Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU HUKUM PIDANA

Nama : Aurelia Meagan Tan

NIM : 205200026

Mata Kuliah : Hukum Pidana

Kelas : A1

Dosen : Dr. Urbanisasi S.H., SIP, M.H., CLA, CIL,

Fakultas Hukum

Universitas Tarumanagara

2021/2022
1. Jelaskan perbedaan pengertian hukuman dengan pidana.
Jawaban :
Hukuman adalah hasil dari penerapan hukum yang bermakna luas.
Atau dengan kata lain hukuman itu adalah hasil dari kesalahan atau
pelanggaran yang melanggar peraturan. Sedangkan pidana adalah berupa
penderitaan atau nestapa yang dapat menimbulkan efek jera.
Jadi, perbedaannya adalah hukuman itu bersifat luas dan terjadi
bukan hanya karena pelanggaran melainkan juga dapat terjadi karena
adanya kesalahan dari si pembuat. Hukuman tidak hanya ada dalam
pidana, tapi ada pada yang lain seperti perdata dan lainnya. Sedangkan
pidana adalah penderitaan atau nestapa yang diberikan kepada pembuat
yang dapat menimbulkan efek jera kepada si pelaku agar tidak
mengulanginya lagi. Pidana merupakan bagian dari hukuman.
Sebagai contohnya adalah hukuman dapat diberikan seperti
hukuman karena kesalahan tidak membuat PR di sekolah, guru
memberikan hukuman berdiri di depan kelas selama pelajaran
berlangsung, ini dinamakan hukuman. Tidak mungkin hanya karena tidak
membuat PR, seorang murid sampai diberikan pidana seperti pidana
kurungan.

2. Apa maksudnya, hukum pidana menganut ”double track system”


Jawaban :
Di dalam konsep double track system mencakup ruang lingkungan
hidup, lingkungan hidup merupakan sebagai media hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan unsure alam terdiri dari bermacam-macam
proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan dari bermacam-macam
proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan yang mantap. Manusia
secara ekologi adalah bagian intergral lingkungamn hidupnya. Manusia
terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia membentuk
lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup mempunyai kemampuan
mengabsorpsi limbah yang dibuang ke dalamnya. Kemampuan ini tidak
terbatas. Apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang ke dalam
lingkungan melampaui untuk mengabsorbsi, maka dikatakan bahwa
lingkungan itu tercemar.
Dimana dalam Pasal 30 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dimana tiap-tiap pasal sudah mengatur
namanya lingkungan hidup. Dimana pencemar atau perusak lingkungan
hidup di dalam Pasal 22 UUPPLH dalam sistem pemidanaan hanya
mengenal jenis penjara, kurungan dan denda yang terasa kurang lengkap
apabila terdakwanya (pencemar) adalah korporasi yang tidak mungkin
dijatuhi pidana penjara. Pada umumnya korporasi dianggap dapat diminta
pertanggunjawabannya pidana melalui jenis pidana tertentu. Dengan
penerapan jenis sanksi yang diatur dalam undanng-undang nomor 7
Dirt.tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi, yaitu Pasal 7 ayat (1)
mengenai hukuman tambahan dan Pasal 8 mengenai tindakan tata tertib,
dapat dijadikan pelengkap jenis sanksi pidana dalam pasal 22 UUPPLH.
pengaturan ini juga terdapat pada KUHAP yang modern yang telah
terdapat pengaruh dari perkembangan. Dimana pencemar atau perusak
yang dilakukan seorang atau badan hukum terhadap pencemaran
lingkungan hidup. Maka system pemidanaan yang dapat menjerat para
perusak terutama korporasi yang tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.
Penerapan yang diatur KUHAP adalah system double track dimana dalam
system ini sanksi hukuman pidananya ditujuhkan kepada manusia
bilamana perusak tersebut organ yang menjalani badan hukum tersebut.
Sedangkan pemidanaan sanksi tindakan ditujuhkan kepada badan
hukummnya, agar korposari itu tidak lepas dari pertanggungjawaban
pidana yang disebut penerapan system pemidanaan dua jalur (double track
system).

3. Bagaimana perkembangan tujuan pemidanan hingga dewasa ini?


Jawaban :
Dewasa ini, perkembangan tujuan pemidaan berkembang dengan
lebih memikirkan si pelaku sebagai terpidana agar dapat kembali lagi ke
dalam masyarakat setelah menjalani proses pidana atau dengan kata lain
bertujuan pada perbaikan atau pembinaan si pelaku, yaitu dengan contoh
seperti rehabilitasi. Rehabilitasi ini biasanya ditujukan kepada yang
tersangkut kepada pengguna narkoba dan direhabilitasi agar dapat
memperbaiki dirinya agar tidak menggunakan obat terlarang tersebut.
Disamping dari tujuan untuk memperbaiki dari si pelaku, awalnya
ada tujuan lain yang sudah ada terlebih dahulu, yaitu memberikan efek jera
kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pemberian efek
jera ini biasanya berupa hukuman kurungan yang diberikan tergantung
dengan delik yang dilakukan. Berbeda delik yang dilakukan, berbeda juga
hukuman kurungan yang dijatuhi pada pelaku. Hukuman kurungan ini
ditujukan dan diharapkan agar para pelaku tindak pidana tidak mengulangi
hal yang sama ataupun melakukan hal lain yang juga melanggar dari
hukum positif yang ada.
Lalu muncul yang lain adalah sebagai perlindungan masyarakat
atau social defence. Tujuan yang ini dimaksudkan sebagai salah satu
contohnya adalah jika terjadi suatu extra ordinary crime yang sangat
meresahkan masyarakat, maka pelaku dari tindak pidana luar biasa itu
harus segera di tangkap dan dijatuhi pidana agar tidak meresahkan
masyarakat.
Setelah social defence ada pencegahan, ini dimaksudkan bagi pelaku yang
akan melakukan tindak pidana melihat pidana yang akan di dapat jika ia
melakukan tindak pidana tersebut. Jadi pidana yang akan di dapat
membuat pelaku untuk berfikir jika ia melakukan akan mendapat pidana
tersebut sehingga ia tidak jadi melakukan tindak pidana tersebut.

4. Bagaiamana pendapat saudara tentang perubahan paradigma tujuan


pemidanaan dari pembalasan ke resosialisasi, serta apa hubungannya
dengan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan
yang diterapkan di Indonesia ?
Jawaban :
Perubahan yang terjadi dari pembalasan ke resosialisasi dan pidana
penjara ke pemasyarakatan adalah perubahan yang mengikuti
perkembangan jaman dengan munculnya HAM. Pembalasan itu
maksudnya adalah diberikan pidana penjara. Dulu pembalasan diberikan
tidak memikirkan HAM karena pembalasan murni diberikan karena
berdasarkan kesalahan yang dilakukan dan biasanya diberikan pidana
penjara. Selama penjara itu terpidana dipaksa bekerja untuk negara dan
tidak memiliki skill untuk kembali ke masyarakat. Sedangkan resosialisasi
ini lebih manusiawi dan menolong bagi yang telah dijatuhi pidana.
Terpidana ketika menjalani hukumannya diberikan skill atau kemampuan
untuk dapat mencari kerja ketika  kembali terjun kedalam masyarakat
setelah menjalani masa hukumannya.
Pola penyelesaian kasus pidana dan penghukuman ala hukum adat,
yang lebih mementingkan mediasi dan keseimbangan masyarakat, kembali
mendapat tempat. Konsep restorative justice dengan variasi antara lain
mediasi penal pada hakikatnya dijalankan masyarakat adat dan kini hendak
diangkat ke dalam hukum positif. RUU Sistim Peradilan Pidana Anak
(SPPA) termasuk yang mengakomodir konsep restorative justice.
Pengakuan terhadap konsep keadilan restoratif dalam hukum
positif memang belum menyeluruh. Sebagian baru pada tataran teknis
seperti Surat Keputusan Bersama enam lembaga tentang Anak yang
Berhadapan dengan Hukum (ABH). Tetapi putusan hakim dan doktrin
sudah sangat mendukung penerapan keadilan restoratif pada kasus-kasus
pidana tertentu, terutama anak. Kondisi ini menunjukkan terjadinya
pergeseran paradigma pemidanaan di Indonesia. Sejak Beccaria
mengemukakan pandangannya pertama kali tentang konsep penghukuman,
pemidanaan lebih dipandang sebagai bentuk balas dendam. Tetapi
pandangan tentang pemidanaan terus berkembang seiring munculnya para
pendukung aliran abolisionism, yang semula merupakan gerakan untuk
menghapus hukuman mati. Perkembangan termutakhir adalah konsep
keadilan restoratif. Setiap ada perubahan paradigma, pasti ada perdebatan
tentang untung rugi, plus minus.

Perdebatan itu muncul atas dasar kesadaran bahwa persoalan pemidanaan


bukanlah sekadar proses sederhana untuk memasukkan seseorang ke
dalam penjara atau mewajibkan seseorang membayar denda dan uang
pengganti. Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistim
moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat pada
masa tertentu. Jadi, pemidanaan pasti akan meliputi persoalan filosofis,
sosiologis, dan kriminologis.
Maka menurut saya, perkembangan dan pelaksanaan pidana
penjara di Indonesia saat ini masih belum memenuhi harapan dan
kenyaataan, dikarenakan belum tercapainya berbagai sarana penunjang
antara lain, sarana perundang-undangan, personalia yang ahli, administrasi
keuangan yang cukup, dan sarana fisik yang memenuhi pimbinaan
narapidana. Laku juga terkait pemenuhan hak-hak narapidana selama
dipenjara merupakan perwujudan hak asasi manusia, karena narapidana
merupakan manusia yang juga harus tetap diperlakukan secara adil,
sehingga merekapun juga berhak untuk dilindungi segala hak dan
kepentingannya.

Anda mungkin juga menyukai