Anda di halaman 1dari 21

Pidana Tutupan dalam RUU KUHP:

dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, Dapatkah Tercapai?


Undisclosed Penitentier in Criminal Code Bill:
From the Purpose of Punishment’s Perspective, Can It Be Achieved?

Lidya Suryani Widayati


Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Komplek MPR/DPR/DPD Gedung Nusantara I Lantai 2
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat 10270
email: lidyadhi@yahoo.com; lidya.widayati@dpr.go.id

Naskah diterima: 5 Agustus 2019


Naskah direvisi: 9 Oktober 2019
Naskah diterbitkan: 1 November 2019

Abstract
Wetboek van Strafrecht (WvS) of 1915 did not regulate undisclosed penitentier. This criminal
sanction is included in the Criminal Code (KUHP) through the establishment of Law Number 20 of
1946 on Undisclosed Penitentier. The legislators (the House of Representatives and the Government)
re-arranged this criminal sanction in the Criminal Code Bill (RUU KUHP) as one of the main
sanctions. This paper examines the policy of determining undisclosed penitentier from punishment
perspective, especially from the purpose of punishment. Based on the purpose of punishment that is
formulated in the Criminal Code Bill, the purpose of the punishment would not be achieved by using
undisclosed penitentier. undisclosed penitentier also has the potential to cause discrimination because
there is no standard for judges to impose these criminal sanctions. To provide legal certainty, the
legislators should clearly formulate the criteria for judges to impose undisclosed penitentier.
Key words: undisclosed penitentier; the purpose of punishment; the Criminal Code Bill

Abstrak
Wetboek van Strafrecht (WvS) tahun 1915 tidak mengatur sanksi pidana tutupan. Sanksi
pidana ini dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui
pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) kembali mengatur sanksi pidana ini
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) sebagai salah satu pidana pokok. Tulisan ini mengkaji kebijakan penentuan pidana
tutupan dari perspektif pemidanaan terutama dari tujuan pemidanaan. Berdasarkan pada
tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam RUU KUHP maka tujuan pemidanaan tidak
akan tercapai dengan menggunakan sarana pidana tutupan. Pidana tutupan juga berpotensi
menimbulkan diskriminasi karena tidak ada ukuran bagi hakim untuk menjatuhkan
sanksi pidana ini. Untuk memberikan kepastian hukum maka pembentuk undang-undang
seharusnya merumuskan dengan jelas kriteria bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi
pidana tutupan.
Kata kunci: pidana tutupan; tujuan pemidanaan; RUU KUHP

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 237


I. Pendahuluan Undang-Undang ini juga menentukan bahwa
Beberapa terjemahan KUHP tidak memuat semua peraturan yang mengenai hukuman
pidana tutupan sebagai salah satu jenis pidana penjara berlaku juga terhadap hukuman
pokok, seperti KUHP yang merupakan tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak
terjemahan Moeljatno1 dan terjemahan R. bertentangan dengan sifat atau peraturan
Soesilo.2 Sedangkan KUHP yang merupakan khusus tentang hukuman tutupan. Selanjutnya
terjemahan Badan Pembinaan Hukum ketentuan mengenai tempat menjalani
Nasional (BPHN)3 dan terjemahan Andi hukuman tutupan diatur lebih lanjut dalam
Hamzah4 memuat pidana tutupan sebagai salah ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8
satu jenis pidana pokok yang letaknya setelah Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan (PP
pidana denda. Selain BPHN dan Andi Hamzah, tentang Rumah Tutupan).
beberapa KUHP yang dicetak oleh beberapa Pidana tutupan selalu dikaitkan dengan
penerbit juga memuat pidana tutupan.5 peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa ini terjadi
Penambahan pidana tutupan ke dalam pada saat Indonesia sedang mengalami
ketentuan KUHP didasarkan pada ketentuan krisis politik pada masa itu. Indonesia yang
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun baru memproklamasikan kemerdekaannya,
1946 tentang Hukuman Tutupan (UU dihadapkan dengan Belanda yang berusaha
tentang Hukuman Tutupan). Pasal 2 UU kembali masuk ke Indonesia. Pada saat itu
tentang Hukuman Tutupan menentukan Indonesia mempunyai 2 (dua) opsi untuk
bahwa dalam mengadili orang yang melakukan melawan Belanda, yaitu dengan cara: berunding
kejahatan yang diancam dengan hukuman atau dengan perlawanan bersenjata. Pemerintah
penjara, karena terdorong oleh maksud yang pada saat itu memilih opsi yang pertama
patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan yaitu dengan cara berunding. Keputusan
hukuman tutupan. Namun tidak ada satu pemerintah untuk memilih opsi yang pertama
pun pasal dalam UU ini yang menentukan ditentang oleh beberapa kelompok yang pada
mengenai perbuatan apa yang dikenakan saat itu lebih memilih opsi kedua dengan
untuk hukuman tutupan. melakukan perlawanan bersenjata.6
UU tentang Hukuman Tutupan juga Kacaunya keadaan Indonesia pada saat
menentukan bahwa penjatuhan pidana itu membuat Sutan Sjahrir selaku Kepala
tutupan tidak berlaku jika perbuatan yang Pemerintahan mengundurkan diri. Hal tersebut
merupakan kejahatan atau cara melakukan membuat Soekarno selaku Kepala Negara
perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi mengambil alih kekuasan di pemerintahan
adalah demikian sehingga hakim berpendapat, dan menyatakan Indonesia dalam keadaan
bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya. bahaya. Pada akhirnya karena dianggap
membahayakan, para anggota kelompok yang
1 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memilih opsi kedua diadili di Pengadilan
Cetakan ke XIII, Jakarta: Bina Aksara, 1982, hal. 6.
2 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Militer7 atau dalam bukunya Wirjono
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Prodjodikoro menyebutnya Mahkamah
Cetakan ke XIII, Bogor: Politeia, 1996, hal. 34.
3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Badan Tentara Agung. Wirjono mengemukakan,
Pembinaan Hukum Nasinal (BPHN) Departemen sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia,
Kehakiman dan Penerbit Sinar Harapan, Cetakan
Kedua, 1985, hal. 15. pernah terjadi satu kali hakim menjatuhkan
4 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka
Cipta, 2011, hal. 6. 6 Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946 (Menguak Kudeta
5 KUHP dan KUHAP, Penerbit Fokusindo Mandir, Pertama dalam Sejarah Indonesia), Media Pressindo:
Agustus 2010, hal. 4 dan KUHAP dan KUHP, Jakarta: Yogyakarta, 2009, hal. viii.
Sinar Grafika, Juli 2002, hal. 6. 7 Ibid.

238 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
pidana tutupan yaitu putusan Mahkamah berdasarkan pengacuan tersebut maka tidak
Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 yang ada penyamarataan penjatuhan sanksi pidana
mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal terhadap satu pelaku dengan pelaku lainnya.
dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 atau Dalam hal ini, RUU KUHP tidak hanya
dikenal juga dengan sebutan “Tiga Juli Affaire” memokuskan hanya pada tindak pidana
dan sejak itu tidak pernah dijatuhkan lagi.8 melainkan juga pada aspek-aspek individual
Sejak penjatuhan pidana tersebut, pelaku tindak pidana.
selanjutnya para hakim di Indonesia tidak Terkait dengan tidak adanya
pernah sekalipun menjatuhkan pidana tutupan, penyamarataan karena adanya dasar
namun pidana ini tetap dipertahankan.9 pengacuan berdasarkan pada tingkat
Bahkan RUU KUHP10 mengatur kembali kejahatan, kondisi pelaku, dan keadaan-
pidana tutupan sebagai salah satu pidana keadaan lainnya maka kajian atas pidana
pokok setelah pidana penjara. Dengan tutupan berdasarkan perspektif pemidanaan
memerhatikan latar belakang tersebut, tulisan perlu dilakukan mengingat bahwa pidana
ini akan membahas permasalahan pokok tutupan merupakan cara pelaksanaan pidana
mengenai bagaimana kebijakan penentuan sebagai alternatif pidana penjara. Cara
pidana tutupan dalam RUU KUHP dikaji pelaksanaan tersebut sangat bergantung
dari perspektif pemidanaan terutama dari pada pertimbangan hakim dengan mengacu
tujuan pemidanaan. pada tingkat kejahatan, kondisi pelaku, dan
Sanksi pidana termasuk pula pidana keadaan-keadaan lainnya. Dengan kata lain
tutupan dalam RUU KUHP perlu dikaji bahwa aspek-aspek individual pelaku tindak
dari perspektif pemidanaan yaitu apakah pidana akan menjadi pertimbangan bagi
dengan pidana tersebut tujuan pemidanaan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
dalam RUU KUHP dapat tercapai. Secara penjara atau pidana tutupan. Pertimbangan
umum, dalam RUU KUHP sudah terdapat tersebut tentunya harus juga memperhatikan
pengaturan tentang pemidanaan. Dalam tujuan pemidanaan sebagaimana yang telah
RUU KUHP ini, tujuan pemidanaan dan dirumuskan dalam RUU KUHP, yaitu apakah
pedoman pemidanaan sudah dirumuskan dengan pidana tutupan tersebut maka tujuan
secara jelas dan rinci. Selanjutnya dalam RUU pemidanaan akan tercapai.
KUHP juga memuat pengaturan mengenai Terdapat beberapa hasil penelitian
jenis-jenis sanksi pidana sebagai alternatif ataupun kajian yang telah dilakukan oleh
bagi hakim untuk menentukan pidana peneliti ataupun penulis lainnya khususnya
yang tepat bagi pelaku dengan mengacu berkaitan dengan pidana tutupan dan
pada tingkat kejahatan, kondisi pelaku, dan pemidanaan, yaitu sebagai berikut.
keadaan-keadaan lainnya. Dengan demikian 1. Mukhlis R dalam tulisannya “Pemahaman
8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Masyarakat Riau Dan Landasan Filosofis
Indonesia, Bandung: Eresco, 1986, hal. 174.
9 A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, Jakarta: Sumber Pelaksanaan Pidana Tutupan”, mengkaji
Ilmu Jaya, 2002, hal. 345.
10 RUU KUHP disampaikan oleh Pemerintah ke mengenai bagaimana pemahaman
DPR pada tahun 2015. Sejak RUU KUHP tersebut masyarakat Riau (masyarakat Kota
disampaikan ke DPR pada tahun 2015 hingga proses
pembahasan dalam RUU KUHP per tanggal 18 Pekanbaru dan masyarakat Kabupaten
September 2019, pidana tutupan masih dicantumkan Siak) dan landasan filosofis peraturan
sebagai salah satu pidana pokok. Tulisan ini mengacu
pada RUU KUHP hasil pembahasan bersama antara
perundang-undangan tentang pelaksanaan
DPR dan Pemerintah, draf per tanggal 18 September pidana tutupan. Dalam kajian tersebut,
2019.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 239


Mukhlis menyatakan bahwa pemahaman 3. Fernando I Kansil dalam tulisannya “Sanksi
masyarakat Provinsi Riau tentang Pidana dalam Sistem Pemidanaan menurut
pelaksanaan pidana tutupan adalah KUHP dan di Luar KUHP,” menyebutkan
rendah. Namun demikian, masyarakat bahwa masalah pidana dan pemidanaan
masih memerlukan pidana tutupan selain dalam sejarahnya selalu mengalami
karena masih relevan untuk dilaksanakan, perubahan dari sudut perkembangan
juga karena masih berlaku. Pidana masyarakat manusia, perubahan itu adalah
tutupan diperlukan untuk petinggi negara hal yang wajar, karena manusia akan
yang melakukan tindak pidana namun selalu berupaya untuk memperbaharui
bukan pidana murni. Namun undang- tentang suatu hal demi meningkatkan
undang perlu menentukan dengan tegas kesejahteraannya dengan mendasarkan
tentang tindak pidana apa yang dapat diri pada pengalamannya di masa lampau.
dikenakan pidana tutupan. Menurut Pidana dan pemidanaan sebagai ilmu atau
Mukhlis, landasan filosofis peraturan penologi akan terkait erat dengan filosofi
perundang-undangan tentang pelaksanaan pemidanaan. Fernando menyimpulkan
pidana tutupan berdasarkan konsideran pertama bahwa pidana merupakan bagian
menimbang belum mencerminkan nilai mutlak dari hukum pidana, karena pada
filosofis secara eksplisit. 11
dasarnya hukum pidana memuat dua hal,
2. Abdurrabbi Rasul Sayyaf dalam skripsinya yakni syarat-syarat untuk memungkinkan
“Analisis Terhadap Pidana Tutupan dan penjatuhan pidana dan pidananya itu
Perkembangannya dalam Pembaharuan sendiri. Jenis hukuman atau macam
Hukum Pidana Indonesia”, memfokuskan ancaman hukuman dalam Pasal 10
pada masalah bagaimana penerapan tersebut adalah Pidana Pokok dan Pidana
hukum pidana tutupan di Indonesia Tambahan. Terkait dengan pidana tutupan
dan mengapa hukum pidana tutupan sebagai salah satu jenis pidana pokok maka
sejak setelah diberlakukannya
 pertama menurut Fernando, pidana tutupan sebagai
kali hingga sampai saat ini tidak pernah salah satu pidana hilang kemerdekaan, lebih
diterapkan kembali. Abdurrabbi berat daripada pidana denda. Pencantuman
menyimpulkan bahwa pidana tutupan pidana tutupan dalam pasal 10 KUHP akan
dijatuhkan untuk kejahatan yang lebih tepat jika diletakkan di atas pidana
dilakukan dengan tujuan yang patut denda dan pidana kurungan. Pidana tutupan
dihormati. Pembaharuan hukum pidana sama dengan pidana penjara, kecuali dalam
tutupan di Indonesia tercantum dalam hal pelaksanaan kepada terpidana, karena
pasal 76 RUU KUHP 2012. Pada dasarnya pelaksanaan kepada terpidana pada pidana
pidana tutupan antara UU No. 20 Tahun tutupan lebih baik. Kedua, jenis sanksi
1946 dengan RUU KUHP 2012 adalah tindakan masih terlihat belum tertata secara
sama. 12
sistematis di Indonesia dalam peraturan
tindak pidana khusus di luar KUHP. Terjadi
11 Mukhlis R., “Pemahaman Masyarakat Riau Dan
Landasan Filosofis Peraturan Perundang-Undangan inkonsistensi dalam penetapan sanksinya
Tentang Pelaksanaan Pidana Tutupan”, Masalah- antara perundang-undangan pidana yang
Masalah Hukum, Jilid 47, No. 2, April 2018, hal. 149-
156. satu dengan perundang-undangan pidana
12 Abdurrabbi Rasul Sayyaf, “Analisis Terhadap Pidana lainnya.13
Tutupan Dan Perkembangannya Dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia, skripsi, Fakultas Syari’ah 13 Fernando I Kansil, “Sanksi Pidana Dalam Sistem
Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Pemidanaan Menurut KUHP dan Di Luar KUHP,”
Yogyakarta, 2016. Lex Crimen, Vol. III, No. 3, Mei-Jul, 2014, hal. 26-34.

240 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
4. Edy Nugroho dalam tulisannya “Pidana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Oleh
Tutupan dalam Hukum Pidana Indonesia” pembentuk undang-undang, pidana tutupan
menyebutkan bahwa pidana tutupan adalah dimaksudkan untuk menggantikan pidana
salah satu pidana pokok dalam hukum penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan
pidana Indonesia yang mulai berlaku oleh hakim bagi pelaku kejahatan, atas dasar
berdasarkan UU tentang Hukuman bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya
Tutupan. Pidana ini merupakan alternatif dilakukan karena terdorong oleh maksud yang
pidana penjara dan jarang dijatuhkan. patut dihormati.16
Pidana ini pernah dijatuhkan bagi pelaku Pasal 2 ayat (1) UU tentang Hukuman
tindak pidana politik. Pada umumnya Tutupan menyatakan bahwa: Dalam mengadili
pelaku tindak pidana politik didorong oleh orang yang melakukan kejahatan yang diancam
adanya maksud yang patut dihormati.14 dengan pidana penjara karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati maka hakim
Beberapa tulisan tersebut, meskipun juga boleh menjatuhkan pidana tutupan. Namun
secara khusus mengkaji mengenai sanksi ayat (2) dari Pasal ini selanjutnya menentukan
pidana tutupan, namun tulisan-tulisan bahwa pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan
tersebut belum mengkajinya dari perspektif apabila hakim berpendapat perbuatan yang
pemidanaan. Sementara dalam tulisan ini merupakan kejahatan atau cara melakukan
selain mengkaji pidana tutupan sebagaimana perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi
diatur dalam RUU KUHP, juga mengkaji adalah sedemikian rupa, sehingga terhadap
kebijakan penentuan sanksi pidana tutupan perbuatan lebih tepat bila dijatuhi dengan
tersebut dari perspektif pemidanaan terutama pidana penjara. Pelaksanaan pidana tutupan
dari tujuan pemidanaan. Dengan mengacu mengenai tempat untuk menjalani pidana
pada tujuan pemidanaan maka secara akademis tutupan, cara melakukan pidana tutupan
tulisan ini diharapkan dapat memberikan dan segala sesuatunya yang perlu untuk
kegunaan berupa sumbangan pemikiran bagi menjalankan UU tentang Hukuman Tutupan
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang selanjutnya diatur dengan PP tentang Rumah
hukum pidana terutama terkait dengan Tutupan yang diundangkan pada tanggal 5
falsafah pemidanaan dalam pengaturan sanksi Mei 1948.
pidana tutupan. PP tentang Rumah Tutupan menyatakan
bahwa yang dimaksud rumah tutupan itu bukan
II. Pidana Tutupan dalam Hukum Pidana suatu rumah penjara biasa, dan suatu tempat
Indonesia yang lebih baik daripada penjara biasa sesuai
Pidana tutupan tidak dikenal dalam WvS dengan orang yang dijatuhi pidana tutupan
tahun 1915. Pidana tutupan merupakan suatu bukan terpidana biasa, karena perbuatan yang
pidana pokok yang baru yang telah dimasukkan dilakukan oleh terdakwa bukan kejahatan
ke dalam KUHP melalui pembentukan biasa.17 Andi Hamzah menyatakan bahwa
UU tentang Hukuman Tutupan.15 Badan pidana tutupan disediakan bagi para politisi
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah yang melakukan kejahatan yang disebabkan
memasukkan pidana tutupan tersebut pada oleh ideologi yang dianutnya.18 Oleh karena
urutan kelima dari jenis pidana sebagaimana 16 P.A.F., Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum
14 F.H Edy Nugroho, “Pidana Tutupan Dalam Hukum Penintesier di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
Pidana Indonesia”, Gloria Juris, Vol. 9, No. 01, Jan. hal. 131.
2009, hal. 47-57. 17 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah… hal. 320.
15 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah. Hukum Pidana II, 18 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka
Jakarta: Universitas Bandung, 1962, hal. 320. Cipta, 2010, hal. 191.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 241


itu, perlakuan terhadap terpidana tutupan terpidana juga wajib melaksanakan pekerjaan
juga tidak diberi perlakuan yang biasa, tetapi yang diperintahkan kepadanya dengan
merupakan suatu perlakuan yang istimewa.19 jenis pekerjaan yang diatur oleh Menteri
Sebagaimana ketentuan Pasal 9 PP tentang Pertahanan dengan persetujuan Menteri
Rumah Tutupan bahwa pegawai-pegawai Kehakiman. Namun demikian, Pasal 18 ayat
Rumah Tutupan diwajibkan memperlakukan (1) PP tentang Rumah Tutupan menentukan
orang-orang hukuman tutupan dengan cara bahwa terpidana tidak boleh dipekerjakan
yang sopan dan adil, tetapi juga dengan saat hari minggu dan hari raya, kecuali jika
ketenangan dan tidak boleh ada persahabatan mereka sendiri yang menginginkan. Selain
antara pegawai dan orang-orang hukuman itu, keistimewaan lain dari terpidana yang
tutupan. Selain itu, pegawai rumah tutupan menjalani pidana tutupan bahwa mereka
juga dilarang keras memberi hukuman atau wajib diperlakukan dengan sopan dan adil
melakukan kekerasan atau paksaan, kecuali serta dengan ketenangan (Pasal 9 ayat (1) PP
jika diperkenankan dalam PP tentang Rumah tentang Rumah Tutupan).
Tutupan atau peraturan Negara Lain. Dalam praktik dewasa ini, pidana
Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (5) tutupan tidak pernah diterapkan. Sepanjang
PP tentang Rumah Tutupan juga memuat sejarah praktik hukum di Indonesia, hakim
ketentuan bahwa: makanan orang yang dipidana hanya pernah menjatuhkan satu kali vonis
tutupan harus lebih baik daripada makanan pidana tutupan yaitu putusan Mahkamah
orang yang dipidana penjara, dan bagi terpidana Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948
tutupan yang tidak merokok, pemberian rokok yang mengadili para pelaku kejahatan yang
diganti dengan uang seharga jatah rokok yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946
bersangkutan. Ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan atau dikenal juga dengan sebutan “Tiga Juli
ayat (3) menyebutkan bahwa orang yang dijatuhi Affaire”.21
pidana tutupan diperkenankan memakai Menurut Iwa Kusuma Sumantri, akibat
pakaiannya sendiri, kecuali bagi terpidana dari peristiwa 3 Juli 1946 menyebabkan 800
tutupan yang tidak mempunyai pakaian sendiri (delapan ratus) orang ditangkap. Dari 800
dan juga tidak mempunyai uang yang cukup orang yang ditangkap tersebut, terdapat 14
untuk membelinya, diberi pakaian seperlunya (empat belas) orang yang didakwa (diproses)
menurut aturan yang berlaku dan pakaian itu di pengadilan. Kasus ini disidangkan oleh
harus lebih baik daripada pakaian untuk orang Mahkamah Tentara Agung dari tanggal 8
yang dipidana penjara. Sedangkan Pasal 37 ayat Maret 1948 hingga tanggal 27 Mei 1948.
(2) menentukan bahwa jika mungkin berhubung Mahkamah diketuai oleh Kusumaatmaja
dengan keadaan dan tidak bertentangan dengan dengan Tirtawinata sebagai Jaksa Agung
ketertiban dan keamanan, maka orang-orang Penuntut Umum.22
terpidana tutupan ini diperbolehkan memakai Di antara para terdakwa yang diajukan
tempat tidurnya.20 ke pengadilan Mahkamah, tujuh orang di
Meskipun berbeda dalam pelaksanaannya antaranya dinilai bersalah sehingga dijatuhi
maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) pidana. Ketujuh orang tersebut adalah,
UU tentang Hukuman Tutupan jo. Pasal yaitu: R.P. Sudarsono dijatuhi pidana 4
14 ayat (1) PP tentang Rumah Tutupan, tahun, Muhammad Yamin dijatuhi pidana 4
21 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di
19 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah… hal. 320. Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009, hal. 174
20 Aruan Sakidjo, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum 22 M. Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak
Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta:
1990, hal. 99. MedPress, 2009, hal. 224.

242 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
tahun, Mr. Ahmad Subarjo dijatuhi pidana dilakukan didasarkan atas motif yang keji. Hal
3 tahun, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dijatuhi yang sama terdapat dalam KUHP Norwegia
pidana 3 tahun, Mr. R. Sundoro Budhyarto Tahun 1902 yang mengatur, bahwa pidana
Martoatmojo dijatuhi pidana 3 tahun 6 bulan, perampasan kemerdekaan (tidak terbatas hanya
Mr. R. Buntaran Martoatmojo dijatuhi pidana pada tindak pidana politik) dapat digantikan
2 tahun, dan R. Muhammad Saleh dijatuhi dengan pidana custodia honesta, bilamana
pidana 2 tahun 6 bulan.23 keadaan-keadaan khusus yang berkaitan
Dalam perkembangannya, privileged dengan tindak pidana menunjukkan bahwa
treatment yang biasa disebut sebagai custodia tindak pidana tersebut tidak dilakukan atas
honesta (pidana tutupan) ini dikenal di dasar motif yang jahat (wicked motives). Setelah
dalam Sistem Hukum Kontinental Eropa perang Jerman, muncul gerakan-gerakan dan
dan di Inggris (english division system) dan pemikiran untuk memperluas pemikiran yang
asalnya adalah dari perlakuan khusus yang terdapat dalam KUHP Jerman 1871 di atas,
diberikan kepada terpidana politik. Posisi di luar ruang lingkup tindak pidana politik
istimewa dari terpidana politik dalam sejarah yakni dengan menegaskan, bahwa pidana
pemidanaan dianggap merupakan suatu yang seharusnya diterapkan hendaknya
keharusan. Di sisi lain seringkali sebaliknya custodia honesta dan bukan pidana kerja paksa
terdapat kecenderungan yang kuat untuk atau pidana penjara, apabila Pengadilan
memperlakukan mereka lebih keras daripada memandang pelaku tindak pidana telah
narapidana biasa. Penguasa tidak akan melakukan perbuatannya atas dasar keyakinan
mentolerir gangguan terhadap keamanannya, bahwa hal tersebut merupakan tugas moral,
sekalipun motif yang mendasari pelaku agama atau politik. Hal ini nampak pula
didasarkan atas idealisme yang terpuji.24 di dalam “Priciples regulating the execution of
Perkembangan terjadi setelah Revolusi penalties involving loss of liberty” tanggal 7 Juni
Perancis, yang mengubah pandangan terhadap 1923 yang menyatakan bahwa terpidana sejak
terpidana politik atas dasar asas-asas hukum permulaan menjalankan pidananya dapat
internasional, yang menyatakan, bahwa mengklaim untuk memperoleh perlakuan-
“political crime are on principle not regorded as perlakuan istimewa bilamana Pengadilan
dishonourble”. Usulan agar supaya asas ini yang telah memidananya secara eksplisit
mendasari perlakuan istimewa terhadap menyatakan bahwa perbuatannya dilakukan
terpidana politik, termasuk di dalamnya atas dasar motif-motif tersebut. Pemerintahan
pengaturan di negara-negara yang menjadi Nazi Jerman melalui Act of 26, 5, 1933 telah
korban tindak pidana politik tersebut (state membatasi berlakunya ketentuan di dalam
against) tidak direalisasikan sampai waktu KUHP Jerman tahun 1871, yakni dengan
yang lama. Namun akhirnya nampak, bahwa membatasi pada sejumlah kecil tindak pidana
hal tersebut memperoleh tanggapan, di mana politik dan menyatakan, bahwa pidana
KUHP Jerman Tahun 1871 mengatur bahwa costudia honesta dapat diterapkan hanya apabila
bilamana hakim harus memilih–di dalam perbuatan tersebut tidak ditujukan against the
kasus-kasus politik–antara pidana kerja paksa weal of the people.25
(penal servitude) dan custodia honesta (festungshaft)
maka yang pertama hanya diijinkan bilamana
dapat dibuktikan, bahwa tindak pidana yang
23 Ibid., hal. 240.
24 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik
RUU tentang KUHP draf tahun 2015, hal. 48. 25 Ibid., hal. 49.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 243


III. Pengaturan Sanksi Pidana Tutupan pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum
dalam Perspektif Pemidanaan yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
Dalam RUU KUHP,26 pidana tutupan menimbulkan berbagai macam interpretasi
diatur kembali sebagai pidana pokok. Jika dalam pelaksanaannya. Tujuan utama asas
dalam beberapa terjemahan KUHP, pidana kejelasan rumusan adalah untuk menciptakan
tutupan letaknya di bawah pidana denda adanya kepastian hukum. Dalam penjelasan
maka berdasarkan RUU KUHP, sanksi pidana Pasal 74 ayat (1) RUU KUHP disebutkan bahwa
tersebut diletakan setelah pidana penjara. pertimbangan penjatuhan pidana tutupan
Perubahan dari pidana yang diatur di dalam didasarkan pada motif dari pelaku tindak pidana
Pasal 10 (a) KUHP dan yang diatur di dalam yaitu karena terdorong oleh maksud yang patut
Pasal 65 ayat (1) RUU KUHP terdapat pada dihormati. Tindak pidana yang dilakukan
ketentuan ayat (1) Pasal tersebut, yaitu: Pidana karena alasan ini pada dasarnya tindak pidana
pokok terdiri dari: politik. Selanjutnya penjelasan Pasal 74 ayat
1. pidana penjara; (2) menjelaskan bahwa maksud yang patut
2. pidana tutupan; dihormati harus ditentukan oleh hakim dan
3. pidana pengawasan; harus termuat dalam pertimbangan putusannya.
4. pidana denda; dan Sedangkan penjelasan ayat (3) dari Pasal 74
5. pidana kerja sosial. ini hanya disebutkan “cukup jelas”. Dalam
Urutan pidana yaitu dari pidana penjara, RUU KUHP tidak ada penjelasan mengenai
tutupan, pengawasan, denda, hingga kerja apa yang dimaksud dengan “pidana tutupan”.
sosial, menentukan berat ringannya pidana, Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP hanya
kecuali pidana bagi anak. disebutkan bahwa jenis pidana tutupan, (pidana
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (1) pengawasan, dan pidana kerja sosial) pada
RUU KUHP maka sanksi pidana tutupan hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana
sebagai salah satu pidana hilang kemerdekaan sebagai alternatif pidana penjara.
lebih berat daripada pidana denda. Selanjutnya Selain itu, juga tidak ada penjelasan
Pasal 74 RUU KUHP menentukan bahwa mengenai apa yang dimaksud dengan “maksud
orang yang melakukan tindak pidana dan yang patut dihormati” dan apa ukurannya
diancam dengan pidana penjara, akan tetapi bahwa tindakan pelaku karena didorong oleh
karena keadaan pribadi dan perbuatannya, maksud yang patut dihormati. Penjelasan
dapat dijatuhi pidana tutupan.
 Pidana bahwa “Tindak pidana yang dilakukan karena
tutupan dapat dijatuhkan kepada terdakwa alasan ini pada dasarnya tindak pidana politik”
yang melakukan tindak pidana karena juga tidak tegas dan justru menimbulkan
terdorong oleh maksud yang patut dihormati, pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan
akan tetapi hal tersebut tidak berlaku, apabila tindak pidana politik?
cara melakukan atau akibat dari tindak pidana Dari beberapa referensi yang dimaksud
tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa dengan tindak pidana/delik politik adalah
lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara. delik terhadap keamanan negara yaitu delik
Dari sisi pembentukan peraturan yang dirumuskan dalam undang-undang
perundang-undangan, ketentuan Pasal 74 belum hukum pidana yang menggunakan atau
memenuhi asas kejelasan rumusan, bahwa setiap mengandung motif politik (menyalahi,
undang-undang harus memenuhi persyaratan membahayakan atau mengganggu pelaksanaan
teknis penyusunan undang-undang, sistematika, hukum kenegaraan). Pelaku delik politik
26 RUU KUHP hasil pembahasan DPR dan Pemerintah
penuh kesadaran berkeyakinan secara itikad
per tanggal 18 September 2019.
244 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
baik, telah melakukan sesuatu yang menurut Mengacu pada pengertian dan tindak
keyakinannya tidak bertentangan dengan tertib pidana apa saja yang dikelompokan sebagai
masyarakat. Bahkan perbuatannya adalah demi tindak pidana politik maka dalam RUU
kebaikan masyarakat dan keadilan, meskipun KUHP terdapat 29 (dua puluh sembilan)
mungkin saja perbuatannya diikuti dengan Pasal yang dikelompokan sebagai tindak
suatu perbuatan kekerasan.27 Dalam hal ini, pidana terhadap keamanan negara yaitu Pasal
Jan Remmelink menyebutkan bahwa pelaku 188 sampai dengan Pasal 216, dalam Bab I
berdasarkan keyakinan, yaitu orang-orang tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan
yang dengan sadar menentang tertib hukum Negara. Tindak pidana ini dibagi lagi menjadi
yang berlaku karena pendapat-pendapat beberapa kelompok tindak pidana, yaitu:
tentang negara atau hukum yang mereka 1. Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara,
anut mereka anggap lebih luhur daripada yang terdiri dari:
pendapat-pendapat yang dijunjung tinggi oleh a. Penyebaran Ajaran Komunisme/
negara yang bersangkutan. Pelaku berdasarkan Marxisme-Leninisme, dengan pidana
keyakinan lazimnya melakukan kejahatan penjara dari paling lama 4 (empat)
untuk tujuan-tujuan di luar kepentingan diri tahun hingga paling lama 15 (lima
sendiri.28 Kekhususan dari delik politik adalah belas) tahun (Pasal 188 dan Pasal 189).
bahwa pelaku tidak dapat diekstradisi, dan ini b. Peniadaan dan Penggantian Ideologi
mempunyai sifat yang universal. Pancasila, dengan pidana penjara dari
Abdul Hakim Garuda Nusantara paling lama 5 (lima) tahun hingga
mengungkapkan adanya 7 pasal dalam KUHP paling lama 15 (lima belas) tahun
yang berkaitan dengan tindak pidana politik yaitu (Pasal 190).
hukum pidana yang menjadi dasar pembenar 2. Tindak Pidana Makar
bagi langkah represif negara untuk menangkap, a. Makar terhadap Presiden dan Wakil
menahan, mengadili, dan menghukum musuh- Presiden, pidana penjara paling lama
musuh politiknya (Pasal 106, Pasal 107, Pasal 20 (dua puluh) tahun (Pasal 191).
108, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 207, dan Pasal b. Makar terhadap Negara Kesatuan
208). Sedangkan Adnan Buyung Nasution Republik Indonesia, dengan pidana
menyebutkan bahwa yang dimaksud tindak penjara paling lama 20 (dua puluh)
pidana politik dalam KUHP adalah Pasal 154, tahun (Pasal 192).
Pasal 155, Pasal 156, dan Pasal 157 KUHP. Selain c. Makar terhadap Pemerintah yang sah,
KUHP, Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dengan pidana penjara paling lama 10
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (UU (sepuluh) tahun hingga pidana penjara
No. 11 Pnps 1963) adalah produk hukum yang paling lama 20 (dua puluh) tahun atau
paling sering diberlakukan untuk melindungi pidana penjara seumur hidup (Pasal
kepentingan negara dan mengancam pelaku 193, Pasal 194, Pasal 195).
yang terlibat dalam suatu kegiatan mengkritisi 3. Tindak Pidana terhadap Pertahanan
kebijakan ekonomi politik Orde Baru.29 Negara
27 Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Jakarta: Ind- a. Pertahanan Negara, dengan pidana
Hill-Co, 1993, hal. 23 dan hal. 53 penjara paling lama 1 (satu) tahun 6
28 Jan Remmelink, Hukum Pidana. Komentar Atas Pasal-
Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya (enam) bulan hingga pidana penjara
Dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka paling lama 12 (dua belas) tahun (Pasal
Utama, 2003, hal. 73.
29 Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara-Telaah tentang
197, Pasal 198, Pasal 199, Pasal 200,
Penerapan Delik Keamanan Negara, Jakarta: Lembaga Pasal 201, dan Pasal 202).
Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hal 13-19.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 245


b. Pengkhianatan terhadap Negara dan ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
Pembocoran Rahasia Negara, dengan seumur hidup atau pidana penjara paling
pidana penjara paling lama 1 (satu) lama 20 (dua puluh) tahun”. Pasal 194 ayat (1)
tahun 6 (enam) bulan hingga pidana memuat ketentuan bahwa “dipidana karena
penjara paling lama 15 (lima belas) pemberontakan dengan pidana penjara paling
tahun (Pasal 203, Pasal 204, Pasal 205, lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang:
Pasal 206, Pasal 207, dan Pasal 208). 1. melawan pemerintah yang sah dengan
c. Sabotase dan Tindak Pidana pada menggunakan kekuatan senjata; atau
Waktu Perang, dengan pidana penjara 2. dengan maksud untuk melawan
paling lama 4 (empat) tahun hingga pemerintah yang sah bergerak bersama
pidana penjara paling lama 20 (dua sama atau menyatukan diri dengan
puluh) tahun atau pidana penjara gerombolan yang melawan pemerintah
seumur hidup (Pasal 210, Pasal 211, yang sah dengan menggunakan kekuatan
Pasal 212, dan Pasal 215). senjata.
Rumusan Pasal 194 juga menimbulkan
Mengacu pada rumusan pidana terhadap pertanyaan, apakah dalam kenyataannya
tindak pidana terhadap keamanan negara dimungkinkan seseorang melakukan
terdapat jarak yang cukup tinggi dari pidana pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) tetapi memiliki maksud yang patut dihormati?
bulan hingga pidana penjara paling lama 20 Terlebih lagi adanya ketentuan Pasal 194 ayat
(dua puluh) tahun atau pidana penjara seumur (1) huruf b yang memuat frasa “dengan maksud
hidup. Untuk tindak pidana yang dipidana untuk melawan pemerintah yang sah…”.
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Hal tersebut tentunya berbeda dengan
bulan misalnya dalam Pasal 207. Pasal ini tujuan diadakannya hukuman tutupan
menentukan bahwa “setiap orang yang karena berdasarkan UU tentang Hukuman Tutupan.
tugasnya wajib menyimpan surat, peta bumi, Pidana tutupan selalu dikaitkan dengan
rencana, gambar, atau barang yang bersifat peristiwa 3 Juli 1946 yang melibatkan pejuang
rahasia negara sebagaimana dimaksud dalam dan tokoh politik Indonesia yang memilih
Pasal 205, karena kealpaannya menyebabkan untuk melakukan perlawanan bersenjata
isi, bentuk, atau cara membuatnya, seluruh melawan Belanda.
atau sebagian diketahui oleh orang lain yang Sebagaimana pula disebutkan dalam
tidak berhak mengetahuinya dipidana dengan Naskah Akademik penyusunan RUU KUHP
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 bahwa para pejuang dan tokoh politik
(enam) bulan”. Yang menjadi pertanyaan Indonesia yang terlibat dalam peristiwa 3
adalah bagaimana hakim akan memutuskan Juli 1946 adalah untuk menentukan strategi
bahwa seseorang yang karena kealpaannya menghadapi agresi Belanda. Mereka yang
tersebut mempunyai maksud yang patut terlibat dijatuhi hukuman tutupan menurut
dihormati sementara yang lain tidak. UU tentang Hukuman Tutupan melalui
Untuk tindak pidana yang diancam Mahkamah Militer Agung yang bersidang di
dengan pidana penjara seumur hidup atau Yogyakarta pada tahun 1948. Pertimbangan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) Majelis Hakim menjatuhkan hukuman
tahun seperti dalam Pasal 194 ayat (2). Pasal ini tutupan disebabkan peristiwa 3 Juli 1946
menentukan bahwa “pemimpin atau pengatur dikategorikan sebagai kejahatan yang
pemberontakan sebagaimana dimaksud pada terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

246 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
Sejak penjatuhan pidana tutupan Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan UU tentang Hukuman Tutupan, mengacu pada tradisi hukum tertulis yang
tidak pernah ada lagi hakim yang menjatuhkan dikembangkan dalam tradisi civil law system
pidana tutupan. Apakah mungkin hal ini terjadi maka dalam penentuan pidana tutupan perlu
karena memang tidak ada tindak pidana selain dipertimbangkan mengenai sampai seberapa
tindak pidana terkait peristiwa 3 Juli 1946 yang jauh ukuran-ukuran “maksud yang patut
dapat dinilai hakim telah dilakukan dengan dihormati” yang akan dijadikan dasar untuk
maksud yang patut dihormati sekalipun tindak menjatuhkan pidana tutupan. Apakah terbatas
pidana pembunuhan yang dilakukan karena pada tindak pidana politik ataukah mencakup
pembelaan diri. Dengan demikian patut pula pula alasan-alasan lain misalnya alasan moral,
menjadi pertanyaan ketika pidana tutupan agama dan tindak-tindak pidana lain asal tidak
dalam RUU KUHP dikaitkan dengan tindak dilakukan atas dasar motif yang keji.
pidana politik, apa yang menjadi ukurannya Selain itu ringannya perbuatan, keadaan
dan apa kriteria yang dapat digunakan hakim pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu
untuk menjatuhkan pidana tutupan. dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi
Jika dalam penjelasan Pasal 74 kemudian sebagaimana dirumuskan dalam
menyebutkan bahwa tindak pidana yang Pasal 54 ayat (2) sebagai pedoman/dasar
dilakukan karena alasan patut dihormati pada pertimbangan untuk tidak menjatuhkan
dasarnya adalah tindak pidana politik. Namun pidana atau tidak mengenakan tindakan
dalam Naskah Akademik, masih membuka dengan mempertimbangkan segi keadilan dan
adanya alasan-alasan lainnya yaitu perlunya kemanusiaan. Selain pedoman tersebut perlu
dipertimbangkan di sini adalah sampai ditentukan pula pedoman pemidanaan yang
seberapa jauh ukuran-ukuran “maksud yang bersifat khusus. Pedoman pemidanaan yang
patut dihormati” yang akan dijadikan dasar bersifat khusus untuk memberi pengarahan
untuk menjatuhkan pidana tutupan. Apakah pada hakim dalam memilih atau menjatuhkan
terbatas pada tindak pidana politik ataukah jenis-jenis pidana tertentu.30
mencakup pula alasan-alasan lain misalnya Dalam Pasal 74 ayat (1) RUU KUHP
alasan moral, agama dan tindak- tindak pidana ditentukan bahwa orang yang melakukan
lain asal tidak dilakukan atas dasar motif yang tindak pidana yang diancam dengan pidana
keji. Dengan kata lain pidana tutupan dapat penjara, mengingat keadaan pribadi dan
dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
tindak pidana karena terdorong oleh maksud Selanjutnya juga ditentukan bahwa jika
yang patut dihormati, dan tidak berlaku, jika pidana pencabutan hak31 dijatuhkan maka
cara melakukan atau akibat dari perbuatan 30 Abdul Kholiq, Barda Nawawi Arie, Eko Soponyono,
tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa “Pidana Penjara Terbatas: Sebuah Gagasan Dan
Reorientasi Terhadap Kebijakan Formulasi Jenis
lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara. Sanksi Hukum Pidana di Indonesia,” Jurnal Law
Dalam UU tentang Hukuman Tutupan Reform, Program Studi Magister Ilmu Hukum Volume
11, Nomor 1, Tahun 2015, hal. 100-112.
pun tidak ada ketentuan yang menyebutkan 31 Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dalam
bahwa hukuman tutupan hanya diperuntukan menjatuhkan pidana tambahan adalah: hak memegang
jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
hak
bagi pelaku tindak pidana politik. Oleh karena menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan
itu dapat diasumsikan bahwa hukuman Kepolisian Negara Republik Indonesia; hak memilih
dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
tutupan berdasarkan UU tentang Hukuman peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Tutupan tidak hanya dapat diberlakukan bagi hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan;
hak menjadi wali, wali pengawas,
terpidana tindak politik. pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang
bukan anaknya sendiri; hak menjalankan kekuasaan
NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 247
dalam hal dijatuhkan pidana tutupan untuk merupakan suatu pengenaan penderitaan
waktu tertentu, pencabutan hak paling singkat atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun menyenangkan yang diberikan dengan sengaja
lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan. oleh orang atau badan yang mempunyai
Selanjutnya dalam pelaksanaannya, ketentuan kekuasaan yang dikenakan kepada seseorang
Pasal 60 RUU KUHP menyebutkan atau badan hukum (korporasi) yang melakukan
bahwa pidana penjara dan pidana tutupan tindak pidana menurut undang-undang.33
bagi terdakwa yang sudah berada dalam Mengenai pengertian pidana itu terdapat
tahanan, mulai berlaku pada saat putusan beberapa ahli yang mengemukakan. Sudarto
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, mengemukakan mengenai pengertian pidana
sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di yaitu penderitaan yang dirasakan tidak enak oleh
dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada yang dikenainya.34 Roeslan Saleh menyatakan
saat putusan mulai dilaksanakan. bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan
Pada dasarnya pidana tutupan antara yang ini berwujud suatu nestapa yang dengan
diatur dalam UU tentang Hukuman Tutupan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
dengan RUU KUHP adalah sama. Hal sedikit delik itu. Ted Honderich berpendapat bahwa
yang membedakan antara keduanya terletak pidana adalah suatu pengenaan pidana berupa
pada penyebab dijatuhkannya hukuman. kerugian atau penderitaan yang dijatuhkan
Dalam UU tentang Hukuman Tutupan, oleh penguasa kepada pelaku tindak pidana.
sanksi pidana tutupan dijatuhkan terhadap Selanjutnya Rupert Cross berpendapat bahwa
kejahatan karena maksud yang patut dihormati pidana merupakan pengenaan penderitaan
sedangkan di dalam RUU KUHP dijatuhkan oleh negara kepada seseorang yang telah
terhadap tindak pidana karena terdorong oleh dipidana karena suatu kejahatan.35
maksud yang patut dihormati. Namun, kriteria Mengenai definisi pidana, Hart sebagaimana
tindak pidana karena terdorong maksud yang dikutip oleh Herbert L. Packer mengemukakan
patut dihormati tidak dijelaskan secara rinci. adanya lima karakteristik pidana yaitu:36
Selanjutnya dapat dibedakan bahwa maksud 1. it must involve pain or other consequences
dari “yang patut dihormati” menurut UU normally considered unpleasant (pidana
tentang Hukuman Tutupan dapat meliputi harus merupakan suatu penderitaan
hal politik, agama, dan kesusilaan sedangkan (nestapa) atau akibat-akibat lain yang tidak
menurut RUU KUHP hanya mencakup menyenangkan);
bidang politik saja. 2. it must be for an offense against legal rules
Terkait dengan pidana tutupan pada (pidana harus diberikan pada orang yang
khususnya dan sanksi pidana pada umumnya telah melakukan pelanggaran terhadap
maka yang kita pikirkan adalah ikhtiar peraturan);
pemerintah untuk menjatuhkan atau 3. it must be imposed on an actual or supposed
mengenakan derita terhadap seseorang yang offender for his offense (pidana itu dijatuhkan
dianggap bersalah melanggar aturan perilaku atas suatu perbuatan atau ditujukan kepada
yang terhadap pelanggarannya diancamkan pelaku pelanggaran atas perbuatannya);
sanksi pidana.32 Sanksi pidana pada dasarnya 33 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di
Indonesia, Bandung: PT Rafika Aditama, 2013, hal. 7.
memiliki ciri-ciri yang pada hakikatnya 34 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,
bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas 2007, hal. 23.
anaknya sendiri; dan/atau hak menjalankan profesi 35 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni,
tertentu. 2008, hal. 22.
32 J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidama Meterial 3. 36 George P. Fletcher., Basic Concepts Of Criminal Law, New
Hukum Penitensier, Yogyakarta: Maharsa, 2017, hal. 4. York Oxford: Oxford University Press, 1998. hal. 21.

248 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
4. it must be intentionally administered by human "punishment" dan "treatment", melainkan ada
beings other than the offender (pidana harus tidaknya unsur pencelaan.39
merupakan kesengajaan administrasi oleh Dari beberapa pengertian mengenai
masyarakat terhadap pelanggar); pidana tersebut, dapat disimpulkan bahwa
5. it must be imposed and administered by an pidana adalah pengenaan penderitaan atau
authority constituted by a legal system against nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
which the offense is committed (pidana harus menyenangkan yang disertai adanya unsur
dijatuhkan oleh lembaga atau instansi pencelaan dan diberikan dengan sengaja oleh
yang berwenang). orang atau lembaga yang berwenang kepada
seseorang yang telah melakukan perbuatan
Selanjutnya Packer menambahkan unsur pidana menurut undang-undang. Selanjutnya
atau karakteristik ke-enam dari pidana, yaitu: jika dikaitkan ciri-ciri sanksi pidana tersebut
bahwa pidana harus dikenakan untuk tujuan dengan pidana tutupan maka tentunya
utama mencegah terjadinya pelanggaran tidak memenuhi ciri-ciri dari sanksi pidana,
terhadap undang-undang atau untuk meskipun ketentuan Pasal 65 ayat (1) RUU
mengenakan pembalasan kepada pelanggar, KUHP menyebutkan bahwa sanksi pidana
atau untuk tujuan kedua-duanya. Sebagaimana tutupan sebagai salah satu pidana hilang
dikatakan Packer: “It must be imposed for the kemerdekaan lebih berat daripada pidana
dominant purpose of preventing offenses against denda.
legal rules or of exacting retribution from offenders, Dalam konteks yang lebih luas, sistem
or both”. Menurut Packer, definisi tersebut hukum pidana merupakan satu kesatuan
untuk mengecualikan dari compensation, sistem yang bertujuan (purposive system), dan
regulation, dan treatment yang bisa jadi masuk pidana hanya merupakan alat/sarana untuk
dalam kategori yang ditetapkan, dan untuk mencapai tujuan.40 Terkait dengan hal tersebut,
membuat perbedaan antara hukuman dan Packer berpendapat bahwa yang membedakan
sanksi lain yang digunakan dalam sistem "punishment" dan "treatment" bukanlah pada
hukum.37 tingkatan ketidak-enakan atau kekejamannya
Pendapat serupa dengan Hart melainkan pada tujuannya dan seberapa jauh
dikemukakan Alf Ross yang menyatakan peranan dari perbuatan pelaku terhadap adanya
bahwa pidana adalah reaksi sosial yang terjadi pidana atau tindakan. Menurut Packer, tujuan
karena adanya pelanggaran terhadap suatu utama dari "treatment" adalah untuk memberikan
aturan hukum yang dijatuhkan oleh orang- keuntungan atau untuk memperbaiki orang
orang yang berkuasa sehubungan dengan yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada
tertib hukum yang dilanggar dan mengandung apa yang telah dilakukannya di masa lalu atau
penderitaan atau paling tidak konsekuensi- masa yang akan datang, melainkan pada tujuan
konsekuensi lain yang tidak menyenangkan, untuk memberikan pertolongan kepadanya.
serta menyatakan pencelaan terhadap si Dasar pembenaran dari "treatment" adalah
pelanggar.38 Ross menambahkan secara tegas pandangan bahwa orang yang bersangkutan
dan eksplisit mengenai keharusan adanya akan atau mungkin menjadi lebih baik dan
pernyataan pencelaan terhadap diri si pelaku. tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
Menurut Ross, ada atau tidak adanya unsur kesejahteraannya. Sedangkan "punishment"
penderitaan tidak menjadi pembeda antara
39 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan
37 Ibid., hal. 31. Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 5.
38 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 40 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik
2008, hal. 22. RUU tentang KUHP, draf tahun 2015, hal. 18

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 249


menurut Packer dasar pembenarannya adalah orang yang berbuat jahat. Menurut asumsi
pada satu atau dua tujuan yaitu: the prevention ini, semangat hukum pidana pada dasarnya
of undesired conduct, and retribution for perceived adalah kelanjutan dari semangat balas dendam.
wrongdoing (mencegah terjadinya perbuatan Justifikasi pemidanaan dan hukum pidana pada
yang tidak dikehendaki dan pembalasan kepada umumnya berhubungan erat dengan tidak bisa
pelanggar).41 dibenarkannya balas dendam kita terhadap
Selanjutnya mengenai pengertian mereka yang berbuat jahat terhadap kita. Orang
pemidanaan, oleh Sudarto diartikan sebagai cenderung membalas orang yang berbuat jahat,
penghukuman dalam perkara pidana yang seringkali dengan alasan yang baik tapi jarang
mempunyai makna sama dengan “sentence” dengan justifikasi yang memadai.45
atau “veroordeling” atau “pemberian/ Di satu sisi, pidana sebagai obat harus cukup
penjatuhan pidana oleh hakim”.42 Demikian kuat untuk mengontrol racun kepahitan dan
pula Barda Nawawi mengartikan pemidanaan kemarahan yang masuk ke pembuluh orang-
sebagai “pemberian atau penjatuhan pidana”.43 orang yang dijahati, atau mendorong balas
Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 RUU dendam tanpa terkendali. Pidana tidak bisa
KUHP (draf tahun 2015), istilah pemidanaan mengurangi unsur hukumannya, penderitaan
digunakan untuk ketentuan tentang tujuan atau perampasan yang bisa secara sengaja
pemidanaan dan pedoman pemidanaan. dikenakan pada si pelaku sebagai respon
Pidana ada untuk mencegah atau terhadap kesalahan mereka. Tanpa adanya
melumpuhkan calon pelaku kejahatan, atau perasaan bersalah yang mendalam secara
untuk memberi ganjaran setimpal pada pelaku tulus dari si pelaku, diberikannya penderitaan
kejahatan yang sesungguhnya.44 Hukum pidana atau perampasan bisa membawa para korban
juga dibuat untuk menghapuskan model-model pada apa yang oleh para psikoterapis disebut
balas dendam seperti: pertumpahan darah, “closure” (pengakhiran, penutupan), saat di
dendam turun temurun, perkelahian, hukuman mana dia dapat melupakan perbuatan jahat,
mati tanpa pengadilan, dan balas dendam. dan mengubur dorongan untuk membalas. Di
Justifikasi hukum pidana berhubungan erat sisi lain, obat hukum terhadap dorongan balas
dengan justifikasi balas dendam atau hutang dendam yang sama tidak dibolehkan menjadi
nyawa dibayar nyawa (tit for tat) terhadap lebih buruk daripada pemberian hukuman yang
41 Sebagaimana dikemukakan Packer: ”What is the dimaksudkan untuk mengontrol. Hukum harus
difference between treatment and punishment? I suggest that menghentikan pelembagaan berbagai bentuk
it resides in two related considerations: (1) the difference in
justifying purposes; (2) the larger role of the offending conduct
kekejaman, kekasaran, kehilangan kendali
in the case of punishment. The primary purpose of treatment diri, ketidaksabaran, keinginan membalas
is to benefit the person being treated. The focus is not on his dendam, merasa paling berhak, fanatisme,
conduct, past or future, but on helping him... The justification
for treatment rests on the view that the person subjected to it is ketidakmenentuan, tanpa toleransi, prasangka,
or probably will be ”better off” as a consequence... Treatment dan kebersalahan dimana nafsu membalas
is not ostensibly for the purpose of doing anything about the
conduct; it is for the purpose of increasing the offender’s dendam cenderung muncul bersamanya.46
welfare”. Herbert L. Packer, The Limit of The Criminal Agar pemidanaan dapat diterima secara
Sanction, California: Stanford University Press, 1968,
hal. 25. moral sebagai alternatif perlindungan, negara
42 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: 45 John Gardner, Crime: In Proportion and Prespective,
Alumni, 2010, hal. 72. dalam Ashworth, Andrew and Martin Wasik (Ed),
43 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Fundamentals of Sentencing Theory, USA: Oxford
Indonesia, Semarang: Pustaka Magister, 2011, hal. 1. University Press, 2004, hal. 31.
44 John Gardner, Crime: in Proportion and in Perspective, 46 John Gardner, Crime: In Proportion and Prespective,
dalam Andrew Ashworth and Martin Wasik (Ed), dalam Ashworth, Andrew and Martin Wasik (Ed),
Fundamentals of Sentencing Theory, USA: Oxford Fundamentals of Sentencing Theory, USA: Oxford
University Press, 2004, hal. 31. University Press, 2004, hal. 33.

250 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
harus memastikan dirinya bahwa tidak saja sinkronisasi kultural mengandung makna untuk
langkah pemidanaan mengendalikan balas selalu serempak dalam menghayati pandangan-
dendam sekaligus menghentikan pelembagaan pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang
ekses atau akibat buruk dari pembalas secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
dendam, tetapi juga bahwa pemidanaan itu peradilan pidana. Pemahaman atas tujuan
menegaskan (mengafirmasi), dan bukan justru pemidanaan melalui tiga pilar administrasi
mengingkari, status orang yang dipidana peradilan pidana tersebut di atas (sustansial,
sebagai manusia yang berpikir dan berperasaan. struktural, dan kultural) merupakan prasyarat
Dengan demikian, hal-hal tersebut akan bisa yang harus dipenuhi apabila tidak ingin terjadi
memastikan bahwa pengadilan dan hukuman bias antara tujuan pemidanaan dengan tujuan
untuk pelanggaran pidana menguatkan atau dari sistem peradilan pidana.48
menegaskan kewajiban dan tanggungjawab Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam
moral si pelaku, dan dalam prosesnya KUHP, dalam RUU KUHP telah dirumuskan
mengafirmasi kemanusiaan pelaku. Karena mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan.49
itu, Gardner menganggap afirmasi (penegasan) Dalam Naskah Akademik RUU KUHP50
ini sebagai sine qua non legitimasi hukum disebutkan bahwa perumusan tentang tujuan
pidana.47 dan pedoman pemidanaan, dilakukan dengan
Mengacu pada tujuan pemidanaan dasar pemikiran:
tersebut maka pidana tutupan sebagai salah 1. sistem hukum pidana merupakan satu
satu alat/sarana untuk mencapai tujuan oleh kesatuan sistem yang bertujuan (purposive
karena itu harus dapat dikaji apakah dengan system), dan pidana hanya merupakan
sanksi pidana tersebut dapat mencapai alat/sarana untuk mencapai tujuan;
tujuan pemidanaan. Dasar dirumuskannya 2. tujuan pidana merupakan bagian integral
tujuan pemidanaan tersebut bertolak dari (sub-sistem) dari keseluruhan sistem
pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya pemidanaan (sistem hukum pidana) di
hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-
pemidanaan. sistem tindak pidana, pertanggungjawaban
Menurut Muladi tujuan pemidanaan pidana (kesalahan), dan pidana;
dijadikan patokan dalam rangka menunjang 3. perumusan tujuan dan pedoman
bekerjanya sistem peradilan pidana pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi
dimaksudkan untuk menciptakan sinkronisasi pengendali/kontrol/pengarah sekaligus
yang bersifat fisik, meliputi sinkronisasi memberikan dasar/landasan filosofis,
struktural (structural synchronization), sinkronisasi rasionalitas, motivasi, dan justifikasi
substansial (substansial synchronization) dan pemidanaan;
dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural 4. dilihat secara fungsional/operasional,
synchronization). Dalam hal sinkronisasi kultural, sistem pemidanaan merupakan suatu
keserempakan dan keselarasan dituntut dalam rangkaian proses melalui tahap formulasi
mekanisme administrasi peradilan pidana (the 48 Marcus Priyo Gunarto, “Sikap Memidana yang Berorientasi
pada Tujuan Pemidanaan”, MIMBAR HUKUM, Volume
administration of justice) dalam rangka hubungan 21, Nomor 1, Februari 2009, hal. 93–108.
antar lembaga penegak hukum. Sedangkan 49 RUU KUHP hasil pembahasan DPR dan Pemerintah,
draf per tanggal 18 September 2019.
menyangkut sinkronisasi subtansial, maka 50 Sejak Naskah Akademik dan RUU KUHP disampaikan
keserempakan itu mengandung makna baik oleh Pemerintah ke DPR pada tahun 2015, tidak
pernah ada pembahasan terhadap Naskah Akademik
vertikal maupun horizontal dalam kaitannya RUU KUHP. Oleh karena itu, Naskah Akademik
dengan hukum positif yang berlaku. Sementara yang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah Naskah
47 Ibid., hal. 35. Akademik Draf tahun 2015.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 251


(kebijakan legislatif), tahap aplikasi pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
(kebijakan judisial/judikatif), dan tahap dilakukannya.52 Terkait pertanggungjawaban
eksekusi (kebijakan administratif/ pidana Roeslan Saleh menyatakan bahwa:
eksekutif); oleh karena itu agar ada “…masalah pertanggungjawaban pidana
keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga memiliki hubungan yang erat dengan masalah
tahap itu sebagai satu kesatuan sistem keadilan, sehingga pembicaraan tentang
pemidanaan, diperlukan perumusan pertanggungjawaban pidana akan memberikan
tujuan dan pedoman pemidanaan.51 kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban
pidana sebagai soal hukum pidana terjalin
Dalam Pasal 51 ayat (1) RUU KUHP dengan keadilan sebagai soal filsafat.”
dirumuskan bahwa pemidanaan bertujuan Selanjutnya Roeslan Saleh mengutip pendapat
untuk: Alf Ross yang menyatakan bahwa ”keadilan”
1. mencegah dilakukannya tindak pidana adalah “kesamaan”. Syarat kesamaan hanya
dengan menegakkan norma hukum demi dapat berarti bahwa tidak seorangpun akan
pelindungan dan pengayoman masyarakat; diperlakukan secara sewenang-wenang atau
2. memasyarakatkan terpidana dengan tanpa suatu dasar berbeda dari orang-orang
mengadakan pembinaan dan pembimbingan lain. Dengan demikian arti kesamaan harus
agar menjadi orang yang baik dan berguna; ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran yang
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan juga digunakan untuk memutuskan apakah di
akibat tindak pidana, memulihkan dalam suatu keadaan tertentu ada kesamaan
keseimbangan, serta mendatangkan rasa atau tidak ada kesamaan. Ukuran-ukuran
aman dan damai dalam masyarakat; dan ini merupakan norma-norma kesusilaan dan
4. menumbuhkan rasa penyesalan dan norma-norma yuridis yang berlaku menurut
membebaskan rasa bersalah pada terpidana. waktu dan tempat.53 Mengenai waktu dan tempat
ini dapat kita kaitkan pula dengan penjatuhan
Apabila mengacu pada tujuan pemidanaan pidana tutupan kepada para pejuang dan tokoh
maka pidana tutupan justru menghilangkan politik Indonesia yang terlibat dalam peristiwa
beberapa tujuan pemidanaan yang hendak 3 Juli 1946 dan menjadi pertanyaan mengapa
dicapai. Tujuan mencegah dilakukannya tindak tidak pernah lagi diterapkan oleh hakim.
pidana dengan menegakkan norma hukum Selain itu, meskipun pemidanaan tidak
demi pengayoman masyarakat mungkin dapat dimaksudkan untuk merendahkan martabat
tercapai melalui penjatuhan pidana tutupan. manusia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 52
Namun tujuan memasyarakatkan terpidana RUU KUHP namun pidana tutupan berpotensi
dengan mengadakan pembinaan sehingga menimbulkan diskriminasi jika tidak ada ukuran
menjadi orang yang baik dan berguna tidak bagi hakim untuk menjatuhkannya. Dengan
akan mungkin tercapai apabila hakim demikian tujuan lainnya yaitu menyelesaikan
menjatuhkan pidana tutupan. konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
Mempertanggungjawabkan seseorang memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
dalam hukum pidana bukan hanya berarti rasa damai dalam masyarakat juga dimungkinkan
sah menjatuhkan pidana terhadap orang tidak akan tercapai.
itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini 52 Septa Candra “Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep
bahwa memang pada tempatnya meminta Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana
Nasional Yang Akan Datang”, Jurnal Cita Hukum,
51 Badan Pembangunan Hukum Nasional, Naskah Volume I Nomor 1 Juni 2013, hal. 39-56.
Akademik RUU tentang KUHP draf tahun 2015, hal. 53 Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungan
18. Jawab Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 10-13.

252 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
Dalam mengidentifikasikan tujuan pidana ini dirumuskan dalam aturan umum
pemidanaan, RUU KUHP bertolak dari dalam RUU KUHP, yaitu:56
keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu 1. menegaskan bahwa tidak seorang pun
“pelindungan masyarakat” termasuk korban yang melakukan tindak pidana dipidana
kejahatan dan “pelindungan/pembinaan tanpa kesalahan.
individu pelaku tindak pidana”. Bertolak dari 2. dalam ketentuan alasan penghapus pidana,
keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka khususnya alasan 
pemaaf, dimasukkan
syarat dan hakikat pemidanaan juga bertolak dari masalah “error” (kesalahan), daya paksa,
pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, pembelaan terpaksa yang melampaui
antara lain dalam bentuk: keseimbangan batas, tidak mampu bertanggung jawab
antara kepentingan umum/masyarakat dan dan masalah anak di bawah 12 tahun.
ke-pentingan individu; keseimbangan antara 3. dalam pedoman pemidanaan, hakim
perlindungan/ kepentingan pelaku (ide indi- diwajibkan mempertimbangkan beberapa
vidualisasi pidana) dan korban; keseimbangan faktor antara lain: motif, sikap batin dan
antara faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) kesalahan si pembuat, cara si pembuat
dan “subjektif” (orang/ batiniah/sikap batin)/ melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan
ide “daad-dader strafrecht”; keseimbangan antara keadaan sosial ekonominya serta bagaimana
kriteria “formal” dan “materiel”; keseimbangan pengaruh pidana terhadap masa depan
antara “kepastian hukum”, “kelenturan/ pembuat tindak pidana, pengaruh tindak
elastisitas/fleksibilitas”, dan “keadilan”; dan pidana terhadap korban maupun keluarga
keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan korban, pemaafan dari korban dan/atau
nilai-nilai global/ internasional/universal.54 keluarganya, dan/atau pandangan masyarakat
Terkait dengan keseimbangan terhadap tindak pidana yang dilakukan.
monodualistik maka oleh karena itu syarat 4. dalam pedoman pemberian maaf/
pemidanaan juga bertolak dari dua pilar pengampunan, hakim, mempertimbangkan
yang sangat fundamental di dalam hukum faktor keadaan pribadi si pembuat dan
pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan pertimbangan kemanusiaan.
asas kemasyarakatan) dan “asas kesalahan/ 5. dalam ketentuan mengenai peringanan
asas culpabilitas” (yang merupakan “asas dan pemberatan pidana, dipertimbangkan
kemanusiaan”). Dengan perkataan lain, pokok beberapa faktor, antara lain: apakah ada
pemikiran mengenai pemidanaan berhubungan kesukarelaan terdakwa menyerahkan
erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak diri kepada pihak yang berwajib setelah
pidana dan pertanggungjawaban pidana.55 melakukan tindak pidana; apakah ada
Dilihat dari pokok pemikiran yang kesukarelaan terdakwa memberi ganti rugi
menitikberatkan atau berorientasi pada atau memperbaiki kerusakan yang timbul;
faktor “orang” (pelaku tindak pidana), apakah ada kegoncangan jiwa yang sangat
maka ide individualisasi pidana ini juga hebat; apakah si pelaku adalah wanita
melatarbelakangi aturan umum pemidanaan. hamil; apakah ada kekurangmampuan
Ide atau pokok pemikiran individualisasi bertanggung jawab; apakah si pelaku
54 Barda Nawawi Arief, Ide Keseimbangan Dalam Konsep adalah pegawai negeri yang melanggar
KUHP, dalam Ira Alia Maerani, “Implementasi Ide
Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum Pidana kewajiban jabatannya/menyalahgunakan
Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal kekuasaannya; apakah ia menyalahgunakan
Pembaharuan Hukum, Volume II Nomor 2 Mei - Agustus
2015, hal. 329-338.
keahlian/profesinya; apakah merupakan
55 Badan Pembangunan Hukum Nasional, Naskah pengulangan tindak pidana.
Akademik RUU tentang KUHP draf tahun 2015, hal. 36. 56 Ibid., hal. 37.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 253


Sisi lain dari ide individualisasi pidana juga memilih dan menentukan dengan pertimbangan
perlu adanya
ketentuan mengenai modifikasi/ dan keyakinannya untuk menjatuhkan sanksi
perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali pidana tutupan karena terdakwa melakukan
putusan pemidanaan yang telah berkekuatan tindak pidana dengan maksud yang patut
hukum tetap yang didasarkan pertimbangan dihormati. Dalam hal ini, tidak ada ketentuan
karena adanya perubahan/perkembangan/ dalam RUU KUHP yang menyebutkan tindak
perbaikan pada diri si terpidana itu sendiri. Jadi pidana apa yang dapat diancam dengan pidana
pengertian individualisasi pidana tidak hanya tutupan. Dengan demikian, putusan penjatuhan
berarti bahwa pidana yang akan dijatuhkan pidana tutupan berdasarkan pertimbangan
harus disesuaikan/diorientasikan pada subyektif dari hakim. Hal ini tentunya dapat
pertimbangan yang bersifat individual, tetapi menimbulkan kekhawatiran karena tidak ada
juga pidana yang telah dijatuhkan harus selalu kepastian hukum. Dalam hal ini, untuk satu
dapat dimodifikasi/diubah/disesuaikan tindak pidana yang sama, seorang hakim akan
dengan perubahan dan perkembangan menjatuhkan sanksi pidana tutupan sedangkan
individu (si terpidana) yang bersangkutan.57 hakim lainnya akan menjatuhkan sanksi pidana
Ketentuan mengenai hal tersebut di atas, penjara.
paling tidak menyatakan bahwa putusan pidana Dalam kenyataannya, sejak penjatuhan
dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan pidana tutupan berdasarkan peristiwa 3
hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau Juli 1946, tidak pernah ada lagi hakim yang
penyesuaian dengan mengingat perkembangan menjatuhkan pidana tutupan. Oleh karena
narapidana dan tujuan pemidanaan. itu, pengaturan kembali pidana ini dalam
Perubahan atau penyesuaian tersebut RUU KUHP seharusnya disertai dengan
dilakukan atas permohonan terpidana, orang alasan yang kuat bahwa pidana ini masih
tua, wali atau penasehat hukumnya, atau atas dibutuhkan dan sebagai sarana yang tepat
permintaan jaksa penutut umum atau Hakim untuk mencapai tujuan pemidanaan. Hal ini
Pengawas, dan tidak boleh lebih berat dari juga terkait dengan apa yang dikemukakan
putusan semula dan harus dengan persetujuan oleh Miethe dan Hong Lu mengenai fungsi
narapidana. Perubahan atau penyesuaian pemidanaan yang sebagian besar tergantung
dapat berupa pencabutan atau penghentian pada kondisi sosial, ekonomi dan politik di
sisa pidana atau tindakan; atau penggantian suatu masyarakat.
jenis pidana atau tindakan lainnya. Apabila Menurut Miethe dan Hong Lu, dalam
permohonan perubahan atau penyesuaian masyarakat yang homogen yang dicirikan
yang diajukan tersebut ditolak oleh pengadilan dengan konsensus nilai, sanksi pidana
maka permohonan baru dapat diajukan digunakan untuk menjaga ketertiban sosial
lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan. dengan memelihara keadaan status quo dan
Hanya saja apabila terdapat keadaan khusus pengaturan dan pengawasan hubungan sosial.
yang menunjukkan permohonan tersebut Sebaliknya, sanksi pidana dalam masyarakat
patut untuk dipertimbangkan sebelum batas yang majemuk sering dipandang sebagai sarana
waktu 1 (satu) tahun maka hal tersebut perlu menjaga ketertiban dan alat perlindungan
dipertimbangkan. dari kepentingan-kepentingan tertentu.
Mengacu pada Naskah Akademik RUU Selanjutnya berdasarkan perbedaan waktu dan
KUHP maka pidana tutupan pada dasarnya tempat, sanksi pidana telah dirancang untuk
bertolak dari ide individualisasi pidana. Dalam berbagai tujuan. Tujuan ini termasuk untuk
hal ini hakim diberikan keleluasaan untuk memperkuat nilai-nilai kolektif, perlindungan
57 Ibid., hal. 38.

254 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
komunitas melalui pembatasan ruang gerak tutupan dinilai memiliki fungsi pencegahan
orang-orang terhukum, rehabilitasi para umum bagi calon pelaku untuk tidak melakukan
terhukum, pencegahan para residivis dan perbuatan yang sama. Namun apabila mengacu
dimasukkan sebagai contoh bagi yang lainnya pada tujuan pemidanaan lainnya justru tidak
untuk tidak berbuat kejahatan. Sebagian sanksi konsisten antara tujuan yang hendak dicapai
pidana didisain untuk tujuan pemulihan. dengan sarana yang digunakan. Beberapa
Sebagai tambahan, sanksi dilaksanakan di tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan
tempat-tempat umum sering dimaksudkan tidak akan tercapai dengan menggunakan
sebagai fungsi simbolis yang penting melalui sarana pidana tutupan. Penerapan pidana
baik dramatisasi kejahatan dari perbuatan tutupan tidak akan dapat memasyarakatkan
tertentu atau sebagai gambaran keadilan dalam terpidana dengan mengadakan pembinaan
proses hukum. Sedangkan dari perspektif sehingga menjadi orang yang baik dan berguna
konflik hukum dan masyarakat, fungsi utama tidak akan mungkin tercapai. Pidana tutupan
sanksi hukum adalah untuk memelihara dan juga berpotensi menimbulkan diskriminasi
mencegah kepentingan-kepentingan penguasa. jika tidak ada ukuran bagi hakim untuk
Hal ini dilakukan melalui berbagai cara melalui menjatuhkannya sehingga tujuan lainnya yaitu
pengembangan dan penerapan hukum pidana menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
dan perdata. Sebagai contoh, sanksi pidana tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
dirancang untuk menghukum tindakan- mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
tindakan serakah dari yang tidak mempunyai juga dimungkinkan tidak akan tercapai.
kekuasaan dan mengesahkan kegiatan yang
sama oleh penguasa. Lebih umum lagi, kontrol B. Saran
sosial adalah tujuan utama dari hukum bagi Meskipun pidana tutupan pada dasarnya
penganut teori konflik, baik sebagai mekanisme bertolak dari ide individualisasi pidana
untuk mendapatkan kontrol atas barang-barang yang memberikan keleluasaan bagi hakim
dan jasa-jasa dan sebagai sarana dari pengawasan untuk memilih dan menentukan dengan
perbedaan pendapat.58 pertimbangan dan keyakinannya untuk
Terkait dengan apa yang dikemukakan menjatuhkan sanksi pidana tutupan, hal ini
Miethe dan Hong Lu tersebut maka dapat dapat menimbulkan kekhawatiran karena
dipertanyakan apakah peristiwa 3 Juli 1946 tidak ada kepastian hukum. Oleh karena itu,
yang melatarbelakangi diaturnya pidana mengenai tindak pidana yang terdorong oleh
tutupan juga dapat dimungkinkan terjadi maksud yang patut dihormati seharusnya oleh
kembali. Sedangkan RUU KUHP telah pembentuk undang-undang sudah dirumuskan
mengatur beberapa tindak pidana politik yang dengan jelas kriterianya sehingga hakim dapat
dikelompokan dalam tindak pidana keamanan menjatuhkan sanksi pidana tutupan. Dengan
negara beserta sanksi pidananya. kata lain hakim sudah memiliki acuan kriteria
untuk menjatuhkan sanksi pidana tutupan
IV. Penutup tersebut.
A. Simpulan
Dari perspektif pemidanaan terutama
mengacu pada tujuan pemidanaan yang
dirumuskan dalam RUU KUHP maka pidana
58 Terance D. Miethe & Hong Lu, Punishment–A
Comparative Historical Perspective, New York USA:
Cambridge University Press, 2005, hal. 4.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 255


Daftar Pustaka Tutupan”. Masalah-Masalah Hukum. Jilid
47 No. 2. April 2018.
Jurnal
Septa, Candra. “Pembaharuan Hukum Buku
Pidana; Konsep Pertanggungjawaban
Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional Abidin. A.Z. dan Andi Hamzah. Bentuk-Bentuk
Yang Akan Datang”. Jurnal Cita Hukum, Khusus Perwujudan Delik dan Hukum
Volume I Nomor 1 Juni 2013. Penitensier. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya.
2002.
Sayyaf. Abdurrabbi Rasul. Analisis Terhadap
Pidana Tutupan Dan Perkembangannya Arief. Barda Nawawi. Perkembangan Sistem
Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Pemidanaan di Indonesia. Semarang:
Indonesia. Skripsi. Fakultas Syari’ah dan Pustaka Magister. 2011.
Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ashworth, Andrew. and Martin Wasik (Ed).
Kalijaga Yogyakarta. 2016. Fundamentals of Sentencing Theory. USA:
Kansil. Fernando I. “Sanksi Pidana Dalam Oxford University Press, 2004.
Sistem Pemidanaan Menurut KUHP dan Hamzah. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana.
Di Luar KUHP”. Lex Crimen, Volume III. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
Nomor 3. Mei-Juli. 2014. Lamintang. P.A.F. dan Theo Lamintang.
Gunarto, Marcus Priyo. “Sikap Memidana Yang Hukum Penintesier di Indonesia. Jakarta:
Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”. Sinar Grafika. 2010.
MIMBAR HUKUM. Volume 21. Nomor Miethe, Terance D. & Hong Lu. Punishment–A
1. Februari 2009. Comparative Historical Perspective. New
Kholiq. Abdul. Barda Nawawi Arie, Eko York USA: Cambridge University Press.
Soponyono. “Pidana Penjara Terbatas: 2005.
Sebuah Gagasan Dan Reorientasi Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung:
Terhadap Kebijakan Formulasi Jenis Alumni. 2008.
Sanksi Hukum Pidana Di Indonesia”.
Jurnal Law Reform. Program Studi Magister Packer. Herbert L.. The Limit of The Criminal
Ilmu Hukum Volume 11. Nomor 1. Sanction. California: Stanford University
Tahun 2015. Press. 1968.
Maerani. Ira Alia. “Implementasi Ide Priyatno. Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana
Keseimbangan Dalam Pembangunan Penjara di Indonesia. Bandung: PT Rafika
Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai- Aditama. 2013.
Nilai Pancasila”. Jurnal Pembaharuan Hukum. Prodjodikoro. Wirjono. Asas-Asas Hukum
Volume II Nomor 2 Mei - Agustus 2015. Pidana Di Indonesia. Bandung: Eresco.
Nugroho. F.H Edy. “Pidana Tutupan Dalam 1986.
Hukum Pidana Indonesia”. Gloria Juris. Sakidjo. Aruan. Hukum Pidana: Dasar Aturan
Volume 9. Nomor 1. Jan. 2009. Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta:
R., Mukhlis. “Pemahaman Masyarakat Riau Dan Ghalia Indonesia. 1990.
Landasan Filosofis Peraturan Perundang- Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana.
Undangan Tentang Pelaksanaan Pidana Bandung: Alumni. 2010.

256 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
Utrecht. E. Rangkaian Sari Kuliah. Hukum
Pidana II. Jakarta: 1962.
Zara. Yuanda. Peristiwa 3 Juli 1946 (Menguak
Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia).
Media Pressindo. Yogyakarta. 2009.

NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 257

Anda mungkin juga menyukai