Anda di halaman 1dari 2

Menulis Opini di Surat Kabar

Menulis di media cetak seperti surat sabar, baik skala nasional maupun lokal, memang
mendatangkan sensasi tersendiri bagi penulisnya. Mungkin kebanyakan dari kita, senang alangkepalang saat tulisan yang kita kirim ke surat kabar, akhirnya dimuat. Senang bukan hanya
karena mendapat honornya, tetapi lebih esensial lagi yaitu gagasan kita diapresiasi dan
didistribusikan kepada khalayak.
Bagi yang belum pernah tulisannya dimuat di surat kabar, tentu Anda bertanya-tanya. Bagaimana
caranya agar tulisan Anda bisa dipublikasikan/dimuat di surat kabar? Apa saja yang membuat
tulisan Anda gagal dimuat alias ditolak media? Terkait itu, dalam kilas tematik kali ini, Admin
akan sajikan tips menulis opini di surat kabar berdasarkan tulisan Kompasianer.

Pertama, kenali media yang dituju. Tiap institusi media dibangun dengan idealisme
tertentu sebagai landasan filosofisnya sehingga apa pun yang ditampilkan media tersebut
haruslah sejalan dengan idealisme itu. Dalam urusan memuat tulisan opini seseorang,
media mengharapkan tulisan yang tidak keluar dari idealismenya, juga sesuai struktur
khas media tersebut. Seperti, gaya penulisan (ilmiah populer, teknik 'KISS' alias 'keep it
short and simple', dll.), tema/bahasan, jumlah karakter/panjang tulisan, dan judul tulisan.
Harian Kompas misalnya, biasa menggunakan minimal tiga kata dalam judul dan juga
tidak terlalu panjang. Sedangkan Pikiran Rakyat, lebih suka judul tulisan dengan panjang
4-5 kata. Hal ini juga berkaitan dengan tata letak rubrik opini itu sendiri.
Contoh judul opini:
o di Kompas: "Kamar Gelap Demokrasi" oleh Yasraf Amir Piliang
o di Pikiran Rakyat: "Kleptokrasi dan Buruk Muka Mahkamah Konstitusi" oleh
Gun Gun Heryanto.

Kedua, tema atau topik tulisan. Untuk menentukan tema atau topik tulisan, ikuti isu yang
berkembang lewat berbagai media untuk memperkaya informasi, melakukan pengamatan
terhadap isu, berdiskusi atau temu wawancara, baca buku untuk memperbanyak referensi
ilmiah. Terpenting, perhatikan pergerakan isu yang dibangun oleh media yang hendak
kita tuju. Jangan sampai, kita mengirim tulisan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
media. Ada 4 cara menentukan tema tulisan, yaitu 1). Cermati editorial/tajuk rencana
media yang kita tuju, 2). Cermati headline atau berita utama, 3). Cermati opini yang
sudah ada, 4). Tulisan berkaitan dengan hari besar nasional. Pokoknya, tema tulisan
berkaitan dengan hal-hal yang aktual.

Ketiga, argumentatif dan solutif. Bagian ini dianggap menjadi jantung sebuah tulisan
opini, sebagai pembeda dari tulisan-tulisan biasa yang sifatnya reflektif semata. Dalam
opini, selain reflektif, penulis harus menunjukkan kebaruan ide, argumentasi ilmiah,
orisinalitas alias tidak menjiplak ide terdahulu, kontekstual atau kesesuaian dengan

permasalahan terkini, konstruktif agar pesan dalam tulisan bisa diserap baik oleh publik,
dan memberikan solusi yang komprehensif.

Keempat, "positioning" penulis. Maksudnya, penulis tampil dengan ciri khas tertentu di
ruang publik. Misalkan, dikenal sebagai pakar politik, pemerhati publik, dosen filsafat,
atau penulis berafiliasi di salah satu ormas/organisasi (contoh, Sekjen Indonesia
Corruption Watch, Ketua Umum Forum Studi Hukum, Peneliti Media, dll.). Dalam kata
lain, penulis punya background yang bisa menguatkan posisi dirinya dalam tulisan opini
yang ditulis sehingga kredibilitas tulisan pun tak diragukan. Publik pun akan
berpandangan, penulis sudah menuangkan ide sesuai kapasitas dirinya.

Kelima, menjalin hubungan dengan redaksi/redaktur media. Tahapan ini, memang tidak
semua penulis bisa melakukannya dengan mulus. Namun, mesti dicoba karena
komunikasi dengan redaktur opini atau editor opini, bisa memudahkan penulis untuk
memahami selera dapur redaksi. Selain itu, suatu waktu bila diperlukan, media juga
sangat mungkin meminta Anda agar menyediakan tulisan dengan topik-topik tertentu.
Hal ini dilakukan media karena media sudah kenal betul kapasitas dan integritas penulis.
Karena itulah, hubungan yang harmonis dengan redaksi akan menguntungkan kedua
pihak.

Keenam, pantangan. Sebelum ke tahap akhir, bagian pantangan ini juga krusial.
Mengapa? Sebab, ini merupakan bagian dari aturan mainnya, terkait apa yang membuat
opini Anda diterima atau ditolak, yaitu: hindari penulisan opini seperti membuat
makalah/naskah pidato/bahan kuliah, sumber kutipan tidak jelas, uraian terlalu sumir,
cakupan tulisan terlalu makro atau lokal, alinea terlalu panjang, pembahasan tidak fokus,
jangan kirim naskah ke dua surat kabar berbeda dalam satu waktu, dll.. Meski ini
terkesan sangat teknis, tetapi sangat penting untuk nasib tulisan Anda.
Untuk kasus naskah ganda ini, pernah terjadi di Koran Tempo dan Jawa Pos pada 29
Agustus 2012 lalu. Tentu ini melanggar rambu-rambu redaksi surat kabar dan melanggar
etika. Jangan sampai karena motif ingin mendapat honor lebih atau ingin naskahnya
diterima, lalu nekat kirim naskah ke banyak media sekaligus. Konsekuensinya, Anda
akan di-blacklist alias dilarang menulis lagi di surat kabar tersebut minimal 6 bulan atau
lebih tragis lagi, karier kepenulisan Anda bakal tamat. Anda takkan lagi dipercaya bila
mengirim tulisan opini ke surat kabar.

Ketujuh, cara pengiriman naskah. Langkah pertama, perhatikan kerapian dan struktur
tulisan Anda (ukuran font, warna font, panjang tulisan, lengkapi di akhir naskah dengan
identitas kompetensi diri, dll.), kirim naskah melalui pos atau e-mail ke alamat redaksi,
sertakan foto diri, scan KTP, dan nomor rekening (ada juga koran yang meminta rekening
saat tulisan Anda dipastikan terbit). Tunggu sekitar 2 minggu, jika tak ada pemberitahuan
dari redaksi, maka Anda berhak mengirim tulisan ke media lain.

Diambil dan disunting dari:

Anda mungkin juga menyukai