Anda di halaman 1dari 14

“MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI"

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


PERADILAN DI INDONESIA

Dosen Pengampu:
Drs. H. Zakaria, M.H

Disusun oleh:
Lili Kurniati (182222469)
Siti Zulaika (182222488)
Suhendra (182222490)
Zukhruf Yenda Putra (182222494)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wata’ala yang maha pengasih lagi maha
penyayang, segala syukur kami ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang mana
telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta kesehatan rohani dan jasmani sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas makalah kami yang membahas ”Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi” pada mata kuliah Peradilan Di Indonesia.

Tidak lupa pula kami lanturkan ribuan terimaksih kepada dosen pengampu kami
yakni Bapak Drs, H. Zakaria, M.H yang mana telah memberikan kepercayaan dan
kesempatan kepada kami untuk membahas dan menyelesaikan materi ini dengan baik.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Harapan kami
semoga makalahini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Dengan keterbatasan ilmu, kepengetahuan dan pengalaman serta masih banyak


kekurang-kurangannya yang terdapat didalamnya oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah kami.

Wassalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

Bengkalis, 26 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Maslah ...................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3

A. Peranan Mahkamah Agung Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia ..... 3

B. Mahkamah Agung Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi ........................ 4

C. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi ............................... 6

D. Konstitusi Dan Hubungan Konstitusional ................................................. 8

BAB III PENUTUP ..........................................................................................10

A. Kesimpulan.............................................................................................. 10

B. Saran ........................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas
dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Melihat produk-produk hukum dari
Mahkamah Agung (MA), harus juga melihat dari sisi Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur dan memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung. Pada Pasal 24A
Undang-Undang Dasar RI 1945 menjelaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang- undangan, dan mempunyai
wewenang lainnya yang di berikan oleh Undang-Undang. Sedangkan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga tertinggi negara yang baru yang
sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Dan Indonesia
merupakan negara yang ke tujuh puluh delapan yang memiliki lembaga pengadilan
konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah undang-undang.
Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah Konstitusilah yang memiliki wewenang
penuh dalam menguji undang-undang tersebut. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga
memiliki wewenang dalam membubarkan partai politik, memutuskan sengketa hasil
pemilu dan pemecatan presiden dan wakil presiden apabila melakukan pelanggaran
hukum.

B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana Peranan Mahkamah Agung dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia?
B. Bagaimana Peranan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi?
C. Bagaimana Peranan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi?
D. Apa Itu Sistem Konstitusi dan Hubungan Konstitusional?

1
C. Tujuan Masalah
A. Untuk mengetahui Peranan Mahkamah Agung dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia
B. Untuk mengetahui Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi
C. Untuk mengetahui Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi
D. Untuk mengetahui Konstitusi dan Hubungan Konstitusional

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Mahkamah Agung dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam hal ini adalah dalam
rangka hubungan antara Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara dengan
Lembaga Tinggi Negara lain. Hubungan ini disebut sebagai hubungan non-justisial atau
non-peradilan. Oleh karena itu, tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam hal ini
adalah sebagai berikut:
1. Memberikan Nasehat Hukum
Tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam memberikan nasehat dan saran
dibidang hukum telah tercantum di dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 35 dan Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan
UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, yang meliputi :
a). Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam hal permohonan dan
pemberian grasi dan rehabilitasi. Akan tetapi, dalam memberikan pertimbangan
mengenai pemberian rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b). Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan.
c). Memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta
maupun tidak kepada Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya. Pertimbangan-
pertimbangan hukum terhadap Lembaga Tinggi Negara yang lain tidak perlu
menunggu “permintaan” dari Lembaga Tinggi Negara yang bersangkutan.1

2. Melakukan Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung telah tercantum dalam Pasal 39
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 32, Pasal 32A ayat (1),
dan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun
2004 dan Perubahan Kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung,
yang terbagi menjadi 3 ( tiga) golongan, antara lain :

1
Soekanto, Soerjono, Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995), Hlm. 12
3
a. Pengawasan terhadap penyelenggaraan (proses) peradilan, yang meliputi :
1. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman.
2. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan
keuangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan pada semua badan
peradilan yang berada di bawahnya.
3. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di
bawahnya.
4. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada
pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya.
b). Pengawasan terhadap tindakan dan perilaku para hakim sebagai salah satu unsur
peradilan, yang meliputi :
1. Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dan hakim agung dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Pengawasan ini lebih tertuju kepada pribadi hakim.
2. Pengawasan dan kewenangan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
c). Pengawasan terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut
peradilan, fungsi pengawasan ini dilakukan bersama dengan Pemerintah. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, supaya berdaya guna dan berhasil guna, pengawasan terhadap
Penasihat Hukum dan Notaris sebaiknya diberikan kepada Ketua Pengadilan setempat.
Karena mereka akan tahu persis terhadap perbuatan-perbuatan Penasihat Hukum dan
Notaris tersebut.2

B. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi


Mahkamah Agung merupakan badan kekuasaan kehakiman tertinggi (pengadilan
negara tertinggi). Proses pengadilan yang dilaksanakan baik oleh peradilan umum
maupun oleh peradilan khusus berakhir dan berpuncak tunggal pada Mahkamah Agung.
Proses pengadilan ini berbeda dengan negara lain seperti Prancis, dimana puncak
kekuasaan kehakimannya dipegang oleh 2 (dua) lembaga, yakni “Conseil d’Etat” yang
merupakan puncak perkara-perkara administrasi dan “Cour de Cassation” yang
merupakan puncak perkara-perkara lainnya. Sedangkan sengketa wewenang mengadili
2
Ibid, Hlm 20.
4
antara kedua peradilan tersebut diselesaikan oleh Menteri Kehakiman. Oleh karenanya
Mahkamah Agung telah diberikan tugas dan wewenang yang dalam hal ini adalah sebagai
berikut :
1. Memeriksa dan memutuskan pada tingkat kasai
Mahkamah Agung merupakan badan kekuasaan kehakiman tertinggi yang fungsi
utamanya ialah memutuskan hukum pada tingkat kasasi. Hal tersebut tercantum di dalam
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, serta Pasal 28 hingga Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan
UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara tertinggi,
putusan Mahkamah Agung adalah putusan yang berkekuatan hukum tetap, artinya tidak
ada lagi pengadilan lain yang dapat meninjau dan mempertimbangkannya kembali.
Memeriksa dan memutuskan pada tingkat kasasi dilakukan atas putusan atau
penetapan pengadilan tingkat banding atau tingkat akhir dari semua lingkungan badan
kekuasaan kehakiman (peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara,
dan peradilan militer). Dalam pemeriksaan tingkat kasasi, Mahkamah Agung akan
menentukan :
a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya; atau
b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut undang-undang; atau
c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.3

Sesuai dengan materi pemeriksaan diatas, Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat
kasasi akan membatalkan putusan atau penetapan pengadilan tingkat banding atau tingkat
akhir, apabila :
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan membatalkan putusan yang bersangkutan.

2. Memeriksa dan memutus Sengketa Kewenangan Mengadili


Wewenang ini diatur di dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 56
ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5
3
Soedirdjo, Kasasi dalam Peradilan Pidana. (Jakarta: Ahliyah,1981). Hlm 9
5
Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah
Agung. Sengketa ini timbul karena dua atau lebih pengadilan sama-sama menyatakan
berwenang atau tidak berwenang mengadili suatu perkara. Sengketa ini dapat terjadi
antara :
a). Dua atau lebih pengadilan dari lingkungan peradilan yang berbeda; atau
b). Dua atau lebih pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama dari peradilan
tingkat banding yang berbeda; atau
c). Dua atau lebih pengadilan tingkat banding dari lingkungan peradilan yang sama atau
antara lingkungan peradilan yang berbeda.

3. Penemuan dan pembentukan hukum


Dalam pelaksanaan tugas peradilan, Mahkamah Agung dapat melakukan
penafsiran analogi, melakukan penghalusan hukum ( rechtsvernijning ), argumentum a
contrario, dan juga membentuk hukum. Dan dalam perkembangan selanjutnya, banyak
ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tanpa dilakukan melalui
proses mengadili. Sebab, pembentukan hukum tersebut dilakukan oleh Mahkamah
Agung dalam bentuk pembuatan Surat Edaran ( SEMA ) dan/atau Peraturan Mahkamah
Agung ( PERMA ). Dasar pembenar kewenangan tersebut memang didelegasikan oleh
Pembentuk UU melalui Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985. Namun demikian,
kewenangan tersebut hanya terbatas pada pembentukan hukum formal atau hukum
acara saja dan selama belum diatur dalam Undang-Undang.

C. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi


Pengadilan merupakan pilihan forum ajudikasi dan benteng terakhir bagi
masyarakat yang beradab dalam penyelesaian sengketa, khususnya terkait dengan
persoalan hukum. Sebab, manakala sengketa tidak diselesaikan berarti membiarkan
berlangsungnya ketidakadilan dan ketidaktertiban dalam masyarakat secara terus
menerus.
Terkait dengan persoalan konstitusional yang juga merupakan persoalan hukum,
yaitu hukum tertinggi yang mengatur ketatanegaraan; membiarkan sengketa
konstitusional tanpa ada penyelesaian, bukan saja menghambat tercapainya tujuan
bernegara, melainkan dapat pula terjadi hal yang lebih buruk lagi, seperti kesewenang-
wenangan (kedhaliman) negara terhadap rakyat, ketidakpatuhan rakyat kepada negara,
atau kekacauan (chaos) masyarakat. Oleh karena itu, konstitusi menyediakan
6
mekanisme penyelesaian sengketa konstitusional guna menegakkan hukum dan
keadilan dalam kehidupan bernegara. Untuk itu pula perubahan Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 menetapkan adanya Mahkamah Konstitusi, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Mahkamah Konstitusi dibentuk dalam rangka mengawal konstitusi, atau
secara lebih spesifik, mengawal hak dan/atau kewenangan konstitusional (the guardian
of the constitutional rights) yang dalam kurun waktu sebelum perubahan UUD 1945
tidak pernah diselesaikan secara hukum melalui mekanisme yudisial, melainkan
melalui mekanisme politik, yang lebih mengandalkan mekanisme penyelesaiannya
berdasarkan sistem mayoritas (majority system), sehingga keadilan dan kebenaran
acapkali terabaikan. Berdasarkan perubahan Pasal 24 ayat (2) tersebut, Mahkamah
Konstitusi merupakan lembaga negara, pelaku kekuasaan kehakiman yang tugas
pokoknya menyelesaikan persoalan konstitusional secara hukum, yaitu dengan
menggunakan mekanisme peradilan (judicial mechanism) dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan.
Pengertian kekuasaan kehakiman telah pula dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Dengan rumusan perubahan tersebut, dipandang dari perspektif negara sebagai
organisasi kekuasaan, kekuasaan kehakiman merupakan cabang utama dari kekuasaan
negara, yang disyaratkan harus independen dan imparsial, yang tugas pokoknya (main
function) menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Melalui mekanisme peradilan (judicial mechanism) itulah Mahkamah Konstitusi
menjalankan perannya sebagai pengawal konstitusi. Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana dua pelaku kekuasaan kehakiman lainnya, yakni Mahkamah Agung dan
pengadilan di bawahnya, adalah pengadilan. Sebagai pengadilan, Mahkamah Konstitusi
dalam menyelenggarakan tugas pokoknya menganut asas pasif, dalam pengertian
bahwa Mahkamah Konstitusi “menerima perkara” tidak aktif “mencari perkara”.
Dengan demikian maka untuk memperoleh pelayanan Mahkamah Konstitusi, pihak
yang merasa dirugikan dalam suatu sengketa konstitusional mesti mengajukan
persoalannya kepada Mahkamah Konstitusi sebagai perkara. Setelah suatu perkara
7
diajukan kepadanya maka ketika itulah Mahkamah Konstitusi aktif menyelenggarakan
tugas pokoknya, memeriksa perkara melalui mekanisme persidangan dan rapat hakim,
untuk kemudian atas dasar-dasar konstitusional mengadili dengan menjatuhkan putusan
terhadap perkara yang dimohonkan kepadanya.4

D. Konstitusi dan Hubungan Konstitusional


UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis, sebagai hukum tertinggi NKRI (the
supreme law of the land). Sebagai konstitusi tertulis UUD 1945 mengimplementasikan
suatu gagasan konstitusionalisme yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara
sebagai suatu organisasi kekuasaan harus dibatasi dalam menjalankan kekuasaannya
supaya tidak terjadi kesewenang- wenangan (arbitrary) oleh negara terhadap rakyat.
Dengan adanya instrumen pembatasan kekuasaan negara dengan hukum itulah suatu
negara, dalam perspektif lain, dianggap mengimplementasikan gagasan negara hukum
(the rule of law, rechtsstaat).
Pembatasan sebagaimana diuraikan di atas berlaku baik bagi negara maupun
rakyat, sehingga dengan demikian menjadikan negara dan rakyat, masing-masing harus
tunduk kepada hukum. Negara maupun rakyat harus menjunjung tinggi hukum
(supremacy of law). Ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum oleh siapapun, baik
oleh rakyat maupun oleh pemegang kekuasaan negara haruslah diselesaikan sesuai
dengan ketentuan hukum (due process of law) dengan tidak membeda-bedakan orang
(equality before the law). UUD 1945 sebagai konstitusi yang membatasi kekuasaan
negara harus dibentuk oleh seluruh rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan.
Mekanisme pembentukan hukum yang dapat melibatkan seluruh rakyat dimaksud
adalah mekanisme demokrasi. Dengan demikian maka hukum yang memberikan
pembatasan tersebut haruslah hukum yang demokratis. UUD 1945, sebagaimana
diuraikan di muka, mengimplementasikan kedua gagasan, negara hukum dan
demokrasi sebagaimana diuraikan di muka.
Pengaturan terhadap hubungan konstitusional antara negara dan rakyat atau
masyarakat, yang di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan konstitusional sebagai
subjek konstitusional, dilakukan, antara lain, dengan menetapkan adanya hak atau
kewenangan dan kewajiban konstitusional. Hak merupakan kemanfaatan bagi subjek

4
Asshiddiqie Jimly, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Sinar
Grafika:Jakarta,2009), Hlm. 25.
8
konstitusional yang terpenuhinya secara efektif terjadi manakala subjek konstitusional
lain yang berkewajiban menghormati dan/atau menjalankan kewajiban
konstitusionalnya. Tanpa itu hak hanya merupakan ketentuan kosong yang tidak
memiliki arti apa-apa. Tidak dijalankannya kewajiban dapat terjadi karena kesengajaan,
kelalaian, atau kesalahpahaman, yang pada gilirannya menimbulkan terjadinya
sengketa konstitusional. Sengketa konstitusional harus diselesaikan dengan
menegakkan hukum dan keadilan konstitusional, sehingga subjek konstitusional yang
berkewajiban menghormati dan/atau menunaikan kewajibannya dan subjek hukum
yang berhak mendapatkan kemanfaatan dari hak yang dimilikinya. 5

5
MD, Moh Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, Cetakan Pertama, 1993),
Hlm. 28-29.
9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang diberikan
kewenangan dalam hal penyelenggaraan kekuasaan kehakiman . Mahkamah Agung
merupakan pengadilan keadilan atau court of justice, sementara Mahkamah Konstitusi
lebih mengarah pada lembaga pengadilan hukum atau court of law . Mahkamah Agung
mengadili peraturan di bawah undang-undang serta membawahi peradilan pidana,
perdata, dan peradilan tata usaha negara, sementara Mahkamah Konstitusi mengadili
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar .
Keduanya merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terpisah
dari cabang-cabang kekuasaan lain.

B. Saran
Demikian makalah ini dapat diselesaikan dengan maksimal. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna dan banyak kekurangan, baik
secara teknis maupun referensi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
senantiasa mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
agar dapat menambah cakrawala wawasan penulis. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusunan makalah ini, semoga
makalah ini memberikan manfaat bagi penyusun pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono, Dan Sri Mumudji, (1995), Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Soedirdjo, (1981), Kasasi dalam Peradilan Pidana, Jakarta: Ahliyah.

Asshiddiqie Jimly, (2009), Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesi Tahun 1945, Sinar Grafika:Jakarta.

MD, Moh. Mahfud, (1993), Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Edisi

Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty.

11

Anda mungkin juga menyukai