Disusun oleh:
Kelompok : VI (EMPAT)
Nama Anggota :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
GANJIL 2016-2017
PADANG
BAB I
PENDAHULUAN
Stelsel sanksi atau pidana merupakan bagian dari hukum panitensier yang meliputi jenis
pidana, cara dan dimana menjalankannya, termasuk pula mengenai pengurangan,
penambahan dan pengecualian penjatuhan pidana Stelsel Pidana Indonesia pada dasarnya
diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari Pasal 10 sampai Pasal 43, yang kemudian
juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan.
Peraturan tersebut sebagaimana yang dikatakan Adami Chazawi adalah:
A. Reglement Penjara (Stb. 1917 No. 708) yang diubah dengan LN1948 No. 77).
B. Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Stb. 1917 No. 749).
C. Reglement Pendidikan Paksaan (Stb. 1917 No. 741).
D. UU No. 20 Tahun 1949 Tentang Pidana Tutupan.
Pada tahun 1946 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1946 mengenal adanya jenis
pidana pokok baru yaitu pidana tutupan. Pidana tutupan ini hakikatnya adalah pidana
penjara, namun dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam pidana
penjara terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Ada beberapa hal penting dalam soal
pemidanaan:
1. KUHP tidak mengenal adanya kumulasi dari pidana pokok yang diancamkan bagi
suatu tindak pidana , khususnya tindak pidana penjara dengan pidana denda. Artinya
Hakim tidak diperkenankan menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersama-
sama terhadap seorang terdakwa.
2. Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan selalu hanya
dapat dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pokok. Artinya, penjatuhan
pidana tambahan ajan tergantung pada penjatuhan pidana pokok.
1.PIDANA MATI
Tentang pelaksanaan pidana mati dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam
pasal 2 sampai pasal 16 Pnps tahun 1964, yang pada prinsipnya mengatur hal-hal berikut:
a. Dalam jangka waktu 3 kali 24 jam sebelum saat pidana mati dilaksanakan, jaksa
tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang dilaksanakannya pidana mati
tersebut.
b. Apabila terpidana seorang wanita hamil, maka pelaksanaan pidana mati ditunda
hingga anak yang dikandungnya lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di
daerah lingkungan dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana
mati yang bersangkutan.
d. Kepala Polisi dari derah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai
pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira polisi
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan
pidana mati
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat
terpidana
i. Setelah pelaksanaan pidana mati selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa
yang bersangkutan harus membuat berita acara.
2.PIDANA PENJARA
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak
tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP. Sebelum tangal itu, orang Indonesia biasanya
dihukum dengan kerja paksa di luar atau di dalam rantai (sebetulnya sebuah gelang leher).
Ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu:
Dalam kepenjaraan, orang yang menjalani hukuman penjara dibagi dalam empat
kelas yakni:
a. Kelas I: oarang yang dihukum seumur hidup dan orang yang menjalankan hukuman
sementara, mereka yang berbahaya bagi orang lain. Dal Undang-undang tidak
dijelaskan mengenai pengertian napi yang dianggap berbahaya, akan tetapi
pengertian bahaya ini erat kaitannya dengan masalah keselamatan, baik napai yang
lain maupun bagi petugas Lembaga Permasyarakatan.
b. Kelas II: orang yang menjalankan hukuman penjara lebih dari 3 bulan.
c. Kelas III: diperuntukkan bagi mereka yang sebelumnya menjadi penghuni kelas II,
yang selama 6bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan-perbuatan yang
baik (sesuai dengan tata tertib yang ditentukan).
d. Kelas IV: yaitu diperuntukkan bagi mereka yang dijatuhi hukuman kurang dari 3
bulan.
Di bawah ini dapat disimak beberapa hal berhubungan dengan ketentuan pidana
penjara yang dapat menjadi jus cunstituendum, yaitu sebagai berikut:
1. Pidana penjara dijatuhkan untuk semur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu
tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat
satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
2. Jika dapat dipilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau jika
ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas
tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-
turut.
3. Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun
pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana
tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pelepasan bersyarat:
a. Menteri Kehakiman dapat memeberikan keputusan pelepasan bersyarat apabila
terpidana telah mengalami setengah dari pidana penjara yang dijatuhkan,
sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.
b. Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu selama sisa waktu
pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat
yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut:
(1) Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana
(2) Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa
mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik
(3) Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjnara berturut-turut, jumlah
pidananya dianggap sebagai satu pidana.
(4) Pelepasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui tiga bulan
terhitung sejak habisnya masa percobaan, kecuali jika sebelum waktu tiga
bulan terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa
percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara saat mulai menjalani
pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai
menjalani pidana.
1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
2. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
3. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 tahun malakukan tindak pidana
yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup maka hanya dapat dijatuhkan
tindakan berupa “menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja”.
4. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana
yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan
salah satu tindakan.
3. PIDANA KURUNGAN
Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seorang yang dijatuhi
pidana denda ,yakni apabila tidak dapat atau tidak mampu dalam membayar denda yang
harus dibayarnya .Ketentuan-ketentuian pidana kurungan adalah sebagai berikut:
1. Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole. Yang artinya mereka mempunyai
hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas biaya
sendiri (pasal 23 KUHP).
2. Para terpidana mengerjakan pekerjaan yang diwajibkan, akan tetapi lebih ringan
dibandingkan terpidana penjara (pasal 19 KUHP).
3. Meskipun ancaman pidana kurungan adalah satu tahun, namun maksimum boleh
satu tahun empat bulan. Dalam hal ini terjadi pemberatan pidana, karena
perbarengan atau karena ketentuan pasal 52 atau pasal 52 a (pasal 18 KUHP).
4. Apabila terpidana penjara dan terpidana kurungan menjalani pidana masing-masing
di situ tempat permasyarakatan, maka terpidana kurungan harus terpisah
tempatnya. (pasal 28 KUHP).
5. Pidana kurungan biasanya dilaksanakan di dalam daerahnya terpidananya
sendiri/biasanya tidak di luar daerah yang bersangkutan.
Dalam hal pidana kurungan ini sama hal nya dengan pidana penjara,yaitu sama
sama merupakan pidana hilang kemerdekaan,sama-sama mengenal batas maksimal
umum,maksimum khusus,dan minimum umum.Perbedaan pidana penjara dan pidana
kurungan yaitu:
1. Udang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara.
Hal ini diketahui dari urutan pidana kurungan, berada pada urutan ketiga dibawah
pidana mati dan pidana penjara. Sebagaimana dalam pasal 69 ayat 1 bahwa berat
ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutannya.
2. Dalam hal pelaksanaan pidana, terpidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke
tempat lian di luar tempat ia berdiam pada waktu eksekusi, tanpa kemauannya
sendiri.
3. Pembebana pekerjan, pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara.
4. Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole,yaitu hak untuk memperbaiki
keadaan dalam rumah penjara atas biaya sendiri , sedangkan terpidana penjara tidak
memiliki hak tersebut.
Hukuman kurungan diancam terhadap delik yang bersifat tidak jahat, yaitu
pelanggaran dan kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja.
4.PIDANA DENDA
Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang dan diancamkan terhadap tindak
pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda adalah
pidana adalah satu-satunya jenis pidana pokok yang dapat dipikul oleh orang lain selain
terpidana.
Pasal 30 KUHP menentukan hal-hal berikut:
1. Pidana denda paling sedikit adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen
2. Jika pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
3. Lamanya kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam
bulan
4. Dalam putusan hakim lainnya kurungan pengganti ditetapkan jika pidana
dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang dihiyung satu hari, jika lebih
dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari
5. Jika ada perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 KUHP
maka pidana kurungan pengganti paling lama menjadi delapan bulan
6. Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih delapan bulan
Dengan demikian denda tertinggi dalam pasal 403 KUHP adalah Rp 1000,00, harus dihitung
menjadi 15 kali Rp 1000,00= Rp 15.000,00
Pasal 31 KUHP menentukan:
1. Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda
2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar dendanya
3. Pembayaran dari sebagian dari pidana denda, baik seelum maupun sesudah mulai
menjalani pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebagian pidana
kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya.
Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan
obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta
benda si terpidana. Harta benda yang manakah yang di maksudkan?
Apabila kita perhatikan bunyi ketentuan KUHP maupun UU lain maka jelaslah bahwa
harta benda yang dimaksudkan adalah dalam bentuk uang dan bukan dalam bentuk
natura atau barang, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Sebagai salah satu jenis pidana denda , tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan
sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah
pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan
pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif
(pembuatan undang-undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun
tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif)
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan
pemidanaan. Oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian
tujuan pemidanaan.
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, telah berkembang berbagai teori pemidanaan
dengan segala variasinya. Tetapi bertolak dari pendapat Herbert L. packer, dapat
dikatakan bahwa hanya ada dua tujuan pokok dari suatu pemidanaan yaitu sebagai
pembalasan (Retributif) dan untuk pencegahan kejahatan (Prevention).dalam hal
tujuan pemidanaan untuk pencegahan kejahatan tersebut, dapat pula dibedakan atas
pencegahan khusus dan pencegahan umum yang memerlukan pembahasan
tersendiri.
Dalam rancangan KUHP nasional yang baru, para pembaharu KUHP telah
menetapkan secara eksplisit tentang tujuan pemidanaan di dalam buku I pasal 51,
yaitu:
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna;
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam ayat (2) pasal tersebut dikatakan bahwa: “pemidanaan tidak bertujuan
menderita kan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa:
Rancangan KUHP menitik beratkan tujuan pemidanaan sebagai pencegahan bukan
pembalasan (penderitaan)
Pemidanaan menurut rancangan KUHP tidak dimaksudkan pula sebagai suatu
”pencelaan” (oleh masyarakat) atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan,
Dengan demikian bila rancangan tersebut kelak dijadikan sebagai KUHP, maka pidana
yang diterapkan harus dapat memenuhi tujuan pemidanaan diatas dan perlu
ditegaskan bahwa pidana denda tidak dimaksudkan untuk menambah income negara
atau untuk membiayai administrasi peradilan. Hanya saja sulit dibayangkan
bagaimana suatu pidana denda yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai suatu
“deterrence” tanpa sifat penderitaan yang melekat pada pidana denda tersebut.
Selanjutnya efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai
tahap-tahap atau proses sebagai berikut:
Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang-undang,
Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan
Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.
Tetapi di samping faktor-faktor diatas, efektifitas pidana denda itu sangat tergantung
pula pada pandangan dan penilaian masyarakat terhadap pidana denda. Apabila
masyarakat masih melihat pidana denda sebagai hal yang kurang memenuhi rasa
keadilan maka pidana denda tidak berhasil guna mencapai tujuan pemidanaan.
2. Faktor-faktor yang mendorong kecenderungan memperluas penggunaan pidana
denda.
Apabila kita perhatikan perkembangan hukum pidana dewasa ini di indonesia,
terutama hukum pidana khusus maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam berbagai
perundang-undangan lainnya, terdapat suatu kecenderungan memperluas
penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Caranya baik dengan meningkatkan
jumlah pidana denda maksimum yang diancamkan, kemungkinan komulasi pidana
penjara atau kurungan denda (yang dimungkinkan dalam KUHP), maupun dengan
mengancamkan pidana denda secara mandiri .sebagaimana tercantum misalnya
dalam UU Drtr No.7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi yang masih berlaku
sampai saat ini.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentu saja di dorong oleh berbagai faktor
dan situasi yang memerlukan penelitian yang lebih luas dalam kerangka mempelajari
permasalahan pidana pokok ini. Namun berbagi literatur dan hasil penelitian Tim
pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda, dapat dikemukakan beberapa
faktor pendorong meningkatkan dan berkembangnya pidana denda. Y.E. Lokollo,
mengemukakan bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain
disebabkan oleh membaik nya secara tajam tingkat kemampuan finansial dan
kesejahteraan masyarakat di bidang materi. Sebagai akibat membaik nya tingkat
kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak( karakter)
dari kriminalitas.
Selanjutnya perkembangan pidana denda ini di dorong pula oleh perkembangan
delik-delik khusus dalam masyarakat dibidang perekonomian yang erat pula kaitannya
dengan apa yang disebut sebagai “white collar crime” dan “profesional crime”, yang
dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam jumlah yang besar. Apabila si pelaku
hanya dikenakan pidana penjara, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk
menikmati hasil kejahatan tersebut. dalam hal inilah pidana dapat didayagunakan
untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak pidana yang dilakukan terpidana. Tentu
saja untuk maksud ini harus didukung oleh sarana-sarana untuk melaksanakan
keputusan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim.
Faktor ini erat kaitannya dengan perkembangan dalam pidana yang menyangkut
subyek hukum dalam hukum pidana. Dimana dalam KUHP sekarang pada dasarnya
hanya orang yang dapat menjadi subyek hukum pidana. Dalam “ memory van
toelichting” pasal 51 Nederlandache W.v.S (pasal 59 KUHP) dikatakan: “suatu
strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum
tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak
dapat dihindarkan lagi kemungkinan badan hukum (korporasi)melakukan tindak
pidana dan tanggung jawab tidak terlepas dari pertanggungjawaban pihak
pengurusnya.
Namun faktor yang tidak kalah pentingnya adalah semakin tidak disukainya pidana
penjara atau kurungan, karena dinilai seringkali tidak efektif terutama bagi tindak
pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi maupun narkotika. Kurang disukainya
pidana penjara ini juga bertolak dari susut pandang “Cost and benefit” yang berkaitan
dengan masalah efisiensi. Semakin banyak penghuni penjara berarti semakin banyak
biaya yang harus dikeluarkan oleh negara, sedang uang negara berarti uang rakyat
juga. Jumlah biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang diperoleh
dari pidana perampasan kemerdekaan itu.
Dalam pasal 35 ayat 2 KUHP hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari
jabatannya. Jika dalam aturan-aturan khusus , ditentukan penguasa lain untuk pemecatan
itu.
Pasal 38 KUHP menentukan:
1. Dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup lamanya pencabutan seumur
hidup
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan lamanya
pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari
pidana pokoknya
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling lama
lima tahun.
1. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan ( bukan dari
pelanggaran) yang disebut dengan “corpora delictie”. Misalnya, uang palsu dari
kejahatan pemalsuan mata uang
2. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan
“instrumen delictie”. Misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan.
1. Diancamkan dan dijatuhkan terhadap dua jenis barang, yaitu barang yang
diperoleh dari kejahatan dan barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan
2. Diancamkan dan dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja dan tidak
pelanggaran kecuali( pasal 502, 519, dan 549 KUHP)
3. Diancamkan dan dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana saja
jika undang-undang menentukan lain.
Jika dalam putusan hakim ditetapkan bahwa barang tersebut dirampas untuk negara
dan bukan untuk dimusnahkan maka ada dua kemungkinan:
1. Apabila pada saat putusan barang tersebut telah diletakkan di bawah penyitaan,
maka eksekusi terhadap barang adalah dalam bentuk pelelangan di muka umum
menurut peraturan yang berlaku.
2. Apabila atas barang tidak dilakukan penyitaan, maka dalam putusan hakim
ditetapkan tentang penafsiran harga atau nilai barang.
Pengumuman putusan yakni sebagai suatu bentuk pidana tambahan yang dilaksanakan
dengan cara-cara seperti diatas dinamakan usaha preventif, yaiyu untuk mencegah agar
orang tidak melakukan kejahatan.
8.PIDANA TUTUPAN
Pidana tutupan itu sendiri pada hakikatnya adalah pidana penjara, namun cara
pelaksanaanya yang berbeda dengan pidana penjara disebabkan karena kualifikasi terpidana
yang menjalaninya. Jadi meskipun pidana tutupan itu disebt sebagai pidana pokok, namun
sebenarnya lebih merupakan cara pelaksanaan pidana penjara yang bersifat istimewa.
9.PIDANA BERSYARAT
Pidana bersyarat sering disebut dengan hukuman percobaan dan lebih baik apabila
diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat. Pidana bersyarat hanya dapat diadakan
apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan.
a. Bagi kejahatan dan pelanggaran pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP paling
lama 3 tahun
b. Bagi jenis pelanggaran lainnya adalah paling lama 2 tahun
Terpidana yang diberikan pidana bersyarat haruslah memenuhi syarat tertentu yaitu
syarat umum dan syarat khusus.didalam pasal 14c KUHP ditentukan bahwa disamping
syarat umum terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan
syarat khusus, bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa
percobaan, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang yang ditimbulkan oleh
perbuatan pidananya.disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya
mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi elama masa percobaan atau
selama sebagian dari masa percobaan. Namun syarat tersebut tidak boleh mengurangi
kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik bagi terpidana
Bilamana syarat umum atau khusus tersebut tidak bisa dipenuhi maka berdasarkan
pasal 14f ayat 1 hakim atas usul pejabat yang berwenang meyuruh menjalankan
putusan, dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan
supaya atas namanya diberikan peringatan kepada para terpidana. masa percobaan
dimulai sejak putusan telah menjadi tetap damn telah diberitahukan kepada terpidana
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang undang (pasal 14b ayat 2 KUHP).
Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada didalam tahanan sementara
(pasal 14b ayat 3 KUHP).
Pada sistem probation yang di anut Amerika Serikat dan Inggris, pada fase pertama
terdakwa hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan. Apabila
pada masa percobaan ternyata yang bersangkutan tidak berhasil memperbaiki
kelakuannya selama masa percobaan, maka fase kedua ia dipidana. Sebaliknya, apabila
ia berhasil memperbaiki kelakuannya selama masa percobaan maka fase kedua tidak
dijalani. Sistem probation memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki
kelakuannya di masyarakat. Untuk itu, selama masa percobaan ia dibantu dan diawasi
oleh “probation officers” yang terdiri dari pekerja pekerja sosial yang terlatih di dalam
tugasnya.
Pasal 60 konsep rancangan KUHP baru menentukan jenis jenis pidana yaitu :
Dilihat dari pengelompokan jenis sanksi pidana menurut konsep KUHP baru, terlihat
adanya kesamaan dengan pola yang ada dalam KUHP, yang berbeda hanyalah jenis.
Didalam konsep KUHP baru tidak lagi dikenal pidana kurungan, yang menurut pola
KUHP biasanya diancam untuk tindak pidana pelanggaran. Jenis pidana tambahan
menalami penabahan dan perluasan. Yang menonjol dalam perluasan tersebut adalah
dimasukkan atau dirumuskannya secara ekspisit jenis pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat.
Pembagian seperti tersebut diatas tidak berarti, bahwa delik menurut undang-undang tidak
dapat dikenakan sanksi informal (pemenuhan kewajiban adat ). deliik menurut undang-
undang tetap dapat dikenakan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat, tetapi sebagai
pidana tambahan. Untuk delik informal (menurut hukum adat), sanksi berupa pemenuhan
kewajiban adat justru menjadi pidana pokok. Apabila sanksi informal ini tidak dipenuhi,
maka sebagai pidana penggantinya adalah sanksi formal (menurut konsep KUHP baru
penggantinya adalah pidana denda atau ganti kerugian).
Dalam pasal 109 (1) konsep KUHP baru dutegaskan, pidana pokok bagi anak terdiri atas
a. Pidana nominal :
1. pidana peringatan ; atau
2. Pidana teguran keras.
b. Pidana dengan syarat;
Dari jenis sanksi pidana bagi anak tersebut terlhat bahwa pidana yang dapat
dirumuskan bagi anak yang melakukan indak pidana lebih bervariasi daripada jenis sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan bagi orang dewasa. Hanya saja untuk anak tidak dikenakan
pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.
Sementara itu, Herbert L. Packer berpendapa bahwa perbedaan antara pidana dan
tindakan harus dilihat dari tjuannya. Tujuan uama dari tindakan adalah untuk membei
keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan (pelaku kejahatan ).
dasar pembenaran dari tindakan adalah pada pandangan, bahwa orang yang
bersangkutan akan atay mungkin menjadi lebih bik. Sedangkan tujuan dandasar
pembenaran dari pidana adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan dan untuk
mengenakan penderitaan pada sipelanggar.
Menurut ketentuan pasal 45 KUHP, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan
oleh hakim dalam hal membeikan sanksi terhadap seorang anak dibawah umur (belum
bermur 16 tahun ) yang terbukt melakukan tindak pidana, yaitu :
Khusus tentang sanksi yang dapat dikenakan kepada anak yang melkukan kejahatan,
didalam UU No. 3 tahun 1997 ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak. Bagi anak-
anak yang masih berumur 8 tahn sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan. Menurut
ketentuan pasal 24 ayt (1) UU No. 3 tahun 1997, tindakan yang dapat dijatuhkan kepaa
anak nakal adalah :
Salah satu bentuk lembaga kebijaksanaan dalam hukum pidana kita adalah apayang
dikenal dengan pembebasan bersyarat yaitu pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk
menjalankan pidana penjara.
Sementara itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi terpidanan dalam hal pembebasa
bersyarat ini, terdri-diri syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum merupakan
keharusan bagi terpidana, bahwa elain masa percobaan itu ia tida boleh melakukan tindak
pidanan dan perbutan-erbuatan tercela lainnya (pasal 15a ayat (1) KUHP ). Syarat umum ini
sifatnya adalah impertif . sedangkan syarat khusus adalah segala sesutu yang berkenaan
dengan perilaku terpidana, asalkan syarat-syarat itu, tidak membatasi kebebasannya untuk
beragama dan kemerdekaan berpolitik (pasal 15a ayat (2) KUHP ).
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
a.Pidana mati dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam pasal 2 sampai pasal 16
Pnps tahun 1964:
a. Dalam jangka waktu 3 kali 24 jam sebelum saat pidana mati dilaksanakan, jaksa
tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang dilaksanakannya pidana mati
tersebut.
b. Apabila terpidana seorang wanita hamil, maka pelaksanaan pidana mati ditunda
hingga anak yang dikandungnya lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di
daerah lingkungan dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana
mati yang bersangkutan.
d. Kepala Polisi dari derah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai
pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira polisi
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan
pidana mati
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat
terpidana
i. Setelah pelaksanaan pidana mati selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau jaksa
yang bersangkutan harus membuat berita acara.
b. Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia
sejak tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP.
c. Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan dalam beberapa hal lebih ringan
daripada pidana penjara.
d. Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang dan diancamkan terhadap
tindak pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau kejahatan ringan.
e. Dalam pasal 35 ayat 2 KUHP hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari
jabatannya. Jika dalam aturan-aturan khusus , ditentukan penguasa lain untuk
pemecatan itu.
f.Ada dua jenis barang yang dapat dirampas menurut pasal 39 KUHP:
f. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan ( bukan dari
pelanggaran) yang disebut dengan “corpora delictie”. Misalnya, uang palsu dari
kejahatan pemalsuan mata uang
g. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan
“instrumen delictie”. Misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan.
h. Pasal 195 KUHAP, bahwa setiap putusan hakim baru sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan di persidangan yang terbuka untuk umum.
i. Pidana tutupan itu sendiri pada hakikatnya adalah pidana penjara, namun cara
pelaksanaanya yang berbeda dengan pidana penjara disebabkan karena kualifikasi
terpidana yang menjalaninya.
j. Pidana bersyarat sering disebut dengan hukuman percobaan dan lebih baik
apabila diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat.
TAMBAHAN :
Pengecualian atas prinsip tersebut terdapat dalam beberapa aturan diluar kuhp. Dalam uu
korupsi pasal 38 ayat 5 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebe;um
putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntutu umum menetapkan
perampasan barang barang yang telah disita.