A. Tinjauan Pustaka
Hukum Negara tersebut, oleh karena Militer itu adalah bagian dari suatu
“milies” yang berarti seseorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan
Pasal 46
1) Yang dimaksud dengan tentara adalah :
Ke-1 : mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan
Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam
tenggang waktu dinas tersebut.
Ke-2 : semua sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para
militer wajib dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian
juga jika mereka diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu
selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan
salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139
KUHPM.
2) Kepada setiap militer harus diberitahukan bahwa mereka tunduk pada
1
Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm.
13.
tata tertib militer.
Pasal 47
Barang siapa yang menurut kenyataanya bekerja pada Angkatan Perang,
menurut hukum dianggap sebagai militer, apabila dapat diyakinkan
bahwa dia tidak termasuk dalam ketentuan dalam Pasal 46 diatas.
Pasal 49
1) Termasuk pula sebagai anggota angkatan perang :
Ke-1 : Para bekas tentara yang dipekerjakan untuk suatu dinas
ketentaraan.
Ke-2 : Komisaris-komisaris yang berkewajiban ketentaraan yang
berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu melakukan
jabatan demikian itu.
Ke-3 : Para pewira pensiunan, para anggota suatu pengadilan tentara
(luar biasa), setiap kali mereka melkakukan dinas demikian.
Ke-4 : mereka yang memakai pangkat titular yang ditetapkan dengan
atau berdasarkan undang-undang, atau yang dalam keadaan bahaya
kepada mereka yang dipanggil oleh penguasa perang berdasarkan
Pasal 41 Undang-Undang Keadaaan Bahaya ( Undang-Undang No.
23/PRP/1959) diberikan pangkat titular, selama menjalankan
pekerjaan-pekerjaan militer.
Ke-5 : Mereka, anggota dari suatu organisaasi, yang dipersamakan
dengan Angkatan Darat, Laut, atau Udara.
2) Para militer yang dimaksud pada ayat pertama ditetapkan dalam
pangkat mereka semula atau setingkat lebih tinggi dari pangkatnya
ketika meninggalkan dinas militer sebelumnya.
2
Ibid., hlm. 26.
sebelumnya bahwa, tindak pidana militer yang terdapat dalam KUHPM
3
S.R. Sianturi, Loc.Cit.
3) Kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seorang militer menarik
dakwaan oditur militer terhadap para terdakwa yaitu Pasal 103 ayat (1) jo
ayat (3) ke-3 KUHPM yang menyatakan bahwa: “Militer, yang menolak atau
dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan semaunya
“Apabila dua orang atau lebih Bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari
suatu permufakatan jahat melakukan kejahatan itu” hal ini merupakan tindak
Perintah dinas itu sendiri merupakan salah satu dasar dari kehidupan
bahkan juga penghidupan militer dan menjadi kewajiban taat bagi setiap
bawahan untuk melaksanakan perintah dinas tersebut. Sebalikntya bagi setiap
atasan yang memberikan suatu perintah dinas harus menyadari bahwa materi
perintah yang ia berikan itu setidak-tidaknya berhubungan dengan suatu
kepentingan militer baik dalam rangka kepemimpinannya maupun dalam
rangka pemberian petunjuk (richtlijn), pembagian pekerjaan
(taakverddeling), atau pengawasan (controle). Tanpa pemberian perintah
dinas yang baik di satu pihak dan wajib taat di lain pihak, maka para militer
itu tidak lebih dari suatu kelompok atau gerombolan lar yang sangat
berbahaya, terutama karena mereka itu telah terlatih berkelahi dan
dipersenjatai.4
buku 2 KUHPM).
Pasal 1
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1947) Untuk
penerapan kitab Undang-Undang ini berlaku ketentuan-ketentuan
hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-
penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Pasal 2
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Terhadap
tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab Undang-Undang ini,
yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-
badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada
penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-
Undang.
Pasal 3
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Ketentuan-
ketentuan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip)
Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi
tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan
Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-
ketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan
tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat.
2) Batas-Batas Berlakunya Ketentuan Pidana Dalam Perundang-
undangan.
Pasal 4
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1957) Ketentuan-
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain
daripada kepada militer :
4
Moch. Faisal Salam, Op.Cit., hlm. 241.
Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia,
melakukan suatu tindak pidana di tempat itu;
Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia,
melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitab
Undang- undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan
dengan pekerjaannya untuk angkatan perang, suatu pelanggaran
jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalam keadaan-
keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Pasal 5
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Ketentuan
pidana dalam perUndang-Undangan Indonesia diterapkan bagi
setiapa orang, yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia
melakukan suatu tindak pidana, yang dalam keadaan-kedaan tersebut
termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan militer.
3) Pidana Utama dan Pidana Tambahan
Pasal 6
Pidana-pidana yang ditentukan dalam kitab Undang-Undang ini
adalah :
a) Pidana-pidana utama :
Ke-1, Pidana mati;
Ke-2, Pidana penjara;
Ke-3, Pidana kurungan;
Ke-4, Pidana tutupan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946)
b) Pidana-pidana tambahan :
Ke-1, Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan
haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
Ke-2, Penurunan Pangkat;
Ke-3, pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 ayat
pertama pada nomor-nomor ke-1, ke-2 dan ke-3 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Pasal 7
a) Untuk pidana-pidana utama dan pidana tambahan yang
disebutkan pada nomor 3 dalam Pasal tersebut diatas, berlaku
ketentuan-ketentuan pidana yang senama yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sejauh mengenai pidana utama
itu tidak ditetapkan penyimpangan-penyimpangan dalam Kitab
Undang-Undang ini.
b) Penyimpangan-penyimpangan ini berlaku juga bagi pidana-
pidana utama yang disebutkan dalam Pasal 10 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yang diancamkan terhadap suatu tindak
pidana yang tidak diatur dalam kitab Undang-Undang ini.
4) Peniadaan, Pengurangan dan Penambahan Pidana
Pasal 32
(Diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947) Tidak
dipidana, barang siapa dalam waktu perang, melakukan suatu
tindakan, dalam batas- batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh
peraturan-peraturan dalam hukum perang, atau yang pemidanaannya
akan bertentangan dengan suatu perjanjian yang berlaku antara
Indonesia dengan negara lawan Indonesia berperang atau dengan
suatu peraturan yang ditetapkan sebagai kelanjutan dan perjanjian
tersebut.
Pasal 33
Untuk menerapkan Pasal 45 KUHP terhadap militer yang belum
dewasa, maka perintah Mahkamah supaya petindak diserahkan
kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, jika ia dalam dinas yang
sebenarnya diganti dengan perintah hakim supaya petindak
diserahkan kepada Panglima/Perwira Komandan langsung.
Pasal 34
Apabila kepada Militer yang belum dewasa, dengan ketetapan
Mahkamah ditetapkan untuk dididik oleh pemerintah, maka
berbarengan dengan itu menurut hukum terjadi pemutusan ikatan
dinas.
Pasal 35
Apabila suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
seumur hidup dalam hukuman pidana umum, dilakukan dalam waktu
perang oleh seorang yang tunduk kepada peradilan militer dan hakim
menimbang bahwa keamanan negara menuntut penerapan pidana
mati maka terhadap petindak dapat dijatuhi pidana tersebut.
Pasal 36
Apabila seorang militer yang dengan suatu melakukan kejahatan yang
diancam dengan pidana kurungan pada hukum pidana umum,
merusak (schend) suatu kewajiban dinas, tanpa mengurangi
penerapan Pasal 52 KUHP, terhadap petindak dapat diancam pidana
penjara dengan maksimum yang sama lamanya dengan pidana
kurungan yang ditentukan pada kejahatan itu.
Pasal 37
Terhadap seorang militer yang selama penempatannya dalam disiplin
yang keras (tweedeklasse van militaire discipline) melakukan suatu
kejahatan, dengan maksud supaya dia dipecat dari dinas militer, maka
jika pemecatan itu dijatuhkan, dengan mengingat ketentuan Pasal 12
KUHP, maksimum ancaman pidana penjara sementara pada
kejahatan itu ditambah dengan separo dari lamanya masa dinas
terpidana yang belum dipenuhi.
Pasal 38
Terhadap seorang atasan sebagai dimaksud dengan pasal 53 ayat 1
pada nomor 1 dan 2 sub a, yang dengan sengaja menyertai seorang
bawahan dalam melakukan suatu kejahatan bersenjata, maka dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 12 KUHP, maksimum diancam
pidana penjara sementara pada kejahatan itu ditambah dengan
separonya.
5) Pembarengan Tindak Pidana
Pasal 39
Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam
Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak boleh
dijatuhkan pidana lainnya selain daripada pemecatan dari dinas
militer dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan bersenjata.
orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseoarang pelaku
5
R. Soesilo, Kriminologi, bogor: Politeia, 2010, hlm. 108.
harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat
dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain
tersebut.
maka mengacu pada KUHP. Berkaitan dengan topik penelitian ini tindak
Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan
pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
6
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 129-130.
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan
hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
dalam yuridiksi peradilan militer, begitu juga dengan tindak pidana khusus
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dan tindak pidana yang
namun apabila dilakukan oleh anggota militer maka akan diadili di peradilan
pun akan jauh lebih berat dibanding sanksi pidana terhadap warga sipil.
c. Jenis-Jenis Pembunuhan
7
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010, hlm. 56.
1) Unsur subjektif :
a. opzettelijk atau dengan sengaja
b. voorbedachte raad atau direncanakan lebih dulu
2) Unsur objektif :
a. beroven atau menghilangkan
b. leven atau nyawa
c. een ander atau orang lain.8
Ancaman pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana ini lebih
berat dari pidana pembunuhan yang ada pada Pasal 338 KUHP dan Pasal 339
yaitu pidana mati, dimana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan
terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
d. Unsur-Unsur Pembunuhan
terhadap nyawa. Pada bab ini, kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal
338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Kejahatan terhadap nyawa diatur sesuai
8
P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh &
Kesehatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 52.
Dalam KUHP kejahatan terhadap nyawa dapat dibedakan atau
dijelaskan dulu apa arti pidana dan pemidanaan tersebut. Menurut Van Hamel
mengatakan bahwa:
Arti dari pidana itu adalah straf menurut hukum positif dewasa ini, adalah
suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan
yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
9
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 55.
penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan yang
harus ditegakkan oleh negara.10
Adapun pengertian pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim
10
P. A. F. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indoesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm.
47.
11
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 1998,
hlm. 56.
12
Satochid Kartanegara, Loc.Cit.
13
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, hlm. 51.
Menurut teori pemidanaan ini pidana bukanlah sekedar untuk
kejahatan kembali.
Christiansen, yaitu:
a) Teori Pembalasan:
(1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
(2) Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat;
(3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya
pidana;
(4) Pidana melihat kebelakang ia merupakan pencelaan yang
murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.
b) Teori Tujuan:
(1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
(2) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
(3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau
culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
(4) pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
(5) pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat
mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak
dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan
kejahataan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.14
3) Teori vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat
memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan.
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak
pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi
di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah
tujuan daripada hukum.15
Teori gabungan ini berusaha menjelaskan dan memberikan dasar
4. Pemberatan Pidana
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,
2005, hlm. 17.
15
Satochid Kartanegara, Loc.Cit.
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 19.
17
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama,
2011, hlm. 141.
a. Pemberatan Pidana dalam KUHP
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa di dalam KUHP terdapat
1) Jika pada no. 33 c dalam buku E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi telah
dijelaskan tentang adanya suatu sistim di mana pidana penjara
diancamkan dalam suatu pasal kejahatan, dapat diganti dengan pidana
kurungan dengan syarat-syarat tertentu, berarti ada peringanan jenis
pidana, maka sebaliknya pada Pasal 35 dan 36 ditentukan pemberatan
jenis pidana yaitu:
a) kemungkinan penjatuhan pidana mati sebagai pengganti dari
pidana penjara seumur hidup yang diancamkan, jika kejahatan itu
dilakukan dalam keadaan perang yang demi keamanan negara
dalam hal ini pidana mati yang lebih tepat (Pasal 35);
b) kemungkinan penjatuhan pidana penjara sebagai pengganti dari
pidana kurungan yang maksimum lamanya sama dengan
maksimum ancaman pidana kurungan yang bersangkutan, tanpa
mengurangi penerapan ketentuan pasal 52 KUHP, bila kejahatan
itu dilakukan dengan merusak kewajiban dinasnya. Ketentuan ini
terutama sangat banyak pengaruhnya jika kejahatan- kejahatan
tersebut dilakukan “karena salahnya” (culpa). Kejahatan culpa di
kalangan militer haruslah diartikan mempunyai sifat yang lebih
berat dibandingkan di kalangan umum/ sipil (pasal 36).
Subyek pasal 35 adalah “yang tunduk kepada peradilan militer”
yang berarti ada perluasan subjek, sedangkan subjek dari pasal 36
adalah seorang militer.
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan,
Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002, Loc.Cit.
2) Seorang militer yang sudah berada dalam klas II hukuman disiplin
militer, jika melakukan kejahatan dengan maksud supaya ia dipecat,
pidananya diperberat (Pasal 37). Dalam hal ini maksimum pidananya
selain dari pada yang ditentukan dalam Pasal 12 KUHP ditambah lagi
dengan setengah dari lamanya “masa dinas” terpidana yang belum
dipenuhinya. Pasal 12 KUHP menentukan bahwa lamanya pidana
penjara sementara minimal 1 (satu) hari dan maksimal 15 tahun
berurutan. Hanya dalam hal-hal tertentu saja dapat dilampaui menjadi
maksimum 20 (dua puluh) tahun berurutan. Jika misalnya seorang
militer yang masih harus menjalani ikatan dinas militernya 2 tahun
lagi, sementara ia berada dalam klas II hukuman disiplin militer, turut
serta melakukan permufakatan jahat (samenspanning) untuk
pemberontakan militer (militair oPasaltand) maka maksimum
ancaman pidananya antara lain adalah pidana penjara selama 20 tahun
ditambah dengan 1/2X2 tahun= 21 tahun.
Tetapi karena pasal 12 ayat 4 menentukan bahwa maksimum 20 tahun
itu tak boleh dilampaui, maka dalam hal ini maksimum pidananya
adalah 20 tahun pidana penjara. Jadi pemberatan pidana yang
dimaksud dalam pasal ini terutama berpengaruh pada sesuatu pasal
kejahatan yang diancam kurang dari 15 tahun (dalam keadaan biasa)
atau kurang dari 20 tahun penjara (dalam keadaan istimewa seperti
concursus, residive, kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan
kejahatan-kejahatan militer).
Perlu diperhatikan pula bahwa dalam penerapan pasal ini harus betul-
betul terbukti bahwa petindak itu mempunyai maksud supaya ia
dipecat dari dinas militer. Jika maksud ini ternyata tidak terbukti maka
pemberatan pidana yang dimaksudkan oleh pasal ini tak dapat
diterapkan.
3) Pemberatan pidana juga diadakan bagi seorang atasan (dalam
pangkat) yang dengan sengaja turut serta dengan bawahan melakukan
suatu kejahatan dolus. Pemberatan pidana dalam hal ini adalah
setengah dari maksimum pidana yang diancamkan, dengan
pembatasan tidak boleh melewati lama maksimum yang ditentukan
dalam pasal 12 KUHP. Syarat-syarat penerapan pemberatan pidana
dalam pasal ini ialah:
a) Seorang itu haruslah atasan sebagai dimaksud dalam pasal 53 ayat
1 dan 2 a, yaitu seorang Pa atau Ba terhadap Ta, atau seorang yang
termasuk Pa atau Ba terhadap Pa atau Ba yang berpangkat lebih
rendah;
b) Atasan tersebut benar-benar dengan sengaja menjadi peserta
(deelnemer). Yang dimaksud peserta di sini ialah pelaku/pleger,
petindak peserta/mededader, pelakupeserta /meepleger,
penggerak/uitlokker, yang digerakkan/uitgelokte atau sebagai
pembantu (medeplichtige). Dalam hal atasan tersebut sebagai
pembantu maka maksimum ancaman pidananya adalah (H+1/2H)
X 2/3. Pemecahan secara aljabar maka maksimum ancaman
pidana bagi seseorang atasan tersebut yang merupakan pembantu
adalah sama dengan maksimum ancaman pidana bagi bawahan
tersebut. Bukankah (H+1/2H) X 2/3 = 3/2HX2/3 = H?.
c) Kejahatan yang terjadi itu harus benar-benar kejahatan sengaja.
4) Sama halnya dengan peniadaan dan pengurangan pidana, maka
ketentuan penambahan pidanapun dapat ditemukan dalam buku II
KUHPM, yang tentunya tidak berlaku umum, melainkan hanya
diterapkan kepada kejahatan (pasal-pasal) tertentu saja. Periksalah
antara lain Pasal 88, 98 (2), 99 (2), 105 (2), 112 dan sebagainya.19
dua macam unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Yang dimaksud
dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan,
yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan,
sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
19
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc.Cit., hlm. 105-107.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas,
yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari:
1) Kelakuan dan Akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang
dibagi menjadi:
a) Unsur Subjektif atau Pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya
unsur pegawai negri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti
dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1
ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pegawai Negeri
yang menerima hadiah. Kalua yang menerima hadiah bukan
pegawai negeri maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut.
b) Unsur Objektif atau Non Pribadi
Yaitu mengenai keadan di luar si pembuat, misalnya pasal 160
KUHP tentang Penghasutan di Muka Umum (supaya Melakukan
perbuataan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa
umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum
maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut.20
B. HASIL PENELITIAN
20
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983,
hlm. 192-193.
1. Posisi Kasus
Pada tanggal 19 Maret 2013 sekira pukul 03.30 Wib Kasi Intel Grup-2
Maruli Simanjuntak) melalui telpon dan melaporkan bahwa Serka Heru Santoso
Adisutjipto Yogyakarta, korban (Serka Heru Santoso) menderita luka tusuk pada
dada sebelah kirinya. Atas kejadian tersebut, pada tanggal 19 Maret 2013 sekira
dalam apel tersebut Saksi-50 menekankan kepada seluruh anggota agar tidak
(dalam hal ini adalah Polri), mengingat perkara tersebut sudah ditangani oleh
Polri. Selain Serka Heru Santoso meninggal dunia karena dikeroyok oleh preman
kelompok Sdr Deki Cs, pada tanggal 21 Maret 2013 sekira pukul 14.00 Wib
mantan anggota Grup-2 Kopassus juga telah dibacok oleh preman kelompok Sdr
Terdakwa-1 mengetahui jika atasnnya yaitu Serka Heru Santoso pada tanggal
19 Maret 2013 telah meninggal karena dikeroyok oleh preman kelompok Sdr
Deki Cs di Hugo’s Cafe Yogyakarta, dan mengetahui juga jika salah satu rekan
satu leting saat mengikuti pendidikan Komando Kopassus, atas nama Sertu
Yogyakarta karena di bacok oleh preman kelompok Sdr Macell Cs, Terdakwa-1
yang pernah merasa berhutang nyawa kepada Sertu Sriyono karena saat sama-
sama bertugas di Aceh pada tahun 2002, Sertu Sriyono pernah menyelamatkan
Keamanan (GPK), setelah selesai latihan dan kembali ketenda pada hari Jumat
tanggal 22 Maret 2013 sekira pukul 16.00 Wib Terdakwa-1 dengan keadaan
Yogyakarta mencari preman kelompok Sdr Marcel. Sekira pukul 17.45 Wib
dengan terlebih dahulu memasukan 3 (tiga) pucuk senjata api laras panjang jenis
AK 47, 2 (dua) pucuk senjata panjang replika jenis AK 47 dan 1 (satu) pucuk
senjata pistol replika jenis Sig Sower, kedalam mobil Toyota Avanza Nopol B-
Yogyakarta.
Yogyakarta kedua kendaraan mobil yang dikemudikan oleh Saksi-41 dan Saksi-
senjata api laras panjang jenis AK 47 maupun senjata replika yang ada didalam
penutup wajah (sebo). Setelah melihat pintu Blok A Lapas Kelas II B terbuka,
para Terdakwa langsung masuk ke Blok A (Blok Anggrek), sambil mencari ruang
sel yang ditempati tahanan Sdr. Diki Cs., Terdakwa-1 langsung menuju ke ruang
tahanan A-5.
Terdakwa-1 setelah mengetahui keberadaan Sdr. Hendrik Benyamin
Sahetapy Engel Alias Diki, Sdr. Adrianus Candra Gajala Alias Dedi dan Sdr.
Sdr. Diki, Sdr. Yuan, Sdr. Dedi, dan Sdr. Ade. Setelah selesai menembak Sdr.
Diki, Sdr. Yuan, Sdr. Dedi dan Sdr. Ade, Terdakwa-2 menepuk pundak
Terdakwa-1 untuk mengajak keluar, dan selanjutnya para Terdakwa dan Saksi-
39, Saksi-40, Saksi-42, Saksi-43, maupun Saksi-44 keluar dari Lapas Kelas II B
Surat dakwaan oditur militer disusun secara kumulatif yang pada pokoknya
Kesatu:
tersebut di bawah ini, yaitu pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013, atau waktu
lain setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat di Lapas
Klas II B Cebongan, Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta atau tempat lain setidak-
tidaknya pada suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan Militer II-
Kedua:
tersebut di bawah ini, yaitu pada, hari Jumat 22 Maret 2013, atau waktu lain
setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat di daerah Latihan
lain setidak-tidaknya pada suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan
“Militer, dua orang atau lebih bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari suatu
permufakatan jahat melakukan kejahatan itu, yang menolak atau dengan sengaja
tidak mentaati suatu perintah dinas, atau dengan semaunya melampaui perintah
sedemikian itu”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) ke-3
KUHPM.
Yogyakarta tanggal 31 Juli 2013 yang pada pokoknya memohon kepada Majelis
pidana:
Kedua : Dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan sengaja tidak
Sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
dan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) ke-3 KUHPM dan memohon kepada Majelis
Terdakwa-1:
Terdakwa-2:
Terdakwa-3:
hakim.
majelis hakim terhadap dakwaan kumulatif oditur militer yang telah dibuktikan
diperoleh dalam persidangan, Majelis berpendapat cukup bukti yang sah dan
Kedua : “Militer dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas yang dilakukan
mengadili perkara ini, Majelis Hakim akan menilai sifat hakekat dan akibat dari
berencana terhadap Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade bersamaan dengan
terjadi atau dilakukan oleh para Terdakwa dengan status dan kapasitas
berencana terhadap Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade bersamaan dengan
karena para Terdakwa lebih mengutamakan rasa sakitnya dan rasa jiwa
korsa yang sempit dengan mengorbankan pertimbangan akal sehat serta
Indonesia.
tegas.
Bahwa tidak dapat disangkal tindak pidana yang dilakukan oleh para
Juan, Dedy dan Ade bersamaan dengan tidak ditaatinya perintah dari
yang menguntungkan karena Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade adalah
sekali tidak menjunjung tinggi hukum yang berlaku serta main hakim
hukum, karena para korban sudah dalam proses yang sedang ditangani
oleh aparat Polda DIY dan berada di Lapas kelas IIB Cebongan.
Satu dan lain hal apabila tindakan para Terdakwa yang main hakim
permasalahan-permasalahan hukum.
kepada para Terdakwa tidak diambil tindakan yang cepat, tepat dan
tegas.
Bagi keluarga korban Sdr. Dikki, juan, Dedy dan Ade, menimbulkan
rasa sedih yang mendalam dan penderitaan yang berat, karena mereka
bagi keluarga.
korban Sdr. Dikki, Juan, Dedy dan Ade di Lapas kelas IIB Cebongan
tidak ditaatinya suatu perintah dinas, hal ini mencerminkan sikap dan
pribadi para Terdakwa yang main hakim sendiri, arogan, egois, tidak
menghormati hak hidup orang lain serta sangat meremehkan aturan
dalam kedinasan TNI, untuk itu dan oleh karenanya para Terdakwa harus
Kekuasaan Kehakiman).
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
mengadilinya.
hukum yaitu suatu putusan yang harus memenuhi asas kepastian hukum,
g. Bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final (Finite Schema) namun
itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif
(Satjipto Rahardjo).
berorientasi kepada dimensi rehabilitasi atau pemulihan dan kegunaan bagi diri
sipelaku maka tujuan pemidanaan yang dijatuhkan kepada diri para Terdakwa
konstruktif dan motivatif agar tidak melakukan perbuatan tersebut lagi dan juga
Disparity) dan aspek Teori/Filsafat Integratif atau dari aspek Yuridis, Sosiologis,
Filosofis dan Psikologis atau dari aspek Legal Justice, Moral Justice dan Sosial
Justice serta ukuran-ukuran tata kehidupan atau sistem nilai yang berlaku di
lingkungan TNI maka mengenai pidana yang akan dijatuhkan atas diri para
dan sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan para Terdakwa.
Atau lebih tegasnya lagi tujuan Majelis Hakim tidaklah semata- mata hanya
tujuan untuk mendidik agar yang bersangkutan dapat insaf dan kembali pada
jalan yang benar menjadi warga Negara yang baik sesuai dengan falsafah
Pancasila. Oleh karena itu sebelum Majelis menjatuhkan pidana atas diri
Terdakwa dalam perkara ini perlu lebih dahulu memperhatikan hal-hal yang
b) Bahwa para Terdakwa telah meminta maaf kepada pegawai Lapas dan
Srigunting di Aceh.
Granat DIY.
Suryodadari.
Pemasyarakatan.
meninggal dunia.
d. Perbuatan para Terdakwa menimbulkan duka yang mendalam bagi
masyarakat.
5. Amar Putusan
Dan
Sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP dan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) ke-3 KUHPM .
Terdakwa-1 :
Terdakwa-2 :
Terdakwa-3 :
seluruhnya.
Pemberat Pidana
taat akan hukum yang sudah berlaku dan tidak main hakim sendiri.
sarana yang diberikan yaitu senjata api untuk melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana.
Pemasyarakatan.
C. Analisis
pada terdakwa sebagai dasar pemberatan pidana. Dimana dalam hal ini meluruskan
persepsi atau pandangan awal penulis terhadap pertimbangan Majelis Hakim bahwa
menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa melihat dalam amar putusannya Majelis
Hakim menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
bersama-sama” dan kedua: “Dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas yang
dilakukan oleh militer dua orang atau lebih secara bersama-sama”, sebagaimana diatur
dalam pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 103 ayat (1) Jo ayat
Terdakwa-1:
Terdakwa-2 :
Terdakwa-3 :
dikurangkan seluruhnya.
Penjatuhan pidana terhadap para terdakwa jika dilihat dari Pasal 340 KUHP,
menurut penulis ancaman pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap para
terdakwak masih jauh dari yang teringan. Dimana dari pidana pokok atau pidana
maksimal bagi pelaku tindak pidana Pasal 340 KUHP adalah hukuman mati atau
pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.
dimana hakim mendasarinya dengan teori preventif atau teori pencegahan ini yang
mempengaruhi pidana yang dijatuhkan masih jauh dari ancaman yang teringan pada
Pasal 340 KUHP. Namun dalam hal ini penulis setuju perihal teori preventif yang
menjadi dasar pertimbangan pemidanaan hakim, karena jangan sampai seseorang yang
dipersenjatai oleh pemerintah dalam hal tertentu, tidak menyalahgunakan senjata api
tersebut. Namun dalam penjatuhan pidananya jangan sampai jauh dari ancaman pidana
pertimbangkan yaitu kelayakan Pasal 52 KUHP untuk di terapkan dan masuk dalam
terdakwa yang menurut penulis masih jauh dari ancaman teringan dalam Pasal 340
KUHP.
melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau
pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana
kekuasaaan, kesempatan atau daya upaya (alat) yang diperoleh karena jabatannya.21
membuktikan bahwa para terdakwa yang telah disebutkan sebelumnya ini telah
memenuhi uraian unsur-unsur Pasal 52 KUHP tersbut. Maka jika diuraikan kembali
unsur-unsur tersebut:
Pertama: unsur seorang pejabat, unsur ini terdapat pada 3 (tiga) orang terdakwa
dalam kasus ini karena para terdakwa adalah seorang anggota militer dan
termasuk sebagai pejabat, ini didasarkan pada Pasal 92 KUHP yang menegaskan,
Kedua: melakukan suatu tindak pidana, unsur ini ada pada para terdakwa yaitu
warga sipil yang berstastus tahanan sementara karena terlebih dahulu melakukan
Ketiga: Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, unsur ini ada pada
21
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bandung: Karya
Nusantara, 1984, hlm. 75.
berencana dan penyalahgunaan senjata api. Sebelum melakukan tindak pidana
tersebut para terdakwa sedang berada pada masa pelatihan Mengesan Jejak
(Sanjak) dan Perang Hutan, hal ini berdasarkan pada keterangan Saksi-45 Letkol
Inf. Maruli Simanjuntak dan Saksi-46 Letkol Inf. Burhannudin serta keterangan
2013 anggota Grup 2 Kopasus yang terlibat dalam kegiatan latihan Mengesan
Jejak (Sanjak) dan Perang Hutan yang pelaksanaanya dilaksanakan oleh Pusdik
Kopasus didaerah Gunung Lawu Kab. Karanganyar Jawa Tengah selama 2 (dua)
minggu terhitung sejak tanggal 12 Maret sampai dengan tanggal 26 Maret 2013.
kepadaanya karena jabatannya, unsur ini ada pada terdakwa karena dalam
menggunakan senjata api yang didapatkan dari kegiatan latihan Mengesan Jejak
(Sanjak) dan Perang Hutan Grup 2 Kopassus. Hal ini berdasarkan pada
Saksi-46 Letkol Inf. Burhannudin serta keterangan Ketua Tim Bulsi Saksi-47
Sertu Hasmuddin selama latihan Para Terdakwa sebagai anggota Tim Bulsi telah
replika laras panjang jenis AK 47, 3) 1 (satu) pucuk senjata replika pistol jenis
dilengkapi dengan Sebo (penutup wajah), rompi latihan dan 2 (dua) buah
dalam Pasal 52 KUHP dan seharusnya pasal tersebut dipertimbangkan oleh Majelis
Dari analaisis diatas penulis melihat kembali pada amar putusan perkara ini
terdakwa. Penulis memahami bahwa terdapat pertimbangan dari Majelis Hakim yang
membuat penjatuhan pidana terhadap para terdakwa jauh dari ancaman yang teringan
dalam Pasal 340. Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan
memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat, dimana rasa keadilan masyarakat ini
terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa dinilai dari sebagian
tersebut membuat shock therapy bagi para preman yang perilakunya selama ini
dianggap meresahkan masyarakat Yogyakarta. Hal ini lah yang mendukung dan