Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Hukum Pidana Militer

a. Pengertian Hukum Pidana Militer dan Tindak Pidana Militer

Hukum Militer dari suatu Negara merupakan sub-sistem Hukum dari

Hukum Negara tersebut, oleh karena Militer itu adalah bagian dari suatu

masyarakat atau bangsa. Pengertian militer berasal dari bahasa yunani

“milies” yang berarti seseorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan

pertempuran terutama dalam rangka pertahanan negara. Sedangkan

pengertian secara formil menurut undang-undang dapat ditemukan dalam

pasal 46, 47 dan 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara.1

Pasal 46
1) Yang dimaksud dengan tentara adalah :
Ke-1 : mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan
Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam
tenggang waktu dinas tersebut.
Ke-2 : semua sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para
militer wajib dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian
juga jika mereka diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu
selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan
salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139
KUHPM.
2) Kepada setiap militer harus diberitahukan bahwa mereka tunduk pada

1
Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm.
13.
tata tertib militer.
Pasal 47
Barang siapa yang menurut kenyataanya bekerja pada Angkatan Perang,
menurut hukum dianggap sebagai militer, apabila dapat diyakinkan
bahwa dia tidak termasuk dalam ketentuan dalam Pasal 46 diatas.

Pasal 49
1) Termasuk pula sebagai anggota angkatan perang :
Ke-1 : Para bekas tentara yang dipekerjakan untuk suatu dinas
ketentaraan.
Ke-2 : Komisaris-komisaris yang berkewajiban ketentaraan yang
berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu melakukan
jabatan demikian itu.
Ke-3 : Para pewira pensiunan, para anggota suatu pengadilan tentara
(luar biasa), setiap kali mereka melkakukan dinas demikian.
Ke-4 : mereka yang memakai pangkat titular yang ditetapkan dengan
atau berdasarkan undang-undang, atau yang dalam keadaan bahaya
kepada mereka yang dipanggil oleh penguasa perang berdasarkan
Pasal 41 Undang-Undang Keadaaan Bahaya ( Undang-Undang No.
23/PRP/1959) diberikan pangkat titular, selama menjalankan
pekerjaan-pekerjaan militer.
Ke-5 : Mereka, anggota dari suatu organisaasi, yang dipersamakan
dengan Angkatan Darat, Laut, atau Udara.
2) Para militer yang dimaksud pada ayat pertama ditetapkan dalam
pangkat mereka semula atau setingkat lebih tinggi dari pangkatnya
ketika meninggalkan dinas militer sebelumnya.

Hukum Pidana Militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum


pidana militer dalam arti materiil dan hukum pidana militer dalam arti formil.
Hukum pidana militer dalam arti materiil merupakan kumpulan peraturan
tindak pidana yang berisi perintah dan larangan untuk menegakkan ketertiban
hukum dan apabila perintah dan larangan itu tidak ditaati maka diancam
hukuman pidana. Hukum pidana dalam arti formil yang lebih dikenal disebut
Acara Pidana merupakan kumpulan peraturan yang berisi ketentuan tentang
kekuasaan peradilan dan cara pemeriksaan, pengusutan, penuntutan dan
penjatuhan hukuman bagi yang melanggar hukum pidana materiil.2

Selanjutnya dalam tindak pidana militer seperti yang diketahui

2
Ibid., hlm. 26.
sebelumnya bahwa, tindak pidana militer yang terdapat dalam KUHPM

dibagi menjadi dua yaitu :

1) Tindak Pidana Militer Murni


Yaitu tindakan-tindakan terlarang yang pada prinsipnya hanya
mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaannya yang
bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki
tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana, yang meliputi:
a) Seorang militer yang dalam keadaan perang dengan sengaja
menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu pos yang
diperkuat kepada musuh tanpa ada usaha mempertahankannya
sebagaimana dituntut atau diharuskan daripadanya (Pasal 73
KUHPM).
b) Kejahatan Desersi (Pasal 87 KUHPM).
c) Meninggalkan Pos Penjagaan (Pasal 118 KUHPM).

2) Tindak Pidana Militer Campuran


Yaitu tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada
pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, akan
tetapi diatur lagi dalam KUHPM (atau dalam undang-undang hukum
pidana militer lainnya) karena adanya suatu keadaan yang khas militer
atau karena adanya suatu sifat yang lain, sehingga diperlukan
ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari
ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan tersebut
dalam Pasal 52 KUHP. Alasan pemberatan tersebut adalah karena
ancaman pidana dalam undang-undang hukum pidana umum itu
dirasakan kurang memenuhi keadilan, mengingat hal-hal yang khusus
dan melekat bagi seseorang militer.3
Berdasarkan KUHPM, tindak pidana militer terdiri dari tujuh golongan:

1) Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 64-72).

2) Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, tanpa maksud

untuk memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara

terhadap musuh (Pasal 73-84).

3
S.R. Sianturi, Loc.Cit.
3) Kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seorang militer menarik

diri dari pelaksanaan keawjiban dinas (Pasal 85-96).

4) Kejahatan pengabdian (Pasal 97-117).

5) Kejahatan terhadap berbagai keharusan dinas (Pasal 118-139).

6) Kejahatan pencurian dan penadahan (Pasal 140-146).

7) Kejahatan merusak,membinasakan, atau menghilangkan barang-

barang keperluan angkatan perang (Pasal 147-149).

Dalam putusan perkara No. 46-K/PM II-11/AD/VI/2013 salah satu

dakwaan oditur militer terhadap para terdakwa yaitu Pasal 103 ayat (1) jo

ayat (3) ke-3 KUHPM yang menyatakan bahwa: “Militer, yang menolak atau

dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan semaunya

melampaui perintah sedemikian itu, diaancam karena ketidaktaattan yang

disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan” jo

“Apabila dua orang atau lebih Bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari

suatu permufakatan jahat melakukan kejahatan itu” hal ini merupakan tindak

pidana militer yang termasuk dalam golongan kejahatan pengabdian.

Perintah dinas itu sendiri merupakan salah satu dasar dari kehidupan
bahkan juga penghidupan militer dan menjadi kewajiban taat bagi setiap
bawahan untuk melaksanakan perintah dinas tersebut. Sebalikntya bagi setiap
atasan yang memberikan suatu perintah dinas harus menyadari bahwa materi
perintah yang ia berikan itu setidak-tidaknya berhubungan dengan suatu
kepentingan militer baik dalam rangka kepemimpinannya maupun dalam
rangka pemberian petunjuk (richtlijn), pembagian pekerjaan
(taakverddeling), atau pengawasan (controle). Tanpa pemberian perintah
dinas yang baik di satu pihak dan wajib taat di lain pihak, maka para militer
itu tidak lebih dari suatu kelompok atau gerombolan lar yang sangat
berbahaya, terutama karena mereka itu telah terlatih berkelahi dan
dipersenjatai.4

b. Pengaturan Tindak Pidana Militer dalam KUHPM (dalam buku 1 dan

buku 2 KUHPM).

1) Buku Pertama Penerapan Hukum Pidana Umum

Pasal 1
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1947) Untuk
penerapan kitab Undang-Undang ini berlaku ketentuan-ketentuan
hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-
penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Pasal 2
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Terhadap
tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab Undang-Undang ini,
yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-
badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada
penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-
Undang.
Pasal 3
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Ketentuan-
ketentuan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip)
Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi
tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan
Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-
ketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan
tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat.
2) Batas-Batas Berlakunya Ketentuan Pidana Dalam Perundang-
undangan.
Pasal 4
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1957) Ketentuan-
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain
daripada kepada militer :
4
Moch. Faisal Salam, Op.Cit., hlm. 241.
Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia,
melakukan suatu tindak pidana di tempat itu;
Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia,
melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitab
Undang- undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan
dengan pekerjaannya untuk angkatan perang, suatu pelanggaran
jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalam keadaan-
keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.

Pasal 5
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Ketentuan
pidana dalam perUndang-Undangan Indonesia diterapkan bagi
setiapa orang, yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia
melakukan suatu tindak pidana, yang dalam keadaan-kedaan tersebut
termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan militer.
3) Pidana Utama dan Pidana Tambahan

Pasal 6
Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab Undang-Undang ini
adalah :
a) Pidana-pidana utama :
Ke-1, Pidana mati;
Ke-2, Pidana penjara;
Ke-3, Pidana kurungan;
Ke-4, Pidana tutupan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946)
b) Pidana-pidana tambahan :
Ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan
haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
Ke-2, Penurunan Pangkat;
Ke-3, pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat
pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Pasal 7
a) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang
disebutkan pada nomor 3 dalam Pasal tersebut diatas, berlaku
ketentuan-ketentuan pidana yang senama yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sejauh mengenai pidana utama
itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam Kitab
Undang-Undang ini.
b) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-
pidana utama yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yang diancamkan terhadap suatu tindak
pidana yang tidak diatur dalam kitab Undang-Undang ini.
4) Peniadaan, Pengurangan dan Penambahan Pidana
Pasal 32
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Tidak
dipidana, barang siapa dalam waktu perang, melakukan suatu
tindakan, dalam batas- batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh
peraturan-peraturan dalam hukum perang, atau yang pemidanaannya
akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku antara
Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan
suatu peraturan yang ditetapkan sebagai kelanjutan dan perjanjian
tersebut.
Pasal 33
Untuk menerapkan Pasal 45 KUHP terhadap militer yang belum
dewasa, maka perintah Mahkamah supaya petindak diserahkan
kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, jika ia dalam dinas yang
sebenarnya diganti dengan perintah hakim supaya petindak
diserahkan kepada Panglima/Perwira Komandan langsung.
Pasal 34
Apabila kepada Militer yang belum dewasa, dengan ketetapan
Mahkamah ditetapkan untuk dididik oleh pemerintah, maka
berbarengan dengan itu menurut hukum terjadi pemutusan ikatan
dinas.
Pasal 35
Apabila suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
seumur hidup dalam hukuman pidana umum, dilakukan dalam waktu
perang oleh seorang yang tunduk kepada peradilan militer dan hakim
menimbang bahwa keamanan negara menuntut penerapan pidana
mati maka terhadap petindak dapat dijatuhi pidana tersebut.
Pasal 36
Apabila seorang militer yang dengan suatu melakukan kejahatan yang
diancam dengan pidana kurungan pada hukum pidana umum,
merusak (schend) suatu kewajiban dinas, tanpa mengurangi
penerapan Pasal 52 KUHP, terhadap petindak dapat diancam pidana
penjara dengan maksimum yang sama lamanya dengan pidana
kurungan yang ditentukan pada kejahatan itu.
Pasal 37
Terhadap seorang militer yang selama penempatannya dalam disiplin
yang keras (tweedeklasse van militaire discipline) melakukan suatu
kejahatan, dengan maksud supaya dia dipecat dari dinas militer, maka
jika pemecatan itu dijatuhkan, dengan mengingat ketentuan Pasal 12
KUHP, maksimum ancaman pidana penjara sementara pada
kejahatan itu ditambah dengan separo dari lamanya masa dinas
terpidana yang belum dipenuhi.
Pasal 38
Terhadap seorang atasan sebagai dimaksud dengan pasal 53 ayat 1
pada nomor 1 dan 2 sub a, yang dengan sengaja menyertai seorang
bawahan dalam melakukan suatu kejahatan bersenjata, maka dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 12 KUHP, maksimum diancam
pidana penjara sementara pada kejahatan itu ditambah dengan
separonya.
5) Pembarengan Tindak Pidana
Pasal 39
Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam
Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak boleh
dijatuhkan pidana lainnya selain daripada pemecatan dari dinas
militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan bersenjata.

2. Tindak Pidana Pembunuhan


a. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan adalah berasal dari kata “bunuh” yang mendapatkan awalan
“pem” dan akhiran “an” yang menjadi “pembunuhan” dengan suara sengau
“m” berarti “mati”. Maka pembunuhan berarti perkara atau perbuatan
membunuh kata bunuh berarti mematikan, menghilagkan nyawa, membunuh
artinya membuat supaya mati, pembunuhan artinya orang atau alat yang
membunuh, pembunuh berarti perkara membunuh, perbuatan atau hal
membunuh.5
Pembunuhan merupakan perbuatan kesengajaan menghilangkan nyawa

orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseoarang pelaku

5
R. Soesilo, Kriminologi, bogor: Politeia, 2010, hlm. 108.
harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat

dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa unsur kesengajaan

dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain

tersebut.

Perbuatan yang dikatakan pembunuh adalah perbuatan oleh siapa saja


yang sengaja merampas nyawa orang lain. Pembunuh (belanda: doodslag) itu
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun (Pasal 338
KUHPidana). Jika pembunuh itu telah direncanakan lebih dahulu, maka
disebut pembunuhan berencana (moord), yang diancam dengan pidana
penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun atau seumur hidup
atau pidana mati (Pasal 340 KUHPidana).6

b. Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP & KUHPM

KUHPM tidak mengatur tentang tindak pidana pembunuhan, sesuai

dengan Pasal 2 KUHPM yakni:

Terhadap tindak pidana yang tidak atercantum dalam kitab undang-


undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasan
badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada
penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Ketika didalam KUHPM tidak mengatur tindak pidana pembunuhan,

maka mengacu pada KUHP. Berkaitan dengan topik penelitian ini tindak

pidana pembunuhan dalam KUHP diatur dalam Pasal:

Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan
pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau

6
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 129-130.
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan
hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Tindak pidana umum merupakan tindak pidana militer yang termasuk

dalam yuridiksi peradilan militer, begitu juga dengan tindak pidana khusus

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dan tindak pidana yang

diatur dalam KUHPM.

Tindak pidana pembunuhan merupakan tindak pidana umum karena telah

diatur dalam Pasal 338 KUHP yaitu:

“barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,


karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
Meskipun tindak pidana pembunuhan merupakan tindak pidana umum,

namun apabila dilakukan oleh anggota militer maka akan diadili di peradilan

militer karena merupakan tindak pidana campuran dalam hukum pidana

militer. Hukum pidana militer memiliki aturan tersendiri bagaimana anggota

militer harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh

anggota militer, karena pertanggungjawaban tindak pidana pembunuhan yang

dilakukan oleh anggota militer akan berbeda dengan pertanggungjawaban


tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh warga sipil bahkan sanksinya

pun akan jauh lebih berat dibanding sanksi pidana terhadap warga sipil.

c. Jenis-Jenis Pembunuhan

Dari ketentuan-ketentuan mengenai pidana tentang kejahatan-

kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang juga dapat mengetahui

bahwa pembentuk undang-undang telah membedakan jenis-jenis tindak

pidana pembunuhan antara lain:

1) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338);


2) Pembunuhan yang diikuti, disertai dan didahului dengan tindak
pidana lain (Pasal 339);
3) Pembunuhan berencana (Pasal 340);
4) Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan (Pasal 341 dan Pasal 342);
5) Pembunuhan atas permintaan korban (Pasal 344);
6) Penganjuran dan penolongan pada bunuh diri (Pasal 345);
7) Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan ( Pasal 346 dan
pasal 349).7
Dalam keterkaitannya dengan penelitian ini, jenis pembunuhan

berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan:

Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu


merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Ketentuan pidana pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu di atas

dapat diketahui bahwa tindak pidana pembunuhan sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 340 KUHP memiliki unsur-unsur, yaitu:

7
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010, hlm. 56.
1) Unsur subjektif :
a. opzettelijk atau dengan sengaja
b. voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu
2) Unsur objektif :
a. beroven atau menghilangkan
b. leven atau nyawa
c. een ander atau orang lain.8
Ancaman pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana ini lebih

berat dari pidana pembunuhan yang ada pada Pasal 338 KUHP dan Pasal 339

KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat,

yaitu pidana mati, dimana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan

terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah

adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana mati,

pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara

seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

d. Unsur-Unsur Pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan dalam hukum Indonesia diatur secara umum

didalam KUHP. Pengaturan tindak pidana pembunuhan dalam KUHP

Indonesia terdapat dalam Bab XIX, yang membahas mengenai kejahatan

terhadap nyawa. Pada bab ini, kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal

338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Kejahatan terhadap nyawa diatur sesuai

dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan.

8
P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh &
Kesehatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 52.
Dalam KUHP kejahatan terhadap nyawa dapat dibedakan atau

dikelompokkan atas dua dasar, yaitu:

1) Atas dasar unsur kesalahannya


Atas dasar unsur kesalahannya dibedakan lagi menjadi dua bagian:
a) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
midrijiven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP,
pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP, kejahatan ini biasanya
dilakukan dengan adanya niat, perncanaan dan adanya waktu yang
cukup untuk melakukan pembunuhan;
b) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja
(culpose midrijen), dimuat dalam Bab XXI (khusus Pasal 359
KUHP), biasannya kejahatan ini dilakukan tidak diiringi dengan
niat, perencanaan, dan waktu yang cukup memadai dalam
melakukan suatu perbuatan.
2) Atas dasar obyeknya (nyawa)
Kejahatan terhadap nayawa atas dasar objeknya (kepentingan hukum
yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja
dibedakan dalam tiga macam:
a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, di muat dalam
pasal 338, 339, 340, 344, dan 345;
b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, dimuat dalam pasal :341, 342, dan 343;
c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan
ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 349.9

3. Pidana dan Pemidanaan

a. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Dalam membahas masalah pidana dan pemidanaan ada baiknya

dijelaskan dulu apa arti pidana dan pemidanaan tersebut. Menurut Van Hamel

mengatakan bahwa:

Arti dari pidana itu adalah straf menurut hukum positif dewasa ini, adalah
suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan
yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai

9
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 55.
penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan yang
harus ditegakkan oleh negara.10
Adapun pengertian pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim

untuk memidana seorang terdakwa melalui putusannya.

b. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Dalam hukum pidana terdapat tiga teori pemidanaan, yaitu:

1) Teori absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)


Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada
kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar
hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding)
terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena
kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.11

2) Teori relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)


Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari
pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari
pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan
tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada
pemidanaan (nut van de straf).12
Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dapat
dipergunakan untuk mencapai manfaat, baik yang berkaitan dengan
orang yang bersalah, misalnya menjadikannya sebagai orang yang
lebih baik, maupun yang berkaiatan dengan dunia, misalnya dengan
mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat
potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.13

10
P. A. F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indoesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm.
47.
11
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 1998,
hlm. 56.
12
Satochid Kartanegara, Loc.Cit.
13
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, hlm. 51.
Menurut teori pemidanaan ini pidana bukanlah sekedar untuk

melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tujuan

tertentu yang bermanfaat, sehingga dasar pembenaran dari teori ini

adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang

membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan

kejahatan kembali.

Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan

dan teori tujuan dikemukakan pula secara terperinci oleh Karl O.

Christiansen, yaitu:

a) Teori Pembalasan:
(1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
(2) Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat;
(3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya
pidana;
(4) Pidana melihat kebelakang ia merupakan pencelaan yang
murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.
b) Teori Tujuan:
(1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
(2) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
(3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau
culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
(4) pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
(5) pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat
mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak
dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan
kejahataan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.14
3) Teori vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat
memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan.
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak
pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi
di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah
tujuan daripada hukum.15
Teori gabungan ini berusaha menjelaskan dan memberikan dasar

pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu:

a) Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas


pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas
dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang
pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan
asas kebenaran;
b) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk
menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban
apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki;
c) Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni
mempertahankan tertib hukum.16
Menurut Erdianto Effendi, pemidanaan memiliki dua tujuan, yaitu:
1) Tujuan perlindungan masyarakat, untuk merehabilitasi dan
meresosialisasikan si terpidana, mengembalikan keseimbangan yang
terganggu akibat tindak pidana (reaksi adat) sehingga konflik yang
ada dapat selesai;
2) Tujuan yang bersifat spiritual Pancasila yaitu bahwa pemidanaan
bukan dimaksudkan untuk menderitakan dan dilarang untuk
merendahkan martabat manusia.17

4. Pemberatan Pidana

14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,
2005, hlm. 17.
15
Satochid Kartanegara, Loc.Cit.
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 19.
17
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama,
2011, hlm. 141.
a. Pemberatan Pidana dalam KUHP
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa di dalam KUHP terdapat

tiga dasar yang menyebabkan diberatkannya pidana umum:

1) Dasar pemberatan karena jabatan


Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP,
Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar
suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan
tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah
sepertiga.
Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah terletak
pada keadan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai
negeri) mengenai 4 hal, yaitu dalam melakukan tindak pidana dengan:
a) Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;
b) Memakai kekuasaan jabatannya;
c) Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
d) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah
sepertiga, adalah bagi seorang pejabat atau pegawai negeri
(ambtenaar) yang melakukan tindak pidana dengan melanggar
dan atau menggunakan 4 keadaan tersebut di atas.

2) Dasar Pemberatan Pidana dengan Menggunakan Sarana Bendera


Kebangsaan
Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera
kebangsaan dirumuskan dalam Pasal 52 (a) KUHP, bilamana pada
waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan
Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah
sepertiga. Pasal 52 (a) disebutkan secara tegas penggunaan bendera
kebangsaan itu adalah waktu melakukan kejahatan, maka tidak
berlaku pada pelanggara, ini berlaku pada kejahatan manapun,
termasuk kejahatan menurut perundang – undangan diluar KUHP.
3) Dasar Pemberatan Pidana karena Pengulangan
Ada 2 (dua) arti pengulangan yang satu menurut masyarakat dan yang
satu menurut hukum pidana. Menurut masyarakat (sosial),
masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana
yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada
pengulanngan tanpa memperhatikan syarat – syarat lainnya.
Sedangkan pengulangan menurut hukum pidana, yang merupakan
dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya
melakukan tindak pidana tetapi juga dikaitkan pada syarat – syarat
tertentu yang ditetapkan oleh undang – undang. Adapun rasio dasar
pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3 faktor
yaitu:
a) Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
b) Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara
karena tindak pidana yang pertama
c) Pidana itu telah dijalankan oleh yang bersangkutan.18

b. Pemberatan Pidana dalam KUHPM

Pemberatan pidana dalam KUHPM menurut E.Y. Kanter dan S.R.

Sianturi dalam bukunya dibagi menjadi empat, yaitu:

1) Jika pada no. 33 c dalam buku E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi telah
dijelaskan tentang adanya suatu sistim di mana pidana penjara
diancamkan dalam suatu pasal kejahatan, dapat diganti dengan pidana
kurungan dengan syarat-syarat tertentu, berarti ada peringanan jenis
pidana, maka sebaliknya pada Pasal 35 dan 36 ditentukan pemberatan
jenis pidana yaitu:
a) kemungkinan penjatuhan pidana mati sebagai pengganti dari
pidana penjara seumur hidup yang diancamkan, jika kejahatan itu
dilakukan dalam keadaan perang yang demi keamanan negara
dalam hal ini pidana mati yang lebih tepat (Pasal 35);
b) kemungkinan penjatuhan pidana penjara sebagai pengganti dari
pidana kurungan yang maksimum lamanya sama dengan
maksimum ancaman pidana kurungan yang bersangkutan, tanpa
mengurangi penerapan ketentuan pasal 52 KUHP, bila kejahatan
itu dilakukan dengan merusak kewajiban dinasnya. Ketentuan ini
terutama sangat banyak pengaruhnya jika kejahatan- kejahatan
tersebut dilakukan “karena salahnya” (culpa). Kejahatan culpa di
kalangan militer haruslah diartikan mempunyai sifat yang lebih
berat dibandingkan di kalangan umum/ sipil (pasal 36).
Subyek pasal 35 adalah “yang tunduk kepada peradilan militer”
yang berarti ada perluasan subjek, sedangkan subjek dari pasal 36
adalah seorang militer.

18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan,
Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002, Loc.Cit.
2) Seorang militer yang sudah berada dalam klas II hukuman disiplin
militer, jika melakukan kejahatan dengan maksud supaya ia dipecat,
pidananya diperberat (Pasal 37). Dalam hal ini maksimum pidananya
selain dari pada yang ditentukan dalam Pasal 12 KUHP ditambah lagi
dengan setengah dari lamanya “masa dinas” terpidana yang belum
dipenuhinya. Pasal 12 KUHP menentukan bahwa lamanya pidana
penjara sementara minimal 1 (satu) hari dan maksimal 15 tahun
berurutan. Hanya dalam hal-hal tertentu saja dapat dilampaui menjadi
maksimum 20 (dua puluh) tahun berurutan. Jika misalnya seorang
militer yang masih harus menjalani ikatan dinas militernya 2 tahun
lagi, sementara ia berada dalam klas II hukuman disiplin militer, turut
serta melakukan permufakatan jahat (samenspanning) untuk
pemberontakan militer (militair oPasaltand) maka maksimum
ancaman pidananya antara lain adalah pidana penjara selama 20 tahun
ditambah dengan 1/2X2 tahun= 21 tahun.
Tetapi karena pasal 12 ayat 4 menentukan bahwa maksimum 20 tahun
itu tak boleh dilampaui, maka dalam hal ini maksimum pidananya
adalah 20 tahun pidana penjara. Jadi pemberatan pidana yang
dimaksud dalam pasal ini terutama berpengaruh pada sesuatu pasal
kejahatan yang diancam kurang dari 15 tahun (dalam keadaan biasa)
atau kurang dari 20 tahun penjara (dalam keadaan istimewa seperti
concursus, residive, kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan
kejahatan-kejahatan militer).
Perlu diperhatikan pula bahwa dalam penerapan pasal ini harus betul-
betul terbukti bahwa petindak itu mempunyai maksud supaya ia
dipecat dari dinas militer. Jika maksud ini ternyata tidak terbukti maka
pemberatan pidana yang dimaksudkan oleh pasal ini tak dapat
diterapkan.
3) Pemberatan pidana juga diadakan bagi seorang atasan (dalam
pangkat) yang dengan sengaja turut serta dengan bawahan melakukan
suatu kejahatan dolus. Pemberatan pidana dalam hal ini adalah
setengah dari maksimum pidana yang diancamkan, dengan
pembatasan tidak boleh melewati lama maksimum yang ditentukan
dalam pasal 12 KUHP. Syarat-syarat penerapan pemberatan pidana
dalam pasal ini ialah:
a) Seorang itu haruslah atasan sebagai dimaksud dalam pasal 53 ayat
1 dan 2 a, yaitu seorang Pa atau Ba terhadap Ta, atau seorang yang
termasuk Pa atau Ba terhadap Pa atau Ba yang berpangkat lebih
rendah;
b) Atasan tersebut benar-benar dengan sengaja menjadi peserta
(deelnemer). Yang dimaksud peserta di sini ialah pelaku/pleger,
petindak peserta/mededader, pelakupeserta /meepleger,
penggerak/uitlokker, yang digerakkan/uitgelokte atau sebagai
pembantu (medeplichtige). Dalam hal atasan tersebut sebagai
pembantu maka maksimum ancaman pidananya adalah (H+1/2H)
X 2/3. Pemecahan secara aljabar maka maksimum ancaman
pidana bagi seseorang atasan tersebut yang merupakan pembantu
adalah sama dengan maksimum ancaman pidana bagi bawahan
tersebut. Bukankah (H+1/2H) X 2/3 = 3/2HX2/3 = H?.
c) Kejahatan yang terjadi itu harus benar-benar kejahatan sengaja.
4) Sama halnya dengan peniadaan dan pengurangan pidana, maka
ketentuan penambahan pidanapun dapat ditemukan dalam buku II
KUHPM, yang tentunya tidak berlaku umum, melainkan hanya
diterapkan kepada kejahatan (pasal-pasal) tertentu saja. Periksalah
antara lain Pasal 88, 98 (2), 99 (2), 105 (2), 112 dan sebagainya.19

c. Keadaan Subjektif dan Obyektif dalam Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya dijabarkan kepada

dua macam unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Yang dimaksud

dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan,

yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan,

sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku.

Unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana adalah:


1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan, dan lain-lain;

19
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit., hlm. 105-107.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas,
yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari:
1) Kelakuan dan Akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang
dibagi menjadi:
a) Unsur Subjektif atau Pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya
unsur pegawai negri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti
dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1
ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pegawai Negeri
yang menerima hadiah. Kalua yang menerima hadiah bukan
pegawai negeri maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut.
b) Unsur Objektif atau Non Pribadi
Yaitu mengenai keadan di luar si pembuat, misalnya pasal 160
KUHP tentang Penghasutan di Muka Umum (supaya Melakukan
perbuataan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa
umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum
maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut.20

B. HASIL PENELITIAN

Temuan bagaimana keadaan subyektif sebagai anggota militer pada putusan

perkara No. 46-K/PM II-11/AD/VI/2013 dipertimbangkan oleh Majelis Hakim

20
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983,
hlm. 192-193.
1. Posisi Kasus

Pada tanggal 19 Maret 2013 sekira pukul 03.30 Wib Kasi Intel Grup-2

Kopassus Kapten Inf Wahyu Yuniartoto menghubungi Saksi-50 (Letkol Inf

Maruli Simanjuntak) melalui telpon dan melaporkan bahwa Serka Heru Santoso

anggota Grup 2 Kopassus telah meninggal dunia di RS Bethesda Jogyakarta,

karena dikeroyok oleh preman kelompok Sdr. Deki Cs di Hugo’s Cafe Jl

Adisutjipto Yogyakarta, korban (Serka Heru Santoso) menderita luka tusuk pada

dada sebelah kirinya. Atas kejadian tersebut, pada tanggal 19 Maret 2013 sekira

pukul 06.00 Wib Saksi-50 memerintahkan seluruh anggota Grup 2 Kopassus

untuk melaksanakan Apel Luar Biasa di depan Markas Grup-2 Kopassus, di

dalam apel tersebut Saksi-50 menekankan kepada seluruh anggota agar tidak

terpancing dan menyerahkan urusan tersebut kepada pihak yang berwenang

(dalam hal ini adalah Polri), mengingat perkara tersebut sudah ditangani oleh

Polri. Selain Serka Heru Santoso meninggal dunia karena dikeroyok oleh preman

kelompok Sdr Deki Cs, pada tanggal 21 Maret 2013 sekira pukul 14.00 Wib

Sertu Sriyono anggota Kodim 0734/ Yogyakarta yang sekaligus merupakan

mantan anggota Grup-2 Kopassus juga telah dibacok oleh preman kelompok Sdr

Macell Cs.di daerah Yogyakarta.

Terdakwa-1 mengetahui jika atasnnya yaitu Serka Heru Santoso pada tanggal

19 Maret 2013 telah meninggal karena dikeroyok oleh preman kelompok Sdr

Deki Cs di Hugo’s Cafe Yogyakarta, dan mengetahui juga jika salah satu rekan
satu leting saat mengikuti pendidikan Komando Kopassus, atas nama Sertu

Sriyono anggota Kodim 0734/Yogyakarta yang sekaligus merupakan mantan

anggota Grup-2 Kopassus pada tanggal 21 Maret 2013 dirawat di RS Bethesda

Yogyakarta karena di bacok oleh preman kelompok Sdr Macell Cs, Terdakwa-1

yang pernah merasa berhutang nyawa kepada Sertu Sriyono karena saat sama-

sama bertugas di Aceh pada tahun 2002, Sertu Sriyono pernah menyelamatkan

dirinya ketika terjadi kontak senjata dengan kelompok Gerakan Pengacau

Keamanan (GPK), setelah selesai latihan dan kembali ketenda pada hari Jumat

tanggal 22 Maret 2013 sekira pukul 16.00 Wib Terdakwa-1 dengan keadaan

emosi mengatakan kepada Terdakwa-2 dan Terdakwa-3 demi kehormatan Korps

maupun kesatuannya mengajak Terdakwa-2 dan Terdakwa-3 untuk turun ke

Asrama guna mencari kelompok Marcel di Yogyakarta, dengan rencana apabila

bertemu dengan kelompok preman tersebut akan dihajar.

Terdakwa-1 tetap bersikeras bahkan secara spontan Terdakwa-1 terlihat

emosi sambil mengeluarkan kata-kata bernada tinggi, untuk tetap pergi ke

Yogyakarta mencari preman kelompok Sdr Marcel. Sekira pukul 17.45 Wib

dengan terlebih dahulu memasukan 3 (tiga) pucuk senjata api laras panjang jenis

AK 47, 2 (dua) pucuk senjata panjang replika jenis AK 47 dan 1 (satu) pucuk

senjata pistol replika jenis Sig Sower, kedalam mobil Toyota Avanza Nopol B-

8446-XJ milik Terdakwa-1, Para Terdakwa dengan menggunakan mobil Toyota

Avanza Nopol B-8446-XJ yang dikemudikan Terdakwa-1, secara diam-diam


tanpa ijin atasannya baik kepada Saksi-48 selaku Ketua Tim Bulsi B maupun

Saksi-49 selaku Komandan Latihan, pergi meninggalkan daerah latihan di

Gondosuli, Gunung Lawu, Kab. Karanganyar untuk mencari preman yang

membacok Sertu Sriyono dan yang membunuh Serka Heru Santoso di

Yogyakarta.

Setelah berputar-putar sekira pukul 00.15 Wib akhirnya sampai di Lapas

Kelas II B Cebongan, Sesampainya di Lapas Klas II B Cebongan, Kab. Sleman,

Yogyakarta kedua kendaraan mobil yang dikemudikan oleh Saksi-41 dan Saksi-

39 diparkir di pinggir jalan depan Lapas Kelas II B Cebongan. Sebelum turun

Terdakwa-1 memerintahkan kepada Terdakwa-3 untuk membagikan senjata baik

senjata api laras panjang jenis AK 47 maupun senjata replika yang ada didalam

mobil Toyata Avansa kepada teman-temannya.

Setelah Para Terdakwa masing-masing mengambil senjata api laras panjang

jenis AK 47 dan memakai penutup muka (Sebo), Terdakwa-1 masuk menuju

Lapas Kelas II B Cebongan yang selanjutnya diikuti oleh Saksi-39, Saksi-40,

Saksi-42, Saksi-43 dan Saksi-44 yang juga masing-masing sudah memakai

penutup wajah (sebo). Setelah melihat pintu Blok A Lapas Kelas II B terbuka,

para Terdakwa langsung masuk ke Blok A (Blok Anggrek), sambil mencari ruang

sel yang ditempati tahanan Sdr. Diki Cs., Terdakwa-1 langsung menuju ke ruang

tahanan A-5.
Terdakwa-1 setelah mengetahui keberadaan Sdr. Hendrik Benyamin

Sahetapy Engel Alias Diki, Sdr. Adrianus Candra Gajala Alias Dedi dan Sdr.

Yohanis Yuan Manbait Alias Juan, selanjutnya Terdakwa-1 langsung menembak

Sdr. Diki, Sdr. Yuan, Sdr. Dedi, dan Sdr. Ade. Setelah selesai menembak Sdr.

Diki, Sdr. Yuan, Sdr. Dedi dan Sdr. Ade, Terdakwa-2 menepuk pundak

Terdakwa-1 untuk mengajak keluar, dan selanjutnya para Terdakwa dan Saksi-

39, Saksi-40, Saksi-42, Saksi-43, maupun Saksi-44 keluar dari Lapas Kelas II B

Cebongan, dan langsung masuk ke kendaraan masing-masing pergi

meninggalkan Lapas Kelas II B Cebongan.

2. Dakwaan Oditur Militer

Surat dakwaan oditur militer disusun secara kumulatif yang pada pokoknya

memohon kepada Majelis Hakim agar para terdakwa di dakwakan:

Kesatu:

Para Terdakwa pada waktu-waktu dan di tempat-tempat sebagaimana

tersebut di bawah ini, yaitu pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013, atau waktu

lain setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat di Lapas

Klas II B Cebongan, Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta atau tempat lain setidak-

tidaknya pada suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan Militer II-

11 Yogyakarta telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana:

Primer: “Barangsiapa secara bersama-sama sengaja dan dengan rencana lebih

dahulu merampas nyawa orang lain”. Subsider: “Barangsiapa secara bersama-


sama sengaja merampas nyawa orang lain”. Lebih Subsider: “Secara bersama-

sama melakukan penganiayaan mengakibatkan mati”. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kedua:

Para Terdakwa pada waktu-waktu dan di tempat-tempat sebagaimana

tersebut di bawah ini, yaitu pada, hari Jumat 22 Maret 2013, atau waktu lain

setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat di daerah Latihan

Gondosuli, Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, atau tempat

lain setidak-tidaknya pada suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan

Militer II-11 Yogyakarta telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana:

“Militer, dua orang atau lebih bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari suatu

permufakatan jahat melakukan kejahatan itu, yang menolak atau dengan sengaja

tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan semaunya melampaui perintah

sedemikian itu”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) ke-3

KUHPM.

3. Tuntutan Hukum Oditur Militer

Membaca tuntutan pidana Oditur Militer pada Oditurat Militer II-11

Yogyakarta tanggal 31 Juli 2013 yang pada pokoknya memohon kepada Majelis

Hakim agar menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak

pidana:

Kesatu : Secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana.


Dan

Kedua : Dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan sengaja tidak

mentaati perintah dinas.

Sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

dan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) ke-3 KUHPM dan memohon kepada Majelis

Hakim agar para terdakwa dijatuhi pidana berupa:

Terdakwa-1:

Pidana Pokok : Penjara selama 12 (dua belas) tahun, dikurangkan

selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara.

Pidana Tambahan : Dipecat dari Dinas Kemiliteran.

Terdakwa-2:

Pidana Pokok : Penjara selama 10 (sepuluh) tahun, dikurangkan selama

Terdakwa berada dalam tahanan sementara.

Pidana Tambahan : Dipecat dari Dinas Kemiliteran.

Terdakwa-3:

Pidana Pokok : Penjara selama 8 (delapan) tahun, dikurangkan selama

Terdakwa berada dalam tahanan sementara.

Pidana Tambahan : Dipecat dari Dinas Kemiliteran.


4. Pertimbangan Hukum Hakim

Dalam putusan perkara No. 46-K/PM/II-11/AD/VI/2013, penulis tidak

memfokuskan epada pertimbagan hukum hakim. Karena pada dasarnya

pertimbangan hukum sudah terbukti dan penulis sudah setuju dengan

pertimbangan tersebut. Tetapi yang terfokus adalah pertimbangan tentang

mengapa faktor yang menjadi pemberat pidana tidak menjadi pertimbangan

hakim.

Menimbang : Bahwa berdasarkan hal-hal pembuktian yang dilakukan oleh

majelis hakim terhadap dakwaan kumulatif oditur militer yang telah dibuktikan

di dalam putusan No. 46-K/PM/II-11/AD/VI/2013, merupakan fakta-fakta yang

diperoleh dalam persidangan, Majelis berpendapat cukup bukti yang sah dan

meyakinkan bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana :

Kesatu : “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas

nyawa orang lain”.

Kedua : “Militer dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas yang dilakukan

oleh 2 (dua) orang atau lebih secara bersama- sama”.

Menimbang : Bahwa Majelis berpendapat para Terdakwa mampu

bertanggung jawab dan tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun

pembenar, oleh karenanya Terdakwa dapat mempertanggungjawabkan pidana,

dan oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah maka ia harus dipidana.


Menimbang : Bahwa sebelum sampai pada pertimbangan terakhir dalam

mengadili perkara ini, Majelis Hakim akan menilai sifat hakekat dan akibat dari

perbuatan Terdakwa serta hal-hal yang mempengaruhi sebagai berikut:

a. Bahwa sifat dari perbuatan para Terdakwa melakukan pembunuhan

berencana terhadap Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade bersamaan dengan

perbuatan para Terdakwa yang tidak mentaati perintah Dinas/Atasannya,

menunjukkan bahwa para Terdakwa adalah pribadi yang tidak peduli

dengan aturan hukum dan terkesan sosok individu yang menyepelekan

ketentuan hukum atau perudang-undangan serta petunjuk pimpinan Grup-

2 Kopassus kepada para prajurit pendukung latihan mengesan jejak dan

gunung hutan, pada saat itu.

b. Bahwa tindakan para Terdakwa tersebut diatas seharusnya tidak perlu

terjadi atau dilakukan oleh para Terdakwa dengan status dan kapasitas

Terdakwa sebagai prajurit TNI AD yang mempunyai kekhususan yang

berbeda dengan prajurit lainnya, meskipun orang-orang yang para

Terdakwa bunuh adalah kelompok orang yang keberadaannya dipandang

sangat meresahkan masyarakat Yogyakarta.

c. Bahwa hakekat perbuatan para Terdakwa melakukan pembunuhan

berencana terhadap Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade bersamaan dengan

perbuatan para Terdakwa yang tidak mentaati perintah Dinas/Atasannya

karena para Terdakwa lebih mengutamakan rasa sakitnya dan rasa jiwa
korsa yang sempit dengan mengorbankan pertimbangan akal sehat serta

akibat yang bakal dihadapinya.

d. Bahwa perbuatan para Terdakwa melakukan pembunuhan terhadap Sdr.

Dikki, Juan, Dedy dan Ade secara berencana bersamaan dengan

perbuatan para Terdakwa yang tidak mentaati perintah Dinas/Atasannya,

dapat mengakibatkan sebagai berikut:

1) Bagi Institusi TNI/TNI AD

a) Dapat menurunkan citra dan wibawa Institusi TNI dimata

masyarakat khususnya TNI AD dan lebih khusus lagi satuan

Gurup-2 Kopassus sebagai lembaga tempat para Terdakwa

mengabdi, mengingat sampai saat ini Institusi TNI senantiasa

berada dalam sorotan masyarakat.

b) Dapat menimbulkan opini negatif dimata sebagian masyarakat

bahwa kapasitas pangkat dan jabatan yang disandangnya itu, para

Terdakwa tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak terlibat

dalam masalah hukum, padahal sikap kehidupan prajurit

senantiasa menunjukkan kepatuhannya kepada hukum disiplin

keprajuritan dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku di negara

Indonesia.

c) Dengan tidak ditaatinya perintas Atasan dapat mengganggu

tatanan kehidupan disiplin prajurit di kesatuan dan dapat


menyulitkan Pimpinan dalam upaya pembinaan satuan, serta

dapat berpengarus negative kepada prajurit yang lain apabila

kepada para Terdakwa tidak diambil tindakan yang cepat dan

tegas.

2) Bagi Pelaku dan Masyarakat serta Negara/Pemerintah

Bahwa tidak dapat disangkal tindak pidana yang dilakukan oleh para

Terdakwa yaitu pembunuhan secara berencana terhadap Sdr. Dikki,

Juan, Dedy dan Ade bersamaan dengan tidak ditaatinya perintah dari

Atasannya, oleh sebagian besar masyarakat dinilai sebagai suatu hal

yang menguntungkan karena Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade adalah

kelompok orang yang dipandang sangat meresahkan masyarakat

Yogyakarta namun demikian ada sebagian masyarakat lainnya

meskipun hanya sebagian kecil, yang menilai tindakan para Terdakwa

adalah suatu tindakan yang menunjukan kearogansiannya dan sama

sekali tidak menjunjung tinggi hukum yang berlaku serta main hakim

sendiri. Tindakan para Terdakwa tersebut seolah- olah telah

merendahkan kredibilitas dan adanya rasa tidak percaya kepada

hukum, karena para korban sudah dalam proses yang sedang ditangani

oleh aparat Polda DIY dan berada di Lapas kelas IIB Cebongan.

Satu dan lain hal apabila tindakan para Terdakwa yang main hakim

sendiri tersebut, tidak diambil tindakan tegas dikhawatirkan akan


menghalangi penegakan hukum di DIY dan akan ditiru oleh

masyarakat untuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan

permasalahan-permasalahan hukum.

Perbuatan para Terdakwa yang tidak mentaati suatu perintah dinas,

dapat mengganggu tatanan kehidupan disiplin prajurit di kesatuan dan

dapat menyulitkan Pimpinan dalam upaya pembinaan satuan, bila

kepada para Terdakwa tidak diambil tindakan yang cepat, tepat dan

tegas.

3) Bagi keluarga korban

Bagi keluarga korban Sdr. Dikki, juan, Dedy dan Ade, menimbulkan

rasa sedih yang mendalam dan penderitaan yang berat, karena mereka

telah kehilangan sandaran hidup, anak yang dicintai dan pelindung

bagi keluarga.

Menimbang : Bahwa mengenai layak atau tidaknya Terdakwa dipertahankan

dalam dinas Militer, Majelis berpendapat sebagai berikut:

a. Bahwa para Terdakwa melakukan pembunuhan terencana kepada

korban Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade di Lapas kelas IIB Cebongan

ketika korban sedang menjalani penahanan di Lapas tersebut. Selain itu

ketika para Terdakwa melakukan perbuatan tersebut bersamaan dengan

tidak ditaatinya suatu perintah dinas, hal ini mencerminkan sikap dan

pribadi para Terdakwa yang main hakim sendiri, arogan, egois, tidak
menghormati hak hidup orang lain serta sangat meremehkan aturan

hukum yang berlaku.

b. Bahwa dengan melakukan tindakan-tindakan tersebut dapat

mencemarkan citra dan wibawa Kesatuan TNI AD pada umumnya dan

Grup-2 Kopassus sebagai tempat para Terdakwa mengabdi pada

khususnya. Seharusnya para Terdakwa sebagai seorang Prajurit TNI,

haruslah menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat serta dapat

menjaga nama baik Kesatuan. Dengan melakukan tindakan-tindakan

tersebut di atas, mencerminkan bahwa para Terdakwa adalah sosok

Prajurit yang tidak bisa menjaga nama baik Kesatuan/Komando.

c. Bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa

Terdakwa mempunyai sikap dan tingkah laku yang dapat mencemarkan

institusi Kesatuan, sehingga dipandang tidak layak untuk dipertahankan

dalam kedinasan TNI, untuk itu dan oleh karenanya para Terdakwa harus

dipecat dari dinas Militer.

Menimbang : Bahwa untuk mengadilI dan menjatuhkan pidana dalam perkara

para Terdakwa ini, Majelis perlu mempetimbangakan dari berbagai hal

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang kekuasaan Kehakiman serta

pendapat para ahli antara lain sebagai berikut:


a. Pengadilan dalam mengadili suatu perkara harus didasarkan menurut

hukum, dengan tidak membeda-bedakan orang (Undang- undang

Kekuasaan Kehakiman).

b. Hakim dalam mengadili suatu perkara wajib menggali, mengikuti dn

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat (Undang-undang Kekuasaan Kehakiman).

c. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa perkara, mengadili dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.

d. Bahwa hakim dalam memutus suatu perkara harus memperhatikanide/cita

hukum yaitu suatu putusan yang harus memenuhi asas kepastian hukum,

asas keadilan dan asas manfaat (Gustav Radbruch).

e. Bahwa pandangan aliran hukum Responsif berpendapat, hukum yang

baik seharusnya memberikan suatu yang lenih daripada sekedar prosedur

hukum. Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil, ia seharusnya

mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap

tercapainya keadilan Substantif (Philippe Nonet dan Philip Selznick).

f. Bahwa menurut pandangan aliran progesif, berpendapat pengadilan

progresif mengikuti maksim, “Hukum adalah untuk rakyat bukan

sebaliknya” Bila rakyat adalah hukum, apapun yang dipikirkan dan


dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata dalam

Undang-undang. Dalam hubungan ini pekerjaan Hakim menjadi

kompleks Seorang hakim bukannya tehnisi Undang-undang tetapi juga

mahluk sosial, karena itu pekerjaan Hakim sungguh mulia karena ia

bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya (Satjipto Rahardjo).

g. Bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final (Finite Schema) namun

terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia karena

itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif

untuk mengapai ruang cahaya kebenaran dalam mengggapai keadilan

(Satjipto Rahardjo).

h. Bahwa ketika Undang-undang dalam tataran teksnya, apalagi dalam

implementasinya belum mampu berfungsi sebagai intrumen untuk

melakukan transfomasi politik daan hukum, maka sesungguhnya kita

masih berharap kepada Hakim (M. Busyro Moqodas).

i. Bahwa model hukum pidana Indonesia yang dianut bersifat “dader-

strafrecht oriented“ atau orientasi pada pelaku atau ius constituendum,

sehingga Majelis Hakim dalam aspek ini melakukan penjatuhan pidana

berdasarkan model “daad-dader strafrecht“, mengacu kepada adanya

keseimbangan kepentingan. Putusan pemidanaan Majelis ini sanksinya

berorientasi kepada perlindungan kepentingan negara, kepentingan

masyarakat, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan


kepentingan korban kejahatan (Prof. Dr. Muladi, S.H. dalam bukunya

:“Kapita Selekta Hukum Pidana“).

Menimbang : Bahwa dikaji dari aspek ”Teori/Filsafat Integratif” yang

berorientasi kepada dimensi rehabilitasi atau pemulihan dan kegunaan bagi diri

sipelaku maka tujuan pemidanaan yang dijatuhkan kepada diri para Terdakwa

dalam perkara ini bukanlah merupakan pembalasan sesuai Teori Retributif

melainkan sebagai usaha preematif, preverensi dan refresif atau pidana

dijatuhkan bukan menurunkan martabat seseorang akan tetapi bersifat edukatif,

konstruktif dan motivatif agar tidak melakukan perbuatan tersebut lagi dan juga

prevensi bagi masyarakat dan prajurit lainnya.

Menimbang : Bahwa bertitik tolak dari aspek kejiwaan/psikologis Terdakwa,

aspek lingkungan dan aspek edukatif, kepentingan masyarakat aspek

kejiwaan/psikologis Terdakwa, aspek lingkungan dan aspek edukatif,

kepentingan masyarakat, aspek Policy/Filsafat Pemidanaan guna melahirkan

keadilan dan mencegah adanya disparitas dalam pemidanaan (Sentencing of

Disparity) dan aspek Teori/Filsafat Integratif atau dari aspek Yuridis, Sosiologis,

Filosofis dan Psikologis atau dari aspek Legal Justice, Moral Justice dan Sosial

Justice serta ukuran-ukuran tata kehidupan atau sistem nilai yang berlaku di

lingkungan TNI maka mengenai pidana yang akan dijatuhkan atas diri para

Terdakwa sebagaimana disebutkan dalam amar putusan di bawah ini menurut


hemat Majelis telah cukup adil, memadai, argumentatif, manusiawi, proporsional

dan sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan para Terdakwa.

Atau lebih tegasnya lagi tujuan Majelis Hakim tidaklah semata- mata hanya

memidana orang yang bersalah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan untuk mendidik agar yang bersangkutan dapat insaf dan kembali pada

jalan yang benar menjadi warga Negara yang baik sesuai dengan falsafah

Pancasila. Oleh karena itu sebelum Majelis menjatuhkan pidana atas diri

Terdakwa dalam perkara ini perlu lebih dahulu memperhatikan hal-hal yang

dapat meringankan dan memberatkan pidananya yaitu:

Hal-hal yang meringankan:

a) Bahwa para Terdakwa bersikap Ksatria mengakui perbuatannya di

hadapan Tim Investigasi.

b) Bahwa para Terdakwa telah meminta maaf kepada pegawai Lapas dan

para Tahanan Lapas kelas IIB Cebongan.

c) Bahwa para Terdakwa selama persidangan berterusterang sehingga

memperlancar jalannya sidang.

d) Bahwa sikap dan perilaku para Terdakwa selama menjalani pemeriksaan

dipersidangan ini menunjukan sikap sopan dan koorperatif.

e) Riwayat penugasan serta prestasi yang dimiliki para Terdakwa selama

mengabdi di lingkungan TNI AD, yaitu:

1) Terdakwa-1 Serda Ucok Tigor Simbolon:


a) Riwayat tugas operasi pada tahun 2003 mengikuti Satgas Parako

Srigunting di Aceh.

b) Tahun 2004 Satgas SGI di Aceh.

c) Tahun 2010 Satgas di Ambon.

d) Terdakwa pernah mengikuti operasi militer selain perang yaitu

menjadi tim pendaki puncak Jayawijaya, sebagai tim penyelamat

erupsi merapi pada tahun 2008 dan 2010.

e) Tanda jasa yang dimiliki adalah Satya Lencana kesetiaan 8 dan 16

tahun, Satya Lencana Dharma Nusa 2 (dua) kali di Aceh, Satya

Lencana Dharma Nusa Ambon, Satya Lencana Kesatria Yudha.

2) Terdakwa-2 Serda Sugeng:

a) Riwayat tugas operasi Terdakwa pada tahun 2003 mengikuti

Satgas Parako Srigunting di Aceh.

b) Tahun 2004 Satgas SGI di Aceh.

c) Tahun 2010 Satgas di Ambon.

d) Terdakwa pernah mengikuti operasi militer selain perang yaitu

menjadi tim pendaki puncak Jayawijaya dan tim penyelamat

erupsi merapi pada tahun 2008 dan 2010.

e) Tanda jasa yang dimiliki adalah Satya Lencana Kesetiaan 8 dan

16 tahun, Satya Lencana Dharma Nusa 2 (dua) kali di Aceh, Satya

Lencana Dharma Nusa Ambon, Satya Lencana Kesatria Yudha.


3) Terdakwa-3 Koptu Kodik :

a) Riwayat tugas operasi Terdakwa pada tahun 2002/ 2003

mengikuti Satgas di Aceh masuk dalam Kompi Parako.

b) Tahun 2003/2004 Satgas di Aceh masuk dalam Kompi Sanda SGI.

c) Tahun 2008 Satgas di Papua masuk dalam Kompi Satban.

d) Terdakwa pernah mengikuti operasi militer selain perang yaitu

menjadi tim pendaki puncak Jayawijaya, sebagai tim penyelamat

erupsi merapi pada tahun 2008 dan 2010.

e) anda jasa yang dimiliki adalah Satya Lencana Kesetiaan 8 dan 16

tahun, Satya Lencana Dharma Nusa Aceh, Satya Lencana Dharma

Nusa Papua dan Satya Lencana Kesatria Yudha.

f) Bahwa korban dalam perkara ini adalah kelompok yang selama

ini dinilai sangat meresahkan masyakat Yogyakarta, terbukti

dengan adanya beberapa elemen masyarakat yang memberikan

dukungan terhadap para Terdakwa, antara lain:

(1) Organisasi Kawulo Ngayiogyakarta Hadiningrat, terdiri dari:

Sekber keistimewaan Yogyakarta, Pagutuban Laskar Srikandi

Mataram, Forum Yogya Rembuk, GMFKPPI, KOKAM

Muhamadiyah Klaten, Paksi Katon, GP Anshor, Paguyuban

Dukuh DIY, Paguyuban Becak kota Yogyakarta, Pemuda

Panca Marga, Pemuda Pancasila, Hisbullah Yogyakarta,


Benteng Rakyat Yogyakarta, GRIB, Angkatan 66 Yogyakarta,

Relawan Masjid, Forum Warga Karangkajen, SPTI, Banser,

FAKI, Gerakan Pemuda Kabah, Benteng Komando, Gafatar,

Pemuda Tani HKTI, Forum Warga Jogokariyan, Warga

Lereng Merapi, Remaja Masjid Yogyakarta, Inkado, DPD

Granat DIY.

(2) Organisani Padepokan dan Pondok Pesantren, terdiri dari:

Ketua Ponpes Ulil Albab, Ketua Ponpes Ali Arridho, Ketua

Ponpes Baitu Na’im, Ketua Ponpes Alma’mun, Ketua Ponpes

Al Qodir, Ketua Yayasan Yatim Piatu Al Mujib, Ketua

Padepokan Sardulo Seto, Ketua Ponpes Al Falah, Ketua

Ponpes Baitu Salam dan Ketua Ponpes Baitul Jannah.

(3) Dukungan dari Paguyuban Lurah sekabupaten Sleman

Suryodadari.

Hal-hal yang memberatkan :

a. Perbuatan para terdakwa dilakukan pada saat para Terdakwa

melaksanakan Latiha Sanjak dan Gunung Hutan.

b. Perbuatan para Terdakwa dilakukan di Instansi Lembaga

Pemasyarakatan.

c. Perbuatan para Terdakwa mengakibatkan 4 (empat) orang korban

meninggal dunia.
d. Perbuatan para Terdakwa menimbulkan duka yang mendalam bagi

keluarga korban yang ditinggalkan.

e. Perbuatan para Terdakwa menimbulkan trauma bagi petugas Lapas/Sipir

termasuk para Tahanan.

f. Perbuatan para Terdakwa mencemarkan nama baik TNI dimata

masyarakat.

5. Amar Putusan

a. Menyatakan para Terdakwa tersebut diatas yaitu:

1) Ucok Tigor Simbolon, pangkat Serda Nrp. 31960350790677.

2) Sugeng Sumaryanto, pangkat Serda, Nrp. 31970335601276.

3) Kodik, pangkat Koptu, Nrp. 31960418870876.

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:

Kesatu : “Melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama“.

Dan

Kedua : “Dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas yang dilakukan

oleh militer dua orang atau lebih secara bersama-sama“.

Sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP dan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) ke-3 KUHPM .

b. Memidana para Terdakwa oleh karena itu dengan:

Terdakwa-1 :

Pidana pokok : Penjara selama 11 (sebelas) tahun.


Menetapkan selama waktu Terdakwa berada dalam

tahanan sementara perlu dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan.

Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.

Terdakwa-2 :

Pidana pokok : Penjara selama 8 (delapan) tahun.

Menetapkan selama waktu Terdakwa berada dalam

tahanan sementara perlu dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan.

Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.

Terdakwa-3 :

Pidana pokok : Penjara selama 6 ( enam ) tahun.

Menetapkan selama waktu Para Terdakwa berada

dalam tahanan sementara perlu dikurangkan

seluruhnya.

Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.

6. Keadaan Subyektif yang Seharusnya Dipertimbangkan Sebagai faktor

Pemberat Pidana

a. Keadaaan subyektif terdakwa sebagai seorang anggota militer atau

menjabat sebagai anggota militer.


b. Keadaan subyektif terdakwa sebagai anggota militer yang melanggar

aturan hukum yang berlaku, dimana seharusnya seorang anggota militer

taat akan hukum yang sudah berlaku dan tidak main hakim sendiri.

c. Keadaan subyektif terdakwa sebagai anggota militer menyalahgunakan

sarana yang diberikan yaitu senjata api untuk melakukan tindak pidana

pembunuhan berencana.

d. Keadaan subyektif terdakwa sebagai anggota militer yang melakukan

tindak pidana pembunuhan berencana didalam Lapas (Lembaga

Pemasyarakatan.

C. Analisis

Berdasarkan uraian hasil penelitian penulis diatas, penulis berpendapat bahwa

Majelis Hakim telah mempertimbangkan beberapa keadaan subyekif yang terdapat

pada terdakwa sebagai dasar pemberatan pidana. Dimana dalam hal ini meluruskan

persepsi atau pandangan awal penulis terhadap pertimbangan Majelis Hakim bahwa

belum dipertimbangkannya unsur subyektif tersebut.

Walaupun demikian menurut penulis persoalan Majelis Hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa melihat dalam amar putusannya Majelis

Hakim menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana: kesatu: “Melakukan pembunuhan berencana secara

bersama-sama” dan kedua: “Dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas yang

dilakukan oleh militer dua orang atau lebih secara bersama-sama”, sebagaimana diatur
dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 103 ayat (1) Jo ayat

(3) ke-3 KUHPM dan Majelis Hakim memidana para terdakwa:

Terdakwa-1:

Pidana pokok : Penjara selama 11 (sebelas) tahun. Menetapkan selama waktu

Terdakwa berada dalam tahanan sementara perlu

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.

Terdakwa-2 :

Pidana pokok : Penjara selama 8 (delapan) tahun. Menetapkan selama waktu

Terdakwa berada dalam tahanan sementara perlu

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.

Terdakwa-3 :

Pidana pokok : Penjara selama 6 (enam) tahun. Menetapkan selama waktu

Para Terdakwa berada dalam tahanan sementara perlu

dikurangkan seluruhnya.

Pidana tambahan : Dipecat dari dinas Militer.

Penjatuhan pidana terhadap para terdakwa jika dilihat dari Pasal 340 KUHP,

menurut penulis ancaman pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap para

terdakwak masih jauh dari yang teringan. Dimana dari pidana pokok atau pidana
maksimal bagi pelaku tindak pidana Pasal 340 KUHP adalah hukuman mati atau

pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh

tahun.

Penulis memahami jika melihat pertimbangan hakim dalam teori pemidanaannya,

dimana hakim mendasarinya dengan teori preventif atau teori pencegahan ini yang

mempengaruhi pidana yang dijatuhkan masih jauh dari ancaman yang teringan pada

Pasal 340 KUHP. Namun dalam hal ini penulis setuju perihal teori preventif yang

menjadi dasar pertimbangan pemidanaan hakim, karena jangan sampai seseorang yang

dipersenjatai oleh pemerintah dalam hal tertentu, tidak menyalahgunakan senjata api

tersebut. Namun dalam penjatuhan pidananya jangan sampai jauh dari ancaman pidana

yang teringan dari ancaman pidana dalam Pasal 340 KUHP.

Dengan demikian penulis melihat apa yang seharusnya Majelis Hakim

pertimbangkan yaitu kelayakan Pasal 52 KUHP untuk di terapkan dan masuk dalam

pertimbangan hakim dalam pemidanaannya perihal penjatuhan pidana terhadap

terdakwa yang menurut penulis masih jauh dari ancaman teringan dalam Pasal 340

KUHP.

Pasal 52 KUHP menegaskan bahwa, “Bilamana seorang pejabat karena

melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau

pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana

yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.

Untuk dapat diperberat berdasarkan Pasal 52 KUHP, perbuatan pelaku harus


memenuhi syarat-syarat: a) Pelaku tindak pidana haruslah pegawai negeri, b) pegawai

negri tersebut harus: 1) melanggar kewajiban yang istimewa, 2) menggunakan

kekuasaaan, kesempatan atau daya upaya (alat) yang diperoleh karena jabatannya.21

Berdasarkan bunyi Pasal 52 KUHP penulis menguraikan unsur-unsurnya: (a)

Seorang pejabat, b) Melakukan suatu tindak pidana, c) Melanggar suatu kewajiban

khusus dari jabatannya, d) Menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang

diberikan kepadaanya karena jabatannya. Dalam unsur-unsur tersebut, penulis

membuktikan bahwa para terdakwa yang telah disebutkan sebelumnya ini telah

memenuhi uraian unsur-unsur Pasal 52 KUHP tersbut. Maka jika diuraikan kembali

unsur-unsur tersebut:

Pertama: unsur seorang pejabat, unsur ini terdapat pada 3 (tiga) orang terdakwa

dalam kasus ini karena para terdakwa adalah seorang anggota militer dan

termasuk sebagai pejabat, ini didasarkan pada Pasal 92 KUHP yang menegaskan,

“semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”.

Kedua: melakukan suatu tindak pidana, unsur ini ada pada para terdakwa yaitu

melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap 4 (empat) orang

warga sipil yang berstastus tahanan sementara karena terlebih dahulu melakukan

suatu tindak pidana.

Ketiga: Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, unsur ini ada pada

para terdakwa karna para terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan

21
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bandung: Karya
Nusantara, 1984, hlm. 75.
berencana dan penyalahgunaan senjata api. Sebelum melakukan tindak pidana

tersebut para terdakwa sedang berada pada masa pelatihan Mengesan Jejak

(Sanjak) dan Perang Hutan, hal ini berdasarkan pada keterangan Saksi-45 Letkol

Inf. Maruli Simanjuntak dan Saksi-46 Letkol Inf. Burhannudin serta keterangan

Saksi-47 Sertu Hasmudin, menerangkan berdasarkan Surat Perintah Danjen

Kopassus No Sprin: 324/III/2013 tanggal 11 Maret 2013 dan Surat Perintah

Komandan Grup 2 Kopassus Nomor : Sprin/129/II/2013 tanggal 24 Pebruari

2013 anggota Grup 2 Kopasus yang terlibat dalam kegiatan latihan Mengesan

Jejak (Sanjak) dan Perang Hutan yang pelaksanaanya dilaksanakan oleh Pusdik

Kopasus didaerah Gunung Lawu Kab. Karanganyar Jawa Tengah selama 2 (dua)

minggu terhitung sejak tanggal 12 Maret sampai dengan tanggal 26 Maret 2013.

Keempat: Menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan

kepadaanya karena jabatannya, unsur ini ada pada terdakwa karena dalam

melakukan tindak pidana pembunuhan berencana tersebut, para terdakwa

menggunakan senjata api yang didapatkan dari kegiatan latihan Mengesan Jejak

(Sanjak) dan Perang Hutan Grup 2 Kopassus. Hal ini berdasarkan pada

keterangan para Terdakwa yang dikuatkan dengan keterangan Komandan Grup-

2 Kopassus Saksi-45 Letkol Inf. Maruli Simanjuntak dan Komandan Latihan

Saksi-46 Letkol Inf. Burhannudin serta keterangan Ketua Tim Bulsi Saksi-47

Sertu Hasmuddin selama latihan Para Terdakwa sebagai anggota Tim Bulsi telah

dilengkapi dengan perlengkapan perorangan berupa: 1) 3 (tiga) pucuk senjata api


laras panjang AK-47 yang berasal dari Pusdik Kopassus, 2) 2 (dua) pucuk senjata

replika laras panjang jenis AK 47, 3) 1 (satu) pucuk senjata replika pistol jenis

Sig Sower yang berasal dari Kesatuan Grup 2 Kopassus, 4) Masing-masing

dilengkapi dengan Sebo (penutup wajah), rompi latihan dan 2 (dua) buah

magazen yang berisi peluru tajam.

Dengan demikian para terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur yang terdapat

dalam Pasal 52 KUHP dan seharusnya pasal tersebut dipertimbangkan oleh Majelis

Hakim sebagai pemberat pidana.

Dari analaisis diatas penulis melihat kembali pada amar putusan perkara ini

terkait pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidananya terhadap para

terdakwa. Penulis memahami bahwa terdapat pertimbangan dari Majelis Hakim yang

membuat penjatuhan pidana terhadap para terdakwa jauh dari ancaman yang teringan

dalam Pasal 340. Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan

pidananya tidak semata-mata hanya berdasarkan undang-undang saja tetapi

memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat, dimana rasa keadilan masyarakat ini

terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa dinilai dari sebagian

masyarakat menguntungkan dalam kehidupan masyarakat, karena dengan kejadian

tersebut membuat shock therapy bagi para preman yang perilakunya selama ini

dianggap meresahkan masyarakat Yogyakarta. Hal ini lah yang mendukung dan

menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidananya.

Anda mungkin juga menyukai