Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaku kejahatan bukan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, akan

tetapi kaum perempuan juga dapat melakukan bermacam-macam kejahatan

yang tentunya terjadi dikarenakan oleh faktor ekonomi, kepentingan pribadi,

pergaulan dan sebagainya.

Perempuan yang pada umumnya dikenal memiliki sifat lemah lembut,

penyayang, dan lebih lemah dari laki-laki, ternyata dapat pula melakukan

tindak kejahatan, sehingga pernyataan tersebut tidak dapat di benarkan.

Dalam menekan angka kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat

tentunya pemerintah menetapkan aturan yang mengatur mengenai perbuatan-

perbuatan yang dilarang beserta dengan sanksinya yang dinamakan dengan

Hukum Pidana. Hukum pidana adalah aturan yang mengatur mengenai

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan karena

melanggar larangan yang tercantum dalam undang-undang yang apabila

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

Menurut Moeljatno hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan

mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang

yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kepada

1
mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan

dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.1

Orang yang melakukan kejahatan perlu dipidana, tetapi secara teori

pemidanaan yang dikemukakan oleh para sarjana mempertimbangkan

berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana,

yang dalam hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial, budaya yang dihayati,

sehingga perlu yang namanya pembinaan, bukan pembalasan seperti teori

pemidanaan yang absolut

Pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa kepada

seseorang atau badan hukum (koorporasi) yang telah melakukan tindak

pidana yang tercantum dalam undang-undang, yang diberikan dengan

sengaja oleh orang atau badan yang memiliki kekuasaan atau oleh yang

berwenang dalam mengadilinya.

Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat pada

sistem hukum pidana di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10

KUHP.

Pidana penjara merupakan suatu pembatasan kebebasan bergerak

terhadap seorang terpidana, yang dilakukan dengan cara menempatkan orang

tersebut di tempat lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang

tersebut mentaati semua peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di dalam

1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
2014,hml.16

2
Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib

bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut 2

Berdasarkan Pasal 1 ayat 7 Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan Narapidana merupakan terpidana yang hilang kemerdekaan

di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun Terpidana dalam Pasal 1 ayat 6 UU

No.12 Tahun 1995 merupakan seseorang yang dipidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan

pidana yang merupakan sub-sistem terakhir setelah kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan. Lembaga Pemasyarakatan yang menjadi sub-terakhir dalam

sistem peradilan pidana memiliki tugas untuk melaksanakan pembinaan

terhadap terpidana yang dicabut hak kemerdekaanya selama menjalani masa

pidananya di Lembaga pemasyarakatan.

Berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan

pidana baik tujuan jangka pendek yaitu rehabilitasi dan resosialisasi

narapidana, tujuan jangka menengah untuk menekan kejahatan serta tujuan

janngnka panjang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, disamping

ditentukan dan dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain

yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga sangat ditentukan

oleh pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan sebagai

pelaksanan dari pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara.3

2
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, PT.Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 54
3
Budi Hermidi, “Beberapa Aspek Sistem Pemasyarakatan Dalam Konteks Sistem Peradilan
Pidana”, eprints.undip.ac.id,16-02-2021 20.05

3
Sistem kepenjaraan atau teori pembalasan dianggap tidak sesuai lagi

karena perlakuan terhadap narapidana yang cenderung berrsifat pembalasan

atas kejahatan yang telah dilakukannya. Menurut Immanuel Kant, dasar

pembenaran dari suatu pidana itu terdapat di dalam apa yang dikehendaki

agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas dan kejahatan yang

tidak dibalas itu merupakan suatu ketidakadilan. 4 Rupanya hal tersebut sudah

tidak relevan lagi untuk digunakan dan bertentangan dengan falsafah

Pancasila yang menitikberatkan pada pembinaan dan pengayoman kepada

narapidana bukan lagi berupa pembalasan atas kejahatan yang dibuat oleh

narapidana tersebut, sehingga lahirlah konsepsi Pemasyarakatan yang

mengutamakan pembinaan dan pengayoman terhadap seseorang yang

melakukan perbuatan melawan hukum.

Sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, diatur dalam

Undang-undang No.12 Tahun 1995, hal ini merupakan pelaksanaan dari

pidana penjara, yang merupakan perubahan ide secara yuridis filosofi dari

sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan

yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang

disertai dengan Lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang

sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitas

dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi

berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan Kembali menjadi warga

masyrakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya

(Penjelasan Umum UU Pemasyarakatan).


4
Djiman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan ,Nuansa Aulia,Bandung, 2016, hlm 202

4
Dalam UU Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (2) disebutkan:

“ Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas


serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyrakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang
dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima Kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab”.
Narapidana Perempuan dalam sistem peradilan pidana tetap dilindungi

dengan pemisahan ruang tahanan dan tentunya jalannya proses diperiksa oleh

unit perempuan.

Lembaga Pemasyarakatan Perempuan merupakan tahap akhir dalam

sistem peradilan pidana yang dikhususkan untuk kaum perempuan, tentunya

tidak sama seperti Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya karena

pelanggar hukum yang dibina merupakan kaum perempuan. Lembaga

Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandung merupakan salah satu Unit

Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang tentunya berisikan Narapidana

Perempuan. Dilakukan penggolongan atau pengelompokan berdasarkan

gender ini dilakukan guna menjaga keamanan dan pembinaan terhadap

narapidana di dalam Lapas serta untuk menjaga dari pengaruh negative yang

dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya.

Ketentuan mengenai Pembinaan terhadap narapidana telah diatur dalam

Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan

pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, dimana didalam peraturan

tersebut dijelaskan mengengai pembinaan secara menyeluruh yang diberikan

5
kepada narapidana ketika sudah berada di dalam lapas. Di dalam Lapas

sebutan Narapidana tidak lagi digunakan, karena sebutan tersebut berganti

menjadi warga binaan pemasyarakatan.

Istilah Pembinaan dalam peraturan pemerintah nomor 31 tahun 1999

tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan diatur

dalam pasal 1 ayat (1), yaitu:

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan perilaku, professional,

kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”

(Undang-undang no 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan Pasal 1 ayat(1))

Dari pengertian pembinaan tersebut didapatkan bahwa tujuan dari

pemidanaan bukan lagi memberikan efek derita kepada narapidana melainkan

membina narapidana tersebut untuk meningkatkan kualitas ketaqwaannya

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,sikap dan perilaku serta sehat

jasmani dan rohaninya, agar narapidana tersebut menyadari kesalahannya,

dapat mengimplementasikan bekal yang telah diberikan oleh Lapas kepada

narapidana tersebut selepas dari Lapas serta tidak mengulangi tindak pidana

lagi.

Pada kenyataanya pembinaan di dalam Lapas belum dapat dikatakan

berhasil karena masih banyak terjadi pengulangan tindak pidana yang

dilakukan oleh mantan narapidana atau pelaku yang sama di dalam

masyarakat seusai menjalani masa pidananya, sehingga membuat seseorang

6
tersebut kembali menjalani proses pemidanaan di dalam Lembaga

Pemasyaraktan, seseorang tersebut dinamakan Residivis.

Berdasarkan sistem database pemasyarakatan , jumlah Narapidana

Residivis pada Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung, periode 2019 sampai

dengan 2020 mengalami peningkatan.

Dengan adanya residivis ini menandakan bahwa adanya kekurangan

dalam proses pembinaan di dalam Lapas khususnya Lapas Perempuan Kelas

IIA Bandung, sebagaimana pembinaan sendiri telah diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan, Pembimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan. maka perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan

oleh Lembaga Pemayarakatan dalam mencegah adanya residivis serta

menemukan kendala dan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan

pembinaan narapidana di dalam Lapas agar terciptanya pembinaan yang lebih

optimal dan sesuai dengan hukum positif di Indonesia sehingga upaya

pencegahan residivis dapat terwujud.

Penulisan terdahulu ini menjadi acuan penulis dalam melakukan

penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam

mengkaji penelitian ini. Dari penelitian yang terdahulu, peneliti tidak

menemukan kesamaan dalam judul penelitian penulis. Penulis hanya

mengangkat beberapa penelitiann sebagai referensi dalam memperkaya

bahan kajian penelitian penulis. Berikut beberapa penelitian yang terdahulu

terkait dengan penelitan penulis.

7
1. Asriadi yang berjudul Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis

di Lembaga Pemasyarakatan tahun 2012.5 Yang meneliti

pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

kelas 1 Makasar dimana masih terdapat hambatan dalam pelaksanaan

pembinaan diantaranya kuranganya sarana dan prasarana, jumlah

petugas keamanan, jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas,

serta kurangya perhatian dalam pembinaan narapidana residivis.

2. Megawati Mas’ud berjudul Optimalisasi Pembinaan Narapidana di

Rumah Tahanan Sebagai Upaya Mencegah Residivis ( Studi Kasus di

Rumah Tahanan Kelas IIB Bantaeng) tahun 20186, dimana

pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan residivis di fokuskan

kepada pembinaan mental kerohanian. Diperlukan pembinaan yang

lebih optimal dengan melakukan kerjasama dengan masyarakat dalam

melakukan pembinaan kemandirian serta belum adanya perhatian

khusus terhadap pembinaan kepada narapidana residivis.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti mengenai

pembinaan narapidana perempuan yang diterapkan di Lapas Perempuan

Kelas IIA Bandung dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah

terkait Pembinaan Narapidana dalam upaya mencegah adanya kembali

residivis.

5
Asriadi, Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis di Lembaga Pemasyarakatan, ( Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar, 2012)
6
Megawati Mas’ud, Optimalisasi Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Sebagai Upaya
Mencegah Residivis ( Studi Kasus di Rumah Tahanan Kelas IIB Bantaeng), ( Skripsi, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar, 2018)

8
B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Implementasi Pembinaan Narapidana Perempuan di Lapas

Perempuan Kelas IIA Bandung dalam upaya pencegahan residivis

dikatikan dengan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan, Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan?

2. Bagaimana Hambatan dan Upaya Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung

dalam mencegah adanya Residivis Kembali?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis Implementasi pembinaan Narapidana Perempuan di

Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung dalam upaya pencegahan residivis

dikaitkan dengan Peraturan Pemerntah No.31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan, pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.

2. Untuk menganalisis hambatan dan upaya yang dilakukan Lapas

Perempuan Kelas IIA Bandung dalam mencegah adanya residivis.

D. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan maka penelitian

ini diharapkan dapat meberikan kegunaan, sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

wawasan bagi para pembaca mengenai bagaimana berjalannya suatu

pembinaan narapidana di dalam Lapas khususnya narapidana perempuan

yang didasari dengan peraturan yang telah di tetapkan oleh pemerintah

yaitu Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan,

9
Pembimbingan Warga Binaan. Serta memperoleh pencerahan tentang

permasalahan hukum yang dihadapi sehingga dapat menjadi dasar

pemikiran yang teoritis, bahwa suatu perundang-undangan yang ada

belum tentu berjalan sesuai, serta sempurna dalam prakteknya.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi penulis, penelitian ini untuk mendapatkan bahan informasi

dalam rangka menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah

terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi,

khususnya mengenai Pembinaan Narapidana Perempuan dalam

upaya pencegahan residivis.

2) Bagi petugas Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung hasil penelitian

ini dapat digunakan sebagai referansi untuk membuat perencanaan

terhadap pembinaan narapidana perempuan kedepannya untuk

mencegah adanya residivis.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Tindak pidana merupakan suatu tindakan pada tempat, waktu, dan

keadaan tertentu yang melanggar suatu larangan yang pelakunya dapat

dikenakan hukuman.

S. R. Sianturi dalam bukunya asas-asas Hukum Pidana di Indonesia

dan Penerapan mengutip Wirjono Prodjodikoro yang mendefinisikan tindak

pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.7

7
S. R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan,. Storia Grafika, Jakarta,
2002, hlm.208

10
Hukum pidana adalah aturan yang mengatur mengenai perbuatan-

perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan karena melanggar

larangan yang tercantum dalam undang-undang yang apabila melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan.

Pidana merupakan suatu kerugian berupa penderitaan yang diberikan


8
oleh negara kepada individu yang melakukan pelanggaran terhadap hukum.

pidana diberikan sebagai akibat dari perbuatan seseorang karena telah

melanggar hukum pidana.

Pidana Penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan

kemerdekaan yang hanya boleh dijatuhkan oleh hakim melalui putusan

pengadilan.9 Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat

pada sistem hukum pidana di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal

10 KUHP.

Berkaitan dengan pidana, pemidanaan merupakan suatu pendidikan

moral terhadap pelaku yang telah melakukan kejahatan yang bertujuan agar

peaku tersebeut tidak mengulangi perbuatannya.

Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar

menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat

yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan

keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan

damai.

8
Eddy O.S Hiarej, Op.Cit, hlm. 451
9
Marlina, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011,hlm.463

11
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas

dendam dan penjeraan yang disertai dengan Lembaga “rumah penjara” secara

berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan

Negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila.

Penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, Bagi Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila,

pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi

sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan

reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu

sistem pembiinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan

dinamakan sistem Pemasyarakatan10.

Sistem Pemasyarakatan merupakan satu kesatuan penegakan hukum

pidana, oleh karena itu pelaksanaanya tidak dapat terlepas dari

pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.

Karena di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narapidana bukanlah

sebagai obyek saja melainkan sebagai subyek juga yang tidak berbeda dari

manusia lainnya, mereka hanyalah terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan

atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas

melainkan dibina agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya

sebagai mana tujuan dari sistem pemasyarakatan.

Tentunya pembinaan terhadap perempuan dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan Perempuan dimana Narapindana perempuan dapat dibina

10
Ibid, hlm. 180

12
tanpa bercampur dengan Narapidana laki-laki guna berjalannya pembinaan

yang optimal.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menyatakan

bahwa:

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan


kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,
kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.”

Salah satu prinsip-prinsip penjara yang dikemukakan oleh John

Howard menyatakan bahwa “Female offenders should be segregated from

males and young of fenders from old and handed criminals (Narapidana

wanita harus dipisahkan dari laki-laki dan narapidana muda dari yang tua dan

penjahat-penjahat yang kejam).”11

Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung merupakan salah satu Unit

Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan pada Wilayah kerja Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, sebagai tempat mengayomi serta

memasyarakatkan warga binaan perempuan.

Pelaksanaan tujuan dari sistem pemasyarakatan tentunya tidak semulus

yang diinginkan, karena masih saja ada pengulangan tindak pidana yang

dilakukan oleh mantan narapidana sehingga membuat mantan narapidana

tersebut harus menjalani proses hukum kembali yang disebut sebagai

Residivis.

Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah

melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak


11
Marlina, Op.Cit, hlm.90

13
pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan satu atau lebih telah di jatuhi

hukuman oleh pengadilan.12

Pengertian pengulangan tindak pidana (residivis) adalah dikerjakannya

suatu tindak pidana oleh seseorang setelah dirinya melakukan tindak pidana

lain yang telah mendapay keputusan akhir. Artinya pemberatan pidana

terhadap residivis dapat berlaku apabila ia telah menerima keputusan hukum

yangtetap atas perbuatan yang sama.13

Berdasarkan sistem database pemasyarakatan , jumlah Narapidana

Residivis pada Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung, periode 2019 sampai

dengan 2020 mengalami peningkatan.

Adanya residivis ini menandakan bahwa terdapat kekurangan dalam

pembinaan di dalam Lapas khususnya Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung,

sebagaimana pembinaan sendiri telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.

31 Tahun 1999 tentang Pembinaan, Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan. maka perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh

Lembaga Pemayarakatan dalam mencegah adanya residivis serta menemukan

kendala dan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan

narapidana di dalam Lapas agar terciptanya pembinaan yang lebih optimal

dan sesuai dengan hukum positif di Indonesia sehingga upaya pencegahan

residivis dapat terwujud.

F. Metode Penelitian

12
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 121.
13
Sakticakra Salimin Afamery, “Residivis Dalam Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Hukum
Volkgeist, Kendari,2016, hlm 107

14
Metode Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

suatu cara kerja (sistematis) untuk dapat memahami suatu subjek atau objek

penelitian , senagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah melalui suatu proses pengumpulan dan

analisis data yang dilakukan secara sistematis ,untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu.14

1. Metode Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan

yuridis-empiris. Secara yuridis penulis akan menganalisa keefektifan

penerapan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Narapidana terhadap Pembinaan di Lapas Perempuan

Kelas IIA Bandung. Kemudian secara empiris yang merupakan penelitian

yang dilakukan langsung di lapangan ( field research) 15, penulis akan

mengkaji kenyataan yang terjadi di Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung

tentang proses pembinaan yang dilakukan kepada Warga Binaan.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikas Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriftif analitis yaitu dengan cara menguraikan dan menggambarkan

terkait Pembinaan narapidana perempuan dikaitkan dengan teori-teori

hukum dan pelaksanaan masalah yang sedang diteliti, serta menganalisis

14
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Prenada
Media, Depok, 2016, hlm. 2
15
Nurul,Syarif, Dachran , M. Kamal, Aan Aswari, Hardianto Djanggih, Farah Syah Rezah, Metode
Penelitian Hukum (Legal Research Methods), CV. Social Politic Genius (SIGn), Makasar, 2017, hlm.
8

15
data-data dan fakta-fakta yang terjadi dilapangan dengan peraturan

mengenai pembinaan.

3. Tahap Penelitian

Tahap penelitian adalah rangkaian kegiatan dalam penelitian yang

akan diuraikan dalam beberapa tahap diantaranya tahap perencanaan,

tahap pelaksanaan dan tahap penyusunan atau penulisan tugas akhir.

1. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini penulis menentukan permasalahan yang akan

diteliti, pada proses perumusan masalah ini penulis melakuka

observasi pada lokasi dimana penelitian akan dilakukan yaitu di

Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung, selanjutnya ditentukan

ruang lingkup agar penelitian terarah serta menentukan sasaran

yang akan dicapai di dalam penulisan skripsi ini yang dituangkan

didalam tujuan. Kemudian, menentukan judul yang

menggambarkan isi dari skripsi ini.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini penulis meminta data jumlah warga binaan residivis

tahun 2019-2020 kepada bagian registrasi, selanjutnya melakukan

wawancara kepada Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak

didik, Kepala Sub Seksi Regitrasi dan Staf bagian Pembinaan,

Kemudian penulis mengamati implementasi dari pembinaan

terhadap narapidana sebagai upaya pencegahan residivis, untuk

semakin mendukung data yang didapatkan di lapangan, penulis

16
mengumpulkan seta mempelajari mengenai permasalahan yang

diteliti dari literatur , peraturan perundang-undangan, dan artikel

dan kemudian melakukan analisis.

3. Tahap Penulisan Tugas Akhir

Pada tahap ini data yang di dapatkan diolah secara kualitatif

dan dituangkan secara deskriptif, yaitu menjelaskan, menguraikan

dan menggambarkan implementasi pembinaan narapidana

perempuan di Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung yang dikaitkan

dengan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan, Pembimbingan Narapidana, upaya yang dilakukan

dalam mencegah adanya residivis, serta yang menjadi hambatan

dalam pelaksanaan pembinaan narapidana khususnya yang

residivis. Selanjutnya penulis memberikan pandangan hasil yang

dibahas berdasarkan teori-teori hukum, literatur dan Peraturan

Perundang-undangan terkait pembinaan narapidana dan membuat

kesimpulan dan rekomendasi atau saran untuk pihak yang terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tentunya dibutuhkan

data yang cukup sebagai bahan untuk analisa. Untuk mendapatkan data

yang diperlukan maka digunakan Teknik pengumpulan data sebagai

berikut:

17
1. Data Primer didapatkan penulis melalui Wawancara, dimana

penulis melakukan tanya jawab kepada Kepala Seksi Bimbingan

Narapidana/Anak Didik, Kepala Sub Seksi Registrasi, Staf bagian

pembinaan dan Warga Binaan Residivis untuk memperoleh data

primer.

2. Data Sekunder penulis peroleh dari Kepustakaan, merupakan

teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu dengan cara

mempelajari dan mengutip data dari berbagai sumber seperti

berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, artikel dengan

tujuan untuk mendaptkan bahan-bahan hukum yang berkaitan

dengan permasalahan yang akan diteliti.

5. Analisis Data

Data primer dan sekunder yang didapatkan akan diolah dan

dianalisis secara kualitatif berdasarkan permasalahan yang diangkat

dalam penulisan skripsi ini dan akan disajikan secara deskriptif, yaitu

dengan menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan keadaan objek

yang diteliti di lapangan yaitu Implementasi pembinaan narapidana

perempuan dalam upaya pencegahan residivis di Lapas Perempuan Kelas

IIA Bandung, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menerapkan

teori- teori kepustakaan dan Peraturan mengenai pembinaan sehingga

dapat dimengerti dan ditarik kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

18
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyajian laporan skripsi

ini, meliputi:

BAB I Pada Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Berisikan teori-teori hukum, konsep, asas, norma yang

diteliti baik dari buku, jurnal ilmiah, maupun peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan masalah hukum

yang diteliti yaitu mengenai Pidana dan Pemidanaan,

Sistem Pemasyarakatan, pembinaan narapidana khususnya

perempuan dan residivis.

BAB III Pada Bab ini menjelaskan pelaksanaan dari pembinaan

narapidana perempuan yang sudah berjalan di Lapas

Perempuan Kelas IIA Bandung.

BAB IV Memuat analisis terhadap Impelementasi pembinaan

narapidana perempuan sebagai upaya pencegahan residivis

di Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung yang dikaitkan

dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 tentang

Pembinaan, Pembimbingan Narapidana, dan hambatan

yang dihadapi petugas dalam pelaksanaan pembinaan

narapidana residivis.

19
BAB V Pada bab ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan

berisikan jawaban atas identifikasi masalah dan Saran

merupakan masukan atau usulan yang ditujukan untuk

pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan yang diteliti.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBINAAN NARAPIDANA

PEREMPUAN SEBAGAI UPAYA PENVEGAHAN RESIDIVIS

A. Pidana dan Pemidanaan

20
Hukum Pidana merupakan suatu kaidah diantara sekian banyak kaidah

hukum yang mengatur tentang kehidupan sosial masyarakat. Menurut W.P.J

Pompe, hukum pidana sama hal nya seperti hukum tata negara, hukum

perdata, yang biasa diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-

peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstraksikan dari

keadaan-keadaan yang bersifat konkrit.16

Hukum pidana adalah aturan yang mengatur mengenai perbuatan-

perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan karena melanggar

larangan yang tercantum dalam undang-undang yang apabila melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan.

Menurut sejarah, istilah “pidana” secara resmi dipergunakan oleh

rumusan Pasal VI UU No. 1 tahun 1946 untuk peresmian nama kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Sekalipun dalam pasal IX-XV masih tetap

digunakan istilah hukum penjara.

Penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk

pengertian yang sama sering pula diperhunakan istilah lain seperti hukuman,

penghukuman, pemidanaan, pemberian pidana, penjatuhan hukuman dan

hukuman pidana.17

Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa penderitaan

yang sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang melakukan

16
Lamintang, P, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984.
17
Marlina, Op.Cit, hlm 13

21
pelanggaran terhadap hukum.18 Pidana sebenarnya hanya merupakan suatu

alat untuk membuat derita, bukan merupakan suatu tujuan.

Simons mendefinisikan pidana dalam bukunya leerboek yaitu, suatu

penderitaan menurut undang-undang pidana yang berkaitan dengan

pelanggaran norma berdasarkan putusan hakim yang dijatuhkan terhadap

orang yang bersalah.19

Hulsman berpendapat bahwa hakikatnya pidana adalah “menyerukan

untuk tertib” (tot de orde reopen), yang memiliki dua tujuan utama, yakni

untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian

konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri atas

perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak

atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.

GP Hoefnagels menyatakan ketidak setujuannya terhadap pendapat

bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan

(discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Hoefnageles

melihatnya secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu,

keseluruhan proses pidan aitu sendiri sejak ( sejak penahanan, pemeriksaan

sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana. Maka jika dilihat secara

empiris, pidana memang dapat merupakan suatu penderitaan tetapi hal itu

tidak merupakan suatu keharusan/kebutuhan. Ada pidana tanpa penderitaan.20

Tujuan dari pidana itu sendiri menurut para sarjana, diantaranya

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick menyatakan bahwa sanksi


18
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.451
19
Ibid, hlm.36
20
Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 8

22
pidana dimaksud untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana ( to

prevent recidivism), mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama

seperti yang dilakukan oleh terpidana, menyediakan saluran untuk

mewujudkan motif-motif balasan.21

Pidana Penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan

kemerdekaan yang hanya boleh dijatuhkan oleh hakim melalui putusan

pengadilan.22 Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat

pada sistem hukum pidana di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal

10 KUHP. Pidana penjara merupakan suatu pembatasan kebebasan bergerak

terhadap seorang terpidana, yang dilakukan dengan cara menempatkan orang

tersebut di tempat lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang

tersebut mentaati semua peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di dalam

Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib

bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.23

Mengingat masalah pidana tentunya tidak terlepas dari pembicaraan

mengenai pemidanaan. Pemidanaan merupakan penetapan pidana dan tahap

pemberian pidana dimana hal itu merupakan suatu Pendidikan moral terhadap

pelaku yang telah melakukan kejahatan dengan maksud agar tidak lagi

mengulangi perbuatannya24. Berbeda dengan pidana yang hanya merupakan

21
Marlina, Op.Cit., hlm. 23
22
Ibid.,hlm.463
23
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit, hlm.54
24
Eddy O.S. Hiarej, Op.Cit., hlm. 451

23
alat untuk memberikan penderitaan dan bukan sebuah tujuan, pemidanaan

merupakan suatu mekanisme hukum yang memiki tujuan tertentu.

Tujuan dari pemidanaan yang sangat menekankan pada unsur balas

dendam dan penjeraan yang disertai dengan Lembaga “rumah penjara”

sebagai tempat pembinaan.

Seiring dengan berkembanganya jaman, bagi Negara Indonesia yang

berdasarkan kepada Pancasila, pemikiran-pemikiran mengenai tujuan

pemidanaan tidak lagi sekedar pemberian penderitaan atau penjeraan tetapi

sebuah usaha rehabilitas dann reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan

yang telah ditetapkan dengan suatu sistem pelakuanterhadap para pelanggar

hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.

B. Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan merupakan sebuah tujuan pidana penjara yang

bukan hanya memberikan rasa derita kepada narapidana karena kehilangan

kemerdekaan dalam bergerak namun juga membimbing dan mendidik

narapidana untuk bertobat Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali

disampaikan oleh Almarhum Bapak DR. Sahardjo, SH (Menteri Kehakiman

pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar

Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh

beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara.25

Pada bulan April 1964 diadakan Konferensi Dinas Kepenjaraan di

Lembang dengan maksud untuk memberikan bentuk-bentuk yang lebih nyata


25
Lapaspangkalanbun, Sejarah Pemasyarakatan, diakses dari
http://www.lapaspangkalanbun.com/profil/sejarah-pemasyarakatan/, pada tanggal 17 Maret
2021, pukul 17.33

24
kepada pemasyarakatan, dan didapatkan beberapa prinsip mengenai

pemasyarakatan, diantaranya:26

1. Pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari suatu pidana penjara,

melainkan merupakan suatu cara atau sistem perlakuan terpidana.

2. Pemasyarakatan menganut prinsip gotong royong dalam proses

perlakuannya,, yaitu antara petugas, terpidana dan masyarakat.

3. Tujuan dari pemasyarakatan adalah untuk mencapai suatu

kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang

terjalin diantara terpidana dan masyarakat yang di sebut dengan

“integrasi”.

4. Fokus pemasyarakatan bukanlah mencangkup secara khusus

individu terpidana, melainkan kesatuan hubungan antara terpidana

dan masyarakat.

5. Terpidana harus dipandang sebagai orang yang melakukan

pelanggaran hukum, bukan karena ia ingin melanggar hukum,

melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti

arus kehidupan dalam masyarakat yang semakin lama semakin

kompleks.

6. Terpidana harus dipandang juga sebagai manusia, seperti manusia-

manusia lainnya yang memiliki potensi dan itikad untuk

menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat.

26
Hasanudin Massaile, Adi Sujatno, Mardjaman dkk, Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan
Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Center for Detention Studies, Jakarta, 2015,
hlm. 31-32

25
7. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pastinya

menyukai perdamaian dan pada waktunya akan memberikan maaf.

8. Petugas pemasyarakatan harus memiliki prinsip gotongroyong

serta menempatkan dirinya dalam salah satu unsur kegotong-

royongan.

9. Dalam melakukan kegotong-royongan tentunya tidak boleh adanya

suatu paksaan, tujuan harus dicapai dengan diri yang mendorong

untuk melakukan penyesuaian dan pendekatan penyesuaian

kembali yang harus diterapkan ialah pendekatan antar sesama

manusia.

10. Lembaga Pemasyarakatan merupakan wadah untuk operasional

dalam mencapai tujuan pemasyrakatan dan bukan hanya sekedar

bangunan.

11. Pemasyarakatan memilki tujuan akhir yaitu terlaksananya

pembinaan secara adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.

Pelaksanaan pidana Penjara dengan sistem pemasyarakatan di

Indoneisa saat ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, hal ini untuk menggantikan ketentuan-ketentuan

lama dan peraturan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada

sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-hal baru yang dinilai lebih sesuai

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Sistem

Pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara

26
pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila,

dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat

untuk mengingkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari

kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga

dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan

dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik

dan bertanggung jawab kepada diri sendiri maupun negara. (Penjelasan UU

No.12 Tahun 1995)

1. Tujuan dan Fungsi Pemasyarakatan

Dalam Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan tentunya terdapat

tujuan dan fungsi tersendiri. Tujuan Pemasyarakatan adalah Sistem

Pemasyarakatan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan

agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan yang telah

dilakukannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota

masyarakat yang bebas dan bertanggunjawab (Pasal 2 UU No.12/1995).27

Sedangkan Fungsi dari Pemasyarakatan sebagaimana yang

disebutkan didalam Pasal 3 UU No.12 Tahun 1995 adalah menyiapkan

warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien

pemasyarakatan ) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,

sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas

dan bertanggungjawab.28

27
Dwidja Priyatno, Op.Cit. hlm 106
28
Ibid. hlm.107

27
2. Asas-Asas Pemasyarakatan

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan

berdasarakan asas:

a. Pengayoman

Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan

pemasyrakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari

kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan

pemasyrakatan dengan cara memberikan pembinaan oleh pihak lapas

yaitu memberikan bekal kehidupan kepada warga binaan

pemasyrakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam

masyarakat.

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan

Dalam pelaksanaan pemberian perlakuan dan pelayanan kepada

warga binaan pemasyarakatan dilakukan dengan tidak memberda-

bedakan latar belakang warga binaan atau tanpa adanya diskriminasi.

c. Pendidikan dan pembimbingan

Setiap warga binaan pemasyarakatan mendapatkan pendidikan

dan bimbingan berdasarkan Pancasila berupa penanaman jiwa

kekeluargaan, keterampilan, kerohanian, dan kesempatan untuk

menunaikan ibadah.

d. Penghormatan harkat dan martabat manusia

28
Meskipun warga binaan pemasyarakatan adalah orang-orang

yang melakukan kesalahan namun tetaplah harus diperlakukan

sebagai selayaknya manusia.

e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

Warga binaan hanya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan

untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan

penuh untuk memperbaikinya.

f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu.

Warga Binaan tetap dapat berhubungan dengan masyarakat

dalam bentuk kunjungan.

B. Narapidana

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari narapidana

adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan


29
suatu tindak pidana. Dalam pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan, Narapidana

merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan. sedangkan terpidana itu sendiri adalah

seseorang yang dipidana berdasarkan dengan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Didalam Lembaga Pemasyarakatan Narapidana tersebut disebut

dengan Warga Binaan Pemasyarakatan karena fungsi pemidanaan pada

29
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Narapidana. https://kbbi.web.id. Diakses pada 22 Maret 2021
pukul 17.14.

29
dewasa ini bukan lagi hanya penjeraan melainkan melakukan pembinaan

terhadap terpidana baik itu pembinaan kemandirian maupun kepribadian,

agar Narapidana tersebut dapat menyadari kesalahannya dan dapat

diterima dengan baik kedalam masyarakat seusai menjalani masa pidana

nya di dalam LAPAS.

Narapidana tidak hanya berasal dari kalangan laki-laki saja,

perempuan yang memiliki sifat lemah lembut, penyayang sudah banyak

ditemukan menjadi penghuni di dalam Lapas dengan berbagai tindak

pidana yang dilakukan.

C. Pembinaan Narapidana

Teori Re-Integrasi sosial atau pemulihan hubungan masyarakat

didasarkan pada pandangan naturalisme mazhab positif yang menyatakan

bahwa perilaku manusia sebenarnya tergantung pada pengaruh sosial,

budaya dan lingkungan tempat dimana seseorang itu hidup. Karena itu,

model penjara ini menggunakan masyarakat sebagai basis pembinaan

( Community Based Correction) untuk mecegah dampak buruk dari

pemenjaraan yang berupa prisonisasi, stigmatisasi, dan residivisme. 30

1. Pengertian Pembinaan

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan, Pengertian dari Pembinaan , yaitu:

30
Hasanudin Massaile, Adi Sujatno, Mardjaman dkk, Op.Cit, hlm. 146

30
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual sikap dan

perilaku, professional, Kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan

Anak Didik Pemasyarakatan.

Pembinaan Narapidana dalam ketentuan Keputusan Menteri

Kehakiman Nomor: M.07-PK.03.10 Tahun 2001 tentang Pola

Pembinaan Narapidana/Tahanan, merupakan semua usaha yang

ditujukan untuk memperbaiki dan mengingkatkan akhlak (budi

pekerti) narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan atau

Rumah Tahanan.

Pembinaan yang diberikan di dalam Lapas dapat dibedakan

menjadi pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian. Pada

pembinaan kepribadian warga binaan pemasyarakatan diarahkan

kepada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada

diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan, pembinaan

kepribadian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar

warga binaan pemasyrakatan dapat kembali berperan sebagai anggota

masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. (Penjelasan Peraturan

Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan).

Pembinaan yang dilakukan didalam Lapas memberikan bekal

yang dapat digunakan untuk mencari pekerjaan atau membuka

31
pekerjaan dengan keterampilan dan keahlian yang telah didapatkan

selama menjalani masa pidana di dalam Lapas.

2. Program Pembinaan

Program Pembinaan yang diperuntukan bagi narapidana,

sebagaimana yang terdapat dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:

a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. kesadaran berbangsa dan bernegara;
c. intelektual;
d. sikap dan perilaku;
e. kesehatan jasmani dan rohani;
f. kesadaran hukum;
g. reintegrasi sehat dengan masyarakat;
h. keterampilan kerja; dan
i. Latihan kerja dan produksi.

Pembinaan terhadap warga binaan dilakukan dan diawasi oleh

Petugas Pemasyarakatan. Petugas Pemasyarakatan adalah pegawai

pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan,

dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan 31. Dalam Rangka

penyelenggaraan pembinaan, Menteri Hukum dan HAM mengadakan

Kerjasama dengan instansi Pemerintah terkait, badan-badan

kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya sesuai

dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.

3. Prinsip – Prinsip Pembinaan

31
Dwidja Priyanto, Op.Cit., hlm. 109

32
Dalam penyelenggaraan pembinaan tentunya diterapkan 10

(sepuluh prinsip-prinsip pemasyarakatan yang dirumuskan dalam

Konferensi Lembaga tahun 1964, sebagai berikut:

a. Orang yang tersesat harus diayomi dan berikan bekal hidup

agar narapidana dapat menjalankan peranannya sebagai warga

masyarakat yang baik dan berguna.

b. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang

pembalasan.

c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan hanya menyiksa

melainkan dengan bimbingan.

d. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi

lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana.

e. Selama kehilangan ( dibatasi ) kemerdekaan bergeraknya para

narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat tidak boleh

diasingkan dari masyarakat.

f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh hanya

untuk sekedar pengisi waktu saja, pekerjaan yang diberikan

harus di tujukan untuk pembangunan negara.

g. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana

harus berdasarkan Pancasila.

h. Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan

sebagaimana selayaknya manusia meskipun ia telah tersesat

tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu penjahat..

33
i. Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi

kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.

j. Untuk pembinaan dan bimbingan para narapidana maka

disediakan sarana yang diperlukan.

4. Tahapan Pembinaan

Pembinaan di dalam Lapas dilakukan dengan beberapa

tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999

tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan.

1. Pembinaan tahap awal, dimulai sejak seorang berstatus menjadi

narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.

Pembinaan tahap awal ini meliputi :

a. Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan

selama 1 bulan;

b. Melakukan perencanaan program pembinaan kepribadian

dan kemandirian;

c. Pelaksanaan dari program pembinaan kepribadian dan

kemandirian; dan

d. Dilakukan penilaian terhadap pelaksanaan program

pembinaan tahap awal.

2. Pembinaan tahap lanjutan, dibagi menjadi dua, diantaranya tahap

lanjutan pertama, yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap

awal sampai dengan 1/2 (satu perdua) dari masa pidana dan tahap

34
lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan

pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidana.

Yang terdapat di dalam pembinaan tahap lanjutan, sebagai berikut:

a. Perencanaan program pembinaan lanjutan;

b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;

c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan

d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

3. Pembinaan tahap akhir, merupakan tahap setelah berakhirnya tahap

lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana

yang bersangkutan. Tahap ini meliputi :

a. Perencanaan program integrasi;

b. Pelaksanaan program integrasi; dan

c. Pengakhiran pelaksanaann pembinaan tahap akhir.

5. Pembinaan Narapidana Perempuan

Pembinaan yang diberikan kepada narapidana perempuan

tentunya harus dibedakan dengan narapidana laki-laki mengingat

perbedaan fisik dan mental antara perempuan dan laki-laki.

Perempuan dalam sistem peradilan pidana tetap dilindungi

dengan pemisahan ruang tahanan dan tentunya jalannya proses

diperiksa oleh unit perempuan.

Di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan diatur mengenai penggolongan atau pengelompokan

berdasarkan gender ini dilakukan guna menjaga keamanan dan

35
pembinaan terhadap narapidana di dalam Lapas serta untuk menjaga

dari pengaruh negative yang dapat berpengaruh terhadap narapidana

lainnya.

Oleh karena itu terdapatnnya Lembaga Pemasyarakatan

Perempuan sebagai wadah untuk melakukan pembinaan kepada

narapidana perempuan. Dimana tujuan didirikannya Lapas Perempuan

ini untuk memisahkan antara narapidana perempuan dan laki-laki

dengan alasan faktor keamanan dan psikologis.

Walaupun terdapat beberapa perbedaan, pola pembinaan yang

diterapkan oleh Lapas perempuan pada dasarnya tidak jauh berbeda

dengan Lapas pada umumnya. Ada ada sedikit kekhususan dimana di

Lapas perempuan diberikan pembinaan keterampilan seperti menjahit,

menyulam, tata rias, dan memasak yang biasanya identik dengan

kegiatan kaum perempuan. Dalam hal pekerjaan, narapidana

perempuan diberikan pekerjaan yang lebih ringan jika di bandingkan

dengan narapidana laki-laki.

Keistimewaan bagi narapidana perempuan lainnya antara lain,

bagi narapidana yang sedang hamil ataupun menyusui diberikan

perlakuan khusus. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32

Tahun 1999 Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan pasal 20 ayat (1):

36
“Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil

atau menyusui, berhak mendapatkan makanan tambahan sesuai

dengan petunjuk dokter.”

D. Residivis

Residivis atau Pengulangan tindak pidana adalah kelakuan

seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi hukuman

pidana dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap

karena perbuatan pidana yang telah dilakukannya lebih dahulu.32

Di dalam KUHP ketentuan tentang residivis diatur dalam pasal 486

sampai 488 yang terdapat dalam Bab khusus dalam buku II KUHP, yaitu

Bab XXXI yang bberjudul “Aturan Pengulangan Kejahatan Yang

Bersangkutan Dengan Berbagai Bab”.

Ketentuan Pasal 486, disebutkan:

“Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat


pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363,
365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua
sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365,
Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399,
400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan
481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang
dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan
368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat
pasal 365, dapat ditambahkan dengan sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu
kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145
dan 149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak
pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan
(kwijtgescholde) atau jika pada waktu melakukan kejahatan,
kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”
32
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT.Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 139

37
Selanjutnya pada Pasal 487, disebutkan:

“Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama,


131, 133, 140 ayat pertama, 353-355, 438-443, 459 dan 460,
begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan
menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, Pasal 140 ayat
kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika
yang bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima
tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana
penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena
salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat
kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109,
sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang
menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131 ayat
kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada
waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana
tersebut belum daluwarsa.”

Kemudian pada Pasal 488, disebutkan:

“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208,


310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan
pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan
menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”

Istilah Recidive menunjuk kepada kelakuan mengulangi perbuatan

pidana, sedangkan residivist untuk menunjuk kepada orang yang

melakukan pengulangan perbuatan pidana.33

Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian dari residivis adalah

seorang yang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan

kemudian, setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan

33
Marlina, Op.Cit, hlm. 150

38
lagi, yang berakibat bahwa hukuman yang akan dijatuhkan kemudian,

malahan diperberat, yaitu dapat melebihi maximum.

Residivis dilihat dari sudut sifat pemberatan pidana, dapat

digolongkan sebagai berikut:

1. General recidive atau residivis umum, apabila seseorang

melakukan kejahatan dan telah dijatuhi pidana, setelah seseorang

tersebut bebas kemudian melakukan kejahatan lagi yang

merupakan bentuk kejahatan apapun.

2. Speciale recidive atau residivis khusus, yaitu apabila seseorang

melakukan kejahatan dan telah dijatuhi pidana oleh hakim,

kemudian seseorang tersebut melakukan lagi kejahatan yang

sejenis.

3. Tuksen stelsel , yaitu seseorang yang melakukan kejahatan seperti

pencurian, setelah dijatuhi pidana dan kemudian bebas menjalani

pidananya, seseorang tersebut kembali mengulangi perbuatan

pidana yang termasuk kedalam golongan tertentu menurut undang-

undang, seperti penipuan dan penggelapan.34

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
34
Ibid.

39
Djiman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan ,Nuansa Aulia, Bandung,

2016.

Dwigja Priyantno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,

PT.Refika Aditama, Bandung, 2013

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, 2014

Hasanudin Massaile, Adi Sujatno, Mardjaman dkk, Refleksi 50 Tahun Sistem

Pemasyarakatan Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya,

Center for Detention Studies, Jakarta, 2015Mahrus Ali, Dasar-Dasar

Hukum Pidana, PT.Sinar Grafika, Jakarta, 2012,

Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan

Empiris, Prenada Media, Depok, 2016

Lamintang. P, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

1984.

Marlina, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama,Bandung, 2011

Nurul,Syarif, Dachran , M. Kamal, Aan Aswari, Hardianto Djanggih, Farah

Syah Rezah, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods), CV.

Social Politic Genius (SIGn), Makasar, 2017

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar

Grafika ,Jakarta, 2010

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers, 2010

B. Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

40
Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

C. Artikel

Asriadi, Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis di Lembaga

Pemasyarakatan, ( Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Alauddin Makasar, 2012)

Budi Hermidi, “Beberapa Aspek Sistem Pemasyarakatan Dalam Konteks

Sistem Peradilan Pidana”, eprints.undip.ac.id,16-02-2021 20.05

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Narapidana. https://kbbi.web.id. Diakses

pada 22 Maret 2021 pukul 17.14.

Lapaspangkalanbun, Sejarah Pemasyarakatan, diakses dari

http://www.lapaspangkalanbun.com/profil/sejarah-pemasyarakatan/,

pada tanggal 17 Maret 2021, pukul 17.33

Megawati Mas’ud, Optimalisasi Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan

Sebagai Upaya Mencegah Residivis ( Studi Kasus di Rumah Tahanan

Kelas IIB Bantaeng), ( Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar, 2018)

Sakticakra Salimin Afamery, “Residivis Dalam Perspektif Sosiologi Hukum”,

Jurnal Hukum Volkgeist, Kendari,2016, hlm 107

41

Anda mungkin juga menyukai