Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

CONTOH-CONTOH PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN MK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dosen Pengampu : M.Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H.

Disusun oleh :
Titi Anisa Wulandari 11220490000096
Siti Khofifah 11220490000103
Muhammad Rizal Faza 11220490000103

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2024/1446
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Contoh-Contoh
Pertimbangan dan Putusan MK” dapat selesai sesuai waktu yang telah
ditentukan. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan
kepada kami dalam mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Nuzul Wibawa selaku dosen
mata kuliah “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” yang telah membimbing
dan memberikan kami masukan demi terselesaikannya tugas makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa selesainya makalah ini berkat bantuan berbagai pihak.
Penyusun juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
sempurna. Karena pada hakikatnya tiada manusia yang sempurna.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca. Seraya memohon kepada Allah agar Ia senantiasa
meridhai setiap Langkah kami ini, serta memberikan manfaat bagi para
pembacanya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baiknya
pelindung dan sebaik-baiknya penolong.

Tangerang Selatan, 18 Maret 2024

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Hukum Perdata & Hukum Pidana ............................................. 5
2.2 Contoh-Contoh Pertimbangan dan Putusan MK Terkait Hk Pidana & Tata
Usaha Negara .............................................................................................. 5
2.3 Contoh-Contoh Pertimbangan dan Putusan MK Terkait Hukum Perdata. 15
BAB III ................................................................................................................. 27
PENUTUP ............................................................................................................ 27
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 27
3.2 Saran .......................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Undang–Undang Dasar
1945. Membahas hukum tidak akan lepas dari manusia, karena hukum berperan
Sangat penting dalam kehidupan manusia yaitu sebagai alat yang mengatur tingkah
laku setiap orang dalam bermasyarakat. Hukum adalah himpunan peraturan–
peraturan (perintah–perintah dan larangan–larangan) yang mengurus tata–tertib
suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.1 Dengan
demikian setiap perbuatan yang dilakukan tiap individu mengenai hak dan
kewajiban secara umum atau pribadi mendapatkan perlindungan hukum.
Pengaturan hukum di Indonesia berlaku dua jenis, yaitu hukum publik dan hukum
privat. Salah satu hukum yang diatur menurut hukum publik yaitu hukum pidana,
sedangkan hukum perdata merupakan bagian dari hukum privat.

Perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata terletak pada sifat
berlakunya, hukum pidana sifatnya berlaku umum dan hukum perdata bersifat
khusus. Maksudnya ketentuan yang diatur dalam hukum pidana mengatur perilaku
individu dalam kehidupan di masyarakat, sedangkan hukum perdata berisi
ketentuan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Hukum Perdata & Hukum Pidana?
2. Apa Saja Contoh-Contoh Pertimbangan dan Putusan MK Terkait Hukum
Pidana, Tata Usaha Negara & Terkait Hukum Perdata?

1
E. Utrecht, didalam buku C. S. T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 38.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perdata & Hukum Pidana


Prof. Dr. W.L.G. Lemaire, yang dikutip oleh Drs. P.A.F. Lamintang, S.H.
memberikan definisi hukum pidana sebagai berikut:

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-


keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang
bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-
tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan
bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang
dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

Sedangkan Perdata, Prof. Subekti, S.H. menyatakan bahwa hukum perdata


dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

2.2 Contoh-Contoh Pertimbangan dan Putusan MK Terkait Hukum Pidana


1. Pertimbangan dan Putusan MK (PIDANA)

Putusan : Putusan Nomor 68/PUU-XXI/2023

Objek PUU : Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon : Yang diajukan oleh:

1. Nama : Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dalam


hal ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Koordinator dan Pendiri

5
MAKI dan Komaryono selaku Deputi dan Pendiri MAKI Alamat :
JalanBudi Swadaya Nomor 43, RT. 015 RW. 04, Kelurahan Kebon Jeruk,
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat

sebagai------------------------------------------------------------Pemohon I;

2. Nama : Christophorus Harno Alamat : Jalan Batukaru III/7, Br. Tubuh,


Batubulan, Sukawati, Kab. Gianyar, Bali

sebagai-----------------------------------------------------------Pemohon II;

Kedudukan Hukum :

1. Pasal 51 ayat (1) UU MK, menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang


menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu: a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d.
Lembaga negara.”

2. Penjelasan 51 ayat (1) UU MK, menyatakan: 4 “Yang dimaksud dengan “hak


konstitusional” adalah hak -hak yang diatur dalam UUD NRI 1945.”

3. Mengacu pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya,


terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah para Pemohon
memiliki kedudukan hukum dalam perkara pengujian undangundang, yaitu
terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon, dan adanya hak
dan/atau kewenangan konstitusional dari Pemohon yang dirugikan dengan
berlakunya suatu undang-undang;

4. Kualifikasi para Pemohon dalam permohonan ini adalah sebagai berikut:

4.1. Kualifikasi Pemohon I:

6
4.1.1. Bahwa Pemohon I sebagai badan hukum juga menyandang hak dan
kewajiban dalam sistem hukum, sama halnya dengan orang, demikian juga
halnya dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, mungkin
saja badan hukum baik yang bersifat privat maupun publik mengalami
kerugian yang mempengaruhi hak konstitusionalnya karena berlakunya atau
diundangkannya suatu Undang-Undang;

4.1.2. Bahwa Pemohon I telah berbadan hukum dengan formalitas Akta


Pendirian Notaris Ikke Lucky A., S.H. Nomor 175 tanggal 30 April 2007
dan telah didaftarkan di Kepaniteran Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor
8/2007/PN.SKH. tanggal 3-5-2007 hal ini dapat dipersamakan dengan
badan hukum commanditaire vennootschap (CV) dimana untuk
mendapatkan status hukum dengan persyaratan Akta Pendirian Notaris dan
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat;

4.1.3. Bahwa yang dimaksud dengan badan hukum privat adalah perjanjian
antara lebih dari 2 (dua) orang sebagai tindakan hukum majemuk atau
dilakukan lebih dari 2 (dua) orang, yang menyendirikan sebagian kekayaan
untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dalam perjanjian, bahwa
Pemohon adalah suatu badan hukum yang berbentuk organisasi
kemasyarakatan perkumpulan, dimana para pendiri berdomisili di beberapa
wilayah provinsi Indonesia, sehingga jelas terbukti 5 Pemohon adalah suatu
badan hukum yang berbentuk organisasi kemasyarakatan perkumpulan
karena tindakannya bersifat majemuk;

Kerugian Nyata :

1. Mengenai parameter kerugian konstitusional, MK telah memberikan


pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu Undang-Undang, yakni harus memenuhi 5 (lima) syarat
sebagaimana diuraikan dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005
dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, yang kemudian dimuat dan diatur

7
dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021 dalam pasal 4 ayat (2) yaitu sebagai
berikut:
a. “(2) Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu apabila: Adanya hak
dan/atau kewenangan Konstitusional PEMOHON yang diberikan
oleh Undang Undang Dasar 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan
pengujian; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
kerugian Konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak
akan terjadi.”
2. Bahwa alasan para Pemohon mengajukan permohonan a quo adalah dalam
rangka menegakkan kedaulatan rakyat yang merupakan hak mutlak rakyat
Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan
tindakan para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo adalah juga
dalam rangka menegakkan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Adapun Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut, "(1) Negara
Indonesia adalah negara hukum";
3. Bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah
merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;

8
4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon sudah tepat
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 34 UU KPK
sebagaimana telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dalam Putusan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022. Juga terdapat kerugian
konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, dan ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji;
5. Bahwa Pemohon I menginginkan masa jabatan pimpinan KPK 5 (lima)
tahun berlaku periode 2023-2028 dikarenakan hukum tidak berlaku surut
dan tujuan independensi KPK tercapai dikarenakan masa jabatan pimpinan
KPK berbeda dengan jabatan eksekutif dan legislatif;
6. Bahwa dengan masa jabatan yang berlaku kedepan maka akan dimulai 2024
awal atau 2023 akhir dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK 5 Tahun
itu tidak beririsan dengan atau tidak bersamaan dengan eksekutif maupun
legislatif yaitu presiden dan dpr dengan demikian KPK tidak akan
“dikompasi” oleh kekusasaan eksekutif maupun lesgislatif dengan masa
yang berbeda jadi dengan masa 5 Tahun berlaku ke depan KPK akan tetap
independen;
7. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang indonesia negara hukum, hukum itu
asasnya adalah tidak berlaku surut yang kedua asas manfaat, asas manfaat
terkait dengan proses pemilihan yang beririsan atau bersamaan dengan
dengan pemerintahan adalah salah, seharusnya berbeda irisan dengan begitu
pemerintahan itu bisa diawasi dengan independen oleh dua kepemimpinan
KPK yang lama maupun yang baru, jika bersamaan akan dapat dikooptasi;
8. Bahwa Pemohon II Warga Negara Indonesia yang berkeinginan menjadi
Pimpinan KPK pada tahun 2023 namun merasa terhalang oleh ketentuan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 dikarenakan
ketentuan masa jabatan 5 tahun diberlakukan untuk Pimpinan KPK periode

9
2019-2023 sehingga untuk ikut maju seleksi Pimpinan KPK harus mundur
satu tahun yaitu akhir 2024, padahal Pemohon II telah memenuhi
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK sebagaimana
ketentuan Pasal 29 UU KPK, yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk dapat
diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan
pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum,
ekonomi, keuangan, atau perbankan;
e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i. melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi;
k. mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Bahwa dengan penafsiran Pasal 34 UU KPK sebagaimana telah diubah oleh
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan Perkara Nomor
112/PUU-XX/2022 berlaku untuk periode saat ini maka bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.

10. Berdasarkan alasan-alasan di atas para Pemohon mengalami kerugian


konstitusional dengan diberlakukannya pasal-pasal yang dimohonkan

10
pengujian, sehingga dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Pemberian Ket dan Pemberiannya (Tanggapan dari Pemerintah, dari for


atas Permohonan PUU) :

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut


Mahkamah, dalil Pemohon terkait ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002
adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan 27
Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun
pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti
dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan adalah
beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai pimpinan


KPK saat ini tidak berprestasi, melanggar kode etik, dan nampak terpengaruh
oleh kekuasaan politik sehingga tidak perlu diperpanjang masa jabatannya,
bukan persoalan inkonstitusional norma sehingga bukan merupakan
kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut,


Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002 sebagaimana
telah dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yang berlaku juga bagi pimpinan KPK
saat ini telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum,
dan ketidaksamaan dalam hukum dan pemerintahan yang dijamin dalam UUD
1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak


dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

Pokok Pertimbangan MK:

11
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang,
antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

[3.2] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk


menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Pasal 34
UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250 selanjutnya
disebut UU 30/2002), sehingga Mahkamah berwenang menguji permohonan a
quo.

Bahwa berkenaan dengan pertimbangan hukum dan amar dalam Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, meskipun amar putusan
tersebut berlaku secara umum bahwa masa jabatan pimpinan KPK selama 5
(lima) tahun, namun dalam pertimbangan hukum putusan tersebut
sesungguhnya telah secara ekplisit mempertimbangkan masa jabatan pimpinan
KPK saat ini yang akan berakhir pada tanggal 20 Desember 2023 agar
mendapatkan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. Hal ini
ditegaskan dari simulasi yang dilakukan Mahkamah dalam pertimbangan
hukum putusan a quo berdasarkan pada skema masa jabatan pimpinan KPK saat
ini agar tidak menyebabkan dalam satu kali periode masa periode jabatan

12
Presiden dan DPR melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak
2 (dua) kali dan penilaian 2 (dua) kali tersebut tidak akan berulang setidaknya
pada 20 (dua puluh) tahun mendatang. Sehingga, jika menggunakan skema
masa jabatan pimpinan KPK saat ini diperpanjang menjadi 5 (lima) tahun maka
seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh Presiden
dan DPR Periode 2019-2024 yaitu pada Desember 2019 yang lalu, sedangkan
seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK Periode 2024-
2029 akan dilakukan oleh Presiden dan DPR periode berikutnya (Periode 2024-
2029). Dengan demikian, tidak ada lagi keraguan yang dimaksudkan oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yaitu masa jabatan
pimpinan KPK menjadi 5 (lima) tahun yang berlaku juga bagi pimpinan KPK
saat ini. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 47 UU MK yang
menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan kata
lain, pemberlakuan masa jabatan 5 (lima) tahun juga bagi pimpinan KPK saat
ini, sehingga masa jabatan tersebut akan berakhir pada tanggal 20 Desember
2024. Artinya, hal tersebut tidak bertentangan dengan asas non-retroaktif.
[3.12] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya keberlakuan norma
Pasal 34 UU 30/2002 sebagaimana telah dimaknai secara bersyarat oleh
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022
juga bagi pimpinan KPK saat ini, maka kekhawatiran para Pemohon apabila
Keputusan Presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK
menjadi berakhir pada tanggal 20 Desember 2024 dapat dibatalkan, sehingga
akan menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum terhadap segala
tindakan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK,
menurut Mahkamah tidak beralasan. Jika benar Presiden telah menerbitkan
Keputusan Presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat
ini sampai dengan tanggal 20 Desember 2024 sebagaimana didalilkan para
Pemohon, menurut Mahkamah Presiden sebagai addressat putusan Mahkamah
telah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-
XX/2022. Artinya, Presiden telah benar dan saksama memahami bahwa putusan

13
Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas
putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita
acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
sebagai putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, dapat saja
Mahkamah memberikan perintah (judicial order) di bagian pertimbangan
hukum atau dapat juga pertimbangan hukum Mahkamah menimbulkan
konsekuensi yuridis yang juga harus ditindaklanjuti oleh addressat putusan
Mahkamah. Dalam konteks perkara a quo, oleh karena dalam pertimbangan
hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah untuk
menjawab masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada tanggal
20 Desember 2023, sedangkan dalam amar putusan masa jabatan pimpinan
dimaknai menjadi 5 (lima) tahun maka sebagai konsekuensi yuridis, sebelum
berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK saat ini (existing), dalam hal Presiden
belum menerbitkan surat keputusan untuk memperpanjang masa jabatan
pimpinan KPK saat ini sampai dengan tanggal 20 Desember 2024 maka
seharusnya Presiden segera menerbitkan Surat Keputusan dimaksud. Sehingga,
pimpinan KPK yang saat ini menjabatmendapatkan kepastian hukum dan
kemanfaatan yang berkeadilan sebagaimana diperintahkan oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Demikian pula halnya bagi
masyarakat juga memperoleh kepastian hukum sebagaimana didalilkan oleh
para Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai pimpinan
KPK saat ini tidak berprestasi, melanggar kode etik, dan nampak terpengaruh
oleh kekuasaan politik sehingga tidak perlu diperpanjang masa jabatannya,
bukan persoalan inkonstitusional norma sehingga bukan merupakan
kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Adapun mengenai dalil para
Pemohon jika norma a quo diberlakukan pada periode kepemimpinan KPK saat
ini maka pimpinan KPK yang akan datang beriringan dengan periode Presiden
dan DPR sehingga tujuan menjadikan KPK independen tidak tercapai, menurut
Mahkamah desain konstitusional penilaian dalam sistem rekrutmen pimpinan
KPK tidak boleh dilakukan 2 (dua) kali oleh Presiden maupun DPR dalam

14
periode masa jabatan yang sama menimbulkan konsekuensi logis periodisasi
atau masa jabatan pimpinan KPK beriringan dengan periode Presiden dan DPR,
sebagaimana dipahami juga oleh para Pemohon. Namun demikian hal tersebut
menurut Mahkamah tidak serta-merta menjadikan independensi KPK tidak
tercapai. Independensi dimulai dari sistem seleksi atau rekrutmen pimpinan
KPK. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 telah
mempertimbangkan bahwa penilaian dalam sistem rekrutmen pimpinan KPK
tidak boleh dilakukan 2 (dua) kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode
masa jabatan yang sama. Karena, selain menyebabkan perlakuan yang berbeda
dengan lembaga negara lainnya yang tergolong ke dalam lembaga constitutional
importance, juga berpotensi tidak memengaruhi independensi pimpinan KPK
dan beban psikologis serta benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang
hendak mendaftarkan diri kembali untuk mengikuti seleksi calon pimpinan
KPK berikutnya. Dalam konteks Presiden maupun DPR dalam periode masa
jabatan yang sama dimaksud, tidaklah harus terkait dengan orang yang
memegang jabatan melainkan didasarkan pada periodisasi kelembagaan
Presiden dan DPR.

Amar Mahkamah : Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat


diterima.

2.3 Contoh-Contoh Pertimbangan dan Putusan MK Terkait Hukum Perdata


& Tata Usaha Negara

1. Pertimbangan dan Putusan MK (Perdata)

Putusan : Putusan Nomor 84/PUU-XXI/2023

Objek PUU : Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pemohon :

15
Nama : PT Aquarius Pustaka Musik Dalam Hal Ini diwakili oleh:

Nama : Rita Marlina

Jabatan : Direktur utama

Alamat : Jalan Batu Tulis XIII Nomor 17, Jakarta

Sebagai Pemohon I

Nama : PT Aquarius Musikindo Dalam Hal Ini diwakili oleh:

Nama : Budi Hariadi

Jabatan : Direktur

Alamat : Jalan Batu Tulis Nomor 17, Jakarta

Sebagai Pemohon II

Nama : Melly Goeslaw

Pekerjaan : Pencipta Lagu dan Artis Penyanyi

Alamat : Jalan Taman Puri Bintaro PB33


Nomor 33 Bintaro Jaya Sektor 9,
Tangerang
Sebagai Pemohon III

Kedudukan Hukum :

1. Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan pihak yang dapat mengajukan


permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap
UUD 1945, yaitu “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup


dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;

16
c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara”.

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut menyatakan:


“Yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.

2. Pemohon I merupakan suatu perseroan terbatas yang didirikan


menurut hukum Negara Republik Indonesia pada tahun 1993
dengan nama PT Aquarius Music Publishing berdasarkan Akta
Nomor 97 tanggal 24 Mei 1993 yang dibuat di hadapan James
Herman Rahardjo, S.H., Notaris di Jakarta dan telah memperoleh
pengesahan dari Menteri Kehakiman sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: C-
5809.HT.01.01.TH.99 tanggal 31 Maret 1999, yang telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Para
Pemegang Saham PT. Aquarius Pustaka Musik Nomor 42 tanggal
20 April 2021 yang dibuat di hadapan Recky Francky Limpele,
S.H., Notaris di Jakarta Pusat, yang telah disetujui oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Surat Keputusan Nomor
AHU- 0026272.AH.01.02.Tahun 2021 tanggal 29 April 2021, di
mana Pemohon I menjalankan kegiatan usahanya antara lain di
bidang informasi dan komunikasi yang meliputi di antaranya
“aktivitas penerbitan musik dan buku musik, yang mencakup
usaha penerbitan musik seperti perolehan dan pencatatan hak cipta
untuk gubahan musik” (vide Bukti P – 3 dan P – 4). Berdasarkan
Akta Nomor 324 tanggal 2 September 2019 yang dibuat di
hadapan Recky Francky Limpele, S.H, Notaris di Jakarta Pusat,
sebagaimana telah memperoleh penerimaan pemberitahuan dari
Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-AH.01.03-0331917
tanggal 16 September 2019 Perihal: Penerimaan Pemberitahuan

17
Perubahan Data Perseroan PT AQUARIUS PUSTAKA MUSIK,
susunan pengurus Pemohon I adalah Rita Marlina dan Rakhmad
Andro Buwono masing-masing sebagai Direktur Utama serta
Direktur (vide Bukti P – 5), sehingga Rita Marlina selaku Direktur
Utama berwenang secara sah mewakili serta bertindak untuk dan
atas nama Pemohon I sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Pasal 12
angka 3 huruf a Anggaran Dasar Pemohon I. Dengan demikian,
Pemohon I memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum privat
seperti ditentukan dalam Pasal 51 huruf c UUMK dan Pasal 4 ayat
(1) huruf c PMK 2/2021.
3. Pemohon II adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan
menurut hukum Negara Republik Indonesia pada tahun 1988
berdasarkan Akta Nomor 91 tanggal 18 Oktober 1988 yang dibuat
di hadapan James Herman Rahardjo, S.H., Notaris di Jakarta dan
telah memperoleh pengesahan dari Menteri
Kehakiman RI sesuai dengan Surat Keputusan Nomor C2-
1830.HT.01.01.Th.89 tanggal 21 Februari 1989, yang telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan
Para Pemegang Saham PT. Aquarius Musikindo Nomor 43
tanggal 20 April 2021 yang dibuat di hadapan Recky Francky
Limpele, S.H., Notaris di Jakarta Pusat yang telah mendapatkan
persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
sebagaimana ternyata dalam Surat Keputusan Nomor AHU-
0026295.AH.01.02. Tahun 2021 tanggal 29 April 2021, di mana
Pemohon II menjalankan kegiatan usahanya antara lain di bidang
informasi dan komunikasi yang meliputi di antaranya aktivitas
perekaman suara dan/atau gambar yang mencakup usaha
pembuatan master rekaman suara asli (vide Bukti P – 6 dan P –
7). Menurut Akta Nomor 323 tanggal 2 September 2019 yang
dibuat di hadapan Recky Francky Limpele, S.H., Notaris di
Jakarta Pusat, akta mana telah dilaporkan kepada dan

18
memperoleh tanda penerimaan dari Kementerian Hukum dan
HAM Nomor AHU-AH.01.03- 0331913 tanggal 16 September
2019, salah satu anggota direksi Pemohon II adalah Budi Hariadi
(vide Bukti P – 8), di mana dengan demikian Budi Hariadi secara
yuridis berhak dan berwenang untuk mewakili serta bertindak
untuk dan atas nama Pemohon II seperti ditentukan dalam Pasal
12 angka 3 butir b Anggaran Dasar Pemohon II. Oleh karena itu,
Pemohon II memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum privat
seperti ditentukan dalam Pasal 51 huruf c UUMK dan Pasal 4
ayat (1) huruf c PMK-2/2021.
4. Pemohon III merupakan perorangan warga Negara Indonesia
dengan Nomor Induk Kependudukan 3175024701740003 dan
beralamat di Jalan Daksinapati Timur nomor 8 Rt 008 Rw 014,
Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur (vide
Bukti P – 9) dan berprofesi sebagai Pencipta Lagu serta Artis
Penyanyi, sehingga dengan demikian Pemohon III memenuhi
kualifikasi untuk dapat mengajukan permohonan uji materiil
sebagai perorangan warga Negara Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 51 huruf (a) UUMK dan Pasal 4 ayat (1)
huruf a PMK-2/2021.

Kerugian Nyata :

- Terkait kerugian konstitusional Pemohon I

Pemohon I adalah Pemegang Hak Cipta yang mengelola karya cipta lagu-
lagu dari Para Pencipta, di antaranya ciptaan Pemohon III, berdasarkan
perjanjian antara Pemohon I dan Pencipta. Ciptaan itu merupakan benda
tidak berwujud yang menjadi milik dari Pencipta dan dapat dipindahkan
kepada pihak lain. Dengan adanya pengalihan hak kepada Pemohon I dari
Pencipta, maka selama berlakunya perjanjian pengelolaan hak cipta berada
pada Pemohon I selaku Pemegang Hak Cipta. Jadi, hak kepemilikan atas
Hak Cipta dimaksud berada dalam penguasaan Pemohon I. Dalam melakukan

19
pengelolaan itu, Pemohon I melaksanakan monitoring terhadap Platform
Layanan Digital yang berbasis UGC, di mana Pemohon I mendapati salah satu
aplikasi, dalam hal ini aplikasi “Likee” menggandakan, menampilkan atau
mengumumkan lagu-lagu ciptaan dari Para Pencipta yang berada di bawah
pengelolaan Pemohon I, sebanyak 29 (dua puluh Sembilan) lagu. Oleh
karena itu, pada awal tahun 2020 Pemohon I melancarkan teguran kepada
pengelola aplikasi “Likee” untuk meminta pertanggungjawaban atas
penayangan video-video pendek dalam berbagai variannya yang
diunggah oleh dengan mengeksploitasi kekinian teknologi, kendatipun
teknologi itu akan memberikan imbas negatif terhadap pelaku-pelaku industri
hak cipta, seperti halnya yang dialami oleh Pemohon I, di mana secara nyata
pengelola Platform Layanan Digital berbasis UGC dengan sengaja
menghindari tanggung jawab hukum sekalipun mengetahui adanya materi
pelanggaran hak cipta yang di-posting, diumumkan dan ditampilkan bahkan
dapat dibagikan dan terhadapnya telah diperingatkan. Jadi, dalam hal ini
pengelola Platform Layanan Digital sesungguhnya dengan cara tidak pantas
memanipulasi/memanfaatkan pengguna untuk menggunakan platform
digitalnya dengan cara menyediakan fasilitas/ sarana/wadah berupa
perpustakaan suara yang di dalamnya memungkinkan pengguna untuk
mengunggah materi lagu-lagu milik Pemohon I yang dilakukan tanpa izin
Pemohon I sehingga akhirnya memicu dan/atau menarik minat pengguna
untuk membuat materi lagu-lagu tersebut sebagai bahan video lalu
mengunggah konten-konten video UGC-nya untuk ditampilkan, ditayangkan,
diumumkan, dan dibagikan ke publik, ditambah Platform Layanan Digital bisa
membuat/mengadakan aktifitas/program kampanye di aplikasinya dengan
fitur-fitur menarik berupa hadiah, insentif yang bisa menguntungkan sisi
pengguna dengan tujuan membesarkan aplikasi yang dikelolanya. Berlakunya
ketentuan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta yang hanya menentukan
kualifikasinya untuk Pengelola Tempat Perdagangan, sudah barang tentu tidak
dapat menjerat atau menjangkau pihak Pengelola Platform Layanan Digital
berbasis UGC. Kondisi yang demikian itu tentunya sangat merugikan hak- hak

20
konstitusionalitas Pemohon I, sebab rumusan delik yang dikualifisir itu sangat
sempit atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat pelaku industri di
bidang hak cipta, khususnya musik dan lagu.

- Terkait kerugian konstitusional Pemohon II


Tidak jauh berbeda dari kerugian konstitusional Pemohon I, Pemohon II
selaku produser fonogram atau biasa dikenal dalam industri musik sebagai
“perusahaan label rekaman/produser eksekutif” yang menjalankan proses
perekaman suara atas karya cipta lagu sangat dirugikan dengan maraknya
penggunaan master rekaman suara lagu (“Hak Terkait”) milik Pemohon II oleh
pelanggan atau pengguna dalam berbagai Platform Layanan Digital. Master
rekaman suara lagu yang diproduksi oleh Pemohon II sepenuhnya menjadi hak
milik dari Pemohon II, dan oleh karenanya hanya Pemohon II – lah yang
mendapatkan hak secara eksklusif sepenuhnya untuk memanfaatkannya atau
memberikan izin kepada pihak lain yang bermaksud untuk
menggunakan/memanfaatkannya.
Pemohon II menemukan Hak Terkait milik Pemohon II dipergunakan
oleh banyak pengguna (UGC) dari aplikasi milik Penyedia Platform
Layanan Digital sebagai bahan atau materi dalam berbagai varian video
pendek. Sebagai contoh, Pemohon II telah mengirimkan peringatan
kepada Bigo selaku pengelola dan pemilik aplikasi Likee terkait dengan
banyaknya video dari para penggunanya telah memanfaatkan master
rekaman suara lagu milik Pemohon II, akan tetapi sama seperti yang
dihadapi oleh Pemohon I, somasi Pemohon II tidak direspon positif oleh
Bigo. Hanya, terkait hal tersebut, Pemohon II belum menempuh langkah
hukum lanjutan.
Penggunaan master rekaman suara lagu milik Pemohon II oleh Pengguna
aplikasi dalam bentuk UGC-UGC tanpa izin dari Pemohon II sangat jelas
dapat dikategorikan sebagai bentuk penggandaan mengingat master
rekaman suara itu disalin secara apa adanya (utuh) atau secara adaptif
(disesuaikan) untuk kemudian dipergunakan tanpa izin dalam pembuatan

21
suatu video yang selanjutnya ditampilkan, diumumkan, dan dibagikan
kepada publik melalui media sosial. Menyadari hal itu, memang beberapa
penyelenggara/pemilik/penyedia/pengelola Platform Layanan Digital
kemudian meminta izin kepada Pemohon II untuk dapat membuat master
rekaman suara lagu milik Pemohon II tersedia di dalam perpustakaan
suara di aplikasinya sehingga secara sah
dapat digunakan oleh Pengguna aplikasi tersebut sebagai UGC dalam
bentuk video yang dibuat dan ditampilkan di dalam aplikasi milik mereka.
Pem. Materi muatan kedua pasal dimaksud belum atau tidak merealisasi
perlindungan atas hak konstitusional Pemohon II atas jaminan kepastian
hukum yang adil.
- Terkait kerugian konstitusional Pemohon III

Pemohon III adalah pencipta lagu dan pelaku pertunjukan (dalam hal
ini artis penyanyi). Jadi, selain menciptakan lagu, Pemohon III juga tidak
sedikit membawakan atau menyanyikan sendiri lagu- lagu ciptaannya
dengan memproduksi fonogram melalui Pemohon II. Lagu yang Pemohon
III ciptakan lebih kurang sebanyak 358 (tiga ratus lima puluh delapan)
buah, dan seluruhnya Pemohon III menyerahkan pengelolaan serta
eksploitasi ekonominya kepada Pemohon I. Lagu-lagu ciptaan Pemohon
III banyak ditemukan berupa versi cover/aransemen ulang (“cover
version") yang dibuat dan diunggah oleh Pengguna dalam bentuk UGC
untuk kemudian dipublikasikan dan dibagikan ke aplikasi maupun ke
berbagai platform layanan digital media sosial. Sayangnya tidak jarang
hasil cover version itu selanjutnya dieksploitasi oleh pihak- pihak yang
tidak bertanggung jawab. Tidak sampai di situ, tidak sedikit dijumpai
hasil rekaman dari video cover version dimaksud dimanfaatkan oleh
pengelola Platform Layanan Digital di aplikasinya yang sekaligus juga
sebagai Pengelola Tempat Perdagangan sebagai bahan materi yang dapat
dipergunakan oleh penggunanya baik pengguna biasa maupun pengguna
profesional seperti perusahaan dalam pembuatan video pendek untuk

22
mempromosikan jasa dan/atau barang dagangannya. Terlebih lagi, cover
version itu sebenarnya direproduksi/digandakan tanpa izin dan pada
ujungnya produk dimaksud akan digandakan, diumumkan, ditampilkan,
dibagikan, dan ada juga yang diadaptasi lebih lanjut oleh Pengguna yang
mengunduh ulang sehingga menjadi UGC-UGC baru untuk dijadikan
sebagai materi videonya, serta begitulah seterusnya bak bola salju yang
menggelinding dan membesar. Ada pula pihak-pihak tertentu yang
menghilangkan atau mengganti nama Pemohon III sebagai Pencipta
dengan mencantumkan nama sendiri dari UGC yang bersangkutan, karena
hal itu dimungkinkan, bahkan dapat dikatakan difasilitasi oleh Platform
Layanan Digital. Hak milik yakni hak cipta dan hak moral Pemohon III
atas lagu yang diciptakannya direnggut secara tidak sah, sedangkan aturan
hukum yang ada belum atau tidak dapat menjala Platform Layanan
Digital itu.Begitu pula, sebagai Pelaku Pertunjukan, hak-hak
konstitusional Pemohon III tidak memperoleh jaminan dan kepastian
dengan berlakunya ketentuan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta.
Substansi keduanya tidak memadai sebab tidak mencakup pengelola
Platform Layanan Digital, padahal penyedia/pengelola Platform Layanan
Digital dengan sengaja membuat dan memberikan celah/ruang (atas
terciptanya UGC) untuk menayangkan berbagai macam video dari para
penggunanya, di mana konten video-video itu rentan dengan pelanggaran
hak cipta dan hak terkait. Menjadikan master rekaman suara lagu yang
dibawakan oleh Pemohon III sebagai konten dari video yang direkam oleh
pengguna sebagai UGC tanpa mengurus perizinan kepada pemilik Hak
Terkait sudah barang tentu merupakan pelanggaran atas Hak Terkait yang
dibawakan oleh Pemohon III dan diproduksi oleh Pemohon II, di mana
Hak Terkait yang merupakan hak kebendaan milik Pemohon III dan/atau
Pemohon II dicabut secara serampangan. Ironisnya lagi, sistem dalam
aplikasi menyediakan menu yang dapat diakses dan digunakan pengguna
untuk memfasilitasi adanya UGC serta untuk mengubah esensi
orisinalitas dari master rekaman suara lagu berikut nama pelaku

23
pertunjukannya. Fonogram yang dibawakan oleh Pemohon III dan
diproduksi oleh Pemohon II, setelah digunakan oleh pengguna dalam
video UGC yang dibuatnya, dapat dengan sederhana diubah atau diganti
nama produser eksekutif atau pelaku pertunjukan(artis)-nya menjadi
nama lain yang diinginkan oleh
pembuat dan/atau pengunggah UGC itu sendiri. Kembali lagi, dalam hal
demikian telah terjadi penggandaan, pemanfaatan atas Hak Terkait tanpa
izin dan penghilangan hak moral dari pelaku pertunjukan, tetapi
penggandaan, pemanfaatan, dan pelanggaran hak moral itu timbul
sebagai akibat difasilitasi atau dipermudah oleh pengelola Platform
Layanan Digital itu sendiri. Akan tetapi aturan yang ada belum dapat
memberikan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon III oleh karena
tidak dapat menuntut pertanggungjawaban penyedia Platform Layanan
Digital mengingat pengelola Platform Layanan Digital tidak termasuk
dalam kategori Pengelola Tempat Perdagangan.

Dari uraian-uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa kerugian


konstitusional yang dialami oleh para Pemohon adalah faktual atau
setidak-tidaknya dalam penalaran yang wajar sangat potensial terjadi.
Hak Cipta dan Hak Terkait merupakan hasil karya dalam bidang seni
yang memberikan hak eksklusif bagi pemiliknya untuk
mengeksploitasinya, termasuk untuk memberikan izin atau tidak bagi
pihak yang bermaksud untuk menggunakannya. Dengan kata lain,
siapapun yang ingin memanfaatkannya haruslah meminta dan
mendapatkan izin terlebih dahulu. Secara konstitusional, para Pemohon
berhak untuk memanfaatkannya secara komersial dengan memperoleh
royalti dari setiap pemakaian oleh pihak lain. Manfaat ekonomi itu
tentunya akan dapat dipergunakan demi meningkatkan kualitas hidup dari
para Pemohon. Akan tetapi dengan maraknya fakta- fakta yang telah
diuraikan di atas, maka manfaat dari karya cipta lagu itu tidak dapat
diperoleh oleh para Pemohon, sebaliknya secara tidak langsung para
pelaku/pengelola platform layanan digital berbasis UGC mendapatkan

24
keuntungannya secara ilegal tanpa harus membayar royalti apapun
kepada para Pemohon dan platformnya semakin besar dengan
mendatangkan sebanyak mungkin pengguna. Oleh karena itu, hak
konstitusional para Pemohon untuk memperoleh manfaat dari karya seni
musik dan lagu demi peningkatan kesejahteraannya sesuai dengan Pasal
28C ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan, tetapi kerugian itu tidak dapat
dipulihkan dengan baik mengingat ketentuan rumusan
Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta belum dapat memberikan
jaminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diperintahkan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
a. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional
Para Pemohon dan berlakunya Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta
Sesuai dengan penjabaran atau rincian kerugian konstitusional
para Pemohon tersebut di atas, secara jelas dan nyata terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
konstitusional yang diderita oleh para Pemohon dan berlakunya
pasal yang diuji konstitusionalitasnya itu. Materi muatan dalam
pasal yang dimohonkan uji materinya tersebut telah atau setidak-
tidaknya dalam penalaran yang wajar sangat potensial
menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena
telah memunculkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan
sulitnya bagi para Pemohon untuk memulihkan kerugian dan
menemukan keadilan dalam pelanggaran hak cipta atau hak
terkait yang terjadi sebagai akibat tidak memadainya rumusan
Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta yang tidak mencerminkan hak
mendasar para Pemohon, yaitu hak atas manfaat dari seni demi
peningkatan kualitas hidupnya dan atas jaminan kepastian hukum
yang adil.
b. dengan dikabulkannya permohonan a quo
maka kerugian konstitusional Para Pemohon tidak lagi
atau tidak akan terjadi

25
Bilamana materi muatan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
(conditionally unconstitutional), niscaya kerugian hak
konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi lagi.
Tanggapan Pemerintah :

“Perkembangan teknologi informasi memudahkan seluruh masyarakat


untuk dapat mengakses konten hak cipta melalui internet, sisi lain dari
penggunaan internet terdapat dampak negative yaitu maraknya
pembajakan musik, film dan buku dewasa ini telah menggunakan
akses internet dalam melakukan penyediaan konten kepada
masyarakat sehingga masyarakat secara mudah melakukan
pengunduhan konten konten hak cipta secara ilegal atau tanpa ijin dari
pencipta atau pemegang hak cipta. Keadaan tersebut sangat
merugikan bagi Pencipta/pemegang hak cipta dan pemilik produk
hak berkaitan dengan hak cipta, karena konten hak cipta antara lain
musik, lagu dan buku dibajak dari segi fisiknya juga dilakukan
pembajakan secara digital yaitu melalui mengunduh secara ilegal.
Seluruh aspek telah menjadi lahan bagi para pembajak, sehingga
keadaan ini sangat merugikan pada iri Pencipta/pemegang hak cipta
dan pemilik produk hak berkaitan dengan hak cipta tetapi juga
pemerintah. Menutup konten atau menjadikan layanan sistem
elektronik tidak dapat diakses adalah upaya pemerintah untuk menutup
konten atau menjadikan layanan sistem elektronik tidak dapat diakses
baik secara keseluruhan atau sebagian layanan sistem elektronik dengan
menggunakan sarana control teknologi dan informasi atau bentuk
lainnya, tindakan tersebut sebagai penegakan hukum terhadap pihak-
pihak yang telah melakukan pelanggaran hak cipta secara ilegal”.

Pokok Pertimbangan Mhkamah :

Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

26
Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan lisan di depan
persidangan pada tanggal 19 Oktober 2023 dan menyerahkan keterangan
tertulis pada tanggal 15 November 2023 yang pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:

Ketentuan UU Hak Cipta Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap UUD NRI


Tahun 1945:
Dalam permohonan a quo, para Pemohon mengajukan pengujian materiil
terhadap Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta, yang berketentuan sebagai
berikut:
Pasal 10 UU Hak Cipta:

Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau


penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di
tempat perdagangan yang dikelolanya.

Pasal 114 UU Hak Cipta:

Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya


yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau
penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di
tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Para Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal-Pasal a quo dianggap


bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945:

“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan


dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari

27
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945:

“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia


adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945:


“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan.”

Dalam permohonan a quo, para Pemohon mengemukakan bahwa hak


konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal
a quo, yang pada intinya dengan adanya ketentuan Pasal 10 dan Pasal 114 UU
Hak Cipta terkait dengan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang
hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan
beserta sanksinya terkesan masih terlalu sempit dan belum bisa mengakomodir
fakta atau fenomena yang terjadi saat ini dimana belum mengatur secara
khusus mengenai pertanggungjawaban penyedia layanan digital yang berbasis
UGC, sehingga belum sesuai dengan semangat Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun
1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon.

Amar Putusan :

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak

28
Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) yang
menyatakan, "Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan
dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak
Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya" bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, "Pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform
Layanan Digital berbasis User Generated Content (UGC) dilarang
membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil
pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan dan/atau
Layanan Digital yang dikelolanya";

3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

4 Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya.

Scan The Barcode

Untuk Lebih Lengkap Putusan

(*Jangan Lupa untuk Lewati Iklan)

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang memuat sila dan larangan,
yang dikaitkan (oleh pembentuk undang-undang) dengan sanksi berupa hukuman,
yaitu penderitaan khusus. Oleh karena itu, hukum pidana juga dapat dikatakan
sebagai suatu sistem norma yang menentukan perbuatan apa (melakukan atau tidak
melakukan sesuatu padahal ada kewajiban untuk melakukannya) dan dalam hal apa
pidana dapat dijatuhkan.

Sedangkan hukum perdata adalah keseluruhan peraturan yang mempelajari


tentang hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, baik dalam
hubungan keluarga atau hubungan masyarakat luas.

3.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari
kalian pembaca makalah ini sangat kami harapkan demi kebaikan pemakalah
selanjutnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

E. Utrecht, didalam buku C. S. T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum


dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Putusan Nomor 84/PUU-XXI/2023


Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022

Putusan Nomor 68/PUU-XXI/2023


Putusan Nomor 28/PUU-XXI/2023

Putusan Nomor 63/PUU-XXI/2023


Putusan Nomor 10/PUU-XX/2022

31

Anda mungkin juga menyukai