang paling umum terhadap penyakit kronis


adalah depresi (Giardini et al., 2017). Depresi bisa bersifat
biologis atau psikologis dan sering tidak terdiagnosis karena
gejalanya dibayangi oleh gejala penyakit kronis. Tidak seperti
kecemasan, depresi cenderung merupakan reaksi jangka
panjang danmeningkat dengan meningkatnya rasa sakit dan
kecacatan. Ketika pasien mengalami depresi, mereka kurang
termotivasi untuk mengatasinya secara aktif dengan
penyakitnya, cenderung menafsirkan perubahan tubuh secara
negatif, dan kadang-kadang bahkan melakukan atau mencoba
bunuh diri.

Bentuk reaksi psikologis juga bervariasi tergantung pada


penyakitnya dan sangat bervariasi pada individu dengan
penyakit yang sama. Faktor kepribadian, jumlah dukungan
sosial yang diterima atau dirasakan dan dimiliki, serta
kepercayaan budaya di sekitar penyakit itu semua dapat
memengaruhi penanggulangan penyakit dan dapat
meringankan gejala depresi dan kecemasan. Hubungan yang
sama yang menghubungkan stres dan coping menghubungkan
penyakit kronis dan coping.

Variabel kepribadian (hati nurani, kesesuaian, neurotisisme,


keterbukaan terhadap pengalaman, dan ekstroversi;) telah
dikaitkan dengan coping secara umum (Smith, 2019) dan coping
dengan penyakit kronis tertentu (Sirois, 2015. Pengaruh positif
secara signifikan dikaitkan dengan memiliki risiko kematian
yang lebih rendah dari penyebab apa pun (mis., semua
penyebab kematian) pada diabetisi (Moskowitz, Epel, & Acree,

85
2008). Dalam sebuah studi tentang keterlibatan agama,
kerohanian, dan fungsi fisik / emosional dalam sampel laki-laki
Afrika-Amerika dan wanita dengan kanker, menunjukkan
pengaruh positif sebagai faktor kunci dalam memprediksi
penyesuaian yang lebih baik (Holt et al., 2011).

Optimisme adalah karakteristik kepribadian kuat lainnya dalam


mengatasi penyakit kronis (Giardini et al.,2017). Carver et al.
(1993) pertama kali menunjukkan secara meyakinkan peran
optimisme pada wanita yang mengalami kanker payudara.
Ketika diukur sebelum operasi, wanita optimis adalah mereka
yang menggunakan koping yang lebih aktif terhadap penyakit,
dan mereka yang kurang tertekan. Pola ini bertahan selama tiga
penilaian lebih lanjut pada 3, 6, dan 12 bulansetelah operasi.

Optimisme juga membantu dalam mengatasi diabetes mellitus,


rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis (Fournier, de Ridder,
& Bensing, 2002), kanker payudara (Sohl et al., 2012), operasi
bypass koroner (Tindle et al., 2012), dan infeksi HIV (Peterson,
Miner, Brennan, & Rosser, 2012). Membangun optimisme bisa
berlangsung lama. Misalnya, perasaan tertekan pada orang
dewasa yang sakit kronis, dapat memprediksi kesehatan fisik
yang lebih buruk dan lebih besar emosi negatif di antara
kelompok (Ruthig, Chipperfield, Newall, Perry, & Hall, 2007).
Perasaan tertekan juga menyebabkan turunnya optimisme,
yang berpengaruh pada kesehatan dan kesejahteraan.
Pemulihan perasaan tertekan dapatditingkatkan dengan
memperkuat optimisme (Ruthig et al., 2007). Secara umum,
karakteristik kepribadian yang berbeda dapat sangat membantu
mengatasi (Smith, 2019).

Komponen penting lain terkait koping psikologis terkait dengan


bagaimana pasien membandingkan diri mereka dengan orang

86
lain yang menderita penyakit yang sama dan seberapa besar
makna yang mereka peroleh dari penyakit itu. Misalnya,
perbandingan sosial menunjukkan bahwa orang kadang-
kadang dapat membandingkan diri mereka dengan orang yang
lebih baik daripada mereka ("Rekan kerja saya memiliki
masalah yang sama, dan dia melakukan jauh lebih baik
daripada saya") atau lebih buruk dibandingkan daripada diri
mereka sendiri ("Oh, setidaknya saya melakukan lebih baik
daripada tetangga saya yang memiliki penyakit yang sama").

Perempuan yang mengatasi kanker payudara dengan lebih baik


membuat perbandingan dengan orang-orang yang kurang
beruntung daripada mereka untuk meningkatkan harga diri
mereka sendiri (Wood, Taylor, & Lichtman, 1985). Wanita Cina
yang mengalami kanker payudara juga ditemukan
menggunakan cara yang lebih kurang sama. Esensi
pengalaman perempuan Cina adalah bahwa mereka
menghadapi kenyataan diagnosis kanker, melakukan upaya
aktif dalam pengobatan kanker, terus optimis, semangat,
mempertahankan aktivitas fisik dan berefleksi (Fu, Xu, Liu, &
Haber, 2008).
Menemukan makna dalam penyakit Anda sering kali dapat
bermanfaat, yang mengarah pada penurunan angka kematian
dan morbiditas (Hooker, Masters, & Park, 2018), tetapi dalam
beberapa kasus dapat merusak kesejahteraan juga. Awalnya,
penelitian menunjukkan bahwa menemukan makna dalam
pengalaman Anda dapat mengarah pada kesejahteraan positif
dan penyesuaian yang lebih baik atas penyakitnya (Taylor,
1983). Ada beberapa kualifikasi penting untuk penemuan awal
ini. Tomich dan Helgeson (2004) meneliti pengaruh
menemukan makna (mereka menyebutnya manfaat
menemukan) pada QOL pada 364 wanita yang didiagnosis
dengan kanker payudara stadium I, II, atau III. Data tentang

87
manfaat dan kualitas hidup diukur 4 bulan postdiagnosis (Tl), 3
bulan setelah Tl (T2), dan 6 bulan setelah T2 (T3). Wanita
dengan status sosial ekonomi lebih rendah, wanita minoritas,
dan mereka yang memiliki tingkat penyakit yang lebih parah
lebih banyak merasakannya manfaat di awal. Temuan manfaat
dikaitkan dengan lebih banyak pengaruh negatif pada awal dan
juga terkait dengan tahap penyakit, sehingga hubungan negatif
dengan QOL sepanjang waktu terbatas pada mereka yang
memiliki lebih banyak penyakit kronis.

BUDAYA DAN PENYAKIT KRONIS

Lingkungan sosial budaya seseorang memiliki banyak implikasi


untuk bagaimana ia mengatasi penyakit kronis. Jose, yang
tinggal bersama keluarga besar Meksiko-Amerika, akan
mengatasi diagnosis kanker secara berbeda dengan Yosua
yang tinggal sendirian dan jauh dari keluarga Eropa-Amerika-
nya. Jessica, seorang Katolik yang taat, mungkin menghadapi
kanker payudara yang sangat berbeda dari Carmel, seorang
agnostik. Teman, keluarga, dan masyarakat dapat membuat
perbedaan besar dalam cara seseorang mengatasi
penyakitnya. Jika Anda mendapatkan penyakit kronis yang
diremehkan di masyarakat, Anda cenderung didiskriminasi
karena memiliki penyakit, dan diskriminasi ini dapat
mempengaruhi secara negatif kemampuan individu untuk
mengatasinya.

KELUARGA DAN LINGKUNGAN

Lingkungan tempat individu tinggal dapat menonjolkan suatu


penyakit atau membantu mengendalikannya (Gurung et al.,
2004). Peristiwa yang menekan mempengaruhi tingkat
kecemasan, sehingga mempengaruhi penyesuaian penyakit

88
(Lepore & Evans, 1996). Faktor sosiokultural dapat
memengaruhi pasien, Taylor, Repetti, dan Seeman (1997)
menelusuri berbagai cara lingkungan yang tidak sehat
pekerjaan yang penuh tekanan atau situasi keluarga, tinggal di
lingkungan dengan tingkat kejahatan yang tinggi, menganggur,
atau memiliki banyak beban kronis dapat mengurangi
dukungan sosial dan tidak mendukung adaptasi terhadap
penyakit. Masing-masing elemen yang berbeda ini memainkan
peran dalam mempengaruhi persepsi dan ketersediaan sumber
daya koping.

Pentingnya faktor sosial seperti struktur keluarga dan komunitas


meningkat ketika orang dengan penyakit kronis adalah anak-
anak (Lyon et al., 2011). Misalnya, dinamika keluarga dapat
berubah secara signifikan ketika seorang anak didiagnosis
menderita diabetes. Beberapa keluarga menjadi lebih protektif
dan mengendalikan ketika seorang remaja menderita diabetes.
Dalam situasi seperti itu, keluarga mungkin mendapatkan terlalu
banyak beban dan mencari bantuan dari keluarga besar,
tetangga, atau komunitas. Lingkungan mungkin menjadi kunci
sebagai komunitas pendukung terbukti menguntungkan
(Waverijn, Heijmans, & Groenewegen, 2017). Statistik
menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di lingkungan
berbahaya lebih rentan untuk terlibat dalam perilaku berisiko,
karenanya memperburuk perjalanan penyakit kronis mereka
(Obeidallah et al., 2001).

Komposisi keluarga dapat bervariasi. Setiap bentuk keluarga


yang dijelaskan di bawah ini berkaitan dengan keluarga yang
berbeda lingkungan dan dapat memengaruhi anggota keluarga
untuk mengatasi penyakit kronis. Keluarga inti biasanya terdiri
dari ibu perempuan, ayah laki-laki, dan anak-anak yang belum
menikah. Keluarga inti berjumlah sekitar 25% dari berbagai jenis

89
keluarga di Amerika Utara. Keluarga campuran terdiri dari dua
orang tua, salah satu atau keduanya yang mungkin telah
menikah sebelumnya, dengan anak-anak mereka. Keluarga
besar terdiri dari keluarga campuran atau keluarga inti ditambah
kakek nenek atau cucu, bibi, paman, dan kerabat lainnya.

Beberapa kelompok etnis lebih cenderung memiliki keluarga


besar yang tinggal bersama daripada yang lain. Misalnya, 31%
dari Keluarga Afrika-Amerika lebih banyak dibandingkan 20%
dari kelompok etnis lainnya. Beberapa kelompok etnis dan
beberapa lainnya agama-agama juga memasukkan kerabat fiktif
dalam unit keluarga dasar. Banyak Katolik Amerika Meksiko
(dan lainnya Umat Katolik) memiliki orangtua baptis teman
dekat keluarga yang melayani sebagai pengasuh tambahan
anak-anak. Kamu mungkin juga mendengar tentang keluarga
yang hancur, terdiri dari orang tua yang bercerai yang tinggal
bersama anak-anak. Keluarga yang berdebat dan hubungan
yang dingin, tidak mendukung, dan lalai disebut berisiko
keluarga (Repetti et al., 2002). Faktor Biologi dan lingkungan
sosial berinteraksi sebagai karakteristik keluarga negatif
(misalnya sebagai pelecehan, agresi, atau konflik) menciptakan
kerentanan yang berinteraksi dengan kerentanan berbasis
genetik dan dapat berdampak negatif terhadap penyakit kronis.
Secara khusus, seseorang yang tumbuh dalam keluarga
berisiko benar-benar dapat menunjukkan perbedaan gen
mereka. Dalam satu studi longitudinal baru-baru ini terhadap
hampir 300 remaja, para peneliti mengikuti peserta selama 5
tahun dan memetakan hubungan keluarga negatif awal ke gen
kemudian. Pengujian sampel darah menunjukkan proses
keluarga berisiko terkait dengan lebih banyak emosi negatif dan
telomer lebih pendek dalam gen (Brody, Yu, & Shalev, 2017).

90
SES dan etnis juga memainkan peran kunci. Keluarga yang
hidup di bawah garis kemiskinan lebih cenderung hidup area
kumuh di mana risiko terhadap anak-anak meningkat dan
aksesibilitas ke layanan kesehatan menurun. Hubungan antara
berbagai variabel ini dapat dilihat dalam hubungan antar
generasi antara ibu dan ibu anak-anak dengan PTSD (Linares
& Cloitre, 2004). Beberapa psikolog mempelajari apakah satu
jenis keluarga lebih baik dari yang lain. Perhatian khusus telah
diberikan kepada keluarga dengan orang tua sesama jenis (dua
laki-laki atau dua perempuan orang tua) dan keluarga orang tua
tunggal. Saat ini, tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa
kedua tipe ini keluarga tidak sehat untuk anak-anak (Frost &
Svensson, 2019).

PENYAKIT KRONIS DAN ETNISITAS

Lingkungan budaya juga penting. Pengalaman dan hasil dari


suatu penyakit dibentuk oleh faktor budaya yang memengaruhi
bagaimana hal itu dirasakan, dilabeli, dan dijelaskan, dan
bagaimana pengalaman itu dinilai(Broadbent, 2019). Misalnya,
orang Afrika-Amerika dengan penyakit kronis menunjukkan efek
yang lebih buruk daripada Eropa Amerika di Amerika Serikat
(Lederer et al., 2008). Karena itu, kita sebenarnya memahami
penyakit itu dipengaruhi pada latar belakang budaya kita.
Seseorang yang berasal dari keluarga petani mandiri mungkin
diajarkan untuk meremehkan penyakit dan bersikap berani dan
terus bekerja. Seseorang yang tumbuh di sebuah kota mungkin
lebih mungkin untuk mengikuti resep dokter untuk istirahat total.
Budaya pasien dan ketersediaan informasi sumber penyakit dan
penyakit memengaruhi perilaku individu dalam mencari
perawatan dan pendapat, pilihan, dan kepatuhan pengobatan
(Turner, 1996).

91
Dalam beberapa tahun terakhir, praktisi telah menemukan
peran faktor budaya, terutama akulturasi, dalam tingkat
kesembuhan penyakit kronis. Misalnya, ketika merawat migran,
praktisi sekarang lebih sadar akan penyebab faktor penyakit
seperti harus berurusan dengan perubahan pola makan dan
stres dari lingkungan baru mereka, stresor yang sering
menyebabkan penyakit tertentu seperti obesitas dan kanker
prostat (Jasso, Massey, Rosenzweig, & Smith, 2004). Ada juga
penelitian yang luas tentang peran kompetensi linguistik (mis.,
Ngo-Metzger et al., 2003) dan kesesuaian etnis antara pasien
dan praktisi dalam mengatasi penyakit kronis (mis., Tarn et al.,
2005).

Beberapa kelompok budaya bereaksi terhadap penyakit kronis


berbeda dari yang lain (Galanti, 2014). Budaya kolektivis
melihat penyakit kronis sebagai sesuatu yang harus dilakukan
oleh seluruh keluarga atau masyarakat, bukan hanya individu
menanggulangi. Keluarga Hmong bersatu di sekitar anak yang
sakit dengan epilepsi dan kesulitan pribadi yang dialami untuk
merawatnya. Ada pola budaya serupa di seluruh berbagai
kelompok agama dan etnis. Sebagai contoh, banyak kelompok
gereja telah mengorganisasi program untuk menjaga pemuja
yang sakit kronis.

Adakah perbedaan budaya dalam cara kelompok etnis


mengatasi penyakit tertentu? Penelitian di bidang ini terus
bertambah. Misalnya, Culver, Arena, Wimberly, Antoni, dan
Carver (2004) menguji perbedaan dalam mengatasi penyakit
pada wanita Afrika Amerika kelas menengah, Latin, dan Eropa
Amerika dengan kanker payudara tahap awal. Mereka hanya
menemukan dua perbedaan dalam mengatasi (mengendalikan
variabel medis, pendidikan, dan kesulitan). Dibandingkan
dengan wanita Eropa-Amerika, dua kelompok lainnya sama-

92
sama melaporkan menggunakan koping berbasis humor
semakin sedikit dan koping berbasis agama lebih banyak. Ada
satu perbedaan dalam bagaimana mengatasi kesulitan:
pelepasan emosi dapat meningkatkan distres pada orang-orang
Latin daripada di antara non-Latin (Culver et al., 2004).

Agama (seperti terlihat dalam mengatasi kanker payudara)


memainkan peran kunci dalam memahami perbedaan budaya
dalam mengatasi dengan penyakit kronis (Park & Carney,
2019). Spiritualitas secara khusus memainkan peran yang
sangat kuat dalam manajemen diri dari penyakit kronis pada
wanita yang lebih tua (Harvey, 2008). Dalam sebuah studi
langsung menguji peran agama dalam mengatasi rasa sakit dan
penyesuaian psikologis, Abraido-Lanza, Vasquez, dan
Echeverria (2004) menemukan bahwa orang-orang Latin
dengan artritis dilaporkan menggunakan tingkat tinggi
penanganan keagamaan. Analisis lebih lanjut menunjukkan
bahwa koping religius berkorelasi dengan koping aktif tetapi
tidak pasif dan berhubungan langsung dengan kesejahteraan
psikologis.Koping pasif dikaitkan dengan rasa sakit yang lebih
besar dan penyesuaian yang lebih buruk. Temuan seperti ini,
sama dengan penelitian di kelompok etnis lain, seperti Afrika
Amerika (Holt et al., 2011), intervensi dan pendekatan
penjangkauan berbasis masyarakat harus dilakukan sebagai
media ekspresi dan pengalaman spiritual untuk pasien dan
perawat.

Keyakinan kelompok budaya tentang kesehatan dan penyakit


juga penting (Arellano & Sosa, 2018). Untuk banyak masalah
medis kronis, perilaku koping pasien dan kepatuhan terhadap
pengobatan akan tergantung pada kualitas interaksi pasien-
tenaga kesehatan. Beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa pasien yang berkeyakinan mendukung

93
pengobatan tradisional lebih sehat ketika mereka mencari
pengobatan dari penyembuh tradisional daripada dokter
biomedis (Kleinman, Eisenberg, & Good, 1978; Mehl-Medrona,
1998). Hal ini dapat disebabkan karena sistem kepercayaan
yang sesuai serta kedekatan relatif dalam kelas sosial antara
pasien dan praktisi. Dalam kasus lain, mungkin karena identitas
budaya dokter itu sendiri dapat mempengaruhi bagaimana dia
memperlakukan pasien dari budaya yang sama (Gurung &
Mehta, 2001). Dalam banyak sistem medis tradisional dan
rakyat, penekanan yang lebih besar juga diberikan pada
komunikasi, yang dapat meningkatkan kepuasan dan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Prasangka dan diskriminasi berakibat negatif bagi kelompok


budaya tertentu. Lederer et al. (2008) melakukan studi terhadap
280 orang Afrika-Amerika non-Hispanik dan 5.272 non-
Hispanik. Orang dewasa Amerika Latin Hispanik berusia 40
tahun ke atas dengan penyakit paru obstruktif kronis (COPD).
Para pasien terdaftar untuk transplantasi paru-paru di Amerika
Serikat antara 1995 dan 2004. Setelah daftar untuk
transplantasi paru-paru, pasien Afrika-Amerika lebih kecil
kemungkinannya untuk menjalani transplantasi dan lebih
mungkin meninggal atau dihapus dari daftar dibandingkan
dengan pasien orang Amerika keturunan Eropa non-Hispanik.
Akses yang tidak merata ke perawatan mungkin berkontribusi
pada perbedaan-perbedaan ini. Pasien Afrika Amerika dalam
penelitian ini lebih mungkin untuk memiliki hipertensi paru,
menjadi obesitas dan diabetes, kekurangan asuransi kesehatan
swasta, dan karena tinggal di lingkungan yang lebih miskin.

DUKUNGAN SOSIAL

94
Penelitian yang paling banyak dilakukan dalam faktor
sosiokultural pasien yang sakit kronis adalah dukungan sosial
(Knoll, Scholz, & Bitzen, 2019). Studi dan ulasan empiris
menunjukkan bahwa orang dengan lebih banyak dukungan
sosial memiliki lebih banyak penyesuaian positif untuk penyakit
kronis. Penyakit yang diteliti berkisar dari kanker (Rogers,
Mitchell, Franta, Foster, & Shires, 2017) dan penyakit rematik
(Shim et al., 2017). Memiliki lingkungan yang mendukung sosial
sering membuat pasien lebih aktif mengatasi penyakit dan kecil
kemungkinannya untuk berhenti dari perawatabn dan
memburuk (Rosland et al., 2012). Dalam kasus penyakit kronis
seperti penyakit jantung koroner, hubungan sosial dan memiliki
pasangan yang stres dapat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas dengan mempengaruhi apakah pasien mengikuti
rehabilitasi (Molloy, Perkins-Porras, Strike, & Steptoe, 2008).
Jejaring sosial juga membantu menjaga kualitas hidup dan
kehidupan sangat penting bagi individu SES rendah (Barden,
Barry, Khalifian, & Bates, 2016; Ruiz et al., 2019).

Terdapat beberapa perbedaan budaya yang penting dalam


bagaimana dukungan sosial digunakan (Taylor, Welch, Kim,
Sherman, 2007; Wong & Lu, 2017). Misalnya, tinjauan studi
tentang budaya dan dukungan sosial menunjukkan bahwa
orang Asia dan orang Asia-Amerika lebih enggan untuk secara
eksplisit meminta dukungan dari orang lain daripada orang
Eropa, Amerika (Kim, Sherman, & Taylor, 2008). Ini
kemungkinan karena kekhawatiran mereka tentang yang
berpotensi negatif konsekuensi relasional dari perilaku tersebut.
Orang Asia dan Asia-Amerika lebih cenderung menggunakan
dan mendapat manfaat dari dukungan yang tidak melibatkan
pengungkapan eksplisit tentang peristiwa dan kesulitan yang
menyebabkan stres.

95
INTERVENSI

Psikolog kesehatan memberikan kontribusi positif dalam


memberikan intervensi dan panduan penting untuk membantu
perawatan primer dokter dengan pasien sakit kronis (Jonkman,
Schuurmans, Groenwold, Hoes, & Trappenburg, 2016).
Intervensi untuk membantu pasien dengan penyakit kronis
berfungsi untuk meringankan berbagai masalah biopsikososial
yang mungkin mereka alami (Hoyt & Stanton, 2012). Banyak
intervensi melatih pasien untuk menetapkan tujuan atau
memodifikasi caranya mereka membuat keputusan (Kangovi et
al., 2017). Intervensi juga diberikan pada perawat untuk pasien
yang sakit kronis mengurangi beban psikologis mereka dan
meningkatkan kesejahteraan subjektif mereka (Martire &
Schulz, 2012).

Dokter meresepkan pengobatan sesuai dengan penyakit.


Penyakit seperti PJK sering membutuhkan pembedahan jika
terdapat penyumbatan ke arteri terlalu parah (Bishop, 2018).
Pasien CVD sering diberikan obat seperti statin untuk
mengurangi kadar kolesterol mereka dan memperlambat
penyumbatan pembuluh darah mereka. Penyakit seperti kanker
dan infeksi HIV sering membutuhkan obat yang dirancang untuk
memperlambat pertumbuhan sel kanker atau aktivitas viral
(Golub, 2019). Dalam banyak kasus, pasien juga diberikan agen
farmakologis untuk membantu masalah psikologis seperti
depresi dan kecemasan atau mengurangi rasa sakit untuk
meningkatkan aktivitas motorik.

Wawancara motivasi (MI) adalah jenis konseling yang


membantu pasien untuk mengubah perilaku koping (Rollnick,
William, & Butler, 2008). Wawancara motivasi adalah konseling
direktif, berpusat pada pasien untuk memunculkan perubahan

96
perilaku dengan membantu pasien untuk mengeksplorasi dan
menyelesaikan ambivalensi. Pendekatan yang digunakan untuk
orang-orang yang tidak siap atau yang tidak percaya mereka
dapat mengubah perilaku mereka. MI dibangun di atas motivasi
internal pasien untuk berubah tanpa mengatakan kepadanya
apa yang harus dilakukan. MI sangat berguna untuk perilaku
tidak sehat seperti merokok (Borrelli, Endrighi, Hammond, &
Dunsiger,2017). Pendekatan ini menggunakan kombinasi
mendengarkan empatik, mengeksplorasi ambivalensi, dan
memunculkan dan memperkuat pembicaraan perubahan.

Intervensi psikologis seperti MI terutama dirancang untuk


mengubah perilaku yang mempengaruhi perkembangan
penyakit atau untuk membantu pasien mengatasi stres dan
dampak negatif lainnya yang terkait dengan penyakit. Intervensi
dapat bertujuan untuk mengurangi perilaku merokok, untuk
meningkatkan gizi dan pilihan makanan, atau untuk
meningkatkan aktivitas fisik. Bantuan psikologis dapat diberikan
dalam bentuk terapi individu atau keluarga di mana pasien atau
perawat pasien diberikan dengan kognitif dan keterampilan
perilaku untuk mengatasi penyakit dengan lebih baik.

Sejumlah besar intervensi dirancang untuk memberikan


dukungan sosial (Knoll et al., 2019). Dapat dilakukan dalam
bentuk pesan dukungan yang disampaikan secara individual
melalui kunjungan petugas kesehatan, telepon, atau Internet,
tetapi lebih sering melalui kelompok pendukung. Anggota
kelompok pendukung mendiskusikan masalah yang menjadi
perhatian bersama, yang membantu memenuhi kebutuhan yang
tidak terpenuhi, dan memberikan dukungan selain dari yang
diberikan oleh teman dan keluarga anggota kelompok juga
memberikan bentuk komitmen publik untuk mematuhi dan

97
mengubah perilaku untuk membantu mengatasinya
penyakitnya.

Grup tidak selalu efekif untuk semua individu. Helgeson, Cohen,


Schulz, dan Yasko (2000) menentukan sejauh mana di mana
variabel perbedaan individu memoderasi pengaruh kelompok
edukasi berbasis informasi dan bagaimana kelompok diskusi
yang berfokus pada emosi membantu wanita dengan kanker
payudara. Wanita yang membutuhkandukungan dari luar (mis.,
tidak memiliki koneksi pribadi yang kuat) mendapat manfaat
paling besar dari kelompok edukasi, dan kelompok diskusi
sebaya sangat membantu bagi wanita yang tidak memiliki
dukungan dari pasangan atau dokter mereka. Namun, yang
mengejutkan, terlalu banyak dukungan bisa merugikan.
Helgeson et al. (2000) menemukan bahwa diskusi kelompok
berbahaya bagi wanita yang sudah memiliki dukungan pribadi
tingkat tinggi.

Sejumlah ulasan memberikan wawasan penting tentang


intervensi untuk membantu orang mengatasi penyakit kronis.
Dalam satu ulasan baru-baru ini, Martire dan Helgeson (2017)
menyarankan anggota keluarga adalah bantuan paling penting
di Australia terhadap manajemen penyakit anak-anak dan orang
dewasa. Bukti menunjukkan pendekatan untuk manajemen
penyakit kronis yang menargetkan pengaruh hubungan dekat
mungkin merupakan metode yang paling bermanfaat dan
berkelanjutan untuk diterapkan pada perilaku pasien. Secara
khusus, pendekatan diad ditujukan untuk membantu pasien dan
anggota keluarga menemukan cara untuk menetapkan tujuan
bersama dapat memberi manfaat terbaik bagi anggota keluarga
yang sakit atau berisiko karena perilaku kesehatan yang buruk.

Kuis Asik Masa Kini

98
1. Apakah perbedaan penyakit kronis dan penyakit akut?
2. Sebutkan contoh penyakit kronis!
3. Apa sajakah yang termasuk dalam penyesuaian positif
menurut Hoyt & Stanton?
4. Salah satu strategi koping yang efektif pada pasien
Kanker payudara adalah?
5. Lingkungan terkecil yang tidak hanya dapat membantu
pengendalian penyakit namun juga menonjolkan
penyakit adalah?

99

Anda mungkin juga menyukai