Anda di halaman 1dari 2

PIDANA TUTUPAN

Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan
KUHP didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
Penjelasan terkait pidana tutupan ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Hukum Tutupan,
bahwa:
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau
cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian
sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.

Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan
oeh ideologi yang dianutnya. Akan tetapi dalam praktik peradilan pidana, pidana tutupan ini
jarang ditemukan dalam sebuah putusan perkara pidana. Yang paling sering digunakan majelis
hakim dalam memutus perkara yaitu pidana pokok yang dijatuhkan pidana mati, penjara,
biasanya juga diserta dengan pidana denda.

Menurut Andi Hamzah, pencantuman pidana tutupan dalam pasal 10 KUHP di bawah
pidana denda tidaklah tepat. Karena menurut pasal 69 KUHP yang menyatakan bahwa beratnya
pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan oleh salah satu pidana hilang kemerdekaan, lebih
berat daripada pidana denda. Bagaimanapun ringannya pidana hilang kemerdekaan, (mati,
penjara, dan kurungan) masih lebih berat ketimbang pidana denda. Jadi, dalam pencantuman
(Pasal 10 KUHP) pidana tutupan seharusnya berada diatas pidana denda, karena bagaimanapun
juga pidana tutupan merupakan suatu hukuman hilangnya hak atas seseorang atau merampas
kemerdekaannya.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU 20/1946 tempat untuk menjalani hukuman tutupan ini,
mengenai tata usaha dan tata tertibnya diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan
Menteri Pertahanan. Ketentuan mengenai tempat menjalani hukuman tutupan diatur lebih lanjut
dalam ketentuan PP No. 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan (“PP 8/1948”).
Pelaksanaan pidana tutupan berbeda dengan penjara karena ditempatkan di tempat khusus
bernama Rumah Tutupan yang pengurusan umumnya dipegang oleh Menteri Pertahanan (Pasal 3
ayat [1] PP 8/1948). Walaupun berbeda pelaksanaannya, penghuni Rumah Tutupan juga wajib
melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dengan jenis pekerjaan yang diatur oleh
Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman (Pasal 3 ayat [1] UU 20/1946 jo.
Pasal 14 ayat [1] PP 8/1948). Penghuni Rumah Tutupan tidak boleh dipekerjakan saat hari
minggu dan hari raya, kecuali jika mereka sendiri yang menginginkan (Pasal 18 ayat [1] PP
8/1948). Selain itu, Penghuni Rumah Tutupan wajib diperlakukan dengan sopan dan adil serta
dengan ketenangan (Pasal 9 ayat [1] PP 8/1948).

Mr. Utrecht dalam buku Hukum Pidana II (hal. 321) berpendapat Rumah Tutupan bukan
suatu penjara biasa tetapi merupakan suatu tempat yang lebih baik dari penjara biasa, selain
karena orang yang dihukum bukan orang biasa, perlakuan kepada terhukum tutupan juga
istimewa. Misalnya ketentuan Pasal 33 ayat (2) PP 8/1948 yang berbunyi “makanan orang
hukuman tutupan harus lebih baik dari makanan orang hukuman penjara” serta ketentuan Pasal
33 ayat (5) PP 8/1948 yang berbunyi “buat orang yang tidak merokok, pemberian rokok diganti
dengan uang seharga barang-barang itu.”

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, A. (2017). Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.


Mengenai Hukum Tutupan. (2012, Desember 12). Retrieved Mei 2, 2021, from
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c2ee2cbcf46/pidana-tutupan/
#:~:text=Pidana%20tutupan%20merupakan%20salah%20satu,Pidana
%20(%E2%80%9CKUHP%E2%80%9D).&text=(1)%20Dalam%20mengadili%20orang
%20yang,hakim%20boleh%20menjatuhkan%20hukuman%20tut

Anda mungkin juga menyukai