Anda di halaman 1dari 13

PELAKSANAAN

PUTUSAN PENGADILAN
Perlu dibedakan mengenai pengertian pelaksanaan putusan pengadilan
dengan pelaksanaan pidana. Hal ini berkaitan dengan ruang lingkup dari
hukum pidana, dimana hukum pidana itu sendiri terdiri dari hukum pidana
materiil atau hukum pidana substantif, hukum pidana formil atau hukum
acara pidana; dan hukum pelaksanaan pidana atau hukum prenitensier.

Adapun hukum pidana yang disebut terakhir tersebut misalnya adalah


Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan
Undang-undan Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati, yang dijatuhkan pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer.
Dalam pada itu mengenai jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10
KUHP terdiri dari :
a. Pidana-pidana pokok
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda.
b. Pidana-pidana tambahan
1) Pencabutan beberapa hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim
Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi ini di dalam KUHAP diatur pada Bab
IXI dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Menurut Pasal 270 KUHAP,
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan
kepadanya.

Jadi, yang diberi tugas melaksanakan putusan pengadilan (vonnis) itu adalah jaksa
(yang tidak sidang). Sedangkan jaksa yang bertugas sebagai penuntut umum dalam
sidang pengadilan berwenang melaksanakan penetapan hakim (beschikking) lihat
Pasal 14 KUHAP.
Adapun kriteria putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap adalah sebagai berikut :
a.apabila baik terdakwa maupun penuntut umum telah menerima
putusan;
b.apabila tenggang waktu untuk mengajukan banding telah lewat
tanggal dipergunakan oleh yang berhak;
c.apabila permohonan banding telah diajukan, kemudian permohonan
tersebut dicabut kembali;
d.apabila terdakwa mengajukan grasi;
e.apabila semua upaya hukum biasa telah diajukan.
Di dalam Pasal 271 dinyatakan bahwa dalam hal pidana mati
pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan
undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan pidana mati ini maka
di dalam Pasal 13 Undang-undang Grasi (UU No. 22 Tahun 2002)
dinyatakan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum
Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh
terpidana.
Selanjutnya mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan
oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer diatur dalam
Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964, dimana di dalam peraturan
tersebut antara lain dinyatakan bahwa pidana mati dilakukan dengan
ditembak mati oleh regu tembak dari satuan Brigade Mobil Polri.
Mereka inilah yang oleh penulis dimaksud sebagai aparat pelaksana
pidana (aparat penitensier).
Apabila tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, maka pidana mati
dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang
menjatukan putusan pada tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
Kepala Polisi Komisaris Daerah (sekarang Kapolda) tempat kedudukan
pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasihat dari Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanannya, menentukan
waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati (Pasal 3).
Kapoldalah yang menjaga keamanan dan menyediakan alat-alat yang
diperlukan untuk itu. Ia bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa
bertanggung jawab atas pelaksanannya (Pasal 4).
Mengenai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan pasal 272 KUHAP
menyatakan bahwa jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian
dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan
terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang
dijatuhkan lebih dahulu.

Adapun ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 272 KUHAP ini ialah bahwa pidana
yang dijatuhkan berturut-turut itu ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana
berturut-turut secara berkesinambungan diantara menjalani pidana yang satu
dengan yang lain.
Selanjutnya mengenai pelaksanaan putusan pengadilan yang berupa pidana
denda, di dalam Pasal 273 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa jika putusan
pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka
waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan
acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.

Bahkan jangka waktu satu bulan yang diberikan kepada terpidana untuk
membayar dendanya, menurut ayat (2) dapat diperpanjang untuk paling
lama satu bulan lagi kalau ada alasan yang kuat untuk itu.
Dalam pada itu, apabila putusan pengadilan juga menetapkan pidana
tambahan yang menyatakan bahwa barang bukti dirampas untuk
negara, maka jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang
negara dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya
dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa (ayat 3).
Perlu dikemukakan disini bahwa jangka waktu pelelangan tersebut
masih dapat diperpanjang paling lama satu bulan (ayat 4).
Hal-hal yang dapat menimbulkan permasalahan disini ialah dalam hal
barang-barang yang hendak dirampas itu dalam keadaan tidak disita
sebelumnya, dalam hal demikian putusan hakim itu harus memuat
taksiran dari harga barang-barang yang tidak diserahkan dengan
sejumlah uang jika tidak dibayarkan maka perampasan barang itu
diganti dengan kurungan (Pasal 41 KUHP).
Selanjutnya bagaimanakah halnya jika pengadilan menjatuhkan
putusan pidana ini dan putusan ganti kerugian sekaligus? Dalam hal ini,
Pasal 274 KUHAP menyatakan bawha dalam hal pengadilan
menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara
perdata. Ini berarti bahwa pelaksanaan putusan pidananya oleh Jaksa,
sedangkan pelaksanaan putusan ganti kerugiannya oleh panitera
Pengadilan Negeri.
Dalam pada itu, apabila terdapat lebih dari satu orang dipidana dalam
satu perkara, maka biaya perkara atau ganti kerugian sebagiamana
dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama
secara berimbang (Pasal 275). Hal ini wajar bilaman biaya perkara dan
atau ganti kerugian (ditanggung bersama secara berimbang oleh para
terdakwa, karena para terdakwa dalam hal ini bersama-sama dijatuhi
pidana disebabkan dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam suatu
perkara.
Akhirnya Pasal 276 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal pengadilan
menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut
ketentuan undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai