Anda di halaman 1dari 7

RESUME MAKALAH

Mata Kuliah :
Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :
Nama : Ivanda Imamura Hermansyah
NIM :

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2024
Judul Makalah : Hukum Penitensier Pidana Tutupan

Pendahuluan
A. Latar Belakang:
Pada tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Juli, muncul sebuah terminologi baru dalam hukum
pidana di Indonesia, yang dikenal sebagai pidana tutupan. Terminologi ini diperkenalkan
sebagai respons terhadap penangkapan dan penahanan terhadap tokoh-tokoh politik pada
masa itu, seperti Muhammad Yamin dan Mayjen Sudarsono, yang menuntut penggulingan
Kabinet Sjahrir oleh Presiden Soekarno. Namun, substansi dan implementasi dari pidana
tutupan ini masih belum jelas, termasuk siapa yang termasuk dalam kategori narapidana yang
patut dihormati. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba menjelaskan konsep pidana
tutupan serta memperkenalkan pidana bersyarat, yang sering disebut sebagai putusan
percobaan. Meskipun pidana bersyarat bukan termasuk jenis pidana pokok maupun
tambahan, namun merupakan suatu model penjatuhan pidana dimana pelaksanaannya
tergantung pada pemenuhan syarat-syarat tertentu.
B. Rumusan Masalah
Menjelaskan pengertian dari pidana tutupan dan pidana bersyarat serta juga perbedaan
dari kedua jenis pidana tersebut apakah memiliki banyak perbedaan atau banyak persamaan ?
C. Tujuan Penulisan:
1. Untuk bisa memahami pengertian dari pidana tutupan dan pidana bersyarat.
2. Agar kita dapat membedakan manakah yang tergolong pidana tutupan dan pidana
bersyarat
3. Untuk dapat mengetahui berbagai macam pendapat ahli dalam menguraikan pengertian
pidana tutupan dan pidana bersyarat

Pembahasan
1. Pengertian Pidana Tutupan
Pidana tutupan adalah bentuk hukuman yang diberlakukan terhadap politisi yang
melakukan kejahatan yang berasal dari ideologi yang mereka anut. Meskipun dalam
praktiknya tidak sering diterapkan, pidana tutupan merupakan jenis hukuman baru yang
diatur oleh Undang-Undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan. Undang-undang
ini memberikan hak kepada hakim untuk menggantikan hukuman penjara dengan pidana
tutupan jika kejahatan yang dilakukan didorong oleh maksud yang patut dihormati. Hal ini
dimaksudkan khusus untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik, membedakannya
dengan kejahatan biasa. Meskipun terdapat hubungan antara undang-undang ini dengan
politik, persyaratan dan tata cara pelaksanaannya masih harus diatur dengan lebih lanjut oleh
pemerintah. Pidana tutupan termasuk sebagai hukuman paling akhir di bawah pidana denda
menurut Pasal 10 Undang-undang tersebut. Dasar hukum pidana tutupan ini tercantum dalam
Undang-undang No. 20 tahun 1946 serta Pasal 10 KUHP.

2. Dasar Hukum Pidana Tutupan


Dasar hukum pidana tutupan terutama tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
1946, yang secara tegas dijelaskan dalam Berita RI No II. Undang-undang ini memberikan
landasan hukum yang konkret, misalnya, Pasal 1 menjelaskan bahwa hukuman tutupan
merupakan alternatif bagi hukuman penjara, terutama dalam kasus di mana pelaku kejahatan
tersebut terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Selain itu, Pasal 5 memberikan arahan
tentang bagaimana pelaksanaan hukuman tutupan harus dilakukan, termasuk tempat
pelaksanaannya, prosedur, dan segala hal yang terkait.

Selain Undang-Undang No. 20 Tahun 1946, dalam terjemahan Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 10
menempatkan pidana tutupan sebagai salah satu jenis hukuman pokok di bawah pidana
denda. Ini mengindikasikan bahwa pidana tutupan dianggap sebagai pilihan terakhir dalam
rangkaian hukuman, yang mengacu pada Undang-Undang No. 20 tentang pidana tutupan.
Penyebutan ini dalam KUHP menegaskan pengakuan resmi atas keberadaan pidana tutupan
dalam sistem hukum Indonesia. Dengan demikian, kedua aspek hukum ini memberikan
kerangka yang jelas bagi penerapan dan pemahaman tentang pidana tutupan dalam konteks
hukum pidana Indonesia.

3. Pengertian Pidana Bersyarat Menurut Para Ahli


Pidana bersyarat, juga dikenal sebagai putusan percobaan atau voorwaardelijke
veroordeling, adalah sistem penjatuhan hukuman di mana eksekusi hukuman ditangguhkan
selama terpidana mematuhi syarat-syarat tertentu. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan
dalam Pasal 10 KUHP, konsep ini tetap terkait erat dengan batasan waktu satu tahun penjara
atau kurungan.

Menurut E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, istilah "pidana bersyarat" adalah istilah umum
yang sebenarnya mengacu pada hukuman pidana yang bergantung pada syarat-syarat
tertentu, bukan pada pemidanaannya yang bersyarat. Artinya, hukuman yang dijatuhkan tidak
akan dilaksanakan selama terpidana mematuhi syarat-syarat yang ditetapkan, tetapi dapat
dilaksanakan jika syarat-syarat tersebut dilanggar.

Andi Hamzah dan Siti Rahayu mendefinisikan pemidanaan bersyarat sebagai pemidanaan
dengan perjanjian, di mana hukuman tidak langsung dieksekusi, tetapi akan dilaksanakan jika
terpidana melanggar syarat-syarat dalam periode percobaan. Ini berarti keputusan hukuman
tetap ada, tetapi pelaksanaannya ditunda.

Menurut Muladi, pidana bersyarat adalah bentuk hukuman di mana terpidana tidak perlu
menjalani hukuman selama masa percobaan, kecuali jika melanggar syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh pengadilan. Meskipun terpidana bebas secara fisik, statusnya tetap sebagai
terpidana, dan hukuman akan dilaksanakan jika syarat-syarat dilanggar.

Dengan demikian, pidana bersyarat bukan hanya alat untuk menunda pelaksanaan
hukuman, tetapi juga merupakan bentuk penerapan hukuman yang memperhatikan
pemulihan dan pemasyarakatan terpidana dalam masyarakat.

4. Dasar Hukum Pidana Bersyarat


Pada tahun 1926, Indonesia mengadopsi konsep pidana bersyarat melalui STB No. 251
JO 486. Namun, implementasi resmi dimulai sejak 1 Januari 1927 ketika konsep ini
disertakan dalam KUHP, terutama melalui Pasal 14a hingga 14f. Pasal 14a memberikan
wewenang kepada hakim untuk memerintahkan bahwa hukuman penjara tidak dilaksanakan
jika hukuman tersebut tidak melebihi satu tahun, dengan beberapa syarat tertentu. Misalnya,
hakim dapat memerintahkan bahwa hukuman penjara tidak dijalankan selama terpidana
memenuhi syarat percobaan yang ditetapkan oleh hakim, atau jika terpidana melanggar
perjanjian khusus yang dibuat selama masa percobaan.

Pasal 14b mengatur tentang masa percobaan yang diberikan kepada terpidana, dengan
batas maksimum tiga tahun untuk kejahatan tertentu. Masa percobaan dimulai setelah
putusan hakim menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Namun, masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan
secara sah.

Pasal 14c memberikan hakim wewenang untuk menetapkan syarat khusus selain syarat
umum, seperti penggantian kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana. Hakim juga dapat
menetapkan syarat khusus terkait perilaku terpidana selama masa percobaan.

Pasal 14d menetapkan kewajiban bagi pejabat yang berwenang untuk mengawasi
pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan oleh hakim, dan hakim dapat memerintahkan
bantuan kepada terpidana untuk memenuhi syarat-syarat khusus.

Pasal 14e memberikan hakim kewenangan untuk mengubah syarat-syarat khusus selama
masa percobaan atau memperpanjang masa percobaan, atas usul pejabat yang berwenang
atau permintaan terpidana.

Terakhir, Pasal 14f mengatur konsekuensi jika terpidana melanggar syarat-syarat yang
ditetapkan oleh hakim, seperti memerintahkan pelaksanaan pidana atau memberikan
peringatan kepada terpidana. Pasal-pasal ini menggarisbawahi pentingnya penegakan hukum
yang hati-hati dan memastikan bahwa pidana bersyarat digunakan untuk memberikan
kesempatan pemulihan tanpa perlu penjara, dengan fokus pada perbaikan daripada
pembalasan.

5. Syarat Pidana Bersyarat


Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim terhadap terdakwa mengikat dalam dua jenis
syarat, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum, yang bersifat imperative,
menegaskan bahwa terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Hal ini diatur dalam Pasal 14c ayat (1) KUHP. Ini menunjukkan sifat mendidik dalam
keputusan pidana bersyarat, di mana tujuannya adalah untuk mengubah perilaku terpidana
dan mencegahnya melakukan tindakan kriminal di masa depan, bukan semata-mata untuk
tujuan pembalasan. Di sisi lain, syarat khusus ditentukan berdasarkan kebutuhan kasus.
Misalnya, hakim dapat menetapkan syarat khusus berupa penggantian kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Selain itu, dalam
kasus-kasus tertentu seperti pelanggaran mabuk di tempat umum atau pengemisan, hakim
memiliki kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat khusus yang berkaitan dengan
perilaku terpidana. Namun, penting untuk dicatat bahwa syarat-syarat khusus tersebut tidak
boleh melanggar atau mengurangi hak-hak terpidana dalam hal berpolitik atau menjalankan
agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 14a ayat (5) KUHP. Dengan demikian, penjatuhan
pidana bersyarat mempertimbangkan dua aspek penting: mengubah perilaku terpidana dan
melindungi hak-hak terpidana dalam konteks sosial dan politik.

Simpulan :
Hukuman tutupan dan pemidanaan bersyarat adalah inovasi dalam sistem hukum yang
bertujuan untuk mengatasi kejahatan politik dan memberikan kesempatan bagi pemulihan kepada
pelaku kejahatan. Hukuman tutupan, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun
1946, dirancang khusus untuk menangani kejahatan-kejahatan politik dengan memberikan
alternatif pidana yang berbeda dengan kejahatan biasa. Sementara itu, pemidanaan bersyarat
memberikan kesempatan kepada terpidana untuk tidak menjalani pidana asalkan mematuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh hakim. Meskipun keputusan pidana tetap ada, pelaksanaannya
ditangguhkan hingga terpidana melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

P.A.F. Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, sinar grafika, jakarta, hal. 136.
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung. Hal. 112
Ibid. Hal 113
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Hal. 135
Muladi, 2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. Hal. 195-197
Ibid, hal. 197.
Op cit, Marlina.hal. 120
Gunadi ismu, effendi jonaedi, 2011, cepat dan mudah memahami hokum pidana (jili 1), Jakarta:
Prestasi Pustaka
Saleh roeslan, prof, 1981, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru
Moeljatno, prof, 2011, Kitab Undang-undang hukum pidana, Jakarta : Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai