KETURUNAN
Suliyani (11061200352)
Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami kesejahteraan subjektif pada istri yang belum
mempunyai keturunan atau anak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif fenomenologis. Selanjutnya untuk motode pengumpulan data peneliti
menggunakan metode wawancara. Analisa data melalui empat tahapan, yakni; epoche, reduction,
imaginative variation, synthesis of meaning dan ensenses. Partisipan yang dijadikan sebagai
sumber data dalam penelitian ini berjumlah dua orang, dan mereka semua adalah seorang istri
dengan criteria belum mempunyai anak.
Hasil penelitian ini disajikan berdasarkan satu tema utama yang dialami oleh istri yang
belum mempunyai keturunan, yaitu: kesejahteraan subjektif pada istri yang belum mempunyai
keturunan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kesejahteraan subjektif yang
dialami pada istri yang belum mempunyai anak yang disebabkan oleh dirinya dan pada istri yang
belum mempunyai anak yang disebabkan oleh suaminya adalah sama. Kesejahteraan subjektif
yang dialami dapat dilihat bagaimana kualitas hubungan sosialnya, spiritualitas atau
kedekatannya dengan Tuhan, dan sejauh mana istri mampu menerima dirinya sendiri serta
bagaimana istri mempu mengendalikan emosinya.
Kata Kunci
PENDAHULUAN
Mempunyai keturunan merupakan
tujuan utama dalam pernikahan. Seperti
yang diungkapkan oleh NR (33:5) Tujuan
menikah? Ya untuk punya anak lah. Pada
kesempatan lain NR juga mengungkapkan
bahwa mempunyai ketururan atau anak
merupakan sumber kebahagiaan dalam
pernikahan pokoknya anak lah sumber
kebahagiaan tu, sekarang kan bukan ndak
bahagia, bahagia lah, tapiii, itulah
kekurangannya, harta itu nomor dua (29Jurnal Penelitian Metode Kualitatif
Page 1
TINJAUAN TEORI
Subjektive Well being merupakan
suatu konsep dinamis yang di dalamnya
Page 2
b. Tujuan
Diener (dalam Carr, 2005)
menyatakan bahwa orang-orang merasa
bahagia ketika mereka mencapai tujuan
yang dinilai tinggi dibandingkan dengan
tujuan yang dinilai rendah. Contohnya,
kelulusan di perguruan tinggi negeri
dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan
kelulusan ulangan bulanan. Carr (2004)
menyatakan bahwa semakin terorganisir
dan konsisten tujuan dan aspirasi
seseorang dengan lingkungannya, maka
ia akan semakin bahagia, dan orang yang
memiliki tujuan yang jelas akan lebih
bahagia. Emmons (dalam Diener, 1999)
menyatakan bahwa berbagai bentuk
tujuan seseorang, termasuk adanya
tujuan yang penting, kemajuan tujuantujuan yang dimiliki, dan konflik dalam
tujuan-tujuan yang berbeda memiliki
implikasi pada emotional dan cognitive
well-being.
c. Agama dan Spiritualitas
Diener
(2009)
menyatakan
bahwa secara umum orang yang
religious cenderung untuk memiliki
tingkat well being yang lebih tinggi, dan
lebih
spesifik.
Partisipasi
dalam
pelayanan religius, afiliasi, hubungan
dengan Tuhan, dan berdoa dikaitkan
dengan tingkat well being yang lebih
tinggi. Ada banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa subjective wellbeing berkorelasi signifikan dengan
keyakinan agama
(Eddington &
Shuman,
2008).
Ellison
(dalam
Eddington
&
Shuman,
2008),
menyatakan bahwa setelah mengontrol
faktor usia, penghasilan, dan status
pernikahan responden, subjective wellPage 5
Page 6
tindakan
internal
dan
kesadaran
pengalaman itu sendiri.
3. Imaginative Variation, yaitu mencari
makna-makna yang memungkinkan
melalui
penggunaan
imajinasi,
pembedaan
berbagai
referensi,
pengelompokkan dan pembalikkan,
pendekatan phenomenom dari perspektif
yang divergen, posisi, peran-peran atau
fungsi yang berbeda.
4. Synthesis of Meaning and Ensenses,
yaitu mengembangkan uraian secara
keseluruhan dari fenomena yang ada,
sehingga menemukan esensi dari
fenomena
tersebut.
Kemudian
mengembangkan textural description
(mengenai fenomena yang terjadi pada
responden) dan structural description
(yang menjelaskan bagaimana fenomena
itu terjadi).
HASIL
Pada awalnya partisipan tidak pernah
terpikir tidak akan mempunyai anak. Bahkan
pikiran ini tidak pernah muncul sebelum
bahkan setelah hamper menikah. Karena
memang ketika masih gadis tidak pernah
mengalami penyakit yang berhubungan
dengan organ kewanitaan. Bahkan setelah
menikah partisipan tidak pernah menyangka
akan tidak mempunyai anak.
Pikiran negative mulai muncul ketika
sudah menikah lebih dari satu tahun dan
belum dikaruniai anak. Pikiran negative
(negative thinking) yang muncul pada
partisipan itu berupa berpikir bahwa
penyebab tidak mempunyai anak itu muncul
karena dirinya (internality) (Diana Elfida,
2006). Partisipan mulai bingung menjawab
Page 7
menyenangkan,
memiliki
kepercayaan
terhadap orang lain, peduli terhadap
kesejahteraan orang lain; memiliki empati,
keterlibatan dan intimacy, saling memberi
dan menerima dalam hubungan dengan
orang lain..
3. Environmental mastery
Memiliki kemampuan untuk memilih
dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondisi dirinya. Mampu menghadapi
kejadian yang beasal dari luar dririnya,
sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilainilai pribadi yang dianut serta mampu
mengembangkan diri secara kreatif. Ketika
partisipan menyadari bahwa dia tidak
mungkin bisa memberikan anak, partisipan
mencoba menciptakan situasi keluarganya
dengan kebahagiaan yang lain sesuai dengan
kemampuannya, misalnya pada partisipan
ND selalu menyiapkan ruangan makan
sesuai dengan desain kesukaan suaminya,
sehingga kebahagiaan muncul dalam
keluarga
4. Purpose in life
Memeliki arah dan tujuan dalam hidup,
adanya perasaan bahwa kehidupan masa
kini, dan masa lalu memiliki makna dalam
hidup. Memiliki keyakinan dalam hidup.
Partisipan mempunyai gambaran masa
depan bersama keluarganya.
Semua hal di atas partisipan temukkan
melalui perjalanan hidup dan proses belajar
yang didukung oleh semangat untuk
mempertahankan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Bono, G., McCullough, M. E., & Root, L.
M. (2008). Forgiveness, feeling
Page 10
Page 11