Anda di halaman 1dari 13

TINDAK PIDANA PENJARA DI INDONESIA DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

CHRISKI JUWANDA
NIM 041103906
Email: chriski.juanda@gmail.com
Program Studi S1 Ilmu Hukum, FHISIP
UNIVERSITAS TERBUKA

Abstrak
Pidana penjara adalah kejahatan utama yang paling banyak diancamkan terhadap
pelaku kejahatan. Penerapannya merupakan warisan hukum kolonial. Dengan perkembangan
merefleksikan konsep pemidanaan mulai dari pemidanaan hingga rehabilitasi, pemberlakuan
pemenjaraan serta ditinjau kembali agar dalam pelaksanaan dan pengoperasiannya dapat
sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kajian ini mengkaji penerapan pidana
penjara dalam hukum pidana Indonesia, hukum adat dan hukum pidana Islam, serta konsep
reformasi penjara dalam RKUHP, Jadi bentuk reformasi pemidanaan yang sesuai dengan
teori keadilan restorative dapat melindungi hak-hak narapidana, korban dan masyarakat.

Kata Kunci : Pidana Penjara, Hukum Pidana Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan
Keadilan Restoratif
A. PENDAHULUAN
Eksekusi hukuman penjara di Indonesia adalah hukum yang diwarisi dari hukum
kolonial Belanda yang bersifat purnitif dan represif. Sifat ini tidak lain karena dipengaruhi
oleh ajaran hukuman lazim pada saat itu, yaitu retributif. Menurut teori retributif,
hukuman diberikan karena pelaku kejahatan harus menerima hukuman itu demi
kesalahan.. Hukuman menjadi retribusi hanya untuk kerugian karena tindakannya. Jadi
menurut teori ini hukuman yang setimpal bagi pelanggarnya tentang menganggap bahwa
pelaku kejahatan dinyatakan bersalah. Hukuman menyatakan bahwa pelaku kejahatan
bertanggung jawab atas hukum pelanggaran (Ibn Artadi, 2006: 377).
Sistem peradilan pidana bekerja menuntut dan memenjarakan seseorang, tetapi di
sisi lain, dia gagal menciptakan kehidupan masyarakat yang aman. Seharusnya korban
kejahatan diperlakukan secara adil, setelah itu antara penyerang atau pelaku dan korban
atau keluarganya harus didamaikan. Pelaku tidak hanya bertanggung jawab tetapi juga
harus diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat (Samuel c. Damren, 2002: 83).
Perkembangan pemidanaan yang bernilai keadilan restorative di berbagai belahan
dunia yang membuat perubahan signifikan terhadap pola pemidanaan retributive dengan
Lembaga pejara yang selama ini di patuhinya atau dianut. Di berbagai negara pidana
penjara mulai di tinggalkan dan untuk gantinya disebut dengan pidana kerja sosial, pidana
denda dan pidana pengawasan (Dwidja Priyatno, 2009: 49-53). Pergeseran persepsi
penghukuman ini antara lain disebabkan oleh konsekuensi pemenjaraan yang berdampak
negatif lebih besar dan belum menunjukkan keberhasilannya dalam menurunkan angka
kejahatan (Alison Liebling, 2006:422).
Sebagai bagian dari reformasi hukum pidana Indonesia, tentu saja penjara itu
pantas Pasal 10 KUHP juga harus ditinjau kembali keberadaannya dalam konsep
hukuman. Reformasi hukum pidana Indonesia perlu memperhatikan hukum adat dan
hukum Islam sebagai aturan hidup (living law). Karena dua sistem hukum living law di
Indonesia mengandung prinsip keadilan restoratif sangat tinggi dan diuji dalam perang
melawan kejahatan di masyarakat. Penelitian ini mengkaji keberadaan dipenjara dalam
hukum pidana Indonesia dan menganalisis model kepercayaan dalam rancangan KUHP.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum, khususnya studi tentang prinsip-
prinsip hukum positif dan asas hukum yang dilaksanakan melalui mengevaluasi aturan
hukum (peraturan perundang-undangan) yang relevan. Penelitian tinjauan hukum positif
ini dilakukan dengan mengevaluasi kondisi yang sesuai antara negara hukum dengan
aturan hukum lain atau dengan prinsip hak untuk diakui dalam praktik hukum yang
dilakukan dengan mempelajari literatur dokumen atau data sekunder (Bagir Manan, 1999:
3-6). Penelitian ini juga didukung oleh metode menafsirkan hukum, merumuskan hukum,
filsafat hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Teknik analisis data
menggunakan interpretasi hukum yang sistematis, otentik dan terarah.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengertian Pidana Penjara
Pidana penjara adalah kejahatan dalam bentuk perampasan kemerdekaan
atau hak terpidana untuk kebebasan bergerak menempatkan dia di sebuah institut
lembaga pemasyarakatan (Dwidja Priyatno, 2009: 71-72). Penjara ditentukan oleh
resmi hadir di Indonesia sejak KUHP berlaku pada 1 Januari 1918, sebelum itu
Indonesia hanya mengenal hukuman fisik dan denda. Itu tidak ada di sana pada saat
itu batas yang jelas untuk membedakan antara hukuman badan dan penjara, karena
dalam mengimplementasikannya sebagai sengaja menyebabkan rasa sakit untuk
seseorang melanggar hukum pidana.
Pidana penjara adalah kejahatan risiko tertinggi dari pelaku tindak pidana
dalam pasal II KUHP. Penjara juga dihukum oleh pelanggaran diatur oleh undang-
undang selain KUHP, yang keduanya dibangun di individu atau kumulatif-alternatif
dengan sanksi pidana lainnya (Dwidja Dwidja Priyatno, 2009: 72-77). Seri kurungan
terancam dibandingkan dengan KUHP dan di luar KUHP dengan jenis kejahatan asal
lainnya, karena kurungan hanya kejahatan utama KUHP memungkinkan Anda untuk
melatih secara terencana dan terarah dihukum, sedangkan jenis kejahatan utama Yang
lain tidak mengizinkan pelatihan dengan narapidana. Kemudian ditangkap mengalami
perubahan sejak 1964 dengan amandemen hukuman penjara menjadi penebusan.
Hukuman penjara berubah menjadi penjara (Suwarto, 2007: 166).
Tren saat ini, penjara direndahkan, karena banyak tantangan dan tekanan
tentang berbagai gerakan yang muncul di Eropa dan Amerika, fokus kejahatan penjara
tidak hanya diberikan oleh ahli individu, tetapi juga oleh organisasi internasional.
Laporan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Kelima pada tahun 1975 tentang
Pencegahan dan pelatihan kejahatan Penjahat, kita cenderung mengabaikan kapasitas
organisasi pidana. Dalam perkembangan selanjutnya Gerakan abolisionis muncul di
Amerika soroti reaksinya terhadap penghapusan Sistem penjara Eropa dan gerakan
abolisionis menekankan penolakannya untuk sistem peradilan pidana pada umumnya,
dengan sistem penjara pusat merujuk pada bentuk kejahatan lainnya seperti denda dan
kerja sosial (Dwidja Priyatno, 2009: 47-52).
Namun, penjara dianggap perlu untuk diproses semakin banyak kejahatan
variasi dan mode. Herbert L. Packer berpendapat bahwa: (1) sanksi pidana sangat
dibutuhkan, kita tidak hidup sekarang serta di masa bebas kejahatan; (2) Hukuman
pidana adalah alat atau sarana yang terbaik yang kami miliki untuk menghadapi
bahaya besar dan segera, dan untuk menanggapi ancaman bahaya ini (Herbert L.
Packer, 968: 364-365)

2. Pengaturan Pidana Penjara


a) Pengaturan Pidana Penjara dalam KUHP
Pasal 10 KUHP menetapkan jenis pidana yang diberlakukan di Indonesia
terdiri atas:
1) Pidana pokok
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Kurungan
d. Denda
e. Pidana tutupan

2) Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Dana dipertaruhkan untuk penulis pelanggaran diberi peringkat dari yang
paling serius hingga paling ringan. Perbedaan antara kejahatan utama dan hukuman
tambahan juga jelas, bahwa:
(1) Hukuman tambahan mungkin ditambahkan ke penalti utama dengan
pengecualian perampasan properti tertentu yang ditugaskan untuk bangsa;
(2) Hukuman tambahan adalah opsional, yang berarti jika hakim percaya bahwa
berkaitan dengan kejahatan dan pelanggaran terdakwa, hakim tidak
menerapkan hukuman tambahan, kecuali untuk pasal 250 bis dan pasal 275
kuhp dipersyaratkan, khususnya hakim harus hukuman utama berlaku jika
perilaku kesalahan terdakwa terbukti. Namun, pada kenyataannya, hakim
dapat memilih salah satu kejahatan hukuman utama dan tambahan
Pidana penjara adalah sejenis hukuman paling berat dalam hukum
pidana sampai sekarang. Kriminal Penjara adalah kejahatan terburuk karena
banyak orang yang dipertaruhkan, yaitu 395 kejahatan (+67,29%) (Dwidja
Priyatno, 2009: 77). Data ini menunjukkan bahwa tindak pidana penjara adalah
kejahatan paling terancam dalam KUHP, namun tidak ditemukan alasan yang
mendasari untuk menentukan dipenjara sebagai sejenis hukuman pidana untuk
diperbaiki pidana. sejauh ini tidak pernah jelaskan mengapa kejahatan itu harus
diancam penjar untuk kebijakan menerima begitu saja gunakan penjara dan
hukuman hukum pidana terhadap narapidana. Karena itu bahkan dalam hukum
eksternal KUHP, penjara selalu satu ancaman paling kriminal mengancam.
b) Pengaturan Pidana Penjara dalam RKUHP
Tujuan pidana berdasarkan RKUHP mengalami perubahan seperti termuat
dalam pasal 54 ayat (1) hukuman itu dimaksudkan untuk:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan memegakkan norma hukum demi
mengayomi masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidananya dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh tidak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan
4. Membebaskan rasa bersalah pada yang terpidana.
Pasal 54, ayat (2), peraturan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Setuju dengan Pasal 54,
perhatikan baik-baik hak-hak terpidana, tentang instruksi hukuman juga dinyatakan
bahwa hukuman seperti gambar menurut kata-kata pasal 55, ayat (1) adalah wajib
mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana
c. Sikap batin pembuat tindak pidana
d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan.
e. Cara melakukan tindak pidana
f. Sikap dan Tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap korban atau keluarga korban
i. Pemanfaatan dari korban dan atau keluarganya
j. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
Kemudian dijelaskan dalam pasal 55 ayat (2) bahwa: Ringkasnya tindakan,
keadaan atau keadaan pribadi produser pada saat tindakan atau apa yang terjadi
selanjutnya, dapat digunakan sebagai alasan untuk tidak menghukum atau
memaksakan tindakan yang disengaja segi keadilan dan kemanusiaan. Kacau
RKUHP tetap kriminal penjara sebagai kejahatan Kepala sekolah mengancam
penyerang pidana. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 65 adalah sebagai berikut:
1. Pidanan Pokok
a. Pidana penjara
b. Pidana tutupan
c. Pidana pengawasan
d. Pidana denda
e. Pidana
2. Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat
ringannya pidana
Penjelasan pelaksanaan pidana penjara tercantum pada Pasal 69-75. Pada
Pasal 69 dijelaskan bahwa :
1. Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
2. Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas)
tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan
minimum khusus.
3. Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau
jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara
15 (lima belas) tahun maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat
dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturutturut.
4. Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh
dijatuhkan lenih dari 20 (dua puluh) tahun.
Dalam garis besar RUU KUHP tidak lagi mengenal kurungan, yang
mengikuti bentuk KUHP, biasanya diancam karena kejahatan "Pelanggaran". Jenis
kejahatan lainnya dan tindakan dalam konsep RKUHP memperluas, termasuk
secara eksplisit dibangun dari tipe hukuman tambahan berupa "prestasi" bea
cukai". Rumus kejahatan umum, ditujukan untuk mempertimbangkan jenis sanksi
yang biasa atau hukuman menurut hukum tidak tertulis.

c) Pengaturan Pidana Penjara dalam Hukum Adat


Indonesia adalah sebuah negara sangat kaya dan beragam hukum adat. Di
lapangan hukum pidana di beberapa daerah Itu selalu diakui bahwa hukum pidana
berlaku tradisi. Wajar jika hukum kejahatan adat digunakan sebagai sumber
pengenalan hukum pidana nasional. Eksistensi hukum pidana adat harus tetap
berjalan pembangunan, karena hukum pidana Adat adalah hukum yang berasal dari
langsung dari masyarakat (hukum kehidupan), sehingga akan terus hidup dan
berkembang masyarakat adat Indonesia (Otto Yudianto, 2012: 25).
Adanya hukum pidana adat masih dilindungi undang-undang hukum pidana
nasional masa depan, yang diwujudkan dalam RKUHP. Konsep pasal 2
menjelaskan bahwa hukum pidana adat akan tetap ada diakui oleh hukum nasional
baik dalam bentuk ketentuan pidana dan penalti, asalkan cocok Nilai-nilai
Pancasila dan/atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh federasi bangsa-
bangsa. Kacau tindak pidana dan peraturan hukum pidana adat memiliki ciri khas
tersendiri yang mengutamakan nilai masyarakat
Begitu juga dalam bentuk hukuman, dalam hukum pidana adat
mengusulkan sanksi moral, sosial, berupa hukuman badan dan denda jangan masuk
penjara sebagai salah satu jenis kejahatan. Jenis sanksi hukum kejahatan adat
sangat memprihatinkan manfaat dari bentuk hukuman ini untuk Penonton.
keyakinan, keyakinan, penghakiman mengembalikan keseimbangan semesta
agama telah dinodai oleh kejahatan para pelakunya pidana.
Tindak pidana umum itu sendiri diartikan seperti semua tindakan atau fakta
yang bertentangan kebenaran, keselarasan, keteraturan, rasa aman, rasa keadilan
dan kesadaran Hukum masyarakat, keduanya merupakan hasil perbuatan orang
atau tindakan penguasa. Dari pemahaman ini, kita tahu bahwa Dalam hukum adat
tidak ada pembedaan kemungkinan tindakan ilegal hukuman dan konsekuensi
perdata.
Filosofi solusi Konflik antara masyarakat adat adalah keadilan, khususnya
dalam bentuk keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat adalah keadilan dalam
dimana tidak ada yang merasa terluka dengan keputusan Presiden atau pemimpin
tradisional dari pendirian acara adat. Keadilan itu sangat penting didirikan sebagai
artikulasi ketertiban kehidupan masyarakat adat. Menghormati dan martabat
masyarakat adat dan suku, sangat ditentukan oleh derajat Dimana nilai-nilai
keadilan masyarakat? diwujudkan. Semakin tinggi nilai keadilan komunitas,
terkuat dan paling mulia posisi masyarakat hukum adat (Syahrizal Abbas, 2011:
246).
Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat dan hukum adat
cenderung menggunakan model tradisional atau dengan keluarga. Model ini tidak
hanya berlaku untuk perselisihan perdata dan pidana. Larutan bedanya dengan
model biasa ini menimbulkan hukuman atau kompensasi terhadap mereka yang
melanggar hukum adat. Kesedihan dapat diterapkan sebagai hukuman kompensasi
perusahaan atau properti, Penerapannya tergantung pada jenis dan keseriusan
perselisihan antara para pihak. Penyelesaian sengketa menurut adat sendiri
Bertujuan untuk membawa kedamaian secara komprehensif, tetapi tidak hanya
mengacu pada pelaku pelanggaran, dan hanya korban tetapi juga menciptakan
perdamaian bagi masyarakat adat pada umumnya (Syahrizal Abbas, 2011: 246-
248).
d) Pengaturan Pidana Penjara dalam Hukum Islam
Tindak pidana (jarimah) dalam hukum pidana Islam terbagi tiga macam,
yaitu hudud, qishash, dan ta`zir (Umar al-Tamimi, 2013: 460-463). Tindak pidana
hudud adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman
yang telah ditentukan oleh syariat dan merupakan hak Allah.
Hukum pidana islam mengenal pemenjaraan, karena konsep ini
merupakan konsep yang lahir di dunia Barat. Pemidanaan dalam hukum pidana
Islam bersifat segera dengan memaksimalkan perlindungan bagi pelaku pidana,
korban, dan masyarakat lainnya. Pidana penjara hanya dapat diterima sepanjang
pidana tersebut memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat (Otto
Yudianto, 2012: 24).

3. Analisis Keberadaan Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum Pidana di


Indonesia
Pidana dikenakan pada pelaku kejahatan adalah sesuatu yang adil dalam
perspektif yang berbeda dari teori kriminal (Gargi Roy, 2014: 95). Namun, harus juga
mempertimbangkan aspek keadilan dan manfaat dari bentuk hukuman ini akan
dikenakan pada penjahat. Jangan biarkan hukuman dijatuhkan pelanggaran hak asasi
penulis kejahatan itu sendiri.
Pidana penjara sebagai jenis kejahatan mengambil kebebasan seseorang tentu
saja hanya melanggar hak asasi manusia, terutama jika hukuman penjara adalah
penjara seumur hidup hidup adalah bentuk hukuman sangat tidak manusiawi (Esther
Gumboh, 2011: 77). Pidana penjara terkadang harus dijalani seseorang yang divonis
pidana mati, yang seringkali tanpa kejelasan kapan ia akan divonis. Harus diakui
banyak hal negatif dari sistem pembinaan dalam pidana penjara, yang harus dialami
narapidana diantaranya:
a) Secara sosiologis pemenjaraan secara sosial pisahkan seseorang dari keluarganya.
Saat itu kepala keluarga sebenarnya dia punya kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya, istri dan anak-anaknya seperti orang lain orang lain
sebelum memenjarakannya pemeliharaan, selain tentu saja hanya kepuasan
kebutuhan biologisnya juga menjadi gila;
b) Di penjara, system pembinaan ternyata kurang berjalan baik, di LAPAS ditemukan
kelompok-kelompok yang sering memeras kelompok lainnya, bertindak kasae dan
bertengkar. Petugas LAPAS biasanya bertindak pilih kasik dan LAPAS berfungsi
sebagai tempat transfernya ilmu kejahatan (Andrew Stevano Kokong, 2012: 53).
c) System pemidanaan melalui pidana penjara menjadikan seorang narapidana
terisolasi dari masyarakat dan keluarga, sehingga secara psikologis narapidana
dapat mengalami stressdan penurunan kesehatan mental (Alison Liebling,
2006:425).
d) Keluar dari penjara, masyarakat justru takut dan bahkan tidak mau menerimanya
Kembali oleh para mantan narapidana, karena takut apabila mantan narapidana
tersebut melakukan kejahatan untuk kedua kalinya. Terjadi lebbeling mantan
narapidana dengan sebutan penjahat, sehingga keluar dari LAPAS dia sangat
kesusahan mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga,
sehingga tidak sedikit narapidana yang akhirnya melakukan kejahatan Kembali
(residivist).
Perkembangan teori pidana dan hukuman pembalasan untuk keadilan
restoratif, menuntut perlakuan yang lebih manusiawi untuk kejahatan dan perlindungan
hak-hak korban dan keluarganya dan masyarakat. Sedang dalam proses finishing kasus
pidana di bawah keadilan restoratif melalui musyawarah untuk mufakat, dimana Masing-
masing pihak memiliki posisi sama dan tidak ada yang mendominasi (John Braithwaite,
2002: 565), dalam hal focus ini, solusinya terletak pada konsiliasi dan hubungan antara
pelaku kejahatan dan korban (Edward J. Gumz dan Cynthia L. Grant, 2009:121).
Penyelesaian perkara dengan restorative justice bertujuan menghasilkan keberhasilan
dalam penegakan hukum dengan melibatkan seluruh pihak yang terlibat dalam suatu
kejahatan, yaitu pelaku, korban, anggota keluarga dari pelaku dan korban, serta
masyarakat. Penyelesaian kasus kriminal bisa lebih adil dan banyak lagi efektif karena
semua pihak terlibat secara aktif (okwendi Joseph Solomon dan Richard Nwankwoala,
2014: 128). Pelaku harus menghadapi konsekuensinya oleh kejahatan yang dilakukannya,
korban pemulihan fisik dan psikologis dalam bentuk kompensasi dan pengurangan bahkan
takut untuk sembuh atau trauma, terlibat secara sosial dalam mengatasi konsekuensi
negatif dengan cara menangkap penjahat dan mengajari anggota orang lain tidak boleh
melakukannya kejahatan lainnya.
Dilihat dari studi pemulihan keadilan (study restorative) di atas, maka tujuan
pemidanaan dalam RKUHP seperti yang ditunjukkan dalam pasal 54 ayat (1) huruf c
yaitu, "menyelesaikan konflik yang timbul dengan" kejahatan, memulihkan keseimbangan,
dan membawa rasa damai di sosial", sesuai dengan teori Keadilan restoratif berfokus pada
Menyelesaikan kasus pemulihan keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat.
Bahkan, dari perspektif hukum adat, maka orang Indonesia asli Saya telah menggunakan
prinsip untuk waktu yang lama ini. Oleh karena itu, susunan kata Pasal 54 ayat (1) huruf c
RKUHP sesuai teori keseimbangan berasal dari kebiasaan orang Indonesia (Siti Nurjanah,
2011).
Pemenjaraan dalam RKUHP dapat dipidanakan atau dijatuhkan untuk (1)
seumur hidup atau untuk jangka waktu tertentu, (2) paling lama 15 tahun terus menerus
atau minimal 1 hari kecuali peraturan minimum (Pasal 69). Kemudian ada pembatasan
hukuman penjara dalam waktu tertentu tidak boleh lebih besar dari 20 tahun. RKUHP juga
membangun aturan daripada mereka yang dijatuhi hukuman mati telah menderita
hukuman minimal 17 tahun mungkin berlaku pembebasan bersyarat jika terbukti bersalah
perbuatan baik (Pasal 70).
Pasal 71 mengatur bahwa penjahat Apakah penjara bahkan sejauh mungkin
dikenakan jika: (1) tergugat adalah di bawah 18 tahun atau di atas 70 tahun lima; terdakwa
melakukan ini untuk pertama kalinya tindakan kriminal; (3) kehilangan dan penderitaan
korban tidak terlalu besar; (4) terdakwa memiliki ganti rugi kepada orang yang menderita
kerugian; (5) Terdakwa tidak mengetahui bahwa kejahatan yang dilakukan akan
mengakibatkan Kerugian besar; (6) kejahatan telah dilakukan karena sorakan semua orang
yang sangat kuat lainnya; (7) korban kejahatan mendorong terjadinya kejahatan; (8)
tindakan kejahatan adalah akibat dari situasi yang tidak dapat diulang Lagi; (9)
kepribadian dan perilaku terdakwa percaya dia tidak akan kejahatan lainnya; (10) penjara
akan menyebabkan penderitaan besar besar bagi terdakwa atau keluarganya; (11) pelatihan
non-lembaga seharusnya cukup baik untukku responden; (12) hukuman pidana lagi Bobot
yang ringan tidak akan mengurangi sifat bobot tindak pidana terdakwa; (13) kejahatan
yang dilakukan dalam keluarga; (14) terjadi karena kelalaian.
Membangun penghapusan pidana penjara atau mengubah hukuman dari
penjara dalam bentuk hukuman atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam 71 RKUHP
dalam Ini adalah bentuk perlindungan hak cipta narapidana dan keluarganya. Jadi RKUHP
berusaha menegakkan hukum pidana melindungi hak-hak narapidana. Namun, penjara
masih jangan memberi banyak untuk melindungi korban dan masyarakat. Sebagai bentuk
perlindungan terhadap korban RKUHP ditetapkan dalam pasal 99 ayat (1) bahwa: “Dalam
putusan hakim, hal itu dapat ditentukan” kewajiban terpidana untuk melaksanakan
membayar ganti rugi kepada korban atau ahli warisnya. Kemudian bagian 100 pembuatan
tautan RKUHP kebiasaan yang harus ditaati oleh narapidana. Penggunaan kejahatan adat
dalam hukuman dalam Pasal 100 konsisten dengan kata-katanya dalam pasal 2 ayat (2).
Perumusan kata "mungkin" dalam artikel 99 ayat (1) menunjukkan bahwa
penentuan ganti kerugian bukanlah dalam kewajiban pidana, yang berarti dapat dilakukan
atau tidak. Seharusnya ketika kejahatan orang yang dihukum karena menyebabkan
kerugian bagi korban atau ahli warisnya; terpidana kemudian dimintai ganti rugi kepada
korban atau ahli warisnya dengan kerusakan yang disebabkan oleh tindakan kejahatan
yang dilakukannya. Dengan formula pembayaran kompensasi dalam hukum atau hukum
pidana Islam dan pidana adat
Untuk mengubah gagasan hukuman Hal ini selain pidana penjara juga
termasuk dalam RKUHP membentuk jenis hukuman baru berupa: pengawasan kriminal,
denda, dan pidana kerja sosial (pasal 65 ayat (1)) RKUHP), sedangkan hukuman mati
diubah menjadi penjahat utama khusus dan terus-menerus terancam (Pasal 66 RKUHP).
Dendanya adalah sanksi pemecatan saldo untuk pesanan di komunitas pemulihan (I A
Budijava dan Julianus Bandrio, 2010: 77).
Namun masih pidana denda memiliki kelemahan di antaranya dengan adanya
pilihan hukuman membayar denda atau kurungan. Banyak orang yang dihukum siapa yang
dihukum, suka menderita kurungan. Mereka cenderung berpikir lebih baik menerima
hukuman kurungan selama beberapa bulan daripada harus menghabiskan uang dalam
jumlah besar. Dengan penahanan, seolah-olah denda sudah dibayar ganti rugi terpidana.
Ada alternatif hukuman sangat bermanfaat kejahatan, padahal sebenarnya tujuan utama
denda harus dibayar dan tidak diganti dengan hukuman lainnya. Baik dikeluarkan oleh
pengadilan sejauh ini dapat dikatakan tidak efektif, karena sulit untuk dilakukan dan
tujuan tidak tercapai seperti yang diharapkan.
Kebanyakan semua terpidana didenda, tidak mau atau tidak mau membayar
Bagus. suka narapidana menjalani hukuman pengganti. kelemahan instrumen hukum tidak
ada ikatan pada terpidana denda moneter. lemah Hal ini tentu saja menguntungkan para
terpidana di satu sisi, tapi merugikan negara Di samping itu. tidak perlu perangkat
narapidana menghabiskan banyak uang untuk membayar baiklah, tapi bagi Negara
kerugiannya adalah disebabkan oleh tindakan penulis tidak dapat dipulihkan (Gatot
Supramono, 2008: 35).
D. PENUTUP
Penjara sebagai kejahatan utama, adalah jenis kejahatan yang paling umum banyak
orang diancam dalam KUHP Indonesia, maupun dalam RKUHP. Dalam pelaksanaannya
Penjara memiliki banyak kekurangan yang harus dikoreksi dengan penalti dikenakan pada
penjahat tidak memiliki efek negatif pada penulis dan keluarganya. Apalagi hukuman
yang dijatuhkan untuk pelaku kejahatan harus segera memperbaiki kondisi korban,
keluarganya, dan memulihkan keadaan masyarakat menurut dengan berkembangnya
konsep punishment for keadilan restoratif.

D. DAFTAR PUSTAKA
Andrew Stevano Kokong. 2012. “Pidana Penjara Seumur Hidup dalam Sistem
Pemidanaan, Lex crimen, Vol. I, No. 2, Apr-Jun 2012.
Bagir Manan. 1999. “Penelitian di Bidang Hukum”. Jurnal Hukum Puslitbangkum, Nomor
1-1999. Lembaga Penelitian Univ. Padjadjaran, 1999
Braithwaite, John, Setting Standards for Restorative Justice, Brit. J. Criminol, 42, 2002.
Budijava, I A., dan Yulianus Bandrio, Eksistensi Pidana Denda di Dalam Penerapannya,
Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, oktober 2010.
Damren, Samuel c., Restorative Justice Prison and the Native Sense of Justice, Journal of
Legal Pluralism, nr. 47, 2002
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2009.
Gatot Supramono, Hukuman Pidana Denda di Indonesia, Varia Pengadilan, No. 270, Mei
2008.
Gumboh, Esther, The Penalty of Life Imprisonment under International criminal Law,
African Human Rights Law Journal, 11, 2011.
Gumz Edward J., and cynthia L. Grant, Restorative Justice: A Systematice review of the
Social Work Literature, Families in Society, Volume 90, No. 1, 2009.
Ibnu Artadi, Menggugat Efektivitas Penerapan Pidana Penjara Pendek Menuju Suatu
Proses Peradilan yang Humanis, Jurnal Hukum Pro Justitia, oktober 2006, Volume
24 No. 4.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Liebling, Alison, Prison in Transition, International Journal of Law and Psychiatry, 29,
2006.
Otto Yudianto, Eksistensi Pidana Penjara dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat
(Kajian Pembaharuan Hukum Pidana), Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 15, Pebruari
2012.
Packer, Herbert L., The Limits of The Criminal Sanction, california: Stanford University
Press, 1968.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Konsep 2012)
Roy, Gargi, Is capital Punishment Acceptable?, International Journal of Humanities and
Social Science, Vol. 4 No. 2, Special Issue, January 2014.
Siti Nurjanah, Pidana dan Pemidanaan dalam Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal
Istinbath, Vol. 8, Nomor 2, Nopember 2011.
Solomon, okwendi Joseph, and Richard Nwankwoala, The Role of Restorative justice in
complementing the Jusstice System and Restoring community Values in Nigeria,
Asian Journal of Humanities and Social Sciencies (AJHSS), Volume 2, Issue-3,
August 2014
Suwarto, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Hukum Pro
Justitia, Volume 25 No. 2, April 2007.
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
Jakarta: Kencana, 2011.
Umar al-Tamimi, Lembaga Pemafaan sebagaiAlternatif Penyelesaian Perkara Pidana
Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 3, Desember
2013.

Anda mungkin juga menyukai