Mulai dari “penusukan” pejabat publik sampai “pengeboman” di lembaga publik beberapa
saat lalu, tetapi publik justru di buat bingung dan penasaran oleh “ketidakseriusan” negara
dalam menyelesaikannya.
Kalimat tersebut berdasarkan penelitian oleh Noam Chomsky dan Andre Vltchek, mereka
menunjukkan hal ini dengan jelas. (Chomsky, 2015) Kedua pengarang ini menegaskan,
bahwa serangan AS dan sekutu-sekutunya terhadap berbagai negara di Timur Tengah dengan
menggunakan Drone, atau Robot tanpa awak, juga bisa dilihat sebagai tindakan teroristik.
Bagi warga, Drone atau Robot tanpa awak tersebut digantikan dengan ketidakadilan,
kekerasan, naiknya iuran kesehatan, diskriminasi terhadap warga minoritas, dan sebagainya.
Pada selasa, 13 november kemaren kita di hebohkan oleh tindakan terduga bunuh diri dengan
bom oleh seorang pemuda dengan inisial RMN di Polrestabes Medan.
Ada sebahagian mengatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan teroris, adapula yang
mengatakan bahwa itu adalah bunuh diri biasa.
Di dalam tradisi pemikiran politik, Terorisme dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah
tindakan teror negara yang menyebarkan ketakutan, dan memecah belah rakyatnya demi
tujuan penguasaan total. Hal ini banyak ditemukan di negara-negara yang menerapkan
pemerintahan totaliter.
Yang kedua adalah terorisme dari bawah yang dijalankan oleh sekelompok orang tertentu,
baik dengan dukungan ataupun justru melawan kepentingan pemerintah. (Elter, 2007)
Jelas jika melihat pembagian tersebut, maka kejadian kemarin termasuk kedalam bagian
kedua. Kemudian permasalahannya adalah apakah pelaku dapat dengan mudah dikatakan
Teroris? Atau justru pelaku adalah orang yang “stres” seperti pelaku yang menusuk wiranto
di Pandeglang?
Jika merujuk kepada Konvensi Melawan Terorisme Internasional yang diadopsi oleh OKI,
pada 1999 mendefinisikan terorisme sebagai "tindak kekerasan atau ancaman secara
invididual atau kelompok dengan tujuan meneror orang-orang atau mengancam untuk
melukai mereka atau membahayakan kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan, atau
hak-hak mereka, atau membuat kerusakan, menduduki, atau merebut fasilitas publik atau
properti pribadi, atau membahayakan sumber daya nasional, atau fasilitas internasional, atau
mengancam stabilitas, persatuan teritorial, kesatuan politik, atau kedaulatan negara"
Untuk dapat dikatakan teroris harus melengkapi unsur-unsur diatas, jika satu saja tidak
terpenuhi, apakah sesuatu itu dapat di katakan tindakan terorisme?
Jika melihat sejarah pengeboman di lembaga kepolisian, hal itu telah terjadi sejak tahun
2003 di Komplek Markas Besar Polri tepatnya di wisma bayangkari, yang kemudian menjadi
peristiwa awal dari serangkaian tindakan “terorisme” yang terjadi di jakarta.
Pelakunya pada saat itu adalah seorang mantan anggota kepolisian yang sakit hati atas
pemecatan dirinya karena terlibat dalam kasus obat-obatan terlarang.
Selanjutnya tahun 2013 terjadi juga bom bunuh diri yang di duga dilakukan oleh teroris di
depan masjid mapolres Poso, sulawesi tengah dengan motif aksi membalas serangan kepada
aparat keamanan.
Berdasarkan kejadian di atas terlihat bahwa motifnya adalah dendam pribadi kepada lembaga
kepolisian. Lalu apakah bom bunuh diri selasa kemaren karena motif pribadi, atau itu adalah
suatu kecaman atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara?
Seni memberontak
Seorang pengarang ferancis bernama Emil Zola melakukan pemberontakan terhadap
penguasa melalui seni, ketika novel pertamanya “Nana” yaitu seorang perempuan yang cantik
luar biasa, lalu patah hati karena di tinggal oleh kekasihnya, kemudian balas dendam dengan
memanfaatkan kecantikannya untuk mendapatkan semua jenis laki-laki hingga akhirnya dia
meninggal di kamar hotel karena sakit.
Pemberontakan melalui seni yang lain adalah ketika “J’ascuse”, yaitu suatu karangan
jurnalistik yang berisi dakwaan terhadap golongan militer di zaman Napoleon III yang di
anggapnya tidak beralasan telah menangkap kapten Dreyfus sebagai mata-mata hanya karena
kebetulan ia seorang yahudi.
Hal di atas di sebut sebagai pemberontakan seni , namun ada jenis pemberontakan yang lain
yang di sebut sebagai pemberontakan metafisik, yaitu suatu pemberontakan yang
mengorbankan nyawa karena menentang kondisinya demi suatu nilai yang ingin di tegakkan.
Misalnya ketika sekelompok teroris rusia yang bunuh diri di siberia yang merupakan protes
menentang pencambukan terhadap teman-temannya.
Bom bunuh diri di Polrestabes medan yang lalu menurut saya adalah pemberontakan
metafisik, pelaku mengorbankan nyawanya demi suatu nilai yang di “pegangnya”. Karena
tidak setiap nilai memerlukan pemberontakan, tetapi setiap pemberontakan secara diam-diam
meminta suatu nilai, atau apakah itu benar-benar suatu pertanyaan tentang nilai. (Albert
Camus)
Bagi korban, masa kini adalah satu-satunya nilai dan pemberontakan adalah satu-satunya
aksi
Mencegah terorisme
Pasal 2 ayat 1 huruf (a) menyebutkan tugas lembaga ini adalah menyusun kebijakan, strategi,
dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme.
Jika itu adalah bunuh diri, sebuah lembaga amerika serikat (National Action Alliance for
Suicide Prevention) mengungkapkan bahwa tidak pernah ada faktor tunggal yang
melatarbelakangi bunuh diri, selalu ada faktor lain seperti ekonomi, sosial, politik, dan
sebagainya.
Bunuh diri bukan keinginan seseorang untuk mati, namun keinginan untuk melepaskan diri
dari rasa sakit.
Teror negara
Jika merujuk kepada pendapat Noam Chomsky dan Andre Vltchek di atas, pelaku dapatlah
dikatakan sebagai korban dari segi mental bahkan ekonomi dari teroris yang bernama
“negara” karena diskriminasi, kesengsaraan, dan ketidakadilan yang di buatnya kepada
warga ( pelaku ).
Dalam pemberontakan metafisik, dimana teoritikus yang dikenal adalah Sade, hal tersebut
di kategorikan ke dalam Archetype, dengan angapan karena sejauh ini masyarakat (dalam hal
ini negara ) tidak melakukan dia dengan ”sopan”, maka ia pun menjawab dengan cara yang
juga tidak sopan.