2021/2022 Berikan contoh untuk masing-masing 7 alasan penghapus pidana sesuai dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat boleh pake kasus putusan)
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ada 7 dasar
(alasan) yang menyebabkan tidak dapat dipidana si pembuat tadi yakni sebagai berikut:
1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab dari si pembuat karena
ia telah sakit jiwa. Hal ini dijelaskan di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP Contoh : Di dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa orang yang tidak waras atau gila tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Keadaan psikis dari tersangka yang menyebabkan tersangka seperti yang dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP ini tidak dapat dipidana. Sebaga contoh kasus pada awal tahun 2016 ini, ada sebuah peristiwa yang berhasi menarik perhatian masyarakat Indonesia secara luas, yaitu meninggalnya I Wayan Mirna setelah meminum kopi Vietnam di gerai kopi Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata kopi yang diminum oleh Mirna mengandung racun sianida dan dipercaya racun tersebutlah yang menyebabkan Mirna meninggal. Pemeriksaan pun bergulir hingga akhirnya ditetapkanlah salah seorang teman Mirna, Jessica Kemala Wongso, yang pada saat itu adalah orang yang memesankan kopi yang diminum oleh Mirna, sebagai Tersangka. Seiring berjalannya waktu, kemudian disinyalir bahwa Jessica memiliki gangguan kejiwaan. Hal ini membuat penyidik meminta bantuan ahli psikiatri untuk memeriksa kesehatan jiwa Jessica. Polemik pun bergulir mengenai bagaimana kelanjutan kasus ini dengan kondisi kesehatan jiwa Jessica. Ada pihak yang menyatakan apabila Jessica terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka ia tidak dapat dihukum (dipidana). Ada juga yang menyatakan masih bisa. Pemeriksaan kesehtaan jiwa Jessica sendiri sampai saat ini masih berlangsung. Ada hal yang menarik untuk kita lihat bersama dari peristiwa ini, terutama mengenai bagaimana apabila Jessica memang terbukti memiliki gangguan kejiwaan? Apakah perkaranya dapat terus dilanjutkan, atau apakah akan berhenti karena tidak dapat dimintai pertangungjawaban pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUHP? Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana hubungan antara gangguan kejiwaan dan kemampuan bertanggung jawab secara pidana tersebut mulai dari definisi kemampuan bertanggung jawab secara pidana itu sendiri menurut para ahli pidana hingga sejarah pengaturannya. Pertama, saya akan membahas mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab secara pidana. Dalam KUHP, tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid). Menurut Moeljatno, yang berhubungan dengan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) ialah Pasal 44 Ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang ontoerekeningsvatbaarheid (hal tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan- tindakannya), yang berbunyi:
“Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya”.
Dalam KUHP terjemahan Moeljatno, bunyi Pasal 44 Ayat (1)
KUHP adalah sebagai serikut : Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Apabila kita melihat kembali pada kasus Jessica, maka saya berpendapat, walaupun nantinya Jessica terbukti memiliki gangguan kejiwaan atau gangguan-gangguan lainnya berdasarkan hasil pemeriksaan psikiatri, maka hasil pemeriksaan tersebut tidak serta merta dapat menyatakan bahwa kasus Jessica tidak dapat dilanjutkan karena tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 44 Ayat (1) KUHP. Dari hasil pemeriksaan tersebut, harus dilihat lebih lanjut apakah gangguan kejiwaan atau gangguan lainnya yang dimiliki memiliki hubungan erat sedimikian rupa dengan perbuatan yang dilakukan. Berdasarkan hubungan tersebut lah akhirnya dapat ditentukan apakah Jessica memiliki kemampuan bertanggung jawab secara pidana atau tidak. Namun, terlepas dari apapun itu, pemeriksaan terhadap kejiwaan Jessica masih berlangsung dan belum ada hasil pemeriksaan atas hal tersebut. Menarik untuk dinanti apa hasil pemeriksaan terhadap kejiwaan Jessica. Mengenai siapa yang berwenang untuk menilai adanya hubungan gangguan kejiwaan atau gangguan lainnya dengan perbuatan tersebut, menurut penulis pribadi, seharusnya tidak hanya hakim yang berwenang menilai hal tersebut. Dalam konteks di dalam persidangan benar adalah hakim yang berwenang menilai. Namun, pada dasarnya, kepolisian dan kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk menilai hal tersebut guna menilai apakah perkara seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan dapat dilanjutkan atau tidak.
2. Adanya daya paksa (overmacht). Hal ini dijelaskan di dalam Pasal 48
KUHP. Daya paksa dapat terjadi karena tekanan fisik dan psikis yang begitu kuat yang tidak dapat dihindari lagi, sehingga orang tersebut terpaksa melanggar perbuatan yang dilarang UU. Contoh : Daya paksa atau overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terdapat dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.” Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang. Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam seperti di bawah ini. 1. Yang bersifat mutlak R. Sugandhi, S.H.menjelaskan, dalam hal ini, orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. Orang inilah yang berbuat dan dialah pula yang harus dihukum 2.yang bersifat relatif R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan, dalam hal ini, kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan. 3.yang merupakan suatu keadaan darurat R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 55) menjelaskan bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurai ini orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan., sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif - red) orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa. R. Sugandhi, S.H.(Ibid, hal. 56) memberikan contoh keadaan darurat, misalnya: a. Dalam sebuah pelayaran dengan kapal laut telah terjadi kecelakaan. Kapal itu meledak dengan mendadak, sehingga penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia. Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat dihukum. b. Untuk menolong seorang yang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar, seorang anggota pasukan pencegah kebakaran telah memecah sebuah jendela kaca yang berharga dari rumah yang terbakar itu untuk jalan masuk. Meskipun anggota pasukan pencegah kebakaran itu telah melakukan kejahatan merusak barang orang lain, ia tidak dapat dihukum karena dalam keadaan darurat.
Lalu, dalam Putusan No. 964 K/Pid/2015, bahwa Pada tanggal 30
Agustus 2014 korban Agus Bin H. Nasir datang dua kali dengan mengendarai sepeda motor Mio warna merah dan memarkirkan sepeda motor tersebut di dekat lapak tempat Terdakwa Iskandar berjualan, pada kedatangan pertama, korban Agus datang dan memarkirkan sepeda motor Mio warna merah, pada saat itu korban Agus hanya melihat ke arah Terdakwa Iskandar dan saksi Alex yang sedang berada di lapak tempat Terdakwa Iskandar berjualan, lalu korban Agus menuju ke arah gedung belakang tempat kejadian perkara, lalu korban Agus kembali lagi menuju sepeda motor yang diparkirkan kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut;
Tidak berlama korban Agus kembali datang untuk kedua kalinya,
dimana kedatangan korban yang kedua kalinya sudah membawa tas selempang warna hitam (daftar pencarian barang bukti) yang diletakkan di depan perut korban Agus, kemudian korban Agus mendekati Terdakwa Iskandar yang sedang bersama saksi Alex di lapak Terdakwa Iskandar, kemudian korban Agus berkata kepada Terdakwa Iskandar “Dar sini dulu, ado lokak” dan mengajak Terdakwa Iskandar ke gedung belakang pasar Bukit Sulap, di mana jarak korban Agus dan Terdakwa Iskandar pada saat itu sekira tiga meter. Berdasarkan hal tersebut, lalu korban Agus dan Terdakwa Iskandar berjalan menuju gedung belakang Pasar Bukit Sulap dengan posisi korban Agus ada di depan dan Terdakwa Iskandar ada di belakang, sesampai di belakang gedung Pasar Bukit Sulap Terdakwa Iskandar sempat berkata kepada korban Agus “Lokak apo Agus?”, dan tiba-tiba korban Agus mengeluarkan pisau pertama lalu menyerang Terdakwa Iskandar ke arah kepala tetapi dapat ditangkis oleh Terdakwa Iskandar dengan kedua tangan Terdakwa, mendapat perlawanan dari Terdakwa Iskandar, korban agus kemudian mengeluarkan pisau yang kedua dari tas dengan tangan kirinya dan kembali menyerang Terdakwa Iskandar ke arah tubuh dan mengenai perut Terdakwa Iskandar, sehingga Terdakwa terdesak lalu Terdakwa mencoba menyelamatkan diri dengan berlari meninggalkan korban Agus. Melihat terdakwa Iskandar berusaha melarikan diri korban Agus kembali berusaha mengejar Terdakwa Iskandar dan kembali menusuk Terdakwa Iskandar di pundak Terdakwa sebanyak dua tusukan dengan kedua pisau yang ada di tangan korban agus, mendapat serangan kedua kalinya Terdakwa Iskandar melakukan perlawanan dengan mencabut pisau yang menancap di pundak Terdakwa Iskandar lalu menyerang korban Agus dengan pisau tersebut sebanyak 4 (empat) kali atau setidak-tidaknya lebih dari 2 (dua) kali ke arah kepala, leher kanan, dan leher kiri lalu Terdakwa Iskandar membuang pisau (daftar pencarian barang bukti) yang digunakan ke arah korban agus lalu Terdakwa Iskandar berlari menyelamatkan diri sambil berteriak minta tolong. Saksi Poniran dan saksi Legimin mengetahui peristiwa tersebut saat mendengar kata “Nah bolong kamu”. Pada saat saksi Poniran mencari sumber suara, saksi Poniran melihat Terdakwa Iskandar sedang berlari dalam keadaan berlumuran darah, sedangkan korban Agus berdiri sambil memegang pisau di tangan kanannya dan melihat Terdakwa Iskandar dan korban Agus yang berlumuran darah, para saksi lari ketakutan ke arah belakang pasar Bukit Sulap secara terpisah dan jarak saksi Suni, saksi Legiman dan saksi Poniran dengan Terdakwa Iskandar kurang lebih 5 (lima) Meter dan dengan korban Agus 30 (tiga puluh) Meter. Saat saksi Alex sedang makan di tempat Terdakwa Iskandar berjualan ikan, atau sekira lima menit setelah Agus dan Kandar menuju ke gedung belakang Pasar Bukit Sulap, saksi Alex melihat korban Agus keluar dari dalam gedung belakang Pasar Bukit Sulap dengan keadaan berlumuran darah dan memegang sebilah pisau gagang kayu berukuran sekira 20 (dua puluh) centimeter dengan menggunakan tangan kanan, lalu korban Agus mendatangi saksi Suryadi yang sedang berjualan di tempatnya dengan keadaan berlumuran darah, dan saksi Suryadi, pada saat itu melihat korban Agus membawa tas selempang warna hitam yang diletakkan di depan perutnya dan membawa pisau. Saat korban Agus mendatangi saksi Suryadi, korban Agus memberitahukan bahwa pelaku yang menikamnya bernama Kandar, dan meminta saksi Suryadi untuk mengantarnya ke rumah sakit. Lalu saksi Suryadi mencari kendaraan untuk membawa korban Agus, bersama saksi Darwilis, dan meminta saksi Darwilis untuk membantu mengantar Agus ke rumah sakit. Saat saksi Suryadi dan saksi Darwilis datang ke tempat saksi Suryadi berjualan atau tempat korban Agus menunggu, saksi Suryadi dan saksi Darwilis melihat korban Agus sudah tergeletak di lantai tempat saksi Suryadi berjualan, kemudian saksi Suryadi dan saksi Darwilis mengangkat tubuh korban Agus ke kendaraan, lalu membawa ke rumah sakit Dr. Sobirin.
Berdasarkan Visum Et Repertum yang dikeluarkan oleh Rumah
Sakit Dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas Nomor :17/VerMYT/IGD/RS.Dr.Sobirin/VIII/2014, tanggal 30 Agustus 2014 yang dibuat dan ditandatangani dengan mengingat sumpah jabatan oleh oleh dr. Dina Fikry yang menyimpulkan dari hasil pemeriksaanya sebagai berikut:
Menjelaskan: Bahwa korban Agus Bin H. Nasir:
1) Penderita datang dan diperiksa dalam keadaaan sudah meninggal dunia; 2) Tampak luka terbuka dengan tepi rata pada daerah kepala, lebar lima centimeter, dalam hinggatulang; 3) Tampak lecet pada daerah pipi kiri dengan ukuran tiga centimeter, lebar satu centimeter; 4) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada leher kanan bawah dengan ukuran panjang tiga centimeter, lebar dua centimeter dalam hingga rongga; 5) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada leher kiri dengan ukuran panjang empat centimeter, lebar tiga centimeter dalam sampai rongga; 6) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada leher kanan atas dengan ukuran panjang dua centimeter, lebar satu centimeter dalam sampai rongga; 7) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada ibu jari tangan kanan dengan ukuran panjang tiga centimeter, lebar satu centimeter; 8) Tampak luka terbuka dengan pinggir rata pada ibu jari tangan kiri dengan ukuran panjang dua centimeter, lebar satu centimeter; 9) Penyebab kematian tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan bedah mayat; Dan Surat Keterangan Meninggal Dunia RS. Dr. Sobirin Nomor: 26/IGD/PS.CBR/IX/2014 tertanggal 24 September 2014 yang ditanda tangani oleh Dr. Dina Fikry, menyatakan bahwa korban Agus umur 45 tahun telah meninggal pada tanggal 30 Agustus 2014 pukul 11.00 WIB di rumah Sakit Dr.Sobirin. Dilihat dari Putusan Nomor: 964K/PID/2015 dimana Majelis Hakim memutuskan bahwa perbuatan Terdakwa Iskandar alias Kandar Bin Aroeif terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, sehingga melepaskan Terdakwa Iskandar alias Kandar Bin Aroeif tersebut dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), serta memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Sebagaimana menurut penulis pertimbangan hukum yang diberikan oleh majelis hakim mengenai daya paksa ini merupakan salah satu alasan penghapusan pidana atau alasan pemaaf bagi terdakwa. Overmacht dalam kasus ini adalah perbuatan yang terpaksa dilakukan terdakwa karena adanya penyebab terlebih dahulu, terdakwa tidak dijatuhi hukuman pidana oleh Majelis Hakim walaupun perbuatannya juga menyebabkan seseorang meninggal. Tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan, namun disini terdakwa tidak dijatuhi hukuman pidana oleh Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa tersebut merupakan upaya untuk membela hak-haknya guna membela diri terhadap suatu serangan dengan senjata tajam yang ditujukan pada diri terdakwa. Maka analisis berdasarkan kasus putusan No. 964 K/Pid/2015 bahwa keputusan Majelis Hakim untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hokum sangat relevan dengan perbuatan yang dilakukannya karena terpaksa, apabila terdakwa berdiam diri dengan tidak melakukan pengayunan senjatanya, maka terdakwa juga bisa dihabisi nyawanya. Sehingga perbuatan terdakwa disini masuk dalam kategori overmacht (daya paksa). Sebagaimana pembunuhan belum tentu melawan hukum, namun pembunuhan terjadi karena dalam keadaaan terpaksa untuk menolong diri sendiri dari ancaman orang lain.
3. Adanya pembelaan terpaksa/darurat (noodweer). Penjelasan ada di
Pasal 49 ayat (1) KUHP. Suatu pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang mana perbuatan tersebut sebenarnya melawan hukum. Contoh : Kasus kriminalisasi atas pembelaan diri yang berujung pada hilangnya nyawa seseorang kembali terjadi. ZA (17) seorang pelajar Malang divonis bersalah melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) dan dihukum pidana pembinaan selama 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen sesuai UU Peradilan Anak. ZA menurut hakim terbukti menusuk sehingga menghilangkan nyawa seorang begal, Misnan (35). Penusukan ini bermula saat Misnan dan komplotannya menghadang ZA yang sedang berboncengan dengan teman perempuannya (8/9/2019). Komplotan ini kemudian meminta paksa barang-barang berharga dan mengancam memperkosa teman ZA. Demi membela diri dan temannya itu, ZA mengambil pisau di jok motornya dan terlibat berkelahian, hingga akhirnya ZA menusuk Misnan di bagian dada. Anggota komplotan begal lainnya kemudian kabur dan esoknya Misnan ditemukan tewas. Untuk menghindari prasangka dan merangkai pemahaman atas persoalan ini, maka konsep pembelaan diri dalam hukum pidana harus dipahami secara utuh. Parameter, Pada prinsipnya, seseorang dijatuhi hukuman pidana (penjara, denda, dan sebagainya) apabila dua persyaratan dipenuhi, yakni; pertama, perbuatannya merupakan perbuatan pidana; dan kedua, pelaku bersalah atas perbuatan pidana tersebut. Rumus sederhananya adalah perbuatan pidana + kesalahan pelaku = hukuman pidana. Pada pembuktian perbuatan pidana dan kesalahan pelaku tersebut terdapat keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat menghapus atau meniadakan masing-masing persyaratan tersebut. Jika keadaan atau peristiwa ini ada, terjadi, dan dapat dibuktikan, maka tentu pidana tidak dapat dijatuhkan. Keadaan atau peristiwa yang demikian disebut dengan alasan penghapus pidana. Konsep pembelaan diri berhubungan dengan alasan penghapus pidana ini. Pembelaan diri menjadi keadaan atau peristiwa yang dapat menghapus pidana, baik menghapus sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar ataupun menghapus kesalahan pelaku sebagai alasan pemaaf. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana parameter pembelaan diri agar dapat memenuhi alasan penghapus pidana? Titik tolak parameter pembelaan diri ada pada Pasal 49 KUHP. Pasal ini bahkan tidak hanya menyangkut pembelaan terhadap diri sendiri saja, tetapi juga orang lain. Menurut konsep hukum pidana, pembelaan pada pasal tersebut terdiri atas dua bentuk, yakni pembelaan darurat (noodweer) pada Pasal 49 ayat (1) dan pembelaan darurat yang melampau batas (noodweer exces) pada Pasal 49 ayat (2). Kedua ketentuan ini berbeda dalam hal penghapusan pidana; jika pembelaan darurat adalah alasan pembenar, maka pembelaan pembelaan darurat yang melampau batas termasuk alasan pemaaf, sebab jenis pembelaan ini memiliki faktor keguncangan jiwa yang hebat. Kesalahan pelaku dalam hal ini yang dimaafkan, bukan perbuatannya yang dibenarkan. Menilai keguncangan jiwa dalam suatu peristiwa tertentu membutuhkan penilaian psikolog atau dokter ahli kejiwaan. Lain halnya dalam menilai pembelaan darurat biasa. Terkait pembelaan darurat, parameternya terletak pada dua unsur utama, yakni unsur serangan dan unsur pembelaan. Pertama, unsur serangan atau ancaman serangan. Serangan atau ancaman itu secara tempo harus terjadi seketika (saat itu juga), tidak boleh untuk serangan yang diperkirakan pada waktu mendatang, serta tidak boleh pada waktu serangan telah berakhir. Serangan atau ancaman ini juga melawan hukum atau dengan kata lain mengarah pada tindak pidana. Jika ruang lingkup yang dilindungi adalah diri sendiri/orang lain (badan atau nyawa), kesusilaan, dan harta, maka perbuatan serangan itu mengarah pada tindak pidana yang konkretnya terdiri dari penganiayaan, pembunuhan pencabulan, pemerkosaan, dan pencurian (perampokan). Kedua, unsur pembelaan. Pembelaan hanya dikhususkan untuk kepentingan diri dan orang lain (badan dan nyawa), menyangkut kehormatan kesusilaan serta harta benda. Pembelaan yang terjadi bersifat terpaksa, artinya tidak ada cara lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan tersebut. Untuk menilai sifat pembelaan ini, maka digunakan asas proporsionalitas atau asas subsidiaritas sesuai pemahaman doktrin para ahli (Van Hatum, Andi Hamzah, Satochid Kartanegara). Asas ini menentukan adanya keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan dengan kepentingan hukum dilanggar dengan pembelaan atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan dengan cara serangan yang diterima. Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan/ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat yang mengorbankan kerugian lebih besar bagi penyerang. Aparat penegak hukum mestinya dapat menerapkan asas proporsionalitas/subsidiaritas pada kasus-kasus pembelaan seperti ZA sebagai parameter pembuktian, tidak hanya berdasarkan unsur pasal yang dipersangkakan atau didakwakan saja. Pembuktian berdasarkan asas ini secara terbuka dapat menjaga objektivitas dan independensi aparat penegak hukum, serta mencegah perspektif sempit masyarakat yang hanya membaca ulasan heroisme dari media, tanpa memahami fakta kasus secara jernih. Penggalian fakta dengan menerapkan asas proporsioanalitas/subsidiaritas tentu lebih adil dibanding sebatas penetapan tersangka/terdakwa dan pembuktian sekadarnya berdasarkan pengenaan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan. Fakta-fakta pembelaan dan fakta-fakta penyerangan masing-masing harus dibuktikan, ditimbang, dan dinilai sedemikian rupa secara proporsional, sehingga tidak mencederai keadilan serta menimbulkan polemik di masyarakat.
Ada adagium "vim vi repellere licet" yang berarti kekerasan tidak
boleh dibalas dengan kekerasan. Ketika seseorang diserang oleh tindakan kejahatan, dia tidak boleh segera membalasnya dengan kejahatan, melainkan membiarkan negara, lewat organ-organnya, melakukan tindakan seperlunya. Masalahnya, negara tidak selalu hadir untuk mengatasi serangan itu. Apalagi sering kali serangan itu tidak bisa dicegah. Untuk itu, dalam keadaan tertentu, hukum pidana juga mengenal aturan tentang pembelaan terpaksa (noodweer). Bagaimana melihat kasus ZA, pelajar sekolah menengah yang membunuh begal karena membela pacarnya di Malang, Jawa Timur diatas? Menurut Van Hammel (1927), ada dua unsur utama dalam rumusan delik ini. Pertama, unsur pembelaan (weer) itu harus bersifat perlu dan perbuatan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan haruslah dapat dibenarkan. Pembelaan dalam konteks noodweer adalah suatu alasan pembenaran. Artinya, pembelaan itu memang berhak dilakukan dan bukan karena membenarkan sifat dari tindakan itu sendiri. Batasan oleh Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius (1995) adalah pembelaan itu merupakan suatu keharusan dan, meskipun tidak secara eksplisit dicantumkan dalam rumusan delik pasal itu, cara pembelaan haruslah bersifat patut. Selain itu, pembelaan didasari tiga asas penting tentang alasan penghapus pidana. Pertama, pembelaan dalam konteks asas subsidiaritas dapat dibenarkan selama tindakan itu adalah satu-satunya kemungkinan yang harus dilakukan. Kedua, berdasarkan asas proporsionalitas, sebuah tindakan pembelaan dapat dibenarkan jika pembelaan itu tidak melampaui batas dari kepentingan hukum yang terserang. Ketiga, asas culpa in causa terkait dengan peran orang yang membuat suatu tindak pidana dapat terjadi. Jaksa penuntut umum perlu mempertimbangkan betul hal-hal tersebut dalam kasus pembelaan yang dilakukan oleh ZA. Penerapan dari ketentuan pembelaan terpaksa sangat kompleks dan rentan. Untuk itu, jika mendasarkan dakwaan dan tuntutan hanya pada ketentuan rumusan delik sebagaimana tertulis tanpa penafsiran lebih luas, akan berpotensi terjadi ketidakadilan. Kedua, unsur serangan (aanranding). Suatu tindakan dapat diklasifikasi sebagai serangan jika memenuhi tiga syarat, yaitu melanggar hukum, mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung, dan bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan, atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain. Jika merujuk pada rumusan pasal, juga diharuskan serangan itu bersifat seketika. Suatu pembelaan terpaksa dapat dibenarkan jika dilakukan selama serangan berlangsung. Persoalannya, bagaimana menentukan waktu "seketika" itu sebagai dasar utama penentuan seseorang dapat dibenarkan melakukan suatu pembelaan terpaksa ataukah tidak? Dalam kasus ZA, ada kurun waktu tertentu sebelum akhirnya ZA melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian pelaku begal. Adanya kurun waktu itu yang menjadi dasar bagi JPU untuk tidak mengkonstruksikan tindakan ZA sebagai pembelaan terpaksa sebagaimana diargumentasikan kuasa hukumnya. Perdebatan mengenai klausul "seketika" sebenarnya bisa diatasi dengan mengkonstruksikan bahwa ZA dalam kondisi temannya terserang kehormatannya sehingga harus melakukan tindakan untuk menghentikan serangan itu. Pembelaan terpaksa dalam suatu serangan seketika memunculkan paling tidak tiga kemungkinan. Pertama, pembelaan dapat dilakukan sebelum serangan itu dilaksanakan, tapi orang yang akan diserang telah menyadarinya dan berusaha menghentikan serangan itu. Kedua, pembelaan itu dilakukan selama kurun waktu serangan itu dilakukan. Ketiga, berdasarkan pendapat Remmelink, mantan jaksa agung Belanda, pembelaan dapat saja dilakukan seketika setelah serangan terjadi. Dalam hal ini dikatakan, "Mungkin bertindak dengan rencana lebih dulu, yaitu bertindak setelah memikirkan dan merencanakannya dengan tenang." Argumentasi Remmelink masuk akal karena berhentinya serangan belum dapat dipastikan waktu selesainya. Untuk itu, bagi saya, tindakan ZA masih termasuk pembelaan terpaksa. Untuk dipertimbangkan, Van Hammel mengemukakan lima pendapat mengapa seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dapat dihukum. Pertama, pembelaan terpaksa adalah suatu bentuk hak. Kedua, pembelaan terpaksa itu sah bukan karena ketidakadilan yang terjadi akibat pembelaan itu sendiri, melainkan ketidakadilan yang akan diderita seseorang akibat suatu pidana. Ketiga, pembelaan itu sendiri telah kehilangan sifat melawan hukumnya. Keempat, merujuk pada memorie van toelichting, pembelaan terpaksa adalah sesuatu yang berasal dari luar diri seseorang sehingga membuat perbuatan pembelaan itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada yang melakukan. Kelima, jika merujuk pada memorie van antwoord, pembelaan terpaksa menegaskan bahwa dalam kondisi tertentu, sesuatu yang sah menurut hukum perlu disimpangi oleh sesuatu yang melawan hukum.
4. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces),
diterangkan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Suatu pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena searanga atau ancaman serang itu tidak dipindana.Misalnya : Seseorang yang menyerang dengan pecahan botol minuman yang sebenarnya dalam situasi tersebut dapat dilawan dengan menggunakan sepotong kayu, namun karena adanya keguncangan jiwa yang hebat, ia memilih melawan dengan sebuah tembakan. Contoh : Noodweer Exces itu adalah pembelaan darurat yang melampaui batas. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Menurut R. Soesilo sama halnya dengan pembelaan darurat, Noodweer Exces harus ada serangan yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada saat itu juga. Di sini batas-batas keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya orang membela dengan menembakkan pistol, sedangkan sebenarnya pembelaan dengan memukul kayu sudah cukup. Pelampauan batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan, asal saja disebabkan karena perasaan tergoncang hebat yang timbul lantaran serangan itu. Perasaan tergoncang hebat misalnya jengkel atau marah sekali biasa dikatakan mata gelap. Misalnya, seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu, boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat, maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.
5. Karena menjalankan suatu perintah Undang-undang. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 50 KUHP. Contoh : Suatu perbuatan atau tindakan menjalankan perintah perundang- undangan telah disebutkan dalam Pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan sesuatu tindakan dengan ketentuan melaksanakan perintah atau ketentuan undang-undang terhadap sesuatu tindakannya itu, maka seseorang tersebut tidak dapat dipidana. Namun terdapat beberapa hal yang perlu dipahami terhadap ketentuan penghapusan pidana yang disebutkan dalam Pasal 50 KUHP tersebut diantaranya: 1) Suatu ketentuan perundang-undangan terhadap semua peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berwenang terhadap maksud tertentu yang mana disebutkan dalam undang-undang. 2) Perbuatan yang di mana jika tidak disebutkan perintahnya dalam peraturan perundang-undangan, maka tindakan atau perbuatan tersebut termasuk tindak pidana, dan sebaliknya yang dibenarkan ialah suatu perintah atas wewenang penguasa yang disebutkan dalam perundang-undangan, maka hal itu dapat dibenarkan.
Penghapusan pidana terhadap pelaku dalam Pasal 50 KUHP didasarkan
pada penghapusan sifat melawan hukum perbuatan, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar dimana hal ini sering terjadi dalam masyarakat. Contohnya, pada pengosongan rumah, juru sita dapat meletakkan perabot – perabot rumah tangga di jalan, sekalipun ada larangan pemerintah daerah untuk menempatkan barang di jalan umum. Dalam hal ini perbuatan juru sita merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi, sifat melawan hukum itu dihapuskan sehingga perbuatannya menjadi patut dan dibenarkan oleh undang – undang. 6. Karena melaksankaan suatu perintah jabatan yang sah. Penjelasannya dalam Pasal 51 KUHP. Contoh : Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, ketentuan mengenai perintah jabatan diatur dalam Pasal 51 KUHP, pada ayat (1) menyebutkan, “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana Ketentuan diatas menunjukkan bahwa terhadap perintah jabatan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) mengandung makna bahwa perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang adalah dibenarkan, karena hal itu merupakan alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, kalau di common law system berkaitan dengan actus reus. Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1) tersebut di atas juga terdapat frasa “perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang”, dalam hal ini menegaskan bahwa penerima dan pelaksana perintah harus mengetahui bahwa perintah yang diterima adalah benar-benar diberikan oleh pejabat yang berwenang (l’autorite legitime) dan perintah itu termasuk lingkup wewenang pejabat dimaksud. Contoh nya yaitu Sebagaimana halnya ketentuan Pasal 51 KUHP tersebut pernah dijadikan sebagai asas pembelaan terhadap kasus tindak pidana korupsi oleh seorang pejabat di instansi pemerintahan yang dilakukan oleh Oentarto Sindung Mawardi pada tahun 2010 yang lalu, di mana saat itu perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan yang saat ini Pengadilan Tipikor sudah pindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, perkara Oentarto tersebut terdaftar dengan nomor perkara PN Jakarta Selatan Nomor 540/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel. 1 Dalam kasus Oentarto Sindung Mawardi tersebut yang dituduhkan kepadanya kala itu tentang pembuatan radiogram dan penyediaan mobil pemadam kebakaran. Sebagaimana disampaikannya pada persidangan kala itu ia beralasan dalam pembelaannya yang mengatakan bahwa pembuatan radiogram dan penyediaan mobil pemadam kebakaran merupakan perintah jabatan, atau dengan kata lain Oentarto kala itu menjadikan ketentuan Pasal 5I KUHP yang menurutnya dapat dijadikan sebagai asas pembenar terhadap apa yang telah dilakukannya itu karena berkaitan dengan tindakan atas perintah jabatan. Meski demikian kasus dugaan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepadanya kala itu ia dinyatakan secara sah bersalah yang dituang dalam putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama.
7. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah namun dengan
etikad baik. Selengkapnya ada di Pasal 51 ayat (2) KUHP. Contoh : pada Pasal 51 ayat (2) mengandung makna bahwa perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi orang yang diperintah tidak dapat dikenakan pidana karena tidak ada kesalahan dalam dirinya atau berhubungan dengan culpabilitas, di common law system berkaitan dengan mens rea. Namun demikian, pada Pasal 51 ayat (2) juga memberikan syarat bahwa suatu perintah jabatan yang tanpa wewenang atau suatu perintah jabatan yang tidak sah pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah lolos dari ancaman pidana, kecuali jika orang yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Pada ketentuan Pasal 51 Ayat (2) diperjelas dengan disebutkan bahwa perintah dari jabatan yang tidak berwenang tidak akan menghapus pidana, kecuali seseorang yang diperintah dengan mengira bahwa perintah tersebut telah diberikan oleh jabatan yang berwenang dan pelaksanaannya termasuk dalam kapasitas atau lingkungan pekerjaannya. Atau dapat kita melihat ketentuan pada pasal sebelumnya yakni Pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan atas dasar adanya ketentuan dalam undang-undang maka tidak dapat dipidana. Maka yang perlu kita pahami bahwa perintah dari jabatan yang berwenang tersebut harus berdasarkan ketentuan undang- undang. Namun sebagaimana yang menjadi permasalahan dari munculnya asumsi publik yang menyebutkan bahwa Pasal 51 KUHP ini sebagai pasal imunitas atau kekebalan hukum bagi seorang pejabat berangkat dari penggunaan redaksi bahasa yang kalau secara sepintas untuk memaknai ketentuan kata ‘’itikad baik’’ pada pasal tersebut bisa memunculkan penafsiran beragam termasuk asumsi publik yang demikian itu. Disebutkan dalam Pasal 51 Ayat (2) bahwa suatu perintah jabatan tanpa wewenang atau kapasitasnya, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pembelaan atau penghapusan pidana, namun dengan pengecualian bahwa apa yang dialakukan oleh seseorang tersebut dengan unsur itikad baik yang mana perbuatan seseorang tersebut juga termasuk dalam ruang lingkup pekerjaannya. Perlu dipahami bahwa seseorang yang melakukan tindakan dengan perintah jabatan yang tidak sah bersifat melawan hukum, namun meski demikian ia bisa saja bebas dari pidana jika telah memenuhi unsur-unsur yang diantaranya: Pertama, Seseorang yang menjalankan perintah dengan itikad baik dan ia mengira bahwa perintah tersebut akan menjadi sah diberikan oleh perintah jabatan yang berwenang; dan Kedua, Dalam melaksanakan suatu tindakan seseorang tersebut melakukan tindakan atau perbuatan yang mana dalam ruang lingkup perkerjaanya. Dalam hal ini dapat juga dilihat terhadap terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif: 1. Syarat Subjektif Syarat subjektif ini terdapat pada masing-masing individu seseorang atau dalam hal ini berkaitan dengan batin seseorang yang menerima suatu perintah. Kenapa demikian, bahwa perlu kita pahami manusia sebagai mahluk yang memiliki akal pikiran yang mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan juga buruk, oleh sebab itulah hal-hal bersifat masuk akal perlu ditekankan dalam hal ini. Sebagai contoh seorang sekretaris desa melakukan suatu perbuatan yang mana ia mengira bahwa pada dasarnya apa yang akan ia perbuat nantinya juga akan diperintahkan oleh sang kepala desa. Maka dalam hal ini sesuatu yang rasional dan masuk akal sudah terpenuhi. Berbeda halnya jika seorang sekretaris desa akan melakukan sesuatu yang mana ia mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah bupati maka dalam hal ini tidak ditemukan kerasionalannya, karena perbuatan tersebut jauh dari lingkup pekerjaan sang sekrertaris desa. 2. Syarat Objektif Syarat objektif ini adalah berkaitan dengan pembahasan sebelumnya antara pemberi perintah dan penerima perintah memiliki hubungan publik, seperti di contohkan sebelumnya di atas antara Presiden dan para Menterinya, kedua jenis jabatan tersebut memiliki hubungan publik sebagai pejabat negara. Maka dalam hal ini perintah yang diberikan kepada seseorang harus masuk lingkup hubungan publik antara suatu jabatan. Dari penjelasan mengenai sebab terhapusnya pidana di atas menurut saya bahwa yang perlu kita pahami adalah, adanya tahapan panjang dalam ranah pembuktian terhadap dugaan tindak pidana baik yang dilakukan oleh pejabat negara ataupun masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini tidak terlepas pada tahapan penafsiran atau pembuktian pada ketentuan Pasal 50, 51 Ayat (1) dan (2) KUHP. Contoh lainnya : 1. Seorang pejabat polisi memerintahkan kepada polisi bawahannya untuk memukuli seorang tahanan yang berteriak-teriak. Perintah yang diberikan itu jelas perintah yang tidak sah juga perbuatan memukuli seseorang bukan termasuk dalam lingkungan pekerjaan anggota polisi. 2. Seorang pejabat polisi memerintahkan kepada polisi bawahannya untuk memungut pajak. Polisi berkewajiban menjaga keamanan dan aketertiban masyarakat. Memungut pajak bukanlah bidang tugas polisi. Apabila pejabat polisi itu diperintah untuk memungut pajak, maka perintah itu adalah tidak sah. sehingga polisi yang diperintah itu dapat dipidana jika melaksanakan perintah tersebut.