Anda di halaman 1dari 22

TUGAS INDIVIDU HUKUM PIDANA

Nama : Aurelia Meagan Tan

NIM : 205200026

Mata Kuliah : Hukum Pidana

Kelas : A1

Dosen : Dr. Urbanisasi S.H., SIP, M.H., CLA, CIL,

Fakultas Hukum

Universitas Tarumanagara

2021/2022
 Berikan contoh untuk masing-masing 7 alasan penghapus pidana
sesuai dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat boleh pake kasus
putusan)

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ada 7 dasar


(alasan) yang menyebabkan tidak dapat dipidana si pembuat tadi yakni
sebagai berikut:

1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab dari si pembuat karena


ia telah sakit jiwa. Hal ini dijelaskan di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP
Contoh :
Di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa orang yang
tidak waras atau gila tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Keadaan psikis dari tersangka yang menyebabkan tersangka seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP ini tidak dapat dipidana.
Sebaga contoh kasus pada awal tahun 2016 ini, ada sebuah
peristiwa yang berhasi menarik perhatian masyarakat Indonesia secara
luas, yaitu meninggalnya I Wayan Mirna setelah meminum kopi Vietnam
di gerai kopi Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Setelah diperiksa lebih
lanjut, ternyata kopi yang diminum oleh Mirna mengandung racun sianida
dan dipercaya racun tersebutlah yang menyebabkan Mirna meninggal.
Pemeriksaan pun bergulir hingga akhirnya ditetapkanlah salah seorang
teman Mirna, Jessica Kemala Wongso, yang pada saat itu adalah orang
yang memesankan kopi yang diminum oleh Mirna, sebagai Tersangka.
Seiring berjalannya waktu, kemudian disinyalir bahwa Jessica
memiliki gangguan kejiwaan. Hal ini membuat penyidik meminta bantuan
ahli psikiatri untuk memeriksa kesehatan jiwa Jessica. Polemik pun
bergulir mengenai bagaimana kelanjutan kasus ini dengan kondisi
kesehatan jiwa Jessica. Ada pihak yang menyatakan apabila Jessica
terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka ia tidak dapat dihukum
(dipidana). Ada juga yang menyatakan masih bisa. Pemeriksaan kesehtaan
jiwa Jessica sendiri sampai saat ini masih berlangsung.
Ada hal yang menarik untuk kita lihat bersama dari peristiwa ini,
terutama mengenai bagaimana apabila Jessica memang terbukti memiliki
gangguan kejiwaan? Apakah perkaranya dapat terus dilanjutkan, atau
apakah akan berhenti karena tidak dapat dimintai pertangungjawaban
pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUHP? Dalam tulisan ini,
penulis akan membahas mengenai bagaimana hubungan antara gangguan
kejiwaan dan kemampuan bertanggung jawab secara pidana tersebut mulai
dari definisi kemampuan bertanggung jawab secara pidana itu sendiri
menurut para ahli pidana hingga sejarah pengaturannya.
Pertama, saya akan membahas mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab secara pidana. Dalam
KUHP, tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaarheid). Menurut Moeljatno, yang berhubungan dengan
kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) ialah Pasal 44
Ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang ontoerekeningsvatbaarheid (hal
tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan-
tindakannya), yang berbunyi:

“Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan yang


tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan
akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada
kemampuan akal sehatnya”.

Dalam KUHP terjemahan Moeljatno, bunyi Pasal 44 Ayat (1)


KUHP adalah sebagai serikut : Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena
penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
Apabila kita melihat kembali pada kasus Jessica, maka saya
berpendapat, walaupun nantinya Jessica terbukti memiliki gangguan
kejiwaan atau gangguan-gangguan lainnya berdasarkan hasil pemeriksaan
psikiatri, maka hasil pemeriksaan tersebut tidak serta merta dapat
menyatakan bahwa kasus Jessica tidak dapat dilanjutkan karena tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 44 Ayat (1)
KUHP. Dari hasil pemeriksaan tersebut, harus dilihat lebih lanjut apakah
gangguan kejiwaan atau gangguan lainnya yang dimiliki memiliki
hubungan erat sedimikian rupa dengan perbuatan yang dilakukan.
Berdasarkan hubungan tersebut lah akhirnya dapat ditentukan apakah
Jessica memiliki kemampuan bertanggung jawab secara pidana atau tidak.
Namun, terlepas dari apapun itu, pemeriksaan terhadap kejiwaan Jessica
masih berlangsung dan belum ada hasil pemeriksaan atas hal tersebut.
Menarik untuk dinanti apa hasil pemeriksaan terhadap kejiwaan Jessica.
Mengenai siapa yang berwenang untuk menilai adanya hubungan
gangguan kejiwaan atau gangguan lainnya dengan perbuatan tersebut,
menurut penulis pribadi, seharusnya tidak hanya hakim yang berwenang
menilai hal tersebut. Dalam konteks di dalam persidangan benar adalah
hakim yang berwenang menilai. Namun, pada dasarnya, kepolisian dan
kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk menilai hal tersebut guna
menilai apakah perkara seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan dapat
dilanjutkan atau tidak.

2. Adanya daya paksa (overmacht). Hal ini dijelaskan di dalam Pasal 48


KUHP. Daya paksa dapat terjadi karena tekanan fisik dan psikis yang
begitu kuat yang tidak dapat dihindari lagi, sehingga orang tersebut
terpaksa melanggar perbuatan yang dilarang UU.
Contoh :
Daya paksa atau overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) terdapat dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Orang
yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat
dipidana.”
Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih
besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat
ditentang. Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam
seperti di bawah ini.
1. Yang bersifat mutlak
R. Sugandhi, S.H.menjelaskan, dalam hal ini, orang itu tidak dapat
berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia
elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih
kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah
dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa
semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya
lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan
ialah orang yang lebih kuat. Orang inilah yang berbuat dan dialah pula
yang harus dihukum
2.yang bersifat relatif
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan, dalam hal ini,
kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak
penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih
mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B,
disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu,
maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan.
Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia
ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan
melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat
dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat
mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak,
dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat
semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang
melakukan karena dalam paksaan kekuatan.
3.yang merupakan suatu keadaan darurat
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan bedanya dengan
kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurai ini orang
yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang
akan ia lakukan., sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu
tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif - red) orang
yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa.
R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 56) memberikan contoh keadaan
darurat, misalnya:
a.      Dalam sebuah pelayaran dengan kapal laut telah terjadi
kecelakaan. Kapal itu meledak dengan mendadak, sehingga
penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang
penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang
hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain
yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun
yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu
yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia.
Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam
dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat
dihukum.
b.      Untuk menolong seorang yang tersekap dalam rumah yang
sedang terbakar, seorang anggota pasukan pencegah kebakaran telah
memecah sebuah jendela kaca yang berharga dari rumah yang terbakar itu
untuk jalan masuk. Meskipun anggota pasukan pencegah kebakaran itu
telah melakukan kejahatan merusak barang orang lain, ia tidak dapat
dihukum karena dalam keadaan darurat.

Lalu, dalam Putusan No. 964 K/Pid/2015, bahwa Pada tanggal 30


Agustus 2014 korban Agus Bin H. Nasir datang dua kali dengan
mengendarai sepeda motor Mio warna merah dan memarkirkan sepeda
motor tersebut di dekat lapak tempat Terdakwa Iskandar berjualan, pada
kedatangan pertama, korban Agus datang dan memarkirkan sepeda motor
Mio warna merah, pada saat itu korban Agus hanya melihat ke arah
Terdakwa Iskandar dan saksi Alex yang sedang berada di lapak tempat
Terdakwa Iskandar berjualan, lalu korban Agus menuju ke arah gedung
belakang tempat kejadian perkara, lalu korban Agus kembali lagi menuju
sepeda motor yang diparkirkan kemudian pergi meninggalkan tempat
tersebut;

Tidak berlama korban Agus kembali datang untuk kedua kalinya,


dimana kedatangan korban yang kedua kalinya sudah membawa tas
selempang warna hitam (daftar pencarian barang bukti) yang diletakkan di
depan perut korban Agus, kemudian korban Agus mendekati Terdakwa
Iskandar yang sedang bersama saksi Alex di lapak Terdakwa Iskandar,
kemudian korban Agus berkata kepada Terdakwa Iskandar “Dar sini dulu,
ado lokak” dan mengajak Terdakwa Iskandar ke gedung belakang pasar
Bukit Sulap, di mana jarak korban Agus dan Terdakwa Iskandar pada saat
itu sekira tiga meter.
Berdasarkan hal tersebut, lalu korban Agus dan Terdakwa Iskandar
berjalan menuju gedung belakang Pasar Bukit Sulap dengan posisi korban
Agus ada di depan dan Terdakwa Iskandar ada di belakang, sesampai di
belakang gedung Pasar Bukit Sulap Terdakwa Iskandar sempat berkata
kepada korban Agus “Lokak apo Agus?”, dan tiba-tiba korban Agus
mengeluarkan pisau pertama lalu menyerang Terdakwa Iskandar ke arah
kepala tetapi dapat ditangkis oleh Terdakwa Iskandar dengan kedua tangan
Terdakwa, mendapat perlawanan dari Terdakwa Iskandar, korban agus
kemudian mengeluarkan pisau yang kedua dari tas dengan tangan kirinya
dan kembali menyerang Terdakwa Iskandar ke arah tubuh dan mengenai
perut Terdakwa Iskandar, sehingga Terdakwa terdesak lalu Terdakwa
mencoba menyelamatkan diri dengan berlari meninggalkan korban Agus.
Melihat terdakwa Iskandar berusaha melarikan diri korban Agus kembali
berusaha mengejar Terdakwa Iskandar dan kembali menusuk Terdakwa
Iskandar di pundak Terdakwa sebanyak dua tusukan dengan kedua pisau
yang ada di tangan korban agus, mendapat serangan kedua kalinya
Terdakwa Iskandar melakukan perlawanan dengan mencabut pisau yang
menancap di pundak Terdakwa Iskandar lalu menyerang korban Agus
dengan pisau tersebut sebanyak 4 (empat) kali atau setidak-tidaknya lebih
dari 2 (dua) kali ke arah kepala, leher kanan, dan leher kiri lalu Terdakwa
Iskandar membuang pisau (daftar pencarian barang bukti) yang digunakan
ke arah korban agus lalu Terdakwa Iskandar berlari menyelamatkan diri
sambil berteriak minta tolong.
Saksi Poniran dan saksi Legimin mengetahui peristiwa tersebut
saat mendengar kata “Nah bolong kamu”. Pada saat saksi Poniran mencari
sumber suara, saksi Poniran melihat Terdakwa Iskandar sedang berlari
dalam keadaan berlumuran darah, sedangkan korban Agus berdiri sambil
memegang pisau di tangan kanannya dan melihat Terdakwa Iskandar dan
korban Agus yang berlumuran darah, para saksi lari ketakutan ke arah
belakang pasar Bukit Sulap secara terpisah dan jarak saksi Suni, saksi
Legiman dan saksi Poniran dengan Terdakwa Iskandar kurang lebih 5
(lima) Meter dan dengan korban Agus 30 (tiga puluh) Meter. Saat saksi
Alex sedang makan di tempat Terdakwa Iskandar berjualan ikan, atau
sekira lima menit setelah Agus dan Kandar menuju ke gedung belakang
Pasar Bukit Sulap, saksi Alex melihat korban Agus keluar dari dalam
gedung belakang Pasar Bukit Sulap dengan keadaan berlumuran darah dan
memegang sebilah pisau gagang kayu berukuran sekira 20 (dua puluh)
centimeter dengan menggunakan tangan kanan, lalu korban Agus
mendatangi saksi Suryadi yang sedang berjualan di tempatnya dengan
keadaan berlumuran darah, dan saksi Suryadi, pada saat itu melihat korban
Agus membawa tas selempang warna hitam yang diletakkan di depan
perutnya dan membawa pisau.
Saat korban Agus mendatangi saksi Suryadi, korban Agus
memberitahukan bahwa pelaku yang menikamnya bernama Kandar, dan
meminta saksi Suryadi untuk mengantarnya ke rumah sakit. Lalu saksi
Suryadi mencari kendaraan untuk membawa korban Agus, bersama saksi
Darwilis, dan meminta saksi Darwilis untuk membantu mengantar Agus
ke rumah sakit.
Saat saksi Suryadi dan saksi Darwilis datang ke tempat saksi
Suryadi berjualan atau tempat korban Agus menunggu, saksi Suryadi dan
saksi Darwilis melihat korban Agus sudah tergeletak di lantai tempat saksi
Suryadi berjualan, kemudian saksi Suryadi dan saksi Darwilis mengangkat
tubuh korban Agus ke kendaraan, lalu membawa ke rumah sakit Dr.
Sobirin.

Berdasarkan Visum Et Repertum yang dikeluarkan oleh Rumah


Sakit Dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas Nomor
:17/VerMYT/IGD/RS.Dr.Sobirin/VIII/2014, tanggal 30 Agustus 2014
yang dibuat dan ditandatangani dengan mengingat sumpah jabatan oleh
oleh dr. Dina Fikry yang menyimpulkan dari hasil pemeriksaanya sebagai
berikut:

Menjelaskan: Bahwa korban Agus Bin H. Nasir:


1) Penderita datang dan diperiksa dalam keadaaan sudah meninggal dunia;
2) Tampak luka terbuka dengan tepi rata pada daerah kepala, lebar lima
centimeter, dalam hinggatulang;
3) Tampak lecet pada daerah pipi kiri dengan ukuran tiga centimeter, lebar
satu centimeter;
4) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada leher kanan bawah
dengan ukuran panjang tiga centimeter, lebar dua centimeter dalam hingga
rongga;
5) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada leher kiri dengan ukuran
panjang empat centimeter, lebar tiga centimeter dalam sampai rongga;
6) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada leher kanan atas dengan
ukuran panjang dua centimeter, lebar satu centimeter dalam sampai
rongga;
7) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada ibu jari tangan kanan
dengan ukuran panjang tiga centimeter, lebar satu centimeter;
8) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada ibu jari tangan kiri
dengan
ukuran panjang dua centimeter, lebar satu centimeter;
9) Penyebab kematian tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan bedah
mayat;
Dan Surat Keterangan Meninggal Dunia RS. Dr. Sobirin Nomor:
26/IGD/PS.CBR/IX/2014 tertanggal 24 September 2014 yang ditanda
tangani oleh Dr. Dina Fikry, menyatakan bahwa korban Agus umur 45
tahun telah meninggal pada tanggal 30 Agustus 2014 pukul 11.00 WIB di
rumah Sakit Dr.Sobirin.
Dilihat dari Putusan Nomor: 964K/PID/2015 dimana Majelis
Hakim memutuskan bahwa perbuatan Terdakwa Iskandar alias Kandar Bin
Aroeif
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, sehingga
melepaskan Terdakwa Iskandar alias Kandar Bin Aroeif tersebut dari
segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), serta
memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya. Sebagaimana menurut penulis pertimbangan hukum
yang diberikan oleh majelis hakim mengenai daya paksa ini merupakan
salah satu alasan penghapusan pidana atau alasan pemaaf bagi terdakwa.
Overmacht dalam kasus ini adalah perbuatan yang terpaksa
dilakukan terdakwa karena adanya penyebab terlebih dahulu, terdakwa
tidak dijatuhi hukuman pidana oleh Majelis Hakim walaupun
perbuatannya juga menyebabkan seseorang meninggal. Tuntutan yang
diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa dengan pidana
penjara selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan, namun disini
terdakwa tidak dijatuhi hukuman pidana oleh Majelis Hakim. Hal ini
dikarenakan Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa tersebut
merupakan upaya untuk membela hak-haknya guna membela diri terhadap
suatu serangan dengan senjata tajam yang ditujukan pada diri terdakwa.
Maka analisis berdasarkan kasus putusan No. 964 K/Pid/2015
bahwa keputusan Majelis Hakim untuk melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hokum sangat relevan dengan perbuatan yang dilakukannya
karena terpaksa, apabila terdakwa berdiam diri dengan tidak melakukan
pengayunan senjatanya, maka terdakwa juga bisa dihabisi nyawanya.
Sehingga perbuatan terdakwa disini masuk dalam kategori overmacht
(daya paksa). Sebagaimana pembunuhan belum tentu melawan hukum,
namun pembunuhan terjadi karena dalam keadaaan terpaksa untuk
menolong diri sendiri dari ancaman orang lain.

3. Adanya pembelaan terpaksa/darurat (noodweer). Penjelasan ada di


Pasal 49 ayat (1) KUHP. Suatu pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang
sangat dekat pada saat itu yang mana perbuatan tersebut sebenarnya
melawan hukum.
Contoh :
Kasus kriminalisasi atas pembelaan diri yang berujung pada
hilangnya nyawa seseorang kembali terjadi. ZA (17) seorang pelajar
Malang divonis bersalah melakukan penganiayaan yang menyebabkan
kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) dan dihukum pidana pembinaan
selama 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen sesuai UU Peradilan
Anak. ZA menurut hakim terbukti menusuk sehingga menghilangkan
nyawa seorang begal, Misnan (35).
Penusukan ini bermula saat Misnan dan komplotannya
menghadang ZA yang sedang berboncengan dengan teman perempuannya
(8/9/2019). Komplotan ini kemudian meminta paksa barang-barang
berharga dan mengancam memperkosa teman ZA. Demi membela diri dan
temannya itu, ZA mengambil pisau di jok motornya dan terlibat
berkelahian, hingga akhirnya ZA menusuk Misnan di bagian dada.
Anggota komplotan begal lainnya kemudian kabur dan esoknya Misnan
ditemukan tewas.
Untuk menghindari prasangka dan merangkai pemahaman atas persoalan
ini, maka konsep pembelaan diri dalam hukum pidana harus dipahami
secara utuh.
Parameter, Pada prinsipnya, seseorang dijatuhi hukuman pidana
(penjara, denda, dan sebagainya) apabila dua persyaratan dipenuhi, yakni;
pertama, perbuatannya merupakan perbuatan pidana; dan kedua, pelaku
bersalah atas perbuatan pidana tersebut. Rumus sederhananya adalah
perbuatan pidana + kesalahan pelaku = hukuman pidana.
Pada pembuktian perbuatan pidana dan kesalahan pelaku tersebut
terdapat keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat menghapus atau
meniadakan masing-masing persyaratan tersebut. Jika keadaan atau
peristiwa ini ada, terjadi, dan dapat dibuktikan, maka tentu pidana tidak
dapat dijatuhkan. Keadaan atau peristiwa yang demikian disebut dengan
alasan penghapus pidana. Konsep pembelaan diri berhubungan dengan
alasan penghapus pidana ini.
Pembelaan diri menjadi keadaan atau peristiwa yang dapat
menghapus pidana, baik menghapus sifat melawan hukum sebagai alasan
pembenar ataupun menghapus kesalahan pelaku sebagai alasan pemaaf.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana parameter pembelaan diri agar dapat
memenuhi alasan penghapus pidana? Titik tolak parameter pembelaan diri
ada pada Pasal 49 KUHP. Pasal ini bahkan tidak hanya menyangkut
pembelaan terhadap diri sendiri saja, tetapi juga orang lain.
Menurut konsep hukum pidana, pembelaan pada pasal tersebut
terdiri atas dua bentuk, yakni pembelaan darurat (noodweer) pada Pasal 49
ayat (1) dan pembelaan darurat yang melampau batas (noodweer exces)
pada Pasal 49 ayat (2). Kedua ketentuan ini berbeda dalam hal
penghapusan pidana; jika pembelaan darurat adalah alasan pembenar,
maka pembelaan pembelaan darurat yang melampau batas termasuk alasan
pemaaf, sebab jenis pembelaan ini memiliki faktor keguncangan jiwa yang
hebat.
Kesalahan pelaku dalam hal ini yang dimaafkan, bukan
perbuatannya yang dibenarkan. Menilai keguncangan jiwa dalam suatu
peristiwa tertentu membutuhkan penilaian psikolog atau dokter ahli
kejiwaan. Lain halnya dalam menilai pembelaan darurat biasa.
Terkait pembelaan darurat, parameternya terletak pada dua unsur utama,
yakni unsur serangan dan unsur pembelaan. Pertama, unsur serangan atau
ancaman serangan. Serangan atau ancaman itu secara tempo harus terjadi
seketika (saat itu juga), tidak boleh untuk serangan yang diperkirakan pada
waktu mendatang, serta tidak boleh pada waktu serangan telah berakhir.
Serangan atau ancaman ini juga melawan hukum atau dengan kata
lain mengarah pada tindak pidana. Jika ruang lingkup yang dilindungi
adalah diri sendiri/orang lain (badan atau nyawa), kesusilaan, dan harta,
maka perbuatan serangan itu mengarah pada tindak pidana yang
konkretnya terdiri dari penganiayaan, pembunuhan pencabulan,
pemerkosaan, dan pencurian (perampokan).
Kedua, unsur pembelaan. Pembelaan hanya dikhususkan untuk
kepentingan diri dan orang lain (badan dan nyawa), menyangkut
kehormatan kesusilaan serta harta benda. Pembelaan yang terjadi bersifat
terpaksa, artinya tidak ada cara lain untuk menghalau serangan atau
ancaman serangan tersebut. Untuk menilai sifat pembelaan ini, maka
digunakan asas proporsionalitas atau asas subsidiaritas sesuai pemahaman
doktrin para ahli (Van Hatum, Andi Hamzah, Satochid Kartanegara).
Asas ini menentukan adanya keseimbangan antara kepentingan
hukum yang dilindungi dari serangan dengan kepentingan hukum
dilanggar dengan pembelaan atau keseimbangan antara cara pembelaan
yang dilakukan dengan cara serangan yang diterima. Apabila terdapat cara
perlindungan lain untuk menghalau serangan/ancaman, maka pembelaan
tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat yang
mengorbankan kerugian lebih besar bagi penyerang.
Aparat penegak hukum mestinya dapat menerapkan asas
proporsionalitas/subsidiaritas pada kasus-kasus pembelaan seperti ZA
sebagai parameter pembuktian, tidak hanya berdasarkan unsur pasal yang
dipersangkakan atau didakwakan saja. Pembuktian berdasarkan asas ini
secara terbuka dapat menjaga objektivitas dan independensi aparat
penegak hukum, serta mencegah perspektif sempit masyarakat yang hanya
membaca ulasan heroisme dari media, tanpa memahami fakta kasus secara
jernih.
Penggalian fakta dengan menerapkan asas
proporsioanalitas/subsidiaritas tentu lebih adil dibanding sebatas
penetapan tersangka/terdakwa dan pembuktian sekadarnya berdasarkan
pengenaan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan. Fakta-fakta
pembelaan dan fakta-fakta penyerangan masing-masing harus dibuktikan,
ditimbang, dan dinilai sedemikian rupa secara proporsional, sehingga tidak
mencederai keadilan serta menimbulkan polemik di masyarakat.

Ada adagium "vim vi repellere licet" yang berarti kekerasan tidak


boleh dibalas dengan kekerasan. Ketika seseorang diserang oleh tindakan
kejahatan, dia tidak boleh segera membalasnya dengan kejahatan,
melainkan membiarkan negara, lewat organ-organnya, melakukan
tindakan seperlunya. Masalahnya, negara tidak selalu hadir untuk
mengatasi serangan itu. Apalagi sering kali serangan itu tidak bisa
dicegah. Untuk itu, dalam keadaan tertentu, hukum pidana juga mengenal
aturan tentang pembelaan terpaksa (noodweer).
Bagaimana melihat kasus ZA, pelajar sekolah menengah yang
membunuh begal karena membela pacarnya di Malang, Jawa Timur
diatas? Menurut Van Hammel (1927), ada dua unsur utama dalam
rumusan delik ini. Pertama, unsur pembelaan (weer) itu harus bersifat
perlu dan perbuatan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan haruslah
dapat dibenarkan. Pembelaan dalam konteks noodweer adalah suatu alasan
pembenaran. Artinya, pembelaan itu memang berhak dilakukan dan bukan
karena membenarkan sifat dari tindakan itu sendiri.
Batasan oleh Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius (1995) adalah
pembelaan itu merupakan suatu keharusan dan, meskipun tidak secara
eksplisit dicantumkan dalam rumusan delik pasal itu, cara pembelaan
haruslah bersifat patut.
Selain itu, pembelaan didasari tiga asas penting tentang alasan
penghapus pidana. Pertama, pembelaan dalam konteks asas subsidiaritas
dapat dibenarkan selama tindakan itu adalah satu-satunya kemungkinan
yang harus dilakukan. Kedua, berdasarkan asas proporsionalitas, sebuah
tindakan pembelaan dapat dibenarkan jika pembelaan itu tidak melampaui
batas dari kepentingan hukum yang terserang. Ketiga, asas culpa in causa
terkait dengan peran orang yang membuat suatu tindak pidana dapat
terjadi.
Jaksa penuntut umum perlu mempertimbangkan betul hal-hal
tersebut dalam kasus pembelaan yang dilakukan oleh ZA. Penerapan dari
ketentuan pembelaan terpaksa sangat kompleks dan rentan. Untuk itu, jika
mendasarkan dakwaan dan tuntutan hanya pada ketentuan rumusan delik
sebagaimana tertulis tanpa penafsiran lebih luas, akan berpotensi terjadi
ketidakadilan.
Kedua, unsur serangan (aanranding). Suatu tindakan dapat
diklasifikasi sebagai serangan jika memenuhi tiga syarat, yaitu melanggar
hukum, mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung,
dan bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan, atau benda kepunyaan
sendiri atau kepunyaan orang lain. Jika merujuk pada rumusan pasal, juga
diharuskan serangan itu bersifat seketika.
Suatu pembelaan terpaksa dapat dibenarkan jika dilakukan selama
serangan berlangsung. Persoalannya, bagaimana menentukan waktu
"seketika" itu sebagai dasar utama penentuan seseorang dapat dibenarkan
melakukan suatu pembelaan terpaksa ataukah tidak? Dalam kasus ZA, ada
kurun waktu tertentu sebelum akhirnya ZA melakukan penganiayaan yang
menyebabkan kematian pelaku begal.
Adanya kurun waktu itu yang menjadi dasar bagi JPU untuk tidak
mengkonstruksikan tindakan ZA sebagai pembelaan terpaksa sebagaimana
diargumentasikan kuasa hukumnya. Perdebatan mengenai klausul
"seketika" sebenarnya bisa diatasi dengan mengkonstruksikan bahwa ZA
dalam kondisi temannya terserang kehormatannya sehingga harus
melakukan tindakan untuk menghentikan serangan itu.
Pembelaan terpaksa dalam suatu serangan seketika memunculkan
paling tidak tiga kemungkinan. Pertama, pembelaan dapat dilakukan
sebelum serangan itu dilaksanakan, tapi orang yang akan diserang telah
menyadarinya dan berusaha menghentikan serangan itu. Kedua,
pembelaan itu dilakukan selama kurun waktu serangan itu dilakukan.
Ketiga, berdasarkan pendapat Remmelink, mantan jaksa agung
Belanda, pembelaan dapat saja dilakukan seketika setelah serangan terjadi.
Dalam hal ini dikatakan, "Mungkin bertindak dengan rencana lebih dulu,
yaitu bertindak setelah memikirkan dan merencanakannya dengan tenang."
Argumentasi Remmelink masuk akal karena berhentinya serangan belum
dapat dipastikan waktu selesainya. Untuk itu, bagi saya, tindakan ZA
masih termasuk pembelaan terpaksa.
Untuk dipertimbangkan, Van Hammel mengemukakan lima
pendapat mengapa seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak
dapat dihukum. Pertama, pembelaan terpaksa adalah suatu bentuk hak.
Kedua, pembelaan terpaksa itu sah bukan karena ketidakadilan yang
terjadi akibat pembelaan itu sendiri, melainkan ketidakadilan yang akan
diderita seseorang akibat suatu pidana. Ketiga, pembelaan itu sendiri telah
kehilangan sifat melawan hukumnya.
Keempat, merujuk pada memorie van toelichting, pembelaan
terpaksa adalah sesuatu yang berasal dari luar diri seseorang sehingga
membuat perbuatan pembelaan itu tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya kepada yang melakukan. Kelima, jika merujuk
pada memorie van antwoord, pembelaan terpaksa menegaskan bahwa
dalam kondisi tertentu, sesuatu yang sah menurut hukum perlu disimpangi
oleh sesuatu yang melawan hukum.

4. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces),


diterangkan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Suatu pembelaan terpaksa
yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa
yang hebat karena searanga atau ancaman serang itu tidak
dipindana.Misalnya : Seseorang yang menyerang dengan pecahan botol
minuman yang sebenarnya dalam situasi tersebut dapat dilawan dengan
menggunakan sepotong kayu, namun karena adanya keguncangan jiwa
yang hebat, ia memilih melawan dengan sebuah tembakan.
Contoh :
Noodweer Exces itu adalah pembelaan darurat yang melampaui
batas. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Menurut R. Soesilo
sama halnya dengan pembelaan darurat, Noodweer Exces harus ada
serangan yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada saat
itu juga. Di sini batas-batas keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya
orang membela dengan menembakkan pistol, sedangkan sebenarnya
pembelaan dengan memukul kayu sudah cukup. Pelampauan batas-batas
ini oleh undang-undang diperkenankan, asal saja disebabkan karena
perasaan tergoncang hebat yang timbul lantaran serangan itu. Perasaan
tergoncang hebat misalnya jengkel atau marah sekali biasa dikatakan mata
gelap.
Misalnya, seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh
orang, lalu mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa
kali pada orang itu, boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan
darurat, karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali,
orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Apabila
dapat dinyatakan pada hakim, bahwa bolehnya melampaui batas-batas itu
disebabkan karena marah yang amat sangat, maka agen polisi itu tidak
dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.

5. Karena menjalankan suatu perintah Undang-undang. Hal ini


dijelaskan dalam Pasal 50 KUHP.
Contoh :
Suatu perbuatan atau tindakan menjalankan perintah perundang- undangan
telah disebutkan dalam Pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa
seseorang yang melakukan sesuatu tindakan dengan ketentuan
melaksanakan perintah atau ketentuan undang-undang terhadap sesuatu
tindakannya itu, maka seseorang tersebut tidak dapat dipidana. Namun
terdapat beberapa hal yang perlu dipahami terhadap ketentuan
penghapusan pidana yang disebutkan dalam Pasal 50 KUHP tersebut
diantaranya:
1) Suatu ketentuan perundang-undangan terhadap semua peraturan yang
dibuat oleh penguasa yang berwenang terhadap maksud tertentu yang
mana
disebutkan dalam undang-undang.
2) Perbuatan yang di mana jika tidak disebutkan perintahnya dalam
peraturan
perundang-undangan, maka tindakan atau perbuatan tersebut termasuk
tindak pidana, dan sebaliknya yang dibenarkan ialah suatu perintah atas
wewenang penguasa yang disebutkan dalam perundang-undangan, maka
hal itu dapat dibenarkan.

Penghapusan pidana terhadap pelaku dalam Pasal 50 KUHP didasarkan


pada penghapusan sifat melawan hukum perbuatan, sehingga perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar
dimana hal ini sering terjadi dalam masyarakat.
Contohnya, pada pengosongan rumah, juru sita dapat meletakkan perabot
– perabot rumah tangga di jalan, sekalipun ada larangan pemerintah daerah
untuk menempatkan barang di jalan umum. Dalam hal ini perbuatan juru
sita merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi, sifat
melawan hukum itu dihapuskan sehingga perbuatannya menjadi patut dan
dibenarkan oleh undang – undang.
6. Karena melaksankaan suatu perintah jabatan yang sah. Penjelasannya
dalam Pasal 51 KUHP.
Contoh :
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, ketentuan mengenai
perintah jabatan diatur dalam Pasal 51 KUHP, pada ayat (1) menyebutkan,
“barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa terhadap perintah jabatan
yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) mengandung makna bahwa perbuatan
untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang adalah dibenarkan, karena hal itu merupakan alasan yang dapat
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, kalau di common law
system berkaitan dengan actus reus. Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1)
tersebut di atas juga terdapat frasa “perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang”, dalam hal ini menegaskan bahwa penerima
dan pelaksana perintah harus mengetahui bahwa perintah yang diterima
adalah benar-benar diberikan oleh pejabat yang berwenang (l’autorite
legitime) dan perintah itu termasuk lingkup wewenang pejabat dimaksud.
Contoh nya yaitu Sebagaimana halnya ketentuan Pasal 51 KUHP
tersebut pernah dijadikan sebagai asas pembelaan terhadap kasus tindak
pidana korupsi oleh seorang pejabat di instansi pemerintahan yang
dilakukan oleh Oentarto Sindung Mawardi pada tahun 2010 yang lalu, di
mana saat itu perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta
Selatan yang saat ini Pengadilan Tipikor sudah pindah ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, perkara Oentarto tersebut terdaftar dengan nomor
perkara PN Jakarta Selatan Nomor 540/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel. 1 Dalam
kasus Oentarto Sindung Mawardi tersebut yang dituduhkan kepadanya
kala itu tentang pembuatan radiogram dan penyediaan mobil pemadam
kebakaran. Sebagaimana disampaikannya pada persidangan kala itu ia
beralasan dalam pembelaannya yang mengatakan bahwa pembuatan
radiogram dan penyediaan mobil pemadam kebakaran merupakan perintah
jabatan, atau dengan kata lain Oentarto kala itu menjadikan ketentuan
Pasal 5I KUHP yang menurutnya dapat dijadikan sebagai asas pembenar
terhadap apa yang telah dilakukannya itu karena berkaitan dengan
tindakan atas perintah jabatan. Meski demikian kasus dugaan tindak
pidana korupsi yang disangkakan kepadanya kala itu ia dinyatakan secara
sah bersalah yang dituang dalam putusan hakim pada pengadilan tingkat
pertama.

7. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah namun dengan


etikad baik. Selengkapnya ada di Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Contoh :
pada Pasal 51 ayat (2) mengandung makna bahwa perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi
orang yang diperintah tidak dapat dikenakan pidana karena tidak ada
kesalahan dalam dirinya atau berhubungan dengan culpabilitas, di
common law system berkaitan dengan mens rea. Namun demikian, pada
Pasal 51 ayat (2) juga memberikan syarat bahwa suatu perintah jabatan
yang tanpa wewenang atau suatu perintah jabatan yang tidak sah pada
dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah lolos dari ancaman
pidana, kecuali jika orang yang diperintah, dengan iktikad baik mengira
bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk
dalam lingkungan pekerjaannya.
Pada ketentuan Pasal 51 Ayat (2) diperjelas dengan disebutkan
bahwa perintah dari jabatan yang tidak berwenang tidak akan menghapus
pidana, kecuali seseorang yang diperintah dengan mengira bahwa perintah
tersebut telah diberikan oleh jabatan yang berwenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam kapasitas atau lingkungan pekerjaannya. Atau dapat kita
melihat ketentuan pada pasal sebelumnya yakni Pasal 50 KUHP yang
menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan atas dasar adanya
ketentuan dalam undang-undang maka tidak dapat dipidana. Maka yang
perlu kita pahami bahwa perintah dari jabatan yang berwenang tersebut
harus berdasarkan ketentuan undang- undang. Namun sebagaimana yang
menjadi permasalahan dari munculnya asumsi publik yang menyebutkan
bahwa Pasal 51 KUHP ini sebagai pasal imunitas atau kekebalan hukum
bagi seorang pejabat berangkat dari penggunaan redaksi bahasa yang kalau
secara sepintas untuk memaknai ketentuan kata ‘’itikad baik’’ pada pasal
tersebut bisa memunculkan penafsiran beragam termasuk asumsi publik
yang demikian itu.
Disebutkan dalam Pasal 51 Ayat (2) bahwa suatu perintah jabatan
tanpa wewenang atau kapasitasnya, maka hal tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai pembelaan atau penghapusan pidana, namun dengan
pengecualian bahwa apa yang dialakukan oleh seseorang tersebut dengan
unsur itikad baik yang mana perbuatan seseorang tersebut juga termasuk
dalam ruang lingkup pekerjaannya. Perlu dipahami bahwa seseorang yang
melakukan tindakan dengan perintah jabatan yang tidak sah bersifat
melawan hukum, namun meski demikian ia bisa saja bebas dari pidana
jika telah memenuhi unsur-unsur yang diantaranya:
Pertama, Seseorang yang menjalankan perintah dengan itikad baik
dan ia mengira bahwa perintah tersebut akan menjadi sah diberikan oleh
perintah jabatan yang berwenang; dan Kedua, Dalam melaksanakan suatu
tindakan seseorang tersebut melakukan tindakan atau perbuatan yang
mana dalam ruang lingkup perkerjaanya. Dalam hal ini dapat juga dilihat
terhadap terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif:
1. Syarat Subjektif
Syarat subjektif ini terdapat pada masing-masing individu seseorang atau
dalam hal ini berkaitan dengan batin seseorang yang menerima suatu
perintah. Kenapa demikian, bahwa perlu kita pahami manusia sebagai
mahluk yang memiliki akal pikiran yang mampu membedakan mana yang
benar dan salah, mana yang baik dan juga buruk, oleh sebab itulah hal-hal
bersifat masuk akal perlu ditekankan dalam hal ini.
Sebagai contoh seorang sekretaris desa melakukan suatu perbuatan yang
mana ia mengira bahwa pada dasarnya apa yang akan ia perbuat nantinya
juga akan diperintahkan oleh sang kepala desa. Maka dalam hal ini sesuatu
yang rasional dan masuk akal sudah terpenuhi. Berbeda halnya jika
seorang sekretaris desa akan melakukan sesuatu yang mana ia mengira
bahwa perintah tersebut merupakan perintah bupati maka dalam hal ini
tidak ditemukan kerasionalannya, karena perbuatan tersebut jauh dari
lingkup pekerjaan sang sekrertaris desa.
2. Syarat Objektif
Syarat objektif ini adalah berkaitan dengan pembahasan sebelumnya
antara
pemberi perintah dan penerima perintah memiliki hubungan publik, seperti
di contohkan sebelumnya di atas antara Presiden dan para Menterinya,
kedua jenis jabatan tersebut memiliki hubungan publik sebagai pejabat
negara. Maka dalam hal ini perintah yang diberikan kepada seseorang
harus masuk lingkup hubungan publik antara suatu jabatan. Dari
penjelasan mengenai sebab terhapusnya pidana di atas menurut saya
bahwa yang perlu kita pahami adalah, adanya tahapan panjang dalam
ranah pembuktian terhadap dugaan tindak pidana baik yang dilakukan oleh
pejabat negara ataupun masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini tidak
terlepas pada tahapan penafsiran atau pembuktian pada ketentuan Pasal 50,
51 Ayat (1) dan (2) KUHP.
Contoh lainnya :
1. Seorang pejabat polisi memerintahkan kepada polisi bawahannya
untuk memukuli seorang tahanan yang berteriak-teriak. Perintah yang
diberikan itu jelas perintah yang tidak sah juga perbuatan memukuli
seseorang bukan termasuk dalam lingkungan pekerjaan anggota polisi.
2. Seorang pejabat polisi memerintahkan kepada polisi bawahannya
untuk memungut pajak. Polisi berkewajiban menjaga keamanan dan
aketertiban masyarakat. Memungut pajak bukanlah bidang tugas polisi.
Apabila pejabat polisi itu diperintah untuk memungut pajak, maka perintah
itu adalah tidak sah. sehingga polisi yang diperintah itu dapat dipidana jika
melaksanakan perintah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai