Anda di halaman 1dari 110

ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK

YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU


( STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan

OLEH :

YUSNANI
057011100/M.KN

SEKOLAH PASCA SARJANA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK
YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU
( STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

NASKAH PUBLIKASI

OLEH :

YUSNANI
057011100/M.KN

SEKOLAH PASCA SARJANA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Telah Diuji Pada :
Tanggal : 31 Juli 2007

Panitia Penguji Tesis


Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
Anggota : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, M.S.C.N
Notaris Syafnil Gani, SH, M.Kn
Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn
Notaris Chairani Bustami, SH, M.Kn

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK
YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU
(STUDI KASUS DIKOTA MEDAN)
Yusnani 1
Syafruddin Kalo 2
Muhammad Yamin 3
Syafnil Gani 4

INTISARI

Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang


dalam membuat akta otentik dan sekaligus notaris merupakan perpanjangan
tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap
profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi
Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung
jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung
jawab moral. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pertanggung
jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu,
bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan
palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik
yang mengandung keterangan palsu.

Dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan maka


penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yang menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian dilakukan
di Kantor-kantor Notaris, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Majelis
Pengawas Daerah (MPD) Notaris yang wilayah kerjanya di Kota Medan. Data
primer dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan
dengan mempergunakan pedoman wawancara dan observasi lapangan.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab


notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa
notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya
mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para
pihak/penghadap ke dalam akta.Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa
yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut
menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke
dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari
akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi

1
Mahasiswa Program Studi Magister Kienotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara
3
Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara
4
Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap. Adapun sanksi
yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam
akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas
kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada
penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur
dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan
pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan
keterangan palsu dalam akta otentik”. Akibat hukum terhadap akta otentik yang
mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan
sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan
mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus
dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya
tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak
diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu
adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.
Disarankan kepada para semua pihak yang berkaitan dengan penerbitan akta otentik
seperti pihak penghadap dan notaris, agar berhati-hati dan waspada dalam segala hal
yang berhubungan dengan pembuatan akta, disamping itu juga diharapkan kepada
pihak yang berkompeten seperti Majelis Pengawas Daerah, pihak kepolisian,
pengadilan harus lebih selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris.

Kata Kunci : - Akta Otentik


- Keterangan palsu

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
1
Student Magister Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University
Of Nort Sumatera.
2
Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies,
University Of Nort Sumatera.
3
Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies,
University Of Nort Sumatera.
4
Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies,
University Of Nort Sumatera.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Key words : Authentic Notarial Document,
Counterfeit Information

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : “ Analisis
Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi
Kasus di Kota Medan)”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada :
- Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku pembimbing
pertama
- Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku pembimbing
kedua
- Bapak Notaris, Syafnil Gani, SH, M. Hum, selaku pembimbing ketiga;
yang telah menyisihkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan dari awal penyusunan proposal sampai selesainya penulisan
tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yth :
1. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen tamu sekaligus
penguji.
2. Ibu Chairani Bustami, SH, MKn, selaku dosen tamu sekaligus penguji.
3. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. T . Chairun Nisa H, Msc, selaku Direktur Sekolah Pasca
Sarjana.
5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua
Program Studi Kenotariatan.
6. Para Guru Besar, Staf Pengajar Program Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara.
7. Kepada Notaris-notaris, Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD), Pengadilan
Negeri, di Kota Medan, selaku Responden

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
8. Para pegawai Administrasi dan pegawai perpustakaan Program Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
9. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara.
Teristimewa kepada kedua orang tua penulis :
- Ayahanda yang tercinta Alm. MUHAMMAD YAHYA Kl
MARPAUNG.
- Ibunda yang tercinta Alm. HASBIAH BUTAR-BUTAR
- Suami Tercinta Chairuddin Panjaitan, SE
- Abangnda, Kakanda dan Adinda yang tersayang;
penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas doa, kasih sayang dan
dukungan baik moril maupun materil yang tidak dapat dinilai dalam bentuk apapun,
sehingga tetap menyertai penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan,
baik dari sudut isi maupun dari cara penyajiannya. Oleh karena itu penulis menerima
masukan dan kritikan dari semua pihak. Harapan penulis, semoga tesis ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.

Medan, Desember 2007


Penulis,

( Y U S N A N I, S.H.)

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
DAFTAR RIWAYA HIDUP

Nama : Yusnani, SH

Tempat / tgl lahir : Aek Nagaga Asahan, 15 Maret 1966

Agama : Islam

Jenis kelamin : Perempuan

Nama Orang Tua :

1. M. Yahya KL Marpaung

2. Hasbiah Butar-Butar

Latar Belakang Pendidikan

1. SD. Negeri Bandar Pulau Asahan : 1975 - 1980

2. SMP Negeri II Medan : 1980 – 1983

3. SMU Wage Rudolf Supratman Medan : 1983 - 1986

4. Universitas Islam Sumatera Utara : 1985 - 1990

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI

INTISARI ...................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ................................................................ 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian .................................................................. 6

E. Keaslian Penelitian .................................................................. 7

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional .......................... 8

G. Metode Penelitian ................................................................... 37

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP

AKTA OTENTIK YANG MENGANDUNG KETERANGAN

PALSU ......................................................................................... 41

A. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam

Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 Kitab Undang- undang

Hukum Pidana (KUHP) .......................................................... 41

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Akta Mengandung

Keteranga Palsu ...................................................................... 49

C. Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung

Keterangan Palsu .................................................................... 54

BAB III SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PENGHADAP

YANG MEMBERIKANKETERANGAN PALSU

DALAM AKTA OTENTIK .......................................................... 67

A. Pengertian Sanksi ....................................................................... 67

B. Tinjauan Umum Tentang Para Pihak ......................................... 68

C. Tinjauan Umum Tentang Saksi-Saksi ....................................... 71

D. Sanksi yang Diberikan Kepada Penghadap yang Memberikan

keterangan Palsu Dalam Akta Otentik ........................................ 74

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG

MENGANDUNG KETERANGAN PALSU ................................ 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 90

A. Kesimpulan ................................................................................ 90

B. Saran ........................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISTILAH

Acta Publica Probant Sese Ipsa : Suatu Akta kelihatannya sebagai


akta otentik
Ambtelijke Akten : Akta Pejabat
Code Penal : Kitab Undang-undang Hukum
Pidana di Negara Perancis
Conviction Intime : Perasaan Belaka
Conviction Raisonee : Pertimbangan Akal
Curator : Pengampun
Darde : Pihak ketiga (orang ketiga)
De Eigenlijke Falsum : Tindak Pidana Pemalsuan
Door Een : Dibuat Oleh (yang membuat)
Dwaling : Salah pengertian atau kekhilafan
Dwang : Paksaan
Ecretures : Tulisan-tulisan
Faux : Pemalsuan
Formale Bewijskracht : Pembuktian Formal
Getuige : Saksi
Gijzeling : Penyanderaan
HAM : Hak Asasi Manusia
Hoge Raad : Mahkamah Agung
INI : Ikatan Notaris Indonesia
Intellectuele Valsheid : Pemalsuan Intelektual
KUHPer : Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata
KUHP : Kitab Undang-Undang Pidana
Law Inforcement : Penegakan Hukum
Les Crimes Et Delicts Contre La Paix Publique : Kejahatan-kejahatan dan
pelanggaran-pelanggaran
terhadap kepercayaan umum
Machtsstaat : Berdasarkan Kekuasaan
Materiele Bewijskracht : Pembuktian Material
Materiele Valsheid : Pemalsuan Material
Misdrijven : Kejahatan
Notaris Reglement : Peraturan Jabatan Notaris
Nullum delictum noela poena
praevia sine lege poenali : Tidak ada pidana tanpa undang-
undang yang mengaturnya lebih
dahulu
Onrechtmatige Daad : Perbuatan melawan hukum
Onvoldoende Evearing : Kekurangan pengalaman
Onvoldoende Inzicht : Kekurangan pengertian

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Onvoldoende Kennis : Kekurangan pengetahuan
Overtredingen : Pelanggaran
Partij : Pihak
Partij Aktan : Akta Partij (dibuat oleh para
pihak dihadapan pejabat umum)
Person : Orang (perseorangan)
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
Profesional Behaviour : Perilaku Profesional
Quasi Falsum : Pemalsuan yang bersifat semu
Rechtsstaat : Berdasarkan Hukum
Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesia : Peraturan Jabatan Notaris
Saksi attesteren : Saksi yang memperkenalkan di
depan pengadilan
Saksi Instrumentair : Saksi yang memperkenalkan di
depan notaris
Tegen Bewijs : Pembuktian Sebaliknya
Ten overstaan van een : Akta Yang Diperbuat Dihadapan
(Notaris)
Uitwendige bewijskracht : Pembuktian lahiriah
UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris
Van Rechtswege Nietig : Batal Demi Hukum
Vereniging : perkumpulan
Vernietigbaar : Dibatalkan
Waarnemen : menyaksikan sendiri
Wedertrechtlijkheid : Dalam Arti Obyektif
(bertentangan dengan hukum);
dalam arti subyektif
(bertentangan dengan
kepentingan orang lain)
Wetboek van Strafrecht : Kitab Undang-undang Hukum
Pidana di Indonesia masa Jajahan
Belanda
Wilsgebrik : Adanya kecacatan dalam
kesepakatan

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun terakhir ini begitu banyaknya perubahan yang terjadi di muka

bumi baik yang berskala besar maupun kecil.

Perubahan-perubahan ini terjadi karena arus globalisasi yang melanda dunia sehingga

membuat banyak orang khawatir, cemas ataupun takut karena adanya ketidakpastian

akan apa yang akan terjadi dimasa mendatang.

Penegakan hukum (Law Inforcement) dan nilai-nilai budaya sudah menjadi

salah satu peran penting diera globalisasi dimana dalam sejarah perkembangan

hukum dikenal lembaga notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat

merupakan seorang pejabat yang dapat di percaya. Ia adalah pembuat dokumen yang

kuat dalam suatu proses hukum yang tanda tangan serta capnya memberi jaminan dan

bukti kuat.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik

sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan kepada pejabat umum

lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum,

selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga dikehendaki oleh pihak

yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan

sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. 1

Akta Notaris lahir dengan adanya keterlibatan langsung dari pihak yang

menghadap notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan

sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik.

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang, akta yang

dibuat notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi. 2

Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional

dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan undang-

undang sekaligus menjunjung tinggi Kode Etik profesinya yaitu Kode Etik Notaris.

Berdasarkan Pasal 16 huruf a Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), seorang

notaris diharapkan dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Disamping itu

notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan hukum sehingga

dalam memberikan jasanya kepada masyarakat dalam membantu mengatasi dan

memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang dapat memberikan jalan keluar

yang dibenarkan oleh hukum.

Peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan


analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang
muncul merupakan sikap yang harus dimiliki notaris sehingga akan menumbuhkan

1
Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
2
Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara (Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari),
Milenia Populer, Jakarta, 2001, hal 85.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
keberanian dalam mengambil sikap yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah
untuk menolak membuat akta apabila bertentangan dengan hukum, moral dan etika. 3

Kepercayaan masyarakat terhadap notaris adalah salah satu bentuk wujud

nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam

melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang

ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya.

Akta yang dibuat notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan

agar tercapai sifat otentik dari akta itu misalnya mencantumkan identitas para pihak,

membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta, dan

sebagainya. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat

dibatalkan atau batal demi hukum.

Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum

penandatanganan dilakukan terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap dan

saksi-saksi yang dilakukan oleh notaris yang membuat akta tersebut. Berdasarkan

Pasal 16 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris wajib

membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua

orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan

notaris.

Tujuan pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari

akta tersebut sebab isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak. Pembacaan akta

ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat

3
Wawan Setiawan, Media Notariat, Edisi Mei – Juni 2004, hal 25.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
keterangan atau redaksi akta yang memberatkan atau merugikan terhadap pihak yang

lain.

Dalam prakteknya sering terjadi notaris dilibatkan jika terjadi perkara antara

para pihak, padahal sengketa yang terjadi bukanlah antara para pihak degan notaris

mengingat notaris bukan pihak dalam akta yang dibuatnya, namun notaris sering

harus keluar masuk gedung pengadilan untuk mempertanggungjawabkan aktanya

maupun sebagai saksi.

Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap

akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung

sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan

notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya

dan para pihak memberikan keterangan yang tidak benar ataukah adanya kesepakatan

yang dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Apabila akta

yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris

baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu

harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan

tentunya hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.

Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu suatu jabatan yang

dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk

pada UUJN dan Kode Etik Notaris. Dengan demikian diharapkan agar notaris dalam

menjalankan jabatannya mempunyai integritas moral dengan memperhatikan nilai

agama, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Oleh karena itu seorang notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang

mengandung cacat hukum dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup

kemungkinan bahwa diluar sepengetahuan notaris para pihak/penghadap yang

meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar

dan menyerahkan surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar sehingga setelah

semuanya dituang kedalam akta lahirlah sebuah akta yang mengandung keterangan

palsu.

Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus
dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh
mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu
tindak pidana pemalsuan. 4

Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan menyebabkan notaris harus

keluar masuk gedung pengadilan untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah

dibuatnya, mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat

akta otentik dan akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para pihak

menjadi dokumen negara.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas notaris dalam mempertanggungjawab

kan akta yang telah diterbitkannya harus terlebih dahulu mendapat izin/

persetujuan dari Majelis Pengawas untuk dapat diperiksa atau diproses oleh Aparat

Hukum. Bagaimana pertanggungjawaban seorang notaris dan bagaimana sanksi

hukum yang dapat dilakukan terhadap penghadap serta bagaimana akibat

4
Adamichazawi, Kejahatan terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 hal
114.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
hukumnya terhadap akta yang mengandung keterangan palsu, hal inilah yang perlu

diteliti lebih lanjut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok

permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung

keterangan palsu

2. Bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan

keterangan palsu dalam akta otentik.

3. Bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan

palsu.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang

mengandung keterangan palsu.

2. Untuk mengetahui sanksi apa yang diberikan kepada penghadap yang

memberikan keterangan palsu dalam sebuah akta otentik.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari suatu akta otentik yang mengandung

keterangan palsu.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, yakni :

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan

ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai

bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal pertanggung

jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat

khususnya bagi para calon notaris dalam hal mengetahui secara jelas tentang

pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan

palsu.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas

Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang

Mengandung Keterangan Palsu” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,

dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan

adalah :

1. Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Semu (Schijn Handeling) Dalam Praktek

Dengan Akta Notaris (Studi Kasus di Kota Medan), oleh Syafnil Gani.

2. Aspek Hukum Pidana Dalam Kasus Penggunaan Ijazah Palsu Pada Pencalonan

Anggota Legislatif, oleh Tarima Saragi, yang menitik beratkan permasalahan

dalam penelitiannya adalah bagaimana aspek hukum pidana dalam kasus

penggunaan ijazah palsu dan bagaimana penegakkan hukum oleh penegak hukum

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
dalam kasus tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana partai politik

dalam kasus tersebut.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibutuhkan

alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan

hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Notaris merupakan jabatan

tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu

mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

Pengertian notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik

dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Kewenangan lainnya dari seorang notaris dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat 1

Undang-undang Jabatan Notaris yaitu :

(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang”.

Notaris disebut sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan

diberhentikan oleh pemerintah, notaris menjalankan tugas negara, minuta akta yang

dibuat notaris setelah ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris adalah

merupakan dokumen negara.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Berdasarkan pengertian notaris tersebut diatas maka R. Soegondo Notodisoerjo

mengemukakan :

“Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai


kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia
seorang yang ahli dalam bidang hukum tidak berwenang untuk membuat akta
otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya
seorang pegawai catatan sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat
akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu,umpamanya untuk membuat akta kelahiran
atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan
sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”.5

Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh

Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa

untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”.

Pasal 1 Angka 7 UUJN menyatakan :

“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”

R. Subekti, mengemukakan :

Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang
ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap
sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan
suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu
penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan
sempurna”. 6

5
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (suatu penjelasan) Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal 43.
6
R. Subekti (I), Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal 27.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Syarat-syarat pembatalan dalam akta dapat diketahui dengan adanya syarat-

syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yakni : 7

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena mengenai subjek
perjanjian sedangkan kedua syarat yang terakhir dinamakan syarat ojektif karena
mengenai objek perjanjian. Apabila syarat yang pertama dan kedua tidak terpenuhi
maka perbuatan hukum itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan apabila syarat
ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu batal demi hukum
(van rechtswege nietig).

Satochid Kartanegara, mengemukakan :

“Hukum pidana adalah hukum publik yakni yang mengatur hubungan antara

individu dengan masyarakat atau dengan negara”. 8

Moeljatno (1975:35) mengemukakan :

“Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

pelanggarnya” 9

Tindak pidana pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya

mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek) yang

sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya

bertentangan dengan yang sebenarnya. 10

Drs. P.A.F Lamintang, SH mengemukakan :

7
Mariam Darus Badrul Zaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hal 73.
8
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Kumpulan Kuliah), Bagian Satu, Balai Lektur
Mahasiswa , hal 3.
9
Nico, Op. Cit. hal 142.
10
Adamichazawi. Op. Cit. hal 2-3.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
“Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan

keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat

untuk dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang

berwenang untuk membuat akta otentik tersebut”. 11

Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP diatur dalam Buku II Bab XII,

Pasal 263 sampai dengan pasal 275.

Ketentuan pasal 263 KUHP menyatakan :

(1) Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan
daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat
mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya enama tahun.

(2) Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian.

Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan :

(1) Barangsiapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu


hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh
orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan
kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika
penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.

(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran,
jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.

11
P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan-kejahatan membahayakan kepercayaan
umum terhadap surat-surat,alat-alat pembayaran, alat-alat bukti dan peradilan), Mandar Maju,
Bandung, 1991, hal 83.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
2. Landasan Konsepsional

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang

dipergunakan dalam penelitian ini, maka konsep yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Pengertian Notaris

Lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai didaerah Italia, dari Italia

berkembang ke Perancis, Belanda dan Indonesia. Lembaga notariat mulai masuk ke

Indonesia pada permulaan abad ke 17 dan pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu

beberapa bulan setelah Jakarta dijadikan ibu kota. Notaris di Indonesia diangkat

untuk pertama kali adalah Melchior Kerchem. Dalam akta pengangkatan tersebut

sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan

dan wewenangnya yakni untuk menjalankan tugas jabatannya untuk kepentingan

publik dan kepadanya diwajibkan untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang

dibuatnya. Dalam tahun 1860 Pemerintah Belanda menganggap telah tiba waktunya

untuk menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia

dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya sebagai pengganti dari

peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (notaris reglement)

pada tanggal 26 Januari 1860 (STB. No. 3) yang berlaku tanggal 1 Juli 1860 12 .

Akan tetapi Peraturan Jabatan Notaris telah diganti dengan sebuah Undang-

undang yang mengatur tentang pekerjaan dan jabatan notaris yaitu Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-undang Jabatan Notaris,

yang telah ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 6

12
GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga 1983 hal 3-4

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Oktober 2004. Setelah berlakunya Undang-undang ini maka Reglement op Het

Notaris Ambt in indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) yang dikenal dengan Peraturan

Jabatan Notaris sebagaimana yang telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara

1945 Nomor 101 dinyatakan tidak berlaku lagi .

Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Undang-undang

Jabatan Notaris (UUJN) menyebutkan : Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini.

Dalam Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris

menyebutkan 13 :

” Pengertian notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akte otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang.”

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa :

1) Notaris adalah pejabat umum.


2) Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta
otentik.
3) Akta-akta yang berkaitan dengan pembuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik.
4) Adanya kewajiban dari notaris untuk menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipan- kutipannya.
5) Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan oleh
suatu peraturan umum kepada pejabat atau orang lain.

13
Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-undang Jabatan Notaris, Medan,
2007, hal 294.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh

kekuasaaan umum (pemerintah), dan diberikan wewenang/kewajiban untuk melayani

publik dalam hal-hal tertentu. Jabatan notaris adalah jabatan umum sebab notaris

diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, notaris menjalankan tugas negara dan

akta yang dibuat oleh notaris atau disebut dengan minuta adalah merupakan dokumen

negara. 14

Jadi pengertian pejabat umum yang diemban oleh notaris bukan berarti notaris

adalah pegawai negeri yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang

tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh pemerintah, seperti

yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok

kepegawaian.

Setelah notaris diangkat dan sebelum menjalankan jabatannya sebagai pejabat

umum wajib mengucapkan sumpah/atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri

atau pejabat yang ditunjuk, demikian juga pemberhentian notaris dilakukan oleh

menteri.

Adapun syarat-syarat untuk diangkat menjadi notaris dalam pasal 3 Undang-

undang Jabatan Notaris menyebutkan :

1) Warga negara Indonesia


2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3) Berumur serendah-rendahnya 27 (dua puluh tujuh) tahun.
4) Sehat jasmani dan rohani
5) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan
6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris
dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa
sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua
kenotariatan; dan

14
Ibid, hal 296.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.

Setelah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi notaris maka notaris

tersebut berkewajiban mengucapkan sumpah/janji sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 5 Undang-undang jabatan notaris yakni mengucap sumpah/janji jabatan notaris

dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan

pengangkatan sebagai Notaris.

Apabila pelaksanaan pengangkatan notaris telah selesai dilakukan maka

notaris juga tidak terlepas dari kode etik jabatannya yaitu Kode Etik Notaris. ”Kode

Etik Notaris adalah suatu sikap seorang notaris yang merupakan suatu kepribadian

yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan

dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan.” 15

Khusus untuk kalangan profesi Ikatan Notaris Indonesia (INI), telah

ditetapkan Kode Etik Notaris yang diputuskan dalam kongres INI ke XIII di Bandung

pada Tahun 1987.

Dalam penjelasan Kode Etik Notaris disebutkan seorang notaris harus

memiliki perilaku profesional (profesional behaviour) antara lain : 16

1) Perilaku profesional harus menunjukkan pada keahlian yang didukung oleh


pengetahuan dan pengalaman tinggi.
2) Dalam melakukan tugas profesionalnya harus mempunyai integritas moral, dalam
arti segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas-tugas
profesionalnya.

15
Rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di
Surabaya.
16
Himpunan Etika Profesi Berbagai Kode etik Asosiasi di Indonesia, Pustaka Yustisia
Yogyakarta, 2006, hal 124.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
3) Harus jujur, tidak saja kepada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada
dirinya sendiri.
4) Sekalipun keahlian profesi notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk
mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugasnya ia tidak boleh didorong
oleh pertimbangan uang.
5) Ia harus memegang teguh etik profesi. Sebab sangat erat hubungannya dengan
pelaksanaan hukum dan harus berbahasa Indonesia yang sempurna sesuai dengan
perkembangan Bahasa Indonesia dan Nasional.”

Perilaku profesional yang harus dimiliki oleh notaris maksudnya adalah dalam

melakukan tugas profesionalnya harus diselaraskan dengan nilai-nilai

kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun, dan agama yang berlaku. Misalnya apabila

seseorang mengharapkan bantuannya dan orang itu tidak dapat mambayar karena

tidak mampu, demi profesionalnya ia harus memberikan jasanya semaksimal

mungkin dengan cuma-cuma. Dan notaris tersebut tidak boleh bersikap diskriminatif,

yakni membedakan antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu.

Memegang teguh kode etik profesi sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan

tugas profesi dengan baik, karena dalam kode etik profesi itulah ditentukan segala

perilaku yang harus dimiliki oleh seorang notaris. Notaris didalam dan diluar

jabatannya bertata kehidupan yang baik dan menyesuiakan diri dengan norma-norma

kebiasaan yang baik di tempat dimana ia bertugas.

Pasal 15 Undang-undang No. 30 tahun 2004 menyebutkan bahwa

kewenangan notaris adalah sebagai berikut :

1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan dan


ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grose, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
2) Notaris berwenang pula :
a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus.
c) Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan.
d) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya.
e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g) Membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya, Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan

jabatannya di dalam daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam UU Jabatan

Notaris dan di dalam daerah hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila

ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah.

Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai

berikut : 17

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya


2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

17
Nico, Tanggung Jawab Notaris selaku Pejabat Umum, Center For Documentation and
Studies of Business Law (CDBSL), Yogyakarta, 2003, hal 40.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
b. Pengertian Akta Notaris

“Akta 18 adalah tulisan yang ditandatangani dan dipersiapkan /dibuat untuk

dipergunakan sebagai alat bukti bagi kepentingan orang untuk siapa akta itu

diperbuat.” Ketentuan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

menyebutkan bahwa :

“ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan

oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.

Akta otentik yang dibahas dalam penelitian ini adalah akta otentik yang dibuat

oleh notaris. Apabila ditinjau menurut defenisinya, ada 3 unsur yang terkandung

dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu :

1. Dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undang-undang 19 .

Mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta

otentik maka dalam hal pembuatan akta otentik harus memenuhi syarat/ketentuan

yang tercantum dalam pasal 38 undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mengenai

bentuk dan sifat akta disebutkan :

a) Setiap akta notaris terdiri atas :


(a) Awal akta atau kepala akta
(b) Badan akta, dan
(c) Akhir atau penutup akta
b) Awal akta atau kepala akta memuat :
(a) Judul akta
(b) Nomor akta
(c) Jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan
(d) Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris

18
M.U. Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notaris, Fakultas
Hukum USU, Medan, 1997, hal 4.
19
GHS. Lumban Tobing, Op. Cit hal 48

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
c) Badan akta memuat :
(a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan , kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang
mereka wakili.
(b) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap.
(c) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan, dan
(d) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
d) Akhir atau penutup akta memuat :
(a) Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16
ayat (1) huruf I atau pasal 16 ayat (7)
(b) Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemah akta apabila ada.
(c) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal tiap-tiap aksi akta,dan
(d) Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta
atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,
pencoretan atau penggantian.

Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabata umum terikat dengan

semua ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Jabatan Notaris dan Kode Etik

Notaris sendiri. Adapun yang menjadi tugas pokok dari notaris adalah membuat akta

otentik dan di dalam pembuatan akta tersebut, notaris harus mampu menguasai

ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan formalitas dari akta notaris

itu, dengan tujuan agar akta otentik yang dibuat oleh notaris tetap mempunyai

otentisitasnya.

Dengan adanya otentisitas akta tersebut akan secara otomatis akan

memberikan perlindungan kepada notaris, pihak yang bersangkutan, dan termasuk

juga pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Perlindungan hukum terhadap diri

notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya sangat penting karena itu notaris

harus menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatannya.

Dengan notaris menguasai peraturan perundang-undangan maka akta notaris yang

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
dibuat akan terhindar dari kecacatan hukum, yang dapat menimbulkan akta tersebut

batal demi hukum atau akta tersebut dapat dibatalkan.

Di dalam pembuatan suatu akta notaris, notaris harus mengetahui terlebih

dahulu bentuk formal akta yang dibuatnya sehingga mempunyai kekuatan

pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat bukti yang sempurna dan jika

notaris tidak mengetahui bentuk formal akta maka akta yang dibuatnya hanya

mempunyai kekuatan seperti akta dibawah tangan saja.

Bentuk akta notaris diatur di ABM pasal 29 1921 yaitu dibuat dalam bentuk minuta

yang ditulis diatas kertas ukuran A3, tiap halaman terdiri dari maksimum 30 (tiga

puluh) baris, tiap baris maksimum terdiri dari 15 (lima belas) suku kata, sepertiga di

sebelah kiri dari halaman akta notaris tampak kosong dan dipergunakan untuk

mengisi renvooi apabila terjadi perubahan / penambahan pada suatu akta. 20

Pengertian bentuk yang dimaksud dari akta otentik ialah syarat-syarat yuridis

yang harus dipenuhi seperti hari dan tanggal akta yang diperbuat, nama dan tempat

tinggal para penghadap, nama notaris yang membuat akta dan saksi-saksi yang

menyaksikan pembuatan akta tersebut. Sedangkan pengertian dari akta dibawah

tangan diuraikan dalam Pasal 1874 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

yaitu : sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan diangap akta-akta yang ditandatangani

dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lain

tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

20
Sutrisno, Op.Cit, hal 157.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Dengan memenuhi bentuk formal akta tersebut maka akta yang dibuat akan

mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat bukti yang

sempurna.

2. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang 21

Dalam hal akta notaris yang berhak membuat akta otentik adalah notaris, sebab

notaris telah ditunjuk sebagai satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat

semua akta otentik kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

Akta notaris dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :

a) Akta yang dibuat oleh (door een) notaris atau akta yang dinamakan ”akta

relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini diantaranya akta

berita acara rapat pemegang saham Perseroan Terbatas (PT), akta pendaftaran

atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.

Akta relaas dibuat oleh notaris yang menguraikan secara otentik suatu

keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri, dibuat catatannya

(aktanya, didalam menjalankan tugas jabatannya selaku notaris).

b) Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) notaris atau yang

dinamakan akta partij (partij aktan). Akta jenis ini diantaranya jual beli, akta

sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan

sebagainya.

Akta partij dibuat para pihak dihadapan pejabat umum, pembuatan akta

otentik tersebut sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan

21
GHS. Lumban Tobing, Op. Cit hal.50

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan

keterangan/kehendak para pihak itu sendiri.

3. Dibuat dalam wilayah kerja notaris yang bersangkutan 22

Walaupun seorang notaris berhak membuat akta otentik, akan tetapi apabila

pembuatan akta tersebut tidak dilakukan didaerah jabatannya maka aktanya tidak

otentik, sebab tidak memenuhi syarat pasal 1868 KUHPer maka akta tersebut

batal demi hukum. Akan tetapi ada pengecualian bahwa seorang notaris boleh

membuat akta diluar daerah jabatannya apabila jasanya sangat diperlukan

ditempat tersebut (dalam keadaan darurat).

Berdasarkan sifat suatu akta maka akta terdiri atas akta otentik dan akta

dibawah tangan. Kedua akta ini merupakan salah satu alat bukti yang dikenal dalam

Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1868 memberikan

pengertian dari akta otentik, bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk

yang ditentukan oleh Undang-undang, diperbuat oleh atau dihadapan pegawai-

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pegawai-

pegawai umum disini maksudnya adalah notaris, pegawai-pegawai umum selain

notaris yang berhak membuat akta otentik adalah pejabat lain yang ditunjuk oleh

Undang-Undang.

Dari pengertian akta diatas maka dapat dibedakan antara akta otentik dengan

akta dibawah tangan, yaitu : akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna

tentang apa yang dimuat didalamnya, berarti bukti yang sempurna mengenai

kepastian tanggal, kepastian penandatanganan dan kepastian isi akta yang

22
Ibid, hal 52

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
dikehendaki para pihak. Sedangkan akta dibawah tangan dapat dilihat dari bunyi

Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan barang siapa

yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan dibawah tangan, diwajibkan secara tegas

mengakui atau memungkiri tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau

orang yang mendapat hak daripadanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak

mengakui tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Apabila timbul suatu

masalah tentang suatu perjanjian antara para pihak yang memerlukan pembuktian,

meskipun secara fisik perjanjian dimaksud ada, akan tetapi perjanjian dibuat dibawah

tangan, maka masih diperlukan pembuktian lebih lanjut dengan pembuktian atau

pemungkiran secara tegas oleh para pihak. Yang lebih menambah kesulitan akibat

dari perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah bahwa pemungkiran dari para ahli

waris ataupun yang mendapat hak dari salah satu pihak cukup dilakukan dengan

sebuah keterangan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan yang

mereka wakili. 23

c. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Pembuktian merupakan titik sentral dari keseluruhan proses pemeriksaaan

perkara di sidang pengadilan, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Dari

sinilah akan ditarik kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam

menilai perkara yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu hakim tidak boleh

menjatuhkan putusan tanpa terlebih dahulu dilakukan pembuktian. Pembuktian sangat

penting atas dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan atau tuntutan baik dalam perkara

perdata maupun pidana.

23
Ibid, hal 54.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang

ditemukan dalam persengketaan yang diajukan kepengadilan, atau memperkuat

kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. 24

Pengertian pembuktian tebagi atas beberapa bagian yaitu : 25

1). Pembuktian Dalam Arti Logis


Dalam arti logis membuktikan berarti memberikan kepastian yang bersifat mutlak
berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian yang demikian berlaku dilapangan ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada aksioma, yaitu suatu dalil atau ketentuan yang sudah nyata dan
tidak dapat dibantah kebenarannya.
2). Pembuktian Dalam Arti Konvensional
Mambuktikan dalam arti konvensional berarti juga memberikan kepastian, hanya
saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya dan
mempunyai tingkatan-tingkatan, yaitu kepastian yang didasarkan atas perasaan
belaka (conviction intime) dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal
(conviction raisonee)
3). Pembuktian Dalam Arti Yuridis
Membuktikan dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan, guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian adalah meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam sidang perkara
pengadilan.

Didalam proses pembuktian, hakim menggunakan sarana atau alat untuk

memastikan kebenaran suatu peristiwa sehingga hakim dapat mengkonstatir

peristiwa, artinya hakim menganggap bahwa suatu peristiwa yang disampaikan

kepadanya diakui sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi diantara para

pihak yang bersengketa.

Tulisan-tulisan otentik maupun tulisan-tulisan dibawah tangan merupakan

suatu hal pembuktian dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Didalam Pasal 1870 dan

24
R. Subekti (I) Op. Cit, hal 1.
25
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni Bandung, 2004, hal
12

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
1871 KUH Perdata dikemukakan bahwa akta otentik adalah sebagai alat pembuktian

yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang

mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik

merupakan bukti yang mengikat berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam

akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama

kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dan ia

merupakan suatu bukti yang sempurna berarti bahwa ia sudah tidak memerlukan

suatu penambahan pembuktian. Jadi akta otentik dapat merupakan suatu alat bukti

yang mengikat dan sempurna. 26

Kekuatan Pembuktian akta otentik, demikian juga akta notaris, adalah akibat

langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa ada

akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh

undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian

tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan

pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka. 27

Pada setiap akta otentik termasuk akta notaris, dibedakan 3 (tiga) kekuatan

pembuktian, yakni : 28

a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskract)

Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk

membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini berdasarkan Pasal

26
R. Subekti (I) Op. Cit, hal 27.
27
G.H.S. Lumban Tobing. Op. Cit, hal 56.
28
Ibid, hal 55-64.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
1875 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan tidak dapat diberikan kepada

akta yang dibuat dibawah tangan.

Pasal tersebut menyatakan bahwa :

”Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu
hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai
diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya. Serta para
ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang
sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal
1871 untuk tulisan itu”.

Pasal 1871 kitab undang-undang hukum perdata menyebutkan :

”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa
yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selain sekedar apa yang
dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang
termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka maka tidak ada hubungan langsung
dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan
pembuktian dengan tulisan.”

Lain halnya dengan akta otentik, akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya,

atau biasa disebut dalam bahasa latin ”acta publica probant sese ipsa”, yaitu suatu

akta kelihatannya sebagai akta otentik maka akta itu dianggap sebagai akta otentik

sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak otentik.

b. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht)

Kekuatan pembuktian formal adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta

tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh

pihak-pihak yang menghadap. Dengan pembuktian formal ini suatu akta otentik

selain hanya membuktikan bahwa pejabat atau notaris telah menyatakan dengan

tulisan dalam akta yang dibuatnya, juga menegaskan bahwa segala kebenaran

yang diuraikan dalam akta itu seperti yang dilakukan dan disaksikan oleh notaris.

Berkaitan dengan ini, arti formal dalam akta pejabat dijelaskan bahwa selain akta

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
ini membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu dilihat, didengar dan

dilakukan oleh notaris juga menjamin kebenaran tentang tanggal, tanda tangan

dan identitas dari para pihak yang hadir serta tempat dibuatnya akta itu. Adapun

arti formal dalam akta para pihak, dapat dijelaskan adanya keterangan dalam akta

itu merupakan uraian yang telah diterangkan oleh para pihak yang hadir

sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya dapat

dipastikan antara para pihak tersebut. Baik terhadap akta pejabat umum maupun

akta para pihak sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku

terhadap setiap orang.

c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Kekuatan pembuktian material adalah kepastian bahwa apa yang disebut dalam

akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat

akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada

pembuktian sebaliknya (tegen bewijs).

Tentang pembuktian material, G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan pendapatnya

bahwa :

”Akta notaris mengenai jual beli misalnya, tidak hanya menerangkan bahwa para
pihak telah melakukan jual beli dihadapan notaris, akan tetapi juga membuktikan
bahwa para pihak telah mencapai persetujuan mengenai perjanjian yang dimuat
dalam akta itu, sehingga akta itu juga adalah untuk membuktikan tentang harga
penjualan dan pembelian dan kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak
mengenai itu.”

Pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

adalah pasal-pasal yang merupakan kekuatan pembuktian material, yakni bahwa akta

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
tersebut benar-benar telah terjadi. Artinya secara material isi dalam akta tersebut

adalah benar.

d. Pengawasan Terhadap Notaris

Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat

akta otentik diawasi oleh yang berwajib, dengan tujuan agar Peraturan jabatan Notaris

dan Kode Etik Notaris dapat dilaksanakan dengan baik dan notaris dalam

menjalankan tugasnya selalu memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan

yang ditetapkan oleh Undang-Undang demi terjaminnya kepastian hukum bagi pihak-

phak yang membuat perjanjian. Pengawasan yang dilakukan terhadap notaris sangat

beralasan karena notaris merupakan pejabat yang memberikan jasanya kepada

masyarakat dan memberikan penjelasan msengenai peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan Undang-Undang

lainnya memberikan kepercayaan kepada notaris untuk menjalankan tugasnya.

Kepercayaan yang sudah diberikan kepada notaris merupakan tanggung jawab yang

harus diemban berdasarkan nilai-nilai agama, moral, kesusilaan, etika dan hukum.

Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat

akta otentik diawasi oleh yang berwajib berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang

Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dalam hal pengawasan notaris, disebutkan

bahwa : pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri, dimana dalam

melaksanakan pengawasan tersebut menteri membentuk Majelis Pengawas, yang

terdiri atas 3 (tiga) Majelis Pengawasan terdiri dari unsur Departemen, Organisasi

Profesi Notaris dan Para Ahli/Akademisi. Majelis Pengawas ini juga terdiri dari :

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Majelis Pengawasan Pusat, Majelis Pengawasan Daerah dan Majelis Pengawasan

Wilayah. Pengawasan terhadap notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan

jabatan notaris.

Hamid Awaluddin 29 menegaskan bahwa pembentukan Majelis Pengawas

merupakan amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

khususnya Pasal 67, yang menyatakan bahwa menteri berwenang melakukan

pengawasan terhadap notaris dan dalam melakukan pengawasan tersebut, menteri

membentuk Majelis Pengawas. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pembinaan dan pengawasan notaris merupakan

wewenang Menteri Hukum dan HAM dengan Majelis Pengawasan.

Substansi pengawasan terhadap notaris tidak hanya dalam pelaksanaan

jabatan notaris, akan tetapi perilaku notaris juga harus diawasi Majelis Pengawas,

misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama,

norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan

martabat notaris. Apabila notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat

dijadikan dasar untuk memberhentikan notaris dari jabatannya oleh Menteri

berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat). 30

Sehubungan dengan hal tersebut diatas bahwa pengambilan keputusan oleh

Majelis Pengawas untuk menjatuhkan sanksi kepda Notaris yang melakukan

29
Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu, 2004-2009.
30
Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal 36.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik

Organisasi Notaris, dilakukan atas adanya pengaduan masyarakat yang dirugikan. 31

Adapun tujuan dari pengawasan terhadap Notaris adalah supaya Notaris

memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya tidak hanya oleh hukum

dan undang-undang, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh

klien terhadap Notaris. Sifatnya dari jabatan Notaris maupun keluhuran dari martabat

jabatannya mengharuskan adanya tanggung jawab dan kepribadian serta etika hukum

yang tinggi, karena jabatan yang diamanatkan kepada Notaris adalah suatu jabatan

kepercayaan. Oleh sebab itu, seseorang yang telah bersedia untuk mempercayakan

sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggung

jawab yang besar bagi Notaris. Notaris yang tidak bertangung jawab dan tidak

menjunjung tinggi hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya,

tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya. 32

Mengingat kewenangan Notaris begitu luas dan sangat berpengaruh dalam

lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam

menjalankan jabatan profesinya rentan terhadap penyalahgunaan yang mungkin dapat

menimbulkan kerugian masyarakat, berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf a

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengamanatkan

agar dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama,

31
Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Jabatan Notaris, dilengkapi
Putusan Mahkamah Konstitusi dan AD, ART, dan Kode etik Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006.
32
Nico, Op.Cit, hal 58.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan

hukum. 33

e. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana

1) Hukum Pidana

Di setiap negara terdapat hukum yang mengatur mengenai negara,

pemerintahan dan masyarakat. Hukum yang dimaksud terbagi atas hukum tidak

tertulis dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis juga disebut hukum kebiasaan, yaitu

merupakan ketentuan-ketentuan yang lazim dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini

termasuk sebagaian besar hukum adat di Indonesia. Sedangkan hukum tertulis

merupakan hukum yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang melanggarnya dan harus

di taati oleh seluruh warga negara Indonesia, misalnya hukum publik, hukum perdata,

hukum pidana, hukum administrasi. 34

Istilah ”hukuman” adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena

melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma disiplin,

ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata diberi

ganjaran hukum perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran

hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana adalah hukuman

pidana. Sedangkan kata ”pidana” adalah derita, nestapa, pendidikan, penyeimbangan.

33
Yusril Ihza Mahendra, Makalah Tentang Penggunaan Terminologi Pejabat Umum Dalam
Tata Hukum Indonesia, Disampaikan pada Panel Diskusi dalam Rangka Pelaksanaan Kongres ke XIX
dan Up Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta 25 Januari 2006.
34
E.Y. Kanter dan S.R, Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta, Storia Grafika, 2002, hal 9.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Jadi, hukuman pidana berarti hukuman sebagai akibat dari dilanggarnya suatu norma

hukum pidana. 35

Pengertian hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku

di suatu negara, yang membedakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang


dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang
melanggarnya ;
b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yanmg telah melakukan
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan ;
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. 36

Pompe memberikan pendapatnya mengenai batasan hukum pidana, terjemahan

bebasnya adalah sebagai berikut :

”Hukum Pidana itu merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang


menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan
dimana pidana itu sebenarnya menjelma”. 37

Dari batasan hukum pidana tersebut diatas, hukum pidana adalah :

1). Perbuatan-perbuatan yang diancam pidana atau syarat-syarat yang harus dipenuhi,

sehinga pengadilan menjatuhkan pidana ;

2). Hukum Pidana menetapkan dan mengumumkan reaksi yang akan diterima oleh

orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. 38

Dalam hukum pidana dikenal asas legalitas yaitu suatu asas yang paling

penting dalam hukum pidana. Asas legalitas ini dikenal dengan adagium ”nullum

35
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Op. Cit hal 12.
36
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta,
PT. Pradnya Paramita, 1995, hal 1.
37
Ibid.
38
Ibid. hal 5.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
delictum noela poena praevia sine lege poenali” yang artinya tidak ada pidana tanpa

undang-undang. Jadi undang-undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan

pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya. 39

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari tiga buku, Buku I

berisi aturan umum hukum pidana, Buku II mengenai tindak pidana kejahatan dan

Buku III mengenai tindak pidana pelanggaran. Pembedaan dan pengelompokan

tindak pidana menjadi kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)

didasarkan pada pemikiran bahwa : 40

a) Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang


pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum), yang
karenanya pada pembuatnya patut dijatuhi pidana walapun kadang-kadang
perbuatan itu tidak dinyatakan dalam undang-undang.
b) Disamping itu ada perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang dan
kepada pembuatnya diancam dengan pidana setelah perbuatan itu dinyatakan
dalam undang-undang.

2) Tindak Pidana

Tindak pidana / perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman / sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi pelakunya. 41

Adapun unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut: 42

a) Perbuatan (manusia)

Yang dimaksud dengan perbuatan manusia dalam unsur-unsur tindak pidana

adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh pelaku

39
Kamoriah Enong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni Bandung, 2002, hal 6.
40
Adamichazawi, Op.Cit hal 1
41
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit hal 15.
42
Nico. Op. Cit, hal 143-147

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
b) Yang Memenuhi rumusan dalam Undang-undang (Syarat formil)

Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana, suatu perbuatan harus memenuhi

rumusan dalam undang-undang, hal ini sesuai dengan ketentuan asas legalitas

yakni bahwa tidak ada perbuatan yang tidak dilarang dan diancam dengan pidana,

apabila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan.

c) Bersifat melawan hukum (syarat materil)

Menurut Moeljatno (1983:21):

Disamping memenuhi syarat-syarat formil, maka perbuatan harus benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut

dilakukan sebab bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam

pergaulan masyarakat yang dicita-citakan yakni masyarakat yang bahagia, adil

dan sejahtera

Tindak pidana pemalsuan surat di dalam KUHP pada Buku II Bab XII tidak

dapat dilepaskan dari pengaturan tindak pidana pemalsuan yang diatur dalam code

penal di Perancis yang memberi pengertian pada kata ”Faux’ atau ”Pemalsuan”

obyeknya hanyalah ”ecretures” atau tulisan-tulisan saja. 43

Menurut hukum Romawi yang dipandang sebagai ” de eigenlike falsum” atau

sebagai tindak pidana pemalsuan yang sebenarnya adalah pemalsuan surat-surat

berharga dan pemalsuan mata uang kemudian ditambah dengan sejumlah tindak

pidana yang sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai pemalsuan, sehingga doktrin

menyebutkan Quasi Falsum atau pemalsuan yang sifatnya semu. 44

43
P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hal 1.
44
Ibid

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Setelah Pembentuk Code Penal Perancis menyatakan mengenai ”Faux”

dengan tindak pidana yang lalu yang disebut ”les crimes et delicts contre la paix

publique” atau ” kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap

kepercayaan umum”, dunia ilmu pengetahuan di Jerman berusaha untuk memperoleh

kejelasan masalah ini dan menjadi perdebatan panjang, kenyatan ini membuat

pembentuk Wetboek van Strafrecht mendapat kesulitan ketika pembentuk ketentuan-

ketentuan pidana yang melarang pemalsuan-pemalsuan khususnya mengenai

pemalsuan-pemalsuan tulisan. 45

Doktrin membedakan pemalsuan-pemalsuan suatu tulisan yaitu : 46

a) Intellectuele Valsheid (Pemalsuan Intelektual)


Artinya suatu keterangan atau pernyataan di dalam suatu tulisan dipandang
sebagai suatu pemalsuan intelektual, jika sejak awalnya yang diterangkan atau
dinyatakan dalam tulisan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan yang
sebenarnya.

b) Materiele Valsheid (Pemalsuan Material)


Suatu benda-benda, tanda, merk, mata uang atau suatu tulisan dipandang
sebagai telah dipalsukan secara material, jika benda, tanda, merk, mata uang
atau tulisan yang semuanya asli telah diubah sedemikian rupa, sehingga
mempunyai sifat lain dari sifatnya yang asli. Dengan pemalsuan secara material
itu, isi dari benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan tersebut juga telah
menjadi dipalsukan atau membuat seolah-olah asli, padahal kenyataannya tidak
demikian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dapat menjadi obyek pemalsuan

intelektual hanyalah tulisan-tulisan atau surat-surat yang tetap dalam keadaan asli dan

tidak dirubah, tetapi keterangan atau kenyataan yang terdapat di dalam tulisan atau

surat tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

45
Ibid
46
Ibid, hal 26

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 266

ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa tindak

pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu didalam akta otentik adalah

merupakan tindak pidana pemalsuan.

Yang dimaksud dengan keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai

dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal atau kejadian yaitu

kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu. 47

Ketentuan Pasal 263 KUHP menyebutkan :

(1). Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan suatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan
daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat
mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya enam tahun.

(2). Di pidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, kalu pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian.
Dalam pasal ini ada 2 (dua) macam pemalsuan surat atau akta yaitu :
a. Membuat surat palsu yaitu perbuatan membuat surat yang isinya tidak
benar, namun suratnya sendiri asli atau sering disebut aspal (asli tapi
palsu) karena tidak ada sesuatu yang dirubah, ditambah atau dikurangi.
b. Memalsukan surat yaitu perbuatan merubah, menambah, mengurangi atau
menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya
sudah ada tetapi terhadap surat itu kemudian dilakukan perubahan
sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya. 48

Ketentuan Pasal 266 KUHP menyebutkan :

(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta


otentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh
akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan sebenarnya,

47
Ibid, hal 83.
48
Adamichazawi, Op.Cit. hal 118.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian,
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja
menggunakan akta itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya
jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa akta otentik itu dibuat oleh pejabat

umum yang menurut Undang-undang berwenang untuk membuatnya, misalnya

seorang notaris, pegawai catatan sipil, pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Pejabat

ini dalam pembuatan suatu akta otentik adalah memenuhi permintaan orang yang

menghadap, orang yang meminta inilah yang dimaksud orang yang menyuruh

memasukkan keterangan palsu.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitan ini adalah ”usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang

dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis dan

sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan

atau menjawab problemnya. 49

Penelitian mengenai ”Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang

Mengandung Keterangan Palsu” bersifat deskriptif analisis, maksudnya adalah :

”untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap

temuan data, baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisis dengan

49
Soegeng Santosa, Dodi Radjasa Waluyo, dkk, Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing
Course Ikatan Notaris Indonesia (27-29 Januari 2005), Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005, hal
3.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
tujuan untuk memperjelas data tersebut secara kategoris, penyusunan dengan

sistematis dan selanjutnya dibahas atau dikaji secara logis”. 50

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

pendekatan yuridis normatis dan pendekatan yuridis empiris sebagai pendukung

penelitian hukum normatif.

Pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah ”merupakan penelitian hukum

doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang

ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 51

Pendekatan yuridis empiris maksudnya adalah ”penelitian yang mengkaji

korelasi antara kaidah hukum dengan lingkungan tempat itu berlaku. Korelasi ini

dapat dilihat dalam kaitan pembuatan atau penerapan hukum. 52

2. Lokasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Medan, karena Kota Medan merupakan

kota besar yang terdapat banyak kantor notaris dan tingginya pengguna jasa notaris.

Untuk memperoleh data pelengkap, maka ditentukan 4 (empat) orang Notaris

Kota Medan, 2(dua) orang dari Kantor Pengadilan Negeri Medan dan 1 (satu) orang

dari Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris, sebagai narasumber.

50
Joko. P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,
1997, hal 2.
51
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum
(Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,
Yogyakarta, 2006, hal 32.
52
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 1996, hal 13
(Bambang Waluyo I)

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan, ”yakni

dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier” 53 . Berupa dokumen dokumen maupun

peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan akta

otentik yang mengandung keterangan palsu.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum yang memiliki

kaitan dengan Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang mengandung keterangan

palsu. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau

data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tertier, yaitu baik berupa dokumen-dokumen maupun peraturan

perundang-perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan Analisis Hukum

Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu.

53
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 2
(Bambang Waluyo II)

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu “menghimpun data dengan melakukan wawancara (interview)” 54 dengan

para nara sumber secara langsung

5. Analisis Data

Dalam penelitian yang diperlukan adanya suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data

merupakan proses dimana setelah data primer dan data sekunder dikumpul, diolah

dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisa secara kualitatif dengan

mempelajari seluruh jawaban kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan

metode deduktif dan induktif, kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada. Dengan demikian analisis ini diharapkan akan dapat

menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan

akurat serta dapat dipresentasikan dalam bentuk deskriptif. 55

54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal 39.
55
Lexy Moleong , Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung, 2002, hal 103

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK

YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU

A. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Pasal 263, Pasal 264,

dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan

berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa negara

termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam

setiap melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. 56 Oleh karena

Indonesia adalah negara hukum maka orang yang merasa haknya terlanggar dalam

suatu hubungan hukum pada umumnya tidak boleh bertindak sendiri dalam membela

haknya itu, akan tetapi pembelaan tersebut harus dilakukan dengan perantaraan badan

pemerintah yakni pengadilan. 57

Notaris merupakan suatu profesi yang mempunyai tugas berat dan bersifat

altruistik, sebab ia harus menempatkan pelayanan terhadap masyarakat diatas segala-

galanya. Disamping itu notaris juga merupakan expertis, oleh karenanya rasa

tanggungjawab baik secara individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap

norma-norma hukum dan kesediaan untuk tunduk pada Kode Etik Profesi merupakan

suatu hal yang wajib, sehingga akan memperkuat norma hukum positif yang sudah

56
Marsono, Susunan Dalam Naskah Undang-Undang Dasar 1945 dengan Perubahn-
perubahannya, Ekojaya, Jakarta, 2003, hal 91.
57
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Groose Akta Dalam Pembuktian dan
Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal 12.

41

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
ada. Salah satu ketentuan yang dapat diterapkan terhadap profesi notaris adalah

penegakan hukum pidana dan dalam konteks ini hukum pidana dapat ditegakkan

apabila notaris telah melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana. 58

Notaris dalam melaksanakan jabatannya sebagai pejabat umum yang

membuat akta otentik tidak mungkin melakukan pemalsuan akta, akan tetapi pihak

yang menghadap meminta untuk dibuatkan aktanya tidak menutup kemungkinan

kalau penghadap memberikan keterangan yang tidak benar dan memberikan surat-

surat/dokumen-dokumen palsu sehingga lahirlah akta yang mengandung keterangan

palsu. Hal ini dapat dilihat pengaturannya didalam Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 263 KHUP menyatakan :

(1) Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan
daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat
mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian.

Unsur-unsur pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 ayat (1) di atas adalah: 59

1) Membuat surat palsu atau memalsukan surat, artinya membuat yang isinya
bukan semestinya (tidak benar), atau memalsukan surat dengan cara
mengubahnya sehingga isinya menjadi lain seperti aslinya, yaitu dengan cara :
a. Mengurangkan atau menambah isi akta,
b. Mengubah isi akta,

58
Nico. Op. Cit, hal 142.
59
R. Sugandi, Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Usaha Nasional,
Surabaya, 1981, hal 280.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
c. Mengubah tandatangan pada isi akta.
Unsur pertama ini adalah unsur obyektif yang artinya perbuatan dalam
membuat surat palsu dan memalsukan surat.
2) Dalam penjelasan pada pasal tersebut disebutkan, yang diancam hukuman
dalam pasal ini adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan
surat yakni :
a. Yang dapat menerbitkan sesuatu hak,
b. Yang dapat menerbitkan suatu perutangan,
c. Yang dapat membebaskan daripada hutang,
d. Yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian. Unsur Kedua ini tergolong kepada unsur obyektif.
3) Dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah
surat itu asli dan tidak dipalsukan, artinya perbuatan memalsukan surat
seolah-olah surat asli harus dengan niat menggunakannya atau menyuruh
orang lain menggunakannya. Unsur ketiga ini tergolong pada sunsur
subyektif.
4) Merugikan orang lain yang mempergunakan surat tersebut.
Unsur keempat ini tergolong pada unsur subyektif.

Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana adalah :

1) Unsur obyektif yaitu :


a. Perbuatan yaitu memakai,
b. Obyeknya yaitu surat palsu dan surat yang dipalsukan,
c. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
2) Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja.

2. Ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menyebutkan :

(1). Yang bersalah karena memalsukan surat dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 8 (delapan) tahun, kalau perbuatan itu dilakukan terhadap :
a. Surat pembuktian resmi (akta otentik)
b. Surat utang atau surat tanda utang dari suatu negara atau sebagainya atau
dari lembaga hukum
c. Sero atau surat utang atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari
suatu perhimpunan, yayasan, perseroan atau maskapai
d. Talon atau surat untung sero (deviden) atau surat bunga uang, dari salah
satu surat yang diterangkan pada huruf b dan c, atau tentang surat bukti
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat itu.
e. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
(2). Di pidana dengan pidana itu juga barangsiapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau surat yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, jika hal memakai surat itu dapat mendatangkan
kerugian.

Unsur-unsur kejahatan pada ayat (1) adalah : 60

1) Unsur-unsur obyektif yaitu :


a. Perbuatan yaitu membuat palsu dan memalsu
b. Obyeknya yaitu surat sebagaimana tercantum dalam ayat (1) huruf a
sampai dengan e.
c. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.
2) Unsur subyektif yaitu :
Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-
olah isinya benar dan tidak palsu.

Unsur-unsur kejahatan dalam ayat (2) diatas adalah :

1) Unsur-unsur obyektif yaitu :


a. Perbuatan yaitu memakai,
b. Obyeknya adalah surat-surat sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu
2) Unsur subyektif yaitu dengan sengaja

3. Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan :

(1) Barangsiapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu


hal di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh
orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan
kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika
penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.

(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran,
jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 266 ayat (1) KUHP adalah

sebagai berikut : 61

60
Ibid, hal 281.
61
P.A.F. Lamintang. Op. Cit, hal 86-92.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Ayat ke-1 mempunyai unsur-unsur :

1. Unsur Obyektif.

a. Perbuatan : menyuruh memasukkan.

Kata “menyuruh melakukan” seperti yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)

angka 1 KUHP, orang yang disuruh melakukan itu haruslah merupakan orang

yang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.

Sedangkan perbuatannya “menyuruh mencantumkan” seperti yang dimaksud

dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP itu, orang yang disuruh mencantumkan

keterangan palsu di dalam suatu akta otentik itu tidaklah perlu harus

merupakan orang yang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya menurut

hukum pidana.

Undang-undang mensyaratkan bahwa pelaku harus menyuruh mencantumkan

suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik, yang kebenarannya harus

dinyatakan oleh akta tersebut.

b. Obyeknya : keterangan palsu

c. Kedalam akta otentik

Akta otentik yang dibuat oleh notaris mempunyai fungsi untuk membuktikan

kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukan

dan mencantumkan nama masing-masing para pihak yang melakukan suatu

perbuatan hukum.

d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta itu.

e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Menurut HOGE RAAD, kerugian itu tidak perlu benar-benar telah timbul,

melainkan cukup jika terdapat memungkinkan timbulnya kerugian seperti itu.

Yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, HOGE

RAAD dalam arrestnya tanggal 14 Oktober 1940, NJ 1941 No. 42 antara lain

telah memutuskan bahwa : “Yang dimaksud dengan kerugian itu bukan hanya

kerugian material saja. Jika penggunaan surat yang berisi keterangan palsu itu

dapat menyulitkan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, maka

kepentingan umum telah dirugikan”.

2. Unsur subyektif.

Ayat ke-2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Unsur-unsur obyektif :

a. Perbuatan : memakai

b. Obyeknya akta otentik seperti tersebut pada ayat 1

c. Seolah-olah isinya benar

2. Unsur subyektinya dengan sengaja

Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung unsur-unsur :

1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana membuat tentang apa

(obyek yakni mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruh memasukkan

kedalamnya adalah berasal dari orang yang menyuruh memasukkan, bukan dari

pejabat pembuat akta otentik.

2. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta dibuatkan

akta otentik, maka dalam perkataan/unsur menyuruh memasukkan berarti orang

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
itu dalam kenyataannya memberikan keterangan tentang suatu hal, hal mana

adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu.

3. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang

disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan kepadanya itu

adalah keterangan yang tidak benar.

4. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak

benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap pembuatannya yang melahirkan akta otentik

yang isinya palsu itu dan karenanya ia tidak dapat dipidana.

Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada arti

apabila orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan

sebagian besar dari perbuatan-perbuatan seperti ini merupakan suatu perbuatan yang

didalam KUH Perdata dinamakan dengan perbuatan melawan hukum

(Onrechtmatige daad).

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”

Munir Fuady mengemukakan :

Perbuatan melawan hukum termasuk setiap berbuat sesuatu, atau tidak

berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban

hukumnya dan bertentangan dengan tata susila, dengan kepatutan, kebiasaan dan

Undang-undang, maka orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
kerugian bagi orang lain sebagi akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti

rugi. 62

Bahwa notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata

berdasarkan tuntutan adanya perbuatan melawan hukum, artinya walaupun notaris

hanya mengkonstatir keinginan dari para pihak/ penghadap bukan berarti notaris tidak

mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Misalnya apabila

notaris mencantumkan sesuatu didalam akta tidak seperti yang dikehendaki oleh para

pihak sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain atau kliennya, maka

berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata perbuatan notaris tersebut dapat dikatakan telah

melakukan perbuatan melawan hukum. Artinya adalah untuk mengembalikan

kerugian sipenderita pada keadaan semula, atau pengembalian secara nyata yang

lebih sesuai dengan pembayaran ganti kerugian dalam bentuk uang.

Apabila notaris didalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja

melakukan suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang

menghadap didalam pembuatan suatu akta, misalnya didalam akta tersebut terdapat

suatu klausula yang bertentangan dengan Undang-undang, atau Notaris

mencantumkan sesuatu didalam akta tidak seperti yang diperintahkan oleh para pihak,

maka notaris dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan jika

akibat dari perbuatannya telah menimbulkan suatu kerugian pada orang lain atau

kliennya, notaris wajib membayar ganti kerugian yang ditimbulkan tersebut.

62
Munir Fuafy, Perbuatan Melawan Hukum(Pendekatan Kontenporer) Pt. Citra Aditya
Bakti, Bandung 2002, hal 4

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Di dalam hukum pidana terdapat berbagai pendapat mengenai arti dari unsur

melawan hukum yang merupakan terjemahan dari istilah wedertrechtlijk. Mengetahui

sifat melawan hukum terdapat 2 (dua) pendirian yang berbeda yaitu menurut ajaran

hukum formil dan ajaran hukum materil. Menurut pendapat P.A.F. Lamintang

mengemukakan :

“Menurut ajaran wedertrechtlijkheid dalam arti formil suatu perbuatan dapat


dipandang sebagai bersifat wedertrechtlijk apabila perbuatan tersebut memenuhi
semua unsur yag terdapat didalam rumusan suatu delik menurut Undang-undang,
sedangkan menurut ajaran wedertrechtlijkheid dalam arti materil, apakah suatu
perbuatan itu dapat dipandang sebagai bersifat wedertrechtlijkheid atau tidak,
masalahnya bukan saja harus ditinjau dari sesuatu dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut azas-azas hukum
umum dari hukum yang tidak tertulis. 63

S.R. Sianturi lebih condong kepada pemahaman pandangan yang material. Menurut

beliau bahwa semua delik harus selalu dianggap mempunyai unsur bersifat melawan

hukum. 64

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Akta Mengandung Keterangan Palsu

Akta yang dibuat dihadapan notaris tidak terlepas dari pasal-pasal yang

mengatur tentang perjanjian itu sendiri yang terdapat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang

lainnya, yang mengatur dan mendukung suatu pembuatan perjanjian yang dituangkan

kedalam bentuk akta sehingga mempunyai sifat otentik.

Prosedur pembuatan akta tidak sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris

misalnya dalam akta tidak dicantumkan nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,

63
Nico. Op. Cit, hal 148.
64
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1996, hal 153.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap atau

orang yang mereka wakili, 65 atau misalnya tidak dicantumkannya adanya perubahan

yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. 66

Syarat yang ditentukan oleh Undang-undang ada yang tidak terpenuhi

merupakan salah satu alasan yang menyebabkan akta yang dibuat notaris dapat

mengandung keterangan palsu, misalnya tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 1320

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian. Selain daripada itu, misalnya tidak terpenuhinya ketentuan pasal 15 ayat

(2) huruf d Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) yakni apabila notaris tidak

melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, oleh karena itu

sebelum notaris menuangkan hal-hal yang formil kedalam materil akta wajib

melakukan pencocokan fotokopi surat-surat/dokumen-dokumen dengan surat-surat /

dokumen-dokumen aslinya (yang sebenarnya).

Berkaitan dengan bunyi Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

yang menegaskan bahwa notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang

membuat akta otentik adalah hal yang mustahil apabila notaris membuat akta jika

akta tersebut mengandung keterangan palsu. Dengan demikian faktor-faktor atau hal-

hal yang dapat menyebabkan timbulnya akta yang mengandung keterangan

palsu,berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Faktor Manusia

2. Faktor Dokumen

65
Pasal 38 ayat (3) butir a UUJN
66
Ibid, ayat (4) butir d UUJN

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
3. Faktor Peraturan Perundang-undangan yang tidak jelas. 67

1) Faktor manusia dapat terjadi karena kelalaian maupun karena kesengajaan.

Kelalaian dapat dilakukan oleh notaris dan juga pihak-pihak yang ingin membuat

akta karena manusia tidak lepas dari kekurangan. Kelalaian yang dilakukan oleh

notaris dapat membawa konsekuensi akta yang dibuat tersebut hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau bahkan akta yang dibuat

tersebut dapat mengandung sengketa dibelakang hari, misalnya notaris dalam

membuat akta notaris mengikutsertakan saksi-saksi akan tetapi kelalaiannya

notaris lupa menyuruh saksi-saksi untuk menanda tangani akta. Sedangkan

kelalaian yang dilakukan oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut tidak

menjadi tanggung jawab notaris akan tetapi konsekuensinya ditanggung oleh

pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan terjadinya hal seperti ini

maka dapat mengakibatkan akta tersebut akan menjadi sengketa diantara para

pihak atau dengan pihak ketiga, sehubungan dengan hal tersebut maka notaris

akan dipanggil oleh pihak kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan. Dengan

adanya pemeriksaan yang dilakukan terhadap notaris maka notaris akan dapat

diketahui apakah notaris sebagai tersangka yang telah ikut serta dan turut

membantu atau hanya sebagai saksi di muka Pengadilan.

2) Faktor dokumen dapat juga menyebabkan timbulnya akta yang mengandung

keterangan palsu dimana para pihak yang membuat perjanjian dihadapan notaris

memberikan dokumen-dokumen yang tidak benar (dokumen palsu). Apabila

pihak-pihak mengajukan dan/atau memberikan dokumen palsu bukanlah menjadi

kewajiban notaris untuk mengetahui secara bathiniah Notaris berwenang hanya

67
Hasil Wawancara pada, tanggal 21 Mei 2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
sebatas lahiriah saja yaitu menerima surat-surat/dokumen-dokumen yang

diberikan oleh para pihak kemudian mencocokkan surat-surat/dokumen-dokumen

tersebut dengan aslinya (yang sebenarnya).

3) Faktor perundang-perundang yang tidak jelas maksudnya adalah undang-undang

tidak memberikan kekebalan hukum terhadap notaris. Apabila timbul akta yang

mengandung keterangan palsu dan mengakibatkan kerugian pada pihak lain

sehingga menimbulkan sengketa, maka sering kali notaris di jadikan sasaran

utama penyebab sengketa itu dikarenakan akta tersebut adalah dibuat oleh notaris.

Disini notaris hanya menuangkan perbuatan hukum dari para pihak (penghadap)

kedalam suatu akta yang dibuatnya oleh karenanya notaris tidak bertanggung

jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak (penghadap)

tersebut.

Akan tetapi apabila notaris terlibat dalam pembuatan akta yang menyebabkan

terjadinya sengketa karena adanya unsur kesengajaan untuk menguntungkan salah

satu pihak tanpa memperhatikan kepentingan pihak yang lain, maka notaris dapat

dikatakan telah membantu dan turut serta dalam melakukan tindak pidana.

Didalam Pasal 55 KUHP dinyatakan bahwa :

(1) Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana ;


Ke-1 Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut
melakukan perbuatan itu
Ke-2 Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian salah memakai
kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman, tipu, karena
memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan menghasut
supaya perbuatan itu dilakukan

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
(2) Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk
olehnya serta akibat perbuatan itu. 68

Berkaitan dengan adanya faktor kesengajaan yang dilakukan oleh notaris telah

turut serta dalam melakukan tindak pidana yang menguntungkan salah satu pihak,

misalnya dalam membuat akta jual beli notaris menururnkan harga objek jual beli

tersebut dari harga riil atau dari harga maksimum.

Pasal 56 Kitab Undang-undang Pidana disebutkan sebagai membantu

melakukan kejahatan dipidana :

1. Orang yang dengan sengaja membantu kejahatan waktu kejahatan itu dilakukan .

2. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk

melakukan kejahatan itu.

Sehubungan dengan perbuatan notaris yang membantu melakukan tindak

pidana misalnya seorang klien menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta

68
R. Sugandhi, Op. Cit, hal 68; Penjelasan Pasal 55 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
istilah “Tindak pidana” ialah baik kejahatan maupun pelanggaran yang dapat dihukum sebagai orang
yang melakukan tindak pidana dapat dibagi menjadi 4 macam yakni :
1. Orang yang melakukan ; orang ini bertindak sendirian untuk mewujudkan segala anasir dalam
tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan dalam jabatan maka pelaku yang melakukan tindak
pidana itu harus seorang pegawai negeri.
2. Orang yang menyuruh melakukan ; dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit ada dua
orang, yakni yang menyuruh dan disuruh. Jadi bukan pelaku utama itu sendiri yang melakukan
tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja meskipun
demikian ia dianggap dan dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana.
3. Orang yang turut melakukan ; “turut melakukan” diartikan ialah melakukan bersama-sama. Dalam
tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan yang
turut melakukan dalam tindakannya keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi
keduanya melakukan anasir tindak pidana itu. Tetapi apabila pelaku kedua itu hanya melakukan
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya membantu maka pelaku kedua itu
tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, akan tetapi sebagai orang
“membantu melakukan”
4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat,
memakai paksaan dsb, dengan sengaja menghasut supaya melakukan perbuatan itu. Pelakunya
paling sedikit harus dua orang yakni orang yang menghasut dan yang dihasut, hanya bedanya pada
“menghasut supaya melakukan”, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
otentik yaitu salah satu dari ahli waris menyuruh notaris untuk merubah isi surat

wasiat sehingga bertentangan dengan isi yang sebenarnya. Dengan demikian maka

hal tersebut menyebabkan kerugian pada salah satu pihak/ pihak lain.

Oleh karena itu notaris harus dipersalahkan atas perbuatannya tersebut, sebab

dengan merugikan hak orang lain (Klien) yang telah memberikan kepercayaan

kepada notaris, notaris telah melanggar hukum dan disamping itu juga dapat

mengurangi kepercayaan masyarakat kepada profesi notaris.

Adapun yang menjadi perbedaan dalam membantu dan turut serta melakukan

tindak pidana adalah bahwa unsur niat dan kesengajaan ada terdapat didalam turut

serta melakukan tindak pidana sedangkan dalam membantu melakukan tindak pidana

tidak terdapat unsur niat dan kesengajaan tersebut.

Pihak kepolisian seringkali kurang memperhatikan bahwa sengketa itu terjadi

bukan karena kesalahan notaris membuat akta tetapi kesalahan para pihak yang

datang menghadap yang tidak memberikan ketarangan dan dokumen yang sebenarnya

kepada notaris. Dalam Undang-undang Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 tidak

ada pasal yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap notaris baik

perlindungan terhadap diri notaris sendiri maupun terhadap tugas jabatannya sebagai

pejabat umum yang membuat akta otentik.

C. Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Yang Mengandung

Keterangan Palsu

Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara

tidak terlepas dari tanggung jawab secara perdata dimana notaris selalu berpedoman

dan/atau mengacu pada kitab undang-undang hukum perdata, Undang-undang No. 30

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Tahun 2004 tentang jabatan notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pertanggungjawaban yang diminta kepada notaris bukan hanya dalam pengertian

sempit yakni membuat akta, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti yang

luas, yakni tanggung jawab pada saat pra akta, tanggung jawab pada saat fase akta

dan tanggung jawab pada saat pasca penandatanganan akta.69

Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab notaris pada saat pra akta

adalah notaris sebelum membuat akta harus mematuhi dan berpedoman kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku baik UUJN maupun perundang-

undangan lainnya. Sebelum notaris menuangkan materi-materi berdasarkan

keterangan para penghadap kedalam akta notaris wajib meneliti secara seksama

semua surat-surat/dokumen-dokumen yang diberikan oleh para penghadap. 70

Tanggung jawab notaris pada saat fase akta maksudnya adalah setelah semua

kewajiban dalam pra akta dilakukan yaitu segala kehendak para pihak (penghadap)

telah dituang sebagai isi / materil akta, maka notaris wajib membacakan akta tersebut

lalu ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris. 71

Tanggung jawab notaris pada saat pasca penandatanganan akta maksudnya

adalah notaris wajib membuat dan menyimpan akta sebagai minuta akta dan

melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan yang tercantum

dalam Pasal 16 UUJN, sebab pada suatu saat akan berguna untuk kepentingan proses

penyelidikan oleh aparat hukum. 72

69
Syahril Sofyan, Intisari Kuliah TPA I, 2006
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Ibid.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Suatu kesalahan dalam melaksanakan profesi dapat disebabkan karena:

1. Kekurangan pengetahuan (onvoldoende kennis)

2. Kekurangan pengalaman (onvoldoende evearing)

3. Kekurangan pengertian (onvoldoende inzicht) 73

Oleh karena itu notaris harus dapat memposisikan dirinya sebagai penunjuk

arah dari berbagai perubahan dan tuntutan zaman. Notaris harus mempunyai kualitas

dengan selalu mengikuti perkembangan hukum dan mampu untuk meningkatkan

penguasaan hukum positif dan aspek-aspek ilmu hukum. Hal ini diharapkan agar

dalam rangka menghadapi masa depan dengan perkembangan secara global terdapat

figur-figur notaris yang professional dan mempunyai integritas yang utuh dalam

mengemban pekerjaan pelayanan hukum kepada masyarakat.

Dalam penelitian ini sebagai contoh kasus tindak pidana pemalsuan dalam

akta otentik yang dilakukan oleh pihak penghadap yang dibuat dihadapan notaris

yaitu dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya yaitu

No. 2.831/pid.B/2003/PN.Mdn yang terdakwanya adalah FAUZIAH.

Dan putusan Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya yaitu

No.2.832/pid.b/2003/PN.Mdn yang Terdakwanya adalah Abdul Hakim Saleh Bashel

dan Mubarak Salim Baswel, bahwa Terdakwa tersebut diatas baik secara bersama-

sama dan bersekutu dengan Fauziah (yang perkaranya disidangkan secara terpisah).

73
Nico. Op. Cit, hal 98.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Posisi Kasus :

Pemalsuan terhadap akta otentik dalam perkara pidana No.

2.831/pid.B/2003/PN.Mdn yang diajukan oleh H. Abdullah Salim Baswel (pelapor)

terhadap terdakwa Fauziah .

Tuan Salim bin Aboed Baswel (orang tua saksi korban) adalah pemilik tanah

seluas 33M2 berikut bangunan permanen yang terletak di Jalan Kereta Api Nomor :

6/18-B, Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, Kotamadya Medan

berdasarkan Akta Jual Beli Nomor : 22 tanggal 14 September 1963 dengan alas hak

atas tanah Sertifikat Hak Pakai Nomor : 13 atas nama Tuan Mangara Hutapea.

Pada hari selasa tanggal 1 Desember 1981 Tuan Salim bin Aboed Baswel

menghibahkan tanah tersebut kepada H. Abdullah Salim Baswel (Saksi Korban)

dengan Akta Nomor : 2 tanggal 1 Desember 1981 yang dibuat dihadapan Notaris

Marah Sutan Nasution. Pada tanggal 4 Oktober 1987 Salim bin Aboed Baswel

meninggal dunia, dan Surat Surat Tanah disimpan oleh Aisyah binti Salim Baswel

(Kakak saksi korban). Ketika Aisyah binti Salim Baswel akan berangkat ke Arab

Saudi maka semua surat-surat tanah dan uang, serta rumah beserta isinya yang

terletak di Jalan Biawak No. 152 Kodya Medan dititipkan pada Saleh bin Ahmad

Bashel, delapan bulan kemudian Saleh bin Ahmad Bashel meninggal dunia, surat-

surat tersebut disimpan oleh Mubarak Salim Baswel (Adik kandung saksi korban).

Pada Tahun 1990 Mubarak Salim Baswel menyerahkan surat tanah tersebut pada

Abdul Hakim Saleh Bashel (Saudara sepupu saksi korban) tanpa sepengetahuan saksi

korban. Mubarak bermaksud hendak menjual tanah berikut bangunan tersebut pada

orang lain. Agar tanah bisa dijual dan membuat surat kuasa, maka KTP H. Abdullah

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Salim Baswel direkayasa/dipalsukan dengan mengganti pasphoto saksi korban

dengan pasphoto Mubarak SB.

Pada hari Jum’at 13 November 1992, Abdul Hakim SB dan Mubarak SB dihadapan

Notaris Pagit Maria Tarigan, SH memberi keterangan dan mengaku bernama H.

Abdullah SB (saksi korban) dan memberi kuasa pada Abdul Hakim SB untuk

menyewakan, menjual, memindahkan dan menyerahkan hak atas tanah tersebut (atas

nama saksi korban) dengan menyerahkan KTP No : 1.04218/0020/001/KM/91 berisi

identitas H. Abdullah SB sedang fotonya adalah foto Mubarak SB. Dihadapan Notaris

Pagit Maria Tarigan, SH dibuatlah akta kuasa No 54 tanggal 13 November 1992 dan

ditandatangani serta diberi cap jempol oleh Abdul Hakim SB dan Mubarak SB

dengan meniru tanda tangan H.Abdullah. Untuk melengkapi surat kuasa tersebut

dibuat konsep surat persetujuan tersendiri dibawah tangan dan diberi materai, oleh

Fauziah (terdakwa) yang mengaku sebagai istri H. Abdullah SB dan ditandatangani

lalu dijahitkan pada minut akta kuasa tersebut.

Pada hari Selasa, tanggal 16 Februari 1993 Abdul Hakim SB selaku Pihak I telah

menjual kepada Abu Bakar Zein selaku Pihak II atas sebidang tanah (miliki saksi

korban) seharga Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), berdasarkan akta jual beli

Nomor 62 tanggal 16 Februari 1993 dengan alas hak atas tanah asli Grant Sulthan

atas nama H. Abdullah SB yang dibuat dihadapan Notaris Pagit Maria Tarigan, SH.

Oleh Abdul Hakim SB diserahkan surat tanah berupa Grant Sulthan dan bangunan

dalam keadaan kosong, lalu ditandatangani minut akta dan diserahkan uang sebesar

Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), pada Mubarak SB. Berdasarkan hasil

pemeriksaan sesuai dengan Berita Acara dari Dinas Identifikasi Polda Sumut No :

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Polisi.Pidana.05/IX/2002/Ident tanggal 23 September 2002, sidik jari pada akta kuasa

No 54 tanggal 13 Nopember 1992 atas nama H. Abdullah SB dinyatakan tidak

identik/tidak sama dengan sidik jari yang sebenarnya pada kartu AK 23 atas nama H.

Abdullah SB tanggal 14 Juni 2002. dan saksi korban tidak pernah memberi kuasa

pada Abdul Hakim SB, dan tidak pernah menghadap Notaris Pagit Maria Tarigan,

SH. Begitu juga dengan KTP yang tercantum dalam surat kuasa tersebut bukan KTP

saksi korban. Sebab KTP saksi korban dikeluarkan dan bertempat tinggal di Jakarta

selama 25 tahun dan istri saksi korban adalah Habsyah Saleh Baswel bukan Fauziah.

Dan tidak pernah menghadap Notaris Pagit Maria Tarigan, SH untuk memberikan

persetujuan tertulis sebagai pelengkap surat kuasa sebagaimana tersebut diatas.

Berdasarkan hasil penelitian pada kantor-kantor notaris di Kota Medan,

Pengadilan Negeri Medan, dan Majelis Pengawas Daerah (MPD) Medan

mengenai pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung

keterangan palsu adalah sebagai berikut: 74

Adapun yang dimaksud dengan keterangan palsu yang tercantum didalam akta

otentik adalah suatu keterangan-keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang

bertentangan atau yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya

Keterangan palsu yang terdapat dalam suatu akta otentik umumnya berasal

dari para pihak/ penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta yang bertujuan untuk

menguntungkan dirinya dan merugikan pihak lain. Perbuatan ini dilakukan oleh para

pihak/penghadap dengan cara sengaja yakni pada saat para pihak/penghadap datang

dan menghadap kepada notaris untuk meminta dibuatkan akta, dimana para

74
Hasil wawancara ,pada tanggal 21 Mei 2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
pihak/penghadap tersebut memberikan keterangan-keterangan dan identitas yang

tidak benar serta surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar. Seperti dengan

menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang telah direkayasa dan juga surat-

surat palsu untuk memenuhi syarat-syarat agar diterbitkan suatu akta. Berdasarkan

keterangan-keterangan dan surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar ini dari

para pihak/penghadap maka notaris membuat akta otentik sesuai dengan kehendak

dari para pihak/penghadap tersebut. Setelah akta selesai dibuat oleh notaris lalu

ditandatangani oleh para pihak/penghadap, saksi-saksi dan notaris. Maka dengan

demikian lahirlah akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

Pada dasarnya notaris dalam membuat akta selalu dengan penuh kehati-hatian

dan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni

Undang-undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagaimana diketahui bahwa tugas notaris adalah membuat akta otentik yang

fungsinya untuk membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan

hukum oleh para pihak/penghadap dan mencantumkan identitas masing-masing dari

para pihak/penghadap tersebut. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa

yang dilihat, dan dialaminya serta menuangkannya didalam akta. Notaris pada

dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para pihak/penghadap lalu

dituangkannya kedalam akta, disini dapat dikatakan bahwa notaris hanya bertanggung

jawab secara materiil dalam kerangka formil, artinya notaris berwenang untuk

menyesuaikan keterangan-keterangan yang diberikan para pihak/penghadap berikut

surat-surat/dokumen-dokumen yang diberikan dengan surat-surat/dokumen-dokumen

yang asli atau yang sebenarnya sehingga notaris dapat menuangkan yang formil

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
kemateriil akta. Disini juga notaris memberikan penyuluhan hukum untuk memberi

arah dalam menemukan solusi yang benar dan tepat kepada para pihak/penghadap

sehubungan dengan akta yang akan dibuat.

Notaris mungkin dapat berbuat salah mengenai isi akta karena informasi yang

salah, sengaja atau tidak dari para pihak/penghadap. Dalam hal ini notaris tidak

mempunyai kewajiban untuk menyelidiki kebenaran tentang informasi tersebut secara

bathiniah, akan tetapi hanya sebatas lahiriah. Dengan demikian kesalahan yang terjadi

pada materiil akta bukanlah tanggung jawab notaris, melainkan para

pihak/penghadap.

Berdasarkan uraian tersebut diatas apabila akta otentik yang mengandung

keterangan palsu tersebut dapat menjadi sengketa dan diperkarakan di depan sidang

pengadilan maka dalam proses persidangan tersebut hakim akan melakukan

pembuktian dengan menilai dapat tidaknya diterima suatu alat bukti dan menilai

kekuatan pembuktiannya. Sehubungan dengan hal ini maka akta otentik yang dibuat

oleh notaris tersebut akan menjadi bukti bahwa adanya suatu perbuatan hukum yang

telah dilakukan oleh para pihak/penghadap yang oleh notaris perbuatan hukum dari

para pihak/penghadap tersebut dituangkan sebagai materiil dalam suatu akta. Hal ini

berarti akta otentik itu sendirilah yang membuktikan bahwa telah terjadi suatu

perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap, bukan oleh notaris.

Oleh karenanya maka notaris dalam hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum.

Akan tetapi dengan adanya sengketa dan menjadi perkara di Pengadilan

sehubungan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut maka notaris dalam

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
hal ini akan diperiksa/dipanggil sebagai saksi guna proses pembuktian. Pemanggilan

terhadap notaris sebagai saksi untuk memberikan keterangan di depan sidang

pengadilan adakalanya membuat seorang notaris enggan untuk hadir dalam

persidangan tersebut. Sebab sebagian orang berpendapat bahwa notaris tidak perlu

hadir dalam sidang pengadilan untuk menjadi saksi mengingat akta yang dibuatnya

adalah akta otentik yang merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Artinya

adalah apa yang ditulis di dalam akta itu harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus di

anggap sebagai benar selama ketidakbenarannya itu tidak dibuktikan, dan akta itu

sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian.

Menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 140, Pasal 141, dan

Pasal 148 HIR bahwa memberikan kesaksian adalah merupakan suatu kewajiban,

seseorang yang tidak memenuhi panggilan untuk menjadi saksi di depan persidangan

akan berakibat sebagai berikut 75 :

1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk

memanggil saksi.

2. Secara paksa akan dibawa ke muka Pengadilan

3. Dimasukkan ke dalam penyanderaan (gijzeling).

Sebenarnya kehadiran seorang notaris sebagai saksi di depan sidang

pengadilan sangat berguna untuk menerangkan duduk perkara yang sebenarnya atas

akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut. Sebab notaris adalah orang yang

mengetahui secara pasti kebenaran dari akta yang dibuatnya maka sebagai saksi

75
Hari Sasangka,Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2005,
hal 80.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
notaris akan menerangkan tentang apa yang dilihatnya atau dialaminya. Selain dari

pada itu seorang notaris apabila dipanggil sebagai seorang saksi harus datang dan

hadir di persidangan, sebab pada waktu kehadirannya itulah notaris akan menentukan

apakah dia akan mempergunakan hak ingkarnya (hak untuk mengundurkan diri

sebagai saksi) yang diatur dalam Pasal 1909 ayat (3e) KUH Perdata yaitu ”segala

siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut Undang-

undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun adalah semata-mata mengenai hal-

hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian”. Karena untuk

mempergunakan hak ingkar harus dinyatakan dengan tegas dan hal ini hanya bisa

dilakukan dengan hadirnya notaris. Dapat dikatakan bahwa hak ingkar adalah

merupakan perwujudan dari perlindungan hukum/immunitas hukum bagi notaris

untuk kepentingan masyarakat dan kewajiban untuk merahasiakan isi aktanya

maupun hal-hal yang diketahuinya karena jabatannya.

Apabila notaris mengemukakan hak ingkar dalam pemeriksaan di kepolisian

biasanya pihak kepolisian akan membantah dan melanjutkan proses pemeriksaan

dengan mencatat semua keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh notaris dalam

berita acara pemerikasaan.

Dalam mempergunakan hak ingkar didepan persidangan notaris harus

mengemukakannya secara tegas dengan mengajukan bukti-bukti yaitu minimal dua

orang saksi yang benar-benar mengetahui mengenai pembuatan akta otentik tersebut

yang sebenarnya. Saksi-saksi yang dimaksudkan disini adalah saksi yang mendukung

bahwa keterangan yang dikemukakan oleh notaris tersebut adalah benar, dan saksi-

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
saksi ini membantah keterangan-keterangan yang tidak benar sehubungan dengan

pembuatan akta tersebut.

Namun ada kalanya hak ingkar yang dimiliki oleh notaris di tolak oleh hakim

pengadilan dengan alasan sebagai berikut :

- Menurut penilaian hakim bahwa dalam hal pembuktian, keterangan-keterangan

yang dikemukakan oleh notaris tidak dapat dibuktikan sesuai dengan peristiwa

yang sebenarnya sehubungan dengan pembuatan akta tersebut.

- Bahwa keterangan-keterangan notaris masih dibutuhkan yaitu perlu dikonfrontir

atau di crosscek dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap keterangan-

keterangan dari saksi-saksi yang lain.

- Bahwa kepentingan justicia atau kepentingan umum lebih tinggi nilainya dari

pada kepentingan pribadi.

Notaris selaku pejabat umum yang melaksanakan pelayanan terhadap publik

selain mendapat pengawasan dari Majelis Pengawas juga memerlukan perlindungan

hukum, yaitu 76 :

1. Dalam hal menjadi saksi di pengadilan sehubungan dengan akta yang

dibuatnya.

2. Dalam hal menjadi tergugat di pengadilan menyangkut akta yang

dibuatnya.

3. Dalam hal sebagai terdakwa dalam perkara pidana sehubungan dengan

akta yang dibuatnya.

76
Paulus Effendie Lotolung, Dalam Makalahnya tentang Perlidungan Hukum Terhadap
Notaris, pada Kongres XVII di Jakarta, 2000.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
4. Dalam hal penyitaan terhadap bundel minuta yang disimpannya.

Menurut P.E.Lotulung, hak immunitas/kekebalan hukum bagi notaris dapat

diberikan dalam hal kewajiban untuk menolak memberikan keterangan yang

menyagkut rahasia jabatannya, dan terhadap kesalahan yang diperbuat oleh seorang

notaris haruslah dibedakan antara kesalahan yang bersifat peribadi dengan kesalahan

didalam menjalankan tugasnya. Secara pribadi, notaris dapat dituntut dan di hukum

sama seperti masyarakat biasa lainnya, namun sebagai seorang pejabat umum yang

melaksanakan kepentingan publik, maka terhadap kesalahan yang berkaitan dengan

pelaksanaan tugasnya atau hasil pekerjaannya, otentisitas akta-aktanya tetap dapat

dijamin, dan terhadap notaris perlu diberikan perlindungan hukum yang berbeda

mekanismenya dengan anggota masyarakat biasa. Hal ini tentunya akan membuat

para notaris menjadi lebih kondusif dan terlindungi di dalam menjalankan tugasnya 77 .

Seorang notaris yang melakukan kesalahan diluar jabatannya atau secara

peribadi, misalnya melakukan perbuatan seperti berjudi, mabuk-mabukan,

menyalahgunakan narkoba, dan melakukan perbuatan zina. Dengan demikian maka

notaris tersebut dapat dikatakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan

Notaris dan Kode Etik Profesi Notaris. Sedangkan notaris yang melakukan kesalahan

dalam jabatannya selaku pejabat umum adalah apabila notaris dengan sengaja

melakukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam pembuatan akta maka ia dapat

dituntut atau bertanggung jawab secara perdata maupun pidana. Akan tetapi seorang

notaris dapat juga dikatakan melanggar Kode Etik Notaris pada saat melakukan tugas

dan jabatannya, misalnya melakukan kesalahan etika terhadap sesama rekan notaris.

77
Ibid

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Apabila notaris dalam tindak pidana pemalsuan surat menjadi aktor

intelektualnya atau notaris turut serta dalam melakukan tindak pidana tersebut maka

secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan pidana saja,

tetapi juga oleh Peraturan Jabatan Notaris. dalam pasal 13 UUJN ada dinyatakan

bahwa notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana

penjara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih. Dengan adanya ketentuan tersebut maka notaris langsung

dipecat/diberhentikan oleh Menteri. Dan hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal

10 KUHP sub b yang mengatur mengenai hukuman-hukuman tambahan yaitu

berbentuk pencabutan hak-hak tertentu dimana notaris yang diberhentikan dari

jabatannya adalah merupakan pencabutan hak notaris untuk menjalankan tugas dan

jabatannya selaku notaris.

Apabila terbukti notaris terlibat dalam suatu tindak pidana, maka akibatnya

adalah sebagai berikut :

- Akta notaris dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

- Notaris wajib untuk membayar ganti kerugian kepada para pihak yang

dirugikan.

- Notaris dapat diberhentikan dari jabatannya.

- Notaris dapat dijerat dengan pasal-pasal pemalsuan surat yang sanksinya

adalah berupa pidana penjara.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB III

SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PENGHADAP YANG

MEMBERIKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTA OTENTIK

A. Pengertian Sanksi

E.Utrecht dalam bukunya “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” memberikan

batasan pengertian hukum sebagai berikut :

“Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan atau perintah-perintah dan

larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu

harus ditaati oleh masyarakat itu.” 78

Hukum meliputi berbagai macam bentuk peraturan yang menentukan dan

mengatur perhubungan diantara orang-orang yakni peraturan-peraturan hidup

kemasyarakatan yang dinamakan kaedah hukum. 79

C.S.T Kansil mengemukakan :

“Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu kaedah hukum akan

dikenakan sanksi yakni sebagai akibat pelanggaran kaedah hukum yang

berupa hukuman.” 80

Pengertian sanksi secara umum adalah sebagai alat pemaksa supaya setiap

orang mentaati norma-norma yang berlaku. Sanksi terhadap pelanggaran norma

78
C.S.T. Kansil Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1986, hal 38.
79
Ibid, hal 39.
80
Ibid

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
hukum dapat diserahkan kepada penguasa, dan sanksinya adalah berupa hukuman

yang dengan segera dapat dirasakan oleh pelanggar. 81

Apabila dikaitkan dengan norma hukum perdata sanksinya adalah berupa

ganti rugi, batalnya suatu perjanjian dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan hukum

pidana sanksinya adalah berupa pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana

kurungan, pidana denda ditambah dengan pidana tambahan tertentu. 82

Adapun makna dari sanksi yang sesungguhnya adalah merupakan alat

pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang,

dan juga merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum,

sekaligus merupakan alat preventif dan alat represif. 83

B. Tinjauan Umum Tentang Para Pihak

Seseorang dapat menjadi pihak dalam suatu akta notaris ada 3 (tiga) cara

yaitu: 84

1. Mengahadap atau bertindak untuk dirinya sendiri

Pihak yang berkepentingan hadir dan bertindak untuk diri sendiri yakni apabila ia

dalam akta memberikan suatu keterangan atau dinyatakan adanya suatu perbuatan

hukum yang dilakukannnya untuk dirinya sendiri dan untuk mana ia menghendaki

akta itu untuk menjadi buktinya, atau apabila dalam akta itu dinyatakan bahwa ia

meminta untuk dibuatkan akta itu bagi kepentingannya sendiri.

81
Sianturi, op.cit, hal 28.
82
Ibid, hal 29.
83
Ibid, hal 29-30.
84
M.U. Sembiring, Op.Cit, hal 30-34

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
2. Menghadap atau bertindak untuk dan atas nama orang lain melalui lembaga

kuasa. Para pihak dalam suatu akta tidak diwajibkan untuk hadir sendiri

dihadapan notaris, akan tetapi diwakili dengan orang lain, baik dengan kuasa

tertulis maupun kuasa lisan. Pihak yang mewakili orang yang dikuasakan adalah

pihak dalam kedudukan selaku kuasa sedangkan orang yang diwakilinya adalah

pihak dengan perantaraan kuasa.

3. Menghadap atau bertindak dalam kedudukan

Seseorang yang bertindak di dalam akta yang bersangkutan bukan untuk dirinya

sendiri tetapi untuk orang lain, yakni bukan untuk membela kepentingan sendiri

tetapi untuk orang lain misalnya menjalankan kekuasaan orang tua.

4. Menghadap atau bertindak dalam jabatan selaku organ (alat perlengkapan) suatu

badan hukum.

Bertindak dalam jabatan maksudnya adalah bertindak dengan status sebagai organ

(alat perlengkapan ) dari suatu badan hukum, misalnya sebagai direktur dari suatu

perseroan terbatas, sebagai ketua dari suatu yayasan, sebagai ketua dari suatu

perkumpulan ( vereniging)

Dalam setiap akta nitoris harus memenuhi ketentuan bahwa para penghadap

harus dikenal atau diperkenalkan kepada notaris, yakni dimana para penghadap harus

dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh dua orang saksi pengenal atau

diperkenalkan oleh penghadap lainnya, saksi-saksi mana paling sedikit berusia 18

(delapanbelas) tahun atau telah kawin dan cakap melakukan tindakan hukum yang

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
memenuhi persyaratan untuk memberikan kesaksian dimuka pengadilan, dan

pengenalan saksi tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta. 85

Adapun yang dimaksud dengan “para penghadap” terbatas pada orang yang secara
nyata datang menghadap atau berkunjung pada notaris, tidak termasuk orang yang
mereka wakili baik berdasarkan kuasa tertulis atau berdasarkan kuasa lisan. Juga
tidak termasuk orang yang mereka wakili berdasarkan kedudukan atau jabatan
tertentu. Jadi tidak termasuk harus dikenal oleh notaris ialah anak dibawah umur
yang diwakili oleh seseorang yang menghadap notaris dalam kedudukannya
sebagai wali dari anak tersebut.”86

Undang-undang tidak menuntut kepada notaris harus mengenal para

penghadap yang datang kepadanya sejauh umpamanya pengenalan seorang suami

tentang isterinya atau sebaliknya, akan tetapi jika notaris mengatakan bahwa seorang

penghadap dikenal olehnya maka masyarakat dan peraturan hukum menuntut bahwa

perkataan notaris harus mengandung kebenaran.

Notaris dapat mengenal identitas para penghadap melalui Kartu Tanda

Penduduk (KTP), Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Paspor, KartuPers, Kartu

Kredit, dan tanda pengenal lainnya yang dapat menerangkan identitas para

penghadap. Disamping itu sebaiknya notaris jangan lupa meminta dan meneliti

seperti kartu keluarga, akta kelahiran dan surat nikah dari penghadap untuk keperluan

sehubungan dengan akta yang dibuat. Meskipun tidak diwajibkan oleh Undang-

undang Jabatan Notaris, idealnya tanda pengenal para penghadap tersebut sedapat-

dapatnya disimpan atau dijahitkan pada minuta akta untuk memudahkan penyidikan

kelak bila perlu. 87

85
Sutrisno, Op Cit. hal 172
86
Ibid, hal 70.
87
Syahril Sofyan, Loc.Cit.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Apabila notaris tidak mengenal penghadap melalui identitas penghadap maka

akan dengan mudah mengakibatkan pemalsuan terhadap diri seorang penghadap dan

hal ini akan mengakibatkan akta notaris dapat dibatalkan. Oleh karena itu dituntut

kepada notaris untuk selalu dapat berhati-hati dalam mengenal penghadap sebelum

dilakukannya pembuatan akta dihadapannya.

C. Tinjauan Umum Tentang Saksi-Saksi

Tiap-tiap akta yang dibuat oleh notaris harus disaksikan oleh 2 (dua) orang

saksi. Hadirnya kedua saksi tersebut adalah syarat mutlak yang tidak dapat

dipisahkan dari pembuatan akta otentik 88 . Saksi-saksi ini harus dikenal oleh notaris

yang membuat akta, atau dalam hal ia atau mereka itu belum dikenal maka mereka itu

harus diterangkan atau diperkanalkan identitasnya serta kewenangannya kepada

notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap. 89

“Saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan


maupun secara tertulis (dalam hal yang disebut terakhir ini dengan
menandatanganinya), yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri
(waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau
suatu keadaan ataupun suatu kejadian. Jadi saksi adalah orang ketiga (darde).
Pengertian-pengertian “pihak” (partij) dan “saksi” (getuige) adalah
pengertian-pengertian yang satu sama lain tidak dapat disatukan.” 90

Saksi terdiri dari saksi instrumentair dan saksi atterteren. Saksi instrumentair

adalah saksi yang menyaksikan pembuatan akta notaris. Saksi instrumentair bertugas

menyaksikan tentang kebenaran telah dilakukannya dan dipenuhinya formalitas yang

88
Didalam pasal 40 ayat (1) UUJN, bahwa setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadiri
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali Peraturan Perundang-undangan menentukan lain. Sedangkan
istilah “Unus testis, Nullus testis,” yang artinya “satu bukti bukan bukti”, ketentuan pasal 169 HIR ini
berbunyi; “ keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain, tiada dapat
dipercaya didalam hukum”. Lebih lanjut lihat Purnadi Purbacaraka, dan A. Ridwan Halim, filsafat
hukum perdata CV. Rajawali Jakarta, 1983 hal 83
89
GHS Lumban Tobing, Op. Cit, hal 136.
90
Ibid.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
dikehendaki atau diperintahkan oleh Undang-undang yang berkenaan dengan

pembuatan akta tersebut yaitu akta tersebut telah dibacakan oleh notaris kepada para

penghadap dan saksi-saksi, dan ditandatangani seketika itu juga oleh para penghadap,

saksi-saksi dan notaris. 91 Untuk dapat atau boleh menjadi saksi maka Undang-undang

Jabatan Notaris dalam pasal 51 ayat (1) mengatur mengenai seseorang yang dapat

menjadi saksi, yaitu :

1. Sekurang-kurangnya berusia 18 (delapanbelas) tahun atau telah kawin;

2. Cakap melakukan tindakan hukum;

3. Mengerti bahasa dalam akta;

4. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf;

5. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus

ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai

dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak.

Syarat-syarat lain atau syarat negatif saksi yang harus dipenuhi agar seseorang

berhak menjadi saksi diatur dan dirumuskan dalam Pasal 1912 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata yang menentukan bahwa tidak dapat diterima sebagai saksi adalah92 :

1. Orang yang belum mencapai usia genap lima belas tahun,

2. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan karena dungu, sakit ingatan atau mata

gelap,

3. Orang yang selama perkara masih bergantung, atas perintah hakim dimasukkan

dalam tahanan.

91
Ibid
92
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hal 134. (Subekti II)

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Untuk pembuatan surat wasiat haruslah dipenuhi sayarat-syarat khusus

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 944 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum

Perdata yaitu : saksi-saksi yang harus hadir pembuatan surat wasiat, harus telah

dewasa dan penduduk Indonesia, mereka harus mengerti akan bahasa, dalam mana

surat wasiat itu dibuat, atau dalam mana akta pengalamatannya atau penyimpanannya

ditulis.

Ayat (2) menyebutkan :

Sebagai saksi tidak boleh dipakai, segala waris atau penerima hibah wasiat, sekalian

keluarga semenda mereka sampai dengan derajat keenam, dan lagi, anak-anak atau

cucu-cucu, keluarga sedarah atau semenda sampai derajat yang sama dan budak-

budak dari notaris dihadapan siapa surat wasiat itu harus dibuat.

Memperkenalkan identitas penghadap kepada notaris oleh saksi pengenal

merupakan suatu formalitas untuk memenuhi syarat bahwa penghadap dikenal oleh

notaris dalam hal ini dengan jalan diperkenalkan oleh saksi pengenal, dengan

diperkenalkannya penghadap kepada notaris oleh saksi pengenal, maka notaris

memenuhi syarat formal dalam hal ini.

Memperkenalkan berarti ialah suatu perbuatan dengan mana seseorang yang tidak

dikenal menjadi dikenal. Jadi berarti ada tiga pihak. Pihak ketiga memperkenalkan

seorang pihak kedua (penghadap) kepada seseorang pihak pertama (notaris). Dalam

hal melakukan tindakan memperkenalkan tersebut adalah dua orang saksi yang

memenuhi syarat-sayarat yang ditetapkan oleh Undang-undang untuk memberikan

kesaksian dimuka pengadilan. Saksi ini dinamakan saksi yang memperkenalkan

(saksi attesteren). Tugasnya berbeda dengan saksi instrumentair yakni tugasnya

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
khusus untuk memperkenalkan penghadap kepada notaris. Perbedaan lainnya ialah

bahwa adanya hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda antara saksi attesteren

itu dengan penghadap yang diperkenalkan itu atau dengan notaris tersebut bukan

berupa hambatan bagi saksi itu untuk memperkenalkan. 93

Notaris tidak boleh membuat akta dimana ia sendiri, isterinya, sanak

keluarganya baik sedarah maupun karena perkawinan, bertindak sebagai pihak

(partij) dalam akta, maksudnya mereka bertindak sebagai orang-orang yang membuat

suatu ketentuan, pernyataan atau perjanjian dalam akta, baik mereka itu bertindak

sendiri maupun diwakili oleh seorang kuasa. Tujuan pembatasan ini dilakukan adalah

menjaga agar tidak ada penyalahgunaan oleh notaris dalam hal membuat akta dimana

dirinya sendiri atau sanak keluarganya yang terdekat yang mempunyai kepentingan

dalam pembuatan suatu akta. 94

D. Sanksi yang Diberikan Kepada Penghadap yang Memberikan Keterangan

Palsu Dalam Akta Otentik

Berdasarkan hasil penelitian, sanksi yang diberikan kepada penghadap yang

memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah 95 :

Bahwa sanksi pidana yang diberikan seseorang bukanlah semata-mata untuk

menderitakan (menistai) orang tersebut. Akan tetapi merupakan upaya edukatif agar

dikemudian hari orang tersebut dapat memperbaiki perilakunya, menurut iman dan

kepercayaannya serta sesuai dengan kehendak undang-undang dan ketertiban

masyarakat pada umumnya, disamping itu tentunya lebih memperhatikan perasaan

93
GHS Lumban Tobing, Op. Cit, hal 137.
94
Ibid, hal 140.
95
Hasil wawancara, pada tanggal 25 2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
keadilan masyarakat terutama korban, sehingga keseimbangan dan tertib masyarakat

dapat dipelihara. Selain itu layak dan patut untuk diberi hukuman pidana penjara yang

setimpal dengan perbuatannya agar dapat membuat jera sehingga tidak akan

mengulangi perbuatan tersebut.

Bahwa Penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim terhadap para

pihak/penghadap dalam hal ini selaku terdakwa adalah sudah benar dan sesuai dengan

fakta dan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melawan

hukum yakni melakukan tindak pidana “secara bersama-sama menyuruh

menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik” yang telah memenuhi seluruh

unsur-unsur dari pasal yang dituduhkan yaitu Pasal 266 ayat (1) (KUHP) jo. Pasal 55

ayat (1) ke- 1e KUHP. Dan oleh akrenanya maka para pihak/penghadap wajib

bertanggungjawab secara perdata dan secara pidana. Secara perdata wajib memberi

ganti rugi atas kerugian yang diderita korban, dan secara pidana wajib dijerat dengan

pidana penjara. Sebab perbuatan para pihak/penghadap tersebut bukan saja

merugikan orang lain akan tetapi juga telah merugikan seorang notaris sebagai

pejabat umum yang melayani kepentingan umum atau masyarakat.

Berdasarkan posisi kasus yang telah diuraikan diatas, oleh Majelis Hakim

mempertimbangkan dakwaan jaksa penuntut umum sebagaimana diatur dan diancam

dalam pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yang unsur-

unsurnya adalah sebagai berikut :

1. Barang siapa

2. Menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik

3. Mengenai suatu hal yang sebenarnya harus dinyatakan oleh akta itu

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
4. Dengan maksud untuk memakai/menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-

olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran

5. Pemakaiannya tersebut dapat mendatangkan sesuatu kerugian

6. Unsur sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu

Ad. 1 Unsur : Barang siapa

Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa menurut memori van

toelichting(MVT), adalah manusia sebagai subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Subjek hukum yang dimaksud adalah

Fauziah, Abdul Hakim Saleh Bashel, dan Mubarak Salim Baswel.

Ad. 2 Unsur menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik

Bahwa Surat Kuasa Akta Nomor 54 tanggal 13 Nopember 1992 yang dibuat

dan dihadapan Notaris Pagit Maria Tarigan , SH :

- Bahwa terdakwa Mubarak Salim Baswel dihadapan Notaris Pagit Maria Tarigan,

SH mengaku bernama Saksi Abdullah Salim Baswel, Kartu Tanda Penduduk

(KTP) atas anam Abdullah Salim Baswel dengan KTP No :

1.04218/0020/001/KM.91 yang bertempat tinggal di Jalan Gajah No.21

Kelurahan Pandau Hulu II Kecamatan Medan Area yang sudah diganti foto

dirinya dan sesuai surat persetujuan tanggal 20 Nopember 1992 yang

ditandatangani saksi Fauziah yang mengaku sebagai istri saksi Abdullah SB di

hadapan Notaris Pagit Maria Tarigan, SH sesuai akta Nomor : 52 tanggal 13

Nopember 1992 telah memberi kuasa kepada terdakwa Abdul Hakim SB untuk

menjual, memindahkan dan menyerahkan hak atas tanah yang terletak di Jalan

Kereta Api No 6/18B Kelurahan Kesawan Kecamatan Medan Barat.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
- Bahwa selanjutnya sesuai akta penjuala, akta pembelian, dan penyerahan hak

nomor : 62 tanggal 16 Februari 1993 dibuat dihadapan Notaris Pagit Maria

Tarigan, SH telah dijual tanah di Jalan Kereta Api No 6/18B Kelurahan Kesawan

Kecamatan Medan Barat milik saksi pelapor Abdullah SB kepada Abu Bakar

Zein

- Bahwa apabila akta surat kuasa tersebut dicermati maka dapat dilihat baik akta

Surat Kuasa Nomor 54 tanggal 13 Nopember 1992 yang dibuat dihadapan Notaris

Pagit Maria Tarigan, SH, adalah atas permintaan Terdakwa Mubarak SB dan

persetujuan saksi Fauziah.

- Bahwa saksi Notaris Pagit Maria Tarigan, SH dalam hal ini sebagai pejabat umum

yang berwenang membuat dan menerbitkan akta Nomor : 54 tanggal 13

Nopember 1992 yang berarti akta tersebut dibuat pejabat umum yang berwenang

untuk itu, dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Akta surat

kuasa nomor 54 tanggal 13 Nopember 1992 dan Penjualan, Pembelian dan

Penyerahan Hak sesuai akta nomor : 62 tanggal 16 Februari 1993 tergolong Akta

Otentik.

Selanjutnya akan dipertimbangkan apakah keterangan yang ditempatkan

dalam akta tersebut adalah palsu? Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap

didepan persidangan ternyata sesuai akta Nomor : 2 tanggal 1 Desember 1981 yang

dibuat dan dihadapan Notaris Marah Sutan Nasution, Alm. Salim bin Aboed Baswel

telah menghibahkan tanahnya di Jalan Kereta Api No 6/18B Kelurahan Kesawan

Kecamatan Medan Barat Kodya Medan seluas 33m2 yang diatasnya berdiri bangunan

permanen kepada saksi Abdullah Sedangkan orangtua saksi Abdullah Sb tersebut

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
sesuai akta jual beli Nomor : 22 tanggal 14 September 1963 telah membelinya dari

seorang bernama Mangara Hutapea selaku Kuasa dari Entjik Nurhana sesuai Akta

Surat Kuasa Nomor : 32 tanggal 6 Maret 1963 dibuat dihadapan Notaris Marah Sutan

Nasution, sehingga tanah menjadi milik Abdullah SB berdasarkan akta hibah

tersebut.

- Bahwa dari surat-surat yang mendukung diterbitkannya Akta Nomor :52 tanggal

13 Nopember 1992 adalah adanya surat persetujuan tanggal 20 Nopember 1992

yang ditanda tangani saksi Fauziah, KTP Nomor : 1.04218/0020/001/KM/91 atas

nama Abdullah SB yangbertempat tinggal di Jalan Gajah nomor:21 Kel.Pandau

Hulu II Kec.Medan Area dan keterangan Terdakwa Mubarak SB sebagai pemilik

tanah di Jl. Kereta Api No:6/18 B Kel.Kesawan, Kec.Medan Barat padahal

Terdakwa Mubarak Salim SB dan Terdakwa Abdul Hakim SB telah mengetahui

pemilik tanah tersebut adalah saksi Abdullah SB.

- Bahwa dengan demikian pernyataan dan keterangan saksi Fauziah yang membuat

persetujuan kepada Terdakwa Mubarak SB untuk memberikan kuasa kepada

Terdakwa Abdul Hakim SB dalam akta Otentik yaitu Surat Kuasa sesuai akta

Nomor: 52 tanggal 13 Nopember 1992 adalah berisi keterangan-keterangan yang

tidak benar atau palsu.

- Bahwa dengan adanya persetujuan dimaksud diatas, saksi Fauziah bersama-sama

Terdakwa Mubarak SB dan Terdakwa Abdul Hakim SB telah ikut menempatkan

keterangan tidak benar / keterangan palsu kedalam akta tersebut, oleh karenanya

maka unsur ke-2 ini telah terpenuhi.

Ad.3. Unsur Mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu;

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
- Bahwa akta yang merupakan surat kuasa harus menyatakan kebenaran tentang

saksi Fauziah sebagai isteri Terdakwa Mubarak SB ic. Sebagai pemilik tanah di

Jalan Kereta Api No 6/18B Kelurahan Kesawan Kecamatan Medan Barat yang

menguasakan kepada terdakwa Abdul Hakim SB untuk menjualnya

- Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan ternyata pemilik yang

berhak atas tanah di Jalan Kereta Api No 6/18B Kelurahan Kesawan Kecamatan

Medan Barat adalah saksi Abdullah SB yang bersama istrinya ic saksi Hafsah SB

tidak pernah menghadap dan memberikan persetujuan untuk memberikan kuasa

kepada terdakwa Abdul Hakim SB dihadapan Notaris Pagit Maria Tarigan, SH

- Bahwa berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, dapat diperoleh

kesimpulan, yang dipalsukan oleh terdakwa Mubarak SB dan terdakwa Abdullah

Hakim SB adalah mengenai suatu hal yang sebenarnya harus dinyatakan oleh akta

itu. Dengan demikian unsur ketiga ini telah terpenuhi.

Ad.4 Unsur dengan maksud untuk memakai/menyuruh orang lain memakai akta itu

seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenarannya.

- Bahwa dengan terbitnya akta surat kuasa atas adanya persetujuan Terdakwa itulah

ternyata sesuai Akta Penjualan, Pembelian dan Penyerahan Hak Nomor 62

tanggal 16 Februari 1993, dipergunakan Terdakwa Abdul Hakim SB untuk

menjual tanah di Jalan Kereta Api No 6/18B Kelurahan Kesawan Kecamatan

Medan Barat milik saksi Abdullah SB kepada Abu Bakar Zein seharga

Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)

- Bahwa Terdakwa Abdul Hakim SB menggunakan akta itu seoah-olah isi dari akta

tersebut adalah sesuai dengan ketentuan kebenaran, padahal berdasarkan

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
pembuktian unsur-unsur diatas keterangan tersebut adalah tidak benar atau palsu.

Dengan demikian unsur keempat inipun telah terpenuhi.

Ad. 5 Unsur pemakaiannya terebut dapat mendatangkan kerugian;

- Bahwa dengan digunakan surat kuasa tersebut oleh Terdakwa Abdul Hakim SB

saksi Abdullah SB sebagai pemilik berdasarkan Akta Hibah Nomor: 2 tanggal 1

Desember 1981, merasa dirugikan karena tanah di Jl. Kereta Api Nomor: 18-B

Kel. Kesawan Kec. Medan Barat sekarang dikuasai oleh saksi Abu Bakar Zein.

Dengan demikian unsu-5 inipun telah terpenuhi.

- Ad,6. Unsur: Sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan

perbuatan itu;

- Bahwa untuk adanya bentuk perbuatan “bersama-sama melakukan” maka

Terdakwa harus bisa dibuktikan ia sebagai “ikut serta melakukan”, bukan

“sebagai yang membantu melakukan”.

- Bahwa telah menjadi yurisprudensi bahwa untuk membedakan keduanya bisa

dilihat dari bentuk kerja sama antara mereka;

- Bahwa dalam ikut serta melakukan kerja sama antara Terdakwa Abdul Hakim SB

dengan Terdakwa Mubarak SB serta Fauziah begitu erat sehingga yang satu itu

tidak dapat terpisah dari yang lainnya, satu dan lainnya menyebabkan tiada dapat

diketahui siapa yang menjadi pelaku utama dan siapa yang membantu melakukan.

- Bahwa saksi Fauziah telah memberikan persetujuannya dengan mengaku seolah-

olah bernama saksi Hafsah SB ic. Isteri saksi Abdullah SB kepada Terdakwa

Mubarak SB yang mengaki bernama saksi Abdullah SB untuk memberikan kuasa

kepada Terdakwa Abdul Hakim SB.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
- Bahwa dengan dipenuhinya syarat-syarat selanjutnya Notaris Pagit Maria

Tarigan,SH, telah membuat dan menerbitkan Akta Surat Kuasa Nomor: 54

tanggal 13 Nopember 1992 yang selanjutnya sesuai Akta Penjualan, Pembelian,

dan Penyerahan Hak Nomor: 62 tanggal 16 Pebruari 1993 Terdakwa Abdul

Hakim SB menjual tanah di Jl. Kereta Api Nomor: 18-B Kel. Kesawan, Kec.

Medan Barat milik saksi Abdullah Salim SB kepada Abu Bakar Zein;

- Bahwa untuk memberikan penilaian terhadap apa yang telah dilakukan oleh

terdakwa tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa walaupun saksi Fauziah

hanya memberian persetujuan dan mengaku seolah-olah sebagai istri saksi

Abdullah SB dan tidak langsung menghadap dihadapan Notaris untuk bersama-

sama terdakwa Mubarak SB memberikan kuasa kepada terdakwa Abdul Hakim

SB akan tetapi peranannya sangat menentukan dan erat sekali kerjasamanya

dengan terdakwa lainnya dalam terjadinya proses terbitnya surat kuasa sesuai akta

Nomor 52 tanggal 13 Nopember 1993 tersebut. Baahwa dengan demikian unsur

ke- 6 inipun telah terpenuhi.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Hakim Pengadilan

Negeri Medan memutuskan :

1. Menyatakan Terdakwa Fauziah bersalah dan menjatuhkan pidana penjara

selama 2 (dua) tahun.

2. Menyatakan Terdakwa Abdullah Hakim SB dan Mubarak SB bersalah dan

menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.

3. Menetapkan agar barang bukti berupa foto copy surat yang diajukan oleh

Jaksa Penuntut Umum sebagai mana dalam daftar barang bukti dan

Penasehat Hukum Terdakwa tetap berada dalam berkas perkara.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Para Terdakwa masing-masing

sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).

Dengan demikian maka penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim sebagaimana

yang diatur /diancam dalam pasal 266 ayat (1) KUHP yang dituduhkan atas

Terdakwa/Penghadap adalah tepat dan benar. Sebab semua unsur-unsur yang

tercantum dalam pasal yang dituduhkan tersebut terhadap Terdakwa/penghadap telah

dipenuhi. Oleh sebab itu berdasarkan pertimbangan – pertimbangan hakim dari

dakwaan-dakwaan/ penuntutan maka Terdakwa/penghadap patut / layak dijatuhi

hukuman pidana penjara dan membebankan biaya perkara selama dalam proses

persidangan di pengadilan.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MENGANDUNG

KETERANGAN PALSU

Adapun yang dapat dinilai atau diklasifikasikan sebagai potensi konflik dalam

akta sehingga dapat menimbulkan kerugian dan kehilangan otentisitas akta,

disebabkan karena tidak terpenuhinya salah satu syarat untuk membuat akta yang

telah ditentukan oleh Undang-undang. Misalnya tidak terpenuhinya Pasal 1320 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, untuk menentukan sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat

yaitu 96 :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri adalah

para pihak untuk saling mengikatkan diri satu sama lain dalam suatu perjanjian,

artinya para pihak tersebut harus sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari

perjanjian yang diadakan itu. Mengetahui sah atau tidaknya suatu perjanjian telah

ditentukan oleh Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa tidak dianggap sah suatu kesepakatan, jika kesepakatan itu

diberikan karena :

a. Salah pengertian atau kekhilafan (dwaling)

Kesepakatan yang diberikan karena salah pengertian atau kekhilafan,

paksaan, penipuan memperlihatkan adanya kecacatan dalam kesepakatan itu

96
Muhammad Yahya Harahap, segi-segi hukum perjanjian, Alumni Bandung, 1986 hal.6

83

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
(wilsgebrik). Terhadap persetujuan yang demikian para pihak atau yang bukan

batal demi hukum. Kekhilafan yang dapat batal demi hukum adalah mengenai

hal pokok atau hal yang essensial dalam persetujuan tersebut, hal ini terdapat

dalam Pasal 132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan

bahwa :

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya


apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu
hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud
membuat suatu persertujuan. Kecuali jika persetujuan itu telah dibuat
terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa dwaling atau kekhilafan atau salah

pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai : 97

1. Pokok atau maksud obyek persetujuan

2. Kedudukan hukum subjek yang membuat suatu persetujuan

3. Hak subjek hukum yang bersangkutan.

b. Paksaan (dwang)

Pemaksaan (dwang) terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai

pilihan hukum lain kecuali harus menyetujui persetujuan tersebut.

Wiryono Projodikoro mengatakan dalam Pasal 1324 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata paksaan itu sepantasnya menakutkan suatu pihak terhadap suatu

ancaman, bahwa apabila ia tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka ia

akan menderita suatu kerugian yang nyata. “Perumusan dari Pasal 1324 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata menurut beliau belum sempurna harus ditambahkan

97
Ibid hal 7.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
bahwa yang diancam itu harus merupakan hal yang tidak diperbolehkan oleh

hukum. 98

c. Penipuan

Dalam hal penipuan, menurut M. Yahya Harahap bahwa satu macam

pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan, melainkan harus

ada suatu rangkaian pembohongan yang dalam hubungannya satu dengan

yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Sahnya suatu perjanjian memerlukan kecakapan dari subyek yang mengadakan

perjanjian atau dengan kata lain orang yang sudah dewasa dan waras akal budinya

adalah cakap menurut hukum, Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

menyebutkan bahwa tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

a. Orang yang belum dewasa

Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap

21 (duapuluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin, demikian bunyi Pasal

330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa mereka

yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa, yang selalu

berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap atau terlalu boros,

sehingga tidak mampu bertanggungjawab atas kepentingan sendiri karena itu

98
Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas hukum perjanjian, Balei, Bandung, 1989, hal 3.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
dalam melakukan suatu perbuatan hukum mereka diwakili oleh pengampunya

(curator).

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang

dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang

membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Ketentuan bagi orang-orang perempuan yang dianggap tidak cakap dalam

membuat persetujuan-persetujuan, hal ini sesuai dengan Pasal 1467 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan antara suami isteri tidak boleh

terjadi jual beli. Kemudian Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

menyebutkan penghibahan antara suami isteri dilarang selama perkawinan.

3. Suatu hal tertentu

Undang-undang menentukan tentang obyek yang diperjanjikan haruslah dapat

ditentukan, paling tidak jenisnya, hal ini terdapat dalam Pasal 1333 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang lebih jelas menyebutkan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit

ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,

asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung. Menurut M.

Yahya Harahap tentang objek atau prestasi harus dapat ditentukan adalah suatu

yang logis dan praktis. Takkan ada arti dari perjanjian jika Undang-undang tidak

menentukan demikian. Dengan demikian dapat dimengerti, agar suatu perjanjian

itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang

mengikat, prestasi yang menjadi obyek perjanjian harus tertentu sekurang-

kurangnya jenis obyek itu harus tertentu.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
4. Sebab yang halal

Suatu sebab yang halal maksudnya tidak lain daripada perjanjian itu sendiri,

sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian, pada dasarnya

tidak diperdulikan oleh Undang-undang. Menurut Undang-undang suatu sebab

yang halal itu apabia tidak bertentangan dan dilarang oleh Undang-undang, tidak

bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan

umum. Keempat syarat ini merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam membuat

perjanjian, maksudnya setiap perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat

syarat ini agar suatu perjanjian menjadi sah. Pasal ini juga didukung oleh Pasal

1338 ayat 1 yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari keempat

syarat tersebut di atas maka dapat juga dibedakan atas 2 (dua) golongan yaitu :

1. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut orang

atau person yang melakukan perjanjian.

2. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai perbuatan

yang diperjanjikan.

Notaris dalam membuat akta harus berpedoman kepada bunyi Pasal 1337 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan suatu sebab adalah terlarang,

apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan

baik atau ketertiban umum. Bunyi pasal ini menentukan syarat-syarat yang tidak

boleh dicantumkan dalam suatu perikatan yaitu :

1. bertujuan melakukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang untuk

dilaksanakan;

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
2. bertentangan dengan kesusilaan;

3. berlawanan dengan ketertiban umum; 99

Berdasarkan hasil penelitian bahwa akibat hukum dari suatu akta

otentik yang mengandung keterangan palsu adalah sebagai berikut 100 :

Pada dasarnya hakim tidak dapat membatalkan akta notaris apabila pembatalan

akta tersebut tidak dimintakan kepadanya, karena hakim tidak boleh memutuskan

yang tidak dimintakan. Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan

hakim perdata, yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan.

Apabila dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban) maka

akta notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim apabila ada bukti lawan.

Sebagaimana diketahui bahwa akta notaris adalah akta otentik yang merupakan alat

bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna.

Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni

diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta ke pengadilan agar akta

tersebut dibatalkan.

Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undang-undang

memberi waktu terbatas untuk menuntut berdasarkan pembatalan, dan undang-

undang memberi pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya

sendiri. Dengan demikian terhadap pembatalan memang diperlukan suatu putusan

99
M.Y. Harahap, Op. Cit, hal 9-12.
100
Hasil wawancara, pada tanggal 28 Mei 2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
oleh hakim. Karena selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan

hukum/perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah 101 .

Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan

penuntutan pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan

hukum sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat

hukum, maka dalam amar putusan hakim akan menyatakan bahwa akta tersebut batal

demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni

sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat.

Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh notaris apabila

para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang telah

dituang dalam akta tersebut, sehingga timbul keragu-raguan terhadap materiil akta

maka berdasarkan kesepakatan dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat

dibatalkan oleh notaris.

101
Hasil wawancara, 28 Mei 2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitiandan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-

bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Adapun pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung

keterangan palsu adalah bahwa notaris pada dasarnya hanya mencatat atau

menuangkan perbuatan hukum dan syarat-syarat formil dari para

pihak/penghadap ke dalam akta, dan notaris tidak mempunyai kewajiban untuk

menyelidiki kebenaran materiil isinya. Kemungkinan notaris dapat berbuat

salah mengenai isi akta karena informasi yang salah dari para pihak/penghadap

baik dengan sengaja atau tidak. Oleh karenanya maka notaris tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas kesalahan ini karena isi akta tersebut sebelumnya

telah dikonfirmasikan oleh notaris kepada para pihak/penghadap.

2. Sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan

palsu didalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman baik secara perdata

maupun secara pidana. Secara perdata penghadap telah melakukan perbuatan

melawan hukum yang merugikan hak orang lain dan wajib mengganti kerugian

yang ditimbulkannya tersebut. Secara pidana penghadap diancam dengan

hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat

(1) ke-1e KUHP, sebab telah terbukti secara sah bersalah melakukan kejahatan

“secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta


90

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
otentik” berdasarkan telah dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan pidana yang

tercantum dalam pasal-pasal yang dituduhhkan, sehingga penghadap layak

untuk diberi hukuman pidana penjara.

3. Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah

bahwa akta otentik tersebut telah menimbulkan suatu sengketa dan diperkarakan

dipengadilan, oleh sebab itu maka oleh pihak yang dirugikan dapat mengajukan

gugatan secara perdata ke pengadilan agar hakim dapat memutus dan

mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan demikian maka akta itu tidak

lagi mempunyai kekuatan hukum karena telah cacat hukum dan didalam

putusannya hakim menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan

sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya

pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum / perjanjian

itu dibuat.

B. Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut :

1. Hendaknya kepada setiap penghadap yang datang kepada notaris untuk meminta

dibuatkan akta, sebaiknya dalam memberikan surat-surat dan dokumen-dokumen

serta keterangan-keterangan yang berhubungan dengan akta yang akan dibuat

adalah surat-surat, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan yang sebenar-

benarnya. Kepada penghadap yang melakukan perbuatan melanggar hukum

dalam pembuatan akta notaris demi untuk kepentingan dirinya layak untuk

mengganti kerugian yang ditimbulkannya tersebut dan juga harus diberikan

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
hukuman pidana penjara agar membuatnya jadi jera. Sebab perbuatannya tersebut

bukan saja menimbulkan kerugian pada hak orang lain akan tetapi juga merugikan

notaris.

2. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya selalu berpegang

teguh dengan berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Bersikap

hati-hati dan waspada dalam meneliti dan memeriksa surat-surat/ warkah dan

dokumen-dokumen yang diberikan oleh para penghadap. Disamping itu juga

harus benar-benar memperhatikan sikap dan perkataan-perkataan dari penghadap

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebanyak mungkin dan mengajaknya

berbicara tentang surat/akta yang akan dibuat oleh notaris. Selain itu perlu

menggunakan feeling/perasaan notaris itu sendiri untuk mempertajam keyakinan.

3. Hendaknya dengan adanya Majelis Pengawas Daerah (MPD) yang melakukan

pengawasan terhadap notaris diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum

terhadap notaris. Dan para notaris mengharapkan kepada MPD agar dapat

mengadakan suatu pertemuan /audiensi dengan aparat-aparat hukum seperti pihak

Kepolisian, pihak Kejaksaan, Advokat dan Ikatan Notaris Indonesia untuk

membentuk suatu sikap “kesepahaman” diantara aparat-aparat hukum tersebut

dengan para notaris dalam tugas dan jabatan masing-masing agar tidak terjadi

kerancuan/kekeliruan terhadap pemeriksaan yang berhubungan dengan tugas dan

jabatan notaris. Selain dari pada itu, diharapkan kepada pihak pengadilan

hendaknya harus lebih selektif lagi dalam menentukan kehadiran seorang notaris

sebagai saksi dipengadilan adalah memang benar-benar sangat diperlukan, bukan

hanya sekedar untuk kepentingan para pihak yang berperkara saja. Pemanggilan

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
terhadap notaris sebagai saksi oleh hakim harus merupakan upaya terakhir

setelah sarana pembuktian lain telah digunakan secara maksimal.

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Alam, Wawan Tunggal, Hukum Bicara (Kasus-kasus Hukum dalam Kehidupan


Sehari-hari), Milenia Popular, Jakarta, 2001

Badrulzaman, Mariam, Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. itra Aditya Bakti,
Bandung, 2001

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT. Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2000

Emong, Komariah Saprdjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Alumni Bandung, 2002

Harahap M.Y, Segi-segi hukum perjanjian, Alumni Bandung, 1986

Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia Dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah), Bagian I Balai Lektur


Mahasiswa, 1977

Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Yan Pramadya Puspa, Jakarta, 1977

Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1986

M Situmorang Viktor dan Cormentyna Sitanggang, Groose Akta Dalam Pembuktian


dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992

Marsono, Susunan Dalam Naskah UUD 1945 dengan Perubahan-perubahnnya, Eko


Jaya, Jakarta, 2003

Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Centor for Documentation
and Studies of Busines Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003

Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), PT. Raja


Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Kasus (Kejahatan-kejahatan Membahayakan
Terhadap Surat-surat, Alat-alat membahayakan, Alat-alat bukti dan
Peradilan): Mandar Maju, Bandung, 1991

Pustaka Yustisia, Himpunan Profesi Berbagai Kode Etik Asosiasi di Indonesia,


Yogyakarta, 2006

P. Subagyo Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,
1997

Prodjo Hamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,


Buku II, Pradnya Paramita, Jakarta 1997

Prodjodikoro Wiryono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Balei, Bandung, 1989

Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Mandar Maju,


Bandung, 2005

Santosa Soegeng dkk, Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing Course Ikatan
Notaris Indonesia, PT Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, PT. Alumni Bandung,
2004

Sembiring, MU, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat


Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997

Sitorus, Oloan, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum, EdisiRevisi,


Yogyakarta, 2006

Sianturi S , Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni


AHAEM – PETEHAEM, Jakarta, 1996

Subekti, Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005

______, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986

Sugandi R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Usaha


Nasional, Surabaya, 1981

Sutrisno, Komentar Atas Undang-undang Jabatan Notaris, Medan, 2007

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008
Sukanto, Soerdjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995

Syahril Sofyan, Intisari Kuliah, TPA I, 2006

Syamsuddin A Qiram Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian,Lyberti, Yogyakarta,


1985

Tobing, GHS, Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, 1983

Tunggal, Hadi Setia, Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Jabatan Notaris,


Dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi dan AD, ART dan Kode Etik
Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006

Untung, Budi, Visi Global Notaris, Andi Yogyakarta, 2001

Utrecht, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Bandung, 1965

Warsito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Tama,


Jakarta, 1997

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, 1996

_______, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

B. Peraturan Perundang-undang

Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Undang-undang Jabatan Notaris

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Himpunan Etika Profesi Berbagai Kode Etik Asosiasi di Indonesia

C. Majalah

Media Notariat, Tahun – I No 2, Oktober 1999

____________, Edisi Mei – Juni 2004

Renvoi Nomor : 9.21. II Tanggal 3 Februari 2005

______, Nomor : 10.22. II Tanggal 3 Maret 205

Yusnani : Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

Anda mungkin juga menyukai