Anda di halaman 1dari 9

Nama : Nanda Christina

NIM :1570750008
Prodi : HI/2015

TUGAS 1
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

1. Uraikan dengan singkat bagaimanakah pengertian tentang ketentuan-ketentuan pokok


dalam perang darat?

Konvensi ini hanya terdiri dari 9 Pasal, tetapi dilampiri sebuah annex yang berjudul
Regulations respecting the laws and customs of war on land, yang terdiri dari 56 Pasal.
Annex ini lebih dikenal dengan sebutan : Hague Regulations, atau disingkat HR. 1

Di dalam Pasal 1 dari HR tersebut dinyatakan bahwa :


Hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada
tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi
persyararatan-persyaratan sebagai berikut:
Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya;
Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak
jauh;
Membawa senjata secara terbuka; dan
Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaan-
kebiasaan perang.

Di Negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau menjadi


bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan Darat".

Selanjutnya dalam Pasal 2 ditentukan juga bahwa segolangan penduduk disebut


belligeren, seperti mereka yang tersebut dalam Pasal 1, apabila mereka memenuhi
persyaratan:
Penduduk di wilayah yang belum diduduki, yang pada saaat musuh akan menyerang,
yang secara spontan mengangkat senjata untuk memberikan perlawanan tanpa sempat
mengorganisir diri mereka sendiri sesuai dengan Pasal 1, harus dianggap sebagai
Belijeren apabila mereka mengangkat senjata secara terbuka dan apabila mereka
mematuhi hukum dan kebiasaan
perang. Pasal 2 ini menyangkut apa yang dikenal dengan istilah levee en masse. Jadi
persyaratan yang harus dipenuhi supaya diakui sebagai levee en masse adalah:2
Penduduk dari wilayah yang diduduki;
Secara spontan mengangkat senjata;

1
Haryomataram, Hukum Humaniter, Op.cit., hal. 68.
2
Ibid
Tidak ada waktu untuk mengatur diri;
Mengindahkan hukum perang;
Membawa senjata secara terbuka.

Pasal 3 dinyatakan bahwa Angkatan Bersenjata dari pihak-pihak yang berperang dapat
terdiri dari kombatan dan non-kombatan. Jika tertangkap oleh musuh maka keduanya
mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.
Perlu dicatat disini bahwa non-kombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ini bukanlah
penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur.3

Berdasarkan apa yang tercantum dalam Pasal 1,2 dan 3 itu, maka menurut HR golongan
yang secara aktif dapat turut serta dalam pertempuran adalah:4
Tentara (Armies)
Milisi dan Volunteer Corps (apabila memenuhi persyaratan)
Leeve en masse (dengan memenuhi persyaratan tertentu)

Pasal 1,2 dan 3 ini juga berkaitan dengan Distinction Principle/Prinsip pembedaan,
yakni mengenai kombatan dan penduduk sipil.
Pasal 4 sampai dengan Pasal 20 membahas mengenai hak dan kewajiban dari tawanan
perang dan bagaimana pemerintah musuh memperlakukan hal yang pantas pada
tawanannya.
Di dalam Pasal 21 dikatakan kewajiban para pihak yang berperang berkaitan dengan
orang yang sakit dan luka-luka diatur oleh Konvensi Jenewa.

2. Bagaimana penggunaan alat-alat dan cara-cara dalam melakukan perang?

Di dalam HR ini juga mengatur ketentuan mengenai alat-alat melukai musuh,


pengepungan dan pengeboman.

Di dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa
: hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat untuk melukai musuh
adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Bagian ini juga memuat larangan-larangan seperti:

Larangan penggunaan racun atau senjata beracun, tindakan licik;


Larangan membunuh atau melukai musuh yang terluka dan telah meletakkan
senjatanya, atau tidak memiliki senjata lagi untuk bertahan;
Larangan untuk membunuh atau melukai mereka yang telah menyerah;
Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang akan diberikan;
Larangan penggunaan senjata, proyektil atau material yang dapat menyebabkan
penderitaan yang tidak perlu;
Larangan menggunakan bendera perdamaian, bendera nasional, tanda-tanda
militer, seragam musuh atau tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang

3
Ibid
4
ibid
tidak pada tempatnya. Juga larangan penjarahan, mata-mata dan
penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).

Sementara tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk
memperoleh informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan (Pasal 24).
Sedangkan mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan pemboman diatur
secara tegas dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal 28 segala bentuk
penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang, walaupun diperoleh dengan cara
penyerangan.

Mengenai Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi mereka yang
tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan mata-mata (Pasal 29). Juga
terdapat ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika ia melakukan tugasnya
tidak dapat dihukum tanpa melalui proses pengadilannya sebelumnya (Pasal 30). Dari
isi Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan terhadap musuh yang melakukan
mata-mata jika tertangkap tidak boleh diperlakukan secara semena-mena.

Mengenai Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan Seseorang dianggap


sebagai pembawa bendera gencatan senjata, yang diberi kewenangan oleh salah satu
Belijeren untuk berkomunikasi dengan pihak Belijeren lainnya dengan membawa
bendera putih. la berhak untuk tidak diganggu-gugat, demikian pula peniup terompet,
penabuh drum, pembawa bendera penerjemah yang mungkin menyertainya (Pasal 32).
Pembawa bendera gencatan senjata kehilangan hak tidak dapat digangu gugat apabila
terbukti dengan jelas dan tidak dapat dibantah, telah mengambil keuntungan dari
posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau melakukan pengkhianatan
(Pasal 34).

Mengenai Penyerahan, menjelaskan tentang Penyerahan-penyerahan yang disetujui


antar negara yang melakukan perjanjian harus sesuai dengan aturan-aturan kehormatan
militer. Setelah disetujui, perjanjian tersebut harus dengan saksama diawasi oleh kedua
pihak (Pasal 35).

Mengenai Gencatan Senjata, menerangkan tentang Gencatan Senjata adalah


penundaan operasi militer melalui kesepakatan bersama antara pihak yang berperang.
Operasi militer bisa dilanjutkan kembali sesuai dengan durasi yang ditentukan melalui
kesepakatan bersama (Pasal 36).
Gencatan senjata harus diberitahukan secara resmi dan dalam waktu yang tepat melalui
pihak yang berwenang dan pasukan. Pertempuran ditangguhkan segera setelah
pemberitahuan, atau pada tanggal yang tetap (Pasal 38). Bila ada pelanggaran dalam
Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain maka telah
memeberikan hak kapada pihak yang dilanggar, bila keadaan mendesak untuk memulai
lagi pertempuran (Pasal 40). Dan bila pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
gencatan senjata dilakukan oleh seorang individu yang bertindak atas inisiatif sendiri
maka dapat menuntut hukuman hanya kepada si pelanggar dan jika perlu ganti rugi
atas kerugian yang diderita (Pasal 41).
Sementara mengenai Penguasa Militer di Wilayah Negara yang Bertikai, menjelaskan
bahwa pada bagian ini menerangkan tentang suatu wilayah dinyatakan diduduki ketika
wilayah tersebut secara nyata berada di bawah penguasaan pasukan musuh (Pasal 42).
Sementara dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada Penguasa Militer
untuk menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang untuk memaksa
penduduk dari wilayah yang diduduki untuk memberikan informasi mengenai tentara
dari pihak berperang lainnya, atau mengenai alat-alat pertahanan mereka. Dan dilarang
untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk bersumpah setia kepada
Penguasa Pendudukan.
Sedangkan dalam Pasal 46 memberikan perlindungan terhadap Kehormatan dan hak-
hak keluarga dan hak hidup manusia serta hak milik pribadi dan juga praktik keagamaan
serta kebebasan beribadah harus dihormati. Hak milik pribadi tidak boleh dirampas.
Melakukan penjarahan pun dilarang di dalam Pasal 47. Di dalam Pasal 48 sampai 51
memberikan kebolehan kepada Penguasa Pendudukan untuk mengumpulkan pajak
dengan menyesuaikan pada kondisi wilayah yang diduduki, namun pengumpulan pajak
tidak boleh dengan kesewenang-wenangan. Sementara Pasal 52 sampai 56 menjelskan
ketentuan-ketentuan kepada Pengusa Pendudukan tentang hak dan kewajiban, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Penguasa Pendudukan terhadap wilayah dan
penduduk daerah yang diduduki agar tidak ada kesewenang-wenangan.5

3. Bagaimana perlindungan umum terhadap korban sengketa beresenjata? 6


Secara umum diketahui bahwa di dalam setiap peperangan pasti ada pihakpihak yang
harus mendapatkan perlindungan. Salah satu di antara pihak-pihak tersebut adalah warga
sipil. Istilah warga sipil dalam Bahasa Inggris yang berarti civilian. Di dalam Blacks
Law Dictionary, civilian diartikan sebagai a person not serving in the military. Dengan
kata lain warga sipil adalah orangorang yang ada di luar anggota militer.
Perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipiltidak boleh dilakukan secara
diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi,
hak kekeluargaan, kekayaan, dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka tidak boleh
dilakukan tindakan-tindakan seperti disebutkan dalam pasal 27-34 yaitu:
Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan.
Melakukan tindakan yang menimbulkan pernderitaan jasmani.
Menjatuhkan hukuman kolektif.
Melakukan intimidasi, terorisme, dan perampokan.
Melakukan pembalasan (reprisal).
Menjadikan mereka sebagai sandera.
Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan
terhadap orang yang dilindungi.

5
tujuan konvensi den haag IV tahun 1907, dalam
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/20308443458.pdf, diakses pada tanggal 24 september 2017,
18.20 WIB.
6
http://soegenghardjowinoto.dosen.narotama.ac.id/2012/02/08/overview-hukum-humaniter-
internasional/#sthash.veDoIjEH.dpuf diakses pada tanggal 25 september 2017, 17.00 WIB.
Konvensi Jenewa ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan
daerah-daerah keselamatan (safety zone) dengan persetujuan bersama antara pihak-pihak yang
bersangkutan (pasal 14 Konvensi IV). Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk
memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akhibat perang yaitu
orang-orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil/menyusui, perempuan yang
memiliki balita, orang lanjut usia, dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputisebagian kecil dari wilayah yang diperintah
oleh negara yang mengadakannya.
Daerah-daerah itu harus berpenduduk relative lebih sedikit dibandingkan dengan
kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu.
Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan segala macam
objek-objek militer atau bangunan-bangunan industry dan administrasi besar.
Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang menurut
perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan.
Diantara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil
yang perlu dilindungi seperti:
Orang Asing di Wilayah Pendudukan
Pada waktu pecahnya perang antara negara yang warga negaranya berdiam di dalam wilayah
negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga negara musuh. Walaupun
demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara mana mereka
berdiam.
Orang yang Tinggal di Wilayah Pendudukan
Orang-orang sipil di wilayah ini harus di hormati hak-hak asasinya. Misalnya mereka tidak
boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan
kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-
dinas kesehatan, rumah sakit, dan bangunan-bangunan lainnya.
Interniran Sipil
Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu
hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan administrative. Oleh karena itu,
walaupun penduduk sipil ini diinternir, mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil
mereka serta dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka
Berikut orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah:
Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan
ketat demi kepentingan keamanan.
Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan suka rela
menghendaki untuk diinternir, atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir.
Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa Pendudukan
menghendaki mereka perlu diinternir jarena alasan mendesak.
Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khususbertujuan
untuk merugikan Penguasa Pendudukan.
Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat
dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut
harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah yang diinternir
tersebut.
4. Bagaimana pengertian masalah kombatan dan perluasannya?
Dalam Hukum Humaniter, terdapat suatu prinsip yang teramat penting, yaitu yang disebut
dengan prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip Pembedaan (distinction
principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau
membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam
konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan
penduduk sipil (civilian)
Perlindungan kombatan: Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta
dalam pertempuran. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam kelompok kombatan
maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan adalah untuk bertempur dan
maju ke medan peperangan (termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan
tindakan militer lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun); karena jika tidak
demikian, maka merekalah yang akan menjadi sasaran serangan musuh. Istilahnya, to kill,
or to be killed. Semua orang yang termasuk ke dalam golongan kombatan ini adalah
sasaran atau objek serangan, sehingga apabila kombatan membunuh kombatan dari pihak
musuh dalam situasi peperangan, maka hal tersebut bukanlah merupakan tindakan yang
melanggar hukum. 7
Secara historis perkembangan hukum perang yang kemudian menjadi hukum sengketa
bersenjata sampai akhirnya menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan
yang hendak dicapai oleh hukum humaniter diantaranya : Pertama, hukum humaniter ingin
memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan
yang tidak perlu (unnecessary suffering). Kedua, hukum humaniter ingin menjamin hak
asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak
diperlakukan sebagai tawanan perang. Sedangkan tujuan yang ketiga ialah hukum
humaniter ingin mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. 8
Dan Seperti yang umumnya kita ketahui saat ini bahwa terdapat dua aturan hukum yang
umumnya digunakan pada hukum humaniter internasional, yakni hukum Jenewa
(Konferensi Jenewa) 1949 dan Hukum Den Haag atau konvensi Den Haag 1899 dan 1907.
Yangmana dalam kedua aturan hukum tersebut untuk perlindungan terhadap Kombatan

7
Haryo mataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984,; Lihat pula Jean
Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher-
Henry Dunant Institute, 1985, hal. 72. dikutip dari Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dalam
Hukum Humaniter https://arlina100.wordpress.com/2008/11/17/prinsip-pembedaan-distinction-
principle-dalam-hukum-humaniter/ didownlod pada hari senin tanggal 25 september 2017.

8
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta, 2005, hal 7
diatur dalam Hukum jenewa atau konvensi Jenewa 1949 III (The Geneva Convention
relative to the Treatment of Prisoners Of War), dan Kemudian Keempat Konvensi Jenewa
tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 kembali dilengkapi dengan 2 Protokol Tambahan
yakni Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Hukum Jenewa merupakan aturan
yang berlaku pada masa konflik bersenjata, dengan tujuan melindungi orang yang tidak,
atau sudah tidak lagi, ikut serta dalam permusuhan, yaitu kombatan yang terluka atau sakit,
tawanan perang, orang sipil, dan personel dinas medis dan dinas keagamaan.9

5. Bagaimana perlindungan objek-objek, barang-barang budaya dan lingkungan?


Di dalam sejarahnya, peperangan, baik perang di dalam suatu negara ataupun perang antar
negara, namun lebih nampak dalam perang antar negara, memang selalu menghasilkan efek
kehancuran yang tidak terelakkan. Di sisi lain, beberapa pihak memanfaatkan hal tersebut,
yakni kerusakan dan kehancuran yang pasti terjadi dan kerugian yang pasti didapat di masa
perang, dan dengan sekenanya merusak dan menghancurkan berbagai macam objek ataupun
material milik lawan dengan alasan bahwa itu tidak bisa dihindari.
Di antara sekian banyak objek yang dengan sengaja diserang dan dihancurkan di dalam
peperangan, peninggalan bersejarah dalam bentuk benda-benda budaya juga tempat-tempat
bersejarah adalah yang paling rentan terkena dampak dari peperangan itu. Para oknum yang
tidak bertanggungjawab bersembunyi dan berlindung di bawah suatu teori military necessity
atau kepentingan militer dan merusak serta menghancurkan benda dan tempat bersejarah
yang dilindungi. Penghancuran peninggalan bersejarah secara disengaja pada saat peninggalan
bersejarah tersebut tidak digunakan untuk kepentingan militer adalah suatu pelanggaran
terhadap Hukum Internasional dan Hukum Humaniter Internasional yang berada di dalam
lingkup Hukum Internasional, dan siapapun yang bertanggung jawab memerintahkan dan
melaksanakan serangan tersebut bisa dihukum atas dasar kejahatan perang.
Perlindungan hukum terhadap benda-benda budaya dalam masa konflik bersenjata diatur
dalam sebuah instrumen khusus hukum humaniter internasional. Menurut Convention for the
Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict Den Haag tahun 1954
(Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya Pada Waktu Sengketa
Bersenjata), di bagian pertama pasal 1 tertulis mengenai definisi peninggalan bersejarah atau
properti bersejarah yang termasuk juga di dalamnya tempat-tempat bersejarah yang dilindungi
selama konflik bersenjata.
Pengertian dari benda bersejarah atau peninggalan bersejarah atau benda budaya seperti yang
dimaksud dalam Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed
Conflict Den Haag tahun 1954 terperinci dalam tiga golongan, yaitu: 10

9
Bella Mutia Miandari, Implementasi Prinsip Pembedaan Hukum Humaniter Internasional Terhadap
Konflik Bersenjata, http://bellatoenk.blogspot.co.id/2013/03/ makalah-hukum-humaniter-
internasional.html, diakses pada tanggal 26 september 2017
10
Journal Dyan F. D. Sitanggang, Pengrusakan Tempat Bersejarah Dalam Perang Antarnegara Sebagai
Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional, Lex et Societatis, Vol. I/No.2/Apr-Jun/2013 hal (7).
Barang-barang bergerak maupun tidak bergerak yang penting sekali bagi budaya setiap
bangsa, seperti monumen arsitektur, tempat-tempat peninggalan bersejarah dan lain-
lain;
Gedung-gedung yang tujuan utamanya adalah untuk memelihara atau memamerkan
barang budaya yang tak ternilai seperti museum, perpustakaan, tempat menyimpan
arsip, dan lain-lain;
Pusat-pusat yang berisikan sejumlah besar barang budaya seperti yang dimaksudkan
dalam ayat (1) dan (2) di atas.
Protokol dari Konvensi ini juga menetapkan pengaturan mengenai perlindungan khusus
dalam situasi di mana wilayah suatu negara dikuasai atau diduduki oleh negara lain. Dua
dekade kemudian, di dalam Protokol Tambahan dari Konvensi Jenewa 1949 ditambahkan
pengaturan berkaitan dengan perlindungan terhadap benda-benda budaya, termasuk
tempat-tempat bersejarah dalam masa konflik bersenjata internasional dan konflik
bersenjata non-internasional; di mana kekebalan yang dimiliki oleh benda-benda warga
sipil atau obyek-obyek sipil juga diberikan kepada tempat-tempat bersejarah. Di dalam
Protokol-protokol ini dengan jelas mengatur bahwa pihak-pihak yang berperang dilarang
untuk menjadikan tempat-tempat bersejarah sebagai sasaran militer untuk diserang dan
dirusak terlebih dihancurkan, dan untuk melakukan tindakan penyanderaan terhadap
tempat-tempat bersejarah.11

11
Ibid
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Haryomataram. 1994. Hukum Humaniter. Jakarta: C.V. Radjawali
Mataram, Haryo. 1984. Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta

Sitanggang, Dyan. 2013. Pengrusakan Tempat Bersejarah Dalam Perang Antarnegara


Sebagai Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional, Lex et Societatis, Vol.
I/No.2/Apr-Jun

Wagiman, Wahyu. 2005. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta.

Web:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/20308443458.pdf, tujuan konvensi den haag IV tahun
1907

http://soegenghardjowinoto.dosen.narotama.ac.id/2012/02/08/overview-hukum-humaniter-
internasional/#sthash.veDoIjEH.dpuf

http://bellatoenk.blogspot.co.id/2013/03/ makalah-hukum-humaniter-internasional.html,
Bella Mutia Miandari, Implementasi Prinsip Pembedaan Hukum Humaniter
Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Anda mungkin juga menyukai