Anda di halaman 1dari 4

AKIBAT HUKUM DARI KETERANGAN PALSU YANG TERDAPAT DALAM

AKTA OTENTIK

1.Latar Belakang

Nilai-nilai budaya serta penegakan hukum (Law Inforcement) merupakan salah satu peran
penting diera globalisasi dimana dalam sejarah perkembangan hukum lembaga notaris
dikenal sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat yang memiliki jabatan dan dapat di
percaya. Serta pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum yang tanda tangan
serta capnya memberi jaminan dan bukti kuat.

Notaris juga merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya. Pembuatan
akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka
menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum, selain akta otentik yang dibuat
oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan, tetapi juga dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak
dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak
yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Penjelasan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Akta Notaris lahir dengan adanya keterlibatan langsung dari pihak yang menghadap notaris,
merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan sebuah akta sehingga tercipta
sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang, akta yang
dibuat notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi. Wawan Tunggal Alam, Hukum
Bicara (Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari), Milenia Populer, Jakarta, 2001, hal 85

Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap professional dengan dilandasi
kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan undang-undang sekaligus
menjunjung tinggi Kode Etik profesinya yaitu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 16 huruf
a Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), seorang notaris diharapkan dapat bertindak jujur,
seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum. Disamping itu notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti
perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat dalam
membantu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang dapat
memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum.

Seorang notaris harus memiliki kepekaan, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan
mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena
sosial yang terjadi sehingga akan menumbuhkan keberanian dalam mengambil sikap yang
tepat. Keberanian yang dimaksud adalah untuk menolak membuat akta apabila bertentangan
dengan hukum, moral dan etika. Wawan Setiawan, Media Notariat, Edisi Mei – Juni 2004, hal 25

Kepercayaan masyarakat terhadap notaris adalah salah satu bentuk wujud


nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam
melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang
ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya.

Akta yang dibuat notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan


agar tercapai sifat otentik dari akta itu misalnya mencantumkan identitas para pihak,
membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta, dan
sebagainya. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum. Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum
penandatanganan dilakukan terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap dan saksi-
saksi yang dilakukan oleh notaris yang membuat akta tersebut. Tujuan pembacaan akta ini
adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut sebab isi dari akta itu
merupakan kehendak para pihak. Pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu
tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan atau redaksi akta yang memberatkan atau
merugikan terhadap pihak yang lain. Sebagaimana hal ini disyaratkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris

Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan
notaris.

Dalam prakteknya sering terjadi notaris dilibatkan jika terjadi perkara antara
para pihak, padahal sengketa yang terjadi bukanlah antara para pihak degan notaris
mengingat notaris bukan pihak dalam akta yang dibuatnya. Notaris sebagai pejabat umum
dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya apabila akta yang dibuat ternyata
dibelakang hari mengandung sengketa. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah akta ini
merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen
yang sebenarnya dan para pihak memberikan keterangan yang tidak benar ataukah adanya
kesepakatan yang dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap.

Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu suatu jabatan yang
dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk
pada UUJN dan Kode Etik Notaris. Dengan demikian diharapkan agar notaris dalam
menjalankan jabatannya mempunyai integritas moral dengan memperhatikan nilai
agama, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Apabila akta yang
dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris baik karena
kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu harus memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum.

Oleh karena itu seorang notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang
mengandung cacat hukum dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa diluar sepengetahuan notaris para pihak/penghadap yang
meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar
dan menyerahkan surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar sehingga setelah lahirlah
sebuah akta yang mengandung keterangan palsu.

Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus
dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh
mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu
tindak pidana pemalsuan. Adamichazawi, Kejahatan terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001 hal 114.

Jika sampai terjadi kasus lahirnya suatu akta yang terdapat keterangan palsu didalamnya
maka akan menyebabkan notaris harus ikut terlibat dalam proses peradilan untuk
mempertanggung jawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat notaris merupakan pejabat
umum yang berwenang membuat akta otentik dan akta otentik yang dibuatnya setelah
ditandatangani oleh para pihak menjadi dokumen negara. Sehubungan dengan hal tersebut
notaris dalam mempertanggung jawabkan akta yang telah diterbitkannya harus terlebih
dahulu mendapat izin/persetujuan dari Majelis Pengawas untuk dapat diperiksa atau diproses
oleh Aparat
Hukum. Sehingga dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas terdapat rumusan masalah
terkait Bagaimana pertanggung jawaban seorang notaris dan bagaimana sanksi
hukum yang dapat dilakukan terhadap penghadap serta bagaimana akibat hukumnya terhadap
akta yang mengandung keterangan palsu.

Anda mungkin juga menyukai