Anda di halaman 1dari 34

MAHKAMAH KONSTITUSI

(Tugas Mata Kuliah Etika Profesi)

Dosen: Dra. Sunkanah Hasyim, S.H., M.H

Kelompok 3

May Cindy Puspitasari 2016-179


Hanggar Reksa Kanat Agama 2016-193
Risky Diana 2016-244
Ridhiatul Habiba 2016-254
Erni Nur Indah Sari 2016-301
Friska Ningtyas Oktaviany 2016-303
Yustria Novi Satriana 2016-309
Khafidh Izzatur Rahman 2016-323
Novia Nita 2016-330
Nurfauzah Maulidiyah 2106-341
Abdullah Candra Triadi 2016-348

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019

DAFTAR ISI

1
Latar Belakang.......................................................................................................1

Rumusan Masalah..................................................................................................3

Syarat-syarat dan Cara Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi............4

Penegakan dan pelanggaran sanksi yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah


Konstitusi................................................................................................................8

Contoh kasus pelanggaran Hakim Mahkamah Kontitusi................................13

Penutup.................................................................................................................15

Kesimpulan...........................................................................................................15

Saran.....................................................................................................................15

Daftar Pustaka

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

2
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak
reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan
kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga lembaga
yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi
(MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-
Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut
menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara
merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan


pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Gagasan
ini merupakan pengembangan dari asas-asas demokrasi di mana hak-hak politik
rakyat dan hak-hak asasi manusia merupakan tema dasar dalam pemikiran politik
ketatanegaraan. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan
negara-negara modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi sistem
ketatanegaraan yang sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang mengalami
perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukkan Mahkamah
Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki
sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam
penyelenggaraan pengujian konstitusional (constitutional review) terhadap
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar
tertinggi Negara.1

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh


Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan.Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latarbelakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakan supremasi konstitusi. Oleh karena itu,
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakan dalam Mahkamah Konstitusi adalah
konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan
1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Makasar: PT Alumni, hal 130

3
norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain
prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga negara.2

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari
sisi politik dan dari sisi hukum. Dari sisi politik kenegaraan keberadaan
Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentuk
undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal ini diperlukan agar
undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di
DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.Dari sisi hukum,
keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari
supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip
demokrasi, dan prinsip negara hukum.Paling tidak ada empat hal yang
melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi,
yaitu: (1) sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme; (2) mekanisme checks
and balances;(3) penyelenggaraan negara yang bersih; dan (4) perlindungan
terhadap HAM.3

Upaya pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu wujud nyata


perubahan sistem ketatanegaraan, sehingga tercipta keseimbangan dan kontrol
yang ketat di antara lembaga-lembaga negara. Meski demikian, hakikat
pembentukan Mahkamah Konstitusi selain lebih mempertegas prinsip negara
hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang telah dijamin konstitusi, juga
sebagai sarana penyelesaian sengketa ketatanegaraan yang memerlukan lembaga
atau badan yang berwenang menyelesaikannya, karena sebelumnya tidak ada
dalam UUD 1945.

B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum Makamah Konstitusi (UU Tentang Mahkamah Konstitusi) ?
2. Apa syarat-syarat dan bagaimana pengangkatan Hakim Makamah Kontitusi ?
3. Bagaimana penegakan dan pelanggaran sanksi yang dilakukan oleh Hakim
Mahkamah Konstitusi ?
4. Bagaimana contoh kasus pelanggaran Hakim Mahkamah Kontitusi ?
2 Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal 10
3 Ibid.,

4
PEMBAHASAN

1. Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi

a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah


Konstitusi.

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.

5
Pengertian, tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi tercantum dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi “Mahkamah Konstitusi merupakan
salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menengakkan hukum dan keadilan.”

Pasal 1 poin (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
menyebutkan pengertian Mahkamah Konstitusi ialah “Mahkamah Konstitusi
adalah salah satu pelakuk kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamh


Konstitusi :

(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim


konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Susunann Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua


merangkap anggota, seorang Wakil ketua merangkap anggota, 7
(tujuh) orang anggota hakim konstitusi.

(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dari dan oleh hakim konstitusi
untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.

(4) Sebelum Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih


sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi
yang tertua usianya.

(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketuan dan Wakil Ketua
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Konstitusi.

Pada pasal 4 Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

6
Konstitusi. mengatur mengenai tata cara pemilihan Hakim ketua Mahkamah
Konstitusi, Wakil Ketua dan anggota-anggota.

Pasal 4

(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim


konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim
konstitusi.

(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota
hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan
terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi.

(3a) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk
1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya.

(4a) Rapat pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihadiri paling sedikit
7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.

(4b) Dalam hal kuorum rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak
terpenuhi, rapat ditunda paling lama 2 (dua) jam.

(4c) Apabila penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) telah
dilakukan dan kuorum rapat belum terpenuhi, rapat dapat mengambil
keputusan tanpa kuorum.

7
(4d) Pengambilan keputusan dalam rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dilakukan
secara musyawarah mufakat untuk mencapai aklamasi.

(4e) Apabila keputusan tidak dapat dicapai secara aklamasi sebagaimana


dimaksud pada ayat (4d), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak
melalui pemungutan suara yang dilakukan secara bebas dan rahasia.

(4f) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam 1
(satu) kali rapat pemilihan.

(4g) Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan sebagaimana


dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

(4h) Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilihan


sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi
“Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Komstitusi
dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan”.

Pasal 10
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

8
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sedangkan pada pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003


Tentang Mahkamah Konstitusi menguraikan bagaimana syarat menjadi Hakim
Konstitusi.

Pasal 15
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi seorang calon harus
memenuhi syarat :
a. Warga Negara Indonesia ;
b. Berpendidikan sarjana hukum;
c. Berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
d. Tidak pernah dijatuhi pidana pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
9lima) tahun atau lebih;
e. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; Dan
f. Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) tahun.
(2) Calon hakim Konstitusi yang bersangkutan wajib membuat surat
pernyataan tentang kesediannya untuk menjadi hakim konstitusi.

9
Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur
dan atau tidak mecantumkan karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

2. Syarat-syarat dan Cara Pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi

Pengangkatan hakim konstitusi utamanya diatur dalam pasal 24C ayat 3 UUD
1945 yang memuat perspektif split and quota. Selain itu, pasal 24C ayat 5 dan 6
dan pasal 25 UUD NRI 1945 juga mengatur tentang pengangkatan hakim
konstitusi dimana kesemuanya itu berisi amanat pembentukan suatu derivat aturan
pengangkatan dan syarat-syarat hakim konstitusi yang dimuat dalam suatu
Undang-Undang. Secara jelas, konsep pengangkatan hakim konstitusi yang
diamanatkan dalam UUD 1945 hanya meliputi ketentuan lembaga Negara yang
berwenang mengajukan dan mengangkat hakim konstitusi serta syarat utama
sebagai seorang hakim konstitusi saja. Selanjutnya sebagai penyelenggaraan
amanat UUD 1945, aturan mengenai konsep pengangkatan hakim konstitusi
dimuat dalam Undan-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU KK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai
perubahan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK).4

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai pengangkatan


hakim konstitusi melalui pasal 33 sampai 35 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

Untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, seseorang harus memenuhi


syarat sebagai berikut:

a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;


b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

4 Mira Fajriyah, Jurnal: Refraksi dan Alinasi Pengangkatan Hakim Konstitusi, Volume 12, Nomor
2, Juni 2015, hal: 239-240

10
Pasal 34

(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah


Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang
oleh Presiden.
(2) Pencalonan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
(3) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.

Pasal 35

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi diatur
dengan undang-undang.5

Sementara itu Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai


pengangkatan hakim konstitusi melalui pasal 15 sampai pasal 21 dalam suatu
Bagian Bab tersendiri yaitu Bab IV yang disebut Pengangkatan, yang berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 15

(1)Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:


a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2)Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi
harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5 Undan-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

11
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.
(3)Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon
hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan
menyerahkan:
a. surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
b. daftar riwayat hidup;
c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan
ijazah asli;
d. laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang
disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat
pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
e. nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Pasal 17

Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:

a. pejabat negara lainnya;


b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.

Pasal 18

(1)Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah


Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2)Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon
diterima Presiden.

Pasal 19

Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

Pasal 20

12
(1)Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim
konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2)Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.

Pasal 21

(1)Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau


janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah hakim konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim
konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundangundangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji hakim konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
(2)Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di hadapan Presiden.
(3)Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:

13
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa
dan bangsa”.6

3. Penegakan dan pelanggaran sanksi yang dilakukan oleh Hakim


Mahkamah Konstitusi

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006


tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Republik Indonesia (Sapta Karsa Hutama). Didalam peraturan tersebut
Mahkamah Konstitusi mengatur tentang prinsip-prinsip perilaku hakim konstitusi,
yang terdiri dari 7 (tujuh) aturan perilaku yaitu:

1. Prinsip Independensi

Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya


cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan
dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan
independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat,
dan terpercaya. Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam
kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun
sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa
intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa
bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan
politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang

6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

14
berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan
berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

2. Prinsip Ketakberpihakan

Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim


konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap
perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral,
disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar
kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin
dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan
keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi
hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas
pada umumnya.

3. Prinsip Integritas

Integritas merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan


keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan sebagai
pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian
mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya,
disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujukrayu, godaan
jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaangodaan lainnya. Sedangkan
keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah,
atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

4. Prinsip Kepantasan Dan Kesopanan

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan


kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi,
baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas
profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan
dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat,

15
waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud
dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar
pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan
bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim konstitusi, dengan
karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam
persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.

5. Prinsip Kesetaraan

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama (equal


treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku,
ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur,
pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip
kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk
senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai
dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.

6. Prinsip Kecakapan Dan Keseksamaan

Kecakapan dan keseksamaan hakim konstitusi merupakan prasyarat penting


dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin
dalam kemampuan profesional hakim konstitusi yang diperoleh dari pendidikan,
pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas; sedangkan
keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim konstitusi yang menggambarkan
kecermatan, kehati- hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam
pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan
keputusan.

7. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan

16
Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan
bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam
masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu serta mampu
memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar, tetapi tegas dan lugas.

Dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tentang Dewan Etik


Mahkamah Konstitusi menjelaskan Tugas dan Wewenang Dewan Etik Mahakmah
Konstitusi tersebut yang secara tidak langsung menjelaskan beberapa larangan-
larangan Hakim Konstitusi yaitu sebagai berikut :

Dewan Etik mempunyai Tugas :

a. Menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran dan martabat dan


perilaku hakim, serta kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi,
supaya hakim tidak melakukan pelanggaran.
b. Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah :
i. Melakukan perbuatan tercela
ii. Tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan
yang sah.
iii. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
iv. Dengan sengaja menghambat Mahkamah memberi putusan dalam
waktu 90 (Sembilan puluh) hari sebagaimana tertera didalam
UUD 1945
v. Melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi
vi. Melanggar larangan sebagai hakim untuk :
1) Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara lainnya, anggota
partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri
2) Menerima sesuatu pemberian atau janji dari
pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak
langsung
3) Mengeluarkan pendapat atau pernyataan diluar persidangan
atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului
putusan.
vii. Tidak melaksanakan kewajiban sebagai hakim untuk :

17
1) Menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya
2) Memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil,
tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
3) Menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta
dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dari
masyarakat dan pihak-pihak lain, dan informasi tentang perilaku hakim.
d. Memeriksa hakim terlapor atau hakim yang diduga melakukan
pelanggaran.
e. Menyampaikan laporan dan informasi yang telah dikumpulkan, diolah,
dan ditelaah tentang perilaku hakim terlapor atau hakim yang diduga
melakukan pelanggaran.
f. Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap bulan
kepada Mahkamah.

Dapat diketahui Pelanggaran Hakim Konstitusi berupa :

1. Melakukan perbuatan tercela;


2. Tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5
(lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3. Melanggar sumpah atau janji jabatan;
4. Dengan sengaja menghambat Mahkamah memberi putusan dalam waktu 90
(Sembilan puluh) hari sebagaimana tertera didalam UUD 1945;
5. Melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi
6. Melanggar larangan sebagai hakim untuk :
a. Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara lainnya, anggota partai politik,
pengusaha, advokat, atau pegawai negeri;
b. Menerima sesuatupemberian atau janji dari pihak yang
berperkara, baik langsung maupun tidak langsung;
c. Mengeluarkan pendapat atau pernyataan diluar persidangan atas suatu
perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan;
7. Tidak melaksanakan kewajiban sebagai hakim untuk :
a. Menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;
b. Memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak
diskriminatif, dan tidak memihak; dan;
c. Menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang
dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 16 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013


Tentang Dewan Etik menyatakan bahwa Dewan etik menjatuhkan teguran lisan

18
atau tertulis kepada hakim terlapor atau hakim yang diduga terbukti melakukan
pelanggaran ringan terhadap ketentuan yang tercantum didalam pasal 3 huruf a
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Dewan Etik.

Dewan Etik juga dapat mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan


Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap
hakim terlapor atau hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran berat. Pasal
18 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Dewan Etik
menyatakan bahwa Pembentukan Majelis Kehormatan diusulkan oleh Dewan Etik
kepada Mahkamah dalam hal :

a. Dewan Etik berpendapat bahwa Hakim terlapor atau hakim yang diduga telah
melakukan pelanggaran berat;
b. Hakim terlapor atau Hakim yang diduga telah mendapatkan teguran lisan
dan/atau tertulis sebanyak 3 (tiga) kali.

Penegakan Hukum yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah


Konstitusi yaitu pemberian Sanksi atau Rehabilitasi seperti yang dimaksud dalam
Pasal 13 Huruf c Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi. Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai
berikut : (Pasal 51-53 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi)

1. Apabila seorang hakim terlapor atau hakim terduga dinyatakan tidak terbukti
melakukan pelanggaran, maka majelis kehormatan akan merehabilitasi yang
bersangkutan. Keputusan majelis kehormatan akan disampaikan kepada
mahkamah konstitusi paling lama dalam 2 (dua) hari kerja.
2. Apabila seorang hakim terlapor atau hakim terduga dinyatakan terbukti
melakukan pelanggaran ringan, maka majelis kehormatan akan memuat
penjatuhan sanksi berupa teguran lisan. Keputusan majelis kehormatan akan
disampaikan kepada mahkamah konstitusi paling lama dalam 2 (dua) hari
kerja.
3. Apabila seorang hakim terlapor atau hakim terduga dinyatakan terbukti
melakukan pelanggaran berat, maka majelis kehormatan mengambil keputusan
menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis atau pemberhentian tidak dengan

19
hormat kepada hakim terlapor atau hakim terduga. Keputusan majelis
kehormatan akan disampaikan kepada mahkamah konstitusi paling lama dalam
2 (dua) hari kerja, dan mahkamah konstitusi mengajukan permintaan
pemberhentian tidak dengan hormat hakim terlapor atau hakim terduga kepada
presiden dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya
keputusan majelis kehormatan oleh mahkamah konstitusi.

4. Mekanisme Penegakan Pelanggaran Etik Hakim Patrialis Akbar Di


Mahkamah Konstitusi.

Dalam kasus pelanggaran yang dilakukan hakim patrialis akbar,


mahkamah konstitusi melakukan tahapan-tahapan untuk memperkuat
bukti-bukti selain yang didapat dari laporan media massa. Mahkamah
Konstitusi melakukan peninjauan dari awal kasus tersebut dilaporkan
sampai terjadinya pembentukan majelis kehormatan mahkamah konstitusi
yang mengeluarkan putusan final atau akhir kasus pelanggaran kode etik
ini. Tahapan tersebut mencakup:

1. Pengumpulan informasi dugaan pelanggaran etik Hakim Patrialis


Akbar

Pada tanggal 25 Januari Hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap


dalam operasi tangkap tangan di sebuah pusat perbelanjaan di daerah
ibu kota Jakarta. Pada saat itu seluruh staff Mahkamah Konstitusi
sedang melaksanakan rapat evaluasi kerja di pusat pendidikan
pancasila dan konstitusi, Cisarua. Dan pada saat itu, ketua Mahkamah
Konstitusi sedang berada di semarang untuk menyampaikan keynote
speaker bersama dengan gubernur Jawa Tengah. Setelah mendengar
kabar tersebut ketua Mahkamah Konstitusi kembali kejakarta dan
melakukan rapat dengan ke-8 (delapan) orang hakim mahkamah
konstitusi lainnya. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melakukan
konferensi pers pada pukul 19.30 WIB. Sikap Mahkamah Konstitusi
dalam menindaklanjuti informasi yang telah tersebar ke media sejak
tanggal 26 Januari 2017 perihal kasus pelanggaran terhadap kode etik

20
dan pedoman perilaku yang dialami oleh hakim terduga dengan
mengirimkan staff ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencari
tahu lebih lanjut apakah betul hakim yang diduga melakukan
pelanggaran adalah Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar atau tidak.
Setelah mendapatkan bukti akurat, Ketua Mahkamah Konstitusi
langsung melanjutkan kasus tersebut dengan prosedur yang ada yaitu
diberikannya wewenang tersebut kepada dewan etik.3

2. Pembentukan Dewan Etik

Setelah mendengar kabar tersebut dewan etik melakukan rapat


pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik pada tanggal 26 Januari
2017. Rapat dewan etik dilakukan oleh 1 (satu) orang Ketua
merangkap anggota, dan 2 (dua) orang anggota lainnya, pada saat itu
susunan dewan etik yang ada adalah, Abdul Mukthie Fadjar sebagai
perwakilan unsur mantan hakim konstitusi sebagai ketua merangkap
anggota dewan etik, M. Zaidun guru besar Fakultas Hukum
Universitas Airlangga mewakili unsur akademisi sebagai anggota
dewan etik, dan Hatta Mustafa mantan anggota Panitia Ad Hoc BP
MPR yang mewakili unsur tokoh masyarakat sebagai anggota dewan
etik. Rapat dilaksanakan untuk menjadi dasar pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh Dewan Etik.

Rapat Dewan Etik Mahkamah Konstitusi dilaksanakan untuk


mendalami informasi yang telah diperoleh. Karena pada saat itu hakim
patrialis akbar sudah menjadi tahanan KPK dan tidak dapat dimintai
keterangan, maka dewan etik melakukan pemeriksaan berdasarkan info
media, yaitu mengumpulkanpemberitaan media dan mendalami isinya,
memeriksa hakim panel, panitera, dan panitera pengganti yang terlibat
di dalam perkara pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Perkara yang melibatkan hakim terduga adalah penanganan perkara
Nomor 129/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Undang-undang Nomor
41 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (selanjutnya disebut

21
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan) yang pada saat itu belum
diputus oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi berdasakan berbagai
informasi publik, draf putusan tersebut telah bocor atau dibocorkan.
Hakim terduga dianggap telah melakukan tindak pelanggaran suap,
Kemudian hakim terduga ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan
(OTT) dan telah ditetapkan sebagai tersangka serta menjalani masa
tahanan di KPK.

Berdasarkan hasil rapat dewan etik, dikeluarkan berita acara hasil


pemeriksaan dewan etik hakim konstitusi nomor 16/info-
VI/BAP/DE/2017 bertanggal 27 Januari 2017 yang memutuskan
bahwa hakim terduga melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik
dan pedoman perilaku hakim konstitusi, kemudian dewan etik
mengusulkan pembentukan majelis kehormatan mahkamah konstitusi
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi serta dewan etik mengusulkan pembebastugasan
hakim terduga. Selanjutnya Dewan Etik mengeluarkan surat Dewan
Etik Nomor 3/DEHK/U.02/1/2017 tertanggal 27 Januari 2017 perihal
Usulan Pembentukan Majelis Kehormatan MK dan Pembebastugasan
Hakim Terduga Patrialis Akbar.

3. Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Pada puku1 13.30 WIB tanggal 27 Januari 2017. Agenda Rapat


pleno tersebut membahas Surat Dewan Etik Nomor
3/DEHK/U.02/1/2017 tertanggal 27 Januari 2017 perihal Usulan
Pembentukan Majelis Kehormatan MK dan Pembebastugasan Hakim
Terduga Patrialis Akbar. Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 32 ayat (1),
ayat (4) dan ayat (5) PMK Nomor 2 Tahun 2014 Dewan Etik berhak
mengusulkan dibentuknya Majelis Kehormatan dan menetapkan

22
hukuman kepada hakim terduga. Keputusan yang dibuat tersebut
ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.4 Sehubungan dengan hal
tersebut, Mahkamah Konstitusi pada hari yang sama pada puku1 14.00
menyikapi dan menindak lanjuti usulan Dewan Etik dimaksud Rapat
Permusyawaratan Hakim mengambil keputusan menerima usulan
Dewan Etik untuk membentuk Maielis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan membebastugaskan Hakim
Terduga Dr. Patrialis Akbar. SH., MH dari tugas dan kewenangannya
sebagai Hakim Konstitusi seiak hari Jumat 27 Januari 2017 Sebagai
tindak Ianjut usulan pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi,Mahkamah telah menetapkan nama-nama calon
anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebanyak 5 (Iima)
orang yang terdri atas:

a. 1 (satu) orang Hakim Konstitusi. yaitu Dr. Anwar Us inari, SH. ,


MH,

b. 1 (satu) orang Anggota Komisi Yudisial (Mahkamah Konstitusi


segera mengirimkan surat secara resini kepada Komisi Yudisial
untuk menentukan calon anggota MKMK dari Komisi Yudisial);

c. 1 (satu) orang manian Hakim Konstitusi. yaitu Prof. Dr. Achmad


Sodiki, SH;

d. 1 (satu) orang Guru Besar daiam bidang i1mu Hukum. yaitu


Prof. Dr. Bagir Manan SH.

e. 1 (satu) orang tokoh masyarakat. yaitu Dr. (HC). Drs. H. As'ad


Said A1i.

23
setelah nama-nama calon anggota Malelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas telah terkonfirmasi dan terpenuhi
seluruhnya.. Selanjutnya. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
akan bekerja untuk memeriksa Hakim Terduga Dr. Patrialis Akbar.
SH., MH. dalam Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan,
serta mengambil keputusan akhir dalam Rapat PIeno Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Setelah keputusan tersebut dibuat, pada tanggal 30 Januari 2017, 3


(tiga) hari setelah rapat pleno diadakan hakim terduga mengirimkan
surat ke Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa, Hakim
Terduga mengundurkan diri sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi
sehubungan dengan ditetapkan dirinya sebagai tersangka oleh KPK.
Tetapi Mahkamah Konstitusi menolak surat pengunduran diri tersebut
dan tetap meminta kasus hakim terduga dilaksanakan melalui tahapan
yang seharusnya, yang pada saat itu sudah sampai pada penyelidikan
di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Majelis kehormatan melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan


pada hari Rabu 1 Februari 2017 dan Kamis 2 Februari 2017. Yang
dilaksanakan oleh lima anggota majelis kehormatan, yaitu Sukma
Violetta selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman selaku
Sekretaris merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Bagir Manan, As’ad
Said Ali, masing-masing sebagai Anggota. Agenda sidang pemeriksaan
pendahuluan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan adalah
mendengarkan keterangan dewan etik yang wakilkan oleh ketua dewan
etik saat itu Abdul Mukhtie Fadjar dan Hatta Mustafa selaku anggota
dewam etik. Yang menyampaikan secara bahwa Hakim Terduga telah
ditangkap oleh KPK, Hakim Terduga telah dilakukan penahanan
dirumah tahanan KPK, Dewan Etik juga telah mendapatkan salinan
surat pengunduran diri hakim terduga yang ditulis tangan dan surat
pemberitahuan resmi KPK tentang penahanan hakim terduga, Hakim
Terduga telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh

24
KPK dan ditangkap melalui OTT berdasarkan hal tersebut dewan etik
berkesimpulan bahwa hakim terduga telah melakukan pelanggaran
berat terhadap kode etik hakim konstitusi, dan dewan etik memohon
kepada majelis kehormatan untuk memutuskan, yaitu memberhentikan
dengan tidak hormat hakim terduga.

Dalam rangka melengkapi bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran


berat oleh hakim terduga, majelis kehormatan memandang perlu untuk
mengumpulkan bukti tambahan dan mendalami bukti-bukti, karena
hal-hal tersebut lah, majelis kehormatan mengambil keputusan untuk
melanjutkan pemeriksaan terhadap hakim terduga dalam sidang
pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014, dan meskipun
hakim terduga telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai hakim
konstitusi majelis kehormatan berpendapat bahwa perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan oleh karena dugaan pelanggaran berat hakim
terduga dilakukan sewaktu masih menjabat sebagai hakim konstitusi.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan majelis kehormatan, bahwa
pengajuan surat pengunduran diri oleh hakim terduga sebagai hakim
konstitusi tidak menghapus dugaan perbuatan tercela yang
dilakukannya ketika menjabat sebagai hakim konstitusi. Dengan
demikian, hakim terduga harus tetap mempertanggung jawabkannya
sebagai hakim konstitusi, dan bukan sebagai orang yang telah
mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi dalam sidang pemeriksaan lanjutan telah
memeriksa dan/ata meminta keterangan sejumlah saksi dibawah
sumpah, yaitu:5

1. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., Hakim Konstitusi;

2. Dr. Manahan M.P Sitompul, S.H., M.Hum., Hakim Konstitusi;

3. Kasianur Sidauruk, S.H., M.H., Panitera Hakim Konstitusi;

25
4. Perana Patrayoga Adiputra, A.Md., Sekretaris Administrasi
Umum Hakim Konstitusi Patrialis Akbar;

5. Kamaludin, Pekerja Swasta;

6. Ery Satria Pamungkas, S.H., Panitera Pengganti Tingkat II


Mahkamah Konstitusi;

7. Suryo Gilang Romadlon, S.H., M.H., Sekretaris Yustisial


Hakim Konstitusi Patrialis Akbar;

8. AKP. Eko Basuki, S.H., Ajudan Hakim Konstitusi Patrialis


Akbar; dan

9. Slamet, sopir Hakim Terduga.

Dalam rangka mendalami informasi yang berkembang di


media masa dan mendengarkan penjelasan hakim terduga.
Menimbang dalam sidang pemeriksaan pendahuluan terdapat dua
hal yang perlu didalami oleh majelis kehormatan yaitu,

bahwa hakim terduga diduga melakukan pelanggaran berat


sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) huruf h UU MK,
PMK Nomor 9/PMK/2006, dan pasal 40 huruf c PMK Nomor 2
tahun 2014, dan bahwa hakim terduga diberhentikan sementara
meskipun yang bersangkutan telah mengajukan surat pengunduran
diri. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga telah
memeriksa, membaca, melihat dan atau mempelajari dokumen-
dokumen dan rekaman kamera pengawas (CCTV) sebagai alat
bukti yang sah terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim konstitusi yang dilakukan oleh hakim
terduga.

Pada hari Kamis 2 Februari 2017, majelis kehormatan


mendatangi hakim terduga di gedung KPK untuk memeriksa dan
meminta keterangan dari yang bersangkutan sekaligus memberikan

26
kesempatan kepada yang bersangkutan untuk menyampaikan
pembelaan diri dalam sidang majelis kehormatan, tetapi hakim
terduga menyatakan keberatan untuk diperiksa oleh majelis
kehormatan apabila dilakukan di gedung KPK dan dihadiri oleh
para penyidiknya, karena merasa tidak nyaman dan tidak merasa
bebas untuk menyampaikan keterangannya. Didalam kesempatan
tersebut, hakim terduga menanyakan perihal penangkapannya oleh
KPK beserta buktinya, karena menurut pengakuan hakim terduga,
dirinya tidak pernah menerima uang dari Basuki Harima, hakim
terduga juga menyampaikan pernah dipaksa oleh dewan etik, tetapi
semua laporannya tidak terbukti.

Hakim terduga mengatakan bahwa ia bersedia diperiksa


oleh Majelis Kehormatan di gedung MK tanpa didampingi oleh
penyidik KPK, sebab apabila di periksa di gedung KPK, hakim
terduga merasa penuh dengan tekanan. Selain Hakim Patrialis,
Majelis Kehormatan juga menyelidiki tersangka lain yaitu
Kamaludin, namun pada saat itu Basuki Hariman tidak dapat
dimintai keterangan lebih lanjut, dan karna ketidak kooperatifan
Hakim Patrialis, Majelis Kehormatan menemui penyidik KPK atas
izin Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mencari data-data yang
diperlukan yang tidak didaptkan dari Hakim Patrialis Akbar.6

Majelis Kehormatan memfokuskan pada 2 (dua) pokok


permasalahan yaitu:

a. Dugaan pertemuan dan/atau pembahasan mengenai perkara


yang sedang ditangani antara hakim terduga dengan pihak
yang berkepentingan dengan perkara, baik langsung maupun
tidak langsung, diluar persidangan; dan/atau

b. Dugaan perbuatan membocorkan draf putusan mahkamah


konstitusi yang bersifat rahasia oleh hakim terduga.

27
Majelis kehormatan berpendapat hakim terduga terbukti
melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku
hakim konstitusi, yaitu7 Prinsip Indenpendensi Dan Penerapannya
Angka 1 menyatakan “Hakim konstitusi harus menjalankan fungsi
judisialnya secara independen atas dasar penilaian terhadap fakta-
fakta menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming,
tekanan, ancaman atau campur tangan baik langsung maupun tidak
langsung, dari siapapun atau dengan alas an apapun sesuai dengan
penguasaannya yang seksama atas hukum.” Angka 5 menyatakan,
“Hakim konstitusi harus mendorong, menegakan dan
meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas
peradilan baik secara peradilan maupun kelembagaan.” dan Angka
6 menyatakan bahwa “Hakim konstitusi harus menjaga dan
menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku
yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
mahkamah.”

Prinsip Ketakberpihakan, Dalam Penerapannya, Angka 1


menyatakan “Hakim konstitusi harus melaksanakan tugas
mahkamah tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias) dan tidak
condong pada salah satu pihak.” Angka 2 menyatakan, “Hakim
konstitusi harus menampilkan perilaku, baik didalam maupun
diluar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang
berperkara terhadap ketidak berpihakan hakim konstitusi dan
mahkamah.”

Prinsip Integritas Dalam Penerapannya, Angka 1


menyatakan, “Hakim konstitusi menjamin agar perilakunya tidak
tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak.” Angka 2
menyatakan, “Tindak tanduk perilaku hakim konstitusi harus
memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa

28
mahkamah. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus
tampak dilaksanakan.”

Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Dalam Penerapannya,


Angka 1 menyatakan, “Hakim konstitusi harus menghindari
perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan.” Angka
2 menyatakan, “Sebagai abdi hukum yang terus menerus yang
menjadi pusat perhatian masyarakat, hakim konstitusi harus
menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap
membebani dan harus menerimanya dengan rela hati serta
bertingkah laku sejalan dengan martabat mahkamah.” Angka 8
menyatakan, “Hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan
wibawa mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau
anggota keluarganya atau siapapun juga. Demikian pula hakim
konstitusi dilarang memberikan kesempatan kepada orang lain
untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunyai kedudukan
khusus yang dapat mempengaruhi hakim konstitusi dalam
pelaksanaan tugasnya.” dan Angka 9 menyatakan, “Keterangan
rahasia yang diperoleh hakim konstitusi dalam menjalankan
tugasnya dilarang dipergunakan atau diungkapkan untuk tujuan
lain yang tidak terkait dengan tugas mahkamah.”8

Berdasarkan penilaian atas fakta dan alat bukti, asas


kepatutan, moral dan etika Majelis Kehormatan berkeyakinan dan
berketetapan bahwa hakim terduga terbukti melakukan pertemuan
dan/atau pembahasan mengenai perkara yang sedang ditangani
antara hakim terduga dengan pihak yang berkepentingan dengan
perkara baik langsung maupun tidak langsung diluar persidangan,
dan hakim terduga terbukti membocorkan informasi dan draf
putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat rahasia. Perbuatan
hakim terduga telah mencemarkan nama baik dan membahayakan
serta meruntuhkan wibawa, eksistensi dan/atau fungsi Mahkamah

29
Konstitusi dan jabatan hakim konstitusi serta hakim terduga juga
telah beberapa kali diperiksa dan diberikan rekomendasi oleh
Dewan Etik.

Maka Majelis Kehormatan berkesimpulan bahwa, Hakim


Terduga telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
Pelanggaran Berat terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim
konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Berdasarkan pasal 23 ayat (2)
huruf h UU MK yang menyatakan “Hakim Konstitusi
diberhentikan tidak dengan hormat apabila: … melanggar kode etik
dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi.” Oleh karena itu, majelis
kehormatan menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan
hormat pada Hakim Terduga.9

Setelah dilakukannya pemeriksaan Hakim Terduga Dr. H.


Patrialis Akbar, S.H., M.H., terbukti melakukan pelanggaran berat
terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, serta
menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat kepada
hakim terduga Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H., sebagai hakim
konstitusi. Keputusan ini diputuskan dalam sidang majelis
kehormatan oleh lima anggota majelis kehormatan yaitu Sukma
Violetta selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman selaku
Sekretaris merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Bagir Manan,
As’ad Said Ali, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis
tanggal enam belas bulan Februari tahun dua ribu tujuh belas dan
diucapkan dalam sidang pleno majelis kehormatan yang terbuka
untuk umum.

30
PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia adalah salah satu Negara didunia yang menggunakan system


politik demokrasi yaitu tepatnya demokrasi pancasila . yang secara sederhana
menurut Abraham Lincoln (pada tahun 1963) mengucapkan demokrasi merupakan
:

- Government of the people


- Government by the people
- Government for the people

Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai


profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim
untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan

31
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi

Dan dalam hal ini maka masyarakat dapat mengontrol pengawasan terhadap
pemerintah sebagaimana yang di ucapkan oleh Abraham Lincoln Government by
the people ( pemerintah yang bekerja atas rakyat bukan atas nama partai, golongan
tertentu, suku bangsa atau lainnya. Dengan kata lain, rakyat dapat melakukan
control (pengawasan) terhadap kinerja pemerintah baik secara langsung maupun
tidak langsung)

B. Saran

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Mahkamah yang paling tinggi


bersama Mahkamah Agung , maka hendaklah pemerintah seperti Presiden dan/
atau Wakil Presiden serta para hakim agung didalamnya tidak melakukan hal-hal
yang membuat kesalahan sehingga bisa turunnya wibawa MK di mata masyarakat
dan MK harus lebih bisa membuat kinerja dengan terobosannya yang bagus agar
memudahkan persoalan yang dihadapinya, serta dapat menunjukkan
kredibilitasnya yang sempat luntur dangan kinerja ayang lebih baik dan MK harus
menunjukan ketegasannya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Web

Singarek, http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/tugas-dan-fungsi-
mahkamah-konstitusi.html
Buku
Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi, Makasar: PT Alumni, hal 130

Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal 10

Mira Fajriyah, Jurnal: Refraksi dan Alinasi Pengangkatan Hakim Konstitusi,


Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, hal: 239-240
Undang-undang

33
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai perubahan dari Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

34

Anda mungkin juga menyukai