Anda di halaman 1dari 28

STELSEL PIDANA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah


Hukum Penitensir

Disusun oleh:

Kelompok : VI (EMPAT)
Nama Anggota :

1. DINNA FIKRIANA 1510112055


2. RAHMI YULIA FITRI 1510111106
3. PUTRI MELATI 1510112182
4. SOLIHAN DRACEM 1510111153
5. SYIVA RAHMAH 1510112196
6. NALDO ALNASRUL 1510111054

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
GANJIL 2016-2017
PADANG
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Stelsel sanksi atau pidana merupakan bagian dari hukum panitensier yang meliputi jenis
pidana, cara dan dimana menjalankannya, termasuk pula mengenai pengurangan,
penambahan dan pengecualian penjatuhan pidana Stelsel Pidana Indonesia pada dasarnya
diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari Pasal 10 sampai Pasal 43, yang kemudian
juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan.
Peraturan tersebut sebagaimana yang dikatakan Adami Chazawi adalah:

A. Reglement Penjara (Stb. 1917 No. 708) yang diubah dengan LN1948 No. 77).
B. Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Stb. 1917 No. 749).
C. Reglement Pendidikan Paksaan (Stb. 1917 No. 741).
D. UU No. 20 Tahun 1949 Tentang Pidana Tutupan.

Reglement penjara ini kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun1995 Tentang


Permasyarakatan. Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis-jenis
pidana kedalam pidana pokok dan pidanatambahan. Serta adanya jenis konsep pidana
dalam KUHP baru .

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja yang termasuk dalam jenis-jenis pidana dalam KUHP?
2. Apa yang dimaksud dengan pidana mati?
3. Apa yang dimaksud dengan pidana penjara?
4. Apa yamg dimaksud dengan pidana kurungan?
5. Apa yang dimaksud dengan pidana denda?
6. Apa yang dimaksud dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu?
7. Apa yang dimaksud dengan pidana perampasan barang-barang tertentu?
8. Apa yang dimaksud dengan pidana pengumuman keputusan hakim?
9. Apa yang dimaksud dengan pidana tutupan?
10. Apa yang dimaksud dengan pidana bersyarat?
11. Apa saja yang termasuk dalam jenis-jenis pidana dalam konsep KUHP baru?
12. Apa yang dimaksud dengan tindakan dan kebijaksanaan?
I.3 Tujuan
1. Menjelaskan apa saja yang termasuk dalam jenis-jenis pidana dalam KUHP?
2. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana mati?
3. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana penjara?
4. Menjelaskan apa yamg dimaksud dengan pidana kurungan?
5. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana denda?
6. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu?
7. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana perampasan barang-barang
tertentu?
8. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana pengumuman keputusan hakim?
9. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana tutupan?
10. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pidana bersyarat?
11. Menjelaskan apa saja yang termasuk dalam jenis-jenis pidana dalam konsep
KUHP baru?
12. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan dan kebijaksanaan?
BAB II
PEMBAHASAN

A.Jenis-Jenis Pidana Dalam KUHP


Pidana dipahami sebagai suatu penderitaan atau nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan oleh negara kepada setiap orang yang terbukti telah melanggar aturan-aturan
pidana yang terdapat dalam undang-undang. Hukum pidana di Indonesia menentukan jenis-
jenis sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Hal tersebut secara tegas dirumuskan
dalam Pasal 10 KUHP yang berbunyi:
a. Pidana Pokok
1.Pidana mati
2.Pidana penjara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda
b. Pidana Tambahan

1.Pencabutan Hak-hak tertentu

2.Perampasan barang-barang tertentu

3.Pengumuman keputusan Hakim

Pada tahun 1946 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1946 mengenal adanya jenis
pidana pokok baru yaitu pidana tutupan. Pidana tutupan ini hakikatnya adalah pidana
penjara, namun dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam pidana
penjara terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Ada beberapa hal penting dalam soal
pemidanaan:

1. KUHP tidak mengenal adanya kumulasi dari pidana pokok yang diancamkan bagi
suatu tindak pidana , khususnya tindak pidana penjara dengan pidana denda. Artinya
Hakim tidak diperkenankan menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersama-
sama terhadap seorang terdakwa.
2. Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan selalu hanya
dapat dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pokok. Artinya, penjatuhan
pidana tambahan ajan tergantung pada penjatuhan pidana pokok.
1.PIDANA MATI

Tentang pelaksanaan pidana mati dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam
pasal 2 sampai pasal 16 Pnps tahun 1964, yang pada prinsipnya mengatur hal-hal berikut:

a. Dalam jangka waktu 3 kali 24 jam sebelum saat pidana mati dilaksanakan, jaksa
tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang dilaksanakannya pidana mati
tersebut.
b. Apabila terpidana seorang wanita hamil, maka pelaksanaan pidana mati ditunda
hingga anak yang dikandungnya lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di
daerah lingkungan dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana
mati yang bersangkutan.
d. Kepala Polisi dari derah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai
pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira polisi
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan
pidana mati
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat
terpidana
i. Setelah pelaksanaan pidana mati selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa
yang bersangkutan harus membuat berita acara.

2.PIDANA PENJARA

Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak
tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP. Sebelum tangal itu, orang Indonesia biasanya
dihukum dengan kerja paksa di luar atau di dalam rantai (sebetulnya sebuah gelang leher).
Ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu:

1. Pensylvania system: terpidana menurut sistem ini dimasukkan dalam sel-sel


tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama napi, dia
tidak boleh bekerja di luar sel satu-satunya pekerjaan adalah membece buku suci
yang diberikan padanya. Karena pelasanaanya dilakukan di sel-sel maka disebut juga
cellulaire system.
2. Auburn system: pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri,
pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak
boleh saling berbicara di antara mereka, biasa disebut dengan silent system.
3. Progressive system: cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap,
biasa disebut dengan english/ire system.

Pidana penjara A Z Abidin Farid dan Andi Hamzah (tolib setiady


,2010:91)”menegaskan bahwa pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa
kehilangan kemerdekaan.“Pengaturan tentang pidana penjara di dalam KUHP dirumuskan
dalam beberpa pasal diantaranya adalah pasal 12 KUHP yang berbunyi:
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu; (2) Pidana
penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas
tahun berturut-turut; (3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan
untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim
boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama
waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama
waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab
tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal
52; (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua
puluh tahun.

Dalam kepenjaraan, orang yang menjalani hukuman penjara dibagi dalam empat
kelas yakni:
a. Kelas I: oarang yang dihukum seumur hidup dan orang yang menjalankan hukuman
sementara, mereka yang berbahaya bagi orang lain. Dal Undang-undang tidak
dijelaskan mengenai pengertian napi yang dianggap berbahaya, akan tetapi
pengertian bahaya ini erat kaitannya dengan masalah keselamatan, baik napai yang
lain maupun bagi petugas Lembaga Permasyarakatan.
b. Kelas II: orang yang menjalankan hukuman penjara lebih dari 3 bulan.
c. Kelas III: diperuntukkan bagi mereka yang sebelumnya menjadi penghuni kelas II,
yang selama 6bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan-perbuatan yang
baik (sesuai dengan tata tertib yang ditentukan).
d. Kelas IV: yaitu diperuntukkan bagi mereka yang dijatuhi hukuman kurang dari 3
bulan.
Di bawah ini dapat disimak beberapa hal berhubungan dengan ketentuan pidana
penjara yang dapat menjadi jus cunstituendum, yaitu sebagai berikut:
1. Pidana penjara dijatuhkan untuk semur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu
tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat
satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
2. Jika dapat dipilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau jika
ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas
tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-
turut.
3. Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun
pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana
tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pelepasan bersyarat:
a. Menteri Kehakiman dapat memeberikan keputusan pelepasan bersyarat apabila
terpidana telah mengalami setengah dari pidana penjara yang dijatuhkan,
sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.
b. Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu selama sisa waktu
pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat
yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut:
(1) Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana
(2) Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa
mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik
(3) Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjnara berturut-turut, jumlah
pidananya dianggap sebagai satu pidana.
(4) Pelepasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui tiga bulan
terhitung sejak habisnya masa percobaan, kecuali jika sebelum waktu tiga
bulan terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa
percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara saat mulai menjalani
pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai
menjalani pidana.

Mekanisme yang terkait dengan pelepasan bersyarat ialah sewbagai berikut:


1. Keputusan Menteri Kehakiman ditetapkan setelah mendapat pertimbangan

Dewan Pembina Pemasyarakatan dan Hakim Pengawas.


2. Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat maka pejabat pembina
memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
3. Pencabutan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul
Hakim Pengawas.
4. Apabila Hakim Pengawas mengusulkan pencabutan, dapat memberi perintah
kepada polisi agar terpidana ditahan. Hal tersebut diberitahukan kepada Menteri
Kehakiman.
5. Penahanan tersebut paling lama 60 hari.

6. Jika penahanan tersebut disusul dengan penghentian sementara waktu atau

pencabutan pelepasan bersyarat, terpidana dianggap meneruskan menjalani


pidana sejak ditahan.
7. Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan berlangsung oleh pejabat
pembimbing dari Departemen Kehakiman yang dapat diminta bantuan kepada
pemerintah daerah, lembaga sosial, atau orang lain.

Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap


narapidana dapat meliputi cara pelaksanaan sebagai berikut:
1. Bimbingan mental, yang diselengarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan
budi pekerti dan pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap
mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu.
2. Bimbingan sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan pengertian akan
arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masa-masa tertentu diberikan
kesempatan untuk similasi serta interaksi dengan masyarakat di luar.
3. Bimbingan ketrampilan, yang diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan
tertenru sesuai dengan bakatnya yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari
nafkah dikemudian hari.
4. Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai untuk hidup dengan teratur dan
belajar menaati peraturan.
5. Bimbingan-bimbingan lain yang menyangkut perawatan kesehatan, seni budaya dan
sedapat dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan bermasyarakat
dalam bentuik tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi
di luarnya.
Mengenai ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tidak pidana, mengacu
pada pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997, pada pokonya sebagai berikut:

1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
2. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
3. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 tahun malakukan tindak pidana
yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup maka hanya dapat dijatuhkan
tindakan berupa “menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja”.
4. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana
yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan
salah satu tindakan.

3. PIDANA KURUNGAN

Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan


kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan dalam beberapa hal lebih ringan daripada
pidana penjara. Menurut S.R Sianturi dalam bukunya berjudul “Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya menyebutkan bahwa pidana kurungan adalah juga merupakan
salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan, akan tetapi dalam berbagai hal
ditentukan lebihringan dari pada yang ditentukan kepada pidana penjara.
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama ialah
sebagai custodian honesta untuk delik-delik yang menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu
delik-delik culpa (kelalaian) dan beberapa delik delus, seperti perkelahian satu lawan satu
(pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (pasal 396 KUHP). Yang kedua sebagai custodia
simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.Pidana kurungan itu ada
2 macam, yaitu:
1. kurungan prinsipal
Kurungan prinsipal lamanya minum satu hari dan maksimum satu tahun dan
dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan apabila dalam hal gabugan
,pengulan tindak pidana dan aturan dalam pasal 52 KUHP.
2. susidair
kurungngan subsidair (pengganti denda )lamanya minum satu hari dan
maksimum 6 bulan dan dapat ditambah sampai 8 bulan dalam hal gabungan
tindak pidana dan aturan dalam pasal 52 KUHP.

Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seorang yang dijatuhi
pidana denda ,yakni apabila tidak dapat atau tidak mampu dalam membayar denda yang
harus dibayarnya .Ketentuan-ketentuian pidana kurungan adalah sebagai berikut:
1. Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole. Yang artinya mereka mempunyai
hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas biaya
sendiri (pasal 23 KUHP).
2. Para terpidana mengerjakan pekerjaan yang diwajibkan, akan tetapi lebih ringan
dibandingkan terpidana penjara (pasal 19 KUHP).
3. Meskipun ancaman pidana kurungan adalah satu tahun, namun maksimum boleh
satu tahun empat bulan. Dalam hal ini terjadi pemberatan pidana, karena
perbarengan atau karena ketentuan pasal 52 atau pasal 52 a (pasal 18 KUHP).
4. Apabila terpidana penjara dan terpidana kurungan menjalani pidana masing-masing
di situ tempat permasyarakatan, maka terpidana kurungan harus terpisah
tempatnya. (pasal 28 KUHP).
5. Pidana kurungan biasanya dilaksanakan di dalam daerahnya terpidananya
sendiri/biasanya tidak di luar daerah yang bersangkutan.

Dalam hal pidana kurungan ini sama hal nya dengan pidana penjara,yaitu sama
sama merupakan pidana hilang kemerdekaan,sama-sama mengenal batas maksimal
umum,maksimum khusus,dan minimum umum.Perbedaan pidana penjara dan pidana
kurungan yaitu:
1. Udang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara.
Hal ini diketahui dari urutan pidana kurungan, berada pada urutan ketiga dibawah
pidana mati dan pidana penjara. Sebagaimana dalam pasal 69 ayat 1 bahwa berat
ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutannya.
2. Dalam hal pelaksanaan pidana, terpidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke
tempat lian di luar tempat ia berdiam pada waktu eksekusi, tanpa kemauannya
sendiri.
3. Pembebana pekerjan, pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara.
4. Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole,yaitu hak untuk memperbaiki
keadaan dalam rumah penjara atas biaya sendiri , sedangkan terpidana penjara tidak
memiliki hak tersebut.
Hukuman kurungan diancam terhadap delik yang bersifat tidak jahat, yaitu
pelanggaran dan kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja.

4.PIDANA DENDA

Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang dan diancamkan terhadap tindak
pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda adalah
pidana adalah satu-satunya jenis pidana pokok yang dapat dipikul oleh orang lain selain
terpidana.
Pasal 30 KUHP menentukan hal-hal berikut:
1. Pidana denda paling sedikit adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen
2. Jika pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
3. Lamanya kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam
bulan
4. Dalam putusan hakim lainnya kurungan pengganti ditetapkan jika pidana
dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang dihiyung satu hari, jika lebih
dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari
5. Jika ada perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 KUHP
maka pidana kurungan pengganti paling lama menjadi delapan bulan
6. Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih delapan bulan

Dengan demikian denda tertinggi dalam pasal 403 KUHP adalah Rp 1000,00, harus dihitung
menjadi 15 kali Rp 1000,00= Rp 15.000,00
Pasal 31 KUHP menentukan:
1. Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda
2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar dendanya
3. Pembayaran dari sebagian dari pidana denda, baik seelum maupun sesudah mulai
menjalani pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebagian pidana
kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya.
Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan
obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta
benda si terpidana. Harta benda yang manakah yang di maksudkan?
Apabila kita perhatikan bunyi ketentuan KUHP maupun UU lain maka jelaslah bahwa
harta benda yang dimaksudkan adalah dalam bentuk uang dan bukan dalam bentuk
natura atau barang, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Sebagai salah satu jenis pidana denda , tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan
sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah
pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan
pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif
(pembuatan undang-undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun
tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif)
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan
pemidanaan. Oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian
tujuan pemidanaan.
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, telah berkembang berbagai teori pemidanaan
dengan segala variasinya. Tetapi bertolak dari pendapat Herbert L. packer, dapat
dikatakan bahwa hanya ada dua tujuan pokok dari suatu pemidanaan yaitu sebagai
pembalasan (Retributif) dan untuk pencegahan kejahatan (Prevention).dalam hal
tujuan pemidanaan untuk pencegahan kejahatan tersebut, dapat pula dibedakan atas
pencegahan khusus dan pencegahan umum yang memerlukan pembahasan
tersendiri.
Dalam rancangan KUHP nasional yang baru, para pembaharu KUHP telah
menetapkan secara eksplisit tentang tujuan pemidanaan di dalam buku I pasal 51,
yaitu:
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna;
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam ayat (2) pasal tersebut dikatakan bahwa: “pemidanaan tidak bertujuan
menderita kan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa:
Rancangan KUHP menitik beratkan tujuan pemidanaan sebagai pencegahan bukan
pembalasan (penderitaan)
Pemidanaan menurut rancangan KUHP tidak dimaksudkan pula sebagai suatu
”pencelaan” (oleh masyarakat) atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan,
Dengan demikian bila rancangan tersebut kelak dijadikan sebagai KUHP, maka pidana
yang diterapkan harus dapat memenuhi tujuan pemidanaan diatas dan perlu
ditegaskan bahwa pidana denda tidak dimaksudkan untuk menambah income negara
atau untuk membiayai administrasi peradilan. Hanya saja sulit dibayangkan
bagaimana suatu pidana denda yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai suatu
“deterrence” tanpa sifat penderitaan yang melekat pada pidana denda tersebut.
Selanjutnya efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai
tahap-tahap atau proses sebagai berikut:
Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang-undang,
Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan
Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.
Tetapi di samping faktor-faktor diatas, efektifitas pidana denda itu sangat tergantung
pula pada pandangan dan penilaian masyarakat terhadap pidana denda. Apabila
masyarakat masih melihat pidana denda sebagai hal yang kurang memenuhi rasa
keadilan maka pidana denda tidak berhasil guna mencapai tujuan pemidanaan.
2. Faktor-faktor yang mendorong kecenderungan memperluas penggunaan pidana
denda.
Apabila kita perhatikan perkembangan hukum pidana dewasa ini di indonesia,
terutama hukum pidana khusus maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam berbagai
perundang-undangan lainnya, terdapat suatu kecenderungan memperluas
penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Caranya baik dengan meningkatkan
jumlah pidana denda maksimum yang diancamkan, kemungkinan komulasi pidana
penjara atau kurungan denda (yang dimungkinkan dalam KUHP), maupun dengan
mengancamkan pidana denda secara mandiri .sebagaimana tercantum misalnya
dalam UU Drtr No.7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi yang masih berlaku
sampai saat ini.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentu saja di dorong oleh berbagai faktor
dan situasi yang memerlukan penelitian yang lebih luas dalam kerangka mempelajari
permasalahan pidana pokok ini. Namun berbagi literatur dan hasil penelitian Tim
pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda, dapat dikemukakan beberapa
faktor pendorong meningkatkan dan berkembangnya pidana denda. Y.E. Lokollo,
mengemukakan bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain
disebabkan oleh membaik nya secara tajam tingkat kemampuan finansial dan
kesejahteraan masyarakat di bidang materi. Sebagai akibat membaik nya tingkat
kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak( karakter)
dari kriminalitas.
Selanjutnya perkembangan pidana denda ini di dorong pula oleh perkembangan
delik-delik khusus dalam masyarakat dibidang perekonomian yang erat pula kaitannya
dengan apa yang disebut sebagai “white collar crime” dan “profesional crime”, yang
dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam jumlah yang besar. Apabila si pelaku
hanya dikenakan pidana penjara, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk
menikmati hasil kejahatan tersebut. dalam hal inilah pidana dapat didayagunakan
untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak pidana yang dilakukan terpidana. Tentu
saja untuk maksud ini harus didukung oleh sarana-sarana untuk melaksanakan
keputusan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim.
Faktor ini erat kaitannya dengan perkembangan dalam pidana yang menyangkut
subyek hukum dalam hukum pidana. Dimana dalam KUHP sekarang pada dasarnya
hanya orang yang dapat menjadi subyek hukum pidana. Dalam “ memory van
toelichting” pasal 51 Nederlandache W.v.S (pasal 59 KUHP) dikatakan: “suatu
strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum
tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak
dapat dihindarkan lagi kemungkinan badan hukum (korporasi)melakukan tindak
pidana dan tanggung jawab tidak terlepas dari pertanggungjawaban pihak
pengurusnya.
Namun faktor yang tidak kalah pentingnya adalah semakin tidak disukainya pidana
penjara atau kurungan, karena dinilai seringkali tidak efektif terutama bagi tindak
pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi maupun narkotika. Kurang disukainya
pidana penjara ini juga bertolak dari susut pandang “Cost and benefit” yang berkaitan
dengan masalah efisiensi. Semakin banyak penghuni penjara berarti semakin banyak
biaya yang harus dikeluarkan oleh negara, sedang uang negara berarti uang rakyat
juga. Jumlah biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang diperoleh
dari pidana perampasan kemerdekaan itu.

3. Efektifitas penerapan pidana denda.


Perkembangan untuk memperluas penggunaan pidana denda dengan meningkatkan
jumlah ancaman pidana denda saja ternyata belum mencukupi untuk meningkatkan
efektifitas pidana denda. Diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh bauk dalam
bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Menurut Muladi dan Barda Nawawi
arief, dalam pelaksanaan pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai:
a. sistem penerapan jumlah atau besarnya pidana.
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda.
c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya
pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu
yang telah ditetapkan.
d. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus(misalnya terhadap seorang anak yang
belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua).
e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.
Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat dilihat
dalam ketentuan KUHP. Berdasarkan “laporan pengkajian hukum tentang penerapan
pidana Denda Dep.Keh.RI”, ternyata bahwa pidana denda sejauh ini dirasakan belum
memenuhi tujuan pemidanaan, disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
a. Dapat digantikan nya pelaksanaan denda oleh bukan pelaku, menyebabkan rasa
dipidananya pelaku menjadi hilang.
b. Nilai ancaman pidana denda di rasakan terlampau terlalu rendah, sehingga tidak
sesuai dengan keselarasan antara tujuan pemidanaan dengan rasa keadilan dalam
masyarakat.
c. Meskipun terdapat ancaman pidana yang tinggi dalam aturan pidana diluar KUHP,
akan tetapi belum dapat mengikuti cepatnya perkembangan nilai mata uang dalam
masyarakat.
Namun terlepas dari hal diatas, jenis pidana denda ini memberikan banyak segi-segi
keadilan, antara lain:
a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat di revisi apabila ada kesalahan,
dibanding dengan jenis hukuman lainnya.
b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena
pemerintah tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai kurungan subsider.
c. Hukuman denda tidak membawa atau tidak mengakibatkan tercela nya nama baik
atau kehormatan seperti yang dialami terpidana penjara.
d. Pidana denda akan membuat lega dunia perikemanusiaan.
e. Hukuman denda akan menjadi penghasilan bagi daerah atau kota.
4. Suatu tinjauan terhadap pola pidana denda dalam hukum pidana positif indonesia
dan dalam RKUHP.
Apabila di bandingkan dengan sistem pemidanaan di negara belanda, maka dapat di
katakan bahwa pola pemidanaan denda di indonesia hanya mengenal pidana denda
yang dikenakan oleh pengadilan. Sedangkan belanda Belanda mengenal sanksi-sanksi
ekstra pengadilan yang dapat melakukan transaksi denda yang harus dibayar agar
suatu kasus tidak diteruskan kepengadilan .M.L.Hc.Hulsman mengemukakan, bahwa
sanksi-sanksi ekstra yuridis tersebut adalah:
a. transaksi polisi,
b. transaksi dengan kantor kejaksaan,
c. pembebasan bersyarat, apabila telah dilakukan penuntutan.
Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana
positif indonesia, maka pertama-tama kita bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP,
yang menyatakan bahwa:
1. pidana pokok, terdiri dari:
a. pidana mati
b. pidana penjara
c. pidana kurungan
d. pidana denda
e. pidana tutupan (yang di tambahkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 1946).
2. pidana tambahan, terdiri atas:
a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. pengumuman keputusan hakim.
Berdasarkan urutan pidana pokok tersebut, terkesan bahwa pidana denda adalah
pidana pokok yang paling ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan tegas
menyatakan demikian. Berbeda dengan Rancangan KUHP pada pasal 58 ayat (2)
yang tegas-tegas menyatakan bahwa:” urutan pidana pokok diatas menentukan berat
ringan nya pidana”.
Pidana denda dalam KUHP diancam terhadap seluruh tindak pidana pelanggaran
(dalam buku III KUHP) dan juga terhadap tindak pidana kejahatan (dalam buku II
KUHP), tetapi kejahatan-kejahatan ringan dan kejahatan yang dilakukan dengan tidak
sengaja. Kebanyakan pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana
kurungan atau penjara. Muladi dan Barda nawawi mengemukakan bahwa “sedikit
sekali” tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda: untuk kejahatan
dalam buku II hanya terdapat dalam satu delik, yaitu dalam pasal 403, sedangkan
untuk pelanggaran buku III hanya terdapat dalam 40 pasal dari keseluruhan pasal-
pasal tentang pelanggaran.
Sistem KUHP tidak mengenal batas maksimal umum pidana denda, melainkan hanya
batas maksimum khusus dalam pasal-pasalnya. Sebaliknya dalam KUHP ditentukan
batas minimum umum pidana denda, yaitu sebesar dua puluh lima sen (250,-). Bila
ditelusuri maka jumlah pidana denda paling tinggi dalam KUHP adalah sebesar Rp
150.000,- sebagai man diancamkan dalam pasal 251 dan 403, sedangkan untuk
pelanggaran (bukuIII) pidana denda paling tinggi adalah Rp 75.000,- yang terdapat
dalam pasal 568 dan 569.
5. pola pidana denda dalam rancangan KUHP (RKUHP).

5.PIDANA PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU


Pasal 35 ayat 1 KUHP hak-hak yang dapat dicabut:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu
2. Hak dalam menjalankan jabatan dalan Angkatan Bersenjata
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak
yang bukan anak sendiri
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri
6. Hak menjalankan mata pencaharian

Dalam pasal 35 ayat 2 KUHP hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari
jabatannya. Jika dalam aturan-aturan khusus , ditentukan penguasa lain untuk pemecatan
itu.
Pasal 38 KUHP menentukan:
1. Dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup lamanya pencabutan seumur
hidup
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan lamanya
pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari
pidana pokoknya
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling lama
lima tahun.

6.PIDANA PERAMPASAN BARANG-BARANG TERTENTU


Ada dua jenis barang yang dapat dirampas menurut pasal 39 KUHP:

1. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan ( bukan dari
pelanggaran) yang disebut dengan “corpora delictie”. Misalnya, uang palsu dari
kejahatan pemalsuan mata uang
2. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan
“instrumen delictie”. Misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan.

Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang-barang tertentu:

1. Diancamkan dan dijatuhkan terhadap dua jenis barang, yaitu barang yang
diperoleh dari kejahatan dan barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan
2. Diancamkan dan dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja dan tidak
pelanggaran kecuali( pasal 502, 519, dan 549 KUHP)
3. Diancamkan dan dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana saja
jika undang-undang menentukan lain.

Jika dalam putusan hakim ditetapkan bahwa barang tersebut dirampas untuk negara
dan bukan untuk dimusnahkan maka ada dua kemungkinan:
1. Apabila pada saat putusan barang tersebut telah diletakkan di bawah penyitaan,
maka eksekusi terhadap barang adalah dalam bentuk pelelangan di muka umum
menurut peraturan yang berlaku.
2. Apabila atas barang tidak dilakukan penyitaan, maka dalam putusan hakim
ditetapkan tentang penafsiran harga atau nilai barang.

Pidana kurungan pengganti berbeda dengan kurungan pengganti denda:


1. Ada dua hal yang membebaskan terpidana dari pelaksanaan pidana kurungan
pengganti perampasan barang: 1) pembayaran sejumlah uang yang besarnya sama
dengan nilai barang yang dinyatakan dirampas. 2) menyerahkan barang yang
dinyatakan dirampas.
2. Pidana kurungan pengganti denda dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 bulan,
sedangkan kurungan pengganti perampasan barang tidak dapat diperpanjang diatas
maksimum 6 bulan.

7.PIDANA PENGUMUMAN PUTUSAN HAKIM


Pasal 195 KUHAP, bahwa setiap putusan hakim baru sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di persidangan yang terbuka untuk umum. Pengumuman
keputusan Hakim adalah publikasi putusan secara khusus menurut apa yang ditentukan oleh
Hakim dengan biaya ditanggung oleh terpidana. Misalnya diumumkan melalui media massa
seperti surat kabar, majalah, radio, atau dengan cara ditempelkan di papan pengumuman.

Pengumuman putusan yakni sebagai suatu bentuk pidana tambahan yang dilaksanakan
dengan cara-cara seperti diatas dinamakan usaha preventif, yaiyu untuk mencegah agar
orang tidak melakukan kejahatan.

8.PIDANA TUTUPAN

Pidana tutupan itu sendiri pada hakikatnya adalah pidana penjara, namun cara
pelaksanaanya yang berbeda dengan pidana penjara disebabkan karena kualifikasi terpidana
yang menjalaninya. Jadi meskipun pidana tutupan itu disebt sebagai pidana pokok, namun
sebenarnya lebih merupakan cara pelaksanaan pidana penjara yang bersifat istimewa.

Pembentuk undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang


apa yang dimaksud dengan perkataan “ maksud patu dihormati “ itu sendiri. Oleh karena itu
penafsirannya tergantung pada pertimbangan hakim.

9.PIDANA BERSYARAT

Pidana bersyarat sering disebut dengan hukuman percobaan dan lebih baik apabila
diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat. Pidana bersyarat hanya dapat diadakan
apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan.

Lamanya masa percobaan ditentukan dalam pasal 14B WAIP :

a. Bagi kejahatan dan pelanggaran pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP paling
lama 3 tahun
b. Bagi jenis pelanggaran lainnya adalah paling lama 2 tahun

Terpidana yang diberikan pidana bersyarat haruslah memenuhi syarat tertentu yaitu
syarat umum dan syarat khusus.didalam pasal 14c KUHP ditentukan bahwa disamping
syarat umum terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan
syarat khusus, bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa
percobaan, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang yang ditimbulkan oleh
perbuatan pidananya.disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya
mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi elama masa percobaan atau
selama sebagian dari masa percobaan. Namun syarat tersebut tidak boleh mengurangi
kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik bagi terpidana

Bilamana syarat umum atau khusus tersebut tidak bisa dipenuhi maka berdasarkan
pasal 14f ayat 1 hakim atas usul pejabat yang berwenang meyuruh menjalankan
putusan, dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan
supaya atas namanya diberikan peringatan kepada para terpidana. masa percobaan
dimulai sejak putusan telah menjadi tetap damn telah diberitahukan kepada terpidana
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang undang (pasal 14b ayat 2 KUHP).
Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada didalam tahanan sementara
(pasal 14b ayat 3 KUHP).

Pengaturan hukum yang pertama tentang “probation” di Massachusetts tahun 1878


dikeluarkannya penundaan penjatuhan pidana dengan menempatkan si pelaku di dalam
probation, secara bertahap diterima oleh negara bagian yang lain di Amerika serikat dan
selanjutnya berkembang di Inggris. Di beberapa negara eropa kontinental telah diterima
bentuk penundaan pidana bersyarat yaknu Perancis pada tahun 1891 dan Belgia tahun
1888, lembaga itu merupakan penundaan pelaksanaan pidana daripada merupakan
penundaan penjatuhan pidana seperti sistem probation. Perbedaan lain dengan sistem
probation adalah lembaga penundaan pidana bersyarat itu sama sekali tidak
mensyaratkan adanya pengawasan atau bantuan kepada para terpidana sebagaimana
sistem probation.

Pada sistem probation yang di anut Amerika Serikat dan Inggris, pada fase pertama
terdakwa hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan. Apabila
pada masa percobaan ternyata yang bersangkutan tidak berhasil memperbaiki
kelakuannya selama masa percobaan, maka fase kedua ia dipidana. Sebaliknya, apabila
ia berhasil memperbaiki kelakuannya selama masa percobaan maka fase kedua tidak
dijalani. Sistem probation memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki
kelakuannya di masyarakat. Untuk itu, selama masa percobaan ia dibantu dan diawasi
oleh “probation officers” yang terdiri dari pekerja pekerja sosial yang terlatih di dalam
tugasnya.

Sementara itu yang berlaku di Belgia dan Perancis menunjukkan perkembangan


yang berbeda dengan sistem probation di Amerika dan Inggris, penundaan pelaksanan
pidananya dilaksanakan, pada fase pertama pelaku tindak pidana dipidana, tetapi
pelaksanaan tindak pidananya di tunda dan untuk itu ditentukan suatu masa percobaan.
Bilamana dalam suatu masa percobaan ternyata terpidana melakukan pelanggaran
hukum lagi, maka pidana yang telah ditetapkan harus dilakasanakan. Pada sistem ini,
selama masa percobaan si terpidana tidak dibantu oleh pekerja-pekerja sosial dalam
usahanya untuk menjadi bai seperti yang berlaku dalam sistem probation.

Perkembangan lembaga ini juja berpengaruh terhadap hukum pidana Belanda,


dimana pada tahun 1915 di KUHP Belanda diintroduksi suatu lembaga dengan nama
“voorwaardelijke veroordeling” (pidana bersyarat) berdasarkan Stb.1915-247. Sistem
yang digunakan di Belanda pada hakekatnya merupakan kombinasi antara sistem
Amerika dan Inggris dengan sistem Belgia dan Perancis.

Pengaruh sistem Amerika-Inggris terlihal dalam hal adanya bantuan pejabat


pemerintah bagi terpidana usahanya untuk menjadi orang baik dalam suatu masa
percobaan. Sedangkan pengaruh sistem Perancis-Belgia terlihat dari bentuknya sebagai
pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Sistem kombinasi yang berlaku
di Belanda itu yang kemudian berlaku dalam lembaga pidana bersyarat di Indonesia.

B. JENIS JENIS PIDANA DALAM KONSEP KUHP BARU

Pasal 60 konsep rancangan KUHP baru menentukan jenis jenis pidana yaitu :

1. Pidana pokok terdiri dari :


 Pidana penjara
 Pidana tutupan
 Pidana pengawasan
 Pidana denda
 Pidana kerja sosial
2. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dijatuhkan jika
tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana.
3. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban atas adat atau pncabutan hak yang
diperoleh korporsi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan
tindak pidana.

Dilihat dari pengelompokan jenis sanksi pidana menurut konsep KUHP baru, terlihat
adanya kesamaan dengan pola yang ada dalam KUHP, yang berbeda hanyalah jenis.
Didalam konsep KUHP baru tidak lagi dikenal pidana kurungan, yang menurut pola
KUHP biasanya diancam untuk tindak pidana pelanggaran. Jenis pidana tambahan
menalami penabahan dan perluasan. Yang menonjol dalam perluasan tersebut adalah
dimasukkan atau dirumuskannya secara ekspisit jenis pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat.

Dimasukkannya jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat adalah


untuk menampung jenis sanksi adat atau sanksi menurut hukum tidak tertulis yang
masih tetap hidup dan berkembang dalm masyarakat.

Pembagian seperti tersebut diatas tidak berarti, bahwa delik menurut undang-undang tidak
dapat dikenakan sanksi informal (pemenuhan kewajiban adat ). deliik menurut undang-
undang tetap dapat dikenakan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat, tetapi sebagai
pidana tambahan. Untuk delik informal (menurut hukum adat), sanksi berupa pemenuhan
kewajiban adat justru menjadi pidana pokok. Apabila sanksi informal ini tidak dipenuhi,
maka sebagai pidana penggantinya adalah sanksi formal (menurut konsep KUHP baru
penggantinya adalah pidana denda atau ganti kerugian).

Di samping jenis-jenis sanksi pidana yang disebutkan di atas, konsep juga


merencanakan jenis khusus untuk anak. Jenis sanksi khusus anak ini juga terdiri dari pidana
pokok dan pidana tambahan.

Dalam pasal 109 (1) konsep KUHP baru dutegaskan, pidana pokok bagi anak terdiri atas

a. Pidana nominal :
1. pidana peringatan ; atau
2. Pidana teguran keras.
b. Pidana dengan syarat;

1. pidana pembinaan diluar lebaga;


2. Pidana kerja sosial ; atau
3. Pidana pengawasan.
c. Pidana denda; atau

d. Pidana pembatasan kebebasan ;

1. pidan pembinaan didalam lembaga ;


2. Pidana penjara; atau
3. Pidana tutupan ;
Sementara itu didalam pasal 109 ayat(2) konsep KUHP baru dirumuskan jenis-jenis
pidana tambahan bagi anak yang terdiri atas :

A. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;


B. Pembayaran ganti kerugian ; atau
C. Pemenuhan kewajiban adat.

Dari jenis sanksi pidana bagi anak tersebut terlhat bahwa pidana yang dapat
dirumuskan bagi anak yang melakukan indak pidana lebih bervariasi daripada jenis sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan bagi orang dewasa. Hanya saja untuk anak tidak dikenakan
pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.

C. Tindakan dan kebijaksanaan.

Hukum penitensier tidak hanya berkenaan dngan norma-norma hukum yang


mengatur masalah pidana dan pemidanaan saja. Akan tetapi juga berkenaan dengan
norma-norma hukum yang mengatur masalah tindakan dan kebijaksanaan. Dalam
kebanyakan literatur yang membahas hukum penitesier, tidak dilakukan pembedaan
antara tindakan dan kebijaksanaan. Kedua-duanya cenderung dikategorikan sebagai
tindakan yang dalam konsep hukum pidana belanda dikenal dengan sebutan “maatregel
“ akan tetapi , lamintang secara argumentatif telah menunjukan perbedaa keduanya.
Naska ini lebih cenderung untuk mengikuti keragka bepikiryang dikemukakan oleh
lamintang.

Tentang perbedaan antara pidana dengan tindakan atau pemindaan dengan


penindakan Hazewinkel-Suringa menjelaskan, bahwa suatu pemidanaan itu pada
hakikatnya merupakan suatu kesengajaan untuk memberikan semacam penderiaan
kepada seorang pelaku suat tindak pidana, sedangkan pada suatu pemidanaan menuru
hukum pdana, unsur kesengajaan untuk memberikan semcama penderitaan seperti itu
tidak ada sama sekali.

Pemahaman yang lebih komprehensif tentang perbedaan antara pidana


(punishment ) dengan tindakan (treatment ) dikemukakan oleh Aliff Ross. Menurut Alf
Ross “ concept of punishment “ bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu pertama
pidana ditujuan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan;
kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan sipelaku.
Perbedaan pidana dan pemidanaan menurut Alf rise tidaklah didasarkan pada ada atau
tidak adanya unsur yang pertama (unsur penderitaan); akan tetapi harus didasarkan
pada ada tidaknya unsur kedua (unsur penceleaan).

Sementara itu, Herbert L. Packer berpendapa bahwa perbedaan antara pidana dan
tindakan harus dilihat dari tjuannya. Tujuan uama dari tindakan adalah untuk membei
keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan (pelaku kejahatan ).
dasar pembenaran dari tindakan adalah pada pandangan, bahwa orang yang
bersangkutan akan atay mungkin menjadi lebih bik. Sedangkan tujuan dandasar
pembenaran dari pidana adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan dan untuk
mengenakan penderitaan pada sipelanggar.

Bentuk-bentuk tindakan yang dikenal dalam hukum pidana indonesia di antaranya


adalah penempatan seorang di bawah pengawasan pemerintah, penyerahan seorang
anak kepada sebuah lembaga untu dididik sesua dengan keiinginan pemerintah sampai
anak itu menjadi dewasa, dan pengembalian seorang anak kepada orang ta atau
walinya.

Menurut ketentuan pasal 45 KUHP, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan
oleh hakim dalam hal membeikan sanksi terhadap seorang anak dibawah umur (belum
bermur 16 tahun ) yang terbukt melakukan tindak pidana, yaitu :

1 memerintahkan supaya yang bersalah dkembalikan eoada orang tuanya, walinya


atau pemeliharaanna, tanpa dipidana apapun atau

2. memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa


dipidana apapun atau
3. Menjatuhkan pidana.
Tentang batasan belum cukup umur atau belum dewasa tidak ditemukan adalah
seragam atau kesamaan diantara berbagai. Undang-undang yang berlaku di indoneia.
Ketentuan hukum oerdata menentukan, bahwa yang dimaksud degan anak dibawah umur
adlah mereka yang bekum berumur 21 tahun dan sebelumnya tidak kawin (pasal 330 KUH
Perdata ) akan tetapi KUHP menentukan batas usia belum dewasa itu adalah mereka yang
melakukan kejahatan sebelum berusia 16 tahun. Namun dewasa yang dipakai sebagai
ukuran yuridis untuk menentukan usia belum dewasa itu adalah ketentuan UU nomor 3
tahun 1997 tentang pengadilan anak, yang menentukan bahwa batas usia belum dewasa itu
adalah 18 tahun dan beum pernah kawin (pasal 1 angka 1 )

Khusus tentang sanksi yang dapat dikenakan kepada anak yang melkukan kejahatan,
didalam UU No. 3 tahun 1997 ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak. Bagi anak-
anak yang masih berumur 8 tahn sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan. Menurut
ketentuan pasal 24 ayt (1) UU No. 3 tahun 1997, tindakan yang dapat dijatuhkan kepaa
anak nakal adalah :

1. dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua usulnya


2. Diserahkan kepada negara untuk dididk dan dibina latihan kerja
3. Diserahkan kepada departement sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang
bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Keistimewan penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan kejahatan bila dibandingkan
dengan orang dewasa adalah, di mana dalam putusan hakim dapat dientukan sopaya yang
bersalah dikembalikan kepada orang tuanya tanpa pidana apapun. Biasanya apabila hakim
menyakini akan perbuatan pidana dan kesalahan seoang, maka hakim akan menjatuhkan
pidana, sekalipun ada hal-hal yang meringankan. Akan tetapi dalam hal anak nakal tidaklah
demikian. Anak yang terbukti bersalah itu meskipun penempatan seorang anak nakal
dibawah pengawasan pemerintah untuk dididik atau dibina dapat tersebut sebagai suatu
tindakan.

Keterangan berikut dapat sekedar memberikan gambaran dan pemahaman untuk


mebedakan antara tindkan dan kebijaksanaan. Apabila hakim dalam putusannya
memerintahkan agar seorang anak yang terbukti telah melakukan suatu tindak pidana
ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah, maka itu berarti bukanlah merupakan suatu
pemidanaan, dan sulit untuk dikeategorikan sebagai suatu kebijaksanaan.
Apabila seorang anak yang terbuti telah melakukan suatu tindak pidana dijatuhkan
hakim sanksi berupa penyerahan anak itu kepada orang tua atau walinya, maka itu tidak
dapat dikatakan sebagai suatu pemidanaan, dan sulit untuk dikategorikan sebagai suatu
tindakan. Perintah hakim untuk menyerahkan seorang anak yang telah melakukan tindak
pidana kepada orang tua atau walinya lebih tepa dikatakan sebagai suatu kebijaksanaan.

Dengan keterangan seperti tersebut diatas lamintang menyimpulkan, bahwa yang


dimaksud dengan tindakan adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum
positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam memutuskan
perkara pidana akan tetapi yang buan merupakan suatu kebijaksanaan.

Salah satu bentuk lembaga kebijaksanaan dalam hukum pidana kita adalah apayang
dikenal dengan pembebasan bersyarat yaitu pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk
menjalankan pidana penjara.

Sementara itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi terpidanan dalam hal pembebasa
bersyarat ini, terdri-diri syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum merupakan
keharusan bagi terpidana, bahwa elain masa percobaan itu ia tida boleh melakukan tindak
pidanan dan perbutan-erbuatan tercela lainnya (pasal 15a ayat (1) KUHP ). Syarat umum ini
sifatnya adalah impertif . sedangkan syarat khusus adalah segala sesutu yang berkenaan
dengan perilaku terpidana, asalkan syarat-syarat itu, tidak membatasi kebebasannya untuk
beragama dan kemerdekaan berpolitik (pasal 15a ayat (2) KUHP ).

BAB III

PENUTUP

1.Kesimpulan

a.Pidana mati dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam pasal 2 sampai pasal 16
Pnps tahun 1964:

a. Dalam jangka waktu 3 kali 24 jam sebelum saat pidana mati dilaksanakan, jaksa
tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang dilaksanakannya pidana mati
tersebut.
b. Apabila terpidana seorang wanita hamil, maka pelaksanaan pidana mati ditunda
hingga anak yang dikandungnya lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di
daerah lingkungan dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana
mati yang bersangkutan.
d. Kepala Polisi dari derah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai
pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira polisi
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan
pidana mati
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat
terpidana
i. Setelah pelaksanaan pidana mati selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa
yang bersangkutan harus membuat berita acara.
b. Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia
sejak tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP.
c. Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan dalam beberapa hal lebih ringan
daripada pidana penjara.
d. Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang dan diancamkan terhadap
tindak pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.
e. Dalam pasal 35 ayat 2 KUHP hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari
jabatannya. Jika dalam aturan-aturan khusus , ditentukan penguasa lain untuk
pemecatan itu.

f.Ada dua jenis barang yang dapat dirampas menurut pasal 39 KUHP:

f. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan ( bukan dari
pelanggaran) yang disebut dengan “corpora delictie”. Misalnya, uang palsu dari
kejahatan pemalsuan mata uang
g. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan
“instrumen delictie”. Misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan.
h. Pasal 195 KUHAP, bahwa setiap putusan hakim baru sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan di persidangan yang terbuka untuk umum.
i. Pidana tutupan itu sendiri pada hakikatnya adalah pidana penjara, namun cara
pelaksanaanya yang berbeda dengan pidana penjara disebabkan karena kualifikasi
terpidana yang menjalaninya.
j. Pidana bersyarat sering disebut dengan hukuman percobaan dan lebih baik
apabila diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat.

TAMBAHAN :

Pengecualian atas prinsip tersebut terdapat dalam beberapa aturan diluar kuhp. Dalam uu
korupsi pasal 38 ayat 5 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebe;um
putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntutu umum menetapkan
perampasan barang barang yang telah disita.

Anda mungkin juga menyukai