Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER

PENELITIAN HUKUM

TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI


NOTARIS YANG MENGALAMI GANGGUAN KEJIWAAN
TERHADAP AKTA YANG PERNAH DIBUATNYA

Dosen :

Dr. MIFTAKHUL HUDA, S.H, M.H

Disusun Oleh :

SYILVIA AMELIA HIDAYAH (12221059)

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NAROTAMA

SURABAYA

2022
1. Latar Belakang Masalah

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis
sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang kesehatan. Apabila terjadi
gangguan kesehatan maka badan atau jiwa orang hidup tentu tidak produktif.

Terkhusus untuk sehat secara rohani terdapat istilah "Sehat Rohani identik
dengan sehat mental". Kata mental di ambil dari bahasa Yunani dimana
pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa latin yang artinya psikis, jiwa
atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental
atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha
peningkatan. (Jalaludin 2002)

Menurut Dr.Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa: “Kesehatan


mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan
tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat
dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri
sepenuhnya kepada Tuhan)”. Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran,
kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan
itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. (Jalaludin 2002)

Berdasarkan data yang berasal dari World Health Organization (WHO) terkait
masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi suatu
masalah yang sangat serius dimana paling tidak ada satu dari 4 orang di dunia
mengalami masalah mental atau gangguan kejiwaan. Adapun penyakit mental
atau gangguan kejiwaan adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi
mental dimana terdapat gangguan fungsi otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).
Sedangkan gangguan jiwa menurut American Psychiatric Association (APA)
adalah sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis,
yang terjadi pada individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress
(misalnya, gejala nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada
salah satu bagian atau beberapa fungsi penting) atau disertai peningkatan resiko
untuk mati, sakit, ketidak-mampuan, atau kehilangan kebebasan (Prabowo 2014).

Pendapat yang lain yang menjelaskan terkait gangguan jiwa atau penyakit
mental merupakan sebuah sindrom perilaku seseorang yang secara khas berkaitan
dengan suatu gejala penderitaan atau keterbatasan atau ketidak-mampuan di dalam
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik,
perilaku, biologik dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara
orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Rinawati 2016). World Health
Organization (WHO) memperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia
mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada umumnya gangguan jiwa yang terjadi
adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 4.4% dari
populasi global menderita gangguan depresi, dan 3.6% dari gangguan kecemasan.
Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18% Antara tahun 2005 hingga
2015. Dapat dilihat bahwa depresi merupakan penyebab terbesar kecacatan di
seluruh dunia. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di
Negara yang berpeghasilan rendah dan menengah (Sulistiyowati 2018).

Menurut Riset Kesehatan Dasar prevalensi gangguan jiwa berat seperti


skizofrenia yang ada di Indonesia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak
7 orang per 1.000 penduduk. Adapun provinsi-provinsi yang memiliki gangguan
jiwa terbesar pertama Antara lain adalah Bali sebanyak 11 orang per 1.000
penduduk. Kemudian urutan kedua Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 10
orang per 1.000 penduduk, urutan ke tiga NTB sebanyak 10 orang per 1000
penduduk, Aceh menempati posisi ke empat dimana sebanyak 9 orang per 1000
penduduk, dan Jawa Tengah menempati urutan ke lima dimana sebanyak 9 orang
per 1.000 penduduk (Hamimi 2019). Hal ini menggambarkan bahwa gangguan
kejiwaan dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun
status sosial-ekonomi, tanpa terkecuali seorang notaris.

Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 1 ayat


(3) yang dirumuskan dalam amandemennya yang ketiga tanggal 10 November
2011 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai
konsekuensi dari paham negara hukum, maka seluruh sendi kehidupan dalam
masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada dan tidak boleh
menyimpang pada norma norma hukum yang berlaku di Indonesia, artinya hukum
dijadikan panglima dalam setiap penyelesaian permasalahan yang berkenaan
dengan individu, masyarakat dan negara. Prinsip negara hukum menjamin
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.

Namun pelaksanaannya, hukum dapat berjalan secara normal, tertib dan


efektif, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan upaya
penegakan oleh aparatur yang berwenang, dan melalui penegakan hukum inilah
hukum ini menjadi kenyataan. Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
dalam lalu lintas hukum pada umumnya memerlukan alat bukti yang menentukan
dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam
masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya seorang notaris tidak boleh melakukan


kesalahan dalam membuat data-data outentik karena akan berakibat fatal bila
terjadi
kesalahan terlebih dalam hal pembuatan akta-akta yang menjadi tugas dalam
bidangnya. Oleh karena itu maka untuk menjadi seorang notaris harus dalam
kondisi sehat baik jasmani maupun sehat secara rohani yang diuji dengan
pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter dan pemeriksaan kesehatan kejiwaan
yang dilakukan oleh psikiater.

Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan


perlindungan masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat pencegahan
terjadinya masalah hukum, dengan cara penertiban akta otentik yang dibuat
dihadapinya terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban seseorang dalam
hukum, dan lain sebagainya, yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling
sempurna di pengadilan, dalam hal terjadi sengketa hak dan kewajiban yang
terkait. Akta notaris bersifat otentik dan merupakan alat bukti terkuat dan
terpenuhi dalam setiap perkara yang terkait dengan akta notaris tersebut.
Sebagaimana yang ditentukan pada pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) yaitu :
”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-


undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang kemudian dalam
tulisan menggunakan istilah UUJN. Dijelaskan dalam Pasal 1 UUJN. Hamaker
menguraikan “tugas notaris dengan menyatakan bahwa notaris diangkat untuk atas
permintaan dari orang-orang yang melakukan tindakan hukum, hadir sebagai saksi
pada perbuatan hukum yang mereka lakukan dan untuk menuliskan
(mengkonstatir) apa yang disaksikannya itu”. (Tobing 1999)

Berdasarkan pengertian mengenai notaris serta tugas dan kewenangannya itu


Pasal 15 ayat (1) UUJN jo Pasal 1870 KUH Perdata. Pasal 15 ayat (2) huruf e
UUJN, Notaris berwenang pula memberikan penyuluhan hukum sehubungan
dengan pembuatan aktanya. Dalam pasal 8, 9 dan 12 UUJN seorang notaris juga
dapat diberhentikan dari jabatannya baik diberhentikan secara hormat, di
berhentikan sementara dan juga diberhentikan secara tidak hormat. Salah satu
syarat pemberhentian sementara adalah sedang berada dibawah pengampuan
termasuk ketika seorang notaris mengalami gangguan kejiwaan (gila).

Ketika seorang notaris sudah tidak menjabat lagi sebagai notaris dikarnakan
berada dibawah pengampuan sebab mengalami gangguan kejiwaan (gila), tidak
menutup kemungkinan akta-akta yang pernah dibuat di hadapan notaris tersebut,
di kemudian hari disengketakan oleh pihak ketiga atau para pihak yang
berkepentingan dalam hubungan hukum, serta akibat-akibat yang dirasa
menimbulkan kerugian oleh salah satu pihak. Demi pertanggung jawaban akta
notaris tersebut, dalam pasal 62 UUJN menentukan bagaimana penyerahan
protokol notaris dilakukan, sedangkan menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 13
UUJN, dijelaskan tentang definisi Protokol , yaitu kumpulan dokumen yang
merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
Penyimpanan protokol notaris oleh Notaris Pemegang Protokol merupakan suatu
upaya untuk menjaga umur yuridis akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna
bagi para pihak atau ahli warisnya tentang segala hal yang termuat di dalam akta
tersebut. Pertanggung jawaban protokol tersebut secara eksplisit disebutkan dalam
pasal 65 UUJN 2014 yang menyebutkan:

“Notaris, Notaris pengganti dan Pejabat sementara notaris bertanggung jawab


atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan atau
dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol Notaris.

Memperhatikan makna dari ketentuan Pasal 65 UUJN tersebut, dapat dikatakan


bahwa ketentuan pasal ini merupakan ketentuan yang tidak lazim di dunia
peradilan, dan menimbulkan ketidakadilan karena di Indonesia tidak dikenal
tanggung gugat secara mutlak tanpa batas waktu dan ketidakadilan dalam arti
tidak ada jabatan di Indonesia yang tanggung gugatnya tanpa batas. Menurut teori
dari Robert B. Seidman di dalam buku Sjaifurahman dan Habieb Adjie
menguraikan tentang system bekerjanya hukum, maka pada waktu notaris
menjalankan tugas jabatannya di bidang kenotariatan, kedudukan notaris sebagai
pelaksana hukum, sedangkan pada waktu notaris dikenakan tanggung gugat,
kedudukan notaris sebagai yang dikenakan hukum berhadapan dengan penerap
sanksi. Dengan kata lain bahwa pasal 65 UUJN harus diperluas dan diperjelas
maknanya, agar dalam penafsiran dan penerapannya dapat memperoleh jaminan
kepastian hukum, bukan saja tentang batas waktu pertanggung jawaban notaris,
akan tetapi lebih luas lagi yaitu bagaimana tanggung jawab notaris atas pengaduan
pihak ketiga terhadap subtsansi aktanya, jika notaris tersebut sudah tidak menjabat
lagi sebagai notaris dikarnakan berada dibawah pengampuan sebab mengalami
gangguan kejiwaan (gila), serta bagaimana tanggung jawab pemeliharaan dan
penyimpanan protokol notaris. Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti akan
membahas mengenai “Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi
Notaris yang Mengalami Gangguan Kejiwaan terhadap Akta yang Pernah
Dibuatnya.”
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka rumusan
masalah yang akan di teliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggung jawab notaris yang mengalami gangguan kejiwaan
terhadap akta yang pernah dibuat?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum notaris yang mengalami gangguan
kejiwaan jika terdapat pengaduan pihak ketiga terhadap subtsansi aktanya?

3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini dilakukan
sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis tanggung jawab notaris yang
mengalami gangguan kejiwaan terhadap akta yang pernah dibuatnya.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis bentuk perlindungan hukum notaris
yang mengalami gangguan kejiwaan jika terdapat pengaduan pihak ketiga
terhadap subtsansi aktanya.

4. Manfaat Penelitian
4.1. Manfaat Teoritis
1. Diharapkan bahwa tulisan ini dapat dijadikan rujukan upaya
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pentingnya
kesehatan baik secara jasmani maupun rohani bagi seorang notaris.
2. Sebagai pijakan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya terkait
tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi notaris yang sedang dalam
pengampuan serta menjadi bahan kajian lebih lanjut.
4.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan sumbangan pemikiran terkait sejauh mana tanggung jawab
notaris yang sedang dalam pengampuan dikarnakan mengalami gangguan
kejiwaan terkait akta yang pernah dibuatnya.
2. Memberikan sumbangan pemikiran terkait perlindungan hukum bagi
notaris yang mengalami gangguan kejiwaan jika terdapat pengaduan pihak
ketiga terhadap subtsansi aktanya.
5. Metode Penelitian
5.1 Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah
metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji
bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan
bahan lain dari berbagai literatur yang mempunyai
korelasi dan relevansi dengan permasalahan yang akan diteliti,
serta teori-teori hukum dan pendapat para ahli. Dengan kata lain penelitian ini
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder dan
pendukung bahan hukum primer berupa peraturan dan perundang-undangan
yang terkait terutama yang berhubungan dengan tanggung jawab dan
perlindungan hukum terhadap notaris terkait akta yang pernah dibuatnya baik
pada masih menjabat saat sebagai notaris maupun ketika sudah tidak menjabat
lagi karna berada di bawah pengampuan.

5.2 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konsep


(conceptual approach) dengan cara menelaah produk-produk hukum, teori-
teori, doktrin, pendapat para ahli, dan kajian - kajian terkait tanggung jawab
notaris yang sudah tidak menjabat lagi sebagai notaris. Serta pendekatan
perundang-undangan (statute approach) yang menjadi titik fokus penelitian
dengan menggunakan legalisasi dan regulasi yang dilakukan dengan cara
menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu
hukum yang diteliti khususnya pasal 65 UUJN serta ditinjau dari hukum perdata
maupun hukum pidana.

5.3 Bahan Hukum


Bahan hukum yang digunakan oleh penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi Undang-
Undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh
dari kepustakaan, yaitu literatur hukum, jurnal hukum, dan makalah hukum
terkait isu hukum yang terdapat dalam penelitian ini.

5.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum


Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menggali kerangka
berfikir menggunakan bahan hukum serta teori hukum yang berkaitan dengan
apa yang akan diteliti. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
kemudian dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan
secara sistematis dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji
secara kompeherensif.

5.5 Analis Bahan Hukum


Setelah bahan hukum terkumpul maka dilakukan analisis untuk mendapat
argumentasi berupa jawaban terhadap masalah penelitian. Analisis bahan
hukum dilakukan dengan melakukan kegiatan penelitian yang mengkaji dan
menelaah terhadap hasil pengelolaan bahan hukum yang dibantu dengan teori
yang telah didapatkan sebelumnya dengan menggunakan studi kepustakaan
(library research) seperti membaca, menelaah, serta membuat ulasan bahan-
bahan pustaka agar tercapai hasil yang maksimal.

6. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tesis ini, terbagi dalam 4 (empat) bab yang
terdiri dari:

BAB I. Pendahuluan
Memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. Tinjauan Pustaka


Memuat rincian secara sistematis mengenai ketentuan umum tentang variabel
judul yang meliputi: Tinjauan umum jabatan notaris, tinjauan umum peranan
dan tanggung jawab notaris, tinjauan umum terkait pengampuan dikarnakan
gangguan kejiwaan.

BAB III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Memuat hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan jawab dari


rumusan masalah, meliputi: Peranan dan tanggung-jawab Notaris yang
mengalami gangguan jiwa terhadap akta yang pernah dibuatnya serta
perlindungan hukum yang akan diberikan ditinjau dari hukum pidana maupun
hukum perdata terhadap notaris yang mengalami gangguan kejiwaan jika
terdapat pengaduan pihak ketiga terhadap subtsansi aktanya.

BAB IV. Penutup


Berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Daftar Pustaka Sementara

G.H.S. Lumban Tobing. (1999). Peraturan Jabatan Notaris, cet. 5. Penerbit


Erlangga. Jakarta.

Hamimi, S. O. (2019). Skripsi, Hubungan Dukungan Keluarga Dengan


Kepatuhan Kontrol Pasien Skizofrenia di Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Jiwa
Prof.Dr.Muhammad.Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Medan: Poltekkes
Kemenkes Medan Jurusan Keperawatan.

Jalaluddin. (2002). Psikologi Agama Edisi Revisi 2002. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Surabaya: Nuha Medika

Rinawati, F. (2016). Analisa Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Jiwa


Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Stres Stuat. Jurnal Ilmu Kesehatan
Vol. 5 No. 1 Nopember 2016, 34.

Sulistiyowati, D. Y. (2018). Skripsi, Stressor Presipitasi Yang Mendukung


Terjadinya Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Surakarta. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universita Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai