Anda di halaman 1dari 11

SUBJEKTIVE WELL-BEING PADA ISTRI YANG BELUM MEMPUNYAI

KETURUNAN
Suliyani (11061200352)
Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami kesejahteraan subjektif pada istri yang belum
mempunyai keturunan atau anak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif fenomenologis. Selanjutnya untuk motode pengumpulan data peneliti
menggunakan metode wawancara. Analisa data melalui empat tahapan, yakni; epoche, reduction,
imaginative variation, synthesis of meaning dan ensenses. Partisipan yang dijadikan sebagai
sumber data dalam penelitian ini berjumlah dua orang, dan mereka semua adalah seorang istri
dengan criteria belum mempunyai anak.
Hasil penelitian ini disajikan berdasarkan satu tema utama yang dialami oleh istri yang
belum mempunyai keturunan, yaitu: kesejahteraan subjektif pada istri yang belum mempunyai
keturunan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kesejahteraan subjektif yang
dialami pada istri yang belum mempunyai anak yang disebabkan oleh dirinya dan pada istri yang
belum mempunyai anak yang disebabkan oleh suaminya adalah sama. Kesejahteraan subjektif
yang dialami dapat dilihat bagaimana kualitas hubungan sosialnya, spiritualitas atau
kedekatannya dengan Tuhan, dan sejauh mana istri mampu menerima dirinya sendiri serta
bagaimana istri mempu mengendalikan emosinya.
Kata Kunci

: Subjective Well-Being, Istri yang belum mempunyai anak, Fenomenologis

PENDAHULUAN
Mempunyai keturunan merupakan
tujuan utama dalam pernikahan. Seperti
yang diungkapkan oleh NR (33:5) Tujuan
menikah? Ya untuk punya anak lah. Pada
kesempatan lain NR juga mengungkapkan
bahwa mempunyai ketururan atau anak
merupakan sumber kebahagiaan dalam
pernikahan pokoknya anak lah sumber
kebahagiaan tu, sekarang kan bukan ndak
bahagia, bahagia lah, tapiii, itulah
kekurangannya, harta itu nomor dua (29Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

32). Kepemilikan anak dalam budaya


Indonesia sangat menentukan diterima atau
tidaknya seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
Mempunyai
keturunan
dalam
pernikahan
ternyata
menjadi
parameter keberhasilan seseorang dalam
berumah tangga.
Dibilang orang tua ibu gak berhasil
membangun pernikahan dan dibilang
mertua ibu gak bisa bahagiain suami.
masalah terus yang ibu hadapi.
Setidaknya kalau bisa aja ibu punya

Page 1

anak, tentu gak kayak gini penderitaan


ibu, Dek (OW:HY:138-142).
Dalam budaya masyarakat Indonesia,
ketika dalam pernikahan belum bisa
mendapatkan anak, istri adalah orang
pertama yang dianggap menjadi penyebab
kegagalan dalam memiliki anak. Karena,
menurut masyarakat Indonesia tugas dari
seorang istri adalah melahirkkan anak,
melayani suami dan mengurus rumah
tangga. Begitu juga yang dialami oleh ibu
HY, meskipun suaminya yang terbukti
mandul,
tetap
saja
keluarga
dan
masyarakatnya menganggap ialah yang
gagal dalam membahagiakan suami karena
tidak bisa member anak.
Iya, kata dokter suamiku itu mandul.
Mana bisa dia ngasih ibu anak.
Kecewanya ibu lagi biar kau tahu ya
Dek, orang tuanya nyuruh dia nikah
lagi biar punya anak. Malu katanya
mertua ibu itu, di keluarganya ratarata punya anak semua, banyak-banyak
lagi, masak kami gak bisa punya anak
walaupun satu, malu mertua ibu itu
sama orang-orang dikampungnya.
Pokoknya serba tersiksa ibu, Dek.
Padahal yang mandul itu abangnya,
suami ibu. Ibu pula yang disalahsalahin orang tuanya (OW:HY, 100108)
Terlepas dari ada atau tidaknya
keturunan dalam pernikahan, pada dasarnya
setiap pernikahan selalu menginginkan
kebahagiaan dan kesejahteraan dalam
menjalaninya (). Hal ini saling terkait karena
pada dasarnya setiap individu memiliki
kesempatan untuk merasakan kebahagiaan
dan kesejahteraan. Kesejahteraan individu
dalam ilmu psikologi lebih dikenal dengan
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

istilah kesejahteraan subjektif atau dalam


istilah asng disebut subjective well-being.
Subjektive wellbeing merupakan suatu
kondisi individu yang dapat menerima
kekuatan dan kelemahan diri, memiliki
tujuan hidup, mengembangkan relasi yang
positif dengan orang lain, memiliki pribadi
mandiri, mampu mengendalikan lingkungan,
dan personal growth (Ryff, 1989., Ryff &
Keyes, 1995).
Dalam
mencapai
kesejahteraan
subjektif dalam pernikahan, suami dan istri
banyak mengalami masalah seperti bebang
keuangan yang harus ditanggung oleh suami
dan bisa melahirkan anak bagi istri sesuai
dengan tuntutan budaya masyarakat di
lingkungan tempat mereka tinggal. Namun,
pada kenyataannya kesejahteraan yang
dirasakan oleh keluarga yang memiliki anak
dengan keluarga yang tidak memiliki anak.
Dalam keluarga yang memiliki anak,
kesejahteraan dapat didapatkan ketika
melihat
keberhasilan
mereka
dalam
mengasuh anak. Anak-anaknya berhasil dan
sukses, baik sukses dari fisik, psikis, materi
dan perilaku moralnya. Lain halnya dengan
keluarga yang tidak memiliki anak, mereka
tidak bisa mendapatkan kesejahteraan
layaknya
keluarga
pada
umumnya.
Berdasarkan pemaparan ini, peneliti
mencoba
mengetahui
bagaimana
kesejahteraan subjektif istri yang belum
mempunyai keturunan.

TINJAUAN TEORI
Subjektive Well being merupakan
suatu konsep dinamis yang di dalamnya
Page 2

termasuk dimensi emosi, sosial, dan


psikologis yang berkaitan dengan perilaku
yang sehat (Seifert, 2005). Kesejahteraan
subjektif dalam istilah asing dikenal dengan
Subjektive wellbeing. Subjektive wellbeing
merupakan suatu kondisi individu yang
dapat menerima kekuatan dan kelemahan
diri,
memiliki
tujuan
hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan
orang lain, memiliki pribadi mandiri,
mampu mengendalikan lingkungan, dan
personal growth (Ryff, 1989., Ryff &
Keyes, 1995).
Subjective well-being merupakan
evaluasi subyektif seseorang mengenai
kehidupan termasuk konsep-konsep seperti
kepuasan hidup, emosi menyenangkan,
fulfilment, kepuasan terhadap area-area
seperti pernikahan dan pekerjaan, tingkat
emosi tidak menyenangkan yang rendah
(Diener, 2003). Ryan dan Diener
menyatakan bahwa subjective well-being
merupakan paying istilah yang digunakan
untuk menggambarkan tingkat well-being
yang dialami individu menurut evaluasi
subyektif dari kehidupannya (Ryan &
Diener, 2008). Veenhouven (dalam Diener,
1994) menjelaskan bahwa subjective
wellbeing merupakan tingkat di mana
seseorang menilai kualitas kehidupannya
sebagai sesuatu yang diharapkan dan
merasakan
emosi-emosi
yang
menyenangkan.
Subjective well-being menunjukkan
kepuasan hidup dan evaluasi terhadap
domain-domain kehidupan yang penting
seperti pekerjaan, kesehatan, dan hubungan.
Juga termasuk emosi mereka, seperti
keceriaan dan keterlibatan, dan pengalaman
emosi yang negatif, seperti kemarahan,
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

kesedihan, dan ketakutan yang sedikit.


Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama
yang diberikan untuk pikiran dan perasaan
yang positif terhadap hidup seseorang
(Diener, 2008). Andrew dan Withey (dalam
Diener, 1994) mengatakan bahwa subjective
wellbeing merupakan evaluasi kognitif dan
sejumlah tingkatan perasaan positif atau
negatif seseorang. Dalam penelitian ini
subjective well-being dijelaskan sebagai
evaluasi subyektif seseorang mengenai
kehidupannya, yang mencakup kepuasan
terhadap hidupnya, tingginya afek positif
dan rendahnya afek negatif.
Dimensi Subjective Well-Being
Diener (1994) menyatakan bahwa
subjective well-being memiliki tiga bagian
penting, Pertama merupakan penilaian
subyektif
berdasarkan
pengalamanpengalaman individu, kedua mencakup
penilaian
ketidakhadiran
faktor-faktor
negatif, dan ketiga penilaian kepuasan
global. Diener (1994) menyatakan adanya 2
komponen
umum
dalam
subjective
wellbeing yaitu dimensi kognitif dan
dimensi afektif.
a. Dimensi kognitif
Kepuasan
hidup
(life
satisfaction) merupakan bagian dari
dimensi kognitif dari subjective wellbeing. Life satisfaction (Diener, 1994)
merupakan penilaian kognitif seseorang
mengenai
kehidupannya,
apakah
kehidupan yang dijalaninya berjalan
dengan baik. Ini merupakan perasaan
cukup, damai dan puas, dari kesenjangan
antara keinginan dan kebutuhan dengan
pencapaian dan pemenuhan. Campbell,
Converse, dan Rodgers (dalam Diener,
Page 3

1994) mengatakan bahwa kompoen


kognitif ini merupakan kesenjangan
yang dipersepsikan antara keinginan dan
pencapaiannya apakah terpenuhi atau
tidak. Dimensi kognitif subjective wellbeing ini juga mencakup area kepuasan /
domain satisfaction individu di berbagai
bidang kehidupannya seperti bidang
yang berkaitan dengan diri sendiri,
keluarga, kelompok teman sebaya,
kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan
waktu luang, artinya dimensi ini
memiliki gambaran yang multifacet. Dan
hal ini sangat bergantung pada budaya
dan bagaimana kehidupan seseorang itu
terbentuk. (Diener, 1984). Andrew dan
Withey (dalam Diener, 1984) juga
menyatakan bahwa domain yang paling
dekat dan mendesak dalam kehidupan
individu merupakan domain yang paling
mempengaruhi subjective well-being
individu tersebut. Diener (2000)
mengatakan bahwa dimensi ini dapat
dipengaruhi oleh afek namun tidak
mengukur emosi seseorang.
b. Dimensi afektif
Dimensi dasar dari subjective
well-being adalah afek, di mana di
dalamnya termasuk mood dan emosi
yang
menyenangkan
dan
tidak
menyenangkan. Orang bereaksi dengan
emosi yang menyenangkan ketika
mereka menganggap sesuatu yang baik
terjadi pada diri mereka, dan bereaksi
dengan emosi yang tidak menyenangkan
ketika menganggap sesuatu yang buruk
terjadi pada mereka, karenanya mood
dan emosi bukan hanya menyenangkan
dan tidak menyenangkan tetapi juga
mengindikasikan apakah kejadian itu
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

diharapkan atau tidak (Diener, 2003).


Dimensi afek ini mencakup afek positif
yaitu emosi positif yang menyenangkan
dan afek negatif yaitu emosi dan mood
yang tidak menyenangkan, dimana
kedua afek ini berdiri sendiri dan
masing-masing memiliki frekuensi dan
intensitas (Diener, 2000). Diener &
Lucas (2000) mengatakan dimensi
afektif ini merupakan hal yang sentral
untuk subjective well-being. Dimensi
afek
memiliki
peranan
dalam
mengevaluasi well-being karena dimensi
afek memberi kontribusi perasaan
menyenangkan dan perasaan tidak
menyenangkan pada dasar continual
pengalaman personal. Kedua afek
berkaitan dengan evaluasi seseorang
karena emosi muncul dari evaluasi yang
dibuat oleh orang tersebut. Afek positif
meliputi simptom-simptom antusiasme,
keceriaan, dan kebahagiaan hidup.
Sedangkan afek negatif merupakan
kehadiran simptom yang menyatakan
bahwa hidup tidak menyenangkan
(Synder, 2007). Dimensi afek ini
menekankan pada pengalaman emosi
menyenangkan baik yang pada saat ini
sering dialami oleh seseorang ataupun
hanya berdasarkan penilaiannya (Diener,
1984).
Diener
(1984)
juga
mengungkapkan bahwa keseimbangan
tingkat afek merujuk kepada banyaknya
perasaan
positif
yang
dialami
dibandingkan dengan perasaan negatif.
Diener (1994) kepuasan hidup dan
banyaknya afek positif dan negative
dapat saling berkaitan, hal ini
disebabkan oleh penilaian seseorang
terhadap
kegiatan-kegiatan
yang
Page 4

dilakukan, masalah, dan kejadiankejadian dalam hidupnya. Sekalipun


kedua hal ini berkaitan, namun
keduannya berbeda, kepuasan hidup
merupakan penilaian mengenai hidup
seseorang secara menyeluruh, sedangkan
afek positif dan negatif terdiri dari
reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap
kejadian-kejadian yang dialami.
Faktor-faktor
Yang
Mempengaruhi
Psychological Well-being
Ada beragam faktor-faktor yang
mempengaruhi
subjective
well-being
individu, yaitu:
a. Perbedaan jenis kelamin
Shuman (Eddington dan Shuman,
2008) menyatakan penemuan menarik
mengenai perbedaan jenis kelamin dan
subjective well-being. Wanita lebih
banyak mengungkapkan afek negatif dan
depresi dibandingkan dengan pria, dan
lebih banyak mencari bantuan terapi
untuk mengatasi gangguan ini; namun
pria dan wanita mengungkapkan tingkat
kebahagiaan global yang sama. Lebih
lanjut, Shuman menyatakan bahwa hal
ini disebabkan karena wanita mengakui
adanya perasaan tersebut sedangkan pria
menyangkalnya.
Penelitian
yang
dilakukan di Negara barat menunjukkan
hanya terdapat sedikit perbedaan
kebahagiaan antara pria dan wanita
(Edington dan Shuman, 2008). Diener
(2009) menyatakan bahwa secara umum
tidak terdapat perbedaan subjective wellbeing yang signifikan antara pria dan
wanita. Namun wanita memiliki
intensitas perasaan negatif dan positif
yang lebih banyak dibandingkan pria.
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

b. Tujuan
Diener (dalam Carr, 2005)
menyatakan bahwa orang-orang merasa
bahagia ketika mereka mencapai tujuan
yang dinilai tinggi dibandingkan dengan
tujuan yang dinilai rendah. Contohnya,
kelulusan di perguruan tinggi negeri
dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan
kelulusan ulangan bulanan. Carr (2004)
menyatakan bahwa semakin terorganisir
dan konsisten tujuan dan aspirasi
seseorang dengan lingkungannya, maka
ia akan semakin bahagia, dan orang yang
memiliki tujuan yang jelas akan lebih
bahagia. Emmons (dalam Diener, 1999)
menyatakan bahwa berbagai bentuk
tujuan seseorang, termasuk adanya
tujuan yang penting, kemajuan tujuantujuan yang dimiliki, dan konflik dalam
tujuan-tujuan yang berbeda memiliki
implikasi pada emotional dan cognitive
well-being.
c. Agama dan Spiritualitas
Diener
(2009)
menyatakan
bahwa secara umum orang yang
religious cenderung untuk memiliki
tingkat well being yang lebih tinggi, dan
lebih
spesifik.
Partisipasi
dalam
pelayanan religius, afiliasi, hubungan
dengan Tuhan, dan berdoa dikaitkan
dengan tingkat well being yang lebih
tinggi. Ada banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa subjective wellbeing berkorelasi signifikan dengan
keyakinan agama
(Eddington &
Shuman,
2008).
Ellison
(dalam
Eddington
&
Shuman,
2008),
menyatakan bahwa setelah mengontrol
faktor usia, penghasilan, dan status
pernikahan responden, subjective wellPage 5

being berkaitan dengan kekuatan yang


berelasi dengan Yang Maha Kuasa,
dengan pengalaman berdoa, dan dengan
keikutsertaan dalam aspek keagamaan.
Pengalaman keagamaan menawarkan
kebermaknaan
hidup,
termasuk
kebermaknaan pada masa krisis (Pollner
dalam Eddington & Shuman, 2008).
Taylor dan Chatters (dalam Eddington &
Shuman, 2008) menyatakan agama juga
menawarkan pemenuhan kebutuhan
social seseorang melalui keterbukaan
pada jaringan sosial yang terdiri dari
orang-orang yang memiliki sikap dan
nilai yang sama. Carr (2004) juga
menyatakan alasan mengikuti kegiatan
keagamaan
berhubungan
dengan
subjective
well-being,
sistem
kepercayaan keagamaan membantu
kebanyakan orang dalam menghadapi
tekanan dan kehilangan dalam siklus
kehidupan, memberikan optimisme
bahwa dalam kehidupan selanjutnya
masalah-masalah yang tidak bisa diatasi
saat ini akan dapat diselesaikan.
Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan
religious memberikan dukungan sosial
komunitas
bagi
orang
yang
mengikutinya.
Keterlibatan
dalam
kegiatan
keagamaan
seringkali
dihubungkan dengan lifestyle yang
secara psikologis dan fisik lebih sehat,
yang dicirikan oleh prosocial altruistic
behaviour, mengontrol diri dalam hal
makanan dan minuman, dan komitmen
dalam bekerja keras. Diener (2009) juga
mengungkapkan bahwa hubungan positif
antara spiritualitas dan keagamaan
dengan subjective well-being berasal dari
makna dan tujuan jejaring sosial dan
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

sistem dukungan yang diberikan oleh


gereja atau organisasi keagamaan.
d. Kualitas hubungan social
Penelitian yang dilakukan oleh
Seligman (dalam Diener & Scollon,
2003) menunjukan bahwa semua orang
yang paling bahagia memiliki kualitas
hubungan sosial yang dinilai baik.
Diener dan Scollon (2003) menyatakan
bahwa hubungan yang dinilai baik
tersebut harus mencakup dua dari tiga
hubungan sosial berikut ini, yaitu
keluarga,
teman,
dan
hubungan
romantis. Arglye dan Lu (dalam
Eddington
dan
Shuman,
2008)
menyatakan
bahwa
kebahagiaan
berhubungan dengan jumlah teman yang
dimiliki, frekuensi bertemu, dan menjadi
bagian dari kelompok.
e. Kepribadian
Tatarkiewicz (dalam Diener
1984) menyatakan bahwa kepribadian
merupakan hal yang lebih berpengaruh
pada subjective well-being dibandingkan
dengan faktor lainnya. Hal ini
dikarenakan
beberapa
variabel
kepribadian menunjukkan kekonsistenan
dengan subjective wellbeing diantaranya
self esteem. Campbell (dalam Diener,
1984) menunjukkan bahwa kepuasan
terhadap diri merupakan prediktor
kepuasan terhadap hidup. Namun self
esteem ini juga akan menurun selama
masa ketidakbahagiaan (Laxer dalam
Diener, 1984).
f. Dukungan Sosial
Robinson (dalam Mardiyah,
2010) mengatakan bahwa dukungan
sosial darirang-orang yang bermakna

Page 6

dalam kehidupan dapat memberikan


prediksi akan well-being seseorang.
g. Status sosial ekonomi
Pinquart & Sorenson (dalam
Mardiyah, 2010) menyebutkan bahwa
besarnya income keluarga, tingkat
pendidikan, keberhasilan pekerjaan,
kepemilikan materi dan status sosial di
masyarakat.
METODE
Jenis Penelitian. Penelitian ini
merupakan
penelitian
kualitatif
menggunakan pendekatan fenomenologis.
Rancangan Penelitian. Peneliti akan
meneliti beberapa wanita yang berstatus
sebagai istri yang belum mempunyai anak di
kota Pekanbaru dengan fenomena subjective
well-being dialaminya.
Subyek Penelitian. Subjek dalam
penelitian ini adalah istri yang belum
mempunyai anak.
Metode Pengumpulan Data. Data
diperoleh melalui wawancara (in-depth
interview).
Teknik Analisis Data. Teknik analisa
data kualitatif dilakukan dengan pendekatan
kualitatif fenomenology yaitu dengan empat
cara yang digunakan untuk analisis data dan
menyimpulkan:
1. Epoche, yaitu tahapan dimana peneliti
berusaha menyingkirkan prasangka,
penyimpangan tentang bentuk opini
terrhadap sesuatu.
2. Reduction, yaitu menggambarkan bahasa
yang terpola
(extural language)
mengenai apa yang dilihat seseorang,
tidak hanya objek eksternal tetapi juga

Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

tindakan
internal
dan
kesadaran
pengalaman itu sendiri.
3. Imaginative Variation, yaitu mencari
makna-makna yang memungkinkan
melalui
penggunaan
imajinasi,
pembedaan
berbagai
referensi,
pengelompokkan dan pembalikkan,
pendekatan phenomenom dari perspektif
yang divergen, posisi, peran-peran atau
fungsi yang berbeda.
4. Synthesis of Meaning and Ensenses,
yaitu mengembangkan uraian secara
keseluruhan dari fenomena yang ada,
sehingga menemukan esensi dari
fenomena
tersebut.
Kemudian
mengembangkan textural description
(mengenai fenomena yang terjadi pada
responden) dan structural description
(yang menjelaskan bagaimana fenomena
itu terjadi).
HASIL
Pada awalnya partisipan tidak pernah
terpikir tidak akan mempunyai anak. Bahkan
pikiran ini tidak pernah muncul sebelum
bahkan setelah hamper menikah. Karena
memang ketika masih gadis tidak pernah
mengalami penyakit yang berhubungan
dengan organ kewanitaan. Bahkan setelah
menikah partisipan tidak pernah menyangka
akan tidak mempunyai anak.
Pikiran negative mulai muncul ketika
sudah menikah lebih dari satu tahun dan
belum dikaruniai anak. Pikiran negative
(negative thinking) yang muncul pada
partisipan itu berupa berpikir bahwa
penyebab tidak mempunyai anak itu muncul
karena dirinya (internality) (Diana Elfida,
2006). Partisipan mulai bingung menjawab
Page 7

pertanyaan dari orang tua dan mertua kenapa


belum mempunyai anak. Awalnya partisipan
takut untuk membicarakan hal ini kepada
suami. Namun karena merasa hal ini sangat
penting akhirnya partisipan memberanikan
diri untuk membicarakan hal ini, walaupun
berbagai emosi negative muncul. Emosi
adalah suatu keadaan kerohanian atau
peristiwa kejiwaan yang dialami dengan
senang atau tidak senang dalam hubungan
dengan peristiwa mengenal dan bersifat
subjektif (Abu Ahmadi, 2003).
Akhirnya
pasangan
responden
memutuskan untuk memeriksakan ke dokter
untuk mengetahui penyebabnya. Saat
menunggu hasil dari dokter, responden
sangat resah, takut dan gugup jika penyebab
tidak diperoleh anak itu karena dirinya.
Dalam penelitian ini, peneliti
membagi pastisipan ke dalam dua jenis
partisipan dengan latar belakang yang
berbeda. Hal ini terjadi karena setelah proses
pengumpulan data, peneliti menemukan ada
hal yang membedakan partisipan yang satu
dengan partisipan yang lainnya, yaitu latar
belakang yang melatari munculnya masalah
yang diangkat oleh peneliti, satu partisipan
dengan latar belakang dirinya yang mandul,
dan satu partisipan dengan latar belakang
suaminya yang mandul.
Setelah tahap analisis data, peneliti
menemukan adanya persamaan subjective
well being pada istri yang tidak mempunyai
anak yang disebabkan karena dirinya yang
mandul dengan subjective well being pada
istri yang tidak mempunyai anak karena
suaminya yang mandul. Berikut uraian
kesejahteraan subjektif:
Setelah partisipan mengetahui bahwa
dirinya tidak bisa mempunyai dan
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

memberikan anak atau keturunan untuk


keluarganya, partisipan merasa sangat
bersalah, merasa gagal dalam membangun
rumah tangganya dan merasa tidak bisa
membahagiakan suami, orang tua dan
mertuanya. Namun partisipan menyadari
bahwa partisipan tidak boleh berlarut-larut
dalam kesedihan selalu, partisipan berpikir
bahwa memiliki anak bukan satu-satunya
jalan untuk mencapai dalam kebahagiaan
keluarganya. Harapan terbesar partisipan
adalah dapat hidup sejahtera layaknya
keluarga yang memiliki anak. Untuk
mencapai kesejahteraan subjektif ini
dibutuhkan waktu yang cukup lama, berikut
komponen kesejahteraan subjektif pada
partisipan 1 yang dirangkum ke dalam 3
dimensi:
a. Dimensi Sosial
Kesejahteraan subjektif dapat dilihat
dari dimensi social yang didapat oleh
partisipan berupa dukungan social dan
hubungan positif dengan orang lain (Positive
relations with others) (dalam Ryff & Keyes,
1995). Dukungan social ini sangat
membantu
partisipan
memperoleh
kesejahteraan subjektifnya, bahkan pada
jawaban terakhir yang diberikan partisipan
mengatakan ketika mendapat dukungan
semangat dari suami, orang tua dan mertua
serta keluarga lainnya itulah kesejateraan
hidup yang sesungguhnya. Dapat diterima
oleh keluarga ternyata menjadi poin penting
dalam
kesejahteraan
subjektif
bagi
partisipan. Bentuk dukungan social yang
dimaksud partisipan disini adalah hubungan
timbal balik antara partisipan dan keluarga.
Sedangkan bentuk dari hubungan yang
positif dengan orang lain adalah partisipan
mampu menjalin hubungan dan komunikasi
Page 8

yang hangat, menyenangkan, memiliki


kepercayaan terhadap orang lain, peduli
terhadap kesejahteraan orang lain; memiliki
empati, keterlibatan dan intimacy, saling
memberi dan menerima dalam hubungan
partisipan
dengan
orang
lain
di
lingkungannya.
b. Dimensi Psikologis dan Spiritualitas
Kesejahteraan subjektif yang kedua
pada partisipan dilihat dari dimensi
psikologis. Partisipan merasa kesejahteraan
subjektifnya
mereka
rasakan
ketika
partisipan mampu menerima dirinya
seutuhnya dengan segala kekurangan yang
dimilikinya. Partisipan merasa ini adalah
cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa dan
harus berhasil ia jalani, sehingga partisipan
selalu bersyukur atas setiap nikmat yang
diberikan Tuhannya, itulah yang membuat
partisipan merasa lebih sejahtera dari
sebelumnya. Semakin dekat partisipan
(tingkat spiritualitas) dengan Tuhan maka
semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan
subjektifnya. Kedekatan dengan Tuhan
(kesejahteraan spiritualitas) dapat diperoleh
melalui ibadah. Sementara sejahteranya
psikologis pada istri ditandai dengan adanya
self-acceptance dan purpose in life (Lopez
& Snyder, 2003). Self-acceptance adalah
danya sikap positif terhadap diri, mengakui
dan menerima berbagai aspek pada diri,
termasuk kualitas yang baik maupun yang
buruk. Perasaan positif terhadap peristiwa
masa lalu. Sedangkan Purpose in life adalah
memeliki arah dan tujuan dalam hidup,
adanya perasaan bahwa kehidupan masa
kini, dan masa lalu memiliki makna dalam
hidup. Memiliki keyakinan dalam hidup.
Partisipan meyakini bahwa tujuan utama
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

untuk mencapai kebahagiaan dengan


mempunyai anak dalam keluarga yang
dibina bukanlah satu-satunya.
c. Dimensi Emosi
Kesejahteraan subjektif pada dimensi
emosi ini dapat dilihat ketika partisipan bisa
memgendalikan emosinya sehingga sikap
yang muncul adalah sikap yang normal atau
wajar. Ketika partisipan bertemu dengan
tetangganya lalu ditanya mengenai kapan
akan mempunyai keturunan, partisipan bisa
mengendalikan emosi nnegatifnya berupa
emosi malu, gugup dan tersinggung. Namun
sikap yang dimunculkan partisipan adalah
menjawab dengan nada suara yang tenang
dan dengan emosi positif dan senyuman.
Ketika partisipan bisa melakukan hal itu,
partisipan merasa sangat bahagia dan
sejahtera karena bisa mengendalikan
dirinya. Dengan kata lain partisipan
memiliki autonomy dan environmental
mastery (Ryff & Keyes, 1995). Autonomy
adalah determinasi diri dan memiliki
kebebasan; mampu bertahan dalam tekanan
sosial dan berfikir dan bertindak dengan cara
tertentu;regulasi perilaku,
evaluasi diri
dengan standar personal. Ketika partisipan
dihadapkan pada masyarakat dan budaya
yang menuntutnya untuk memiliki anak,
partisipan dapat mengontrol dirinya.
Environmental mastery adalah memiliki
kemampuan
untuk
memilih
dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi dirinya. Mampu menghadapi
kejadian yang beasal dari luar dririnya,
sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilainilai pribadi yang dianut serta mampu
mengembangkan diri secara kreatif. Ketika
partisipan menyadari bahwa dia tidak
Page 9

mungkin bisa memberikan anak, partisipan


mencoba menciptakan situasi keluarganya
dengan kebahagiaan yang lain sesuai dengan
kemampuannya, misalnya pada partisipan
ND selalu menyiapkan ruangan makan
sesuai dengan desain kesukaan suaminya,
sehingga kebahagiaan muncul dalam
keluarga.
PEMBAHASAN
Awalnya ketika istri mengetahui
bahwa dirinya tidak bisa memberikan
keturunan untuk suaminya, istri merasa
sangat kecewa, malu dan merasa tidak
berguna. Namun dengan adanya dukungan
social dari suami, orang tua, mertua dan
semua keluarganya ternyata mampu
memberikan
kenyamanan
tersendiri.
Kenyamanan yang dirasakan istri itulah
yang disebut dengan subjektif well being.
Kesejahteraan subjektif tidak bisa
muncul dalam waktu yang singkat dan
hanya dalam satu komponen saja, namun
kesejahteraan subjektif adalah gabungan
komponen-komponen
well-being
yang
akhirnya membentuk satu kesatuan utuh
yang dinamakan subjective well-being.
Komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Self-acceptance
Adanya sikap positif terhadap diri,
mengakui dan menerima berbagai aspek
pada diri, termasuk kualitas yang baik
maupun yang buruk. Perasaan positif
terhadap peristiwa masa lalu. Partisipan
mampu menerima keadaan dirinya sebagai
seorang yang mandul.
2. Positive relations with others
Partisipan mampu menjalin hubungan
dan
komunikasi
yang
hangat,
Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

menyenangkan,
memiliki
kepercayaan
terhadap orang lain, peduli terhadap
kesejahteraan orang lain; memiliki empati,
keterlibatan dan intimacy, saling memberi
dan menerima dalam hubungan dengan
orang lain..
3. Environmental mastery
Memiliki kemampuan untuk memilih
dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondisi dirinya. Mampu menghadapi
kejadian yang beasal dari luar dririnya,
sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilainilai pribadi yang dianut serta mampu
mengembangkan diri secara kreatif. Ketika
partisipan menyadari bahwa dia tidak
mungkin bisa memberikan anak, partisipan
mencoba menciptakan situasi keluarganya
dengan kebahagiaan yang lain sesuai dengan
kemampuannya, misalnya pada partisipan
ND selalu menyiapkan ruangan makan
sesuai dengan desain kesukaan suaminya,
sehingga kebahagiaan muncul dalam
keluarga
4. Purpose in life
Memeliki arah dan tujuan dalam hidup,
adanya perasaan bahwa kehidupan masa
kini, dan masa lalu memiliki makna dalam
hidup. Memiliki keyakinan dalam hidup.
Partisipan mempunyai gambaran masa
depan bersama keluarganya.
Semua hal di atas partisipan temukkan
melalui perjalanan hidup dan proses belajar
yang didukung oleh semangat untuk
mempertahankan keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA
Bono, G., McCullough, M. E., & Root, L.
M. (2008). Forgiveness, feeling
Page 10

connected to others, and well-being


Two longitudinal studies. University
of Miami.
Chaplin, J.P. 2004. Kamus Lengkap
Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafind
Persada
Compton, W.C., 2005. An Introduction to
positive psychology. USA: Thomson
Wadsworth Inc.
Espen, Michael, Cristian & Jennifer. 2003.
Happiness
and
Health:
Environmental
and
Genetic
Contributions to the Relationship
Between Subjective Well-Being,
Perceived Health, and Somatic
Illness. Journal of Personality and
Social Psychology. Vol. 85, No. 6,
11361146. American Psychological
Association, Inc.
Fillah, Salim A. 2009. Standar Kebahagiaan
Pernikahan
dalam
Islam.
Yogyakarta: Pro-U Media.
Mardiyah, D. 2010. Subjective well-being.
Universitas
Sumatra
utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/19871/4Chapter%2011.p
df
Milla, Mirra Noor. 2010. Psikologi
Kualitatif Metodologi Kualitatif
dalam
Penelitian
Kualitatif.
Pekanbaru: Suska Press.
Mueller et al., 2001. Spirituality and
religiusity in Health and Healthcare.
John Hopkins Blommberg: School
of Public Health. Jonhs Hopkins
University.
Ryff, C.1989. Happiness is everything, or is
it? Exploration on meaning of
psychological wellbeing. Journal of

Jurnal Penelitian Metode Kualitatif

Personality and Social Psychology,


57, 1069-1081.
Ryff, C., & Keyes, C. 1995. The Structure of
subjective
well-being
revisited.
Journal of personality and Social
Psychology, 69, 719-727

Page 11

Anda mungkin juga menyukai