Anda di halaman 1dari 44

KUMPULAN TIPS DAN MOTIVASI

DALAM MENULIS; BUKU, NOVEL,


CERPEN DAN APAPUN YANG INGIN
KAMU TULIS

Oleh:

O. Solihin dan Harun Tsaqif

1
Daftar Isi

Kata Pengantar (hal 3)

Mengapa kita harus menulis? (hal 4)

Melawan Menulis dengan Menulis (Hal 6)

Menulis hal-hal kecil (Hal 8)

Lawanlah meski dengan Menulis (hal 11)

Menulis melancarkan Bicara (hal 15)

Beranilah Menuliskan Buah Fikiranmu (hal 17)

Antara belajar nulis dan Belajar Setir Mobil (hal 21)

Siapa bilang menulis itu gampang? (hal 23)

Menulis itu Menyenangkan! (hal 25)

Alirkan Saja Idemu (hal 28)

Untuk Apasih Kita Menulis? (hal 32)

Kumpulan kata Motivasi untuk Para Penulis (hal 36)

Pofil Penulis (hal 46)

Kata Pengantar
Menulis merupakan Aktivitas yang manfaatnya bukan hanya dirasakan oleh si
penulis tapi juga para pembaca. Dengan menulis kita menjadi seorang yang
bermanfaat, setidaknya melalui tulisan yang kita buat. Bayangkan saja, jika tulisan
kita mampu menggerakkan satu orang pembaca dan ternyata pembaca itu

2
menggerakan lagi temannya dan begitu seterusnya. Tentu pahala akan mengalir,
bahkan sampai kita mati. Inilah yang disebut ‘amal jariyah’

Nah, cuma... terkadang kita yang ingin menulis itu suka buntu ide, tidak ada
inspirasi, bingung mau mulai dari mana. Sampai pada akhirnya tidak ada satu buku
pun yang diselesaikan oleh kita. Maka itulah saya membuat ebook ini, meski sebagian
besar tulisannya bukan berasal dari tulisan melainkan berasal dari Penulis genre
remaja hebat yaitu ‘Oleh Solihin’ beliau sering kali memberikan kita tips menulis di
dalam webnya yaitu osolihin.net pun sebagian besar tulisan ini merupakan
sekumpulan artikel yang dibuat oleh beliau. Saya hanya menyumbang secuil Artikel
saja untuk di halaman pamungkas. Hehe

Harapannya, semoga ebook ini bermanfaat. Dan semoga dapat berguna bagi
kita semua. Aamiin.

Akhirnya, Semangat membaca! 

3
Mengapa kita Harus Menulis?

Saya pikir kita semua pernah menulis, minimal nulis SMS. Nah, tentu saja
menulis SMS itu ada tujuannya. Dengan alasan itulah saya memposting tulisan ini ke
blog. Siapa tahu kita jadi lebih semangat lagi dalam menulis.

Berikut ini secara singkat saya ingin berbagi: “mengapa kita harus menulis?”

Menurut saya, ada 2 alasan mengapa kita harus menulis:

1. Motif. Tentu saja ini sangat beragam. Biasanya dilihat dari “Isi
tulisan” dan “Maksud atau tujuan menulis”. Ada yang motifnya bisnis,
ingin populer di kalangan tertentu, ingin dihormati, ada yang karena
memang tugas untuk kepentingan pendidikan (misalnya ‘terpaksa’ menulis
skripsi, tesis atau desertasi), bahkan ada yang motifnya ibadah dan sarana
perjuangan. Beragam dan sah-sah saja.

2. Tujuan menulis. Seseorang pasti memiliki tujuan dalam menulis. Secara


umum, tujuan menulis adalah: Pertama, “Menginformasikan”. Apa yang
diinformasikan? Ya, segala sesuatu (fakta, data, peristiwa, pendapat dan
pandangan terhadap fakta, data dan peristiwa). Efeknya adalah: Pembaca
mendapatkan pengetahuan dan pemahaman baru. Kedua, “Membujuk”.
Ketika kita menulis, maka kita berarti sedang mengajak pembaca untuk
menentukan sikap setuju atau tidak terhadap suatu tema yang kita
sampaikan. Ketiga, “Mendidik”. Karena tujuan menulis salah satunya
adalah mendidik,maka hasil dari tulisan (seharusnya) bisa meningkatkan
wawasan pengetahuan, mengasah kecerdasan, mengubah perilaku.
Keempat, “Menghibur”. Ini artinya, tulisan yang kita buat bisa menjadi
penghibur seseorang. Tulisan menjadi semacam pelepas lelah. Kelima,
“Memberi solusi”. Ini penting. Sebabnya, selain menginformasikan,
membujuk, mendidik dan menghibur, tentu saja pembaca butuh jalan keluar
atau solusi dari masalah yang dihadapinya. Mesk solusi yang ditawarkan
setiap penulis berbeda untuk suatu masalah yang sama, tetap akan menjadi
bahan pertimbangan pembaca.

4
Oya, beberapa orang menganggap penting sebuah tulisan yang dihasilkan
para penulis. Selain Napoleon Bonaparte yang mengatakan bahwa dirinya
lebih merasa takut terhadap 1 orang penulis ketimbang 1000 orang
tentara, juga Heinrich Boll, seorang penulis asal Jerman yang pernah
meraih Hadiah Nobel Sastra pada 1972 juga berkomentar: “Di belakang
tiap kata berdiri suatu dunia, tiap orang yang menggunakan kata harus
menyadari bahwa ia mengguncang dunia”. Nadine Gordimer, sastrawan asal
Afrika Selatan juga punya pendapat, “Pada mulanya adalah kata, tetapi
kemudian menjadi senjata”. KH M Isa Anshary, seorang tokoh pergerakan
Islam di Indonesia menuliskan: “Revolusi-revolusi besar di dunia
selalu didahului oleh jejak pena dari seorang pengarang. Pena
pengarang mencetuskan suatu ide dan cita, menjadi bahan pemikiran
pedoman berjuang”

Jadi, tunggu apalagi? Tuliskan sesuai dengan apa yang ingin kita sampaikan selama
hal itu bermanfaat bagi sesama. Terutama bagi para penulis muslim, segera tuliskan
kata, yang dengannya akan menjadi senjata untuk menyebarkan dakwah Islam. Karena
menulis adalah bagian dari ibadah dan perjuangan.

Sekadar sharing. Barangkali bermanfaat.

***

5
Melawan Menulis dengan Menulis

Banyak di antara murid saya yang merasa sudah kalah sebelum belajar dengan
benar. Bahkan ada di antara mereka yang menjadikan rasa malas sebagai penyebab
ketidak-berdayaannya dalam belajar menulis. Perlu diketahui bahwa rasa malas
sebenarnya kita sendiri yang ‘menciptakannya’. Mungkin tepatnya membiarkannya
agar terus menyelimuti pikiran dan perasaan kita. Akibatnya, kita kehilangan gairah
untuk memulai belajar menulis (atau juga kegiatan lainnya).

Belajar menulis tidaklah sulit, jika kita mau beranjak untuk segera
menuliskannya. Sebab, sama seperti belajar silat, jika kita tak segera menggerakkan
badan untuk memeragakan jurus-jurus bela diri itu, amat wajar jika kemudian kita tak
bisa lihai bermain silat. Setiap orang punya potensi yang sama, yang seringkali
muncul pada kondisi ketika kita sudah memiliki minat yang kuat terhadap apa yang
ingin kita raih. Boleh percaya boleh tidak, jika kita sudah berbulat tekad, maka
halangan apapun tak akan mampu membendung kerasnya keinginan kita.

Menulis itu keterampilan, maka harus sering dilatih dengan rajin menulis. Itu
sebabnya, belajar menulis itu solusinya adalah MENULIS. Lho, bukankah menulis
erat kaitannya dengan membaca, sehingga jika kita malas membaca juga akan
berakibat malas menulis? Hmm.. menurut siapa itu? Saya justru sering berhadapan
dengan orang yang hobi membaca tetapi dia terang-terangan tak suka menulis.
Fenomena apa ini?

Idealnya, memang orang yang rajin membaca adalah orang yang juga rajin
menulis. Kedua aktivitas itu tak bisa dipisahkan. Tetapi faktanya, ada juga orang yang
doyan membaca tapi berat untuk menulis. Membaca baginya sebatas memenuhi hasrat
pengetahuannya semata, tak mau dibagikan lagi melalui tulisan kepada orang lain.
Orang jenis ini hanya berhenti pada tataran kepuasan diri semata, ilmu yang didapat
cukup baginya dan tak tergerak untuk menyebarkannya. Betul begitu?

Ah, tidak juga. Lho, bagaimana ini? Iya. Sebab, ada juga orang yang memang
bukan tak suka menulis, tetapi karena ia tak bisa memulai menulis. Jika faktanya

6
demikian, berarti harus diyakinkan bahwa menulis itu sarana berbagi dan berharap
mendapat pahala dari kemanfaatan yang kita berikan kepada orang lain melalui
tulisan.

Lalu bagaimana? Harus bagaimana? Jika ingin tetap belajar menulis, segeralah
langsung menulis saja. Tak usah dipikirkan terlalu lama. Salah itu wajar kok, asal
jangan sengaja berbuat salah. Berikutnya, kita harus mau belajar dari kesalahan
dengan cara memperbaikinya. Bagaiamana pun, belajar itu memang butuh proses.
Setuju? Jika setuju, segeralah menulis!

***

7
Menulis Hal-hal kecil

Apa yang Anda pikirkan sebelum menulis? Apa saja tema yang hendak ditulis?
Apa ide yang ada di pikiran saat ingin menulis? Sederet pertanyaan ini perlu dijawab.
Beberapa teman yang pernah saya tanya tentang hal itu mengaku ingin menulis yang
bagus, berharap bisa menulis yang mencerahkan, bisa menulis hal-hal besar, bisa
menulis sesuatu yang berat agar terlihat nyata intelektualitasnya sebagai penulis. Well.
Keinginan seperti itu sah-sah saja. Boleh-boleh saja. Tak ada yang melarang. Tapi, kita
harus mengukur diri dan interospeksi: “siapa kita saat ini?”

Bukan bermaksud membuat pesimis kawan-kawan yang hendak menulis.


Tidak. Tapi kita perlu berpikir bahwa orang yang mahir menulis hal-hal besar, besar
kemungkinan pernah menulis hal-hal kecil, atau memang terbiasa menulis hal-hal
kecil. Sebabnya, keterampilan manusia biasanya berjenjang: dari yang ringan terlebih
dahulu, yang sedikit berat, dan berat, plus sangat berat. Hal ini wajar, karena memang
manusia terbiasa melakukannya dengan cara “berurutan”, dari mudah ke sulit. Bukan
sebaliknya.

Bagi para pemula yang hendak menulis, jangan terlalu lama berpikir soal ide
dan tema apa yang hendak ditulis. Lakukanlah sebuah coretan kecil di kertas. Atau
langsung tulis saja di papan ketik sesuatu yang menurut kita perlu ditulis. Hal yang
ringan saja. Hal yang kecil yang bisa kita kuasai. Misalnya, kita bisa menulis tentang
disiplin sehari-hari (pekerjaan, kegiatan pengajian, sekolah, kuliah dan sejenisnya)–
misalnya tentang memanfaatkan waktu; bisa pula menuliskan mengenai suasana
rumah yang sering dilihat setiap hari; boleh juga menulis perilaku penghuni rumah kos
yang sangat kita kenal atau keluarga sendiri yang setiap hari bertemu dan
bercengkrama (tuliskan karakter mereka, cara bicara mereka, cara mereka
berpendapat, dll). Bisa juga membahas tentang perlunya menjalin silaturahmi.

Hal kecil lain dalam pekerjaan juga banyak: cara menjaga hubungan,
menikmati pekerjaan dsb. Ketika kita bepergian, pasti ada hal yang menarik dan unik,
tulislah semampu kita. Misalnya, tentang kemacetan, tentang kereta rel listrik
jabodetabek yang sesak padat saat jam pergi dan jam pulang kerja. Semua hal-hal

8
kecil bisa kita tuliskan. Toh, yang terpenting adalah memulai menulis. Bukankah
setelah kita sering menulis hal-hal kecil pasti ada pelajaran di setiap apa yang kita
telah tulis? Rasa-rasanya kita memang perlu belajar memaknai sebuah proses. Itulah
perlunya berlatih.

Bila hal-hal kecil telah dikuasai, maka hal-hal besar adalah tantangan tersendiri
yang perlu dicoba dijajal. Orang yang terbiasa mengendarai sepeda, dia akan
tertantang mengendarai sepeda motor. Belajar naik sepeda pun, ada seninya: Pelan,
perlahan, nikmati, hati-hati, dan percaya diri. Pun, tidak bisa memaksakan keinginan
untuk langsung ngebut, karena bisa jadi benjut gara-gara jatuh dari sepeda karena
kehilangan keseimbangan. Mengendarai sepeda motor juga bertahap. Valentino Rossi,
juara dunia 7 kali, pasti di awal-awal belajar mengendarai si kuda besi itu tak
langsung di kelas MotoGP, tapi di kelas 125 cc, naik ke 250 CC, lalu ke 500 cc.
Bertahap dan setiap tahapnya banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik.

Menulis adalah keterampilan unik. Makin sering menulis, maka makin lihai
menulis. Banyak hal kecil yang perlu ditulis, dan biasanya hal itu sangat dekat dengan
kehidupan kita dan insya Allah mudah kita kuasai. Cobalah berpikir sejenak. Bukan
hanya bagi pemula, tapi bagi penulis senior pun tetap perlu merenungkan hal-hal kecil
yang bisa menjadi tema tulisan. Penulis buku-buku jenis Chicken Soup, Jack Canfield,
kerap menuliskan hal-hal sederhana yang jarang ditulis oleh penulis lain. Tapi tetap
karyanya banyak diminati. Karya yang inspiratif. Mudah dipahami, sederhana, lugas
dan langsung kena sasaran. Jadi, siapa bilang menulis hal-hal kecil, kekuatannya
menjadi remeh. Tidak selalu, tuh.

Jadi, mulailah belajar menulis dengan menuliskan hal-hal kecil yang sangat
dekat dengan kehidupan kita dan sangat kita kuasai. Setelah sering menulis hal-hal
kecil, bukan tak mungkin kita bisa menulis hal-hal besar yang sangat kita kuasai
karena belajar banyak dari hal-hal kecil yang telah kita tulis. Sehingga tulisan kita
terasa ringan mengalir dan memudahkan pembaca memahami apa yang kita maksud,
meskipun tema yang kita angkat terbilang berat. Sebab, tujuan menulis bukanlah agar
kita disebut pandai oleh pembaca, tetapi untuk mendidik pembaca agar mereka
pandai.

9
***

10
Lawanlah meski dengan Menulis

Saat-saat di mana kita tak memiliki tenaga untuk melawan, kita masih bisa
menulis. Saat-saat di mana suara kita dibungkam, kita masih bisa menulis. Saat-saat
fisik kita dipenjara, kita masih bisa menulis. Lakukanlah perlawanan, meski dengan
hanya menulis.

Memang, menulis bukan satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan, tetapi


menulis bisa menjadi satu cara untuk tetap menumbuhkan semangat perlawanan. Saat
kita terdesak tak punya saluran untuk menyuarakan pendapat kita, menulis menjadi
media untuk menggelontorkan gagasan dan pendapat kita agar dibaca banyak orang.
Anne Frank, dalam ‘kesendiriannya’ menulis buku harian. Catatan harian itu ditulis
Anne selama masa persembunyian di Prinsengracht–menghindari kejaran pasukan
Nazi. Di kemudian hari, tepatnya tahun 1947, catatannya diterbitkan. Meski sekadar
menulis catatan kecil, tapi ia berhasil merekam jejak kehidupan selama ia berada
dalam kondisi tertekan. Dengan wawasannya, dia menyingkapkan hubungan antara
delapan orang yang hidup dibawah kondisi yang luar biasa, menghadapi kelaparan,
ancaman ketahuan dan dibunuh yang senantiasa hadir, sepenuhnya terasing dari dunia
luar, dan terutama, kebosanan, kesalahpahaman yang remeh, serta frustrasi hidup
dibawah ketegangan tak tertahankan, dalam tempat tinggal yang terbatasi.

Mengomentari catatannya ini, Chicago Tribune menulis: “Catatan Harian ini


mengungkapkan impian-impian, kegetiran hidup, perjuangan, dan emosi…
Memperingati setengah abad lebih Berakhirnya Perang Dunia II, Ada Baiknya kita
membaca kembali sebuah kesaksian akan perjuangan jiwa dalam mengarungi sisi
kejam kehidupan dunia.”

Okelah, ini satu contoh. Betapa dalam kondisi terjepit pun, kita bisa melawan–atau
setidaknya–memberikan kabar kepada siapapun bahwa diri kita sedang terjepit.
Menulis, adalah salah satu cara untuk memperjuangkannya.

Banyak kisah lain yang menceritakan bahwa menulis adalah satu bentuk
perlawanan. Syeikh Sayyid Quthb, melalui buku-bukunya jelas melakukan
perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman yang ada pada saat itu. Ketika fisiknya
dibatas oleh jeruji penjara, ia tetap bisa melawan: dengan menulis. Buya Hamka, tetap

11
bisa berdakwah, bisa berbagi ilmu, bisa melakukan perlawanan dengan menulis.
Ketika beliau dipenjara, beliau tetap menulis dan bahkan ada satu karya fenomenal,
yakni Tafsir al-Azhar. Menulis, satu bentuk usaha untuk melawan dan menaklukan
tantangan hidup. Menulis menjadi senjata untuk melakukan perang opini.

Kita, generasi mutaakhirin ini, masih bisa membaca kisah-kisah heroik teladan
kita di masa lalu. Rasulullah saw. melalui para sahabatnya yang bisa membaca dan
menulis mengabarkan berdirinya kekuatan baru, negara Islam di Madinah, melalui
surat-surat yang dikirim kepada para penguasa di sekitar Jazirah Arab. Secara tidak
langsung, surat-surat yang ditulis itu sekaligus mengumumkan perlawanan kepada
mereka. Bahwa ada kekuatan baru untuk menghentikan problem kehidupan yang
terjadi saat itu. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Kaisar Persia tak terima,
maka dirobeklah surat dari Rasulullah saw. yang dibawa Abdullah bin Hudzafah as-
Sahmy. Heraklius, Kaisar Romawi juga menolak dengan halus ketika menyampaikan
pesan kepada Dhihya al-Kalbi, sahabat yang diutus Rasulullah saw. mengantarkan
surat kepadanya: “Sampaikanlah berita kepada pembesarmu itu, bahwa aku tahu dia
memang benar Nabi,tetapi apa daya, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tak mau
ditumbangkan dari kerajaanku.”

Rasulullah saw. bersabda ketika surat yang dibawa utusannya dirobek-robek


oleh Kisra: “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya pula.” Ketika Heraklius
menolak dengan halus, Rasulullah saw. hanya berkomentar pendek, “sa uhaajim al-
ruum min uqri baitii” (Akan aku perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi
saw. ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan
juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan
risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang
tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan
mengalahkan Romawi.

Dan Nabi benar, pada tahun 700-an, tidak lebih dari setengah abad sesudah
wafatnya Nabi Muhammad saw. (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan
Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the
Great. Selanjutnya, kaum muslimin memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh

12
Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun
711 M: “713 kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim
dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur.
Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat menjadi
Muslim.”

Menulis adalah bagian dari perjuangan: melawan; menggerakkan. Tulisan yang


mencerahkan mampu mengobarkan semangat dan menggerakkan kekuatan untuk
melakukan perlawanan.

Jika Theodor Herzl menulis Der Judenstaat (1896) yang menginspirasi banyak kaum
Yahudi untuk mendirikan negara Israel pada 1948 (sekitar 50 tahun setelah buku itu
ditulis), kita juga bisa menggerakkan gelombang perlawanan–salah satunya–melalui
tulisan. Sekaligus mengabarkan bahwa kaum muslimin juga bisa kembali punya
kekuatan yang mendunia–sebagaimana sudah dirintis dan dibuktikan oleh Rasulullah
saw., para sahabatnya dan seluruh khalifah hingga terakhir di Turki Utsmani yang
berakhir pada 1924. Kita bisa membaca kisah masa lalu, melalui sebuah tulisan. Kita
memiliki al-Quran, yakni kalamullah (ucapan Allah) yang ditulis kembali untuk
dibaca umat manusia seluruh dunia. Kitab yang mampu memberikan penjelasan,
memberikan kabar gembira dan peringatan.

Ya, menulis adalah salah satu cara dalam melakukan perlawanan. Selain tentunya
menulis untuk berbagi informasi, berbagi wawasan, berbagi ilmu.

Akhirul keyboard, menulislah terus, dan teruslah menulis agar semangat


perlawanan dan perjuangan tak pernah henti. Napoleon Bonaparte pernah
berkomentar: “Aku lebih suka menghadapi seribu tentara daripada satu orang
penulis”. Ya, seorang jenderal bisa mengerahkan kekuatan seribu tentara, tapi seorang
penulis bisa saja menginspirasi ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan jutaan
orang untuk melakukan perlawanan. Jangan berhenti nulis!

Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam,

***

13
Menulis melancarkan Bicara

Bukan sulap bukan sihir. Jika diasah terus, menulis justru bisa melancarkan
bicara. Bukan hanya lancar, tapi juga bisa merunut poin-poin yang perlu disampaikan
secara sistematis. Saya pernah merasakan efek samping menulis tersebut. Percayalah,
bukan hanya saya ternyata yang merasakan lancar berbicara di depan publik yang
merupakan efek samping dari menulis. Beberapa kawan saya yang saya tahu betul
sejak awal susah menyampaikan informasi lewat lisan, setelah beberapa kali secara
rutin saya ajak untuk nulis, akhirnya lancar juga. Bahkan bisa mengeksplorasi
kelucuan ketika dia menyampaikan secara lisan. Persis sama ketika dia menuliskannya
dalam tulisan-tulisannya. Keren!

Ya, jika Anda termasuk yang susah berbicara di depan umum. Mungkin salah
satu terapinya adalah berlatihlah untuk menulis. Terus menulis dan menulis terus.
Suatu saat, latihan itu akan memberikan efek samping, bahwa Anda akan mulai berani
bicara di depan publik. Di depan banyak orang. Atau setidaknya lancar ketika
menyampaikan dalam rapat. Pada tahap awal memang Anda bisa membuat semacam
poin-poin yang akan disampaikan. Nah, jika kita tidak terbiasa menulis, poin-poin
agenda rapat saja akan sulit diungkapkan. Tapi jika sudah terbiasa menulis, gambaran
itu dengan mudah terpetakan. Berikutnya, tentu saja ketika akan disampaikan secara
lisan, kita setidaknya sudah menyerap informasi itu 50%-75%. Sehingga ketika kita
benar-benar menyampaikannya di depan publik, kita sudah mampu memetakan apa
yang akan dibahas. Insya Allah lancar mengalir dan bisa jadi deras.

Bagi Anda yang ingin bisa menulis, cobalah mulai dengan menuliskan hal-hal
yang paling Anda sukai dan paling Anda kuasai. Saya selalu mengulang hal ini di
setiap kesempatan karena manfaatnya insya Allah akan terasa sekali. Jangan putus asa
pula. Jika gagal pada tulisan pertama, lakukan pada tulisan kedua, ketiga, keempat,
bahkan kesepuluh dan mungkin saja keseratus. Tapi, berdasarkan pengalaman sih, tak
sampai tulisan kesepeluh beberapa teman saya sudah lihai menuangkan ide lewat
tulisan dan akhirnya sedikit demi sedikit berani untuk mempresentasikan tulisannya
secara lisan. Awal-awal tentu masih grogi. Mencoba kedua kali mungkin masih kaku.
Ketiga kali mulai sedikit cair. Umumnya, tak sampai 7 kali berbicara sudah lancar.

14
Insya Allah asalkan setiap kali mencoba dievaluasi dan dimintakan pendapatnya
kepada orang yang membimbing kita atau orang-orang di sekitar kita tentang gaya kita
ketika menyampaikan presentasi. Evaluasi itu perlu, untuk mengukur tingkat
keberhasilan kita dari satu percobaan ke percobaan berikutnya.

Intinya: menulislah dan terus menulis agar kita lancar, dan sangat boleh jadi
juga pada akhirnya kita memiliki keahlian berbicara. Memang, tidak semua mahir
dalam kedua bidang tersebut secara sekaligus sama bagusnya. Tapi setidaknya kita
bisa memiliki standar yang dibutuhkan untuk bisa menyampaikan informasi dengan
benar dan baik melalui tulisan maupun lisan. Tetaplah menulis!

***

15
Beranilah Menuliskan Buah Fikiranmu

Inspirasi menulis bisa dari mana saja. Termasuk untuk menulis artikel ini yang
spontan idenya muncul saat ini juga. Suatu hari saya berkunjung ke Bogor Islamic
Book Fair, selepas ngisi jadwal rutin kajian bareng temen-temen gaulislam, dengan
tujuan utama membagikan buletin gaulislam edisi terbaru di event itu. Nah, saat itulah
saya bertemu dengan Burhan, anak muda yang biasa memandu saya siaran Fresh!
Air di MARS 106 FM. Bersamanya saya lalu membagikan buletin gaulislam edisi
168/tahun ke-4 ke para peserta remaja setelah mereka mengikuti sebuah talkshow di
panggung utama. Seru! Karena ada di antara mereka yang tak sabar hingga berebutan
mendapatkan gaulislam. Mungkin ia sudah pernah membaca gaulislam di edisi
sebelumnya. Mungkin. Hehehe…

Lalu apa hubungannya dengan judul posting ini? Ada. Siang ini, tanpa sengaja
saya menjadi ‘mentor’ dadakan untuk membantu Burhan, seorang pemuda yang
sedang menempuh pendidikan berbeasiswa di sebuah lembaga zakat.

Setelah shalat Dhuhur, saya dan Burhan kembali ke studio MARS 106 FM. Di
ruang rapat kami ngobrol. Burhan menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan tugas
menulis feature dari dosennya. Nah, seperti dalam peribahasa “Pucuk dicinta ulam
tiba”. Burhan, memanfaatkan betul kesempatan ini. Jadilah saya mentor dadakan bagi
Burhan. Saya rangsang dia untuk berpikir dan mengungkapkan apa buah pikirannya
ke dalam sebuah tulisan. Berat di awalnya memang. Burhan berkali-kali tampak
bingung. Ujung balpoint-nya tak pernah bergerak untuk dituliskan sementara
wajahnya begitu tegang. Saya diamkan beberapa saat sambil ngecek email.

“Saya bingung Pak” Burhan seakan menyerah.

“Bingungnya di mana?” saya tanya sambil melihat hasil tulisannya yang baru
beberapa buah kata itu.

“Memulainya” sambil menatap mata saya dia bicara.

“Ok. Sekarang begini. Apa yang ada dalam pikiran Burhan saat ini? Mungkin
beberapa peristiwa yang menarik akhir-akhir ini, adakah? Atau, mungkin pengalaman
terbaru yang bisa diceritakan ke orang lain? Bisa juga, Burhan barangkali punya

16
pendapat tertentu yang ingin disampaikan?” Panjang lebar saya pandu dia. Saya
sengaja tidak memberikan taburan kalimat langsung agar ia bisa menulis lancar.
Tidak. Saya memilih Burhan untuk menuliskan buah pikirannya dengan bahasanya
sendiri.

Ketika ia meminta contoh, saya berikan beberapa tulisan saya di blog, termasuk yang
di facebook. Dia membacanya sekilas. Lalu manggut-manggut tanda mengerti.

“Oh, bisa dimulai dari menuliskan pengalaman ya, Pak”

“Ya, bisa juga demikian” saya memastikan.

“Bisa dengan cara lain tidak?” dia tampak belum yakin.

“Kenapa tidak? Saya lalu contohkan bahwa dalam menulis feature bisa melalui
berbagai angle (sudut pandang). Untuk satu tema saja bisa banyak sudut pandang.
Contohnya, ini tulisan saya lainnya,” saya menyodorkan contoh tulisan saya yang lain.

Burhan lalu menulis. Menulis dan menulis terus. Beberapa kali ia tampak
masih belum percaya diri dengan hasil tulisannya. Ia menunjukkan dan minta saya
menilainya. Saya pastikan bahwa, Burhan harus berani menuliskan buah pikirannya.
Jika saat ini yang muncul banyak ide, tulislah saja semuanya. Meski berantakan, nanti
bisa ditulis ulang. Disusun sesuai runutan peristiwanya dan logika penuturannya. Baca
lagi ketika sudah dianggap selesai. Insya Allah nanti akan ketemu, paragraf mana saja
yang sebaiknya disimpan dalam susunan yang rapi. Burhan menurut dan akhirnya dia
mampu menyelesaikannya setelah lebih dari lima belas menit menulis dan
menuangkan buah pikirannya dalam selembar kertas.

“Sudah Pak!” seru Burhan sambil mengemas barang bawaannya untuk menuju kelas
dan bertemu dosennya untuk menyerahkan tugas menulisnya hari itu juga.

“Yang penting ada dulu deh Pak!”

“Sip deh!” saya mensupport-nya.

Saya sampaikan ke Burhan bahwa untuk menulis lebih lancar lagi, harus sering
latihan menulis. Sebab, menulis adalah keterampilan. Tidak instan. Perlu
pengorbanan, perlu percaya diri dan perlu kesabaran. Jangan lupa sambil berikhtiar

17
tetaplah berdoa memohon kepada Allah Swt. untuk dimudahkan dalam belajar
menulis.

Saya berharap, Burhan dan siapapun yang hendak menulis, beranilah untuk
menuangkan buah pikirannya. Jangan ragu, jangan bimbang, teruslah menulis. Asah
kemampuan menulis secara teknik, dan kembangkan terus wawasan yang kita miliki.
Insya Allah akan menghasilkan tulisan yang tidak saja enak dibaca, tapi juga berbobot.
Ibarat makanan, bukan saja mengenyangkan karena enak dilahap, tetapi juga bergizi
tinggi (Ah, jadi ingat tulisannya Pak Hernowo, Andai Buku Itu Sepotong Pizza). Di
buku itu sangat menarik digambarkan bagaimana menikmati sebuah buku. Nah, agar
bisa menghasilkan buku ‘bergizi’ maka penulisnya harus belajar untuk ‘memasaknya’.

Baiklah, ini sekadar catatan kecil saja. Sekadar membangkitkan motivasi bagi
siapa saja yang mau memulai menulis atau membiasakan menulis. Intinya, aktivitas
menulis itu tidak lepas dari membaca. Maka, jika diformulasikan begini; “membaca,
menulis, membaca lagi, menulis lagi, begitu seterusnya”. Ada pameo terkenal juga
bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Contohnya, para mantan presiden
Amerika rata-rata bisa menulis biografinya. Karena mereka rajin baca. AS memiliki
pemimpin-pemimpin besar yang gila buku, seperti John Quincy Adams, Abraham
Lincoln, dan JF Kennedy; Inggris pernah memiliki pemimpin legendaris Winston
Churchill yang maniak buku; dan India memiliki pemimpin besar Jawaharlal Nehru
yang kutu buku.

Bagaimana dengan Islam? Wah, insya Allah banyak juga. Ribuan ulama adalah
para penulis dan juga mereka adalah pembaca. Lihat Imam Syafi’i, beliau menulis
karya masterpiece-nya yang berjudul al-Umm. Mungkin saja beliau terinspirasi dari
penulis sebelumnya. Ya, dalam sebuah riwayat yang pernah saya dapatkan, ternyata
beliau juga sudah membaca kitab al-Muwwatha karya Imam Malik sebelum berguru
kepada penulisnya itu secara langsung. Hebat bukan?

Jika kita membaca kitab-kitab para ulama, lihatlah sumber rujukannya. Pasti
bertaburan. Itu artinya, mereka juga membaca. Tradisi keilmuan di dunia Islam yang
tinggi telah menghantarkan orang-orang hebat lainnya seperti Imam Ibnu Taymiyyah
dengan Majmu al-Fatawa. Imam Bukhari dan Imam Muslim menuliskan kumpulan

18
hadits shahihnya. Para ahli tafsir seperti Imam az-Zamakhsary yang menulis Tasfir al-
Kasyaf, Imam Qurthubi yang menulis Tafsir al-Qurthubiy. Buya HAMKA menulis
tafsir Al-Azhar dan masih ribuan ulama lainnya. Mereka semua para penulis hebat
sepanjang sejarah. Ilmunya terus bermanfaat dan menyirami pikir serta rasa semua
orang yang haus ilmu. Pahala bagi penulisnya hingga hari kiamat. Insya Allah.

Jika Clinton dalam otobiografinya My Life menjelaskan bahwa buku adalah


jembatan menuju abad 21, demikian juga yang dilakukan Khalifah Harun al-Rasyid di
negeri Seribu Satu Malam. Lewat perpustakaan Baitul Hikmah, Khalifah Harun al-
Rasyid mampu menghadirkan digdayanya kekhalifahan Islam dari bani Abbasiyah
sebagai tonggak peradaban dunia paling monumental. Fantastis!

Yuk, beranilah menuliskan buah pikiran Anda sekarang juga. Jangan tunggu sampai
lupa apalagi malas. Latihlah kemampuan menulis seiring dengan ditingkatkannya
kemampuan membaca. Semoga tulisan hasil dari ide spontan saya dalam menangkap
inspirasi siang ini bisa bermanfaat bagi siapa saja. Tetap semangat menulis!

***

19
Antara belajar nulis dan Belajar Setir Mobil

Menulis itu keterampilan, makin sering dilatih (biasanya) makin mahir. Begitu
pula dengan menyetir mobil, adalah keterampilan. Jika sering berlatih, maka
(biasanya) juga makin mahir. Pokoknya, semua hal yang ada prakteknya (tak sekadar
teori) bisa diaplikasikan langsung. Kemahirannya berbanding lurus dengan seringnya
berlatih dan berimprovisasi selama latihan.

Jangan takut gagal saat berlatih menulis. Gagal itu biasa. Namanya juga sedang
belajar. Bunyi salah satu iklan pembersih pakaian: “nggak ada noda ya nggak belajar”.
Jadi tak perlu khawatir salah atau gagal. Itu hal yang bisa menimpa semua orang.
Jangankan bagi yang baru belajar, mereka yang sudah mahir pun adakalanya gagal
dan salah perhitungan. Lihatlah Valentino Rossi dan Dani Pedrosa, pernah terlempar
dari arena balapan saat kuda besi yang ditungganginya tergelincir di licinnya aspal
sirkuit. Siapa bilang pemain sepakbola berpengalaman akan selalu sukses
mengeksekusi tendangan penalti. Roberto Baggio adalah salah satu contohnya. Ia
pernah gagal mengeksekusi penalti terakhir di final Piala Dunia, sehingga Gli Azzurri
Italia menangis sambil menatap cemburu kepada Brasil yang jadi Juara di Piala Dunia
1994 itu.

Bayang-bayang kegagalan bukan hanya milik mereka yang sedang berlatih atau
belajar, tetapi juga menghantui mereka yang sudah mahir atau terampil. Itu sebabnya,
tak perlu ciut nyali jika masih selalu gagal saat belajar menulis atau belajar menyetir
mobil. Teruslah berlatih dan belajar dari kegagalan agar tak terulang pada latihan
berikutnya. Jangan pernah menyerah, hingga benar-benar tak ada lagi yang mampu
untuk diupayakan.

Belajar menulis dan belajar setir mobil itu ada kesamaannya, yakni sama-sama
belajar keterampilan. Hanya saja nanti berbeda dalam perlakuan setelah bisa atau
mahir. Apakah itu? Menulis, meski sudah mahir sekalipun tak perlu lisensi khusus
sebagaimana menyetir mobil atau sepeda motor yang dikeluarkan instansi tertentu
(setidaknya sampai saat ini) . Kualitas tulisan seseorang akan dilihat pada tulisannya,
bukan sertifikat atau lisensi yang didapatkannya. Hal ini berbeda dengan menyetir

20
mobil, seseorang yang sudah memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) aliasdriving
licence, dianggap sudah bisa mengendarai kendaraan. Padahal, belum tentu.

Omong-omong, mengapa judulnya seperti ini? Ini ada kaitannya dengan saya
selama belajar menyetir mobil dilatih seorang murid saya. Nah uniknya, murid saya
itu belajar menulis dengan saya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi murid saya
yang sudah mengajari saya menyetir mobil, karena akhirnya saya bisa juga
mengendarai kendaraan tersebut. Ini artinya pula, saya ingin memotivasi murid saya
bahwa dengan serius dan terus belajar menulis, in sya Allah akan bisa juga menulis
setelah menempuh kurun waktu tertentu. Setuju?

Ayo menulis! Teruslah berlatih dan belajar menulis agar tulisan kian bagus
kualitasnya dan tersampaikan pesannya. Yuk, perkaya wawasan dengan banyak
membaca dan berinteraksi dengan orang lain. Jangan mudah menyerah dan tetap
semangat berlatih menulis!

***

21
Siapa bilang menulis itu gampang?

Saya sering mendapat pertanyaan dari peserta workshop menulis atau siapapun
yang kebetulan bertemu saya dan berbicara seputar menulis: “Bagaimana caranya bisa
menulis? Apa saja yang harus dipersiapkan agar tulisan bagus dan enak dibaca?
Bagaimana supaya pilihan kata yang kita rangkai dalam kalimat tidak monoton?
Apakah benar menulis itu gampang, karena faktanya saya tak bisa juga menulis meski
berkali-kali berlatih?” (catatan: dengan pertanyaan-pertanyaan jenis ini, sepertinya
menulis jadi menyulitkan)

Oya, selain pertanyaan-pertanyaan tadi, masih banyak pertanyaan serupa meski


tak sama, tetapi intinya banyak mengeluhkan ketidak-mampuan membuat sebuah
tulisan. Mendapati kenyataan seperti ini, haruskah saya meralat anggapan bahwa
menulis itu gampang sehingga harus berpikir ulang untuk mengatakan, “siapa bilang
menulis itu gampang?”

Tidak. Saya sebenarnya tidak ingin melemahkan semangat mereka yang ingin
sekali bisa menulis. Saya hanya sedang merasa berada pada level gagal paham
terhadap orang yang kurang berusaha tetapi terlalu mudah untuk cepat menyerah.
Benar bahwa menulis butuh persiapan dan ketersediaan bahan tulisan untuk ‘digoreng’
dengan bumbu paling lezat yang akan dihidangkan kepada para penikmat informasi
dan opini tertulis dengan selera tinggi. Namun demikian, bukan berarti pada level
paling gampang untuk berlatih menulis lalu kita abaikan. Tidak sama sekali.

Jika ingin menuliskan hal-hal kecil yang kita sukai dan kuasai—tentu saja yang
memang bermanfaat dan memberi maslahat—tulislah karena sangat boleh jadi, dari
situlah kita bisa mencintai huruf, kata, dan merangkainya dalam kalimat. Biarlah
puisi-puisi sederhana yang kita buat kita nikmati sendiri. Tetapi jika ingin
mendapatkan tantangan, cobalah di-share di twitter atau facebook atau blog. Siapa
tahu, banyak orang yang menentang, melecehkan, menjelek-jelekkan, mengkritik
dengan pedas, termasuk yang memberi saran. Nikmati saja semua itu, sebab semuanya
akan memberikan tambahan energi bagi kita untuk berubah dan terus memperbaiki
kualitas tulisan kita. Cobalah!

22
Oya, jika Anda termasuk orang yang sering dibuat pusing dengan banyaknya
pilihan ide, dengan bejibunnya pilihan tema/topik, dengan melimpahnya fakta
sehingga tak bisa dipilih dan dipilah mana yang harus ditulis, maka saya sarankan agar
Anda menepi terlebih dahulu dari hingar-bingar berseliwerannya ide dan tema/topik
(termasuk padatnya lalu-lintas fakta). Bila perlu ‘bertapa’ atau mengasingkan diri.
Namun, jangan terus seperti itu, tetapi harus dibarengi dengan mencari cara terbaik
untuk menuliskan pesan. Jika tidak, Anda harus siap berhadapan dengan kenyataan:
“Orang lain sudah jauh meninggalkan Anda yang memilih membeku dengan
kebingungan memilah ide dan topik tulisan”.

Bagaimana, apakah masih setuju jika dikatakan, “Siapa bilang menulis itu
gampang?” Atau justru akan lantang menuliskan: “Menulis itu memang gampang,
tetapi jika ingin menulis dengan benar dan baik, tidaklah gampang”. Saya sendiri
setuju dengan pilihan yang kedua. Jika sekadar menulis saja, pastinya gampang. Coba
saja asal tulis—terutama mengekspos kegalauan dan kelakuan alay di wall facebook
dan berkicau di linimasa twitter, sepertinya enteng-enteng saja.

Tetapi, cobalah menulis dengan benar dan baik, pastilah jadi beban jika belum terbiasa
menulis dan tak mau dilatih untuk menulis. Jadi, tetap menulis, karena dengan terus
berlatih menulis, maka kita akan bisa dan terbiasa menulis. Semakin lama akan
semakin lihai menyusun informasi dan memberi opin melalui tulisan. Tak percaya?
Silakan dijajal langsung dengan menulis. Terus dan tetaplah menulis, karena jika
sekadar menulis sebenarnya gampang. Namun jika ingin bisa dan terbiasa menulis
dengan benar dan baik, tidaklah gampang. Itu sebabnya, perlu menimba ilmu dan
berlatih terus menulis, serta—tentu saja banyak membaca. Semangat!

***

Menulis itu Menyenangkan!

Michael Crichton, penulis novel “Jurassic Park” memberikan motivasi tentang


menulis dengan kalimat-kalimat ini: “Sebuah karya akan memicu inspirasi. Teruslah

23
berkarya. Jika Anda berhasil, teruslah berkarya. Jika Anda gagal, teruslah berkarya.
Jika Anda tertarik, teruslah berkarya. Jika Anda bosan, teruslah berkarya.”

Menurut saya, menulis itu sangat menyenangkan. Karena apa? Karena kita bisa
menuangkan banyak ide yang menumpuk di benak kita menjadi sebuah tulisan yang
bisa dibaca banyak orang. Kita tidak menikmatinya sendiri. Kita bisa berbagi cerita.
Cerita sedih dan bahagia sama nikmatnya untuk dibagikan. Bukankah itu sesuatu yang
menyenangkan?

Bagi saya sendiri, menulis adalah bagian dari menyampaikan dakwah. Sungguh
sangat menyenangkan bisa memberikan yang terbaik buat orang lain. Saya menikmati
setiap kata dan kalimat untuk disampaikan kepada orang lain. Saya menulis tanpa
beban berat. Itu sebabnya, saya ingin berbagi dengan teman-teman bagaimana sih agar
menulis terasa menyenangkan. Nggak jadi beban, gitu lho.

Nah, ada beberapa alasan mengapa menulis adalah pekerjaan yang menyenangkan,
setidak-tidaknya menulis memiliki beberapa kelebihan ketimbang berbicara, yakni
sebagai berikut:

Pertama, dengan menulis kita bisa menyampaikan gagasan secara teratur dan
dengan pilihan kata yang pas. Coba deh bikin surat untuk ijin nggak bisa sekolah
karena sakit buat wali kelasmu. Pastinya ketika menuliskan surat itu nggak
sembarangan. Kita akan merunut permasalahan. Nggak tiba-tiba bin ujug-ujug nulis,
“Hanya satu kata: Sakit!”. Wah, nggak mungkin kan. Kita akan menuliskan dulu
ungkapan penghormatan kepada wali kelas kita. Terus kita mulai menuliskan alasan
tidak bisa masuk sekolah pada hari tersebut, sambil disertai permohonan maaf. Nah, di
sini pasti menggunakan kata yang enak untuk dibaca. Bayangin deh kalo kita langsung
bicara, selain nggak memungkinkan karena sakit, juga belum tentu pas ngomong
selancar ketika kita nulis. Karena ada “gangguan psikologis”. Malu en takut,
misalnya. Betul nggak?

Kedua, menulis memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menilai


pendapat kita secara lebih leluasa dan mungkin secermat mungkin. Sehingga didapat
persepsi yang utuh. Saya pikir ini salah satu kelebihan dalam menulis. Contohnya
adalah ketika kita bertukar pendapat dengan orang lain dalam sebuah diskusi via e-

24
mail dalam grup mailing list atau menjawab komentar pengunjung blog kita. Kita
akan menuliskan argumentasi tanpa perlu merasa terbebani akan disanggah atau dicela
di saat kita sedang menulis pendapat kita.

Kita akan kerahkan semua kemampuan yang kita miliki untuk menjelaskan
topik yang sedang didiskusikan. Bila perlu sedetil-detilnya biar apa yang kita
sampaikan diserap dengan utuh oleh lawan diskusi kita. Bayangin deh kalo kita
ngobrol langsung. Pastinya “ubun-ubun” kita ngebul terus kalo pas lagi omongan
sering dipotong lawan bicara kita. Kalo sama-sama ngotot, diskusi bisa mengarah
kepada “debat kusir”. Aduh, tadinya mau ngasih penjelasan malah jadi “berantem”.
Nggak asyik banget kan? Eh, sebenarnya diskusi di mailing list atau blog pun bisa jadi
debat kusir kalo sama-sama nggak mau ngalah dan mengakui kesalahannya dan ogah
mengikuti kebenaran yang diajukan lawan diskusinya. Tetapi setidaknya dengan
menulis, akan lebih ditata terlebih dahulu agar lebih baik penyampaiannya.

Ketiga, menulis akan membuat kita lebih efektif dalam mengopinikan gagasan
kita kepada khalayak. Betul. Ini sangat saya sadari banget. Ketika menuliskan sebuah
gagasan kadang perlu “bunga-bunga” alias “bumbu-bumbu” informasi yang bagus.
Sementara, informasi bagus itu adakalanya tersimpan dalam sebuah buku atau kitab
tertentu, sehingga perlu digali. Biar orang yakin dengan apa yang kita sampaikan,
maka kita kudu mencantumkan sumber informasi tersebut. Pada saat seperti inilah kita
dituntut untuk lebih kreatif dalam mengkomunikasikannya. Supaya data-data itu
nggak “mati”, maka butuh teknik untuk menyampaikannya. Bisa saja dengan gaya
bahasa yang asyik dan nggak kaku sehingga membuat kesan tak menggurui pembaca
kita. Tentu saja, kalo kita bicara rasa-rasanya sangat lucu jika disampaikan, “Menurut
keterangan dalam sebuah kitab, halaman sekian, cetakan kesekian, karya sia anu”.
Waduh, menurut saya sih itu nggak pada tempatnya. Kurang gereget.

Keempat, tentu saja menulis adalah sebagai alat bantu yang cukup ampuh bagi
yang kurang terbiasa berbicara. Saya pernah mendapati seseorang yang sangat lihai
dalam menulis. Kalo doi udah menulis, lancar banget tuh mengalirkan ide-idenya
lewat jalinan informasi yang berhasil dirangkainya dalam kata dan kalimat yang enak
dibaca. Tapi mohon maaf saja, ketika doi diminta untuk mengisi sebuah kajian, saya

25
sampe nggak sabar menunggu informasi keluar dari mulutnya. Lama banget. Entah
mikir, entah bingung mau ngeluarin infonya.

Tapi yang jelas, ini kian mengukuhkan keyakinan bahwa menulis sangat ampuh
bagi yang tak terbiasa bicara. Jujur saja, saya sendiri sejak kecil tak terbiasa untuk
menyampaikan pendapat dengan berbicara. Saya lebih banyak menulis untuk
menyampaikan pendapat saya, untuk menyampaikan segala keinginan saya, untuk
mengungkapkan rasa kesal, marah, sedih, kecewa, dan gembira dengan menulis.
Emang sih, ada juga orang yang menulis sama baiknya dengan dengan bicara, tapi itu
nggak banyak. Setahu saya, Prof Hamka adalah orang yang lidahnya setajam penanya.
Bicaranya oke, nulisnya pun mantep. Semoga kita pun bisa memiliki keahlian seperti
beliau. Insya Allah.

***

26
Alirkan Saja Idemu

Ya, alirkan saja idemu dalam tulisan. Jangan berpikir tentang tulisan yang jelek
atau bagus. Karena pikiran tersebut akan menghambat dan mengganggu proses
mengalirkan gagasanmu. Alirkan saja sebisa mungkin, semampu mungkin, bila perlu
imajinasinya ‘seliar’ mungkin. Oya, kata “seliar” harap digaris bawahi dengan
pengertian positif. Artinya, silakan gunakan improvisasi permainan kata dan
memunculkan ide yang akan ditulis dengan sebebasnya tanpa khawatir salah atau
jelek. Makin sering kita menulis, insya Allah akan makin mahir mengalirkan ide.
Makin sering menulis, akan semakin lihai dalam membanjirkan ide dalam tulisan kita.
Jujur saja, saya sering merasa kewalahan manakala ide sudah banyak dan ingin segera
mengalirkannya dalam sebuah tulisan, dan kadang sulit dihentikan begitu saja. Silakan
rasakan sendiri pada suatu saat dimana kamu udah sering melatih diri menulis.

Rasakan!

Pertanyaan yang sering ditanyakan oleh para penulis pemula atau mereka yang
hendak belajar menulis adalah: “Bagaimana cara mengalirkan gagasan atau ide yang
kita miliki dalam sebuah tulisan?” Jawaban saya sederhana: Segera alirkan ide lewat
tulisan sebagaimana kita melepas sumbatan yang bercokol di pipa atau selokan jalan
air sehingga air akan mengalir deras karena sudah tak kuasa ditahan oleh sumbatan.
Dalam menulis, menurut saya, sumbatan itu bisa banyak: malas; takut salah; takut
gagal; dan khawatir karyanya jelek. Umumnya sih daftar sumbatannya ya seperti itu.

Malas? Waduh, ini sih penyakit paling sering diderita siapapun, termasuk
penulis: baik penulis senior maupun penulis pemula. Kalo udah malas, nggak ada obat
mujarab selain berontak terhadap rasa malas itu. Tataplah dunia luar. Lihat orang lain
yang berada di depan kita. Mungkin saja mereka berada selangkah lebih jauh atau
malah ratusan langkah meninggalkan kita yang diam termangu tanpa bisa berbuat apa-
apa.

Tidakkah kita tergerak mengejarnya? Membuang semua rasa malas yang


bersarang di dalam pikiran dan perasaan kita. Kalo nggak tergerak, kayaknya siap-siap
aja makin jauh ketinggalan. Rasakan! Rasakan bagaimana perihnya tertinggal dan

27
ditinggalkan oleh mereka yang berhasil ketimbang diri kita. Insya Allah, dengan
menatap lingkungan sekitar, akan menjadi cambuk untuk menghempaskan rasa malas
kita.

Rasa malas hanya akan tetap berbaring di pikiran dan perasaan kita, saat kita
merasa tak perlu suasana kompetisi dalam hidup ini. So, segeralah menulis. Kuatkan
pikiranmu untuk mengumpulkan semua ide yang mungkin saja sudah menumpuk di
benakmu. Lihat, orang lain yang sudah jauh meninggalkan kita dengan tulisan-tulisan
yang dibuatnya, dengan buku-buku yang berhasil diterbitkannya. Ayo bangkit dari
tidur lelapmu, buang rasa malas. Jangan sampe deh kita bengong saat orang lain telah
banyak menorehkan catatan amal baik yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain.
Keuntungannya? Insya Allah buat kita sendiri, karena telah menyebarkan kebenaran,
telah menyampaikan kebaikan, dan telah memberikan banyak inspirasi kepada orang
lain. Insya Allah kita bisa melakukannya. Bisa kok.

Selain rasa malas, sumbatan dalam diri kita yang menghalangi proses kreatif
kita dalam menuangkan gagasan dan membanjirkannya adalah perasaan “takut salah”.
Hmm.. siapa sih orang yang pengen salah? Nggak ada. Semua orang pasti ingin
dianggap selalu benar di hadapan orang lain, meskipun kadang melakukan
kesalahan. So, sebenarnya nggak ada yang salah dengan kesalahan yang kita buat.
Maksudnya, kalo memang salah ya salah. Akui kesalahan itu dan berusaha untuk
memperbaikinya di kemudian hari. Jadi kita bisa belajar dari kesalahan yang kita buat.
Justru yang aneh bin ajaib adalah orang yang sudah tahu salah tapi nggak mau
mengakui kesalahan dan merasa tak perlu memperbaiki kesalahannya. Itu yang salah
dari kesalahan yang dibuatnya.

Nah, sumbatan berupa perasaan “takut salah” harus dihempaskan dari pikiran
dan perasaan kita. Meskipun hal itu tampak wajar dan manusiawi, tapi gimana jadinya
kalo sampe menguasai dan mendominasi pikiran dan perasaan kita sehingga membuat
kita jadi tidak berani untuk menulis? Menulislah, dan jangan pernah takut salah.
Sebab, kita bisa belajar dari kesalahan. Jangan khawatir. Justru adanya “kesalahan”
bisa kita jadikan bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik dan menjadi yang terbaik.
Insya Allah.

28
Bagaimana dengan perasaan “takut gagal”? Hmm… ada baiknya membaca
pernyataan Michael Crichton yang menulis novel Jurrasic Park, “Sebuah karya akan
memicu inspirasi. Teruslah berkarya. Jika Anda berhasil, teruslah berkarya. Jika Anda
agal, teruslah berkarya. Jika Anda tertarik, teruslah berkarya. Jika Anda bosan,
teruslah berkarya.”

Jadi, menurut saya sih, nggak perlu takut gagal. Sebab gagal itu biasa, justru
yang luar biasa itu adalah mampu bangkit dari kegagalan dan jangan pernah takut
gagal. Jalani aja apa adanya. Toh, sama seperti kesalahan, kita bisa bisa belajar dari
kegagalan. Setuju kan?

Terakhir, tak perlu merasa khawatir dengan hasil akhir tentang jelek atau buruknya
tulisan kita. Misalnya, orang lain bacanya aja bingung, pembaca malah nggak tahu
maksud dari yang kita tulis, gaya bahasanya berantakan, EYD-nya nggak karuan.
Buang jauh-jauh perasaan “khawatir jelek” tersebut dari pikiran dan perasaan kita.
Karena itu akan menghambat proses kreativitas kita dalam menulis. Waktu saya jadi
redaktur majalah PERMATA, ada penulis remaja yang sering mengirimkan karyanya
dan selalu kami tolak dengan alasan memang tidak memenuhi standar baik isi maupun
masalah teknis penulisannya. Tapi rupanya dia sangat semangat untuk kirim hasil
tulisannya.

Dan buktinya, sebagaimana umumnya sebuah keterampilan, maka semakin


sering menulis akan kian tampak hasilnya. Ya, akhirnya, kalo nggak salah pada tulisan
yang keenam yang dikirimnya kepada kami kemudian kami muat di majalah. Sebab,
ada tampak kemajuan dari gaya penulisan maupun isinya. Ini menjadi bukti bahwa
semakin sering menulis akan membuat kita jadi mahir menuangkan gagasan dan
memoles kualitas pesan yang disampaikannya. Rasakan dan percayalah!

Oke deh, semoga tulisan sederhana yang saya buat ini bermanfaat bagi siapa
pun yang mengambil manfaatnya. Jadi, segera alirkan idemu dalam sebuah tulisan.
Jangan tunggu esok hari, laksanakan sekarang juga dan rasakan hasilnya setelah sering
berlatih. Jangan lupa, tetap memohon pertolongan Allah Swt agar dimudahkan dan
senantiasa barokah. So, jangan pernah berhenti nulis!

***

29
30
Untuk Apasih Kita Menulis?

Saya pernah mendapatkan pertanyaan seperti judul yang saya gunakan untuk
tulisan kali ini. Penanya tersebut menurut saya sudah tepat menanyakan demikian.
Why? Karena seharusnya setiap melakukan sesuatu kita memiliki niat dan tujuan yang
jelas. Bisa tergambar, bisa dikerjakan, dan bisa menghasilkan serta bermanfaat. Itu
sebabnya, sebagaimana kegiatan lainnya, menulis juga pasti ada tujuannya. Setiap
orang bisa saja berbeda cara pandang dalam menentukan motivasi dan tujuan
menulisnya.

Maka, setiap kali saya mengajar kelas menulis atau mengisi workshop menulis
maupun yang lebih spesifik seperti jurnalistik, yang pertama kali saya sampaikan
kepada peserta adalah: “Apa sih motivasi Anda menulis?” Selain saya ingin mengukur
minat yang mereka inginkan, juga agar saya bisa urun rembug memberikan sedikit
sharing agar niat dan tujuan menulis tidak sia-sia atau tidak hanya mandeg pada
tataran yang sangat sederhana atau bahkan ‘sampah’.

Nah, jawaban saya untuk pertanyaan sesuai judul artikel ini adalah: menulis
ditujukan untuk BERBAGI. Memberi manfaat kepada pembaca agar mereka bisa
merasakan nikmatnya pengetahuan. Berbagi itu indah. Apa sajalah, pasti kita senang
juga ketika memberi kebahagiaan kepada orang lain. Ada sebuah pesan yang menarik,
“Jika ilmu yang Anda pelajari dari saya dapat berguna untuk diri Anda, maka tolong
berbagilah kepada orang lain agar orang lain pun dapat memetik manfaat dari ilmu
tersebut,” demikian pesan Milton Erickson pada murid terbaiknya, Stephen Gilligan,
PhD. Siapa Milton Erickson dan siapa pula Stephen Gilligan? Bagi Anda yang
peminat atau praktisi hynotherapy atau juga Neuro-Linguistic Programming, pastinya
mengenal guru dan murid di bidang tersebut. Ini sekadar contoh saja.

Dalam Islam, kita sudah diberikan tuntunan. Dakwah salah satunya. Dakwah
itu adalah bentuk kepedulian. Menyampaikan informasi dan pengetahuan itu terasa
indah dan menyenangkan. Menulis, adalah salah satu cara untuk mendukung
terlaksananya dakwah. Andai saja tak ada orang yang mau berdakwah, mungkin akan
banyak manusia di bumi ini yang tersesat di jalan kehidupan. Jika tak ada guru yang

31
mengajarkan banyak ilmu, mungkin tak akan banyak orang-orang cerdas dan
terpelajar di dunia ini. Mungkin saja jika orang tua kita tidak mendidik kita tentang
kepribadian dan etika, akan banyak hadir di dunia ini anak-anak yang tak beradab.
Indahnya berbagi.

Menulis pun bagi kita semestinya diniatkan untuk berbagi. Ya, sekemampuan
kita. Sebab, adakalanya untuk menjelaskan sesuatu kita butuh detil dan pemaparan
fakta. Dan, itu tentunya harus dituliskan. Bukan dikatakan. Bahkan bila perlu
dilukiskan dengan rangkaian kata yang indah untuk menjelaskan suatu definisi atau
makna. Tulisan pun akan lebih awet dan bisa dipindah-pindah dengan mudah, dicetak
dan disebar sebanyak mungkin melalui berbagai media penyampai pesan. Di era
digital saat ini, tulisan bisa diproduksi dengan massal, bertebaran di internet, di surat
kabar, di majalah dan ribuan buku. Jutaan para penulis lahir dari generasi ke generasi,
berbilang tahun dan abad.

Subhanallah, hadis-hadis Rasulullah saw. sampai kepada kita. Kita bisa


membacanya melalui riwayat yang disampaikan berabad-abad lamanya. Dibacakan,
ditulis, dibacakan lagi, ditulis lagi. Begitu seterusnya. Kita, generasi mutaakhirin,
tetap harus merasa bangga, karena ilmu banyak hadir. Karya Imam Bukhari masih bisa
kita baca. Padahal, penulisnya sudah ratusan tahun lalu meninggalkan dunia ini.
Menulis, memiliki kekuatan tersendiri untuk berbagi ilmu pengetahuan dan
mendukung dakwah.

Saya insya Allah merasa yakin bahwa motivasi menulis para ulama adalah
menggapai pahala. Para ulama terdahulu senantiasa memohon pertolongan kepada
Allah Swt. sebelum menulis karya-karya mereka. Dalam beberapa kisah bahkan para
ulama itu menulis dalam keadaan bersuci. Banyak di antara mereka yang melakukan
shalat sunnah terlebih dahulu untuk menuliskan ilmunya. Subhanallah, pantas saja
ilmu mereka barokah. Pantas saja karya mereka bermanfaat dan mencerahkan
pembacanya hingga kini. Kita wajib iri dengan karya-karya para ulama. Apa yang
akan kita wariskan bagi kaum muslimin saat kita sudah tak ada dunia ini lagi? Apa
yang akan kita titipkan untuk anak-cucu kita jika kita tak mencoba untuk
meninggalkan sebuah saja karya tulis kita yang bisa dibaca dan menginspirasi banyak

32
manusia untuk mengenal Islam? Siapa tahu, yang satu tulisan itu pahalanya terus
mengalir sebagai bagian dari amal jariah kita untuk kemaslahatan umat. Apalagi, jika
kita berhasil menuliskannya dalam sebuah buku, belasan, puluhan atau bahkan ratusan
buku yang bermanfaat. Subhanallah, pasti bahagianya kita karena telah berbagi
dengan sesama. Semoga kita bisa meneladani para ulama yang berkarya lewat tulisan.

Sahabat, satu hal yang mungkin perlu menjadi perhatian kita adalah soal NIAT.
Jika kita menulis diniatkan untuk semata mencari popularitas dan decak kagum
pembaca, tolong diluruskan niat itu. Jika kita menulis diniatkan untuk semata mencari
harta, sepertinya perlu dipoles lagi keikhlasan kita. Yakinlah sahabat, ketenaran dan
memiliki materi itu adalah efek samping saja dari kegiatan kita menulis. Allah Swt.
sudah memberikan rejeki bagi makhlukNya sesuai keputusanNya, kok. Tak usah
pusing. Karena kita hanya diminta untuk mencarinya, yang kadang itu pun datangnya
bukan dari pekerjaan yang kita geluti. Dan, perlu dicetak tebal dalam ingatan kita
bahwa rejeki tak selalu berarti materi. Kesehatan, ilmu, banyaknya teman, keluarga,
waktu luang, bisa berdakwah, dan lain sebagianya yang bermanfaat bagi kita, adalah
bagian dari rejeki juga. Insya Allah. Hal itu juga adalah nikmat yang bisa kita rasakan
sebagai bagian dari rejeki.

Dengan demikian, “untuk apa kita menulis?” Ya, untuk beribadah, berdakwah,
berjuang, dan berbagi dengan sesama. Bagi saya, menulis adalah perjuangan. Teruslah
menulis jika ingin tetap berjuang. Tetap semangat dan jangan berhenti menulis.
Teruslah menulis, meskipun profesi penulis tak segemerlap selebritis. Baik dari
ketenaran, apalagi penghasilan. Kata seorang kawan yang sama-sama penulis sering
berseloroh, “Kita-kita ini insya Allah kuat pendapatnya (termasuk dalam menulis),
yang nggak kuat adalah pendapatannya”. Tetapi, tetaplah tegar di jalan dakwah. Dan,
tetaplah menulis menjadi bagian dari keterampilan yang harus kita miliki untuk
membantu dakwah.

Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam.


***

33
Kumpulan kata Motivasi untuk Para Penulis

Sahabat semuanya, motiviasi dibutuhkan bagi seluruh manusia agar ia dapat


mengubah seluruh keadaan yang buruk menjadi baik. Begitu juga dengan penulis yang
terkadang jenuh, buntu ide, write blog, cape akbiat aktivitas kepenulisannya. Nah,
berikut saya sajikan kumpulan kata motivasi yang saya kumpulkan dari berbagai
sumber, semoga dapat menambah semangat kita untuk terus menulis.

"Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan
membahagiakan dirimu di akhirat kelak" [Ali bin Abi Thalib]

“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah
penulis”. [Imam Al-Ghazali]

'Aku lebih takut dengan seseorang yang memegan pena (penulis) dari pada prajurit
yang bersenjatakan lengkap" [Napoleon Bonaparte]

Usahakan menulis setiap hari. Niscaya, kulit anda akan menjadi segar kembali akibat
kandungan manfaat yang luar biasa”. [Fatimah Mernissi]

“Menulis merangsang pemikiran, jadi saat anda tidak bisa memikirkan sesuatu untuk
di tulis, tetaplah mencoba untuk menulis”. [Barbara]

“Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak


hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh
jiwa dan nafas hidupnya.” [Stephen King]

34
“Ketika seorang penulis hanya menunggu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya
sendiri”. [Stephen King]

“Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu kita sendirilah yang
menciptakannya”. [Stephen King]

“Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis”. [Stephen
King]

“Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”. [Hernowo]

“Untuk menjadi penulis, yang dibutuhkan hanyalah kemauan keras untuk menulis dan
kemudian mempraktekkannya, orang yang hanya mempunyai kemauan untuk menulis
namun tidak pernah melakukannya maka ia sama saja dengan bermimpi untuk
memiliki mobil, tanpa ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya”. [Stephen King]

“Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman
dan perasaanmu sendiri”. [J.K. Rowling]

“Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis, menulis”.
[Kuntowijoyo]
Kawan, Hernowo itu baru meulai menulis pas udah usia 44 tahun lho!! tau tak. nah,
sekarang ini kita semua tau bahwa beliau adalah salah satu orang yang produktif
membuat buku dan tulisan. usia dikau berapa sekarang? jikalau lebih muda, bukankah
itu satu hal yang memotivasi dikau?

“Saya suka menulis waktu saya merasa kesal; itu seperti bersin yang melegakan.”
[D.H. Lawrence]

35
“Menulislah dengan bebas dan secepat mungkin, dan tuangkan semuanya ke atas
kertas. Jangan melakukan koreksi atau menulis ulang sebelum semuanya habis Anda
tuliskan.” [John Steinbeck]

“Kita tidak menulis untuk dipahami; tetapi untuk memahami.” [C. Day Lewis]

“Di mana pun saya menemukan tempat untuk duduk dan menulis, di situlah rumah
saya.” [Mary TallMountain]

“Deskripsi (penggambaran) harus menyelusup ke dalam cerita bagaikan seekor ular


merayap di rerumputan, diam-diam, hampir ak terlihat, tanpa menarik perhatian.”
[Marion Dane Bauer]

“Kata yang tepat mungkin efektif, tetapi tidak ada kata yang sama efektifnya seperti
jeda yang tepat waktu.” [Mark Twain]

“Kadang-kadang, kata yang paling sederhana adalah yang paling indah. Dan paling
efektif.” [Robert Cormier]

“Jangan pernah ragu meniru penulis lain. Setiap seniman yang tengah mengasah
keterampilannya membutuhkan model. Pada akhirnya, Anda akan menemukan gaya
sendiri dan menanggalkan kulit penulis yang Anda tiru.” [William Zinsser]

“Yang menyebabkan kalimat pertama begitu sulit adalah karena Anda terpaku
padanya. Semua yang lain akan mengalir dari kalimat itu.” [Joan Didion]

“Menulis kalimat pembuka suatu cerita hampir mirip dengan mulai berski di bagian
bukit yang paling terjal. Anda harus mengendalikan semua keahlian sejak awal.”
[Marion Dane Bauer]

36
“Walaupun banyak hal terlalu ganjil untuk dipercaya, tiada hal yang terlalu ganjil
untuk terjadi.” [Thomas Hardy]

“Saya pikir, hal terbaik menjadi seorang penulis adalah kita dapat mereka-reka segala
sesuatu sekaligus mengatakan kebenaran pada saat yang sama.” [Kyoko Mori]

“Memiliki imajinasi saja tidaklah cukup. Anda harus dapat benar-benar masuk
menembus ke dalamnya, merasai seluruh isinya.” [Stephen King]

“Gagasan seorang penulis adalah hal-hal yang menjadi kepeduliannya.” [John


Gardner]

‘Dan karena saya tidak menemukan hal lain untuk ditulis, saya menyediakan diri
sendiri sebagai subjek.” [Montaigne]

“Ruang menulis saya selalu penuh dengan skema garis besar dan bagan cerita (story-
board) bab terbaru.” [Janet E. Grant]

“Sebuah karya akan memicu inspirasi. Teruslah berkarya. Jika Anda berhasil, teruslah
berkarya. Jika Anda gagal, teruslah berkarya. Jika Anda tertarik, teruslah berkarya.
Jika Anda bosan, teruslah berkarya.” [Michael Crichton]

“Menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah
menulis adalah menulis…” [Gertrude Stein]

“Aku akan menjadi seorang penulis walau harus mati!” -Alex Haley

“Menulis adalah tempat perlindunganku. Aku tidak bersembunyi di balik kata-


katanya; aku menggunakan kata-kata itu untuk menggali dalam hatiku untuk
menemukan kebenaran. Selain itu, menulis tampaknya merupakan satu-satunya cara
agar aku bisa benar-benar mengendalikan sebuah situasi atau setidaknya mencoba

37
memahaminya. Kurasa aku bisa mengatakan, sejujurnya, bahwa menulis juga
menawariku semacam kesabaran yang tidak kumiliki dalam sehari-hariku. Menulis
membuatku berhenti menulis, membuatku mencatat. Menulis memberiku semacam
perlindungan yang tidak bisa kuperolah dalam kehidupanku yang tergesa-gesa dan
penuh dengan kegiatan.

Menulis telah mengajariku untuk tidak bersikap menghakimi

Aku hanya ingin memberikan perhatian kepada detail kehidupan sehari-hari. Aku
ingin menjadi orang yang lebih baik. Aku ingin lebih sering merasa baik. Aku ingin
tahu kapan aku tidak baik, mengapa tidak baik. Menulis memberiku hal ini

Kata-kata telah memberiku rasa memiliki dan rasa aman. Menulis adalah satu-satunya
tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak merasa dihakimi. Dan aku senang
berada di sana.”

- Terry McMillan -

Kamu bisa gagal dua puluh kali dan tetap sukses besar -Ed Wynn

Ada satu hal yang dimiliki semua penulis sukses : tabah menghadapi penolakan

Seperti semua jiwa kreatif, penulis lama-kelamaan tahu bahwa meski mungkin gagal,
mereka bukan orang gagal. Mereka belajar dari kesalahan mereka, dan mereka terus
berusaha. Ketika tampaknya mereka telah membentur dinding batu, mereka
menemukan cara untuk bergerak maju. Meski seandainya hal itu membuat mereka
mengambil jalan yang sangat berbeda.

Kegagalan adalah peluang terselubung

38
Jika kau gagal, penyebabnya karena kau mencoba. Jika kau berhasil, penyebabnya
karena kau menggunakan sebuah peluang. Peluangku datang dalam bentuk
terselubung.

- Larry Wilde -

Hari ini adalah waktu yang sempurna untuk bermimpi - Christine Clifford

Aku terpesona pada kemurnian sederhana kata-kata yang bisa membangkitkan kesan
kuat dengan sedikit tenaga

Sesamar apapun jadinya peristiwa itu nantinya dalam ingatanku, tindakan menulis
yang sederhana akan membuatnya tersimpan aman dalam bentuk asli, selamanya.

- Kate M. Brausen -

Lebih banyak orang mempunyai bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar
lebih tinggi. - Mike Price

Karierku berawal dengan sebuah mimpi. Aku ingin membuat orang-orang tertawa.

Cara termurah, dan biasanya tercepat, untuk meraih hasrat apa pun adalah dengan
membayar harganya secara penuh. Jalani prosesnya!

Impian membutuhkan usaha. Impian mempunyai kekuatan yang sangat besar, tapi
hanya ketika diperkuat oleh penilitian, pembelajaran, dan usaha.

- Gene Perret -

Kuminta kalian jangan salah paham; Uang itu menyenangkan. Aku menyukainya. Dan
kenyataan yang hebat adalah, sejak berhenti memujanya, aku menghasilkan lebih

39
banyak uang daripada sebelumnya. Tapi uang bagiku merupakan produk sampingan
yang menyenangkan dari menulis; uang bukan alasanku untuk menulis.

Tujuannya adalah membeli kebebasan untuk menulis apa yang kusukai

Berjuang, menangis, dan gigihlah menulis. Dan jangan lupa mencintainya, bahkan
ketika tulisan kalian mulai menghasilkan

- Gregory Poirier -

Sekarang aku berumur delapan puluh empat. Aku telah menghabiskan tak terhitung
banyakanya waktu yang luar biasa dengan bermimpi, mengarang, membuat alur
cerita, lalu membelanjakan cek yang dikirimkan oleh editorku. Menulis telah menjadi
hobiku, panggilanku, gizi bagi jiwaku.

Terima kasih, Ayah, dimanapun kau berada..

- Cookie Potter -

Rasa takut ditolak lebih buruk daripada penolakan itu sendiri

Aku butuh waktu lama pulih dari guncangan itu. Ketakutanku pada penolakan telah
kubayar dengan mahal. Aku kehilangan sedikitnya lima ratus dolar dan peluang bagi
artikelku untuk muncul di sebuah majalah besar—bukti bahwa aku bisa menjadi
penulis profesional. Yang lebih penting, rasa takut membuatku kehilangan bertahun-
tahun hidup yang kunikmati sebagai penulis produktif. Sekarang aku merayakan tahun
keenamku sebagai penulis lepas full-time dan telah menjual lebih dari seratus artikel.
Ketika mengenang pengalaman itu, aku menadapat satu pelajaran yang sangat
penting; Jangan sampai kau meragukan dirimu sendiri. Kau akan rugi!

- Nora Profit -

40
Aku harus memastikan bahwa kata-kata di dalam diriku mempunyai suara yang bisa
kubagi. Aku akan menulis. dan pada malam kematianku, anak-anakku akan
mengetahuiku. Mereka akan mengetahui bahwa aku mencintai mereka dan alasannya.
Mereka akan mengetahui aspek hidup yang ku cintai, dan bahwa aku seorang penulis

Maka saat itu akan menjadi sebuah malam yang sempurna untuk mati.

- Dierdre W. Honnold -

Salah satu hal yang saya lakukan sebagai seorang penulis :


mencoba berkonsentrasi penuh, kemudian bersantai dan membiarkan sebagian diri
saya mengatakan apa yang harus saya lakukan, bagaikan tangan-tangan ilmuwan gila
membolak-balik tubuh orang yang tidak bersalah.
Cynthia Voight)

Kami bermetamorfosis ibarat kupu-kupu yang mengepakkan sayap seperti buku-buku


menebar ilmu dari harumnya bunga pengetahuan.
Bambang Trimansyah)

Fiksi adalah sebuah seni dan datang dari emosi. Non fiksi adalah sebuah kerajinan dan
datang dari informasi.
Bambang Trimansyah)

Semakin banyak orang membaca buku karya Anda,semakin besar pengaruh yang
Anda berikan dalam suatu masyarakat. Mungkin karena energi yang tersimpan dalam
buku inilah, sebuah buku sering ditakuti.
Bambang Trimansyah)

Penulis tidak pernah dilahirkan, tetapi dia diciptakan. Bakat menulis tidak selalu
dibawa sejak lahir, tetapi tumbuh oleh

41
satu motivasi dan gagasan.
Bambang Trimansyah)

Perwajahan buku menjadi salah satu critical point bagi penerbit profesional.
Penampilan tipografi yang enak dibaca,indah dan juga ekspresif akan menambah
bobot buku tulisan Anda, sekaligus menaikan prestise penerbit.
Bambang Trimansyah)

Buku menolong kita di kala kesepian dan menjaga agar kita tidak menjadi beban bagi
diri sendiri.
Collier)

Semakin banyak perangkat (yakni bahasa) yang Anda libatkan semakin baik pula
sebuah informasi terekam.
Collin Rose)

Kegiatan membaca buku mampu mencegah kerusakan saraf-saraf otak.


C. Edward Coffey)

Media massa memberikan rumus hidup yang didasarkan pada dunia pulasan yang
tidak serasi dengan perkembangan
manusia.
C. Wright Mills)

Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, serta bisu,
ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandeg.
Barbara Tuchman)

Image jauh lebih kuat daripada pikiran.


Barkovee)

42
Menulis adalah penghancuran setiap suara, setiap asal-usul.
Menulis adalah wilayah netralistas, komposisi tanpa nuansa ke mana subyek
menyelinap, wilayah negatif di mana identitas lenyap diawali dengan sirnanya
identitas tubuh yang menulis.
(Barthes)

Karya ilmiah itu lebih tinggi daripada pengetahuan yang didasarkan pada
kepercayaan, cerita-cerita hikayat dan gagasan yang nakal.
(Bauer)

Tesis adalah perspektif yang dimiliki oleh penulis sedangkan argumentasi adalah cara-
cara yang digunakan oleh penulis untuk mempengaruhi para pembaca agar mereka
menerima tesisnya.
(Beene & Kopple)

Ketika memulai membuat catatan harian,Anda mulai memberikan banyak perhatian


pada diri sendiri dan pada apa yang terjadi di dalam hati Anda, dalam diri Anda yang
terpencil, paling rahasia. Dan kegiatan yang jauh di dalam diri Anda itulah hidup,
vitalitas dan makna fiksi Anda berasal.
Carmel Bird)

Semoga Artikel ini bermanfaat, ingat untuk tetap semangat dalam menulis dan mari
kita warnai dunia dengan tulisan !

43
Profil Penulis
Nama lengkap saya, Oleh Solihin. Dalam buku-buku yang saya
tulis, cukup disingkat dengan nama: O. Solihin. Saya anak lelaki
dari pasangan Bapak Jana Sujana dan Ibu Endang Sudarni. Anak
pertama dari enam bersaudara. Lahir pada 12 Februari 1974 di Desa
Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Saya
berhasil menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di
Kabupaten Kuningan (SDN Legok 1–lulus tahun 1986, Kecamatan
Cidahu dan SMPN Cidahu–lulus tahun 1989). Lalu melanjutkan ke
SMAKBo (Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor, lulus tahun
1993). Kemudian untuk memperdalam ilmu tambahannya, saya
memutuskan kuliah di FISIP Program Studi Ilmu Komunikasi di
Universitas Terbuka, dan alhamdulilah berhasil (juga) meraih gelar sarjana meski dengan
‘babak belur’ berjuang selama 6 tahun.
Buku-buku yang telah saya tulis mulai Mei 2002 hingga tahun Februari 2011 sudah lebih dari
45 buku. Ada yang ditulis sendiri, tapi ada juga yang ditulis duet dengan sahabat-sahabat
saya. Beberapa di antaranya adalah: Jangan Jadi Bebek; Jangan Jadi Seleb (duet dengan
Iwan Januar); Jangan Nodai Cinta (duet dengan Iwan Januar); Hitam-Putih Dunia Remaja;
Remaja, Media dan Idola; Menjadi Penulis Hebat; Andai Kamu Tahu (Jangan Jadi Bebek
2); Secret Admirer; Bangkit Dong, Sobat!;LOVING YOU Merit Yuk! (duet dengan
Hafidz341); How to Get Married (antologi bersama 11 penulis lainnya); Yes! I am
MUSLIM; Save Our Soul(Jangan Jadi Bebek 3); Gaul Tekno Tanpa Error; Jangan Bilang
Cinta; Muda Luar Biasa! [melek dunia, paham agama], Jomblo’s Diary; NGAJI: Sampai
Nanti Sampai Mati ; dan buku lainnya (termasuk 28 buku saku yang berhasil dibuatnya antara
tahun 2005-2007).

Harun Tsaqif adalah nama pena dari Boby Riswandi. Lahir di


jakarta pada tanggal 13-desember-1993. Saat ini ia masih duduk
disalah satu Perguruan Tinggi swasta dengan mengambil fokus
jurusan Ilmu Komunikasin dan Penyiaran Islam. Bukunya yang
baru saja terbit dan mendapat sambutan yang hangat dari kawula
muda ialah Protecting Your Love. Kecintaannya pada dunia tulis
menulis membuat ia bertekad untuk merajut peradaban islam
melalui tulisan. Semua tulisan/artikelnya dapat dilihat di www.haruntsaqif.blogspot.com

44

Anda mungkin juga menyukai