Anda di halaman 1dari 14

Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

HUBUNGAN BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA


PENDUDUK MISKIN

Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini berusaha melihat hubungan antara bersyukur dengan


subjective well being pada penduduk miskin. Bersyukur merupakan rasa
berterimakasih dan bahagia sebagai respon penerimaan karunia, entah karunia
tersebut merupakan keuntungan yang terlihat dari orang lain ataupun momen
kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alamiah. Sementara subjective
well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang
hidupnya. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 231 orang yang berada
pada rentang usia dewasa yakni 18 tahun hingga 55 tahun, termasuk ke dalam
kategori penduduk miskin dengan batasan garis kemiskinan Rp 187.942, dan
berdomisili di DKI Jakarta dan sekitarnya. Peneliti menggunakan alat ukur
bersyukur dan subjective well being yang keduanya disusun oleh peneliti.
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi pearson product moment one tailed
didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,387 dengan nilai signifikansi 0,000 (p<
0,01). Artinya, ada hubungan positif yang signifikan antara bersyukur dengan
subjective well being pada penduduk miskin. Mayoritas partisipan ini memiliki
tingkat bersyukur dan subjective well being yang sedang dan cenderung
melakukan bersyukur transpersonal. Kepuasan terhadap aspek keluarga
ditemukan lebih besar dan kepuasan terhadap waktu luang ditemukan lebih
rendah daripada kepuasan terhadap aspek lainnya. Afek yang paling sering
dirasakan oleh partisipan penelitian ini adalah bersemangat, sementara afek
yang paling jarang dirasakan adalah putus asa. Selain itu, ditemukan pula
bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap rasa syukur dan subjective well
being, sementara tingkat pendidikan berpengaruh terhadap rasa syukur.

Kata Kunci: Bersyukur, subjective well being, penduduk miskin.

Pendahuluan di Indonesia menunjukkan bahwa


Berdasarkan Berita Resmi Statistik kemiskinan benar-benar membutuhkan
No.38/07/Th.X pada tanggal 2 Juli 2007 perhatian yang serius dari berbagai
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat pihak, terlebih lagi mengingat berbagai
Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin dampak negatif yang muncul akibat
(penduduk yang berada dibawah Garis kemiskinan, seperti gizi buruk atau
Kemiskinan) di Indonesia pada bulan berbagai tindakan kriminal. Kondisi
Maret 2007 sebesar 37,17 juta (16,58 kemiskinan dengan berbagai dimensi
%) (Badan Pusat Statistik, 2007). dan implikasinya, merupakan salah satu
Banyaknya jumlah penduduk miskin bentuk masalah sosial yang menuntut

11
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

pemecahan (Soetomo, 1995). dengan istilah subjective well-being.


Orang-orang miskin hidup dengan Istilah subjective well-being
berbagai keterbatasan dan kekurangan, didefinisikan sebagai evaluasi kognitif
dimana berbagai kekurangan yang dan afektif seseorang tentang hidupnya
mereka miliki dapat menyebabkan yang meliputi penilaian emosional
munculnya berbagai ketidakberdayaan, terhadap berbagai kejadian yang dialami
terutama yang berhubungan dengan yang sejalan dengan penilaian kognitif
pemenuhan kebutuhan finansial. Selain terhadap kepuasan dan pemenuhan
ketidakberdayaan secara finansial, hidup. Seseorang dikatakan memiliki
orang-orang miskin juga memiliki subjective well being yang tinggi jika
ketidakberdayaan secara psikologis. mereka merasa puas dengan kondisi
Penelitian yang dilakukan oleh Parker hidup mereka, seringkali merasakan
dan Kleiner (1993) menunjukkan emosi positif dan jarang merasakan
bahwa orang-orang yang hidup dalam emosi negatif. (Diener dan Larsen,
kemiskinan lebih cenderung merasa 1984, dalam Edington, 2005).
pesimis terhadap kemungkinan mereka Menurut Seligman (dalam Peterson,
untuk dapat berhasil. Rasa pesimis 2004) salah satu upaya untuk meraih
menunjukkan adanya pemaknaan yang subjective well being adalah dengan
negatif terhadap kehidupan. Padahal, memiliki enam keutamaan hidup, yakni
ketidakberdayaan sendiri tidak selalu wisdom and knowledge, courage,
harus menyebabkan munculnya humanity, justice, temperance, dan
pemaknaan hidup yang negatif. transcendence. Dari enam keutamaan
Hal inilah yang coba dilihat dalam tersebut, maka muncullah 24 karakter
psikologi positif, yang berupaya untuk kekuatan (characters of strength) yang
melihat sisi positif sosok manusia. bisa dimiliki oleh manusia untuk meraih
Pemrakarsa psikologi positif, Seligman keutamaan hidup, dimana salah satunya
(2005), melihat bahwa ditengah adalah bersyukur (gratitude).
ketidakberdayaannya, manusia selalu Beberapa penelitian membuktikan
memiliki kesempatan untuk melihat gratitude seringkali muncul sebagai
hidup secara lebih positif. Manusia karakter atau kekuatan yang dominan
dipandang sebagai makhluk yang bisa dan menonjol dibanding kekuatan
bangkit dari segala ketidakberdayaan lainnya. Survey yang dilakukan oleh
dan memaksimalkan potensi diri. Gallup (1998, dalam Emmons &
Psikologi positif melihat manusia seba- McCullough, 2003) terhadap remaja dan
gai sosok yang mampu menentukan orang dewasa Amerika menunjukkan
cara memandang kehidupan. Psikologi bahwa lebih dari 90% responden
positif berpusat pada pemaknaan mengekspresikan rasa syukur sehingga
hidup, bagaimana manusia memaknai membantu mereka untuk merasa
segala hal yang terjadi dalam dirinya, bahagia. Di Indonesia sendiri, penelitian
dimana pemaknaan ini bersifat sangat yang dilakukan oleh Lestari (2006)
subyektif. Untuk itulah, pemaknaan tentang profil karakter kekuatan pada
hidup yang positif merupakan hal yang perawat di Rumah Sakit Cengkareng
sangat penting agar manusia, dengan menunjukkan hasil serupa. Bersyukur
berbagai latar belakangnya, dengan menjadi salah satu dari lima karakter
berbagai subyektivitas yang dimilikinya, yang paling menonjol dibanding karakter
bisa meraih kebahagiaan atau disebut kekuatan lainnya.

12
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

Bersyukur didefinisikan sebagai rasa kita pada perasaan kegembiraan,


berterima kasih dan bahagia sebagai kesyukuran, kekuatan, kebajikan, dan
respon penerimaan karunia, baik kepuasan abadi.
karunia tersebut merupakan keuntungan Berdasarkan paparan di atas, maka
yang terlihat dari orang lain atau pun rumusan permasalahan penelitian ini
momen kedamaian yang ditimbulkan adalah Apakah ada hubungan positif
oleh keindahan alamiah (Peterson & antara bersyukur dan subjective well
Seligman, 2004). Secara singkat, orang being pada penduduk miskin?
yang bersyukur adalah seseorang yang
menerima sebuah karunia dan sebuah Subjective Well Being
penghargaan, dan mengenali nilai dari Subjective well being merupakan
karunia tersebut. Orang yang bersyukur konsep yang luas, meliputi emosi
mampu mengidentifikasikan diri mereka pengalaman menyenangkan, rendah-
sebagai seorang yang sadar dan nya tingkat mood negatif, dan kepuasan
berterima kasih atas anugerah Tuhan, hidup yang tinggi (Diener, Lucas, Oishi,
pemberian orang lain, dan menyediakan 2005). Seseorang dikatakan memiliki
waktu untuk mengekspresikan rasa subjective well-being yang tinggi jika
terima kasih mereka (Peterson & mereka merasa puas dengan kondisi
Seligman, 2004). hidup mereka, sering merasakan emosi
Bersyukur bisa diasumsikan sebagai positif dan jarang merasakan emosi
keutamaan yang mengarahkan individu negatif. Istilah subjective well-being
dalam meraih kehidupan yang lebih baik didefinisikan sebagai evaluasi kognitif
(Peterson & Seligman, 2004). Penelitian dan afektif seseorang tentang hidupnya.
yang dilakukan oleh Emmons & Evaluasi ini meliputi penilaian emosional
McCullough (2003) menunjukkan bahwa terhadap berbagai kejadian yang dialami
kelompok yang diberikan treatment yang sejalan dengan penilaian kognitif
bersyukur memiliki skor subjective well- terhadap kepuasan dan pemenuhan
being yang lebih tinggi dibandingkan hidup (Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
dengan kelompok lainnya. Penelitian Subjective well being tersusun dari
tersebut juga membuktikan bahwa beberapa komponen utama, termasuk
bersyukur memberikan keuntungan kepuasan hidup secara umum, kepuasan
secara emosi dan interpersonal. terhadap ranah spesifik kehidupan,
Mengingat berbagai kesulitan hidup adanya afek yang positif (mood dan
yang dihadapi oleh penduduk miskin, emosi yang menyenangkan), dan
peneliti tertarik untuk melihat apakah ketiadaan afek negatif (mood dan emosi
mereka bisa memaknai hidup secara yang tidak menyenangkan) (Eddington
positif dan tetap bersyukur terhadap & Shuman, 2005). Keempat komponen
segala hal yang telah mereka miliki utama ini, yaitu afek positif, afek negatif,
dalam hidup, sehingga kemudian kepuasan hidup dan kepuasan ranah
hidup mereka menjadi lebih baik dan kehidupan, memiliki korelasi sedang
mampu mencapai subjective well satu sama lain, dan secara konseptual
being yang tinggi. Menurut Seligman berkaitan satu sama lain. Namun, tiap-
(2005), Psikologi positif percaya bahwa tiap komponen menyediakan informasi
sesungguhnya ada jalan keluar dari unik mengenai kualitas subjektif
keadaan yang menghimpit, dimana kehidupan seseorang (Diener, Scollon,
psikologi positif akan membawa & Lucas, 2003). Afek positif dan afek

13
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

negatif termasuk kedalam komponen dari karunia tersebut.


afektif, sementara kepuasan hidup dan Peterson dan Seligman (2004)
domain kepuasan termasuk kedalam mendefinisikan bersyukur sebagai
komponen kognitif. rasa berterimakasih dan bahagia
Wilson (1967 dalam Diener, Lucas, & sebagai respon penerimaan karunia,
Oishi, 2005) menyatakan bahwa faktor entah karunia tersebut merupakan
kepribadian dan faktor demografis keuntungan yang terlihat dari orang
memiliki hubungan dengan subjective lain ataupun momen kedamaian
well being. DeNeve dan Cooper (1998, yang ditimbulkan oleh keindahan
dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2003) alamiah. Secara singkat, orang
menemukan traits kepribadian yang yang bersyukur adalah seseorang
paling berhubungan dengan subjective yang menerima sebuah karunia dan
well being adalah extraversion dan sebuah penghargaan dan mengenali
neurotism. Sementara itu, penelitian nilai dari karunia tersebut. Bersyukur
lain yang dilakukan secara sistematis bisa diasumsikan sebagai kekuatan
menggambarkan hubungan variasi dan keutamaan yang mengarahkan
demografis dengan subjective well kehidupan yang lebih baik (Peterson,
being (Diener et al, 1999, dalam Diener, 2004).
Lucas, & Oishi, 2005). Sejumlah Fitzgerald (1998) mengidentifikasi
penemuan replikasi menghasilkan: (a) tiga komponen dari bersyukur, yaitu
faktor demografis seperti usia, jenis rasa apresiasi yang hangat untuk
kelamin, dan pendapatan berhubungan seseorang atau sesuatu, meliputi
dengan subjective well being; (b) perasaan cinta, dan kasih sayang; niat
efeknya biasanya kecil; dan (c) banyak baik (goodwill) yang ditujukan kepada
orang cukup bahagia, karena itu, faktor seseorang atau sesuatu, meliputi
demografis cenderung membedakan keinginan untuk membantu orang
antara orang yang cukup bahagia dan lain yang kesusahan, keinginan untuk
yang sangat bahagia. (Diener et al, berbagi, dll.; dan kecenderungan
1999, dalam Diener, Lucas, & Oishi, untuk bertindak positif berdasarkan
2005). rasa apresiasi dan kehendak baik,
meliputi intensi menolong orang
Bersyukur (Gratitude) lain, membalas kebaikan orang lain,
Kata gratitude berasal dari bahasa beribadah, dll.
latin, yaitu ”gratia”, yang berarti Peterson & Seligman (2004)
keanggunan atau keberterimakasihan. membedakan bersyukur menjadi dua
Arti dari bahasa latin ini berarti jenis, yaitu personal dan transpersonal.
melakukan sesuatu dengan kebaikan, Bersyukur personal adalah rasa
kedermawanan, kemurahan hati, dan berterimakasih yang ditujukan kepada
keindahan memberi dan menerima orang lain yang khusus yang telah
(Pruyser, 1976, dalam Peterson, memberikan kebaikan atau sebagai
2004). Bersyukur berasal dari persepsi adanya diri mereka. Sementara
bahwa seseorang telah diuntungkan bersyukur transpersonal adalah
oleh tindakan orang lain. Bersyukur ungkapan terima kasih terhadap
muncul karena adanya penghargaan Tuhan, kepada kekuatan yang lebih
saat seseorang menerima karunia tinggi, atau kepada dunianya.
dan sebuah apresiasi terhadap nilai

14
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

Kemiskinan pengeluaran) lebih rendah dari garis


Sampai saat ini, sebenarnya kemiskinan yang ditetapkan. Garis
belum ada kriteria yang baku dalam tersebut mencerminkan kebutuhan
mengidentifikasi penduduk miskin. minimal untuk pemenuhan kebutuhan
Pengertian dan kriteria kemiskinan yang bersifat fisik (kecukupan
begitu beragam sesuai badan atau energi) maupun kebutuhan dasar
instansi atau dinas yang menangani lainnya (pakaian, perumahan, dan
masalah kemiskinan. Suparlan (1993) sebagainya). Dalam penelitian
menyatakan bahwa kemiskinan adalah ini, peneliti menggunakan definisi
suatu standar tingkat hidup yang yang dikemukakan oleh BPS, yaitu
rendah, yaitu adanya suatu tingkat menggunakan pendekatan berdasarkan
kekurangan materi pada sejumlah garis kemiskinan (poverty line). Garis
golongan orang dibandingkan dengan kemiskinan untuk daerah perkotaan
standar kehidupan yang berlaku umum menurut BPS per Maret tahun 2007,
dalam penduduk yang bersangkutan. yaitu sebesar Rp. 187.942 perkapita
Standar kehidupan yang rendah ini perbulan (BPS, 2007).
secara langsung tampak pengaruhnya
terhadap tingkat keadaan kesehatan, Metode Penelitian
kehidupan moral, dan rasa harga diri Partisipan Penelitian
dari mereka yang tergolong miskin. Partisipan penelitian ini berjumlah
Soetomo (1995) menyatakan 231 orang yang memiliki karakteristik
kemiskinan dapat dilihat secara penduduk miskin (pendapatan perkapita
absolut dan relatif. Secara absolut, perbulan kurang atau sama dengan
tingkat kemiskinan diukur dengan Rp. 187.942), bertempat tinggal di
standar tertentu, sehingga kemudian daerah DKI Jakarta dan sekitarnya,
dapat dikatakan bahwa mereka yang berusia dewasa antara 18-55 tahun
taraf hidupnya dibawah standar yang (Havigshurt, dalam Smolak, 1993) , dan
ditentukan tersebut dikatakan miskin, dapat membaca dan menulis.
sebaliknya mereka yang berada di
atas standar dinyatakan tidak miskin. Instrumen Data Penelitian
Dalam kemiskinan relatif, kemiskinan Instrumen data dalam penelitian
tidak semata-mata diukur dengan ini adalah kuesioner. Kuesioner yang
menggunakan standar yang baku, digunakan terdiri dari dua bagian yaitu alat
melainkan juga dilihat dari seberapa ukur bersyukur dan alat ukur subjective
jauh peningkatan taraf hidup lapisan well being. Alat ukur bersyukur disusun
terbawah telah terjadi dibandingkan oleh peneliti berdasarkan kombinasi
dengan lapisan penduduk yang lain, juga antara komponen bersyukur (Fitzgerald,
dibandingkan dengan kenaikan tuntutan 1998) dan jenis bersyukur (Peterson &
kebutuhan hidup yang berkembang Seligman, 2004) yang terdiri atas 34 item.
sejalan dengan perkembangan Sementara itu, alat ukur subjective well
kehidupan berpenduduk. being disusun oleh peneliti berdasarkan
Sejalan dengan pernyataan Soetomo komponen penyusun subjective well
di atas, Badan Pusat Statistik (2000) being yang dikemukakan oleh Diener
mendefinisikan penduduk miskin dalam yang terdiri atas 29 item. Kedua alat
artian absolut sebagai penduduk yang ukur ini menggunakan skala tipe likert
berpendapatan (didekati dengan dengan 6 pilihan jawaban.

15
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

perhitungan menunjukkan bahwa mean


Metode Analisis Data skor jenis bersyukur transpersonal
Untuk menentukan tingkat (M=5,23) lebih besar dibanding
bersyukur dan subjective well being dengan mean skor bersyukur personal
partisipan, digunakan norma kelompok (M=4,84). Melalui perhitungan dengan
menggunakan metode stanine. Untuk menggunakan teknik paired samples
melihat hubungan antara bersyukur dan t-test, diketahui bahwa perbedaan
subjective well being, digunakan teknik mean ini signifikan pada l.o.s 0,01
korelasi Pearson Product Moment. (p=0,000). Artinya penduduk miskin
Selain itu, peneliti juga menggunakan cenderung melakukan bersyukur yang
Statistik Deskriptif untuk mengetahui transpersonal, yaitu ditujukan kepada
mean dan frekuensi. Teknik perhitungan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi di
statistik lain yang juga dilakukan luar diri dibandingkan dengan bersyukur
oleh peneliti adalah t-test, Analysis personal, yang ditujukan kepada orang
of Variance (ANOVA) satu arah, dan lain.
Regresi Linear. Seluruh perhitungan
statistik dalam penelitian ini dilakukan Gambaran Subjective Well Being
dengan menggunakan program Pada Penduduk Miskin
komputer Statistical Package for Social Berdasarkan norma subjective well
Sciences (SPSS) 15.0. for Windows. being yang telah dibuat sebelumnya
berdasarkan pengelompokan norma
Hasil Penelitian stanine, peneliti mengelompokkan
Gambaran Bersyukur Pada Penduduk partisipan kedalam tiga kategori tingkat
Miskin subjective well being, yaitu rendah
Berdasarkan norma bersyukur (rentang skor di bawah 115,99), sedang
yang telah dibuat sebelumnya ber- (rentang skor 116 – 135,99) dan tinggi
dasarkan pengelompokan stanine, (rentang skor di atas 136). Mayoritas
peneliti mengelompokkan partisipan ke partisipan dalam penelitian ini, yaitu
dalam tiga kategori tingkat syukur, yaitu sebanyak 125 orang (54,1%) memiliki
rendah (rentang skor di bawah 161,99), tingkat subjective well being yang
sedang (rentang skor 162 – 183,63) sedang. Sementara itu, ada 54 orang
dan tinggi (rentang skor di atas 183,63). (23,4%) yang memiliki tingkat subjective
Mayoritas partisipan dalam penelitian well being tinggi dan sebanyak 52 orang
ini, yaitu sebanyak 129 orang (55,8%) (22,5%) memiliki tingkat subjective well
memiliki tingkat syukur yang sedang. being yang rendah.
Sementara ada 53 orang (22,9%) yang Selain melihat gambaran subjective
memiliki tingkat syukur tinggi dan well being pada penduduk miskin,
sebanyak 49 orang (21,2%) yang peneliti juga melakukan perhitungan
memiliki tingkat syukur yang rendah. mean skor tiap ranah kepuasan hidup
untuk mengetahui ranah kepuasan
Selain melihat tingkat bersyukur mana yang memiliki skor paling tinggi
pada penduduk miskin, peneliti juga dan paling rendah pada penduduk
menghitung mean skor bersyukur miskin.
personal dan bersyukur transpersonal Berdasarkan tabel 1, ranah kehidupan
untuk mengetahui mean jenis bersyukur yang memiliki skor paling tinggi pada
mana yang paling tinggi. Hasil penduduk miskin adalah ranah keluarga.

16
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

Tabel 1. Tabel Mean kepuasan pada setiap ranah kehidupan


Ranah Kehidupan Mean
kepuasan
Pekerjaan / Rezeki 4,47
Keluarga 5,38
Kesehatan 4,81
Hub. Pertemanan 4,97
Pendidikan 4,55
Pasangan / cinta 5,07
Waktu luang 4,02
Kesejahteraan 4,53
Kepuasan Global 4,13

Artinya kepuasan terhadap aspek Hubungan Antara Bersyukur dengan


keluarga lebih besar daripada kepuasan Subjective well being
terhadap aspek lainnya. Sementara itu, Berdasarkan perhitungan statistik
diketahui pula bahwa skor yang paling menggunakan teknik korelasi pearson
rendah pada ranah waktu luang. Artinya, product moment pada level signifikansi
kepuasan terhadap waktu luang lebih sebesar 0,01 (1-ujung), koefisien
rendah daripada kepuasan terhadap korelasi yang didapat antara skor total
aspek lainnya. subjective well being dengan skor
Untuk evaluasi afektif, peneliti juga total bersyukur adalah sebesar 0,387
melihat mean skor setiap afek untuk dan signifikan pada l.o.s 0,01 (nilai
melihat afek mana yang paling sering p = 0,000). Ini berarti Ho ditolak dan
dan paling jarang dirasakan oleh Ha diterima, yaitu terdapat korelasi
penduduk miskin. positif yang signifikan antara bersyukur
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dengan subjective well being. Artinya,
afek yang paling sering dirasakan oleh semakin bersyukur seseorang, akan
penduduk miskin adalah bersemangat. semakin tinggi subjective well being
Sementara itu, afek yang paling jarang yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya.
dirasakan oleh penduduk miskin adalah Semakin rendah tingkat subjective well
putus asa. being seseorang, maka semakin tidak

Tabel 2. Tabel Mean setiap afek


Afek Mean Afek Mean
Senang 3,82 Kagum 3,83
Sedih 3,52 Lega 4,01
Bersemangat 4,79 Takut 3,14
Marah 3,49 Tentram 4,28
Bangga 3,63 Khawatir 3,78
Putus asa 2,37 Optimis 4,76
Tertekan 2,83 Kecewa 3,47

17
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

bersyukur orang tersebut, begitu pula Hubungan Bersyukur dan Subjective


sebaliknya. Well Being dengan Data Demografis
Partisipan
Hubungan Antara Bersyukur dengan Berdasarkan perhitungan statistik
Komponen Subjective well being dengan menggunakan t-test dan Anova
Peneliti melakukan perhitungan satu arah diketahui bahwa variabel data
regresi linear untuk mengetahui demografis partisipan yang berpengaruh
dimensi subjective well being mana terhadap bersyukur adalah jenis kelamin
yang paling berpengaruh terhadap dan tingkat pendidikan, dan variabel
bersyukur. Hasil perhitungan statistik data demografis partisipan yang
dengan menggunakan teknik regresi berpengaruh terhadap subjective well
linear menghasilkan koefisien r sebesar being hanya jenis kelamin. Sementara
0,389 dan signifikan pada l.o.s. 0,05 variabel usia, status pernikahan, dan
(p=0,000). Berdasarkan nilai tersebut, pendapatan perkapita perbulan tidak
dapat diprediksi bahwa 15,1% skor total berpengaruh baik terhadap bersyukur
bersyukur berasal dari skor dimensi maupun terhadap subjective well
subjective well being. Selain itu, hasil being.
perhitungan regresi menunjukkan
bahwa dimensi evaluasi afektif memiliki Ringkasan hasil penelitian
pengaruh yang lebih besar (B=0,463, Secara umum hasil penelitian ini
p=0,000) terhadap skor total bersyukur menunjukkan adanya hubungan positif
dibandingkan dengan dimensi yang signifikan antara bersyukur dengan
evaluasi kognitif (B=0,339, p=0,001). subjective well being pada penduduk
miskin.
Hubungan Antara Subjective well
being dengan Jenis bersyukur Diskusi
Peneliti juga melakukan perhitungan Hasil penelitian ini menunjukkan
regresi untuk mengetahui jenis bersyu- bahwa terdapat hubungan positif antara
kur yang paling berpengaruh terhadap bersyukur dengan subjective well being
subjective well being. Hasil perhitungan pada penduduk miskin, artinya semakin
statistik dengan menggunakan teknik bersyukur seseorang, maka subjective
regresi linear menghasilkan koefisien well beingnya akan semakin tinggi,
r sebesar 0,430 dan signifikan pada ia akan memiliki evaluasi kognitif dan
l.o.s. 0,05 (p=0,000). Berdasarkan nilai afektif yang positif tentang hidupnya,
tersebut, dapat diprediksi bahwa 18,5% begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian
skor total subjective well being berasal ini mendukung hasil penelitian yang
dari skor jenis bersyukur. Selain itu, dilakukan oleh Emmons & McCullough
hasil perhitungan regresi menunjukkan (2003) yang menunjukkan bahwa
bahwa bersyukur personal memiliki kelompok yang diberikan treatment
pengaruh yang lebih besar (B=0,870, bersyukur memiliki skor subjective well-
p=0,000) terhadap skor total subjective being yang lebih tinggi dibandingkan
well being dibandingkan dengan skor dengan kelompok lainnya. Penelitian
bersyukur transpersonal (B=0,073, tersebut juga membuktikan bahwa
p=0,519). dengan bersyukur, seseorang akan
mendapatkan keuntungan secara
emosi dan interpersonal. Hal tersebut

18
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

dikarenakan perasaan bersyukur McCullough, 2003), sehingga dapat


dapat menimbulkan emosi yang positif diasumsikan bahwa bersyukur kepada
seperti ketenangan batin, hubungan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi
interpersonal yang lebih nyaman, dan di luar diri manusia merupakan sesuatu
juga kebahagiaan (Bono, Emmons dan yang alamiah dan memang sepantasnya
McCullough, 2003; dalam Seligman, terjadi. Namun, hal ini menarik untuk
2004). Secara khusus, McCullough, dikaji lebih jauh, mengingat penelitian
dkk.(2002, dalam Bono, 2004) pada negara lain dengan ideologi yang
mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda memungkinkan hasil yang
bersyukur cenderung mengalami berbeda pula.
emosi positif lebih sering, menikmati Hasil penelitian juga menunjukkan
kepuasan di dalam hidup, dan lebih bahwa kepuasan partisipan paling tinggi
banyak berharap, dan cenderung terhadap ranah keluarga. Hal ini sejalan
kurang mengalami depresi, kecemasan, dengan hasil penelitian yang dilakukan
dan iri hati. Mereka cenderung lebih oleh Gong, kim, & Ha (2000) terhadap
empati, memaafkan, menolong, dan orang dewasa Korea, yang menunjukkan
menunjukkan dukungan terhadap orang bahwa dukungan dari keluarga adalah
lain. Hasil penelitian ini sekaligus juga faktor paling efektif yang membentuk
membuktikan bahwa subjective well kepuasan hidup. Penelitian tersebut juga
being memanglah bersifat subjektif, menemukan bahwa dukungan keluarga
dimana penduduk miskin pun bisa adalah faktor yang paling penting dalam
meraih subjective well being yang memprediksi subjective well being.
tinggi. Selain menunjukkan ranah kepuasan,
Jenis bersyukur yang lebih tinggi hasil penelitian ini juga menunjukkan
adalah jenis bersyukur transpersonal. bahwa afek yang paling sering dirasakan
Artinya, penduduk miskin menunjukkan oleh partisipan penelitian ini adalah
rasa dan bentuk syukurnya kepada bersemangat, sementara afek yang
Tuhan atau kekuatan lain yang lebih paling jarang dirasakan adalah putus
tinggi dari dirinya. Senada dengan hasil asa. Hal ini bisa menjadi penjelasan
penelitian ini, penelitian yang dilakukan mengapa mereka cenderung bersyukur.
oleh McCullough, dkk. (2002, dalam Dengan terus bersemangat dan jarang
Bono, 2004) juga menunjukkan bahwa putus asa dalam menjalani hidup,
orang-orang yang bersyukur cenderung mereka memandang bahwa masih ada
menjadi lebih religius dan memiliki harapan untuk hidup yang lebih baik,
orientasi spiritual dibanding orang-orang sehingga mereka mensyukuri keadaan
yang tidak bersyukur. Selain itu, peneliti hidup mereka, dan pada akhirnya tetap
mengaitkan hasil ini dengan konteks merasakan kebahagiaan.
dimana penelitian dilakukan, yaitu di Variabel usia tidak memiliki pengaruh
Indonesia yang pada kenyataannya baik terhadap bersyukur maupun
merupakan salah satu negara religius subjective well being. Dapat dikatakan
yang berlandaskan agama. Bersyukur bahwa perbedaan usia tidak memiliki
ternyata merupakan kecenderungan peranan terhadap rasa syukur dan
manusia yang paling berharga, baik subjective well being yang dimiliki oleh
bagi kaum Yahudi, Kristen, Islam, partisipan. Partisipan yang usianya lebih
Budha, dan pemikiran Hindu (Carman tua tidak lebih bersyukur atau memiliki
& Sterng, 1989, dalam Emmons & subjective well being yang lebih tinggi

19
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

dibandingkan dengan partisipan yang dan mengekspresikan kebersyukuran.


usianya lebih muda. Tidak adanya Hal tersebut dapat terjadi karena laki-
perbedaan tingkat syukur dan subjective laki lebih segan membicarakan hal-hal
well being pada berbagai rentang usia seperti kebahagiaan, cinta romantis, dan
partisipan dapat diasumsikan karena kebersyukuran dibandingkan dengan
meskipun usia yang dimiliki oleh setiap perempuan (R. Levy dalam Peterson
partisipan berbeda-beda, namun dan Seligman, 2004).
mereka semua tetap berada dalam Sementara itu, diketahui pula bahwa
kategori rentang usia yang sama, yakni tingkat pendidikan memiliki pengaruh
usia dewasa. Hasil penelitian ini tidak terhadap tingkat kebersyukuran, namun
sejalan dengan pernyataan Diener, tidak memiliki pengaruh terhadap
Lucas, & Oishi (2005) yang menyatakan subjective well being yang dimiliki
usia memang berhubungan dengan oleh partisipan. Partisipan dengan
subjective well being, walaupun efeknya latar belakang pendidikan SD memiliki
sangat kecil, dan tergantung kepada rasa syukur yang lebih rendah jika
komponen subjective well being yang dibandingkan dengan partisipan dengan
diukur. Perbedaan ini dimungkinkan latar belakang pendidikan SMA. Hal ini
terjadi karena dalam penelitian ini, bisa terjadi dikarenakan orang-orang
peneliti hanya melihat hubungan antara dengan pendidikan yang lebih tinggi
usia dengan subjective well being secara memiliki perkembangan kognitif yang
keseluruhan, namun tidak melihat lebih baik, dimana mereka mampu
hubungannya dengan komponen- berpikir abstrak, mengevaluasi diri,
komponen penyusun subjective well merefleksikan hal-hal yang terjadi dalam
being. hidupnya, dan dapat mengintegrasikan
Berbeda dengan variabel usia, jenis apa yang telah dipelajarinya pada
kelamin ditemukan mempengaruhi masa lalu (Papalia, 2004). Dengan
syukur dan subjective well being perkembangan kognitif yang lebih baik
seseorang. Hasil penelitian menunjuk- itulah, maka mereka bisa melakukan
kan bahwa perempuan lebih bersyukur evaluasi diri dan mempersepsikan
dan memiliki tingkat subjective well kehidupannya sebagai sesuatu yang
being yang lebih tinggi. Hal ini bisa patut disyukuri.
disebabkan karena perempuan lebih Berbeda dengan bersyukur,
banyak menggunakan emosinya tingkat pendidikan ternyata tidak
dibanding laki-laki, dimana bersyukur mempengaruhi subjective well being
dan subjective well being keduanya yang dimiliki oleh seseorang. Hasil
membutuhkan pemahaman emosi yang ini berbeda dengan hasil penemuan
lebih mendalam, seperti hasil penelitian Diener et al., (1999, dalam Carr, 2004)
Lucas dan Gohn (dalam Diener, Lucas, yang menyatakan bahwa tingkat
& Oishi, 2005) yang menyatakan pendidikan berkorelasi positif dengan
bahwa perempuan menunjukkan kebahagiaan dan hubungan ini kuat
afek tidak menyenangkan dan afek pada kelompok berpendapatan rendah
menyenangkan yang lebih besar pada negara-negara berkembang
dibandingkan dengan laki-laki. Selain dan populasi pada negara miskin.
itu, R. C. Solomon (dalam Peterson Meskipun demikian, dalam penelitian
dan Seligman, 2004) juga mengatakan ini, peneliti juga melihat adanya
bahwa laki-laki kurang dapat mengalami kecenderungan peningkatan mean

20
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

skor subjective well being pada setiap merasa bahagia dibandingkan dengan
tingkatan pendidikan, dimana semakin orang-orang yang tidak pernah menikah,
tinggi tingkat pendidikan, mean skor bercerai, atau berpisah.
subjective well being nya juga semakin Perbedaan hasil ini bisa disebabkan
tinggi. Artinya, meskipun pendidikan karena status pernikahan tidak menjadi
tidak secara signifikan mempengaruhi hal yang lebih penting dibandingkan
subjective well being, tetapi tetap terjadi keluarga. Peneliti melihat bahwa
peningkatan subjective well being pada partisipan tinggal di lingkungan yang
tiap tingkatan pendidikan. saling berdekatan dengan anggota
Hubungan yang tidak signifikan keluarga yang lain meskipun ia belum
dalam perolehan skor bersyukur dan menikah atau sudah menjadi duda/
subjective well being ditemukan peneliti janda, sehingga dapat diasumsikan
pada variabel status pernikahan dan bahwa dukungan keluarga menjadi
juga pendapatan perkapita perbulan. hal yang lebih penting. Hasil penelitian
Peneliti menemukan bahwa status yang dilakukan oleh Gong, Kim, & Ha
pernikahan tidak berpengaruh terhadap (2000) terhadap orang dewasa Korea
tingkat syukur partisipan dalam juga menunjukkan bahwa penerimaan
penelitian ini. Peneliti menduga hasil ini dukungan dari keluarga adalah faktor
disebabkan karena status pernikahan yang paling penting dalam memprediksi
bukanlah elemen yang dipersepsikan subjective well being seseorang.
oleh partisipan sebagai hal yang patut Pendapatan perkapita tidak memiliki
disyukuri. Hal lain yang meliputi status pengaruh terhadap rasa syukur
pernikahan yang patut disyukuri adalah partisipan dalam penelitian ini. Peneliti
keluarga. menyimpulkan hal tersebut bisa terjadi
Hasil penelitian ini juga menunjukkan karena semua partisipan sudah berada
bahwa tidak ada perbedaan yang pada rentang pendapatan perkapita
signifikan dalam perolehan skor total yang sangat rendah, yaitu dibawah
subjective well being pada kelompok garis kemiskinan, sehingga perbedaan
partisipan yang belum menikah, perbedaan perkapita pada partisipan
menikah, dan duda atau janda. Dengan penelitian menjadi tidak berpengaruh.
demikian dapat dikatakan bahwa status Penelitian lain tentang bersyukur
pernikahan tidak berpengaruh terhadap diharapkan bisa dilakukan terhadap
perolehan skor subjective well being partisipan yang memiliki pendapatan
pada partisipan dalam penelitian ini. Hal perkapita yang lebih bervariasi dari
ini berbeda dengan pendapat Diener, miskin sampai kaya, sehingga bisa
Gohm, Suh, & Oishi (1998, dalam semakin terlihat apakah memang
Eddington & Shuman, 2005) yang ada perbedaan tingkat syukur antara
menyatakan bahwa status pernikahan orang-orang yang memiliki pendapatan
secara konsisten dapat memperkirakan perkapita rendah dan tinggi.
subjective well being. Hasil penelitian Pendapatan perkapita juga tidak
ini juga tidak sejalan dengan hasil memiliki pengaruh yang signifikan
penelitian Lee, Seccombee, & Shehan terhadap subjective well being partisipan
(1991, dalam Eddington & Shuman, dalam penelitian ini. Hal ini tidak sejalan
2005) yang menunjukkan bahwa dengan penelitian Diener et al. (1993,
orang-orang yang menikah, baik laki- dalam Eddington & Shuman, 2005)
laki maupun perempuan, lebih sering yang menyatakan bahwa secara umum,

21
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

korelasi yang rendah namun signifikan memang ada perbedaan skor subjective
antara pendapatan dengan subjective well being antara orang-orang yang
well being ditemukan pada sampel memiliki pendapatan perkapita rendah
representatif di Amerika. Pendapatan dan tinggi.
juga secara konsisten berhubungan
dengan subjective well being di dalam Saran
suatu negara (Diener et al.; Haring, Dalam penelitian ini, kedekatan antara
Stock, & Okun, dalam Diener, Lucas, & konstruk bersyukur dan subjective well
Oishi, 2005) dan antar negara (Diener et being menyebabkan memungkinkannya
al., dalam Diener, Lucas, Oishi, 2005). ditemukan hubungan yang signifikan
Namun, Diener et al (dalam Diener, antara keduanya. Untuk itu, diperlukan
Lucas, Oishi, 2005) juga menyatakan pembatasan yang lebih jelas dan
bahwa pada level individu dan level operasional mengenai kedua konstruk
nasional, perubahan pendapatan tersebut, agar pengukuran keduanya
sepanjang waktu memiliki efek yang tidak tumpang tindih dan cenderung
kecil pada subjective well being. Salah berkorelasi positif. Jadi, diharapkan
satu kemungkinannya adalah bahwa masing-masing alat ukur murni
pendapatan hanya mempengaruhi mengukur konstruk tertentu sehingga
subjective well being pada tingkat tidak mempengaruhi hasil penelitian.
yang lebih rendah, dimana kebutuhan Pelaksanaan penelitian ini pun tidak
dasar belum terpenuhi. Tetapi, apabila terlepas dari beberapa keterbatasan
kebutuhan dasar telah terpenuhi, peneliti yang bisa menjadi kekurangan
peningkatan pendapatan atau kekayaan penelitian ini, antara lain mengenai
hanya sedikit berpengaruh terhadap sampel dan metode penelitian.
kebahagiaan. Untuk itu, peneliti memberikan
Sejalan dengan hal tersebut, beberapa saran untuk penelitian
perbandingan pendapatan perkapita selanjutnya. Penelitian selanjutnya
dalam penelitian ini memang dilakukan yang dilakukan terhadap penduduk
pada level individu, sehingga miskin dapat menggunakan kriteria
memungkinkan tidak ditemukannya lain tentang penduduk miskin,
perbedaan subjective well being antar sehingga penggolongan seseorang
partisipan. Selain itu, semua partisipan menjadi miskin atau tidak, tidak hanya
dalam penelitian ini tergolong belum terbatas pada pendapatan perkapita
cukup mampu memenuhi kebutuhan perbulannya saja. Penyebaran
dasarnya, karena semua partisipan kuesioner sebaiknya dilakukan tidak
berada pada rentang pendapatan hanya pada daerah-daerah yang
perkapita yang sangat rendah, yaitu terjangkau oleh peneliti saja, tetapi juga
dibawah garis kemiskinan, sehingga menjangkau daerah-daerah lainnya
perbedaan perbedaan perkapita pada agar mendapatkan gambaran yang
partisipan penelitian menjadi tidak lebih menyeluruh mengenai penduduk
berpengaruh. Penelitian lain tentang miskin. Untuk mendapatkan data yang
subjective well being diharapkan bisa lebih mendalam mengenai bersyukur
dilakukan terhadap partisipan yang dan subjective well being, sebaiknya
memiliki pendapatan perkapita yang selain memberikan kuesioner, penelitian
lebih bervariasi dari miskin sampai kaya, selanjutnya juga melakukan metode lain,
sehingga bisa semakin terlihat apakah misalnya dengan metode wawancara

22
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza: Hubungan Bersyukur

terhadap partisipan. Selain itu, dapat Bono, G., Emmons, R.A., & McCullough,
dilakukan penelitian tentang bersyukur M.E. (2004). Gratitude in Practice
pada partisipan dengan tingkat sosial and the Practice of Gratitude.
ekonomi yang lebih bervariasi. dalam P.A. Linley & Stephen
Adapun saran praktis yang bisa Joseph, Positive Psychology in
diberikan oleh peneliti terkait dengan Practice (hal 464-481). New York:
hasil penelitian ini diharapkan setiap John Willey.
orang mampu melihat kelebihan diri
Diener, Ed., Scollon, Napa Christie, &
yang dimilikinya agar bisa bersyukur.
Lucas, Richard E. (2003). The
Agar seseorang lebih bahagia, selain
Evolving Concept of Subjective
dengan tetap mempertahankan
Well Being: The Multifaceted
bersyukur kepada Tuhan, diperlukan
nature of Happiness. Article in
perwujudan syukur kepada orang lain,
Press: Advances in Cell Aging and
misalnya dengan mengucapkan terima
Gerontology. Vol 15, 187-219.
kasih dan membantu orang lain.
Pemerintah sebaiknya terus Diener, Ed., Lucas, Richard. E., & Oishi,
menerapkan wajib belajar. Bagi Shigero. (2005). Subjective Well
penduduk miskin, pemerintah harus bisa Being: The Science of Happiness
memberikan bentuk subsidi yang nyata and Life Satisfaction. dalam
agar penduduk miskin tetap mampu C.R. Snyder & S.J. Lopez (eds.),
mengenyam pendidikan, agar mereka Handbook of Positive Psychology
bersyukur, sehingga pada akhirnya (hal. 63-73). New York: Oxford
mereka akan menjalani hidupnya dengan University Press.
bahagia. Selain itu, bagi pemerintah Eddington, Neil & Shuman, Richard.
atau lembaga lain yang melakukan (2005). Subjective Well Being
intervensi kepada penduduk miskin (Happiness). Continuing
dapat membuat program intervensi Psychology Education.
yang bisa mengembangkan kelebihan
atau potensi diri pada penduduk Emmons, R.A. & McCullough, Michael
miskin, mengedepankan tentang E. (2003). Counting Blessings
pentingnya dukungan sosial terhadap Versus Burdens: An Experimental
anggota keluarga, juga menggunakan Investigation of Gratitude and
pendekatan yang lebih tepat, salah Subjective Well Being in Daily Life.
satunya dengan pendekatan agama. Journal of Personality and Sosial
Psychology, 84, 377-389.
Daftar Pustaka Fitzgerald, Patrick. (1998). Gratitude
and Justice. Ethics, Vol.109, No.1,
Badan Pusat Statistik. (2000). Peta 119-153.
Penduduk Miskin (Poverty Map)
Gong, SJ., Kim HS, & Ha Mo. The
Indonesia 2000. BPS Jakarta,
Predictors of Subjective Well-
Indonesia.
Being among Older Adults.http://
Badan Pusat Statistik. (2007). www.koreamed.org/SearchBasic.
Berita Resmi Statistik: Tingkat php?DT=1&RID=330451
Kemiskinan di Indonesia Tahun
Lestari, Made Diah. (2006). Adaptasi Alat
2007. No.38/07/Th.X, 2 Juli 2007.
Ukur Values In Action – Inventory
Jakarta: BPS.

23
JPS VoL. 14 No. 01 Januari 2008

Strenghths Pada Perawat di


Rumah Sakit Cengkareng. Tesis.
Tidak diterbitkan. Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Parker, Seymour & Kleiner, Robert, J.
(1993). Kebudayaan Kemiskinan:
Sebuah Dimensi Penyesuaian
Diri. Suparlan, Parsudi (ed),
Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Peterson, C & Seligman, M. E. P. (2004).
Character, Strenght, and Virtues:
A Handbook & Classification. New
York: Oxford University press.
Smolak, Linda (1993). Adult
Development. New Jersey:
Prentice Hall, inc.
Soetomo. (1995). Masalah Sosial dan
Pembangunan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Suparlan, Parsudi. (1993). Kemiskinan
di Perkotaan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Seligman, Martin E.P. (2005). Authentic
Happiness : Menciptakan
Kebahagiaan dengan Psikologi
Positif (terjemahan). Bandung:
Mizan.

24

Anda mungkin juga menyukai