Anda di halaman 1dari 32

VISUM ET REPERTUM PSIKIATRI

Disusun Oleh :
Puji Rahma Utari 1610070100103
Julia Pertiwi 1610070100109

Preseptor

dr. Sulistiana Dewi, Sp. Kj

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD M. NATSIR SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan Case dengan judul “Visum et Repertum Psikiatri”. Case ini
dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Psikiatri. Mengingat
pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun
refrat ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi isi,
susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran
pembaca yang membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Sulistiana Dewi, Sp. Kj selaku preseptor Kepaniteraan Klinik Psikiatri di Rumah
Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan masukan yang berguna
dalam penyusunan case ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya case report ini dapat menjadi masukan
yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain terkait
dengan masalah kesehatan pada umumnya, khususnya mengenai “Visum et Repertum
Psikiatri”.

Solok, 26 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................2

Daftar Isi.................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

1.1 Latar Belakang...................................................................................................4

1.2 Tujuan .............................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6

2.1 Definisi .............................................................................................................6

2.1.1 Dasar Hukum ...........................................................................................7

2.1.2 Praktik Psikiatri Forensik ............................................................................9

2.1.3 Kekuatan Hukum Visum Psikiatri ................................................................18

2.1.4 Kasus Pengampuan ...................................................................................19

2.2 Psikiatri.............................................................................................................19

2.2.1 Klasifikasi dalam Psikiatri ...........................................................................19

2.2.2 Pemeriksaan Klinis Pasien Psikiatri ..............................................................20

BAB III LAPORAN KASUS ..................................................................................25

BAB IV PENUTUP ................................................................................................28

Daftar Pustaka........................................................................................................ 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu problema sosial yang harus diperhatikan adalah munculnya


tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat.
Tindak pidana kekerasan adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun
non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga
menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, atau psikologis terhadap
orang yang menjadi sasaran. Undang-undang telah menetapkan tindak pidana
sebagai suatu perbuatan yang harus dihukum.
Tindak pidana kekerasan menjadi salah satu faktor penting penyebab
morbiditas dan mortalitas diantara individu usia muda 10 sampai 25 tahun,
khususnya masyarakat kulit hitam dan laki-laki. Negara Amerika Serikat
menempatkan tindak pidana kekerasan berupa pembunuhan sebagai penyebab
kematian utama kedua pada kelompok usia 15 sampai 19 tahun.
Elbogen dan Johnson di tahun 2015, yang telah meneliti dengan
menggunakan data longitudinal yang mewakili populasi Amerika Serikat
menunjukkan bahwa insiden kekerasan lebih tinggi pada orang dengan
gangguan mental berat seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dan depresi
berat. Berdasarkan beberapa penelitian, besar kemungkinan meningkatnya
angka tindak pidana kekerasan saat ini merupakan kontribusi dari penderita
gangguan jiwa. Negara Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, perlakuan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan yang
dilakukan oleh penderita gangguan jiwa berbeda dengan peraturan yang
ditetapkan untuk pelaku tindak pidana tanpa gangguan jiwa. Untuk itu
diperlukan keterangan tertulis yang dibuat oleh Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan
terhadap manusia mengenai jiwa atau mental tersangka atau terdakwa tindak
pidana yang disebut Visum et Repertum Psikiatri (VeRP).
Ditinjau dari pemanfaatan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah
dalam pengambilan keputusan hukum di Indonesia, kasus pidana merupakan
kasus hukum yang paling sering dimintakan pembuatan VeRP. Meskipun
demikian, tidak semua kasus pidana dimintakan VeRP. VeRP diterbitkan
hanya atas suatu permintaan dan yang berhak meminta berdasarkan peraturan
perundangundangan adalah hakim, jaksa, dan polisi. Biasanya permintaan
VeRP baru dilakukan apabila yang berwenang memiliki dugaan bahwa

4
tersangka memiliki gangguan jiwa. Dugaan tersebut berdasarkan adanya sikap
atau tingkah laku yang memberikan kesan tidak normal pada tersangka.

1.2 Tujuan

Case ini disusun untuk memenuhi tugas kepanitraan klinik bagian


Ilmu jiwa RSUD M.NATSIR dan diharapkan agar dapat menambah
pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca,
khususnya kalangan medis.

5
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Visum adalah jamak (plural) dari visa, yang berarti dilihat dan
repertum adalah jamak dari repare yang berarti ditemukan atau didapati,
sehingga terjemahan langsung dari Visum et Repertum adalah ‘yang dilihat
dan ditemukan. Visum et Repertum adalah hasil pemeriksaan medis yang
dilakukan hanya oleh seorang ahli atau sebuah tim dokter dan ditujukan untuk
kepentingan peradilan sebagai sarana pembuktian.

Visum et Repertum Psychiatricum merupakan salah satu jenis visum


yang dibuat guna menerangkan status kejiwaan seseorang dengan
menggunakan ilmu psikiatri dan berdasarkan hasil pemeriksaan psikiatri.
Dengan adanya visum ini dapat membantu dalam menentukan apakah
tersangka pelaku tindak pidana tersebut dapat mempertanggung jawabkan
tindakannya atau tidak. Apabila seorang terdakwa mempunyai kelainan jiwa
baik karena pertumbuhannya maupun karena penyakit, maka dianggap tidak
dapat bertanggung jawab atas perbuatannya sehingga terdakwa tersebut tidak
dapat dipidana. Pada umumnya VeRP dibuat apabila seorang dokter telah
memeriksa obyek (pasien, terperiksa, orang, dan barang bukti). Pemeriksaan
ini bersifat post facto yakni dilakukan setelah seseorang mengalami suatu
peristiwa atau sengketa hukum.

Pembuatan VeRP yang paling sering yakni kasus pidana, yang mana
seseorang diduga menderita gangguan jiwa telah melakukan kekerasan, atau
mengalami penganiayaan fisik atau psikis. Namun, ada juga permintaan VeRP
untuk kasus perdata seperti pembatalan kontrak perjanjian karena salah satu
pihak diduga menderita kelainan jiwa. Oleh karena itu VeRP dapat dijadikan
acuan untuk:

a) Membantu menentukan apakah terperiksa menderita gangguan jiwa


(diagnosis).

b) Membantu menentukan kemungkinan adanya hubungan antara


gangguan jiwa pada terperiksa dengan peristiwa hukumnya, dengan
menentukan kemungkinan hubungan antara gangguan jiwa dengan
perilaku yang mengakibatkan peristiwa hukum.

6
c) Membantu menentukan kemampuan tanggung jawab pada
terperiksa.

d) Membantu menentukan cakap atau tidaknya terperiksa mengambil


keputusan dalam hukum.

2.1.1 Dasar Hukum

Pasal 120 KUHAP

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang
ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Pasal 150 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009:

(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (Visum


et Repertum Psychiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis
kedokteran jiwa pada fasilitas layanan kesehatan.

(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami


gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian
dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.

Pasal 44 KUHP :

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan


kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana;

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada


pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit,
maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah
sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan;

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 38 Konsep KUHP

menyebutkan: "Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana


menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan".

Pasal 39 Konsep KUHP

7
menyebutkan: "Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana
kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita ganguan jiwa,
penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau
dikenakan tindakan".

Secara garis besar ada dua macam alat bukti dari bidang ilmu forensik
yaitu kedokteran kehakiman menentukan kepastian menyebabkan penyakit
atau kematian. Psikiatri kehakiman menentukan besar kecilnya tanggung
jawab seorang dalam melanggar hukum pidana. Sering seorang dalam
perbuatan sehari-hari kelihatan masih cukup daya pikirannya, tetapi dalam
pemeriksaan psikiatri jelas menderita gangguan jiwa yang dapat mengurangi
tanggung jawabnya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka
menderita penyakit jiwa atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka
disini forensik psychiatry (ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan forensik
medicine (ilmu kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu
disegi hukum terutama dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam
forum peradilan. Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat
diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk
menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa
tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi
kemudian rumusan tersebut dihapuskan.
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum
diperuntukan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka
pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan
bertanggungjawab bagi tersangka. Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam
kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian akan
tetapi untuk kepentingan kesehatan tersangka dalam rangka penyelesaian
proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka
ini sangat diperlukan selain menyangkut perlindungan hak azasi manusia juga

8
untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga
manusia.
Di dalam Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa untuk kepentingan
perkara – perkara pengadilan dan umumnya untuk memberikan kesaksian
ahli, maka setiap dokter yang terdaftar pada Departemen Kesehatan dan telah
mendapat izin bekerja dari Menteri Kesehatan berwenang untuk memberikan
kesaksian ahli jiwa. Dalam ayat dua menyatakan bahwa kesaksian ahli jiwa
ini yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berupa visum et repertum
psikiatrik atau keterangan dokter.

2.1.2. Praktik Psikiatri Forensik


Umumnya Visum et Repertum Psychiatricum dibuat setelah seorang dokter
melakukan pemeriksaan pada seseorang yang mengalami suatu peristiwa atau
sengketa hukum, sehingga bersifat post facto.dari hasil pemeriksaan ini
kemudian dilakukan semacam rekonstruksi ilmiah untuk mengusahakan
kemungkinan korelasi antara keadaan terperiksa dengan peristiwa hukumnya.
Namun, tidak jarang hasil pemeriksaan dipakai untuk memprediksi suatu
keadaan yang belum terjadi atau bersifat pre facto.
Visum et Repertum Psychiatricum diterbitkan hanya atas suatu permintaan
dan yang berhak meminta adalah hakim, jaksa, polisi, dan yang bersangkutan
(pelaku, korban, dan walinya). Persyaratan untuk kelengkapan pembuatan
Visum et Repertum meliputi surat permintaan pembuatan Visum et Repertum
Psychiatricum dan berita acara serta beberapa syarat tertentu dari rumah sakit.
Setelah melengkapi persyaratan tersebut, terdakwa dapat memasuki ruang
perawatan dan diobservasi. Dalam hal ini status terdakwa berubah menjadi
terperiksa. Di dalam ruangan ini, terperiksa diobservasi dalam jangka waktu
tertentu.

Perihal Masalah Praktis Mengenai Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

9
I. Ketentuan Umum

a. Dokter ahli Kedokteran Jiwa atau Psikiater adalah seorang dokter yang

memegang ijazah Keahlian Kedokteran Jiwa yang diakui sah di

Indonesia.

b. Pemohon ialah pejabat atau badan/lembaga yang berwenang yang

mengajukan permintaan tertulis kepada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa

agar Dokter Ahli Kedokteran Jiwa itu memberikan keterangan ahli

perihal keadaan jiwa seseorang.

c. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa ialah keterangan yang diberikan

seorang Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana dan perdata guna kepentingan

pemeriksaan. Keterangan ini adalah keterangan dokter biasa, dimana

rahasia jabatan harus dipegang teguh.

II. Yang Berhak Menjadi Pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

a. Yang berhak menjadi pemohon Surat Keterangan Ahli Kedokteran

Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) adalah:

− Penyidik (KUHAP Pasal 120).

− Penuntut Umum dalam hal tindak pidana khusus (KUHAP pasal 120,

Pasal 284)

− Hakim pengadilan (KUHAP Pasal 180 ayat 1).

− Tersangka atau terdakwa melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses

pemeriksaan (KUHAP Pasal 180 ayat 1; 2,3, dan 4).

10
− Korban (atau tersangka) melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses

pemeriksaan (KUHAP Pasal 65).

− Penasihat hukum/pengacara melalui pejabat sesuai dengan tingkatan

proses pemeriksaan (KUHAP Pasal 80 ayat 1 dan 2).

b. Yang berhak menjadi pemohon Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

pengadilan ialah hakim pengadilan. Permintaan tersebut ditujukan

kepada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa dalam wilayah hukum dari hakim

pengadilan yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara,

kecuali bila di wilayah tersebut tidak ada Dokter Ahli Kedokteran

Jiwa. Pengaturan ini dimaksudkan agar kemungkinan terjadinya

konflik dalam keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan dikurangi,

mengingat bahwa Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dapat

berbeda-beda sesuai dengan orientasi ilmiah dari Dokter Ahli

Kedokteran Jiwa yang memeriksa.

III. Yang Dapat/ Boleh atau Wajib Menerbitkan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa

a. Yang dapat/boleh atau wajib menerbitkan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) adalah Dokter

Ahli Kedokteran Jiwa yang bekerja pada suatu fasilitas perawatan

pasien gangguan jiwa yang memenuhi syarat-syarat menurut Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku, atau yang bekerja pada lembaga

khusus untuk pemeriksaan dan observasi tersangka atau terdakwa, yang

tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan dan yang tidak

11
mempunyai hubungan keluarga dan/ atau terikat hubungan kerja dengan

tersangka atau terdakwa atau korban atau hubungan sengketa dalam

perkara hukum lainnya, seperti yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku (Pidana: KUHAP Pasal 168, Perdata:

HIR Pasal 145, dan RBG Pasal 172 ayat 1 dan 2 yang berlaku di luar

Jawa).

b. Yang dapat/boleh atau wajib memberikan Keterangan Ahli Kedokteran

Jiwa Lisan adalah Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang menerbitkan Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum)

atau Dokter Ahli Kedokteran Jiwa lain, sesuai dengan butir 3a. Seorang

Dokter Ahli Kedokteran Jiwa di luar wilayah jurisdiksi pengadilan di

mana perkara itu sedang ditangani, tidak boleh dipanggil sebagai ahli

bila sudah ada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang memenuhi syarat (di

luar Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang membuat Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa) yang tinggal dalam wilayah tersebut.

c. Di daerah-daerah yang terpencil yang tidak mempunyai Dokter Ahli

Kedokteran Jiwa dimungkinkan dokter umum membuat Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum)

untuk kepentingan proses pengadilan, dengan penetapan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan R.I.cq. Kepala Kantor Wilayah

Departemen Kesehatan R.I. (Kakanwil Dep. Kes. R.I.). Dokter umum

tersebut bekerja pada suatu fasilitas perawatan pasien yang memenuhi

syarat-syarat menurut peraturan-peraturan yang berlaku, atau lembaga

12
khusus untuk pemeriksaan dan observasi tersangka atau terdakwa, yang

tidak berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan dan yang tidak

berkepentingan dalam perkara yang bersangkutan dan yang tidak

mempunyai hubungan keluarga dan/atau terikat hubungan kerja dengan

tersangka atau korban atau hubungan sengketa dalam Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

IV. Bentuk-Bentuk Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa ada 2 bentuk:

a. Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum

Psychiatricum) yang didahului sebutan DEMI KEADILAN (PRO

JUSTITIA) yang dibuat dalam bentuk menurut pedoman yang

ditetapkan dan terikat pada sumpah jabatan dokter Indonesia.

b. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan yang dinyatakan di sidang

pengadilan di bawah sumpah.

V. Jangka Waktu Pemeriksaan

a. Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang melaksanakan pemeriksaan dan

observasi psikiatrik sudah harus menerbitkan Surat Keterangan Ahli

Kedokteran Jiwa dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari terhitung

mulai saat tersangka atau terdakwa berada di tempat perawatan kecuali

diperlukan waktu yang lebih panjang denga seizin instasi sesuai

dengan tingkat proses pemeriksaan.

b. Apabila dalam waktu yang dimaksud pada butir a Surat Keterangan

Ahli Kedokteran Jiwa belum dapat diterbitkan karena pemeriksaan dan

13
observasi psikiatrik tersangka atau terdakwa belum selesai maka

Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut wajib memberitahukan hal

tersebut secara tertulis kepada instasi pemohon dan minta

perpanjangan waktu disertai alasan-alasannya.

c. Perpanjangan waktu yang dimaksud pada butir b tidak boleh lebih dari

14 hari.

d. Hakim di dalam surat penetapannya dapat menetapkan batas jangka

waktu untuk pemeriksaan dan observasi psikiatrik di luar ketentuan-

ketentuan butir a dan c. (KUHAP Pasal 26 juncto 29 ayat 2).

e. Apabila jangka waktu pemeriksaan dan observasi psikiatrik sudah

habis, akan tetapi Dokter Ahli Kedokteran Jiwa penerbit Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa belum dapat memastikan apakah

tersangka atau terdakwa menderita gangguan jiwa atau tidak, maka:

− Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut menyatakan bahwa

berhubung waktu pemeriksaan dan observasi telah habis tetapi ia

belum dapat sampai pada suatu kesimpulan, disarankannya untuk

diadakan pemeriksaan lebih lanjut untuk penerbit Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa pada tingkat pemeriksaan yang

lain.

− Dokter Ahli Kedokteran Jiwa tersebut menyatakan bahwa selama

pemeriksaan dua kali 14 hari tidak dapat ditemukan adanya tanda-

tanda/gejala-gejala gangguan jiwa, namun demikian belum dapat

14
dipastikan bahwa tersangka atau terdakwa terganggu jiwanya atau

tidak.

VI. Pembiayaan

Seluruh biaya pemeriksaan dan penampungan penderita

tersangka/terdakwa menjadi beban instasi dari pejabat pemohon sesuai

dengan tarif yang berlaku.

VII. Prosedur Permintaan tentang Pemeriksaan dan Penerbitan Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

a. Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum

Psychiatricum)

− Semua permintaan tentang pemeriksaan dan penerbitan Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa diajukan melalui pejabat sesuai

dengan tingkat proses pemeriksaan.

− Surat permintaan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa dari

pemohon ditujukan kepada Direkur/Kepala dari fasilitas

perawatan pasien gangguan jiwa dan lembaga khusus seperti

yang dimaksud sesuai dengan dengan B.3a disertai tembusan

kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan R.I.

− Dalam surat permintaan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa

tersebut perlu disebutkan secara lengkap identitas dari tersangka

atau terdakwa atau seseorang yang terlibat dalam suatu perkara

atau peristiwa hukum disertai alasan permintaan pemeriksaan dan

15
dibubuhi tanda tangan, nama, pangkat, jabatan serta cap instansi

pemohon, disertai salinan Berita Acara Pemeriksaan.

− Penetapan Dokter Ahli Kedokteran Jiwa yang berwenang

menerbitkan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (B.3a)

dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan

R.I. secara periodik, dengan memperhatikan Consensus tentang

kemampuan-kemampuan fasilitas di daerah.

− Bila di suatu wilayah tidak ada Dokter Ahli Kedokteran Jiwa dan

fasilitas tersebut maka penetapannya dilakukan oleh Menteri

Kesehatan cq. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan R.I.

b. Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan

Permintaan Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Lisan dilakukan oleh

hakim pengadilan dalam proses peradilan untuk keperluan

penjelasan-penjelasan ilmiah mengenai Ilmu Kedokteran Jiwa.

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa itu sendiri bila diminta

penjelasan lebih lanjut oleh Hakim, atau Ahli lain untuk

memberikan penjelasan lebih lanjut.

c. Apabila Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa sudah diterbitkan

maka tersangka atau terdakwa wajib diserahkan kembali dan

diambil oleh instasi pemohon pada kesempatan pertama.

d. Lainnya tersangka atau terdakwa bukan menjadi tanggung jawab

fasilitas perawatan pasien gangguan jiwa yang bersangkutan,

melainkan menjadi tanggung jawab instasi pemohon.

16
e. Untuk melengkapi heteroanamnesis dalam penerbitan Surat

Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa yang memeriksa berhak meminta

bantuan petugas hukum untuk memanggil anggota keluarga

dan/atau orang lain yang diperlukan.

VIII. Bentuk Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa (Visum et Repertum

Psychiatricum)

Bentuk Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa terlampir.

Contoh Visum Psikiatrik

PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM PSIKIATRIK1)

Yang bertanda tangan dibawah ini ..........................................................................................


Dokter.................................................................... di .................................................................
Atas permintaan dari........................................................ dengan
surat .............................................
Tanggal..............................................No. .....................................................................................
Telah memeriksa keadaan jiwa dari seseorang yang menurut surat tersebut
bernama ...............................................................................................Seorang terdakwa yang
telah tersangkut dalam
perkara...............................................................................................................................
Pemeriksaan mana diperlukan untuk dapat menjawab pertanyaan 2) :
Hasil pemeriksaan ini adalah sebagai berikut :

LAPORAN

Anamnesis : 1. Ringkasan jalannya sidang di muka pengadilan dengan


menunjuk sumber-sumber tersebut dan tidak perlu seluruhnya
dikutip (Berita Acara)
2.Hetero-anamnesa jika ada (keluarganya atau orang lain yang
mengenal terdakwa)
3. Autoanamnesa
4. Anamnesa sosial jika dapat diperoleh dan keadaan jiwa sebelum
peristiwa terjadi
Pemeriksaan fisik : pemeriksaan interna selengkap mungkin dan jika ada
kemungkinan pemeriksaan spesialistik (hasilnya dimuat).
Permeriksaan neurologik dapat mencantumkan hasil, dari
pemeriksaan liquor cerebrospinal, EEG dan lain-lain.

17
Pemeriksaan Psikiatrik : Pemeriksaan psikiatrik deskriptif mengenai tingkah lakunya
dan gejala-gejala psikiatrik lainnya. Jika ada kemungkinan dan
dipandang perlu, maka dikirimkan kepada psikolog guna
pemeriksaan lebih lanjut. Dan disini dilaporkan hasil penemuan
dari pemeriksaan tersebut.
Pemeriksaan Psikologik: dengan dilengkapi psikodinamika dan psikodiagnosa.
Ringkasan Pemeriksaan : diisi dengan hasil pemeriksaan somatik dan psikis dengan
singkat dan yang diperlukan untuk menetapkan diagnosa dan
kesimpulan-kesimpulannya.
Formulasi diagnostik : jika mungkin dalam formulasi dinamik dan jangan
ditulis misalnya Schizophrenia atau Reactive Psychosis saja, akan
tetapi dilengkapi dengan menyebutkan kepribadian praemorbid,
dengan ditegaskan pula dengan faktor yang menggerakkan
terjadinya penyakit.
Kesimpulan : dengan perumusan yang singkat dari apa yang telah
diformulasikan dalam diagnosa dan hasil-hasil dalam pemeriksaan
somatis dan psikologik-psikiatri diberi gambaran-gambaran yang
jelas mengenai terjadinya perbuatan dari terdakwa (penderita yang
melanggar hukum) dan alasan yang menegaskan terdakwa
(penderita) dapat dipersalahkan atau tidak, atau dianggap dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau tidak.

Berhubung dengan hal-hal tersebut diatas, maka jawaban-jawaban terhadap 2


pertanyaan diatas (lihat noot) adalah :
1. Tidak, ya, sedikit banyak3
2. Tidak, ya, sedikit banyak3
Demikianlah dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter

Format Visum et Repertum Psychiatricum

KOP SARANA PELAYANAN KESEHATAN JIWA

Demi Keadilan
Pro Justitia

Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa


(Visum et Repertum Psychiatricum)
No : ....................

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Pangkat/NIP/NRP :
Jabatan :
Alamat sarana pelayanan kesehatan jiwa :
Atas permintaan tertulis dari :
Nama :
Pangkat.NIP/NRP :

18
Jabatan :
Instasnsi :
Alamat :
No. Surat :
Tanggal :
Perihal :
Talah melakukan pemeriksaan dan observasi psikiatrik dari tanggal [ditulis dengan huru.misal Satu
Januari Tahun Dua ribu sembilan] sampai dengan tanggal [empat belas januari tahun dua ribu sembilan]
terhadap”

Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pendidikan :
Status Perkawinan :
Pekerjaan :
Status Terperiksa :
Tuduhan :
Laporan hasil pemeriksaan
1. Anamnesis diperoleh dari :
a. Berita acara pemeriksaan kepolisian
b. Autoanamnesis
c. Alloanamnesis
2. Hasil pemeriksaan dan observasi psikiatrik
3. Hasil pemeriksaan Fisik [yang bermakana]
4. Pemeriksaan penunjang [yang bermakna misalnya MMPI, evaluasi psikologik,EEG, Ct-Scan,
MRI,neuropsikologik, laboratorium dan lain-lain sesuai kebutuhan]
5. Kesimpulan
a. Ada/tidak ada gangguan jiwa [diagnosisdan deskriptif]
b. Apakah perilakupelanggaran hukum merupakan gejala/bagian dari gangguan jiwa?
c. Ada tidaknya unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab berdasarkan :
i. Apakah terperiksa mampu memahami nilai dan resiko tindakannya ?
ii. Apakah terperiksa mampu memaksudkan suatu tujuan yang sadar?
iii. Apakah terperiksa mampu mengarahkan kemauan/tujuan tindakannya?
6. Saran :
7. Penutup
Demikianlah Surat Keterangan ahli Kesehatan Jiwa (Visum et Repertum Psychiatricum) ini
dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu menerima jabatan.

Tempat, tanggal, bulan, tahun


STEMPEL (dengan huruf)
SARANA Dokter yang memeriksa,
KESEHATAN
JIWA

Nama Dokter
NIP/NRP

2.1.3 Kekuatan Hukum Visum Psikiatri


Saksi ahli kedokteran jiwa mutlak diperlukan dalam perkara yang
terdakwanya mengalami gangguan jiwa. Visum et repertum psikiatrik akan

19
memberikan keyakinan bagi hakim terkait dengan kemampuan
bertanggung-jawab terdakwa. Sesuai dengan keyakinannya, maka hakim
akan membebaskan terdakwa dari hukuman dan terdakwa akan dititipkan
di rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan agar nantinya terdakwa
dapat kembali ke masyarakat.
Keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah, seperti
yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 1 butir ke-28
KUHAP dikatakan bahwa, “Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”. Dalam pengertian tersebut, dijelaskan bahwa tujuan dari
keterangan ahli adalah untuk membuat terang suatu perkara, maka
keterangan ahli sebagai bukti yang sah tersebut oleh hakim tidak mudah
untuk dikesampingkan.
Dalam proses pembuktian persidangan, keterangan saksi ahli dapat
dikelompokan menjadi beberapa macam, yaitu antara lain:
a. Sebagai alat bukti yang terbagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu surat dan
keterangan ahli.
b. Sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti.
c. Sebagai keterangan yang hanya menguatkan keyakinan Hakim.
d. Sebagai keterangan yang tidak berfungsi apa-apa

2.1.4. Kasus Pengampuan


Pengampuan (Curator) Pengampuan adalah keadaan seseorang
(curandus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala
hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Atas dasar
hal itu, orang tersebut dengan keputusan hakim dimasukan ke dalam golongan
orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil menurut
undang-undang yang disebut pengampu (curator). Dengan alasan tertentu
seseorang yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan seseorang

20
yang minderjerig, karena walaupun sudah dewasa tetapi orang tersebut
dianggap tidak cakap untuk bertindak melakukan perbuatan hokum.
Dalam Pasal 433 s/d Pasal 462 KUHPerdata/BW, ditentukan bahwa
alasan mengharuskan seseorang ditaruh di bawah pengampuan adalah:
1. Dalam keadaan dungu
2. Dalam keadaan sakit jiwa atau lupa ingatan
3. Dalam keadaan kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya; 4. Karena
keborosannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 449 KUHPerdata, setiap Keputusan
Pengadilan terhadap pengampuan yang telah berkekuatan tetap, maka
pengangkatan pengampu harus segera mungkin diberitahukan kepada Balai
Harta Peninggalan selaku Pengampu Pengawas.
2.2. Psikiatri

2.2.1. Klasifikasi dalam Psikiatri

Pada beberapa jenis gangguan jiwa terdapat berbagai gejala dan tanda
yang begitu luas. Oleh karena itu, dilakukan penyusunan urutan diagnosis
berdasarkan suatu hierarki. Maksudnya adalah dimana suatu gangguan yang
terdapat dalam urutan hierarki yang lebih tinggi, mungkin mempunyai ciri-ciri
dari gangguan yang terletak dalam hierarki lebih rendah, tetapi tidak
sebaliknya.

Berikut ini urutan hierarki blok diagnosis gangguan jiwa berdasarkan PPDGJ
III:

I. = Gangguan Mental Organik & Simtomatik (F00-F09). = Gangguan


Mental & Perilaku Akibat Zat Psikoaktif (F10-F19). Ciri khas: etiologi
organik / fisik jelas, primer / sekunder.
II. = Skizofrenia, Gangguan Skizotipal & Gangguan Waham (F20-F29). Ciri
khas: gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas.
III. = Gangguan Suasana Perasaan [Mood / Afektif] (F30-F39). Ciri khas:
gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik)
IV. = Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform & Gangguan Stres (F40-
F48). Ciri khas: gejala non-psikotik, etiologi non-organik

21
V. = Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologi &
Faktor Fisik (F50-F59). Ciri khas: gejala disfungsi fisiologis, etiologi
non-organik
VI. = Gangguan Kepribadian & Perilaku Masa Depan (F60-F69). Ciri khas:
gejala perilaku, etiologi non-organik
VII.= Retardasi Mental (F70-F79). Ciri khas: gejala perkembangan IQ, onset
masa kanak
VIII. = Gangguan Perkembangan Psikologis (F80-F89). Ciri khas: gejala
perkembangan khusus, onset masa kanak
IX. = Gangguan Perilaku & Emosional dengan Onset Masa Kanak & Remaja
(F90-F98). Ciri khas: gejala perilaku/emosional, onset masa kanak.
X. = Kondisi Lain yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis (Kode Z) Ciri khas:
tidak tergolong gangguan jiwa.

2.2.2. Pemeriksaan Klinis Pasien Psikiatri

Pemeriksaan psikiatri terbagi atas dua bagian yakni bagian pertama


merupakan bagian riwayat yang mencakup deskripsi pasien mengenai gejala
episode kini terjadi, pengkajian episode sebelumnya dan terapi sebelumnya,
riwayat pribadi pasien yang diperoleh dari pasien. Informasi yang diperoleh
dari pasien dapat didukung dari anggota keluarga, dokter yang sebelumnya
menangani, serta rekam medis yang lalu. Dan bagian kedua yakni
pemeriksaan status mental, yang secara berurutan menilai fungsi kognitif dan
emosi pasien saat berlangsungnya wawancara.

Riwayat pasien bisa saja stabil namun, status mental dapat berubah
setiap hari bahkan setiap jam. Pemeriksaan status mental merupakan
gambaran penampilan pasien, cara berbicara, tindakan, dan pikiran selama
wawancara berlangsung. Apabila pasien membisu, inkoheren, bahkan
menolak menjawab pertanyaan, seorang dokter mampu mendapat informasi
dengan pengamatan yang cermat. Pemeriksaan status mental terdiri dari:

a. Deskripsi umum

a.1. Penampilan Dalam kategori ini psikiater mendeskripsikan penampilan


pasien berupa postur tubuh, sikap tubuh, pakaian, serta kerapihannya.
Memperhatikan tanda ansietas pada pasien seperti tangan lembab, dahi
berkeringat, postur tegang, dan mata melebar.

a.2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor yang Nyata Kategori ini mengarah
kepada aspek kualitatif dan kuantitatif perilaku motorik pasien.

22
Diantaranya seperti manerisme, tik, gerakan tubuh, kedutan, perilaku
streotipik, hiperaktivitas, agitasi, sikap melawan, fleksibilitas, rigiditas,
dan gaya berjalan. Seluruh aktivitas yang tidak bermakna harus
dideskripsikan.

a.3. Sikap terhadap Pemeriksa Dapat dideskripsikan sebagai kooperatif,


bersahabat, penuh perhatian, tertarik, defensif, merendahkan,
kebingungan, suka melucu, menyenangkan, suka mengelak, berhati-hati;
semua kata sifat dapat digambarkan untuk memperjelas suatu keadaan
saat wawancara.

b. Mood dan Afek

Mood merupakan emosi yang menetap dan telah meresap yang


mewarnai persepsi orang tersebut terhadap dunia. Sedangkan afek
merupakan responsivitas emosi pasien saat ini, yang terlihat dari ekspresi
wajah pasien. Seorang psikiater dapat menilai kesesuaian respon pasien
terhadap objek yang dibicarakan pasien. Beberapa psikiater menyebutkan
ketidakserasian afek pada pasien skizofrenik, yakni afek datar pasien saat
membicarakan impuls untuk membunuh.

c. Karakteristik Gaya Bicara

Dideskripsikan sebagai banyak bicara, pendiam, bicara cepat atau


lambat, berbisik, terputus-putus, atau bergumam. Adanya gangguan
bicara, contohnya gagap dapat dimasukkan dalam kategori ini.

d. Persepsi

Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai diri maupun


lingkungan.

e. Isi Pikir dan Kecenderungan Mental

Pikiran terbagi atas dua hal, prose (bentuk) dan isi. Seorang pasien
dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau tertahan. Terdapat
gangguan pikiran seperti gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan
yang bersifat tangensial (gangguan berupa hilangnya benang merah suatu
pembicaraan dan akan diikuti dari berbagai stimulus eksternal dan
internal dan tidak pernah sampai ke ide awal), sirkumstansial (pasien
mengemukakan suatu ide dengan menyertakan banyak detail yang tidak
relevan namun akhirnya mampu kembali ke ide semula), bloking (suatu

23
interupsi jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai diungkapkan; pasien
dapat mengindikasikan ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah
atau ingin dikatakannya). Sedangkan gangguan isi pikir meliputi waham
(kepercayaan salah yang menetap dan tidak sesuai dengan latar belakang
budaya pasien dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau berdasarkan
fakta-fakta), preokupasi (melibatkan penyakit pasien), obsesi (ide yang
mengganggu dan berulang).

f. Sensorium dan Kognisi

f.1. Kesadaran

Gangguan kesadaran umumnya mengindikasikan adanya kerusakan


organik pada otak. Beberapa istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan tingkat kesadaran pasien adalah somnolen, stupor,
letargi, kesiagaan, dan keadaan fugue.

f.2. Orientasi dan Memori

Gangguan orientasi umumnya berdasarkan waktu, tempat, dan orang.


Seorang psikiater akan meminta pasien untuk menyebutkan tanggal dan
jam saat wawancara dengan tepat. Mengenai orientasi tempat, pasien
diminta menyebutkan lokasi saat ini dengan tepat. Dan mengenai
orientasi orang, pasien diminta menyebutkan orang-orang disekitarnya
dan hubungannya dengan orang tersebut.

f.3. Konsentrasi dan Perhatian

Konsentrasi pasien dapat terganggu karena berbagai alasan. Contoh


hal menilai konsentrasi pasien dengan pengurangan kelipatan 7 dari angka
100. Perhatian (atensi) pasien dapat diperiksa dengan cara meminta
pasien mengeja kata dunia (atau kata lain) secara terbalik.

f.4. Membaca dan Menulis

Pasien dapat diminta untuk membaca suatu kalimat dan diikuti dengan
melakukan hal yang diinstruksikan. Selain itu, meminta pasien untuk
menulis suatu kalimat sederhana.

f.5. Kemampuan Visuospasial

Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, seperti bagian depan


jam dinding atau segilima bertumpuk.

24
f.6. Pikiran Abstrak

Pikiran abstrak adalah kemampuan untuk menangani konsep-konsep.


Pasien kemungkinan mengalami gangguan membuat konsep atau
menangani ide, seperti menjelaskan persamaan apel dan pir.

f.7. Informasi dan Intelegensi

Apabila dicurigai terdapat kemungkinan adanya gangguan kognitif.


Intelegensi pasien berhubungan dengan kosa kata dan pengetahuan
umum.

g. Impulsivitas

Kemampuan pasien dalam mengendalikan impuls sangat penting


untuk menilai kesadaran pasien akan perilaku yang pantas dan ukuran
potensi bahaya yang muncul terhadap diri pasien dan orang lain.

h. Daya Nilai dan Tilikan

h.1. Daya Nilai

Seorang psikiater harus mampu menilai aspek kemampuan pasien


untuk melakukan penilaian sosial. Dapatkah seorang pasien meramalkan
apa yang akan dilakukannya dalam suatu situasi imajiner? Contoh, apa
yang akan pasien lakukan ketika mencium asap dalam suatu gedung
bioskop yang penuh sesak?

h.2. Tilikan

Tilikan (insight) adalah tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan


penyakitnya. Tilikan terbagi 6 tingkatan:

1) Penyangkalan total atas penyakitnya

2) Sedikit menyadari bahwa dirinya sakit dan memerlukan bantuan namun


pada saat yang sama menyangkalnya.

3) Kesadaran bahwa dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor


eksternal, atau faktor organik.

25
4) Kesadaran bahwa penyakit disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui
di dalam diri pasien.

5) Tilikan intelektual: pengakuan bahwa pasien sakit dan bahwa gejala atau
kegagalan penyesuaian sosial disebabkan oleh perasaan atau gangguan dari
pasien sendiri yang tidak rasional tanpa menerapkan pengetahuan ini pada
pengalaman di masa depan.

6) Tilikan emosional sejati: kesadaran emosional akan motif dan perasaan


dalam diri pasien dan orang-orang penting dalam hidupnya, yang dapat
menyebabkan perubahan perilaku mendasar.

i. Reliabilitas

Pada bagian ini menyimpulkan kesan yang diperoleh psikiater perihal


sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan melaporkan keadaan
pasien dengan akurat. Bagian ini mencakup kejujuran maupun
keterusterangan pasien. Contoh, apabila pasien terbuka tentang
penyalahgunaan obat tertentu secara aktif atau menurut pasien dapat
berpengaruh buruk (misalnya, bermasalah dengan hukum), maka psikiater
dapat memperkirakan reliabilitas pasien adalah baik.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Tanggal Masuk : 14 Desember 2020


Nama Pasien : Ny.D
Umur : 64 tahun
No.RM : 21604
Status : Janda

3.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama
Seorang pasien perempuan berusia 64 tahun dirawat dibangsal jiwa RSUD
M.Natsir karena mengamuk sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien mangamuk dan menyakiti diri sendiri serta orang lain
 Pasien sebelum masuk rumah sakit suka berjalan sendiri dan bisa pulang
kembali ke rumah
 Pasien suka berbicara sendiri dan pasien juga suka melamun
 Pasien sebelumnya pernah dirawat di Padang selama 7 tahun dan putus obat
 Keluarga pasien mengatakan dulu pasien dirawat karena sebelumnya pasien
membunuh suaminya sendiri
 Keluarga pasien juga mengatakan alasan pasien membunuh karena pasien
merasa tertekan oleh suami pasien, karena sering melakukan KDRT sehingga
pasien kesal dan membunuhnya
 Setelah pasien keluar dari rumah sakit pasien tidak ada keluhan atau masalah
dan pasien beraktivitas seperti biasanya
 Keluarga pasien mengatakan awal mulanya pasien bisa kambuh lagi dan
sampai dirawat di bangsal jiwa RSUD M.Natsir karena pasien ada masalah
dengan kakak kandung pasien
 Keluarga pasien juga mengatakan sebelum pasien dirawat pasien mengamuk
sampai menggigit jari anaknya yang no 2 dan sampai berdarah

27
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Psikiatri : Pernah 2x dirawat ( 1x di padang, 1x di RSUD
M.Natsir )
 Riwayat Penyakit medis : Tidak ada
 Riwayat Penggunaan Zat : Merokok (-), Alkohol (-), Narkoba (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang memiliki penyakit serupa.

3.3 Status Mental

1. Deskripsi Umum
-Penampilan : Sesuai Usia
-Perilaku dan Aktivitas Motorik : Tidak Tenang
-Sikap : Tidak Kooperatif

2. Emosi
-Mood : Irittable
-Afek : Labil
-Keserasian : Serasi

3. Pembicaraan
-Bicara : Cerewet
-Volume : Sedang
-Artikulasi : Tidak Jelas

4. Gangguan Persepsi
-Depersonalisasa : Tidak Terganggu
-Derealisasa : Tidak Terganggu
-Ilusi : Tidak Terganggu
-Halusinasi : Belum ada diagnosa

5. Pikiran
- Isi Pikir : Asosiasi Longgar, waham kejar
- Proses Pikir : Inkoheren

6. Sensorium dan Kognisi


- Kesadaran : Delirium
- Orientasi Waktu : Terganggu

28
- Orientasi Orang : Terganggu
- Orientasi Tempat : Terganggu
7. Daya ingat
- Jangka Panjang : Tidak Terganggu
- Jangka Sedang : Terganggu
- Jangka Pendek : Terganggu

8. Daya Nilai dan Tilikan


- Daya Nilai Sosial : Terganggu
- Daya Nilai Realita : Belum ada diagnosa
- Tilikan : Derajat 1

9. Dagnosis Multiaksial
- Aksis I : Gangguan Mental Organik dan Skizofrenia Paranoid
- Aksis II : Tidak ada diagnosa
- Aksis III : Tidak ada diagnosa
- Aksis IV : Masalah Primary Support (keluarga)
- Aksis V : 40-31 Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita
dan komunikasi , disabilitas berat dalam beberapa fungsi

10. Prognosis
Baik : - Late Onset
- Faktor Pencetus Jelas
- Menikah
- Sistem support yang baik
- Gambaran klinis symptom positif
Buruk : - Sering Kambuh

Quo ad Vitam : Malam


Quo ad Fungsionam : Malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

11. Terapi
Lodomer 2x1 mg
Dipenhidramin 2x2 mg
Risperidon 2x3 mg
Trihexpenidil 2x2 mg
Lorazepam 1x2 mg

29
BAB IV
PENUTUP

Menurut American Academy of Psychiatry and The Law, Psikiatri Forensik


adalah penggunaan keilmuan dan ekspertise psikiatri pada konteks hukum (baik
pidana, perdata, administratif, dan terutama pada konsultasi klinis dalam area
penilaian tingkat risiko atau masalah ketenagakerjaan).
Dasar hukum psikiatri forensic yaitu: (1) 44 KUHP tentang pembatalan sanksi
pidana perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu
karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana; (2) UU Kesehatan nomor 36
/2011 Pasal 150 a dan b tentang pemeriksaan kesehatan jiwa dan penetapan status
kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa untuk
kepentingan penegakan hukum (visum et repertum psychiatricum); (3) Undang
Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa pasal 71-73 Tentang Kesehatan
Jiwa, khususnya pemeriksaan kesehatan jiwa terhadap seorang yang sedang diperiksa
sebagai tersangka /terdakwa dalam perkara pidana, atau perdata maupun untuk
menentukan kecakapan dan kemampuan bertindak dihadapan hukum sebagai subyek
hukum/pendukung hak dan kewajiban menurut hukum, atau menentukan kemampuan
untuk mempertanggungjwabkan tindak pidana yang disangkakan, maupun kecakapan
bertindak menghadapi proses peradilan,
Pada dasarnnya kepentingan psikiatrik forensic adalah pemeriksaan kesehatan
jiwa terhadap seorang yang sedang diperiksa sebagai tersangka /terdakwa dalam
perkara pidana, atau perdata maupun untuk menentukan kecakapan dan kemampuan
bertindak dihadapan hukum sebagai subyek hukum/pendukung hak dan kewajiban
menurut hukum, atau menentukan kemampuan untuk mempertanggungjwabkan
tindak pidana yang disangkakan, maupun kecakapan bertindak menghadapi proses
peradilan.
Secara umum, ruang lingkup psikiatri forensik adalah perilaku
membahayakan diri sendiri &/orang lainm, perilaku criminal, kompetensi di

30
masyarakat (civil competency), Membantu mengatasi keadaan buruk di masyarakat
seperti terorisme dan pengembalian terhukum ke masyarakat dan Pendampingan
dibidang medicolegal:
Saksi ahli kedokteran jiwa memiliki peranan penting dalam peradilan pidana,
terutama pada kasus yang terdakwanya diduga memiliki kelainan jiwa, maka saksi
ahli kedokteran jiwa mutlak diperlukan untuk menentukan apakah terdakwa tersebut
mampu bertanggung-jawab atau tidak. Diperlukan keahlian khusus untuk menentukan
kemampuan bertanggung-jawab terdakwa yang diduga meangalami gangguan jiwa.
Kemudian keterangannya tersebut dituangkan dalam surat keterangan atau visum et
repertum psikiatrik yang memberikan keyakinan bagi hakim untuk melihat
kemampuan bertanggung-jawab terdakwa.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ohoiwutun, Triana. Kesaksian Ahli Jiwa dalam Pertanggungjawaban Pidana


Penganiayaan Berat. Dalam Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 1 April. Komisi Yudisial
Republik Indonesia; Jakarta 2015. Hal: 6-9
2. Raharjanti NW. Ruang lingkup & Pemeriksaan
Psikiatri Forensik. Divisi Psikiatri Forensik Departemen Psikiatri FKUI-RSCM-
FHUI, . Jakarta. 2013. hal: 36-1
3. Prof Marlina S M, Psikiatri Forensik, Lokakarya Pembuatan PedomanVeRP,
Bandung, 2009
4. American Academy of Psychiatry and the Law Ethical Guidelines for the Practice
of Forensic Psychiatry. American Academy of Psychiatry and the Law. 2005.
5. Leatherman ME, Goethe KE. Substituted Decision making: elder Guardianship.
Law and Psychiatry In: Journal of Psychiatric Practice Vol 15, No 16. Lippincott
Willliam Wilkins. Nov 2009
6. Simon R, Schuman D: Clinical Manual of Psychiatry and law. American
Psychiatric Publishing, Inc, 2007. Pg: 64-6
7. Perlin Ml, Champine P, Dlugaez HA, Connell m. Competence in the law: from
Legal theory to application. Jhon Willey & son, 2008. Pg: 219-57
8. Simon R, Liza H: Textbook of Forensic Psychiatry. American Psychiatric
Publishing, Inc, 2010. Pg:
9. Grissco T: Evaluating competencies: Forensic assessment and instrument. 2nd ed.
Kluwer Academic. New York 2003
10. Herilbrun K,Geoffrey RM, DeMatteo: Forensic Mental Health Assessment. A
case book. Oxford University Press.2002 Pg

32

Anda mungkin juga menyukai