Anda di halaman 1dari 8

Adian Saputra

Cerdas Bernarasi, Cergas Berorasi

Ilustrasi menulis artikel untuk media massa

Tulisan ini sejujurnya terinspirasi dari buku yang ditulis Asep Samsul M. Romli
berjudul Lincah Menulis Pandai Bicara. Itulah gunanya membaca, dari sana kita mendapat
inspirasi baru dan menghasilkan karya yang barangkali lebih segar. Dalam konteks itulah,
tulisan ini hadir buat semua Kompasianer.

Berdasar pengalaman, memang tak mudah menemukan orang yang antara menulis
dan berbicara sama baiknya. Ada yang sangat mudah menulis, tapi gagap diminta
mempresentasikan gagasan. Sebaliknya, ada yang sangat piawai berorasi, tetapi kalah
sebelum bertanding saat diminta menyusun pidatonya dalam bentuk narasi. Tapi, tetap ada
yang punya kemampuan setara atas kedua keterampilan itu.

Menulis dan berbicara di depan publik (public speaking) memang tak memandang latar
akademis seseorang. Seorang doktor pun, yang mampu menulis disertasi, ternyata “tak
sanggup” menulis artikel populer untuk media massa. Contohnya ialah sangat minim para
doktor yang rajin menulis artikel di media massa. Sebaliknya, ada pula alademisi yang sulit
sekali berbicara dengan baik saat mengutarakan gagasan.

Intisari tulisan ini memandu kita agar punya dua keterampilan ini dengan sama baik.
Mengapa? Wow, gunanya banyak sekali. Kapasitas kita bakal teruji saat menulis dan
berbicara kita sama baiknya.

Supaya mudah, saya akan membaginya. Kita mulai dari kemampuan menulis. Meski
beberapa item sudah saya lempar di Kompasiana dalam tiga kesempatan, kali ini akan saya
rangkum. Mungkin normatif, tapi ada pula yang praktis. Jadi, bagaimana agar kita cerdas
dalam menulis atau bernarasi.

Pertama, cerdas menggali ide

Menulis memang butuh ide. Gagasan itu yang memantik motoris kita untuk membuat sebuah
artikel lengkap. Tanpa gagasan, sulit membuat tulisan. Itulah sebabnya, saat ide itu datang,
meski cuma secuil, segera dicatat. Lalu, kembangkan ide itu menjadi satuan-satuan gagasan.
Semakin banyak gagasan yang bisa kita inventarisasi tentu semakin bagus karena setiap poin
gagasan berujung pada satu paragraf.
Untuk mengembangkan gagasan, kita perlu banyak membaca dan menganalisis serta
membanding-bandingkan antara satu kasus dan kasus lain. Misalnya, kita ingin menulis soal
kasus korupsi di tubuh Partai Demokrat. Kita ingin mengupas bagaimana kasus ini semakin
membuat publik tak percaya dengan partai, ketiadaan sanksi tegas oleh partai, dan
kemunculan rezim kleptokrasi atau rezim maling. Semakin banyak kita mampu menghubung-
hubungkan antara satu ide dan ide lain, tulisan itu akan semakin hidup dan padat. Sebab itu,
tulisan utuh pun bisa kita hasilkan. Makanya, begitu ide datang, segeraa catat dan
bereksplorasilah dengan itu.

Kedua, cerdas mengobservasi

Hal kedua yang mesti dimiliki ialah cerdas dalam mengobservasi. Setiap kejadian yang
terekam dalam media massa adalah hal menarik untuk ditulis. Terutama berita-berita yang
menjadi berita utama media massa. Hal lain ialah fenomena yang terjadi di sekitar kita.
Taruhlah misalnya untuk isu di media, kita mampu membaca dan mengaksesnya dengan baik.
Yang perlu perhatian ialah yang terjadi di sekitar kita. Misalnya dalam satu pekan listrik di
kota ini pemadaman bergilir atau air minum sulit didapat. Peristiwa itu bisa kita observasi,
sedikit reportase atau jajak pendapat, lalu diuraikan dalam tulisan. Cerdas dalam
mengobservasi ini mewajibkan kita awas terhadap setiap detail persoalan. Apa pun itu, asal ia
berkenaan dengan publik, pasti menarik untuk diulas. Dan pembaca pasti senang dengan
ulasan tentang ihwal yang mereka rasakan sendiri akibatnya. Maka itu, buka mata, pasang
telinga, dan rasailah dengan hati denyut persoalan yang ada di sekitar kita.

Ketiga, cerdas memilih judul

Judul yang baik mampu memberikan arah kepada pembaca atas keseluruhan konten tulisan.
Judul yang baik tidak selalu bombastis. Asal isi tulisannya bagus, judul akan mengikuti.
Intinya lebih kepada konten.

Judul buat sebagian penulis ditulis belakangan, tapi ada juga yang mesti melampirkan judul
dulu baru menulis. Saya terkategori yang kedua. Meski tema sudah kaut, kalau judul belum
dibubuhkan, rasanya gimana gitu.

Judul tak mesti panjang. Supaya mudah saya acap memberikan usul dengan menulis judul
berawal imbuhan “me”. Judul dengan kata kerja, buat saya, lebih memberikan semangat
untuk meneruskan tulisan. Tapi, ini jelas tidak mutlak. Judul dengan dua frasa–seperti judul
tulisan ini–juga bisa. Ya judul memang persoalan selera. Maka itu, ya kembali seperti di atas,
kontennya mesti kuat. Walau selera, tetap saja membikin judul artikel tak mesti panjang dan
deskriptif seperti membikin skripsi, judul makalah, tesis atau disertasi.

Keempat, cerdas menulis lead

Kesulitan mengawali tulisan masih sering saya alami, sampai sekarang. Ketika tema sudah
oke, kerangka sudah dibangun, dan pengembangan telah ada di kepala, ternyata sulit menulis
bagian awal. Apa yang mau saya tulis. Itulah dilema ketika menulis lead atau kepala tulisan.
Bingung mau memulainya dari mana.

Kesulitan itu bisa diatasi dengan menulis hal yang paling sederhana dari artikel yang mau kita
bikin. Misalnya dengan mengutip berita yang ada di koran. Contoh, “Penerimaan siswa baru
di Lampung sebagaimana diwartakan beberapa media massa daerah ternyata diwarnai dengan
jual-beli kursi. Tes yang diadakan sekolah sebatas formalitas. Anak orang mampu cukup
mudah masuk ke sekolah negeri dengan membayar sejumlah uang. Sebaliknya, anak dari
keluarga tak mampu banyak yang ditolak karena tak bisa membayar uang muka masuk
sekolah.”

Bisa juga mengawali tulisan dengan memberikan perspektif atau fenomena yang terjadi.
Contoh, “Orang miskin dilarang sekolah. Banyaknya pungutan dalam penerimaan siswa baru
tahun ini menunjukkan hal itu memang terjadi. Orang tak mampu, yang makan saja sulit,
mesti ditambah susah dengan uang sekolah anak yang sangat mahal.”

Lead yang baik memang memancing pembaca meneruskan bacaan atas tulisan itu sendiri.
Namun, jika itu masih sulit dan kita masih berproses, bikin saja lead yang kita mudah
meneruskan kalimat sampai narasi terakhir. Jadi, tak usah muluk dengan lead yang oke, asal
kita merasa nyaman dengan teras tulisan, itu sudah cukup.

Kelima, cerdas swa-editing

Tanggung jawab atas tulisan berada penuh di pundak penulisnya. Maka itu konten tulisan,
termasuk data dan remah lainnya adalah tanggung jawab pribadi. Sebab itu, fungsi editing
atau penyuntingan menjadi penting. Editing tak sekadar memperbagus kalimat atau bahasa,
tetapi lebih dari itu. Inilah yang dimaksud dengan menyunting sendiri atau swa-editing. Kita
perlu titik emosi yang memadai saat menyunting tulisan sendiri. Sebab, kita bakal sayang saat
memotong, meringkas, dan memperbaiki tulisan. Di luar teknis soal editing, verifikasi juga
penting. Misal nama yang kita kutip di dalam tulisan, kesahihan data yang kita ambil, dan
sebagainya. Editing adalah proses memperbagus konten tulisan. Maka itu, pasti ada aktivitas
mengoreksi, memotong, mengubah, memangkas tulisan. Cerdas dalam swa-editing bakal
membikin karya tulis kita semakin bagus.

Keenam, cerdas memasarkan

Tugas penulis tak cuma sampai menuntaskan kalimat terakhir dalam sebuah artikel. Ia harus
memastikan produk tulisannya bisa diterima media massa. Buat kita yang tergolong
produktif, memang tak cukup mengandalkan satu media untuk disasar. Kita memerlukan
banyak media. Sebab itu, inventarisasilah sebanyak mungkin media yang memiliki rubrik
artikel dan menerima tulisan kontributor atau penulis lepas. Pelajari karakteristik media
massa dan berkenalan dengan redaktur atau editor yang menggawanginya. Yang perlu
diingat, jangan mengirim tulisan yang sama ke banyak media! Kita bisa masuk daftar hitam
atau blacklist. Tema boleh sama, tapi penguraian mesti berbeda jika hendak mengirim ke
banyak media. Atau kalau di media A tulisan kita sudah ngendon dua pekan dan tidak
dimuat, kirim surat via email, kabarkan tulisan itu kita tarik dan dikirim ke media lain. Kalau
sudah begitu, tanggung jawab kita ke media yang pertama, kelar.

Ketujuh, cerdas dan lekas

Motivasi orang dalam menulis memang beragam. Ada yang serius karena berharap bisa
mendapat penghasilan, ada yang sesekali saja mengirim ke media, ada pula yang
memublikasikan sebatas blog, tapi ada pula yang menyimpan rapat-rapat dalam folder dan
file di komputernya.

Untuk menjadi penulis yang baik tentu saja mesti berani memublikasikan, entah di media
massa maupun blog. Mengapa ini penting? Supaya kita terbiasa dalam iklim berkompetisi
secara sehat. Kalau cuma di file pribadi, bagaimana kita bisa tahu tulisan itu baik atau tidak.
Mengirim tulisan ke media atau blog akan memancing komentar dari pembaca. Kalau sampai
diterbitkan media, artinya karya kita itu layak siar untuk khalayak. Artinya, dari segi dampak
pun semakin luas dibandingkan cuma sebagai dokumentasi pribadi.

Tak perlu jengah atau marah saat tulisan kita tak dimuat media massa atau sedikit yang
mengomentari. Anggap saja itu sebagai pelajaran, dan belajar itu kan dari yang sedikit. Insya
Allah semakin lama menulis, keterampilan kita terasah. Muaranya ialah tulisan kita semakin
bagus: lebih sering dimuat media massa dan lebih banyak direspons pembaca blog.

Kedelapan, cerdas-ambisius

Mungkin andai tak memiliki ambisi, seorang Jose Mourinho tak bakal menjadi pelatih
tersohor. Karena punya ambisi, target, sasaran yang jelas, The Special One bisa punya
prestasi moncer sebagai manajer klub sepak bola ternama, dari Porto, Chelsea, Inter Milan
hingga Real Madrid.

Menjadi penulis juga demikian. Kita mesti punya ambisi bahwa kita suatu saat harus menjadi
pengarang kenamaan. Ambisi dan motivasi itulah yang menjadi bahan bakar dalam menulis.
Karena punya ambisi, tentu setiap kali menulis kita tertantang untuk menghasilkan karya
terbaik. Ya menjadi yang terbaik!

Punya ambisi jangan dianggap dengan skeptis. Tanpa punya kemauan yang kuat, semua
pekerjaan tak akan sukses dilakoni. Karena ada ambisi itulah, seseorang bersemangat untuk
menjadi pemenang. Ambisi tak selalu berbanding lurus dengan sifat jemawa, takabur, dan
sombong. Sepanjang ia dilakukan untuk mencari kemanfaatan, ambisi tetap wajar dimiliki.

Dalam konteks menulis, kita tentu ingin menjadi yang terbaik, ingin tulisan kita dimuat, mau
dibaca dan direspons banyak orang. Sebab itu, wajar kalau saat membuat karya kita
berambisi menjadi yang nomor satu.
Menulis dengan ambisi membuat kita punya spirit saat menulis. Menciptakan yang terbaik
ialah wujud dari sebuah ambisi. Setelah ambisi terwujud dalam sebuah karya, dimuat
tidaknya, direpons atau dianggap sepi, menang atau kalah, itu soal lain. Tawakal saja
terhadap hasil. Yang penting proses penulisan ditambah dengan premium ambisi sudah
dilakoni.

Cergas Berorasi

Melakukan presentasi, misalnya, orasi, ceramah, memberikan sambutan, menjadi presenter,


atau menjadi pembawa acara boleh jadi buat sebagian orang adalah hal yang dihindari.
Berbicara di depan publik (public speaking) rupanya punya keangkeran tersendiri. Sebuah
penelitian di Amerika Serikat bahkan menyatakan, setelah kematian, ketakutan orang yang
kedua ialah berbicara di depan publik!

Supaya kita bisa cergas (tangkas, giat, dan cekatan) dalam berbicara di depan publik dengan
baik, ada beberapa kita yang perlu dicoba.

Pertama, cergas mempersiapkan bahan

Apa yang mau kita sampaikan hendaknya dikuasai semaksimal mungkin. Misalnya besok
pagi kita diminta memberikan sambutan dari pihak calon mempelai pria dalam akad nikah
keponakan. Siapkan bahannya pada beberapa hari sebelumnya. Perkirakan saja kira-kira kita
akan memberikan sambutan selama lima menit. Selain salam, ucapan syukur kepada Allah,
dan selawat kepada Nabi, inti sambutan kita di mana? Misalnya, kita menyerahkan calon
mempelai untuk dinikahkan, sampaikan kita membawa sedikit barang sebagai tanda cinta,
kita juga membawa rombongan yang lengkap, mohon maaf jika ada kekurangan, lalu
sampaikan pengharapan proses akad dan resepsi berjalan lancar, dan… selesai.

Itu yang sederhana. Kalau presentasi dalam waktu yang lama dan fokus pada sebuah hal,
persiapan kita jelas lebih kompleks.

Kedua, cergas berlatih dan nekat

Karena berbicara itu sifatnya praktik, sudah tentu sebelum tampil di ajang sebenarnya, kita
perlu berlatih. Caranya? Cobalah tampil seolah-olah kita sedang berbicara di depan kelas.
Sampaikan presentasi seperti kita melihat banyak orang di hadapan. Tak usah sungkan. Bisa
juga minta anggota keluarga menjadi sukarelawan. Minta mereka menjadi audiens dan kita
presentasi di depan mereka. Presentasikan apa saja. Misalnya mempresentasikan isi sebuah
buku, bisa keunggulan atau kelemahan. Bisa juga mempresentasikan sebuah produk dan
meyakinkan audiens agar tertarik membelinya. Atau konten yang paling mudah, ceritakan
biodata singkat kita kepada mereka. Berlatih seperti ini akan memudahkan saat kita benar-
benar tampil di depan pendengar. Ini ujian mental namanya. Saya pun kadang-kadang
berbicara sendiri saat menunggangi kuda besi. Ya sekadar melancarkan kalau-kalau ada
tawaran mengisi pelatihan atau berpresentasi.
Kalau mau yang ekstrem, ada. Tenang saja. Saya pernah mengampu kelas public speaking
lewat lembaga Kaizen Training Centre di Bandung, Jawa Barat. Ada sekitar 15 orang yang
ikut. Pelatihan itu lamanya sekitar tiga bulan. Setiap Sabtu saya menuju ruang kelas di Masjid
Salman, ITB. Seorang teman yang mengaturnya di sana. Selain memberikan materi dan
berlatih di kelas, semua peserta wajib mengikuti sesi dahsyat ini: berbicara di dalam bus yang
ngetem di dekat Gedung Telkom jurusan Jatinangor.

Acara berlangsung sukses, seru, dan mendebarkan. Ada peserta yang masih gugup tapi
lumayan jika dibandingkan saat pertama ikut pelatihan, ada yang demikian lancar sampai
hampir terbawa bus yang sudah mulai jalan, hingga ada peserta yang hendak diberi uang oleh
penumpang bus!

Yang membuat berkesan, peserta kelas itu “bukan orang sembarangan”. Saya coba
mengingat-ingatnya. Ada tiga bersaudara. Pak Dadang pemilik restoran, adiknya bernama
Winda yang mendapat suami orang Lampung, dan Ibu Dokter Tita. Ada juga Teh Icun yang
bekerja di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Selebihnya saya lupa namnya. Yang pasti ada dua
mahasiswa magister ITB, dan seorang dosen muda ITB lulusan kampus bergengsi di Jepang.
Sisanya ibu rumah tangga biasa. Semuanya tak piawai presentasi saat kelas dibuka.
Alhamdulillah, kemauan mereka yang kuat, membuat kelas berjalan efektif. Dan sesi
“ceramah” di dalam bus menjadi pengalaman yang sungguh tak terlupakan.

Ketiga, cergas atasi gugup

Ciri paling mudah dilihat saat orang gugup bicara ialah artikulasinya patah-patah dan raut
mukanya tak percaya diri. Bisa jadi memang kurang persiapan, bisa juga sudah siap tapi baru
pertama kali unjuk diri.

Keringat dingin biasanya mengucur deras, dan banyak “e,e,e”. Yang mendengar bisanya
cuma sebal sama yang bicara. Padahal, belum tentu juga kalau disuruh tampil, bisa bicara.

Nah, kalau sudah begitu, bagaimana mengatasinya? Triknya, jujurlah kepada audiens.
Sampaikan bahwa kita memang gugup! Bicarakan juga bahwa kita sudah melakukan
persiapan matang, tetapi karena tampil perdana, semua yang disiapkan menjadi lenyap.
Dengan jujur semacam itu, kita sudah mendinginkan suasana. Audiens pun akan mengerti.
Satu-dua orang mencela, cuek saja. Dengan begitu, kita pasti lancar bicara karena yang kita
sampaikan adalah yang dirasakan. Kalau bicara sudah enak, lanjutkan presentasinya, Bro!
Hakulyakin bakal sukses.

Nah, supaya penampilan kita lebih santai, pegang sesuatu di tangan kanan atau kiri. Anggap
saja barang itu sebagai penyaluran energi gugup tadi. Bisa secarik kertas, sebatang bolpoin,
atau laser sorot.

Atau, bila berkacamata, pegang satu framenya di ujung telunjuk dan ibu jari, kanan atau kiri.
Itu akan menolong. Pegang mikrofon juga bisa. Namun, ada kalanya pelantang itu malah
yang bikin kita grogi. Salah-salah ujung mik dekat betul dengan mulut. Ada-ada saja.
Keempat, cergas memulai

Dalam menulis, ini disebut membikin lead. Gagal di lead, sulit melanjutkan tulisan. Sukses di
sini, ke depannya semakin gampang. Dalam presentasi juga demikian. Berhasil dalam
pembukaan, rintisan sukses sampai akhir presentasi sudah membayang.

Nah, ketika membuka pembicaraan, usahakan rileks saja. Suasananya itu kita yang mengatur,
bukan audiens. Pendengar hanya mengikuti. Setelah salam, sapalah audiens. Bilang kita
senang ada di dalam ruang pertemuan, bertemu dengan orang-orang yang haus ilmu.

Dapat juga dengan lebih dalam memperkenalkan diri, sekadar melengkapi curriculum vitae
yang dibaca moderator. Dengan membangun suasana yang akrab, audiens juga akan nyaman
dan mereka percaya mendengar kita bicara akan mendapat banyak pengetahuan. Setelah
suasana enjoy, segera masuk ke intisari pembicaraan karena kita tentu dibatasi dengan waktu.

Kelima, cergas berilustrasi

Pendengar acap membutuhkan banyak contoh saat mendengar seorang presenter. Mereka
membutuhkan banyak amsal sebagai motivasi untuk bertindak setelah presentasi usai. Misal,
dalam kesempatan kuliah tujuh menit (kultum) jelang salat tarawih. Karena waktu sangat
terbatas, penyampaian harus seefektif mungkin. Menggunakan banyak contoh akan sangat
membantu. Misal, bicara soal puasa dan kesehatan. Akan lebih baik jika diuraikan contoh
atau testimoni para atlet saat melakukan aktivitas meski berpuasa.

Misalnya pesepakbola asal Mali yang bermain di Sevilla, Spanyol, Frederic Kanoute. Ia tetap
berpuasa dengan asupan yang diatur dokter klub saat makan sahur. Dengan banyak amsal,
kemampuan kita mempengaruhi orang saat menjadi pembicara akan semakin besar. Gagasan
yang kuat ditopang ilustrasi yang mengena, manfaat yang dirasa akan semakin banyak. Coba
deh!

Keenam, cergas berbahasa

Senjata saat berbicara yang kecerdasan berbahasa. Bahasa Indonesia yang baik tentu pilihan
yang tepat. Namun, tidak seketat ragam bahasa tulis, dalam ragam lisan, kita bisa luwes.
Lucu juga kalau setiap kali berucap harus terdiri atas subjek, predikat, objek, dan keterangan.
Malah kaku jadinya. Yang penting, kuasai bahasa dengan baik. Sesekali diselingi bahasa
daerah, juga bagus untuk memancing respons pendengar.

Kalau audiens kita orang Indonesia, tak perlu banyak menggunakan diksi asing atau
mencampurnya. Contoh, “Saya pernah lunch dengan GM corporate terkenal. Dia talk dengan
saya bahwa Indonesia sulit maju coz Indonesia tidak ter-influence teknologi tingkat tinggi.”
Repot kan kalau bahasanya gado-gado begitu. Kalau gado-gado betulan sih tak apa. Ingat ya,
gunakan bahasa Indonesia yang baik!

Ketujuh, cergas menyapa dan kontak mata


Suatu waktu saat mengikuti mata kuliah Bank dan Lembaga Perekonomian, dosen, Nairobi,
namanya, tiba-tiba menyapa nama saya. Seingat saya, itu pertemuan perdana dan saya belum
pernah bicara sebelumnya dengan bapak dosen itu. Tapi, mungkin karena saya acap menulis,
dia tahu saya dan mencari informasi soal pribadi saya. Wah, saya geer juga. Bayangkan saja,
yang ikut mata kuliah itu puluhan orang dan nama saya disebut berkali-kali sebagai
mahasiswa yang rajin menulis.

Dari pelajaran itu, saya dapat ide untuk sesekali acap menyapa peserta dalam sesi pelatihan
atau diskusi. Kita pun begitu. Namanya manusia, akan senang jika namanya disebut. Dengan
begitu, keterikatan antara pembicara dan pendengar akan terjalin. Dan itu terbukti sukses.
Makanya, kalau mendapat jatah presentasi, kita wajib mengetahui sedikit banyak soal peserta.
Kalau memungkinkan, kenali semua peserta dalam kelas presentasi itu. Mungkin tak hafal
semua, dapat 50 persen saja sudah lumayan.

Ini rahasia ya, dengan menyapa peserta dan menyilakan mereka ikut berargumentasi, kita kan
terbantu. Paling tidak ada bahan bahasan dari jawaban peserta dan waktunya pun diisi oleh
peserta sendiri. Bercanda!

Yang lain, jaga kontak mata. Jadi pembicara tak boleh tertuju pada satu titik. Semua
pendengar punya hak mendapat perhatian. Edarkan pandangan pada semua sisi ruang. Kuasai
ruang hanya dengan menatap! Jadi, tak ada satu labirin pun yang tak terjangkau. Ini untuk
menumbuhkan percaya diri bahwa ruangan itu milik kita, milik pembicara. Pandangan mata
yang tertunduk, melihat langit-langit, kosong, dan sebagainya, akan membuat pendengar
merasa tak dihargai. Maka, hargailah mereka dengan menjaga dengan baik kontak mata kita.

Kedelapan, cergas ber-extempore

Ini cara public speaking yang terbaik. Cara ini mewajibkan presenter untuk membuat
kerangka pembicaraan dan materi pendukung. Dan, tidak mengingatnya. Ada orang yang
bergantung pada hafalan. Semua yang disampaikan adalah bahan hafalan semalam suntuk!
Ini kurang bagus karena metode menghafal akan kehilangan geregetnya saat ada satu bagian
yang lupa. Lebih baik membuatnya dalam kerangka besar dan pendukungnya, kemudian
dieksplorasi sendiri. Misalnya, membuatnya dalam Power Point intisari pembicaraan bab per
bab dan secuil contoh.

Saat malam sebelum esok tampil, bahan itu dipelajari dan dikuasai. Poin-poin penting diberi
tanda supaya bisa dieksplorasi dengan bahasa sendiri. Ini akan bagus. Selain materi lancar
disampaikan, kita takkan terganggu saat ada peserta yang bertanya, baik sesuai dengan
konteks maupun di luar ruang lingkup materi yang disampaikan.

Ayo, kita praktikkan beberapa panduan ini. Insya Allah bisa menulis dan berbicara di depan
publik dengan sama baiknya! Wallahualam bissawab.

http://bahasa.kompasiana.com/2011/07/11/cerdas-bernarasi-cergas-berorasi/

Anda mungkin juga menyukai