Anda di halaman 1dari 108

ANALISIS KEKERASAN SIMBOLIK PADA REMAJA

DALAM FILM TRASH

OLEH:

FIRA ANGGRAENI

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ANALISIS KEKERASAN SIMBOLIK PADA REMAJA
DALAM FILM TRASH

OLEH:

FIRA ANGGRAENI
E31114006

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Pada Departemen Ilmu Komunikasi

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur atas segala nikmat yang telah

diberikan Allah Subhanahuwata’al. Aku memuji kepadaMu, wahai Dzat yang

Maha Memiliki sifat keagamaan dan kemuliaan, atas segala sesuatu yang telah

engkau sempurnakan untukku dari agama Islam. Ucapan shalawat dan salam tak

lupa pula dihaturkan kepada Nabi pemberi petunjuk dan kehormatan, sebagai

penutup sekalian Nabi, dan pemimpin para petunjuk kebenaran, yaitu junjungan

kita Nabi Muhammad Saw. Serta semua keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari campur tangan banyak pihak, yang

tanpa segala motivasi, kesabaran, kerja keras dan doa, tidak mungkin peneliti

mampu menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu politik. Maka dari itu peneliti menghaturkan banyak terima kasih

kepada:

1. Orang tua peneliti tercinta, Ayahanda Mahmuddin dan ibunda Rosmiati

yang tiada hentinya memberikan cinta, kasih sayang, perhatian dan

dukungan yang luar biasa kepada peneliti. Semoga kalian bangga dengan

karya ini.

2. Kakak peneliti, Vivi Sandra Sari yang selalu siap memberi masukan kepada

peneliti. Terima kasih atas dukungan yang luar biasa kepada peneliti, baik
secara materi maupun non materi. Terima kasih juga atas motivasinya

selama ini.

3. Adik – adik peneliti. Afrida Wahdania, Aswad Wahyu dan Khanza

Dheandra yang selalu mendukung dan memberikan kebahagiaan kepada

peneliti. Semoga kalian bisa mengambil hal yang baik dari pengalaman

kalian bersama peneliti.

4. Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Dr. H. M. Iqbal Sultan M.Si serta

Andi Subhan Amir S.Sos M.Si selaku selaku sekretaris Departemen Ilmu

Komunikasi.

5. Pembimbing I, Drs. Abdul Gafar M.Si dan pembimbing II Muliadi Mau

S.Sos., M.Si., yang dengan sabar dan murah hati membimbing peneliti

dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga peneliti ucapkan

atas pengetahuan yang bapak berikan.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik. Peneliti menghaturkan banyak terima kasih aras ilmu yang

selama ini telah diberikan.

7. Staff Officer Departemen Ilmu Komunikasi, Ibu Ida, Bapak Amrullah dan

Bapak Herman.

8. Bapak Alem Febri Sonni S.Sos., M.Si selaku CEO Merahnews.com serta

bapak Muliadi Mau S.Sos., M.Si selaku pimpinan redaksi Merahnews.

Terima kasih atas ilmu jurnalistik yang diberikan, mulai dari masa magang

hingga menjadi reporter di portal berita merahnews.com. terima kasih juga


kepada teman – teman seperjuangan magang di Merahnews.com juga untuk

teman – teman reporter.

9. Sahabat – sahabat terbaik peneliti, Stella Ranus, Siti Hardiyana Nursyam,

Nur Afni Rachman, dan Mujahida yang dengan setia menjadi tempat

berkeluh kesah terutama selama pengerjaan skripsi ini. Dan tidak lupa

‘Geng Portal’ peneliti, Ida, Afni, Fitri dan Azwan. Kapan – kapan kita harus

ngumpul lagi.

10. Flower Catcher team! You’re the best guys!

11. Keluarga besar FUTURE14. From Us to Unique and Radical Era. Tetap

menjadi companion yang sangat solid, apalagi untuk foto angkatan di

nikahan teman. Love you all, Mates!

12. Kakak – kakak KOSMIK yang dengan senang hati membantu penyelesaian

skrispsi ini, serta nasehat dan referensi yang sudah diberikan pada peneliti.

13. Teman – teman KKN gelombang 96, Posko Desa Makkawaru, Kecamatan

Mattiro Bulu, Kabupaten Pinrang. Anisa Rahmawati, Sri Mulyani, Andi

Nurul Rezkyati Maulidia, Andi Riandi Gimnastiar. Terima kasih atas

pengalaman yang diberikan serta ajakan makan Kapurungnya.

14. Teman – teman Admin PFA. Terima kasih untuk pengalaman yang sangat

menyenangkan. Thank you so much for being one of the best part during my

life journey. Let’s meet each other soon.

Akhir kata, peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang namanya tidak dapat peneliti tuliskan satu persatu. Terima kasih telah menjadi
bagian dari hidup peneliti. Peneliti sangat bersyukur dipertemukan dengan orang –

orang yang luar biasa. Semoga skripsi ini dapat berguna untuk semua. Peneliti

mengharapkan yang terbaik bagi semuruh pembaca. Serta, mohon maaf atas

kesalahan – kesalahan yang peneliti lakukan selama proses pengerjaan skripsi ini.

Wassalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh

Makassar, Maret 2018

Fira Anggraeni
ABSTRAK

FIRA ANGGRAENI. Analisis Kekerasan Simbolik Pada Remaja Dalam Film


Trash. (Dibimbing oleh Abdul Gafar dan Muliadi Mau)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkategorisasi bentuk


– bentuk kekerasan simbolik pada remaja dalam film Trash serta mengetahui
representasi kekerasan simbolik yang ada dalam film Trash. Penelitian dilakukan
di Makassar selama kurang lebih 2 bulan yaitu Desember 2017 hingga Februari
2018. Metode yang digunakan utuk penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif melalui pengamatan yang menyeluruh
terhadap objek penelitian yaitu film Trash. Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah film Trash dengan mengobservasi aspek komunikasi dari semiotika yang
di dalamnya terdapat unsur makna denotatif dan konotatif

Data primer penelitian ini berupa teks film Trash yang berbentuk soft file
beserta data – data yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder
merupakan penelitian pustaka dengan mengumpulkan literatur – literatur yang
berkaitan dengan objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menggambarkan kekerasan


simbolik pada remaja, film ini menggunakan beberapa bentuk penanda yaitu audio
dan visual serta penggunaan simbol – simbol dan bahasa metafora. Film Trash
memperlihatkan bentuk – bentuk kekerasan simbolik yang terjadi pada remaja yaitu
(1) Dominasi kekuasaan; (2) kekerasan simbolik multikultural; (3) eksplorasi tubuh
perempuan; (4) Distorsi, pelencengan, pemalsuan dan pelesetan; dan (5)
Korupsi.bentuk – bentuk yag ditampilkan ini menyerupai pola kehidupan sehari –
hari, mulai dari pembentukan stereotip masyarakat tentang kekerasan simbolik itu
sendiri serta adegan adegan pendukung lainnya.
ABSTRACT
FIRA ANGGRAENI. Analysis of Symbolic Violence In Teenagers In The Trash
Movie. (Guided by Abdul Gafar and Muliadi Mau)

The purpose of this study was to identify and categorize symbolic forms of
violence in adolescents in the Trash film and to know the representation of symbolic
violence present in the Trash film. The study was conducted in Makassar for
approximately 2 months, from December 2017 to February 2018. The method used
for this research is qualitative research method with descriptive approach through
thorough observation of research object that is film of Trash. The data used in this
research is Trash film by observing the communication aspect of semiotics in which
there are elements of denotative and connotative meanings

Primary data of this research in the form of text of Trash film in the form of
soft file along with datas which is considered related to this research. Secondary
data is literature research by collecting literatures relating to the object of research.

The results show that in describing symbolic violence in adolescents, this


film uses some form of visual and audio markers and the use of symbols and
metaphorical language. The Trash movie shows the forms of symbolic violence that
occur in adolescents, namely (1) the dominance of power; (2) symbolic
multicultural violence; (3) the exploration of the female body; (4) Distortion,
skewness, forgery and punishment; and (5) Corruption. These displayed forms
resemble patterns of everyday life, from the formation of community stereotypes
about the symbolic violence itself and other scenes of support.
DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................................ i

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... iii

HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ............................................ iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................... v

ABSTRAK ......................................................................................................... ix

ABSTRACT ....................................................................................................... x

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 7

D. Kerangka Konseptual ........................................................................... 8

E. Definisi Operasional .............................................................................. 15

F. Metode Penelitian.................................................................................. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tentang Film ......................................................................................... 20

1. Pengertian Film ............................................................................... 20

2. Sejarah Film .................................................................................... 21

3. Jenis – Jenis Film ............................................................................ 24

4. Fungsi dan Pengaruh Film ............................................................. 26

5. Sinematografi dalam Film .............................................................. 29

B. Kekerasan Simbolik menurut Pierre Bourdieu ................................. 37

C. Remaja dan Kekerasan ........................................................................ 45

D. Semiotika dalam Film ........................................................................... 47

E. Semiotika Roland Barthes: Denotasi dan Konotasi ........................... 49

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sinopsis Film Trash ............................................................................... 52

B. Profil Sutradara Film Trash ................................................................ 53

C. Struktur Pemain Film Trash ................................................................ 57

BAB IV PEMBAHASAN

A. Dominasi Kekuasaan ............................................................................ 62

B. Kekerasan Simbolik Multikultural ..................................................... 64

C. Eksplorasi Tubuh Perempuan ............................................................. 75

D. Distorsi, Pelencengan, Pemalsuan dan Plesetan ................................. 78

E. Korupsi ................................................................................................... 83
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................ 87

B. Saran ...................................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 90

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ukuran pengambilan gambar ......................................................... 36

Tabel 3.1 Kru film Trash .................................................................................. 57

Tabel 3.2 pemain film Trash ............................................................................ 59


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Tatanan signifikansi tingkat kedua Roland Barthes ................ 13

Gambar 1.2 Kerangka konseptual .................................................................. 14

Gambar 4.1 Kaum penguasa mendominasi rakyat kecil .............................. 62

Gambar 4.2 Kaum minoritas dalam kelas dominan ...................................... 64

Gambar 4.3 Penggambaran minoritas ............................................................ 68

Gambar 4.4 Perbedaan strata dalam masyarakat ......................................... 72

Gambar 4.5 Eksplorasi tubuh perempuan secara berlebihan ...................... 75

Gambar 4.6 pemalsuan dan plesetan .............................................................. 78

Gambar 4.7 Pemalsuan makna ........................................................................ 80

Gambar 4.8 Kejahatan struktural dan korupsi ............................................. 83


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu alat komunikasi yang mampu dan mempunyai

kekuatan untuk menjangkau banyak segmen sosial, dan merupakan sebuah media

yang berekspresi yang didalamnya terdapat perpaduan kreatif antara teknologi

fotografi dan tata suara. Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda (sign).

Tanda – tanda yang yang dipakai oleh pembuat film digunakan sebagai alat untuk

mengartikulasi maksud dan tujuan film tersebut dibuat. Makna tanda dapat dilihat

dari pengambilan gambar – gambar dalam film yang dibuat.

Film, sebagai salah satu produk budaya yang tumbuh di suatu wilayah

tertentu tidak dapat terlepas dari nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat. Nilai –

nilai yang ditawarkan seperti adegan kekerasan, kekayaan serta ilmu pengetahuan

tidak semata – mata keluar begitu saja, namun akibat dari adanya realitas dalam

setiap perilaku sosial.

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang

terbuka (overt) atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau

bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh

karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi: (1) kekerasan

terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup,

kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam;

(3) kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi
untuk mendapatkan sesuatu dan (4) kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan

sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa

bersifat terbuka atau tertutup.

Berdasarkan definisi kekerasan yang sebelumnya telah dipaparkan, peneliti

memfokuskan untuk meneliti salah satu dimensi kekerasan. Jika pada penelitian –

penelitian sebelumnya lebih menitikberatkan pada kekerasan fisik, maka saat ini

peneliti mengkaji lebih dalam tentang kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik

merupakan sebuah jenis kekerasan yang tidak terlihat secara kasat mata atau laten.

Jika pada kekerasan fisik, korban akan mendapatkan luka setelah mengalami

kekerasan, maka berbeda dengan kekerasan simbolik karena pada kekerasan

simbolik tidak tampak adanya luka, tidak ada akibat traumatis, tidak ada ketakutan

atau kegelisahan bahkan korban tidak merasa telah didominasi atau dimanipulasi.

Film yang membangkitkan semangat peneliti untuk mengkaji lebih jauh

tentang kekerasan simbolik adalah film Trash. Trash merupakan film yang

diadaptasi dari novel berjudul sama, “Trash” (2014) oleh Andy Mulligan. Film

yang ditayangkan perdana pada tanggal 9 Oktober 2014 dibintangi oleh Roony

Mara sebagai Olivia, Martin Sheen sebagai Father Julliard, Wagner Moura sebagai

Jose Angelo, dan Ricson Tevez sebagai Raphael.

Film Trash ini mampu memukau banyak penonton dengan tinggi rating

7,2/10 dari 17.196 vote. Film Trash berhasil menjadi pemenang dalam ajang Rome

Film Festival – BNL people’s choice Award : Gala, Menjadi pemenang di ajang

yang sama dengan kategori Alice in City Award pada tahun 2014, Camerimage –

Golden Frog : Main competition (nominated, 2014), Tallin Black Nighte Film
Festival – Just Film Award : Best youth Film (Nominated, 2014) dan BAFTA

Awards for Best Film not in the English Language (nominated, 2015). Film ini

bahkan dibuat dalam 2 versi bahasa, yaitu Brazil (9 october 2014) dan United

Kingdom (30 Januari 2015). (www.imdb.com, diakses pada tanggal 9 Oktober

2017). Di Indonesia sendiri, Film ini pernah diangkat sebagai bahan diskusi di

kegiatan Indonesia Corruption Watch (ICW). (www.antikorupsi.org diakses pada

26 Desember 2017)

Pembuatan film ini berlantar belakang di Perkampungan kumuh di Behala,

Brazil. Trash yang berarti sampah ini bukan hanya merujuk pada Behala yang

merupakan bagian dari cerita yang berlatar belakang sampah, tapi juga merujuk

pada perlakuan orang – orang besar kepada orang miskin, yaitu memperlakukan

orang miskin seperti sampah, tidak berarti bahkan diperlakukan semena – mena

dalam penegakan hukum.

Film yang disutradarai Stephen Daldry ini bercerita tentang 3 orang anak,

Raphael, Gardo dan Rato yang bermukim di daerah kumuh Behala dan berprofesi

sebagai pengangkut sampah. Suatu hari, Raphael menemukan dompet di antara

tumpukan sampah ketika sedang melakukan pekerjaannya. Dompet itu berisi uang

sebanyak RՖ300 dan beberapa hal yang awalnya tidak dianggap penting oleh

Raphael seperti kartu identitas dengan nama Jose Angelo, kumpulan foto anak

perempuan, kartu animal lottery, sebuah kunci dan kode yang tertulis dibalik foto

milik Jose Angelo.

Uang yang ditemukan Raphael kemudian dia bagi dengan sahabatnya,

Gardo. Mereka mulai berpikir bahwa hidup mereka akan berubah. Namun,
semuanya berubah ketika sehari setelahnya, polisi korup bernama Frederico

muncul dan dan menawarkan hadiah yang banyak kepada orang yang

mengembalikan dompet itu. Awalnya, Gardo berpikir untuk mengembalikan

dompet itu dan mengambil hadiah yang ditawarkan polisi, namun Raphael

menolaknya dengan alasan bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang penting.

Demi melindungi dompet tersebut, Raphael dan Gardo meminta bantuan

Rato, yang diketahui tinggal di daerah yang paling buruk di Behala. Rat dikucilkan

oleh masyarakat karena memiliki penyakit kulit yang menular. Mencoba melihat –

lihat isi dompet, Rato mengungkapkan bahwa kunci yang ada di dalam dompet

tersebut adalah kunci dari loker yang ada di terminal kereta api kota.

Usut punya usut, ketiga anak ini mengetahui bahwa dompet yang mereka

temukan ternyata merupakan bukti kuat kasus korupsi yang dilakukan oleh

politikus sekaligus calon walikota, Santos. Dimulailah petualangan 3 sahabat

tersebut dalam menyingkap kasus korupsi calon walikota. Namun perjuangan

ketiganya tidak dapat dikatakan mudah. Banyak hal yang harus mereka korbankan,

mulai dari menerima kekerasan fisik, hingga kehilangan orang yang mereka sayangi

serta mendapatkan kekerasan simbolik.

Peneliti berpendapat bahwa film ini penting untuk diteliti mengingat bahwa

film Trash merupakan salah satu film dengan jumlah penonton yang banyak

(buktinya, film ini memenangkan Festival Film Roma untuk kategori film pilihan

penonton). Ditakutkan, banyaknya khalayak yang menonton film ini tidak

mengetahui bahwa ternyata dalam film ini, selain kekerasan fisik, ada kekerasan

simbolik yang terjadi.


Selain itu, penelitian tentang kekerasan simbolik yang terjadi dalam film

Trash dinilai relevan dilihat dari pengertian kekerasan simbolik sendiri. Salah satu

indikator terjadinya kekerasan simbolik adalah adanya perbedaan strata dan

pemaksaan ideologi, dan banyak adegan yang memuat hal tersebut di dalam film.

Penelitian ini bisa menjadi bahan edukasi kepada para para pembaca tentang

kekerasan simbolik dengan film Trash sebagai contohnya. Sampai saat ini, belum

ada penelitian resmi yang mengangkat film Trash sebagai objek penelitian.

Beberapa penelitian sebelumnya yang juga mengkaji tentang kekerasan

simbolik diantaranya adalah :

1. Representasi Kekerasan Simbolik pada Tubuh Perempuan dalam Media

Massa Online Khusus Perempuan (Studi Kasus pada Rubrik Fashion

dan Beauty Website Wolipop) oleh Nurhayati Hasnah (2015). Penelitian

ini berfokus pada kekerasan simbolik yang dialami perempuan melalui

penggambaran perempuan di website khusus perempuan. Penelitian ini

merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika sosial

Hallyday. Pendekatan ilmu yang digunakan adalah ilmu Sosiologi dan

Antropologi. (diakses 15 Oktober 2017)

2. “Representasi Kekerasan Simbolik dalam Film Comic 8” oleh Aan

Munandari Natalia (2015). Penelitian ini memfokuskan pada kekerasan

simbolik menggunakan analisis John Fiske, sedangkan peneliti lebih

berfokus menggunakan teori semiotika Roland Barthes. (Jurnal E-

Komunikasi Universitas Kristen Petra, Surabaya. Diakses 15 Oktober

2017)
3. “Kekerasan Simbolik Tayangan Drama Seri Korea Terhadap Perilaku

Remaja Asrama Putri Kabupaten Kutai Timur” oleh Dewi Suryanti

(2016). Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan

teknik pecarian data wawancara. (e-Journal Sosiantri-Sosiologi 2016,

ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id. diakses 11 November 2017)

4. “Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan Romantis dalam

Serial Komedi Situasi How I Met Your Mother” oleh Preciosa

Alnashava J. (2012). Thesis ini berfokus pada kekerasan simbolik yang

dialami perempuan dalam serial komedi situasi “How I met Your

Mother” menggunakan analisis Semiotika Roland Barthes sebagai pisau

analisis (Thesis FISIP UI 2012 , diakses 11 November 2017)

Roland Barthes, pakar semiotik asal Prancis adalah pelopor semiotika media

berkat analisisnya yang diterbitkan pada tahun 1957 yang diterbitkan mengenai

budaya pop, Mythologies. Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi

analisis semiotik. Van Zoest (Sober, 2004:128) mengemukakan bahwa film

dibangun bukan sebagai tanda semata – mata. Tanda – tanda itu termasuk berbagai

sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji

dan sistem penandaan pada film terutama tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda

yang menggambarkan sesuatu. Ciri – ciri gambar film adalah persamaannya dengan

realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi

realitas yang dinotasikannya.


Film Trash, selain bercerita tentang petualangan 3 orang anak dalam

mengungkap kasus korupsi, juga menggambarkan tentang kekerasan – kekerasan

simbolik yang terjadi. Dengan menggunakan kerangka analisis Roland Barthes,

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Kekerasan Simbolik pada Remaja dalam Film ‘Trash’”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan

diteliti lebih lanjut adalah :

a. Bagaimana bentuk - bentuk kekerasan simbolik pada remaja dalam Film

Trash?

b. Bagaimana representasi kekerasan simbolik pada remaja dalam film

Trash?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, berikut peneliti

menyajikan tujuan dari penelitian, yaitu :

a. Mengetahui dan mengkategorisasi bentuk – bentuk kekerasan

simbolik pada remaja dalam film Trash

b. Mengetahui representasi kekerasan simbolik pada remaja dalam

film Trash
2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis.

Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam

rangka pembangunan ilmu pengetahuan, khususnya untuk ilmu

komunikasi. Penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi teman

– teman yang ingin mengkaji tentang hal ini.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini mampu memberikan pengertian dalam

menganalisis tanda – tanda dalam film melalui kajian semiotika.

Selain itu, penelitian ini juga sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik.

D. Kerangka Konseptual

Film dan Komunikasi Massa

Film sebagai media komunikasi massa seringkali digunakan sebagai

media yang menggambarkan kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat.

Film juga sering disebut sebagai gambar hidup yang digemari oleh seluruh

lapisan masyarakat. Biasanya film dapat disaksikan di gedung - gedung

biokop. Namun seiring perkembangan zaman film dapat disaksikan di

rumah – rumah, tempat pertemuan, di lapangan terbuka dan lain - lain.

Film sebagai salah satu atribut media massa menjadi sarana

komunikasi yang paling efektif. Film sebagai salah satu kreasi budaya,
banyak memberikan gambaran – gambaran hidup dan pelajaran penting bagi

penontonnya. Film juga menjadi salah satu media komunikasi yang sangat

jitu. Dengan kualitas audio dan visual yang disuguhkan, film menjadi media

terpaan yang sangat ampuh bagi pola pikir kognitif masyarakat.

Sumarno (1996:27) mengungkapkan bahwa film adalah bentuk

komunikasi antara pembuat dan penonton. Oleh karena iu dapat dikatakan

bahwa film berhubungan langsung dengan masyarakat atau massa. Para

pembuat film mempunya sesuatu yang ingin disampaikan kepada penonton.

‘sesuatu’ itu merupakan pesan – pesan yang berinteraksi dengan penonton

yang bertujuan untuk memproduksi makna.

Dalam perkembangan film belakangan ini, film tidak lagi dimaknai

sebagai karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai praktik sosial serta

komunikasi massa. Sebagai salah satu produk media, film seharusnya

membentuk opini dan kebiasaan masyarakat yang positif, karena salah satu

fungsi film sebagai salah satu produk media massa adalah mendidik.

Kekerasan Simbolik dan Remaja

Kekerasan selalu erat hubungannya dengan peristiwa yang

mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Tindakan

kekerasan selalu mewarnai segala sendi kehidupan manusia, baik itu dalam

segi sosial, politik, budaya, bahkan sampai pada aspek pendidikan. Jika

merunut pada jejak-jejak sejarah kehidupan manusia, maka kita akan

mendapati kenyataan bahwa kekerasan (dalam bentuk apapun) telah


mendampingi kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Bahkan dapat

dikatakan bahwa usia kekerasan, baik kekerasan individu maupun institusi,

kekerasan fisik maupun psikis, serta kekerasan model lainnya, adalah setua

usia peradaban manusia itu sendiri.

Kekerasan simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai

dengan relasi kekuasaan yang timpang dan hegemonik dimana pihak yang

satu memandang diri lebih superior entah dari segi moral, etnis, agama,

ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap tindakan pada dasarnya mengandaikan

hubungan dan atau komunikasi yang sewenang – wenang diantara dua

pihak. Dalam hal kekerasan simbolik, hubungan tersebut berkitan dengan

pencitraan pihak lain yang bias, monopoli makna secara tekstual, visual,

warna, bunyi, dst.

Kekerasan menurut World Health Organization (WHO) merupakan

paksaan atau kekuatan fisik dengan sengaja, mengancam atau tindakan,

terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas,

yang baik menghasilkan atau memiliki kecenderungan tinggi untuk

menghasilkan luka, kematian, luka psikologis, kelainan perkembangan, atau

kerugian. Dalam definisi yang disampaikan oleh WHO, terlihat 2 jenis

kekerasan, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Jenis kekerasan

lain yang juga berbahaya namun tidak terlihat dalam definisi WHO adalah

kekerasan simbolik.

Kekerasan atau dominasi simbolik adalah istilah yang dikemukakan

oleh filsuf Prancis, Pierre Felix Bourdieu dalam beberapa karyanya,


diantaranya yaitu Masculine Domination. Bourdieu mengungkapkan

gagasan mengenai kekerasan atau dominasi simbolik dengan

menggambarkan pertukaran hadiah pada masyarakat Qubail. Ia membaca

pertukaran hadiah sebagai salah satu bentuk atau dominasi yang

disamarkan. Salah satu cara untuk menguasai orang lain adalah dengan

menempatkan mereka dalah situasi hutang.

Pertukaran hadiah bisa jadi merupakan cara yang lebih halus.

Dengan memberikan hadiah kepada orang yang tidak dapat membalasnya

akan menempatkan orang tersebut pada situasi hutang dan kewajiban

pribadi (Mourkabel, 2009:159). Ini memperlihatkan bagaimana kemurahan

hati dapat menjadi instrumen kepemilikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan World Health Organization

(WHO) menyebutkan bahwa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang

membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja

antara lain:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-

perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak

langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi

perkembangan selanjutnya.

b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan

masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang

dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu

kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan


menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan

dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada

emosi, perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang

mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan

akan kebebasan.

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja

berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya

dalam masyarakat.

e. Masa remaja sebagai masa menimbulkan ketakutan. Dikatakan

demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang

baik.

f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung

memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu.

Melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang dia

inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.

g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami

kebingungan atau kesulitan dalam usaha meninggalkan kebiasaan

pada usia sebelumnya dan memberikan pesan bahwa mereka hampir

atau sudah dewasa.


Semiotika Roland Barthes

Kurniawan (2001:49) menyebutkan bahwa semiotika menurut

Roland Barthes pada dasarnya hendak mempelajari cara memaknai hal –

hal. Hal ini berarti bahwa objek – objek yang ada di sekitar kita tidak hanya

ingin berkomunikasi (menyampikan informasi) tetapi juga memaparkan

sistem terstruktur dari tanda. Dengan demikian, melihat signifikansi sebagai

suatu proses yang total dengan susunan yang terstruktur. Signifikansi ini

tidak hanya pada bahasa, namun konteks diluar bahasa juga termasuk.

Barthes menganggap bahwa kehidupan sosial merupakan suatu sistem

tanda, apapun bentuknya (Kurniawan, 2001:53)

Gambar 1.1 Tatanan Signifikansi tingkat kedua Roland Barthes (Sumber : Fiske,
2014: 145)
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa signifikansi tahap

pertama berupa hubungan signifier dan signified yang disebut denotasi

berupa makna yang sebenarnya dari tanda. Sedangkan signifikansi tahap

kedua disebut konotasi yaitu makna yang subjektif dan berhubungan dengan

isi, tanda yang bekerja melalui mitos. Mitos merupakan lapisan pertanda

dan makna yang paling dalam.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes.

Model analisis semiotik Roland Barthes tidak hanya fokus pada cara

kompleks pembentukan kalimat dan cara kalimat membentuk makna tapi

juga kalimat yang sama bisa saja memiliki arti yang sangat berbeda.

Gambar 1.2 Kerangka konseptual


E. Definisi Operasional

1. Kekerasan Simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan

relasi kekuasaan yang timpang dan hegemonik dimana pihak yang satu

memandang diri lebih superior entah dari segi moral, etnis, agama, ataupun

jenis kelamin dan usia. Dalam hal kekerasan simbolik hubungan tersebut

berkaitan dengan pencitraan pihak lain yang biasa, monopoli makna, dan

pemaksaan makna entah secara tekstual, visual, warna, bunyi.

2. Film adalah salah satu alat komunikasi yang mampu dan mempunyai

kekuatan untuk menjangkau banyak segmen sosial, dan merupakan sebuah

media yang berekspresi yang didalamnya terdapat perpaduan kreatif antara

teknologi fotografi dan tata suara

3. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda dalam fenomena

sosial dalam masyarakat

4. Denotasi adalah hal – hal yang ditunjuk oleh kata – kata (makna referensial

atau makna yang sebenarnya)

5. Konotasi adalah makna tidak terlihat atau disebut sebagai tataran semiologis

tingkat kedua. Pada tahapan inilah sebuah teks menunjukkan mitos sebagai

makna tersembunyi.

6. Film yang dimaksud peneliti adalah film Trash yang disutradarai Stephen

Daldry dan diproduksi oleh Working Title Films. Film ini bercerita tentang

3 orang anak yang menemukan sebuah dompet di penampungan sampah

yang ternyata merupakan bukti dari kasus korupsi yang dilakukan Santos,

seorang politisi di kota tersebut.


F. Metode Penelitian

1. Pendekatan penelitian dan jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma interpretatif. Peneliti

berusaha menginterpretasikan hasil observasi pada objek penelitian

berdasarkan pendekatan semiotika Roland Barthes. Kode semik merupakan

sebuah kode – relasi penghubung (medium – relatic code) yang merupakan

konotasi dari orang, tenpat, objek, yang pertandanya adalah sebuah karakter

(sifat, atribut, predikat)

2. Waktu dan Objek Penelitian

Penelitian ini dimulai dari Desember 2017 hingga Februari 2018

(kurang lebih 2 bulan) dengan objek penelitian yaitu film fiksi berjudul

Trash oleh Stephen Daldry berdurasi 120 menit. Film ini dirilis pada tahun

2014 di Brazil.

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriktif yaitu

menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis kekerasan simbolik

yang terjadi dalam film Trash.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui observasi dan pengamatan secara

menyeluruh pada objek penelitian yaitu dengan menonton film Trash.

Melalui pengamatan tersebut peneliti mengidentifikasi sejumlah gambar

dan suara yang terdapat pada shot dan scene yang di dalamnya terdapat

unsur tanda yang menggambarkan tentang kekerasan simbolik yang


dialami oleh remaja. Setelah itu pemaknaannya akan melalui proses

interpretasi sesuai tanda – tanda yang ditunjukkan menggunakan

analisis semiotika.

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer. Pengumpulan data berupa teks film Trash yang

terdiri dari soft file serta sejumlah data yang berkaitan dengan produksi

film yang kemudian peneliti teliti lebih lanjut untuk memilah – milah

shot-scene yang mengandung muatan kekerasan simbolik pada remaja.

b. Data sekunder. Penelitian pustaka (library research), dengan

mengkaji dan mempelajari literatur – literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai landasan

teori bagi permasalahan yang dibahas.

3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data dalam pendekatan

kualitatif deskriptif. Sebuah pisau analisis menggunakan semiotika Roland

Barthes, yaitu analisis tentang hubungan tanda dan analisis mitos. Dalam

pendekatan semiotika Barthes ini ada 2 tahapan analisis yang digunakan,

yaitu :

a. Deskripsi makna denotatif, yaitu menguraikan dan memahami

makna denotatif yang disampikan oleh seseuatu yang tampak secara

nyata atau materiil dari tanda.

b. Deskripsi makna konotatif, yaitu makna yang tercipta dengan

cara menghubungkan penanda – petanda dengan aspek yang lebih luas;


keyakinan – keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi – ideologi

suatu formasi sosial tertentu


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENELITIAN SEBELUMNYA

Beberapa penelitian sebelumnya yang juga mengkaji tentang kekerasan

simbolik diantaranya adalah :

1. Representasi Kekerasan Simbolik pada Tubuh Perempuan dalam Media Massa

Onlie Khusus Perempuan (Studi Kasus pada Rubrik Fashion dan Beauty

Website Wolipop) oleh Nurhayati Hasnah (2015). Penelitian ini berfokus pada

kekerasan simbolik yang dialami perempuan melalui penggambaran perempuan

di website khusus perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

dengan pendekatan semiotika sosial Hallyday. Pendekatan ilmu yang digunakan

adalah ilmu Sosiologi dan Antropologi (diakses 15 Oktober 2017).

2. “Representasi Kekerasan Simbolik dalam Film Comic 8” oleh Aan Munandari

Natalia (2015). Penelitian ini memfokuskan pada kekerasan simbolik

menggunakan analisis John Fiske, sedangkan peneliti lebih berfokus

menggunakan teori semiotika Roland Barthes (Jurnal E-Komunikasi

Universitas Kristen Petra, Surabaya. Diakses 15 Oktober 2017).

3. “Kekerasan Simbolik Tayangan Drama Seri Korea Terhadap Perilaku Remaja

Asrama Putri Kabupaten Kutai Timur” oleh Dewi Suryanti (2016). Penelitian

ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan teknik pecarian data

wawancara (e-Journal Sosiantri-Sosiologi 2016, ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id.

diakses 11 November 2017).


4. “Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan Romantis dalam Serial

Komedi Situasi How I Met Your Mother” oleh Preciosa Alnashava J. (2012).

Thesis ini berfokus pada kekerasan simbolik yang dialami perempuan dalam

serial komedi situasi “How I met Your Mother” menggunakan analisis

Semiotika Roland Barthes sebagai pisau analisis (Thesis FISIP UI 2012 ,

diakses 11 November 2017).

A. Tentang Film

1. Pengertian Film

Undang – undang Nomor 33 Tahun 2009 Bab 1 Pasal 1 menyebutkan

bahwa Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media

komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi.

Film secara harfiah adalah cinemathographie yang berasal dari kata

cinema dan tho atau phytos yang berarti cahaya serta graphie atau graph yang

berarti gambar. Jadi pengertian dari film adalah melukis gerak dengan cahaya.

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual

di belahan dunia ini (Ardianto, 2004: 143)

Film sebagai salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai

media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang

menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan

komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana –

mana, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu.

Film memberi dampak pada setiap penontonnya, baik dampak positif maupun
dampak ngatif melalui pesan yang terkandung di dalamnya. Film mampu

memberikan pengaruh bahkan mengubah dan membentuk karakter

penontonnya.

Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat melalui muatan

pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Film selalu

merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan

kemudian meproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2009:127)

Dalam penyampaian pesan kepada khalayak, sutradara menggunakan

imajinasinya untuk mempresentasikan suatu pesan melalui film dengan

mengikuti unsur – unsur yang menyangkut eksposisi (penyajian secara lansung

dan tidak lansung). Tidak sedikit film yang mengangkat cerita nyata atau

sungguh – sungguh terjadi dalam masyarakat. Banyak muatan – muatan pesan

ideologis di dalamnya, sehingga pada akhirnya mempengaruhi pola pikir para

penontonnya.

2. Sejarah Film

Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang

hingga saat ini merupakan “perkembangan lebih jauh” dari teknologi fotografi.

Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi sejak tahun 1826, ketika

Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk

membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.

Seorang ilmuwan Amerika serikat penemu lampu listrik dan piringan

hitam, Thomas Alfa Edison (1847 – 1931), pada tahun 1887 tertarik untuk
membuat alat untuk merekam dan memproduksi gambar. Edison tidak

sendirian. Ia dibantu oleh George Eastman, yang kemudian menemukan pita

film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun 1891, Eastman

dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dimasukkan ke

dalam kamera pada siang hari. Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas

Alva Edison itu disebut kinetoskop (Kinetoscope) yang berbentuk kotak

berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan.

Tokoh selanjutnya yang memperkenalkan film adalah Lumiere

bersaudara. Lumiere bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang

mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu.

Lumiere bersaudara menyebut alat tersebut dengan “sinematograf”

(cinematographie)

Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan pada tahun 1895. Pada

peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat

(Intermittent Movement) yang menyebabkan setiap frame dri film yang diputar

akan berhenti sesaat kemudian disinari lampu proyektor. Di masa awal

penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam

adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk ke

stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan

membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis

pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan

bioskop di dunia.
Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri

sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, namun dunia internasional mengakui

bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di

dunia.

Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan

besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi

pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara

atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun

1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi

tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum

pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul

ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.

Perubahan dalam industri perfilman jelas nampak pada teknologi yang

digunakan. Jika pada awalnya film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat

cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem penglihatan mata

kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih

dramatis dan terlihat lebih nyata. Pada perkembangan selanjutnya, film tidak

hanya dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di televisi, namun juga dengan

kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat dinikmati pula di rumah

dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan

dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat

disaksikan lewat jaringan super high way.


Film kemudian dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood,

Bollywood dan Hongkong. Di sisi dunia yang lain, film dipakai sebagai media

penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini bisa dilihat di negara Prancis

(sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan Inggris. Dampaknya adalah film akan

dilihat sebagai artefak budaya yang harus dikembangkan, kajian film

membesar, eksperimen - eksperimen pun didukung oleh negara. Kelompok

terakhir ini menempatkan film sebagai aset politik guna media propaganda

negara. Oleh karena itu di Indonesia Film berada di bawah pengawasan

departemen penerangan dengan konsep lembaga sensor film.

Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar

belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang

memberikan keuntungan cukup besar.

3. Jenis – Jenis Film

Menurut Effendy dalam bukunya berjudul Teori dan Filsafat

Komunikasi (diakses melalui koleksi perpustakaan Universitas Pendidikan

Indonesia) membagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Film cerita (Story film) merupakan jenis film yang menceritakan kepada

masyarakat sebuah cerita. Sebagai film yang diperlihatkan kepada

masyarakat luas, film ini harus mengandung unsur – unsur yang dapat

menyentuh rasa manusia, serta memiliki unsur dramatis yang bertolak dari

eksplorasi konflik dalam suatu kisah. Misalnya konflik manusia dengan

dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan lingkungan


sosialnya, yang pada dasarnya memperlihatkan pertentangan lewat plot dan

visual (Mudjiono, 2011: 133)

2. Film berita (newsreel), yaitu film mengenai fakta, peristiwa yang benar –

benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada

publik harus mengandung nilai berita (news value). Sebenarnya, kalau

dibandingkan dengan media lain, seperti Surat kabar dan radio tidak

memiliki sifat “newsfact” berbeda dengan film. Sebab, suatu berita harus

aktual. Ini disebabkan proses pembuatan dan penyajiannya kepada publik

yang memerlukan waktu cukup lama. Akan tetapi, dengan adanya TV yang

bersifat audio-visual seperti film, maka berita yang difilmkan dapat

dihidangkan kepada publik lebih cepat.

3. Film Dokumenter (documentary film) merupakan film yang berkaitan

dengan aspek faktual dari manusia, hewan, dan mahluk hidup lainnya yang

tidak dicampuri dengan unsur fiksi. Dalam konsepnya, film jenis ini dapat

menimbulkan perubahan sosial karena tujuannya bukan untuk kesenangan

estetik, hiburan atau pendidikan. Tujuannya adalah menyadarkan penonton

akan berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain, membangkitkan perasaan

masyarakat atas suatu masalah untuk memberikan ilham dalam bertindak,

atau membina suatu standar perilaku yang berbudaya. Berbeda dengan film

berita yang harus dihidangkan kepada penonton secepatnya, maka film

dokumenter dapat dilakukan dengan pemikiran dan perencanaan yang

matang.
4. Film kartun (cartoon film). Pembuatan film ini menitik beratkan pada seni

lukis. Film ini dibuat dengan menggambar setiap frame satu persatu

kemudian di potret. Satu persatu gambar dilukis dengan seksama kemudian

di potret, sehingga apabila rangkaian lukisan tersebut diputar dalam

proyektor film, maka lukisan – lukisan tersebut akan terlihat hidup. Sebuah

film kartun (animasi) tidaklah dilukis oleh satu orang saja, tetapi dilukis

oleh pelukis – pelukis dalam jumlah banyak.

Film kemudian diklarifikasikan sebagai berikut (Mudjiono, 2011:135-136):

a. “G (General)” : Film untuk semua umur

b. “PG” (Parental Guidance)” : Film yang dianjurkan dengan didampingi

orang tua.

c. “PG-13” : Film dibawah 13 tahun dan didampingi orang tua

d. “R (Restriced) : Film dibawah 17 tahun, didampingi orang dewasa

e. “X” : Film untuk usia 17 tahun ke atas.

4. Fungsi dan Pengaruh Film

Sebagai sebuah seni kontenporer yang banyak digunakan zaman modern

seperti saat ini, film sangat berbeda dengan seni sastra, teater, seni rupa, seni

suara, dan arsitektur yang telah muncul sebelumnya. Seni film sangat

mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi hingga ke hadapan

penontonnya. Film merupakan penjelmaan dan keterpaduan antara berbagai

unsur sastra, teater, seni rupa, teknologi dan unsur publikasi.


Pada saat film dimulai, suasana di bioskop akan diatur sedimikian rupa

sehingga emosi penonton akan tercurah habis di tempat tersebut. Menurut

effendy (2003:208), penonton akan mengeluarkan apresiasi terhadap film yang

ditonton jika penonton mengerti maksud dan pesan yang disampaikan oleh film

tersebut.

Pada saat menonton film, ada istilah “peralihan dunia”. Penonton

biasanya mengimajinasikan dirinya sebagai tokoh yang mereka lihat dalam

cerita tersebut. Akhirnya, mucul berbagai perasaaan yang bergejolak, seperti

rasa simpati atau antipati.

Pengaruh film yang sangat besar biasanya akan berlansung sampai

waktu yang cukup lama. Pengaruhnya bukan hanya saat seseorang menonotn

film di bioskop, melainkan hingga keluar bioskop atau bahkan berpengaruh

pada aktifits kesehariannya. Biasanya, anak – anak dan pemuda yang relatif

lebih mudah terpengaruh. Mereka sering menirukan gaya atau tingkah laku para

bintang film (Effendy, 2003:208)

Dengan demikian, film mempunyai “power of influence” yang sangat

besar, sumbernya terletak pada emosi penontonnya. Faktor – faktor yang

mempengaruhi film sebagai “power of influece” adalah :

a. Dengan adanya film, seseorang dapat memperoleh tanggapan secara

lansung dan memberikan keadaaan yang sebenarnya.

b. Faktor pemegang peranan (tokoh utama) seakan – akan menyuruh penonton

untuk memikirkan dan merasakan semua adegan yang dilihatnya.


c. Faktor cahaya dalam film menimbulkan berbagai perasaan terhadap

penonton secara psikologi.

d. Faktor musik yang mengiringi film memberikan sugesti terhadap penonton

e. Gerakan – gerakan yang harmonis antara gamabr dan cahaya dapan

membentuk perasaan hati penonton.

f. Faktor penempatan kamera dapat meperlihatkan sugesti pada penonton.

Sumarno (1996: 96) menyebut fungsi film memiliki nilai pendidikan.

Nilai pendidikan sebuah film berbeda dengan pendidikan di bangku sekolah

maupun kuliah. Nilai pendidikan sebuah film mempunyai makna sebagai pesan

– pesan moral. Pesan pendidikan dalam sebuah film dibuat sehalus mungkin

agar penontonnya tidak merasa digurui. Hampir semua film memberi tahu para

penontonnya tentang sesuatu, karena dengan menonton film, khalayak dapat

belajar tentang cara bergaul dengan orang lain, bertingkah laku, berpenampilan

dan sebagainya.

Film dibuat dengan tujuan komersial sekalipun biasanya memberikan

pesan moral yang terselip di dalamnya. Film action yang sarat akan adegan

kekerasan pun juga mengandung makna dan pesan moral tertentu. Film

diproduksi dengan tujuan untuk menyampaikan pesan yang tersirat dalam film

tersebut. Fungsi persuasif suatu film dapat dilihat dari kandungan pesan yang

berusaha untuk mengendalikan sikap atau perilaku penontonnya. Berbeda

dengan fungsi hiburan dalam suatu film, yang hanya untuk memuaskan

kepuasan batin.
Beberapa fungsi dari film yang sering ditemui adalah, fungsi

informasional yang dapat ditemukan pada film berita (newsreel), fungsi

instruksional yang terdapat pada film pendidikan, fungsi persuasif bisa

ditemukan dalam film dokumenter, dan fungsi hiburan dapat ditemukan pada

film cerita. Tapi, perlu diketahui bahwa setiap film selalu mengandung unsur

hiburan. Film informasional, instruksional maupun persuasif, selain

mengandung pesan yang memungkinkan terlaksananya fungsi utamanya, juga

harus memberikan kesenangan atau hiburan kepada khalayak. Selain keempat

fungsi film tersebut, film juga memiliki nilai artistik. Nilai artistik sebuah film

dapat terwujud bilai nilai keartistikannya ditemukan pada seluruh unsurnya.

(Sumarno, 1996:97)

5. Sinematografi dalam Film

Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris

“Cinematography” yang berasal dari bahasa latin. Sinematografi sebagai ilmu

terapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik pengambilan

gambar dan menggabungkan gambar – gambar tersebut sehingga menjadi

rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita).

Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yaitu

menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. karena objeknya sama,

maka peralatan yang digunakan pun sama. Perbedaannya, peralatan fotografi

memangkap gambar tunggal sedangkan sinematografi menangkap rangkaian

gambar. Jadi, sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik

perangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase (montage).


Sinematografi sangat dekan dengan film dalam pengertian sebagai media

penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan adalah

pias (lembaran kecil) selluloid yakni sejenis plastik tipis yang dilengkapi zat

peka cahaya. Benda inilah yang digunakan sebagai media penyimpan di awal

pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah produk

sinematografi.

Film merupakan produk sinematografi. Film adalah gambar-hidup, atau

disebut movie. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk

fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film

menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai dengan perkembangan

zaman). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif

terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya

dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama

sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang.

Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang

sinematografi, maka pengertian film pun telah bergeser. Sebuah film cerita

dapat diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini

sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap

pengambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari

media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil

lahir karya sinematografi dapat disimpan pada media selluloid, analog maupun

digital.
Dalam sebuah ilmu sinematografi, seorang pembuat film tidak hanya

merekam setiap adegan, melainkan juga mengontrol dan mengatur setiap

adegan yang diambil seperti jarak, ketinggian, sudut, lama pengambilan, dst.

Hal ini menjelaskan bahwa unsur sinematografi secara umum dapat dibagi

menjadi 3 aspek, yaitu kamera atau film, framing, dan durasi gambar. Framing

dapat diartikan sebagai pembatasan gambar oleh kamera, seperti batas wilayah

gambar atau frame, jarak ketinggian, pergerakan kamera, dst. Hal ini bertujuan

untuk memperlihatkan atau menjelaskan objek tertentu secara mendetail,

dengan mengupayakan wujud visual film yang tidak terkesan monoton.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam ilmu sinematografi ketika

proses produksi film adalah :

1. Tata Kamera

Yang perlu diperhatikan dalam penataan kamera secara teknik

adalah camera angle atau sudut kamera. Menurut Gerzon, dalam pemilihan

sudut pandang kamera dengan tepat akan mempertinggi visualisasi dramatik

dari sebuah cerita. Sebaliknya, jika pengambilan sudut pandang kamera

dilakukan dengan serabutan, akan merusak dan membingungkan penonton,

karena makna bisa jadi tidak tertangkap dan sulit dipahami. Oleh karena itu,

penentuan sudut pandang kamera menjadi faktor yang sangat penting dalam

membangun cerita yang berkesinambungan.

Adapun tipe angle camera dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:


a. Angle kamera Objektif

Angle kamera objektif diambil dari sudut pandang penonton

outsider, tidak mewakili siapapun, dan tidak dari sudut pemain tertentu.

Penonton tidak dilibatkan, pemain tidak merasa ada kamera, atau tidak

ada yang melihat. Angle kamera objektif ini terbagi mejadi beberapa

bagian, yaitu :

1) High Angle

Kamera ditempatkan lebih tinggi dari objek untuk mendapatkan

kesan bahwa subjek yang diambil gambarnya memiliki status sosial

yang rendah, kecil, terabaikan, lemah dan berbeban berat.

2) Eye Angle

Kamera ditempatkan sejajar dengan mata objek. Pengambilan

gambar dengan sudut eye level menunjukkan bahwa kedudukan

subjek dan penonton sejajar.

3) Low Angle

Kamera ditempatkan lebih rendah daripada objek, untuk

menampilkan kedudukan objek yang lebih tinggi daripada penonton

dan menampilkan bahwa objek memiliki kekuasaan, jabatan,

kekuatan, dst.

4) Frog Eye

Merupakan teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan

ketinggian kamera sejajar dengan dasar kedudukan objek.

Pengambilan dengan sudut ini dilakukan agar menimbulkan efek


penuh misteri untuk memperlihatkan suatu pemandangan yang aneh

atau ganjil.

b. Angle Kamera Subjektif

Kamera dari sudut pandang penonton yang dilibatkan, misalnya

melihat ke penonton, atau dari sudut penonton lain. Angle kamera

subjektif dilakukan dengan beberapa cara :

1) Kamera berlaku sebagai mata penonton untuk menempatkan mereka

dalam adegan, sehingga menimbulkan efek dramatik.

2) Kamera berganti – ganti tempat dengan seseorang yang berada

dalam gambar. Penonton bisa menyaksikan suatu hal atau kejadian

melalui mata pemain tertentu. Jika sebuah kejadian disambung

dengan close up seseorang yang memandang ke luar layar, akan

memberi kesan penonton sedang menyaksikan apa yang disaksikan

pemain yang memandang keluar layar tersebut.

3) Kamera bertindak sebagai mata penonton yang tidak kelihatan.

Seperti presenter yang menyapa pemirsa dengan memandang

lansung ke kamera. Relasi pribadi dengan penonton bisa dibangun

dengan cara seperti ini.

c. Angle kamera Point of View

Yaitu gabungan antara angle kamera objektif dan subjektif.

Angle kamera point of view diambil sedekat shot objektif dengn

kemampuan meng-approach sebuah shot subjektif, dan tetap objektif.


1) Ukuran Gambar (frame size) atau komposisi

Secara sederhana, komposisi berarti pengturan (aransemen)

unsur – unsur yang terdapat dalam gambar untuk membentuk suatu

kesatuan yang serasi (harmonis) di dalam sebuah bingkai. Batas

bingkai pada gambar terlihat pada view finder atau LCD kamera,

atau disebut framing.

Dalam mengatur komposisi, seorang kameramen harus

menempatkan objek sesuai dengan POI (Point of Interest) atau objek

utama yang menjadi perhatian. Dalam teori perfilman Gerzon (2008)

menjelaskan beberapa shot dasar yang sering digunakan dalam

pengambilan gambar, yaitu:

a. Extreme Long Shoot (ELS)

Shot ini memiliki komposisi yang sangat jauh, panjang, luas dan

berdimensi lebar. Tujuannya untuk memperkenalkan seluruh

lokasi adegan dan isi cerita, menampilkan keindahan suatu

tempat.

b. Very long shoot (VLS)

Pengambilan gambar dengan cara ini mempunyai komposisi

panjang, jauh, luas tetapi lebih kecil dibandingkan ELS. Dengan

tujuan menggambarkan adegan kolosal atau objek yang banyak.

c. Long Shoot (LS)

Merupakan teknik yang memperlihatkan objek secara total, dari

ujung kepala hingga kaki (bila objeknya manusia). Tujuannya


untuk memperkenalkan tokoh secara lengkap dengan setting

latar yang menggambarkan objek berada.

d. Medium Long Shoot (MLS)

Komposisi ini cenderung menekankan kepada objek, dengan


1
ukuran dari Long Shoot dengan tujuan memberikan kesan
4

padat pada gambar.

e. Medium Shoot (MS)

Teknik ini memiliki komposisi subjek (manusia) dari tangan

hingga ke atas kepala sehingga penonton dapat melihat jelas

ekspresi dan emosi yang meliputinya. Gambar ini sering

dilakukan untuk master shot pada momen interview.

f. Medium Close Up (MCU)

Adalah komposisi gambar yang memperlihatkan porsi objek

dengan latar yang masih bisa dinikmati sehingga memberikan

kesatuan antara objek dengan latar.

g. Close Up (CU)

Adalah komposisi yang memperjelas ukuran gambar. Misalnya

pada pengambilan gambar untuk manusia berfokus pada kepala

hingga leher. Hal ini menunjukkan penggambaran emosi atau

reaksi terhadap suatu adegan.

h. Big Close Up (BCU)

Komposisi ini lebih dalam dibandingkan Close up dengan tujuan

menampilkan kedalaman pandangan mata, ekspresi kebencian


pada wajah. Tanpa kata – kata, tanpa bahasa tubuh, tanpa

intonasi, tetapi big close up memperlihatkan semua itu.

i. Extreme Close Up (ECU)

Adalah pengambilan gambar close up secara mendetail dan

berani. Kekuatan ECU ini terletak pada kedekatan dan

ketajaman yang hanya fokus pada suatu bagian objek saja.

j. Over Shoulder Shoot (OSS)

Adalah komposisi pengambilan gambar dari punggu atau bahu

seseorang. Komposisi ini membantu menentukan posisi setiap

orang dalam frame saat menatap seseorang dari sudut pandang

lain.

Penanda Definisi Petanda (makna)

(Pengambilan

gambar)

Close up Hanya wajah Keintiman

Medium shot Hampir seluruh Hubungan personal

tubuh

Long shot Setting dan karakter Konteks, scope, jarak

publik

Full shot Seluruh tubuh Hubungan pribadi


Tabel 2.1 Ukuran pengambilan gambar (Sumber: Arief Adityawan, Propaganda
Pemimpin Politik Indonesia, 2008: 4)
2. Gerakan Kamera Komposisi

Untuk menciptakan gambar yang dinamis dan dramatis,

perlu diketahui macam – macam gerakan kamera, antara lain :

a. Zooming

Adalah suatu pergerakan lensa kamera menuju (in) objek atau

menjauh (out) dengan posisi kamera diam di tempat. Pergerakan

lensa kamera ini menimbulkan efek membesar jika mendekat

dan mengecil ketika menjauh.

b. Tilting

Adalah suatu gerakan kamera ke atas (up) dan ke bawah (down)

tanpa memindahkan posisi kamera. Gerakan ini memberikan

kesan penasaran yang timbul secara perlahan.

c. Paning

Adalah suatu gerakan kamera ke kanan (to the right) dan ke kiri

(to the left) tanpa memindahkan posisi kamera. Efek yang

ditimbulkan sama dengan gerakan tilting.

d. Follow

Adalah gerakan kamera mengikuti objeknya, sehingga gambar

yang dihasilkan lebih bervariasi.

B. Kekerasan Simbolik menurut Pierre Bourdieu

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,

pemukulan, pemerkosaan, dst) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk


menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Kekerasan menurut World

Helath Organization (WHO) merupakan penggunaan paksaan atau kekuasaan fisik

secara sengaja yang menghasilkan atau memiliki kecenderungan tinggi untuk

menghasilkan luka, kematian, luka psikologis, kelainan perkembangan atau

kerugian.

Dari definisi yang dijelaskan, terlihatkan ada 2 jenis kekerasan yang

dimaksud, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Jenis kekerasan lain yang

juga berbahaya namun tidak terlihat dalam definisi WHO adalah kekerasan

simbolik.

Secara umum, kekerasan simbolik merupakan berbagai bentuk kekerasan

tak kasat mata, seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan, dan pemaksaan

simbol. Bentuk kekerasan simbolik memang bukanlah sebuah kekerasan yang dapat

dilihat bentuknya, namun sangat mudah diteliti dan sering terjadi. Prinsip kerja

kekerasan simbolik ini berupa bahasa, cara berpikir, cara kerja dan cara bertindak.

(Haryatmoko, 2007:136)

Kekerasan simbolik merupakan makna logika dan keyakinan yang

mengandung bias tetapi secara halus dan disamarkan kepada pihak lain sebagai

sesuatu yang benar.

Kekerasan simbolik atau dominasi simbolik adalah istilah yang

dikemukakan oleh filsuf Prancis, Pierre Felix Bourdieu dalam beberapa karyanya,

diantaranya adalah Masculine Domination. Menurut Pierre Bourdieu, sebuah

kekerasan khusus dalam mekanisme bahasa dan kekuasaan, yaitu “kekerasan yang

halus dan tak tampak”. Sistemnya mendominasi media komunikasi, makna – makna
yang dipertukarkan di dalam komunikasi serta interpretasi terhadap makna – makna

tersebut.

Bourdieu mengungkapkan gagasan mengenai kekerasan atau dominasi

simbolik dengan menggambarkan pertukaran hadiah pada masyarakat Qubail. Ia

membaca pertukaran hadiah sebagai salah satu bentuk atau dominasi yang

disamarkan. Salah satu cara untuk menguasai orang lain adalah dengan

menempatkan mereka dalah situasi hutang.

Pertukaran hadiah bisa jadi merupakan cara yang lebih halus. Dengan

memberikan hadiah kepada orang yang tidak dapat membalasnya akan

menempatkan orang tersebut pada situasi hutang dan kewajiban pribadi

(Mourkabel, 2009:159). Ini memperlihatkan bahwa kemurahan hati dapat menjadi

instrumen kepemilikan. Seperti yang disebutkan oleh Bourdieu (dalam Mourkabel,

2009:159). “we posses to give, but we also give to posses.”

Bourdieu, secara bergantian menggunakan istilah kekerasan simbolik,

kuasa simbolik dan dominasi simbolik untuk merujuk hal yang sama. Bourdieu

merumuskan pengertian ketiganya sebagai “kuasa untuk menentukan instrumen –

instrumen pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial secara semena – mena yang

sebenarnya tidak di sadari”. Kekerasan ini adalah jenis kekerasan yang tidak dirasa

sebagai kekerasan. Kekerasan ini juga merupakan kekerasan yang dilakukan secara

paksa dan mempunyai mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang akhirnya

disadari ‘yang memang seharusnya demikian’ (Martono, dalam Patrick, 2017:14)


Terdapat beberapa konsep untuk menemukan makna kekerasan simbolik

secara dalam diantaranya adalah modal, kelas sosial, habitus, serta kekerasan dan

kekuasaan (Nurhayati, 2015: 21)

1. Modal.

Bourdieu menjelaskan bahwa modal adalah materi maupun nonmateri

yang dimiliki seseorang atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan mereka

dalam sebuah struktur sosial. Bourdieu menyebutkan 3 jenis modal, yaitu modal

sosial (social capital), modal budaya (cultural capital) dan modal simbolik

(symbolic capital). Modal sosial merujuk pada sumber daya potensial terkait

kepemilikan jaringan hubungan saling mengenal atau mengakui. Modal budaya

merujuk pada kemampuan individu dalam kehidupan bermasyarakat, seperti

sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya yang

menyatu dengan habitus seseorang dan kedudukan seseorang yang tidak dapat

diperoleh secara instan. Yang ketiga adalah modal simbolik yang berarti modal

yang sah dan natural dalam masyarakat, seperti pemilihan tempat tinggal, hobi,

tempat makan, dst.(Nurhayati, 2015: 22). Menurut Bourdieu, modal – modal

tersebut merupakan sumber kekuasaan yang krusial dalam kekerasan simbolik.

2. Kelas sosial.

Kelas sosial diartikan sebagai posisi tertentu yang diduduki sekumpulan

aktor, dimana posisi dan kondisi tersebut dibedakan secara vertikal. Konsep ini

erat kaitannya dengan konsep modal, yaitu masyarakat dibagi menjadi beberapa

kelas tergantung kondisi mereka. Kelas – kelas sosial yang muncul dalam
masyarakat ini memiliki kekuatan yang berbeda sehingga menimbulkan adanya

dominasi kelas.

3. Habitus

Menurut Bourdieu, habitus merupakan skema persepsi, pikiran dan

tindakan suatu kelompok sosial yang bisa dilihat dari simbol – simbol atau

unsur budaya seperti gaya hidup (lifestyle), nilai – nilai (values), watak

(disposition) dan harapan (expectation). Setiap kelas akan memiliki habitus

yang berbeda – beda yang disebut selera. Dominasi suatu kelompok sosial

menurut Bourdieu terjadi ketika pengetahuan, gaya hidup, selera serta penilaian

estetika dan tata cara kelas sosial dari kelas sosial yang mendominasi menajdi

absah dan dominan secara sosial (Fashi dalam Nurhayati, 2015: 23)

4. Kekerasan dan kekuasaan

Kekerasan dalam kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan

yang dilihat sebagai serangkaian jejaring antara aktor dan sturktur sosial yang

saling berkaitan. Kekerasan yang muncul akibat dari adanya kekuasaan masuk.

Ketika sebuah kelas mendominasi kelas lain, maka dalam dominasi tersebut

menghasilkan kekerasan (Martono, 2012: 39)

Kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui 3 hal, yaitu :

1. Eufemisme

Eufemisme membuat kekerasan simbolik menjadi tidak tampak,

bekerja sanga halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar.

Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kesetiaan, sopan santun,

pemberian, utang pahala dan belas kasihan (Martono, 2013: 40)


2. Mekanisme Sensorisasi.

Mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak

sebagai sbuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap moral kehormatan

seperti kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya di

pertentangkan dengan moral yang rendah seperti kekerasan kriminal,

ketidakpantasan, asusila, kerakusan dan sebagainya (Martono, 2013: 40)

3. Menciptakan dunia.

Pelaku sosial dapat menciptakan atau menghancurkan, memisahkan

atau menyatukan, dan yang paling penting adalah kekerasan simbolik dapat

membuat definisi maskulin atau feminim, kuat atau lemah, baik atau buruk,

benar atau salah (Martono, 2013: 40)

Contoh kasus tentang kekerasan simbolik yang paling sering kita temui,

seperti contoh kasus seperti ini. Seminggu sebelum menikah, seorang artis di

wawancarai oleh wartawan tentang alasan memilih pebisnis sebagai suaminya.

Artis itu pun menjawab dengan jawaban sederhana, “karena calon suaminya itu

menginzinkannya untuk melanjutkan kariernya”

Jawaban yang diucapkan tersebut mencerminkan kekerasan simbolik. Sadar

atau tidak, artis tersebut menerima hubungan dominasi, menerima kepatuhan.

Konflik yang terjadi dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang biasa, namun

jika memperhatikan pola hubungannya, sebutulnya digambarkan berlansungnya

afirmasi kekuasaan dan proses pengakuan dominasi.

Interaksi sosial masyarakat, laki – laki dan perempuan juga tidak luput dari

kekerasan simbolik. Interaksi sosial laki – laki dan perempuan terasa sangat biasa,
namun menawarkan kesempatan istimewa untuk memahami dominasi yang

berjalan atas nama prinsip simbolik. Prinsip ini dikenali dan diakui baik yang

mendominasi maupun yang di dominasi. Prinsip – prinsip simbolik itu adalah

bahasa, gaya hidup, cara berpikir, berbicara atau bertindak, dan stigma.

Prinsip yang paling efektif secara simbolik adalah ciri tubuh yang

sebetulnya sangat sewenang – wenang dan sangat terungkap seperti jenis kelamin

dan warna kulit. Penampilan biologis mempunyai dampak yang sangat riil terhadap

tubuh dan pikiran. Suatu rekayasa kerja kolektif sosialisasi biologis berlansung

untuk menampilkan konstruksi sosial seolah – olah nampak seperti alami sehingga

gender sebagai habitus seksual sebagai dasar pembagian yang sewenang – wenang

yang menjadi prinsip dan representasi realitas.

Tatanan sosial berjalan seperti mesin simbolis yang mengesahkan dominasi

maskulin terutama dalam hal pembagian kerja, pembagian kegiatan – kegiatan yang

didasarkan pada perbedaan seks, tempat, dan instrumen lainnya.

Meski terhitung sebagai kekerasan tidak kasat mata, bukan berarti

kekerasan simbolik ini tidak berbahaya. Kekerasan simbolik merupakan gerbang

menuju kekerasan psikologis dan beresiko ke kekerasan fisik. kekerasan simbolik

menghasilkan kepatuhan, sikap tidak kritis, skeptis yang menutupi atau

membenarkan ketidakadilan. Oleh karena itu, jika terus dibiarkan bentuk – bentuk

dominasi ini akan menghasilkan diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan

(haryatmoko, 2010: 3). Perhatian orang – orang sering dialihkan dari masalah

dominasi ke sebab lansung kekerasan tersebut, padahal dominasi melalui wacana

dan kekerasan simbolis adalah akar utama kekerasan fisik dan psikologis itu. Oleh
karenanya, cara untuk mengungkap bentuk – bentuk kekerasan simbolik dengan

menggunakan gagasan dari para pemikir kritis, mereka adalah Nietzsche, Foucault,

Bourdieu, Baudrillad, Ricoeur, Habermas, dan Derrida (Haryatmoko, 2010: 4)

Pertama, cara Nietzsche mempertanyakan empat model kebenaran menjadi

relevan karena membuka mata betapa tidak pastinya sesuatu bernama “kebenaran”.

Kedua, ketidakpastian terpantau jika masalah kebenaran seakan ditentukan oleh

pertarungan kekuatan sehingga tidak lepas dari hubungan pengetahuan dan

kekuasaan. Atas nama objektivitas, nilai dan norma, keilmiahan ada pihak yang

menuntut suatu kepatuhan. Maka mejadi sangat penting analisa wacna karena

dibalik hal – hal tersebut, tersembunyi ideologi atau kepentingan. Ketiga, melalui

wacanaini, kekerasan simbolis beroperasi karena rinsip simbolis berupa bahasa,

cara berpikir, dan cara bertindak. Kekerasan yang disetujui secara sadar atau tidak

oleh korbannya harus disingkap. Dalam konteks ini, bahasa bukan sekedar sebagai

alat komunikasi, tetapi merupakan sarana bertindak atau alat kekuasaan. Makna

bahasa ditentukan oleh yang di luar bahasa, bisa dari kepemilikan kapital.

Keempat, masalah konsumerisme tidak bisa dilepaskan dari analisan

Baudrillard, tentang berlansungnya manipulasi, sedangkan politik pencitraan

mengikuti logika stimulasi. Kelima, efektivitas bahasa menjadi kendaraan bagi

rasionalitas instrumental yang menuntut efisiensi sarana. Orientasi pada hasil dan

efektivitas sarana menjauhkan manusia dari nilai dan makna. Pragmatisme

mengagungkan sarana dan mengabaikan manusia sebagai tujuan. Realisme

memberikan pembenaran kepada sikap pragmatis padahal hierarkisme nilai masih

didasarkan pada kriterium metafisik. Keenam, dekonstruksi Derrida tidak hanya


berperan dalam mempertanyakan rezim kepastian atau membongkar hirarki

metafisik atau pemikiran idealis, tetapi juga merupakan upaya selalu membuka

perspektif bary, memaknai yang terpinggir atau dilupakan sehingga terbuka bagi

yang berbeda.

C. Remaja dan Kekerasan

World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja adalah suatu

masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda –

tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual. Remaja

mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak – kanak

hingga dewasa, serta terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial – ekonomi

yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak – kanak ke

dewasa. Tahap transisi remaja ini akan memberikan masa yang lebih panjang untuk

mengembangkan berbagai keterampilan serta mempersiapkan masa depan. Namun,

di masa itu cenderung menimbulkan masa pertentangan (konflik ke bimbingan

antara ketergantungan dan kemandirian).

Terdapat beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja, yaitu:

1. Peningkatan emosi yang terjadi secara cepat pada remaja awal. Peningkatan

emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama pada hormon yang

terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosional ini

merupakan tanda awal remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari

masa sebelumnya. Pada masa ini, banyak tuntutan dan tekanan yang
ditunjukkan. Misalnya, mereka diharapkan tidak bertingkah seperti anak – anak,

mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab.

2. Perubahan yang cepat serta fisik yang juga disertai dengan kematangan seksual.

Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan

kemampuannya.

3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang

lain. Selama masa remaja, banyak hal yang menarik bagi ketika masih kanak –

kanak kini mulai tergantikan. Hal ini karena adanya tanggung jawab yang lebih

besar di masa remaja, maka remaja diharapkan unuk dapat mengarahkan

ketertarikan mereka pada hal yan lebih bermanfaat. Perubahan juga terjadi

dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya

dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lwan jenis

dan orang dewasa.

4. Perubahan nilai, hal – hal yang mereka anggap penting pada masa kanak –

kanak menjadi kurang penting dan digantikan dengan hal yang baru.

5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang

terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, namun di sisi lain mereka

takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan

kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab.

Masa remaja adalah masa keemasan, saat – saat mereka mengerti

kebebasan, tidak lagi dibebankan oleh pikiran anak – anak sebelumnya. Namun,

masa remaja bukan berarti masa bahagia tanpa adanya kekerasan. Berdasarkan

survey yang dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)


DIY mencatatat 85% dari 125 responden remaja pernah mengalami kekerasan

(www.Republika.co.id. Diakses tanggal 20 Januari 2018)

Pertumbuhan internet di Indonesia tidak hanya membawa perubahan dalam

perilaku komunikasi masyarakat, namun pertumbuhan ekonomi juga membawa

cara baru bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang kemudian dijadikan

rujukan gaya hidup, kebiasaan serta menganut budaya – budaya yang mereka tiru.

Budaya dominan yang telah mereka anut membuat budaya asalnya luntur.

D. Semiotika dalam Film

Film memiliki nilai seni tersendiri, karena film tercipta sebagai sebuah

karya dari tenaga – tenaga kreatif yang profesional di bidangnya. Film sebagai

benda seni sebaiknya dinilai secara artistik bukan rasional. Mengapa film tetap

ditonton banyak orang? Film bukan hal baru lagi dalam masyarakat. Alasan umum,

film berarti bagian dari kehidupan modern dan tersedia dalam berbagai wujud,

seperti di bioskop, tayangan dalam televisi, dalam bentuk kaset video, dan piringan

laser (laser disc) (Mudjiono, 2011: 2). Film bukan hanya menyajikan pengalaman

yang mengasyikkan, melainkan juga pengalaman hidup sehari – hari yang dikemas

secara menarik.

Dalam definisi Saussure (Sobur : 2003), semiologi merupakan sesuatu yang

mengkaji kehidupan tanda – tanda di tengah masyarakat. Tujuannya untuk

menunjukkan terbentuknya tanda – tanda beserta kaidah – kaidah yang

mengaturnya. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda; tak

hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda – tanda, melainkan
dunia itu sendiri seluruhnya terdiri dari tanda – tanda. Jika tidak begitu, manusia

tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Salah satu objek yang menggunakan semiotika sebagai pisau analisis adalah

film. Film merupakan terminologi gambar yang bergerak (Visual dinamis), yang

berbeda dengan fotografi yang berupa gambar statis. Film bisa menghadirkan unsur

dinamis dari objek yang ditampilkan. Sebagai media audio visual, film memiliki

karakteristik yang berbeda dengan format tanda yang terdapat dalam iklan cetak

(visual saja), bahasa (tekstual saja), atau siaran radio (audio saja). Film tersusun

atas teks – teks yang telah tertata dalam alur narasi yang jelas. Jika menggunakan

istilah Barthes, foto terbangun atas teks – teks yang bercerita/naratif/proaeretik,

sehingga dalam pemaknaannya tidak boleh menampikkan teks – tek yang lain,

bahkan teks yang berada di luar teks tersebut (konteks). (Widiya, Semiotika Film.

https://chitchatmedio.wordpress.com, diakses 19 Januari 2018)

Studi tentang semiotika film pada awalnya terbatas pada permasalahan

sintaktis, sintagma, gramtikal, yang cenderung pada studi kebahasaan. Meskipun

demikian, banyak tokoh yang menggunakan trikotomi Pierce (ikon, indeks,

simbol). Semakin berkembang, kajian semiotika semakin diminati dan akhirnya

ditemukan sisi khas dari analisis semiotika tersebut, yaitu perbandingan

percakapan, tulisan dan pesan teatrikal. Dalam teks film, ada banyak aspek yang

bisa diangkat ke dalam sebuah studi semiotika.

Hal – hal yang memiliki arti simbolis tak terhitung jumlahnya. Dalam

kebanyakan film setting, memiliki arti simbolik yang penting karena tokoh – tokoh

sering dipergunakan secara simbolik. Dalam setiap bentuk cerita, sebuah simbol
adalah sesutu yang konkrit (sebuah objek khusus, citra, pribadi, bunyi, kejadian atau

tempat) yang mewakili atau melambangkan suatu ide, sikap – sikap, kompleks atau

rasa sehingga memperoleh arti yang lebih besar dari yang tersimpan dalam dirinya

sendiri. Oleh karena itu, sebuah simbol adalah suatu macam satuan komunikasi

yang memiliki beban khusus sifatnya.

Secara umum, film dibangun dengan banyak tanda. Di dalam tanda tersebut,

berbagai sistem tanda yang ada bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai

efek yang di harapkan. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah

digunakannya tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggunakan sesuatu

(Sobur, 2009 : 128). Itulah alasan film cocok menjadi bidang kajian analisis

semiotika.

E. Semiotika Roland Barthes : Denotasi dan Konotasi

Dalam ilmu komunikasi, tanda – tanda atau signs adalah bagian dari suatu

pesan atau rangkaian kode. Menurut Ferdinand De Saussure, tanda berhubungan

dengan realitas hanya melalui konsep – konsep dari orang – orang yang

menggunakannya (Fiske, 2014:69). Jika tak ada konsep dalam pikiran manusia,

maka sebuah tanda tak akan memiliki makna.

Tokoh penting dalam perkembangan semiotika di dunia adalah Ferdinand

de Saussure. Di dalam teori semiologi yang dikemukakan Saussure, tanda tersusun

menjadi dua bagian yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Penanda

adalah aspek materiil sedangkan petanda merupakan gambaran mental, pikiran dan
konsep. Menurutnya, tanda merupakan kesatuan dari suatu bentuk penanda

(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified)

Teori Roland Barthes secara garis besar diturunkan dari teori bahasa

menurut Saussure. Seperti pandangan Ferdiand de Saussure, Barthes juga meyakini

bahwa hubungan penanda dan pertanda tidak terbentuk begitu saja, melainkan

bersifat arbiter. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan tanda,

tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah sebuah kebudayaan yang menjelaskan

atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan

produk kelas sosial yang sudah mempunya dominasi.

Dalam semiotika Barthes, denotasi bukan sekedar makna yang

sesungguhnya dari sebuah tanda, melainkan sistem signifikasi pertama. Sedangkan

konotasi merupakan sistem signifikasi tahap kedua, yang identik dengan operasi

ideologi atau yang disebut mitos. Fungsi konotasi adalah mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai – nilai dominan yang berlaku dengan suatu

periode tertentu (Sobur, 2013:71)

Denotasi (disebut juga sebagai signifikasi tahap pertama) menjelaskan relasi

antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di antara tanda dengan objek yang

mewakilinya (its referent) dalam realitas eksternalnya. Denotasi merujuk pada hal

– hal yang diyakini banyak orang (common-sense), makna yang teramati dari

sebuah tanda. Sedangkan konotasi menjelaskan interaksi ketika tanda bertemu

dengan perasaan tau emosi dari pengguna dan nilai – nilai dalam budaya. Bagi

Barthes, faktor utama dalam konotasi adalah penanda dalam tataran denotasi.
Penanda dalam tataran denotasi adalah tanda konotasi. Konotasi bersifat arbiter,

spesifik pada budaya – budaya tertentu.

Pada tatanan kedua, terdapat proses operasi ideologi disebut mitos. Jadi,

setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi

penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.

Jadi, suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi

makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Bunga desa

menimbulkan konotasi “gadis yang cantik”. Konotasi “gadis yang cantik” ini

kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol bunga

desa, sehingga bunga desa yang berarti gadis yang cantik bukan lagi sebuah

konotasi tetapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada

tahap ini “gadis yang cantik” akhirnya dianggap sebagai mitos.


BAB III

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sinopsis Film Trash

Film Trash mengambil latar di perkampungan kumuh di Behala, Brazil.

Film yang disutradarai oleh Stephen Daldry bercerita tentang tiga orang remaja,

Raphael, Gardo dan Gabriel yang tinggal di daerah kumuh Behala dan berprofesi

sebagai pemulung. Suatu hari, Raphael (diperankan oleh Rickson Tevez)

menemukan dompet diantara tumpukan sampah ketika sedang melakukan

pekerjaannya. Dompet itu berisi uang sebanyak RՖ300 dan beberapa hal yang

awalnya tidak dianggap penting oleh Raphael seperti kartu identitas dengan nama

Jose Angelo, kumpulan foto anak perempuan, kartu Animal lottery, sebuah kunci

dan kode aneh yang tertulis dibalik foto milik Jose Angelo.

Uang yang ditemukan Raphael kemudian dia bagi dengan sahabatnya,

Gardo. Mereka mulai berpikir bahwa hidup mereka akan berubah. Namun,

semuanya berubah ketika sehari setelahnya, Frederico (diperankan oleh Selton

Mello) seorang polisi korup muncul dan menawarkan hadiah yang besar kepada

orang yang mengembalikan dompet tersebut. Awalnya, Gardo berpikir untuk

mengembalikan dompet tersebut dan mengambil hadiah yang ditawakrkan

Frederico, namun Raphael menolak dengan alasan bahwa mereka telah menemukan

sesuatu yang jauh lebih besar dibanding hadih yang ditawarkan oleh polisi.

Demi melindungi dompet tersebut, Raphael dan Gardo meminta bantuan

Rato, yang diketahui tinggal di daerah yang paling buruk di Behala. Rato dikucilkan
masyarakat karena dia memiliki penyakit kulit yang menular. Mencoba melihat –

lihat isi dompet, Rato mengungkapkan bawa kunci yang ada di dalam dompet

tersebutadalah kunci loker yang ada di terminal kereta api di kota.

Keesokan harinya, ketiga remaja tersebut berangkat ke kota menggunakan

kereta api—menuju loker tersebut. Namun, usaha ketiga remaja tersebut tidak

mudah. Setelah Frederico mengetahui bahwa Raphael yang menemukan dan

menyimpan dompet tersebut, Frederico mengerahkan anggotanya untuk

menangkap Raphael dan kedua temannya. Setelah Raphael mengetahui isi dari

loker tersebut (yang ternyata hanya dokumen dan kode yang sama yang dia temukan

di balik foto Jose Angelo di dompet) merek bertiga pun pulang ke Behala,

Sayangnya Raphael di culik oleh anggota Frederico dan disiksa hingga hampir

tewas.

Lolos dari usaha pembunuhan, Raphael kini mengerti bahwa dompet

tersebut merupakan bukti kuat atas upaya korupsi yang dilakukan oleh Antonio

Santos (diperankan oleh Stepan Nercessian), seorang politikus juga calon walikota.

Mereka bertiga kemudian bertekad untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga

Antonio Santos akhirnya di penjara.

B. Profil Sutradara Film Trash

Stephen David Daldry, atau akrab disapa Stephen Daldry lahir pada 2 mei

1961 di Dorset, Inggris (berusia 56 tahun). Merupakan sutradara film dan teater

Inggris yang dikenal dengan kesensitifannya serta seringnya menampilkan karakter

dengan nuansa yang bertentangan. Daldry mulai tertarik pada teater sejak umurnya
yang ke-15. Di usia tersebut, Daldry bergabung dengan rombongan teater di

Taunton dan memutuskan untuk menjadi pengarah adegan. Stephen menempuh

pendidikan di Shefield University in England dengan beasiswa Royal Air Force dan

memperoleh gelar sarjana (1982) dalam literatur Inggris dan melakukan debutnya

dengan bermain “II Circo di Nando Orfei”. Setelah magang di Italia, Daldry

kemudian kembali ke Inggris dan menetap di Sheffield, disana dia menjadi direktur

arsistik Metro Theatre Company (1984 – 1986) dan magang kembali di Crucible

Theatre (1986 – 1988). Selain memimpin di Metro Theatre Theatre, Daldry juga

memimpin London’s Gate Theatre (1989 – 1992). Sejak tahun 1989 sampai 1992,

dia menjadi penanggung jawab untuk teater Notting Hill, yang kemudian

mendapatkan penghargaan di bawah bimbingannya. Dia kemudian menjadi direktur

seni / konduktor Royal Court Theatre.

Daldry telah menghasilkan lebih dari 100 drama teater, banyak diantaranya

telah masuk dalam kancah dunia, termasuk Via Dolorosa, Rat in the Skull, The

Kitchen, dan Search and Destroy. Pada tahun 1993, Daldry memenangkan

penghargaan Laurence Olivier Award untuk Sutradara terbaik untuk drama An

Inspector Calls. Permainan dilakukan secara profesional, dan untuk drama

Broadway (1994) mengumpulkan lebih banyak penghargaan dibanding drama lain

dalam catatan sejarah.

Daldry juga terjun dalam duni Radio dan Televisi. Film pendek pertama

yang dia produksi berjudul Eight (1998) dan masuk dalam nominasi untuk

penghargaan BAFTA. Sambil tetap menjadi direktur di Royal Court Theatre,

Daldry membuat film panjang pertamanya dengan judul Billy Elliot (2000). Billy
Elliot merupakan sebuah film yang bercerita tentang seorang anak laki – laki dari

keluarga kelas pekerja di Inggris yang sangat berprestasi di balet, namun ayahnya

menginginkan dia untuk menjadi seorang petinju.

Untuk karyanya di film tersebut, Daldry menerima nominasi Oscar

pertamanya. Film keduanya, The Hours (2002), memberinya nominasi Oscar kedua

sebagai sutradara terbaik. The hours merupakan sebuah film yang disutradarai oleh

Dadry yang diadaptasi dari pemenang hadiah Pulitzer, Michael Cunningham. Film

ini bercerita tentang renungan tiga orang nyonya Dalloway. Dibintangi oleh

Julianne Moore, Meryl Streep, dan Woolf (diperankan oleh Nicole Kidman).

Daldry menerima oscar kedua untuk sutradara terbaik dan Kidman meraih

penghargaan sebagai aktris terbaik. Pada tahun 2005, Daldry membuat panggung

musikal untuk film Billy Elliot di London dan memenangkan empat penghargaan

Olivier. Produksi Broadway (2008) mengumpulkan 10 penghargaan Tony Awards

termasuk penghargaan sutradara musik dan sutradara terbaik untuk Daldry. Daldry

kemudian comeback ke layar lebar dengan The Reader (2008) yang diadaptasi dari

novel karya penulis Jerman, Bernhard Schlink. Film ini menambil latar belakang di

Jerman, pasca perang dunia II melalui kacamata perselingkuhan antara wanita yang

buta huruf (diperankan oleh Kate Winslet) dan seorang remaja laki – laki, yang

ketika dewasa menderita karena mengetahui bahwa kekasihnya pernah berkerja

sebagai penjaga di kamp persenjataan. Film ini mendapatkan nominasi Academy

Award untuk gambar terbaik, sutradara terbaik untuk Daldry dan Oscar untuk Kate

Winslet.
Di film berikutnya, Extremely Loud & Incredible Close (2011), lagi – lagi

diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Kali ini berasal dari penulis Amerika,

Jonathan Safran Foer, yang bercerita tentang seorang anak laki – laki yang dewasa

sebelum waktunya. Anak ini berkeliaran di New York City untuk mencari dan

mengumpulkan tuts piano yang ditinggalkan oleh ayahnya yang meninggal dalam

serangan 11 September. Film ini diperankan oleh Tom Hanks, Sandra Bullock, Max

Von Sydow dan pendatang baru, Thomas Horn.

Pada tahun 2013, daldry kembali menjadi sutradara Helen Mirren dalam

drama Peter Morgan the Audience. Drama ini memperlihatkan bayangan

percakapan mingguan Ratu Elizabeth II dan suksesi perdana menteri Inggris selama

6 dekade. Produksi yang diakui sangat kritis ini menggaet Carey Mulligan dan Bill

Nighy sebagai pemeran utamanya. Drama ini mendapat nominasi Tony Award dan

Daldry sebgai Sutradara terbaik. Daldry kemudian kembali ke bioskop dengan film

berjudul Trash (2014). Sebuah film yang bercerita tentang 3 orang remaja yang

menemukan skandal politik saat memilah – milah sampah di daerah kumuh Behala,

Brazil. Belum cukup sampai disitu, Dadry kemudian kembali dengan Morgan The

Crown (2016). Morgan the Crown merupakan serial TV Netflix yang bercerita

tentang kehidupan Ratu Elizabeth II; Daldry menjabat sebagai produser eksekutif

dan menjadi sutradara di beberapa episode.

Daldry menikah pada tahun 2001 dengan Lucy Sexton, seorang artis

pertunjukan dan editor majalah. Pada tahun 2003, daldry dikaruniai seorang nak

perempuan bernama Annabel Clare. Daldry, dengan santai menggambarkan dirinya


sebagai pria gay karena orang – orang lebih memilihnya. Daldry mengatakan, “they

don’t like the confusion”

Dadry juga dijadikan Komandan Ordo Kerajaan Inggris (Commander of the

Order of the British Empire – CBE) pada tahun 2004. CBE merupakan organisasi

yang didirikan oleh Raja George V untuk mengapresiasi para kontributor yang

bermanfaat bagi seni dan sains, yang bekerja dengan organisasi amal dan

kesejahteraan dan pelayanan publik di luar layanan sipil.

C. Struktur pemain film Trash

a. Kru.

Directed by : Stephen Daldry, Christian Duuvoort

(Co-director)

Writing credits : Based on the novel by Andy Mulligan,

Felipe Braga, and Richard Curtis

(Screenplay)

Produced by : Andrea Barata Ribeiro, Bel Berlinck,

Tim bevan, Liza Chasin

Music by : Antonio Pinto

Cinematography : Andriano Goldman

Film editing by : Elliot Graham

Casting by : Chico Accioly, Anna Luiza Almedia

Production design by : Tule Peak


Art direction by : Pedro Equi

Costume design by : Bia Salgado

Make up department : Mariah de Freitas, Martin Macias

Trujillo, Kamissy Toletto, Sandro

Valerio

Production management : Cristina Abi, Wellington Pingo

Assistant director : Cecilia Carvalhal, Andre Chaves,

Marina Erlanger, Alice Gomez,

Robertia Maia

Art department : Nena Alverenga, Isa Avellar, Thaia

Campos, Paula Marquess Coelho

Sound Department : Niv Adiri, Paula Anhesini, Dillon

Bennett, Roberto Cappannelli, Andre

Dias, Henry Dobson

Special Effect : Sergio Farjalla Jr.

Visual Effect by : Firenza Bagnariol, Tom Balogh,

Thomas Banner, Sandra Chocholska

Camera and Electrical Allan Almedia, Maurilio Aquino Jr,

department : Dan Behr, Rodrigo Carvalho, Rafael

Costa

Music Department : Eduardo Aram, Jamie Ashton, Peter

Cobbin, Robert Houston


Transportation Department : Thiago Alves, Nelio Bernando, Jorge da

Meneira, Carlos Galente, Roberto

Gusmao

Tabel 3.1 Kru Film Trash (Sumber : www.imdb.com Diakses 12 Januari 2018)

b. Pemain Film Trash

Rickson Teves Sebagai Raphael

Wagner Moura Sebagai Jose Angelo

Eduardo Luis Sebagai Gardo

Gabriel Weinstein Sebagai Rato

Rooney Mara Sebagai Olivia

Martin Sheen Sebagai Father Juliard

Selton Mello Sebagai Frederico

Stepan Nercessian Sebagai Antonio Santos

Jose Dumont Sebagai Carlos

Daniel Zettel Sebagai Partner Carlos

Nelson Xavier Sebagai Jefferson

Jesuita Barbosa Sebagai Turk

Andre Ramiro Sebagai Marco

Teca Pereira Sebagai Graca


Gisele Froes Sabagai Istri Santos

Maria Eduarda Lima Botelho Sebagai Pia

Tabel 3.2 Pemain film Trash (Sumber : www.imdb.com Diakses 12 Januari 2018)
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab sebelumnya, peneliti telah memaparkan teori – teori, serta uraian

tentang film Trash secara lebih luas. Maka, pada bab ini peneliti akan menguraikan

hasil analisis setelah melakukan pengamatan terhadap objek penelitian peneliti,

yaitu film trash menggunakan semiotika Roland Barthes sebagai pisau analisis.

Dengan menjelaskan bentuk dan representasi kekerasan simbolik pada remaja.

Langkah – langkah analisis semiotika tersebut disajikan mulai dengan

menunjukkan image-nya, kemudian menganalisis makna denotatif dan

konotatifnya. Disinilah inti dari penelitian yang dilakukan dalam bentuk skripsi

yang di dalamnya terdapat temuan terkait bentuk dan representasi kekerasan

simbolik pada remaja yang menjadi tema penelitian.

Untuk sampai pada titik mitos diproduksi, ada 2 tahapan signifikansi yang

dilalui menurut Barthes. Tahap pertama adalah denotasi, dan tahapan kedua adalah

konotasi. Denotasi adalah makna yang tampak, sedangkan konotasi identik dengan

‘mitos’ yang berfungsi sebagai pengungkap dan memberi pembenaran bagi nilai –

nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Dalam pembahasan film Trash, film beserta teksnya disebut sebagai makna

denotasi, dan penjelasan akan pemilihan gambar yang peneliti pilih disebut makna

konotasi. Tahap denotasi merupakan tahap pemaknaan tingkat pertama, tahap ini

dapat dilihat dengan jelas oleh mata. Tahap kedua adalah tahap konotasi, yaitu

pemaknaan tingkat kedua yang bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada
pergeseran makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai

tertentu.

A. Dominasi Kekuasaan

Kaum terdidik melakukan dominasi terhadap kaum yang lemah melalui

kemampuan berpikir yang dimilikinya. Salah satu dominasi yang dilakukan oleh

kaum terdidik adalah kejahatan kerah putih (Gunadi, 2009). Kejahatan Kerah putih

(White Collar Crime) adalah suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh

seseorang yang bekerja pada sektor pemerintahan atau sektor swasta. Sama halnya

yang terdapat pada film Trash.

4 04 00044.1 1

Gambar 4.1 Kaum penguasa mendominasi rakyat kecil dengan gaji yang kecil

Penjelasan umun adegan :

Narasi yang terbangun dalam adegan menit ke-7 detik ke-32 mengenai

Raphael dan Gardo yang melaksanakan kerja hariannya sebagai pemulung. Saat

itu, Gardo menuju tempat Raphael duduk. Dia mengeluh tentang gajinya yang

sedikit hanya karena dia masih bocah.


Makna Denotasi :

Pada gambar 4.1 memperlihatkan adegan ketika Gardo berjalan menuju

tempat duduk Raphael dengan sedikit ‘ogah’, karena sikapnya, dia tersandung dan

hampir jatuh. Sesampainya di tempat Raphael, Gardo lansung melempar tempat

penampungan sampahnya dan duduk di samping Raphael. Gardo mengeluh atas

tindakan bosnya yang menggajinya dengan murah hanya karena dia masih bocah.

Dari segi setting, terlihat bahwa adegan ini berlatar di penampungan. Hal

ini menjelaskan keseharian 2 remaja yang tiap hari berkutat dengan sampah.

Kameramen melakukan pengambilan gambar dari jarak jauh (Long shot) yang

memperlihatkan konteks dan jarak publik Gardo. Kemudian secara perlahan

bergerak ke jarak yang lebih dekat (Medium long shot) yang menunjukkan

hubungan personal antara Gardo dan Raphael.

Makna Konotasi :

Karakter ‘si bos’ telah melakukan dominasi terhadap kaum yang lebih

lemah dengan kemampuan berpikirnya. Dengan alasan masih anak – anak, si bos

ini memberikan upah yang rendah kepada Gardo. Karena kemampuan berpikir yang

jauh lebih hebat dibanding Gardo, maka ‘si bos’ ini dengan mudah mendominasi

Gardo. Ideologi yang muncul dari kekerasan simbolik yang terjadi antara Gardo

dan si Bos adalah ideologi kapitalisme.


B. Kekerasan Simbolik Multikultural

Gambar 4.2 Kaum minoritas dalam kelas dominan

Penjelasan umum adegan:

Narasi yang terbangun pada adegan ini adalah ketika Father Juilliard dan

Gardo mendatangi kantor polisi untuk melapor karena Raphael. Namun, petugas

polisi dengan santai menolak permintaannya karena sesuai budaya, mereka tidak

melayani kaum minoritas. Namun, Father Juilliard tetap bersikeras agar polisi bisa

mencari Rahael dengan mengatakan bahwa tempat yang dia datangi saat ini adalah

kantor polisi, tempat semua masyarakat bisa meminta tolong tanpa adanya

perbedaan mayoritas dan minoritas.

Makna Denotasi:

Pada gambar 4.2 memperlihatkan adegan father Juilliard dan Gardo yang

mendatangi kantor polisi untuk meminta bantuan agar segera menemukan Raphael
yang diculik. Adegan ini memperlihatkan bahwa orang – orang minoritas tidak

memiliki hak untuk melakukan pengajuan, ataupun meminta tolong pada petugas

polisi. Media menggambarkan bahwa orang – orang minoritas tidak memiliki hak

atas hal tersebut. Pada adegan ini terdapat beberapa tipe jarak pengambilan gambar

yaitu medium long shot, kemudian perlahan berubah menjadi medium shot dan

medium close up. Medium long shot yang dipadukan dengan tipe over shoulder shot

(OSS) memperlihatkan seorang petugas polisi yang lebih asik dengan gadgetnya

dibanding laporan Father Juilliard tentang diculiknya Raphael. Medium long shot

memungkinkan para penontonnya untuk menangkap konteks interaksi antara

petugas polisi dan Father Juilliard. Over Shoulder Shot membantu para audiens

untuk menentukan posisi setiap orang dalam frame dan mendapatkan ‘feel’ saat

menatap seseorang dari sudut pandang orang lain. Kamera berganti menyorot

Gardo yang sedang duduk dengan muka bingung dengan Medium Shot. Jarak

pengambilan gambar ini memperlihatkan setting sekaligus ekspresi dan gestur

tokoh. Jarak pengambilan gambar kemudian berubah lagi menjadi Medium close

up, memungkinkan audiens untuk dapat melihat ekspresi wajah Father Juilliard dan

Gardo secara lebih jelas.

Dari segi setting, adegan ini berlatarkan kantor polisi tempat Father Juilliard

dan Gardo melaporkan diculiknya Raphael. Kantor polisi yang digunakan dalam

adegan ini menunjukkan fungsi kantor polisi sebagai sarana pengeluhan

masyarakat, tempat pengaduan dan tempat mengadili suatu perkara yang berkenaan

dengan keamanan dan ketertiban dalam tingkatan yang ringan. Dalam kaitannya
dengan adegan ini, kantor polisi bisa dijadikan sebagai sarana pelaporan orang

hilang.

Makna Konotasi:

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan

pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan

kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keagamaan,

dan berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat yang

menyangkut nilai – nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang mereka anut.

Pada dasarnya, ketika dua kebudayaan bertemu, maka proses yang akan

muncul hanya terdapat 2 pilihan, yaitu asimilasi, atau multikulturalisme (Mundzir,

2012: 186). Jika asimilasi bermakna bahwa kebudayaan yang lemah harus

menyerahkan diri pada kebudayaan yang lebih kuat, maka multikulturalisme pada

dasarnya membiarkan dua kebudayaan untuk tetap bertahan di tengah – tengah

masyarakat. Namun, dalam kehidupan bermasyarakat, hampir dimana ada

mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, dst, pihak minoritas lebih

mudah di tindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak

mayoritas.

Dalam gambar 4.2 dijelaskan adanya pihak minoritas dan pihak mayoritas.

Dalam hal ini, pihak berkulit putih merupakan kaum mayoritas dan pihak berkulit

hitam adalah kaum minoritas. Dalam kasus ini, ada istilah yang disebut “dominasi

mayoritas”, yaitu ketika pihak mayoritas mendominasi sehingga pihak minoritas

terkalahkan kepentingannya.
Dalam adegan ketika Father Juilliard meminta agar petugas polisi mencari

Raphael yang di culik namun ditolak oleh petugas dengan alasan bahwa mereka

tidak melayani minoritas, sebenarnya tokoh polisi sedang memperlihatkan

dominasinya sebagai kaum mayoritas. Di dalam masyarakat dengan 2 budaya

dimana mayoritas sebagai tokoh dominan, akan membentuk suatu budaya yang

menguntungkan mereka. Dalam adegan ini, budaya yang terbentuk adalah

mengesampingkan minoritas dalam hal pelayanan publik.

Konsep kekerasan simbolik menurut Bourdieu merupakan sebuah

mekanisme yang digunakan dalam kelompok dominan dalam struktur masyarakat

untuk memaksakan secra halus habitus (ideologi, budaya, kebiasaan, gaya hidup)

terhadap kelompok minoritas (Martono, 2012: 39). Dalam hal ini, budaya yang

melekat bahwa warga laporan warga minoritas tak akan di tanggapi, padahal yang

sebenarnya, polisi harusnya menjadi pengayom masyarakat serta masyarakat selalu

sama di depan hukum tanpa ada perbedaan. Selain itu, istilah minoritas sengaja

dipakai secara sistematis untuk memojokkan ke posisi martinal atau memberi label

‘tidak penting’ dalam hubungan dengan kekuatan politik yang dominan. Dengan

demikian, perasaan rendah diri dan tak berdaya semakin mendalam terbatinkan.
Kekerasan simbolik yang merepresentasikan bahwa masyarakat minoritas

selalu terbelakang serta jauh dari modernitas diperlihatkan dari penggunaan simbol

yang melekat dalam diri masyarakat minoritas. Dalam hal ini, masyarakat Behala

sebagai kaum minoritas digambarkan sebagai masyarakat yang terbelakang dan

jauh dari modernitas.

Gambar 4.3 Penggambaran Minoritas

Gambaran umum adegan:

Adegan yang disajikan pada gambar 4.3 merupakan bagian dari opening

scene, adegan ketika tokoh utama (Raphael dan Gardo) diperkenalkan. Adegan di

menit ke-5 detik ke-38 menampilkan aktivitas masyarakat pemulung di Behala.

Mereka sedang memilah – milah barang diantara tumpukan sampah ketika truk –

truk yang mengangkut sampah datang dari berbagai tempat. Para pemulung pun
dengan cepat berlari ke arah truk – truk tersebut dan berlomba mencari barang yang

masih layak mereka jual. Diantara para pemulung tersebut, ada dua orang remaja,

Raphael dan Gardo turut mencari barang – barang yang baru di tumpahkan dari

truk. Di antara tumpukan – tumpukan sampah tersebut, Raphael menemukan

dompet berisi uang, yang kemudian diketahui milik Jose Angelo.

Makna Denotasi:

Masyarakat minoritas di Behala di gambarkan sebagai masyarakat kelas

bawah yang berprofesi sebagai pemulung. Hal ini diperjelas dengan aktivitas –

aktivitas mereka di tempat pembuangan sampah lengkap dengan kostum yang

mereka pakai. Baju yang sudah kusam, sepatu, topi, karung dan tong yang

disenderkan di bahunya memperjelas statusnya sebagai pemulung.

Pada adegan ini, terdapat beberapa angle kamera yang digunakan. Adegan

(1) menggunakan tipe long Shot yang memperlihatkan tubuh fisik para pemulung

yang tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Gambar kemudian

berpindah menyorot tumpukan sampah dan seorang pemulung (gambar (2) dan (3))

serta gambar (4) menggunakan medium shot yang memperlihatkan pemulung yang

mulai dominan dalam frame. Medium shot memperlihatkan hubungan personal.

Gambar (5) dan (6) menggunakan high angle, yaitu kamera ditempatkan lebih

tinggi dari objek. Gambar (5) dan (6) memperlihatkan kesan bahwa gambar yang

di ambil memiliki status sosial yang rendah, kecil, terabaikan, lemah dan berbeban

berat. Gambar kemudian berganti menyorot tokoh utama dalam film ini, yaitu

Raphael. Raphael digambarkan sebagai seorang remaja yang menggunakan kaos


kusam kuning kecoklatan, ikat kepala, kaos tangan dan menenteng karung serta

pekerja lain yang berlomba – lomba mencari barang yang masih layak mereka jual.

Gambar kemudian berpindah lagi menyorot Raphael yang menemukan sebuah

dompet (gambar 9). Adegan di gambar (9) menggunakan tipe close up yang

memperlihatkan sebuah objek dengan jelas dan sangat mendetail.

Setting utama adalam adegan ini adalah di tempat pembuangan sampah

terbesar, Behala. Untuk setting waktu, adegan ini di ambil pada siang hari.

Makna Konotasi:

Bentuk dominasi simbolik terlaksana melalui jalan simbolis komunikasi dan

pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan karena ketidaktahuan dan pengakuan

korbannya. Hubungan sosial seperti ini anehnya sangat biasa dan menawarkan

kesempatan istimewa untuk memahami logika dominasi yang berjalan atas nama

simbolik. Prinsip yang yang diakui dan dikenal baik oleh yng mendominasi dan

yang di dominasi. Prinsip ini berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, bertindak,

ciri – ciri khas, stigma. Sedangkan yang paling efektif secara simbolis adalah ciri

tubuh, padahal sebetulnya sangat sewenang – wenang, yaitu warna kulit (Bourdieu,

dalam Haryatmoko, 2010: 13)

Kekerasan simbolik terjadi dalam adegan ini adalah warna kulit hitam yang

dilekatkan dengan ciri – ciri negatif pada suku atau ras tertentu, serta pihak yang

lebih rendah dibanding warna kulit putih. Dalam adegan ini, warga minoritas yang

sebagian besar berkulit hitam dilabeli “terbelakang dan jauh dari modernitas”. Hal

ini memperlihatkan adanya bias tertentu dalam pencitraan terhadap ‘sang lain’.
Dalam adegan diatas, digambarkan masyarakat minoritas yang terbelakang dan

jauh dari modernitas,yaitu diperlihatkan bahwa masyarakat minoritas, terbiasa

bekerja di tempat kotor, bermain dengan sampah, berebut sampah, pakaian kotor

dan compang – camping hingga pada gambar (9) yang memperlihatkan Raphael

yang menemukan dompet yang berisi uang. ‘harta karun’ yang ditemukan Raphael

kemudian dia sembunyikan agar orang lain tidak melihatnya, hal ini

memperlihatkan bahwa uang adalah harta karun paling berharga bagi masyarakat

minoritas.
Gambar 4.4 Perbedaan Strata dalam masyarakat berdasarkan warna kulit

Gambaran umum adegan:

Narasi yang terbangun pada gambar 4.4 adalah ketika Raphael, Gardo, dan

Rato meminta Olivia untuk menemui seseorang di penjara. Hal ini mereka lakukan

setelah Raphael menerima tidak kekerasan fisik dari Frederico dan anak buahnya

karena Raphael tidak memberikan dompet milik Jose Angelo. Gardo mengatakan

bahwa Raphael membutuhkan seorang pengacara, dan mengatakan bahwa

kakeknya adalah pengacara, sayangnya kakek Gardo saat ini ada di penjara. Olivia

bingung, lalu bertanya pada 3 remaja tersebut, “kenapa kau memerlukanku?” lalu
ketiga remaja ini menjawab, karena Olivia adalah orang Amerika berkulit putih,

berbeda dengan ketiga remaja tersebut yang berkulit hitam.

Makna Denotasi:

Gambar 4.4 memperlihatkan adegan ketika Raphael, Gardo dan Rato

meminta Olivia untuk bertemu dengan kakek Gardo yang sedang di penjara, untuk

menjadi pengacara Raphael. Hal itu mereka lakukan untuk berjaga – jaga dari

Frederico, karena sebelumnya Frederico dan anak buahnya menculik dan

menghajar Raphael. Gambar 4.4 memerlihatkan bahwa masyarakat minoritas

berkulit hitam dilarang mendekati penjara (sarana pemerintah). Karena aturan dari

pemerintah tersebut, Raphael, Gardo dan Rato takut untuk mendekati penjara dan

lebih memilih untuk meminta tolong pada Olivia yang berkulit putih.

Pada adegan ini, tipe pengambilan gambar yang digunakan adalah medium

close-up, hal ini memperlihatkan hubungan personal antara Olivia, Raphael, Gardo

dan Gabriel (Rat). Dari segi setting, terlihat bahwa adegan ini berlatarkan di rumah

Olivia. Latar rumah yang digunakan dalam adegan ini menunjukkan bahwa fungsi

rumah, selain tempat untuk tidur juga tempat berkumpul, membahas cerita

kehidupan sehari – hari hingga membuat rencana.

Hal yang menarik adalah ketiga remaja ini meminta Olivia untuk

berkunjung ke penjara karena hanya dia yang berkulit putih yang bisa dimintai

tolong.
Makna Konotasi:

Dalam dominasi simbolik, terdapat cara sebuah dominasi itu dipaksakan

dan diderita sebagai kepatuhan, efek dari kekerasan simbolik, kekerasan halus, tak

terasakan, tak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri (Bourdieu, dalam

Haryatmoko, 2010: 13)

Gambar 4.4 memperlihatkan adanya diskriminasi antara kaum minoritas

berkulit hitam dan pemerintah yang membuat aturan berkulit putih. Hasil dari

kekerasan simbolik dalam adegan ini bahwa korban dari kekerasan simbolik

(Raphael, Gardo, dan Gabriel) mengakui bahwa mereka masyarakat berkulit hitam

juga sebagai minoritas tidak berhak atas apapun yang terkait dengan pemerintahan.

Seperti, laporan dari minoritas yang ditolak, mengunjungi sarana pemerintahan

seperti penjara pun tidak dibiarkan. Mengapa hal tersebut terjadi? Pertama, adanya

penindasan atau penafikan atas dasar kepemilikan etnis, agama atau bentuk

minoritas lainnya. Dikotomi antara “kita” (kelompok dominan) dan “mereka”

(diluar anggota kelompok dominan) dilembagakan dalam rangka menjauhkan

kelompok minoritas dari posisi kekuasaan. Pelembagaan diskriminasi ini terjadi di

wilayah – wilayah penting dalam kehidupan seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan

– jabatan publik, dan hubungan sosial yang lain. Agar diskriminasi ini memperoleh

legitimasi, kelompok – kelompok minoritas secara berbudaya atau etnis ditekan dan

dianggap tidak berhak sehingga kehilangan self-worth. Kedua, istilah minoritas

sengaja dipakai secara sistematis untuk memojokkan ke posisi martinal atau

memberi label ‘tidak penting’ dalam hubungan dengan kekuatan politik yang
dominan. Dengan demikian, perasaan rendah diri dan tak berdaya semakin

mendalam terbatinkan.

C. Eksplorasi tubuh perempuan

Gambar
Gambar 4.5
4.5 Eksplorasi tubuh perempuan
eksplorasi tubuh perempuan secara
secara berlebihan
berlebihan

Penggambaran umum adegan:

Narasi yang terbangun dari adegan ini adalah ketika Gardo bertemu dengan

perempuan malam di salah satu jalan di perkampungan kumuh setelah Gardo

meninggalkan meniggalkan Raphael dan Gabriel dengan alasan mencari makan.

Saat mencari sisa – sisa makanan, seorang perempuan dengan pakaian mini

mendatanginya. Gardo terlihat salah tingkah, kemudian mencuri pandang ke arah

perempuan tersebut.
Makna Denotasi:

Pada adegan 4.5 memperlihatkan adegan ketika Gardo bertemu dengan

seorang perempuan. Perempuan ini digambarkan sebagai seorang perempuan seksi

yang ditunjukkan melalui kostum yang dipakainya. Terlihat, kostum yang dipakai

perempuan ini adalah pakaian khas penari yang tipis tanpa lengan, potongan lebar

hingga memperlihatkan bagian dada, memperlihatkan punggung serta potongan rok

yang pendek di atas lutut. Melalui penggambaran tersebut, media menggambarkan

perempuan sebagai sosok yang seksi, dengan kemolekan tubuh yang dimilikinya,

perempuan percaya bisa memikat banyak lelaki di sekitarnya.

Perempuan ini mendekati Gardo tanpa ada jarak yang membatasinya, cara

perempuan ini menatap Gardo pun terkesan genit. Perempuan ini lalu menyapa

Gardo, “hey nak. Kau lapar? Mau makan yang enak?”. Perkataan ‘nak’

menunjukkan dominasinya yang lebih tua dibanding Gardo, sedangkan ajakan

tersebut memperlihatkan bentuk rayuan.

Pada adegan ini terdapat 2 tipe pengambilan gambar, yaitu medium shot dan

medium close up. Adegan ketika perempuan itu sedang mendekati Gardo

menggunakan tipe pengambilan gambar Medium shot yang memperlihatkan setting

sekaligus ekspresi dan gestur tokoh, dalam hal ini meperlihatkan ekspresi

perempuan yang dengan genit mendekati Gsrdo. Kamera kemudian berganti

menyorot Gardo dengan tipe pengambilan gambar medium close up. Medium Close

up yang digunakan memperlihatkan dengan jelas raut wajah Gardo yang sedang

menatap dada si perempuan dan terlihat salah tingkah.


Setting yang digunakan dalan adegan ini adalah pinggir jalan yang penuh

dengan orang yang sedang berpesta. Sedangkan untuk setting waktu, adegan ini

terjadi pada malam hari, waktu yang cocok untuk melakukan pesta.

Makna Konotasi:

Melalui penggambaran tubuh perempuan dalam gambar 4.5, menjelaskan

bahwa konteks perempuan ideal seringkali digambarkan dari tampilan tubuh yng

sensual dari kepala hinga kaki. Mulai dari bentuk tubuh dengan lekuk indah dan

memiliki proporsi yang fantastis di beberapa bagian, hingga kaki yang bebas dari

bulu.

Perempuan yang ada dalam gambar 4.5 sadar atau tidak, telah mengalami

kekerasan simbolik. Perempuan – perempuan yang memerankan adegan

sensualisme dan erotisme sesungguhnya, sadar atau tidak rela menempatkan dirinya

sebagai objek tatapan pria (male gaze). Rela menjadikan dirinya korban kekerasan

simbolik. Kekerasan seperti inilah yang dipertontonkan menjadi teman sarapan

hingga teman pelepas lelah di malam hari.


D. Distorsi, pelencengan, pemalsuan dan plesetan.

Gambar 4.6 Pemalsuan dan plesetan merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik

Gambaran umum adegan:

Adegan yang disajikan pada gambar 4.6 adalah adegan ketika Raphael,

Gardo dan Gabriel (Rat) menuju terminal kereta api di kota untuk mencari loker

milik Jose Angelo. Ketiga remaja ini melewati lorong bawah tanah untuk

menghindari polisi. Namun, mereka tertahan oleh 3 remaja berandalan yang

ternyata rekan kerja Gabriel dulu. Gabriel kemudian di tahan dan bertanya tentang

Raphael dan Gardo. Gabriel kemudian menjawab bahwa Raphael dan Gardo adalah

temannya. Namun, remaja berandalan ini malah berteriak dan mengatakan bahwa
Gabriel menipunya. Tak habis sampai disitu, Remaja ini memaki Gabriel, “dasar

kurap! Kau tidak memiliki teman”

Makna Denotasi:

Pada gambar 4.6 memperlihatkan adegan ketika Raphael, Gardo dan

Gabriel dihadang oleh 3 remaja berandalan yang merupakan rekan kerja Gabriel

dahulu. Bos mereka kemudian bertanya kepada Gabriel tentang Raphael dan Gardo,

kemudian dijawab oleh Gabriel bahwa mereka berdua adalah temannya, namun

remaja berandalan ini justru mengatai Gabriel ‘si kurap yang tidak memiliki teman’

yang mengacu pada penyakit kurap yang diderita Gabriel.

Adegan ini menggunakan tipe medium close up dalam jarak pengambilan

gambar. Hal ini memperlihatkan hubungan personal antara Gabriel dan si ‘bos’.

Dari segi setting, Adegan ini di ambil di lorong bawah tanah kereta api, tempat

tinggal para pekerja kasar, orang – orang rendah dan buangan. Dari segi waktu,

adegan ini berlansung siang hari, namun warna gelap mendominasi tempat tersebut,

karena berada di lorong bawah tanah. warna gelap (hitam) sendiri merupakan

lambang untuk sifat gulita dan kegelapan.

Karakter yang cukup dominan dalam adegan ini adalah si ‘bos’ berandalan

yang menghujat Gabriel. Si ‘bos’ ini diperlihatkan sebagai tipe remaja pemarah

juga sok berkuasa.

Makna Konotasi:

Secara umum, kekerasan simbolik merupakan berbagai bentuk kekerasan

tak kasat mata, seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan, dan pemaksaan
simbol. Salah satu bentuk kekerasan simbolik adalah pemalsuan dan plesetan..

Plesetan merupakan bentuk kata yang mirip dengan makna pragmatik yang baru

pula. Plesetan merupakan bentuk kritik secara tidak lansung.

Dalam gambar 4.6, mengandung unsur plesetan. Ketika si ‘bos’ memaki

Gabriel dengan ucapan “dasar kurap!” saat itu pula, Gabriel menjadi korban

kekerasan simbolik. Kurap merupakan penyakit kulit karena infeksi jamur yang

mudah menular. Menurut si ‘bos’, Gabriel adalah anak berpenyakit menjijikkan

yang dihindari orang sehingga tidak berhak memiliki teman.

Gambar 4.7 Pemalsuan makna


Gambaran umum adegan :

Adegan yang disajikan dalam gambar 4.7 memperlihatkan percakapan

antara Raphael dan Frederico di makam Pia, anak Jose. Frederico yang telah

menangkap Gardo dan Gabriel (Rat) memaksa Raphael untuk menunjukkan harta

yang disembunyikan Jose, yang ternyata disimpan di makam palsu milik Pia.

Setelah menunjukkan tempat harta tersebut, Frederico kemudian berkata kepada

Raphael, “sebagian kecoak tidak akan menyerah. Meski terus kau injak, si bangsat

ini tidak bisa mati”

Makna Denotasi:

Pada gambar 4.7 memperlihatkan adegan ketika Frederico memaksa

Raphael memberi tahu tempat harta milik Santos disembunyikan. Setelah

mengetahui tempat tersebut, Frederico menyebut bahwa Raphael seperti kecoak,

yang meski diinjak berkali – kali, tidak pernah bisa mati. Sebutan tersebut bukan

tanpa alasan, mengingat bahwa sebelumnya Frederico pernah menyiksa Raphael

hingga sekarat. Bahkan, Frederico meminta anak buahnya untuk membunuh

Raphael, namun gagal.

Adegan ini menggunakan tipe medium close up dan medium shot yang

dipadukan dengan tipe open shoulder shot. Tipe ini memperlihatkan hubungan

personal, serta tipe open shoulder shot open shoulder shot yang membantu para

audiens untuk menetukan posisi setiap orang dalam frame dan mendapatkan ‘feel’

saat menatap seseorang dari sudut pandang orang lain.


Dari segi setting, adegan ini berlatarkan di pemakaman St. Francis, tempat

Jose Angelo menyimpan harta yang diambil dari Santos dan menitipkan Pia pada

pengurus disana. Untuk setting waktu, adegan ini berlansung malam hari.

Makna Konotasi:

Kekerasan simbolik beroperasi melalui prinsip simbolik melalui bahasa,

cara berpikir dan cara bertindak. Kekerasan simbolik melalui bahasa bisa berupa

distorsi, pemalsuan makna, pelencengan dan plesetan. Pada gambar di atas, bentuk

kekerasan plesetan. Plesetan merupakan bentuk kritik secara tidak lansung.

Penggunaan kata “kecoak” mengkonotasikan sesuatu yang menjijikkan, masalah.

gangguan. Selain kata ‘kecoak’ Frederico juga mengumpat menggunakan kata

‘bangsat’. Bangsat menganalogikan sesuatu yang berengsek, munafik dan usil.


E. Korupsi

Gambar 4.8 Kejahatan Struktural dan Korupsi

Gambaran umum adegan:

Narasi yang terbangun dalam adegan ini adalah ketika Senator Santos

bertemu dengan kliennya (pebisnis pendukung Santos). Pebisnis tersebut

memberikan uang untuk biaya pemilu dengan syarat pemberian wewenang setelah

Santos menjadi Walikota. Uang tersebut diambil oleh Jose Angelo, tangan kanan

Santos kala itu. Pebisnis – pebisnis yang telah memberikan uang kepada Santos

sebagai biaya pemilu kemudian Santos catat di buku miliknya. Santos juga berpikir

untuk menyuap polisi.


Makna Denotasi:

bentuk kekerasan simbolik yang terlihat dalam gambar 4.8 adalah kejahatan

struktural berupa korupsi yang dilakukan oleh Santos. Melalui penggambaran

tersebut, dijelaskan bahwa korupsi bisa terjadi dimana saja, oleh siapa saja serta

bisa dilakukan dalam berbagai cara salah satunya menerima dana dari pebisnis

sebagai uang kampanye, serta menyuap polisi untuk tidak melaporkan tidakannya.

Adegan ini menggunakan medium shot, medium close-up, dan close up.

Medium shot memperlihatkan hubungan personal, medium close-up

memperlihatkan keintiman, sedangkan tipe close-up digunakan untuk

memperlihatkan sesuatu yang sangat mendetail, dalam hal ini memperlihatkan uang

dan buku catatan milik Santos.

Karakter dominan dalam adegan ini adalah karakter Santos. Santos

digambarkan sebagai lelaki paruh baya yang ambisius, serta memiliki sifat yang

buruk, yaitu menghalalkan segala cara agar bisa mencapai keinginannya.

Makna Konotasi:

Korupsi sudah menjadi kejahatan struktural, yaitu kekerasan yang

merupakan hasil dari interaksi sosial yang berulang dan berpola yang menghambat

banyak orang untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar. Telah begitu mengakarnya

korupsi hingga membentuk struktur kejahatan, yaitu “faktor negatif yang terpateri

dalam institusi – institusi masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan

bersama” (B. Sesbüé dalam Haryatmoko, 2010: 60). Karena sistematis, korupsi

sudah seperti mafia, yang menunjukkan gejala krisis institusional negara dimana
ketidakadilan lebih dominan dibanding keadilan. Korupsi yang merajalela bahkan

mengaburkan batas antara yang boleh dan yang dilarang, yang legal dan ilegal,

pelanggaran dan norma. Korupsi telah menjadi kejahatan yang sangat mengakar

dan habitus buruk bangsa.

Habitus dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis

yang tidak selalu disadari. Tindakan praktis tersebut menjadi suatu kemampuan

yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Sama

seperti korupsi yang sudah menjadi tindakan praktis yang tidak menumbuhkan rasa

salah. Makanya, setiap orang yang masuk dalam struktur kekuasaan cenderung

korupsi.

Korupsi menyentuh sendi – sendi kekuasaan sampai pada sistem peradilan,

aparat penegak hukum,dan DPR. Negara yang secara institusional sarat korupsi

mengkondisikan munculnya bentuk – bentuk kriminalitas yang lain. Pemerintah

yang korup tidak berwibawa. Akibatnya, muncul peradilan jalanan, kelompok –

kelompok paramiliter untuk melindungi kepentingan suatu kelompok atau

memaksakan aspirasinya kepada pihak lain. Kejahatan korupsi biasanya

ditanamkan melaui proses mimesis. Bila ada upaya untuk melawan atau bersikap

jujur, lingkungan akan meberikan sanksi. Akhirnya, kepatuhan tanpa tekanan akan

mengikuti karena menyesuaikan diri menjanjikan keuntungan materi dan simbolis.

Korupsi mengkomunasikan praktek pelaksanaan kekuasaan. Modalitas

praktek yang dipakai nampak dalam cara pembuatan laporan, cara berinteraksi

dengan atasan atau dengan instansi lain, dalam kontrak, cara membuat anggaran,
cara mendapat jabatan, penempatan anak buah, penerimaan anggota barusyarat

urusan bisa beres.

Modalitas ini sulit ditolak karena cukup tersembunyi dan sengaja dibuat

untuk tidak meninggalkan jejak. Namun, masih bisa dirasakan bahwa ada yang

tidak beres. Dibalik praktik korupsi, tersembunyi kode rahasia. Kerahasiaan ini

hanya akan tersingkap bila terjadi krisis hubungan diantara yang terlibat.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, maka adapun kesimpulan yang

dieroleh dari penelitian ini adalah :

1. Bentuk – bentuk kekekerasan simbolik pada remaja yang ditampilkan dalam

film ini terjadi melalui penggambaran beberapa tokoh yang ada dalam film ini.

Tokoh – tokoh yang dimaksud adalah para remaja yang memiliki peran khusus

dalam film tersebut. Bentuk – bentuk kekerasan simbolik yang dialami remaja

dalam film ini adalah : (1) Dominasi kekuasaan (2) Kekerasan simbolik

multikultural, (3) Eksplorasi tubuh perempuan, (4) Distorsi, Pelencengan,

Pemalsuan dan plesetan dan (5) Korupsi.

Adegan – adegan yang memperlihatkan kekerasan simbolik pada remaja

memberikan gambaran dengan jelas bahwa kekerasan simbolik sebenarnya

sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari, dan salah satu korbannya adalah

remaja.

2. Representasi kekerasan simbolik pada remaja dalam film Trash

direpresentasikan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.

Dominasi kekuasaan. Bentuk kekerasan simbolik yang terlihat pada tataran

denotasi adalah: Tindakan bos Gardo yang mengganggap bahwa Gardo

masih bocah sehingga gajinya kecil. Bentuk kekerasan simbolik pada

tataran konotasi adalah: Dominasi yang dilakukan bos Gardo adalah bentuk
kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan jenis ini adalah

bentuk kejahatan yang dilakukan orang – orang yang bekerja pada sektor

pemerintahan. Dominasi ini seringkali dilakukan atasan ke bawahan.

b. Kekerasan simbolik multikultural. Bentuk kekerasan yang terlihat pada

tataran denotasi adalah: penolakan pemenuhan hak – hak minoritas oleh

mayoritas, penggambaran minoritas yang terbelakang dan jauh dari

modernitas serta perbedaan strata dalam kehidupan bermasyarakat

berdasarkan warna kulit. Bentuk kekerasan simbolik yang terlihat dalam

tataran konotasi adalah: pelanggaran hak – hak minoritas (masyarakat

berkulit hitam) oleh mayoritas (masyarakat berkulit putih)

c. Eksplorasi tubuh perempuan. Bentuk kekerasan simbolik pada tataran

denotasi adalah: pemberian ‘label’ pada perempuan (stereotype). Bentuk

kekerasan simbolik pada tataran konotasi adalah: kontek penggambaran

perempuan ideal seringkali digambarkan dari tampilan tubuh yang sensual

dari kepala hingga kaki sehingga menempatkan perempuan sebagai objek

tatapan pria (male gaze).

d. Distorsi, Pelencengan, Pemalsuan dan Plesetan. Bentuk kekerasan simbolik

pada tataran denotasi adalah: penggunaan kalimat – kalimat menghina

dengan pengandaian (pemalsuan makna). Bentuk kekerasan simbolik pada

tataran konotasi adalah bentuk – bentuk kekerasan simbolik melalui

perkataan merupakan bentuk kata yang mirip dengan pragmatik. Bentuk

kekerasan simbolik melalui kata ini merupakan bentuk kritik dan

penghinaan secara tidak lansung.


e. Korupsi. Bentuk kekerasan simbolik pada tataran denotasi adalah: adanya

kekerasan strukturan berupa korupsi yang terjadi bukan hanya karena satu

orang, tetapi banyak orang. Bentuk kekerasan simbolik pada tataran

konotasi adalah: kekerasan simbolik seperti korupsi merupakan kejahatan

struktural yang menyentuh segala sendi – sendi kekuasaan sampai pada

sistem peradilan, aparat penegak hukum, dst yang menimbulkan bentuk –

bentuk kriminalitas lain.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah disajikan, adapun saran – saran

penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika sebagai pisau analisis yang

menarik untuk dikaji lebih lanjut. Mengingat metode ini sangat terbuka terhadap

ilmu lain di luar ilmu komunikasi, sehingga memberi kemudahan bagi orang –

orang yang ingin melakukan penelitian serupa menggunakan analisis semiotika.

2. Untuk pengembangan kajian pada bidang Ilmu Komunikasi, sebaiknya perlu

dipertimbangkan untuk memperdalam pengetahuan mahasiswa tentang kajian –

kajian analisis teks seperti analisis semiotika, analisis framing, dan analisis

wacana karena bidang kajian tersebut sangat membantu dalam memahami

pesan – pesan dalam proses komunikasi.


DAFTAR PUSTAKA

Rujukan buku
Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.

Barthes, Roland. 1993. Mythologies. (Terj. Jonathan Cape). Paris: Cox & Wyman
Ltd.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada

Gunadi. 2009. Akuntansi Perpajakan Edisi Revisi 2009. Jakarta: PT. Grasindo

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar kekerasan dan Diskriminasi.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera.

Marselli, Sumarno. 1996. Dasar – Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Jaya.

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada

Mudjiono, Yoyon. 2011. Kajian Semiotika Dalam Film. Jurnal Ilmu Komunikasi,
Vol. 1, No.1, April, ISSN: 2088-98IX, hal. 125 – 138

Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


---------------. 2009. Analisis Teks Media : Suatu pengantar untuk analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Cetakan kelima. Bandung: PT
Remaja Rosdkarya.
---------------. 2012. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Cetakan keenam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung:


Alfabeta.

Sunarto. 2009. Televisi. Kekerasan & Perempuan. Jakarta: Kompas Media


Nusantara.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta:
JALASUTRA

Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Rujukan Jurnal
Alnashava J, Preciosa. 2012. Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan
Romantis dalam Serial Komedi Situasi How I Met Your Mother. Universitas
Indonesia

Ardina Barata, Patrick. 2017. Strukturisasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik


dalam Cerpen ‘Ayam’, ‘Suatu Malam Suatu Warung’ dan ‘Tahi’ dalam
Kumpulan Cerpen ‘Hujan Menulis Ayam’ Karya Sutardji Calzoum Bachri:
Sebuah Perspektif Pierre Bourdieu. Universitas Sanata Dharma

Ayu Iswari, Diyah. 2011. Representasi Kekerasan Anak di Media (Studi semiotika
kekerasan pada anak yang direpresentasikan dalam Film Slumdog
Millionaire). Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, digilib.uns.ac.id,
diakses 15 Oktober 2017

Gronstad, Asbjorn. 2008. Film Culture in Transition. Violence, Death, and


Masculinity in American Cinema. Amsterdam: Amsterdam University Press

Hasnah, Nurhayati. 2015. Representasi Kekerasan Simbolik pada Tubuh


Perempuan dalam Media Massa Online Khusus Perempuan (Studi Kasus
pada Rubrik Fashion dan Beauty Website Wolipop). Universitas Negeri
Semarang

Mourkabel, Nayla. 2009. Sri Lankan Housemaids in Lebanon: A Case of ‘Symbolic


Violence’ and ‘Everyday Forms of Resistance’. Amsterdam: Amsterdam
University Press

Mubin, Imam. 2016. Konsumerisme dalam Film The Truman Show. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin

Munandari Natalia, Aan. 2015. Representasi Kekerasan dalam Film Comic 8. E-


Komunikasi Universitas Kristen Petra, Surabaya. Diakses 15 Oktober 2017
Noor Korompot, Syaffirah. 2017. Representasi Seksisme dalam Film Her. Skripsi
Tidak Diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin

Nuur Ilmi, Mutia. 2017. Makna Waktu dalam Film In Time (Sebuah Analisis
Semiotika). Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin

Suryanti, Dewi. 2016. Kekerasan Simbolik Tayangan Drama Seri Korea Terhadap
Perilaku Remaja Asrama Putri Kabupaten Kutai Timur. E-Journal
Universitas . Diakses 13 November 2017

Sumber dari internet :


https://en.wikipedia.org/wiki/Trash_(2014_film) (diakses tanggal 9 Oktober 2017)
http://www.imdb.com/title/tt1921149/ (diakses tanggal 9 Oktober 2017)
https://janebookienary.wordpress.com/2015/05/29/trash-anak-anak-pemulung-
andy-mulligan/ (Diakses tanggal 13 Oktober 2017)
http://variety.com/2014/film/festivals/film-review-trash-1201323827/ (Diakses
pada 13 Oktober 2017)
http://www.antikorupsi.org/id/content/film%E2%80%98trash%E2%80%9-bukti-
siapapun-bisa-lawan-korupsi (Diakses 15 Oktober 2017)
https://news.detik.com/berita/2584418/survei-ri-unicef-15-juta-remaja-alami-
kekerasan-seksual-1-tahun-terakhir (Diakses 26 November 2017)
https://ww.tribute.ca/people/stephen-daldry/5763/ (diakses tanggal 12 Januari
2018)
https://www.britannica.com/biography/stephen-dadry (diakses tanggal 12 Januari
2018)
http://www.republika.co.id/ (diakses pada tanggal 20 Januari 2018)
https://chitchatmedio.wordpress.com (diakses 19 Januari 2018)
PROFIL PENELITI

Fira Anggraeni, lahir di Salassae, Kab. Bulukumba,


23 Desember 1996. Peneliti merupakan anak kedua dari 5
(lima) bersaudara dari pasangan orang tua Mahmuddin dan
Rosmiati.

Peneliti menempuh pendidikan di Sekolah Dasar


(SD) Negeri 244 Salassae, kemudian melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 6
Bulukumba (Sekarang SMPN 17 Bulukumba). peneliti kemudian melanjutkan
pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bulukumba.

Peneliti kemudian melanjutkan kuliah sarjana (S1) pada tahun 2014 dengan
mengambil program Jurnalistik pada Departemen Ilmu Komunikasi di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makasar. Peneliti telah
menyelesaikan studi pada tahun 2018.

Data Pribadi:

Nama Lengkap : Fira Anggraeni

Tempat / Tanggal Lahir : Salassae, 23 Desember 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Sahabat 3 No. 38

Email : leefhyy@gmail.com

No. Hp : 082292744652

Anda mungkin juga menyukai