Sementara itu wartawan kawakan sekaliber Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul: “Bahasa
Jurnalistik” (1984: 13) pernah memberikan patokan standar dalam menulis karya jurnalistik,yaitu
harus mematuhi aturan pokok di bawah ini:
1. Gunakan KALIMAT PENDEK.
2. Gunakan bahasa yang MUDAH DIPAHAMI.
3. Gunakan BAHASA SEDERHANA dan jelas pengutaraannya.
4. Gunakan bahasa TANPA kalimat majemuk.
5. Gunakan bahasa BERKALIMAT AKTIF, bukan pasif.
6. Gunakan BAHASA KUAT dan padat.
7. Gunakan bahasa POSITIF bukan NEGATIF.
Lebih jauh Najib menjelaskan bahwa khusus bagian akhir naskah artikel, umumnya para penulis
artikel mencantumkan identitas penulis beserta gelar (by name) dan profesi yang tengah
disandang.
Kemudian Ashadi Siregar dalam buku bertajuk “Menjadi Penulis di Media Massa” (1993; 28)
mengungkapkan, untuk menilai layak tidaknya sebuah artikel dimuat; setiap redaktur koran
memperhatikan faktor AKTUAL-itas ini.
Daya tarik sebuah opini—salah satu pusatnya—terletak pada sajian informasi terbaru yang
diwacanakan penulis. Semakin baru informasi (fresh and hot information) yang ditampilkan,
umumnya jarang pula penulis yang mengupas tentang tema itu. Berdasarkan analisis
JURNALI$TIK, jenis tulisan macam inilah yang “DIRINDUKAN” pihak redaksi koran-koran
ternama.
Koran harian dan majalah yang beredar di Tanah Air lebih dari seratus buah. Koran-
koran&majalah itu galibnya menyediakan RUBRIK OPINI bagi penulis luar seperti kolumnis
tersebut.
Mencoba Peruntungan, Harus Punya Nyali!
Kita sering kali melihat rubrik opini dalam banyak media massa nasional maupun lokal diisi oleh
orang-orang yang telah memiliki nama, entah politikus, pakar, praktisi, ataupun lainnya. Lantas
bagaimana untuk kita pemula yang baru memulai menulis opini. Berikut penulis berikan
beberapa rekomendasi saran berdasarkan pengalaman penulis.
1. Jika Anda mahasiswa yang baru saja memulai menulis, maka cobalah masukan tulisan
Anda ke media kampus. Paling tidak kita bisa melihat dan mengukur sejauh mana kualitas
tulisan kita untuk dibaca oleh sivitas akademika.[3]
2. Baik menulis di media kampus maupun media massa lokal-nasional, kenali jenis media
Anda. Bagaimana kebijakan redaksi, apa orientasi politik (meskipun media massa tidak
berhubungan dengan politik tapi coba tengok pemilik media tersebut).
3. Jangan pernah berhenti untuk mencoba menulis. Ingat semakin pisau diasah akan
semakin tajam, begitupula dengan menulis, dan ingat pula ide gagasan akan muncul
dengan sendirinya ketika kita ‘memaksakan diri’ untuk menulis.
KOMPAS.com - Wanita ini bernama LouAnne Johnson. Sederhana, tampak sangat cerdas
dan bijaksana. Di tahun 1989 ia memilih meninggalkan kesatuannya di marinir Amerika lalu
mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik, di Carlmont High School, Belmont, California,
yang isinya murid-murid paling brengsek, sangat tidak termotivasi, tak mau dididik.
Menimbang-nimbang pengalamannya menegakkan disiplin di marinir, LouAnn mencoba
pendekatan berbeda untuk mendapatkan perhatian serta respek dari ‘berandalan-berandalan’
di kelasnya. Bagi LouAnn, tanpa kedua hal itu ya percuma saja mengajari mereka pelajaran-
pelajaran sesuai kurikulum. Berbekal dua lagu Bob Dylan, "Mr Tambourine’s Man" dan "Do
Not Go Gentle Into That Goodnight" yang sarat akan metafor dan sangat puitis, LouAnn
mulai mendapatkan perhatian, respek bahkan cinta dari para muridnya. Meski ditentang oleh
kepala sekolah dan kolega-koleganya, LouAnn tetap bersikukuh menjalankan metoda
pengajarannya. Tujuannya sama: murid-murid belajar banyak hal termasuk apa yang
diwajibkan dalam kurikulum. Kisah LouAnn menginspirasi banyak orang, terutama yang
peduli pada pendidikan formal. Di tahun 1995 Hollywood memvisualisasikannya dengan
sempurna dalam film "The Dangerous Mind" dibintangi Michelle Pfeiffer. Pendidikan formal
tak hanya menjadi kepedulian kaum kebanyakan yang mampu membayar berapapun harga
sebuah pendidikan, tapi juga kaum marginal, yang tak hanya melihatnya sebagai kemewahan,
tetapi sekaligus kutukan.
The ways we teach
Saya jadi teringat hal-hal yang sangat familier dengan apa yang terjadi di kelas LuoAnne di
California. Ruang-ruang kelas kita nyaris tak bisa dibedakan dengan sebuah pabrik roti –
apapun bentuk dan aromanya – itu tetap roti. Tak ada pilihan lain bagi ‘para adonan’ untuk
menjadi sesuatu yang lain selain roti. Apakah kesalahan kurikulum? Tidak juga. Buku-buku
wajib (textbook) yang dipakai? Belum tentu. Bagaimana dengan metodologi? Nah, mungkin
ini salah satu biangnya. Biang lainnya adalah common sense untuk alasan dan tujuan apa
seseorang masuk ke ruang kelas, lalu di ujung hari apa yang sebenarnya ia dapatkan dari
kelas itu. Beberapa waktu lalu saya diundang untuk memberikan paparan tentang Link &
Match dalam pendidikan tinggi oleh Forum Dosen Manajemen Indonesia (FMI) di UNJ.
Bersama saya ada dua panelis lain yang juga seperti saya sama-sama datang dari latar
belakang korporat. Dalam forum yang dihadiri banyak dosen manajemen tersebut muncul
kegelisahan: apakah yang kita ajarkan benar-benar dibutuhkan oleh industri. Bila tidak,
apakah nanti para mahasiswa itu akan kita biarkan berjuang sendirian, atau malah menambah
statistik pengangguran di tanah air? Saya sengaja tayangkan matakuliah-matakuliah yang
rata-rata diajarkan di berbagai program studi manajemen (S1) di kampus-kampus kita. Ini
visualisasi yang paling kasat mata. Dengan suara yang lebih berat, saya katakan “this is what
you have been teaching them”. Sebenarnya itu pula yang saya lakukan sesuai textbook saat
saya mengajar sebagai praktisi. Rangkuman itu ada di bagian sebelah kiri slide saya. Lalu
saya tayangkan kebutuhan industri (saya tak ingin latah dengan menyebutnya “Kebutuhan
Industry 4.0”) di bagian sebelah kanan. “This is what the industry needs. So, where is the
culprit?” Ternyata kebanyakan peserta forum juga sudah lama melihat dua visualisasi yang
kontras ini, tapi tak tahu harus mengurai dari mana dulu. Kenyataan lain yang menyesakkan
adalah bahwa banyak manager unggul di perusahaan-perusahaan yang akhirnya jadi
pimpinan puncak justru datang dari engineering school. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di
seluruh dunia. Apakah kurikulum studi teknik lebih baik dalam mengajar ilmu manajemen?
Apakah para engineer lebih mudah beradaptasi dengan dinamika dunia bisnis pada
realitanya? Mari kita balik ke kelasnya LouAnne. Saat metodologinya dipertanyakan
keabsahannya oleh kepala sekolah dan kolega-koleganya, hanya satu hal yang mengganggu
benaknya: the way we teach. LouAnne tidak memperdebatkan isi pelajarannya, meski ia
mencatat ada beberapa yang sudah tak sesuai jaman. “Knowledge counts, but common sense
matters” – begitu saja ia menanggapi keberatan sang kepala sekolah dan kolega-koleganya.
Dan anda bisa mulai membayangkan betapa sulitnya LouAnne mengajar anak-anak yang
tidak disiapkan untuk menjadi siswa yang berbudi pekerti serta beradab. Mereka lahir dan
bertarung di jalanan hanya agar bisa bertahan hidup. Common sense? Bukankah itu juga
cerita seputar adonan kue di mesin yang berharap ‘ia’ menjadi sesuatu yang lain, yang lebih
bernilai daripada sekedar jadi kue? Didaktik Metodik – inikah yang LouAnne inginkan?
Metodologi pengajaran – didaktik metodik. Barangkali pembaca pernah mendengar hal itu?
Dulu sekali saya sering mendengar dari ayah saya, seorang guru SMA swasta di Yogya.
Beliau sudah almarhum. Seingat saya tiga bulan sekali guru-guru dengan mata ajar yang
sama dikumpulkan dalam retret, atau semacam bootcamp di Ambarawa atau Muntilan oleh
sebuah institusi yang bernama Badan Kerja Sama (BKS). Bootcamp ini melatih para guru,
apapun mata ajar yang mereka bawakan, untuk mencari dan mengembangkan metodologi
pengajaran yang diperbarui, yang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan (SD hingga
SMA) dari tahun ke tahun, tanpa merubah isi ajar (content). Sebuah metodologi yang fun,
membuat anak-anak jadi senang belajar. Saya ingat betul guru-guru yang mengikuti
bootcamp ini pada akhirnya berhasil membawa sekolah mereka masing-masing menjadi
sekolah-sekolah favorit, langganan juara dalam berbagai bidang ajar. Lebih daripada itu –
meminjam istilah ‘adonan’ dan ‘kue’ tadi – sekolah-sekolah itu menghasilkan anak-anak
yang kelak di kemudian hari menjadi petarung-petarung unggul di berbagai bidang industri,
bahkan sampai hari ini. Sekolah-sekolah tadi tak berakhir menjadi pabrik kue. Event di UNJ
beberapa waktu lalu semestinya bisa berkembang menjadi sebuah konsep bootcamp untuk
bertukar gagasan bagaimana menciptakan, atau mengembangkan sebuah metodologi
pengajaran di kampus-kampus agar spirit ‘link and match’ tak berakhir jadi jargon atau
wacana, tetapi membumi dan dieksekusi di kampus-kampus. Dengan makin mewabahnya
informasi yang tak berkesudahan di internet melalui berbagai platform, belajar bisa dilakukan
tanpa berada di ruang kelas dan bertatap muka. Apalagi mahasiswa sekarang sangat internet-
minded, gadget-savvy, praktikal sekaligus pragmatis. Segalanya bisa membuat mereka pintar
tanpa harus berinteraksi dengan dosen atau institusi pendidikan. Apple, Google dan raksasa-
raksasa Silicon Valley lainnya sudah membebaskan pelamar pekerjaan tak harus punya ijazah
perguruan tinggi, yang penting mereka kompeten di bidang yang diperlukan, dan dapat
diandalkan. Kampus-kampus ‘Ivy League’ – sebutan untuk delapan kampus papan atas di
pantai Timur Amerika (Harvard, Yale, Columbia, Princeton, Cornell dan lainnya) pun sudah
memasuki era ini, bukan karena mereka takut kehilangan intake – calon mahasiswa yang
mendaftar – namun lebih daripada itu, mereka ingin mendorong anak-anak muda hingga para
profesional muda untuk upgrade kompetensi mereka agar tetap kompetitif di industri
manapun. Caranya? Online learning, online certification, online case studies (real cases), dan
lainnya. Inilah online bootcamp seperti yang saya ceritakan terjadi di Ambarawa dan
Muntilan dua atau tiga dasawarsa lalu. Interaksi, bukan menguliahi. “Sometimes it gets a lot
of wrong answers to get to the right one.” – LouAnne Johnson Terkadang kita mendapatkan
banyak jawaban yang salah hanya untuk mendapatkan satu saja jawaban yang benar.
Beberapa kolega saya sesama praktisi yang kebetulan juga mengajar di beberapa graduate
business school mengeluhkan hal yang sama: apakah buku pegangan pengajaran yang kita
pakai salah? Apakah studi kasus yang diwajibkan sudah kadaluwarsa? Apakah para
mahasiswa kita sudah kehilangan selera dengan suasana kelas yang begini-begini saja? Jujur
saja, saya mengeluhkan hal-hal yang sama. Tapi saya tak henti bereksperimen. Kelas tak
boleh lagi hanya mengakomodasi seorang bintang berdiri di panggung. Saya membayangkan
hubungan dosen dan mahasiswanya di kelas seperti dua pemain pingpong. Ada interaksi, dan
kedua belah pihak sama-sama tak ingin gagal mengembalikan bola. Dinamikanya ada di situ.
Mahasiswa dan dosen sama-sama belajar, bukan soal mata ajarnya, tapi soal bagaimana
dinamika dunia disikapi melalui mata ajar tersebut. Saat ini kita sepakat bahwa metodologi
pengajaran menjadi biang yang paling urgen diubah, disesuaikan dengan jaman, dengan
kebutuhan industri. Era kuliah sudah hampir terbenam. Mentari ‘ilmu’ seperti apa yang akan
terbit di pagi berikutnya, itu tergantung apa yang sudah, sedang atau akan kita lakukan.
“We’ve got the right answer. Let’s do it, or else..."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "The Dangerous Mind", Metodologi
Mengajar dan Membangun Nalar Pendidikan Kita
", https://edukasi.kompas.com/read/2019/10/14/17573991/the-dangerous-mind-metodologi-
mengajar-dan-membangun-nalar-pendidikan-kita?page=all#page2.
BEBERAPA pekan terakhir situasi politik di tanah air tidak terlalu menggembirakan bagi
kehidupan berbangsa-bernegara. Menjelang satu bulan pelantikan presiden dan wakil
presiden terpilih hasil pemilu April lalu justru situasi dan kondisi politik bukannya makin
nyaman bagi tatanan politik pemerintahan ke depan. Tak ada asap tanpa ada api. Demikian
kiranya gambaran kasat mata bagi masyarakat luas. Kurang dari dua pekan berakhirnya masa
jabatan, DPR RI hasil pemilu 2014 terkesan sangat tiba-tiba hendak merampungkan beberapa
UU yang setelah sekian lama terbengkalai. Di antaranya yaitu RUU KPK –sudah disahkan
menjadi UU--, RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, RUU PKS, RUU
Pertanahan (Agraria), yang akhirnya dipetieskan dan akan dilanjutkan oleh DPR RI terpilih
hasil pemilu 2019. Hal itupun bukan karena inisiatif DPR dan pemerintah, akan tetapi lebih
karena adanya desakan dari gelombang aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa wilayah:
Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Riau, Makassar, Palembang, Kendari.
Tersumbatnya komunikasi Setelah mencermati, sesungguhnya yang terjadi itu lebih karena
lemahnya komunikasi publik dari DPR RI maupun pemerintah itu sendiri. Pola komunikasi
yang tidak berjalan dengan baik, sehingga menyebabkan sumbatan informasi ke publik
semakin mampet laksana pipa air yang tersumbat. Maka tumpahlah gelombang demonstrasi,
yang sempat menimbulkan kericuhan; Jakarta, Kendari, dan menyebabkan adanya korban.
Korban nyawa dan luka-luka serius, baik dari para pelaku demonstrasi maupun aparat
kepolisian. Korban nyawa yang semestinya tidak terjadi, semakin menambah situasi politik
tidak kondusif. Sekian gelombang demonstrasi dari mahasiswa yang melibatkan massa dalam
jumlah ribuan pada akhirnya tidak akan lepas dari para penumpang gelap. Hal tersebut wajar
adanya, karena kontrol menjadi semakin liar dan tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun,
termasuk para mahasiswa sebagai pelaku demonstrasi utama. Peran mahasiswa sebagai
kelompok civil society, memang demikian adanya, mereka garda terdepan kelompok kritis
yang menjadi penjaga demokrasi bangsa. Parlemen jalanan sudah berjalan, ricuh pun terjadi
akibat dari komunikasi publik yang kurang berjalan dengan lancar layaknya darah dalam
tubuh. Begitu tersumbat maka terseranglah tubuh kita dari sakit panas, demam, hipertensi,
bahkan yang parah adalah stroke ringan, hingga mengakibatkan meregangnya nyawa. Tidak
ada yang perlu disesali. Namun perlu penataan komunikasi ke publik oleh lembaga legislatif
maupun eksekutif sebagai para penerima mandat rakyat untuk mengelola negara-bangsa
dengan sebaik-baiknya. Demokrasi sudah kita sepakati sebagai sistem pemerintahan bagi
bangsa ini. Demokrasi yang sudah berjalan dua dekade ini, sesungguhnya sudah sesuai
dengan rel yang kita tuju. Memang selalu ada gangguan dalam perjalanannya. Kerikil-kerikil
maupun riak-riak tajam mengganggu proses demokratisasi yang senantiasa berproses terus-
menerus ini. Satu-persatu kerikil maupun para penumpang gelap demokrasi sedang kita
singkirkan secara lambat maupun cepat. Hanya bagaimana supaya tidak sampai
menumpahkan darah sesama anak bangsa. Demokrasi beradab Mengacu pada indeks
demokrasi, nilai kita saat ini di kisaran 70, bukan angka terbaik, namun menunjukkan grafik
positif bagi jalannya bangsa kedepan. Hemat saya, bangsa kita memiliki potensi yang begitu
luar biasa sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia, di bawah Amerika Serikat
dan India. Mengingat, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang mencapai 265 juta jiwa
dengan letak geografis berpulau-pulau disertai dengan keberagaman etnisitas, agama, ras, dan
antargolongan di dalamnya. Tidak mudah mengelola negara dengan keragaman dari berbagai
aspek ini. Siapapun pemimpinnya, dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan mengelola potensi
yang luar biasa ini. Selain itu juga membutuhkan kekompakan seluruh komponen di
dalamnya, dari pemerintahnya (pusat maupun daerah), lembaga legislatifnya, civil society:
akademisi, mahasiswa, aktivis, ormas-ormas, juga kelompok-kelompok masyakaratnya:
buruh, petani, nelayan; organisasi profesi: pengacara, dokter, guru, perawat, pelaku digital,
dll. Di dalam demokrasi terdapat nilai-nilai yang mesti kita internalisasi secara kontinyu,
komprehensif, holistik, dan imparsial. Di antaranya yaitu: kesetaraan, kesadaran politik
warga, respek pada siapapun, hukum yang berwibawa, penegakan HAM, kesadaran terhadap
konstitusi, nondiskriminasi, nirkekerasan, penghormatan & penghargaan terhadap perbedaan,
toleransi untuk menyebut beberapa. Sekiranya nilai-nilai sudah inheren dalam setiap para
pengelola negara baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maupun di setiap warga negara
niscaya kemajuan bangsa Indonesia itu bukan lagi isapan jempol belaka. Adanya internalisasi
nilai-nilai tersebut oleh setiap individu itu akhirnya akan termanifes dalam setiap aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi menjadi kuat, yang implikasinya kemajuan,
keadilan sosial, dan tentu kemakmuran rakyatnya. Kegaduhan situasi politik yang mewarnai
setiap episode pemerintahan bangsa ini hampir tidak pernah tidak terlewatkan. Selain itu juga
penghargaan dan penghormatan terhadap pemimpin yang masih kurang acapkali membuat
bangsa ini lambat bergerak ke arah kemajuan. Betul bahwa tidak ada pemimpin yang
sempurna. Namun bukan masanya lagi sekadar menghujat, bersikap nyinyir, dan hobby
mengkritik tanpa data dan kajian mendalam minus keilmuan. Bergantinya pemimpin dalam
negara demokratis adalah keniscayaan. Yang penting yakni menjaga pergantian kekuasaan itu
berjalan dalam koridor konstitusi dan secara damai. Kalah menang lumrah adanya. Tidak
perlu menggunakan otot berujung tindak kekerasan untuk mengatasinya. Jalur konstitusi
itulah mekanisme demokrasi yang telah kita sepakati bersama. Memperkuat literasi Salah
satu aspek yang paling lemah dalam bangsa ini adalah budaya literasi. Mengacu pada
UNESCO kita di peringkat 60 dari 61 negara di dunia yang disurvei secara ilmiah dalam
urusan kuat lemahnya literasi, hanya 0,001%, hanya satu orang dari 1000 yang mau
membaca. Sungguh peringkat yang sangat memprihatinkan sebagai bangsa. Ini menjadi
pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk mengatasinya. Akibatnya, publik kita pun sangat
mudah memercayai berita tidak benar alias hoaks yang beredar sangat masif setiap harinya.
Sudah tidak benar, namun dipercayai. Inilah dilema bangsa besar yang sedang menuju pada
era kejayaan. Angka PDB dari IMF 2019 menunjukkan hal tersebut. Indonesia menempati
peringkat ketujuh yakni 5,2% pertumbuhannya. Angka yang tidak banyak dimiliki oleh
negara di tengah keterpurukan global. Kita hanya di bawah: China, US, India, Jepang,
Jerman, dan Rusia. Semoga kesadaran literasi ke depan akan semakin baik atas usaha kita
semua. Tidak perlu lagi saling hujat, nyinyir, apalagi berupaya mencari bentuk sistem
pemerintahan selain demokrasi. Saatnya meningkatkan budaya literasi demi mencapai
keunggulan menuju Indonesia emas pada 2045, karena di sinilah takaran kualitas demokrasi
kita akan terlihat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Demokrasi Indonesia dan Komunikasi yang
Tersumbat", https://nasional.kompas.com/read/2019/10/10/11452041/demokrasi-indonesia-dan-
komunikasi-yang-tersumbat?page=all#page2.
POLITIKUS Partai Golkar, Bambang Soesatyo, terpilih dengan suara bulat oleh sepuluh
fraksi di parlemen untuk menduduki jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia periode 2019-2024 dalam rapat paripurna MPR, Kamis 3 Oktober 2019
malam. Dukungan untuk Bambang Soesatyo juga datang dari Partai Gerindra yang semula
diberitakan hendak mengusung seorang kadernya menduduki jabatan puncak di MPR itu.
Tiga hari sebelumnya, Selasa 1 Oktober 2019, politikus Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Puan Maharani Nakshatra Kusyala, resmi menjadi Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Puan dicalonkan oleh PDIP sebagai pemenang
Pemilu 2019 sekaligus mayoritas pemegang kursi di parlemen.senator dari Jawa Timur, La
Nyalla Mahmud Mattalitti, juga meraih suara terbanyak anggota Dewan Perwakilan Daerah
untuk menduduki jabatan Ketua DPD RI periode 2019-2024. Apa yang bisa kita baca dari
tiga jabatan puncak di Senayan ini? Mereka adalah trio petinggi dari satu kubu belaka: koalisi
pemerintahan Presiden Joko Widodo, presiden yang kader partai PDI Perjuangan. Jabatan-
jabatan terpenting di Senayan ini adalah gambaran puncak dari peta kekuatan di parlemen
saat ini di mana mayoritas pemilik kursi-kursi DPR adalah partai pendukung pemerintah.
Sementara figur Ketua DPD, La Nyalla, kita tahu telah mendeklarasikan secara pribadi
dukungannya kepada Presiden Jokowi. Dari 575 kursi di DPR, koalisi partai pendukung
Jokowi di pemilihan presiden lalu -- yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP
-- memiliki 349 kursi atau 60 persen. Sementara gabungan kursi empat partai lainnya hanya
berjumlah 226 kursi atau 40 persen kursi DPR. Melihat peta sebaran kekuasaan di eksekutif
dan legislatif ini, yang terlihat adalah suasana politik yang begitu nyaman, tenteram, dan
damai. Tapi di balik ketenteraman itu sebenarnya terdapat ancaman yang nyata: kekuasaan
tanpa penyeimbang yang memadai karena posisi partai oposisi kurang memadai. Pendulum
kekuasaan berayun tidak di garis yang sama panjang. Demokrasi di Indonesia terancam
kesepian. Dalam demokrasi, oposisi dibutuhkan untuk menyoal apa yang dilakukan oleh
pemerintah: motif, tujuan, cara dan mekanisme pencapaian tujuan serta progres dari rencana
tersebut. Peranan oposisi di parlemen adalah menjaga akuntabilitas dan transparansi
pemerintah. Ini yang acapkali kita sebut check and balances. Dengan peta kekuatan di
parlemen kita di atas, mudah dinujum, pemerintah akan berlenggang kangkung dalam
menjalankan program-progrmanya, karena kekuatan yang merewelinya kelak, sangat lemah.
Bisa jadi, DPR kita di hari-hari mendatang, bakal jadi tukang stempel dan para anggota
dewan yang mulia sangat mahir berteriak: “setujuuuuuu”. Praaak, praaak, praaaak, palu
sidang diketuk tiga kali. Bila ini memang terjadi, perselingkuhan politik untuk keuntungan
sesaat, mudah sekali terjalin. Di mana-mana, dan kapan pun, perselingkuhan itu selalu
ditampik dan berujung negatif. Bisa jadi, rompi berwarna oranye kian langka di pasaran
karena permintaan berlipat ganda. Banyak yang bakal memakainya. Tentu saja kita
mengharapkan tidak demikian. Persekutuan antara pemerintah dan partai politik pendukung,
sebagaimana yang dicerminkan di parlemen sekarang, saya yakin, tidak terlampau lama
keberlangsungannya. Koalisi partai di negeri ini, adalah koalisi kepentingan belaka. Bukan
koalisi ideologis, visi atau pun program. Presiden Jokowi cukup jeli membaca kenyataan.
Kemesraan Partai Golkar dengan Presiden SBY di masa lalu, ternyata bukan jaminan
dukungan terus menerus yang diterima SBY. Dalam berbagai kesempatan dengan rupa-rupa
agenda, justeru Partai Golkar berseberangan dengan SBY. Dukungan PAN kepada Jokowi,
ternyata juga bukan dukungan abadi. PAN ahirnya keluar dari kabinet. Begitu kabinet
diumumkan setelah Presiden Jokowi dilantik, riak dan gelombang pun bermunculan. Parta-
partai pendukung yang keinginannya tidak terakomodasi sepenuhnya, pasti bereaksi keras.
Kohesi persekutun pun mulai goyah ketik itu. Belum lagi isu-isu dan perebutan posisi tertentu
di berbagai posisi, semisal jabatan Duta Besar, Direksi dan Komisaris BUMN, yang
cenderung sekarang ini jadi ajang perebutan, menjadi faktor penentu tersendiri terjaga atau
rapuhnya kohesi persekutuan tersebut. Semuanya lantaran kepentingan. Tapi yang paling
mendasar, dua setengh tahun sebelum pemilu pada tahun 2024 kelak, masing-masing partai
politik akan berjalan sendiri demi meraih pemilih untuk dirinya. Tidak ada lagi yang disebut
partai pendukung atau bukan. Yang ada hanya partai untuk diriku sendiri. Pada saat itulah
kepentingan publik akan terabaikan. Saya yakin, Jokowi sudah siap dengan jurus-jurus redam
dan elak. Jokowi sangat sadar bahwa kemarahan pascakekecewaan, selalu dahsyat, dan itu
membutuhkan talenta dan keterampilan tersendiri untuk mengatasinya. Yang pasti, sebentar
lagi mungkin Franky Sahilatua akan berdendang pedih: Kemesraan ini Janganlah cepat
berlalu Kemesraan ini Ingin kukenang selalu.
"Di Negara demokrasi kamu bebas bicara apa saja tapi duit harus cari sendiri. Di Negara
komunis makan dicukupi tapi kamu gak boleh kritik pemerintah. Di Indonesia kamu dilarang
kritik pemerintah tapi uang harus cari sendiri" (Cak Nun).
MUNGKIN benar dengan apa yang disampaikan oleh Emha Ainun Najib atau Cak Nun
dengan kondisi di Indonesia akhir-akhir ini. Pengesahan Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah bukti nyata bahwa alam demokrasi ini telah lumpuh secara
perlahan. Bagaimana tidak, secara terus-menerus beberapa rancangan undang-undang (RUU),
seperti RKUHP, RUU Pertahanan, sumber daya air juga dilakukan oleh pemerintah dan DPR
di sisa akhir masa jabatannya. Entah apa maksud pemerintah dan DPR melakukan hal yang
dinilai menuai kontroversi publik. Bahkan, kita semua telah mengetahui RUU KPK tersebut
tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) Tahun 2019, namun tetap
dipaksakan untuk disahkan. Nyaris tak ada oposisi dalam pelemahan KPK. Hal ini diperparah
dengan pengesahan beberapa RUU tersebut tanpa melibatkan adanya masukan dari publik.
Pembahasan dan perancangan dilakukan cepat kilat. Jadi, apa artinya keberadaan rakyat ini?
Suara rakyat yang sama sekali tak pernah didengar. Sementara di sisi lain, ada agenda
prioritas dan permasalahan bangsa yang mendesak untuk segera diselesaikan, responsif dari
pemerintah sangat lamban. Semua energi kita ini dihabiskan untuk bergerak melakukan
perlawanan terhadap kehilangan akal sehat para wakil rakyat. Perjuangan rakyat untuk
melawan kedholiman yang terjadi di negeri ini sangatlah massif. Optimisme mereka tak
pernah pupus. Hal ini dapat kita lihat dari aksi masa yang dilakukan oleh mahasiswa di
berbagai daerah pada Senin (23/9) yang akan berlangsung selama beberapa hari. Semua
dosen di berbagai universitas melakukan instruksi kepada mahasiswanya untuk turun ke
jalan. Perkuliahan diganti dengan aksi turun ke lapangan sebagai implementasi dari ilmu
yang sudah didapatkan selama perkuliahan. Kita semua masih memiliki harapan kepada
kaum muda yang mampu mendobrak ketidakadilan di negeri ini. Slogan "Mahasiswa
Menolak Diam" dengan Gerakan #GejayanMemanggil ataupun #MahasiswaBergerak seolah
mengingatkan kita pada Tahun 1998 silam ketika memasuki era reformasi, dimana tercatat
perjuangan mahasiswa menjadi sumbu penggerak perjuangan. Suara kaum muda amatlah
berarti dalam melakukan kontrol sosial dengan selalu bersikap kritis. Kaum muda memiliki
potensi besar untuk didengar para wakil rakyat dengan menyuarakan kebenaran tanpa
ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Idealisme mereka masih sangat terjaga,
apalagi melihat nasib rakyat yang kian sengsara atas kebijakan yang telah diputuskan. Sesuai
dengan ungkapan Tan Malaka bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki
oleh kaum muda. Massa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melakukan aksi unjuk rasa di
depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019). Aksi itu menyikapi
rangkaian peristiwa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, khususnya kematian dua
mahasiswa dalam demo di Kendari.(ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT) Kepekaan
pemimpin Harapan dari seluruh rakyat Indonesia dengan aksi damai yang dilakukan adalah
adanya kepekaan dari pemerintah dan DPR. Para wakil rakyat mampu mendengar dan
menerima seluruh aspirasi rakyatnya. Sejatinya di sisa akhir masa jabatan, Presiden dan DPR
mampu menunjukkan dan memberikan kinerja terbaik sebagai kado suguhan terindah untuk
rakyatnya. Bagaimanapun, para wakil rakyat yang menang pada Pemilu 2014 dipilih
berdasarkan hasil pilihan rakyat. Jangan biarkan rakyat menangis, menjerit dan merintih.
Pemerintah dan DPR sudah selayaknya terbuka kepada publik akan kebijakan-kebijakan yang
akan diputuskan. Berikan ruang untuk publik sebagai bahan masukan dan pertimbangan.
Agar para wakil rakyat tak semena-mena memutuskan kebijakan secara sepihak.
Bagaimanapun rakyat yang sangat merasakan akan implikasi kebijakan yang telah dibuat.
Ciptakan rasa keadilan yang setinggi-tingginya. Peka terhadap permasalahan bangsa yang
sedang terjadi. Kabut asap yang tersebar di dua pulau besar, yaitu Sumatra dan Kalimantan
sudah banyak meregang nyawa, sangat membutuhkan kepedulian dan uluran tangan
pemerintah dan para wakil rakyat. Harus kepada siapa lagi kita berharap dan berkeluh kesah
atas segala bencana yang terjadi kalau tidak kepada pemimpin sendiri? Semua organisasi
kemanusiaan telah bergerak untuk memberikan bantuan kepada korban terdampak kabut asap
pekat. Temuilah para aksi demonstran yang dilakukan oleh mahasiswa. Ajaklah komunikasi
dengan seluas-luasnya. Mungkin saja ide dan gagasan brilian para mahasiswa dapat
membantu dalam mencari solusi permasalahan negeri ini. Dengarkan apa yang menjadi keluh
kesahnya selama ini. Jika ada hal yang keliru dengan pemikiran mereka, maka sudah barang
tentu forum komunikasi itulah fasilitas yang tepat untuk menyampaikan segalanya. Dialog
adalah cara efektif yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Penulis
meyakini bahwa kaum muda dapat membawa angin segar dengan segala optimismenya.
Jangan anggap aksi damai mereka dianggap mengganggu dan meresahakan. Demi
mempertahankan idealisme, mereka rela berpanas-panasan, menahan lapar dan haus untuk
tetap menyuarakan keadilan. Bagaimanapun, mereka adalah pewaris bangsa ini dalam 20-30
tahun kedepan. Jadilah pemimpin yang dapat dijadikan tauladan oleh kaum muda nantinya.
Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja, bahkan negara Indonesia ini sudah masuk dalam
darurat demokrasi, reformasi dikorupsi dan demokrasi dikebiri. Para wakil rakyat, ingatlah,
janji-janji yang disampaikan pada masa kampanye. Catat, refleksi dan lakukan evaluasi.
Adakah visi misi yang disampaikan pada saat kampanye belum terealisasi? Sudah sejauh
mana dapat mensejahterakan rakyat? Apabila memang ada hal-hal yang belum terealisasi dan
ditakdirkan tidak kembali memimpin, sampaikan permohonan maaf kepada rakyat bahwa visi
misi tidak sepenuhnya dapat direalisasikan sesuai dengan harapan karena pelbagai hal. Publik
tentu akan sangat menghargai dan memakluminya. "Agar perut rakyat terisi, kedaulatan
rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam
miskin, melainkan karena rakyat tak berdaya" (Muhammad Hatta)
IST
Yusrizal, Ketua Pusat Studi Hukum, Sosial dan Politik Universitas Malikussaleh
Anggapan ini tidak benar karena jika pemikiran ini dimajukan penegakan
hukum pidana hanya untuk mengejar kepastian hukum. Padahal kemanfaatan
dan keadilan hukum tersebut tidak dirasakan langsung oleh seseorang yang
menjadi korban kejahatan. Ada nilai esensi lain dalam perlindungan hukum
bagi korban, yaitu mengenal apa yang paling dibutuhkan bagi setiap korban,
tentu hal ini akan berbeda tergantung tindak pidana apa yang menimpa
korban.
Secara teoretik, perlindungan hukum terhadap korban adalah bentuk realisasi
dari pemenuhan hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya diberikan untuk
mengembalikan posisi korban menjadi lebih baik dan pulih. Negara
berkewajiban memberikan kompensasi bagi setiap korban kejahatan di
samping restitusi yang diberikan oleh pelaku kejahatan. Pertanyaan sekarang,
mampukah negara memberikan kompensasi terhadap korban kejahatan? Ini
menjadi penting karena penegakan hukum pidana tentu ada ganti kerugian
atau tindakan lain sesuai kebutuhan dari setiap korban.
Hak-hak korban
Relevansi lainnya adalah posisi korban yang terdiskiriminasi saat menghadiri
sidang di pengadilan terutama saat proses pembuktian. Korban harus
mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu untuk memberikan kesaksian. Kondisi
ini benar membuat korban semakin terpuruk dan menyedihkan. Rasa malu
dan aib bagi keluarga menjadi kerugian ikutan lainnya yang juga harus
ditanggung oleh korban.
Bandingkan dengan pelaku kejahatan yang memperoleh perlindungan hukum
yang memadai. Dimulai saat penangkapan hingga ke persidangan diberikan
bantuan hukum dan diperlakukan sebagai orang yang belum bersalah
sebelum ada keputusan pengadilan, seperti tercantum dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tentunya formulasi KUHP ke
dapannya harus melihat korban secara lebih luas dan konferehensif supaya
tidak terjadi kezaliman dalam penegakan hukum.
Jika melihat ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan korban berhak
memperoleh hak-hak perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian,
memiliki hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapatkan
kesempatan untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapatkan
informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui status terpidana jika
dibebaskan, mendapatkan identitas baru, mendapatkan bantuan medis dan
psiko-sosial dll. Hal ini menunjukkan bahwa secara normatif korban dilindungi.
Namun masalahnya, sampai sejauh mana posisi korban terlindungi dan
terpenuhi haknya dengan adanya undang-undang ini? Sebagai contoh sampai
saat ini di Indonesia belum memiliki lembaga resmi untuk menangani
mengenai pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban kejahatan secara
khusus. Dalam konteks negara hukum, tentu semuanya harus sesuai aturan
dan setiap proses terlembaga dengan baik. Peranan LPSK (Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban) juga masih dirasakan lemah dan belum
berfungsi secara maksimal.
Penanganan saksi dan korban saat ini di Indonesia masih dibebankan kepada
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan kewenangan yang
diberikan masih sangat terbatas. Berkaca pada negara Amerika Serikat yang
mempunyai lembaga khusus menangani pemberian kompensasi bagi korban
kejahatan, The Crime Victim's Compensation Board, lembaga itu dibentuk
khusus untuk menangani pemberian bantuan penggantian biaya pengobatan,
pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya. Format tersebut bisa
diadopsi di Indonesia agar wujud perlindungan masyarakat atas hukum
menjadi lebih baik khususnya terhadap korban.
Tegasnya perlindungan terhadap korban sangat penting eksistensinya dalam
sistem peradilan pidana. Kita harus menghindari posisi korban kejahatan pada
kondisi keterasingan tanpa adanya perhatian yang serius dari pemerintah.
Akibat dari belum memadainya perlindungan korban tersebut banyak korban
yang semakin menderita, karena negara gagal untuk hadir memberikan
perlindungan secara nyata.
Akhirnya, perlindungan terhadap korban kejahatan harus dimulai dari proses
formal ketika menegakkan hukum. Sistem peradilan pidana harus
menyesuaikan, menyelaraskan kualitas dan kuantitas penderitaan dan
kerugian yang diderita oleh korban. Peran pemerintah sebagai pembawa
mandat kontrak sosial perlu ditingkatkan demi terakomodasinya hak korban.
Tanpa itu semua, pemenuhan hak korban menjadi wacana sepi tiada yang
mengacuhi.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Konsep Rapuh Perlindungan Korban
, https://aceh.tribunnews.com/2019/10/10/konsep-rapuh-perlindungan-korban?page=2.
Editor: bakri