Anda di halaman 1dari 25

PSIKIATRI FORENSIK

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa sistem
pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan hukum tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka. Dengan demikian, atas dasar hal tersebut, maka semua
perbuatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun negara harus
berdasarkan hukum. Salah satu ketentuan yang mengatur bagaimana aparatur
penegak hukum melaksanakan tugasnya terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mempunyai tujuan untuk
mencari dan mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana sehingga suatu tindak pidana dapat
terungkap dan pelakunya dijatuhi putusan yang seadil-adilnya
1.

Dalam proses persidangan, hal yang penting adalah yaitu proses
pembuktian sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian
merupakan salah satu hal yang utama untuk Majelis Hakim dalam
memutuskan suatu perkara tindak pidana
1
.
Pasal 183 KUHAP menyatakan; 'Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
1
.
Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa ketentuan
tersebut demi tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang. Sementara itu, Pasal 184 KUHAP menyatakan
1
:
1) Alat bukti yang sah ialah:
a) keterangan saksi;
b) keterangan ahli;
c) surat;
d) petunjuk;
e) keterangan terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud


dengan keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus
yang dimiliki oleh seorang saksi ahli tidak dapat dimiliki oleh sembarangan
orang, karena merupakan suatu pengetahuan yang pada dasarnya dimiliki oleh
orang tertentu
1,2
.
Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
menjelaskan bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang
melakukan suatu perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya, disebabkan karena kurang sempurnanya kemampuan berIikir atau
karena sakit ingatannya
1,2
.
Berdasarkan penjelasan Pasal 44 ayat (1) di atas, untuk dapat
mengetahui 'kurang sempurna kemampuan berIikir atau sakit ingatan, maka
diperlukan suatu keahlian khusus. Dalam hal ini orang yang memiliki keahlian
khusus, yaitu ahli psikiatri Iorensik. Dengan demikian, maka ahli psikiatri
Iorensik memiliki peran dan kedudukan khusus dalam penyelesaian perkara
pidana.
1,2

Dalam hukum pidana modern yang merupakan bagian dari politik
kriminal disamping penanggulangan menggunakan sistem pidana, dari usaha
yang rasional menanggulangi kejahatan masih ada cara lain untuk melindungi
masyarakat dari kejahatan. Misalnya usaha peningkatan jiwa masyarakat,
maka setiap orang menjadi sadar untuk berperilaku sesuai dengan hukum,
dalam upaya menyelaraskan kehidupan masyarakat karena mempertinggi
tingkat kesadaran (kesehatan) jiwa manusia terhadap hukum berarti sekaligus
ikut menunjang sehatnya penegakan hukum.
2
Kejahatan penculikan yang dilakukan oleh wanita, kejahatan pencurian
atau perampokan tertentu, pembunuhan bayi, perkosaan, kejahatan sex
tertentu, perbuatan kenakalan dan lain-lainnya itu merupakan pelanggaran
hukum yang berkaitan dengan kesehatan jiwa seseorang. Dalam upaya
menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat
terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang

maksimal, misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan


pemeriksaan kesehatan mental atau jiwa dari baik pelaku, saksi, atau pihak-
pihak yang berkepentingan dengan perkara tersebut tidak memeberikan
keterangan yang akurat atau dalam bahasa orang awam keterangan tersebut
tidak sesuai dengan yang sesungguhnya ia ketahui.
2

I.2. Defenisi
Ada beberapa pengertiaan yang dikemukakan oleh ahli kedokteran
Iorensik, diantaranya Sidney Smith mendeIinisikan Forensic medicine may
be defined as the body of medical and paramedical scientific knowledge which
may services in the adminitration of the law`, yang maksudnya ilmu
kedokteran Iorensik merupakan kumpulan ilmu pengetahuan medis yang
menunjang pelaksanaan penegakan hukum. ProI.Dr.Amri Amir,Sp.F (2007)
mendeIinisikan Ilmu Kedokteran Forensik sebagai penggunaan pengetahuan
dan keterampilan di bidang kedokteran untuk kepentingan hukum dan
peradilan.
2

Ada kecenderuangan untuk menganggap bahwa psikiatri Iorensik
merupakan cabang dari ilmu kedokteran Iorensik. Di lain pihak, ada pula yang
menganggap psikiatri Iorensik merupakan cabang ilmu psikiatri. Istilah
psikiatri Iorensik merupakan terjemahan dari forensic psychiatry merupakan
suatu istilah yang sudah lazim digunakan psychiatry Iorensik merupakan sub
spesialisasi ilmu kedokteran yang menelaah mental manusia dan berIungsi
membantu hukum dan peradilan. Sub spesialisasi ini merupakan titik singgung
antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum dimana kegiatan utamnyanya adalah
pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum untuk kasus pidana sebagai
salah satu alat bukti seperti yang termaktub dalam pasal 184 (1) KUHAP
yakni sebagai keterangan ahli.
2,3,6

I.3.Sejarah
Ilmu kedokteran kehakiman mulai muncul kira-kira 2000 tahun S.M.
di Mesir yakni di Babylon yang mana terdapat undang-undang dari raja
Hammurabi (codex Hammurabi) dan di dalamnya sudah terdapat konstitusi
mengenai dasar ilmu kedokteran kehakiman. Imhotep seorang tokoh agung
dan kepala arsitek dari Mesir zaman Firaun, adalah tokoh hukum besar

pertama yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan kedokteran dan dikenal


sebagai orang yang pertama kali dijelaskan sebagai ahli medikolegal.
3,6,7

Kemudian pada jaman Romawi sewaktu pemerintahan Julius Caesar
sudah ada kemajuan dalam ilmu kedokteran kehakiman, sehingga pada waktu
Julius Caesar di bunuh oleh Brutus maka dapat diketahui bahwa dari 23 luka
tusukan yang ada di tubuhnya hanya satu tusukan saja yang menyebabkan
kematiannya yaitu tusukan di dadanya
3,6,7
.
Caesar Lombroso ialah seorang dokter yang menjadi bapak angkat
para ahli hukum pidana dan kriminologi yang meletakkan dasar pemikiran
hubungan antara hukum pidana dan kejahatan dengan memperhatikan Iaktor
'manusia pelaku kejahatan. Demikian pula Anselm von Feuerbach juga telah
memperhatikan Iaktor 'kejiwaan manusia dalam merumuskan hukum pidana
dan penerapan sanksi pidana.
3,4,5

Dahulu, penyelidikan dalam kasus-kasus yang melibatkan ilmu
pengetahuan Iorensik hanya mengandalkan bukti Iisik yang ada, barulah pada
akhir pertengahan abad ke-19 dimana mulai banyak ditemukan alat-alat baru
di bidang ilmu pengetahuan, penelitian di bidang ilmu Iorensik mulai
menggunakan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dirasa dapat membantu
dalam melakukan investigasi atau penyelidikannya. Ilmu-ilmu itu antara lain
adalah kimia, mikroskopi, dan IotograIi. Hal ini menyebabkan revolusi dalam
kasus-kasus yang sedang diselidiki pada waktu itu, dan meningkatkan
validitas hasil dari penyelidikan yang sedang dilakukan.
4,6

Kemajuan ilmu pengetahuan Iorensik di atas mendorong kerjasama
antara pihak kepolisian dengan pihak Iorensik yang biasanya terdiri dari para
ilmuwan atau akademisi di bidang kimia ataupun pharmakologi, dimana pihak
kepolisian yang mencari data atau bukti yang ada sedangkan para ilmuwan di
bidang Iorensik yang akan meneliti bukti yang diberikan oleh pihak polisi.
7
Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya penduduk
maka jumlah kejahatan pun semakin meningkat, hal ini mendorong polisi
mendirikan sendiri sebuah biro yang khusus untuk meneliti masalah Iorensik,
dengan maksud untuk lebih menjangkau dan lebih Iokus terhadap kasus-kasus
yang ada.
7

Perkembangan ilmu pengetahuan Iorensik moderen mulai tampak pada


akhir abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan Iorensik Amerika
mempelajari tentang pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik,
dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi,
psikologi dan berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu
Iorensik.
7
Di masa sekarang, ilmu kedokteran Iorensik diartikan sebagai ilmu
yang menggunakan pengetahuan ilmu kedokteran untuk membantu peradilan
baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ilmu kedokteran
kehakiman juga memiliki tujuan dan kewajiban yaitu membantu kepolisian,
kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya
dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagian besar
masalah yang diteliti dalam ilmu kedokteran kehakiman bersangkutan dengan
suatu tindak pidana, dan yang terpenting dalam hal ini ialah kebanyakan untuk
meneliti sebab akibat (causal verband) antara suatu tindak pidana dengan luka
pada tubuh, gangguan kesehatan atau matinya seseorang.
7
Ilmu kedokteran Iorensik tidak semata-mata bermanIaat dalam urusan
penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga
bermanIaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam
membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil baik bagi pihak yang
mengasuransi maupun yang diasuransi, dalam membantu memecahkan
masalah paternitas (penetuan ke ayah-an), dan masih banyak hal lagi.
7,8
Agar hal-hal di atas dapat berjalan dengan baik maka di dalam bidang
ilmu kedokteran Iorensik dipelajari tata laksana mediko legal, tanatologi,
traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala sesuatu yang terkait,
hal ini agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu penyidik,
dapat benar-benar memanIaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk
kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanIaat bagi kehidupan
bermasyarakat. Kegiatan utama dari psikiatri Iorensik adalah membuat Visum
et Repertum Psychiatricum.
7,8
Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita
penyakit jiwa atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini

Iorensik psychiatry (ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan Ioresnsik


medicine (ilmu kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu
disegi hukum terutama dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam
Iorum peradilan.
1
Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat
diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk
menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa
tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi
kemudian rumusan tersebut dihapuskan.
1
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum
diperuntukan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka
pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan
bertanggungjawab bagi tersangka. Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam
kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian akan
tetapi untuk kepentingan kesehatan tersangka dalam rangka penyelesaian
proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka
ini sangat diperlukan selain menyangkut perlindungan hak azasi manusia juga
untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga
manusia.
1

II. TIN1AUAN PUSTAKA
II.1. Landasan Hukum
Di dalam teori hukum pidana, dalam menilai kekuatan pembuktian
alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem pembuktian, antara lain
1
:
1. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positiI !ositive
Wettelifk Bewifstheorie);
2. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu conviction
intime);
3. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis
aconviction Raisonnee);
4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara NegatiI egatief
Wettelifk);

Sedangkan di dalam Pasal 184 KUHAP yang dijelaskan bahwa alat


bukti yang sah yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut, apabila melihat membaca
bunyi Pasal 1 butir 28, Pasal 133 ayat (1) dan Pasal 179 ayat (1) KUHAP,
dapat dijelakan bahwa saksi ahli adalah seorang dokter, baik itu dokter ahli
ilmu kedokteran kehakiman ataupun bukan. Pasal 133 KUHAP menjelaskan,
bahwa yang dapat memberi keterangan ahli adalah ahli ilmu kedokteran
kehakiman, sehingga dengan demikian, jelaslah bahwa menurut Pasal 133
KUHAP bahwa dokter umum bukan termasuk dari bagian saksi ahli. Namun
apabila diteliti lagi mengenai bunyi Pasal 133 KUHAP yang jelas-jelas
menyatakan bahwa penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kahakiman atau ahli lainnya.
1

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa
bunyi Pasal 133 KUHAP tidak sejalan dengan penjelasannya. Dengan
demikian, maka dapat diartikan bahwa suatu bunyi pasal tertentu yang tidak
sejalan dengan penjelasannya, maka bunyi pasal yang sudah jelaslah yang
dianut terhadap maksud si pembuat undang-undang (penjelasannya).
1
Sementara itu, untuk masalah permintaan bantuan seorang saksi ahli
hanya dapat diajukan secara tertulis dengan menyebutkan jenis bantuan atau
pemeriksaaan yang dikehendaki. Misal, terjadi kasus tindak pidana kekerasan
yang mengakibatkan korban meninggal dunia, maka dengan demikian
permintaan bantuan terhadap saksi ahli dalam hal ini saksi ahli Iorensik harus
diperjelas. Maksud diperjelas adalah sebatas bantuan apa yang diperlukan
untuk sebagai barang bukti tertulis atau lisan, apakah pemeriksaan yang
dilakukan oleh saksi ahli Iorensik hanya sebatas pemeriksaan luar
(pemeriksaan Iisik) atau pemeriksaan luar dan dalam (autopsi).
1

Keterangan saksi ahli yang dapat disebut sebagai alat bukti yang sah
dalam Pengadilan dapat berupa
1
:
1. Secara Tertulis 'isum Et Repertum)
2. Secara Lisan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa saksi ahli
mempunyai Iungsi yang penting dalam proses peradilan, baik itu dalam masa

penyidikan sampai dengan adanya putusan yang divoniskan Hakim dalam


suatu Pengadilan.
1

Dalam proses pembuktian persidangan, keterangan saksi ahli dapat
dikelompokan menjadi beberapa macam, yaitu antara lain
1
:
a) Sebagai alat bukti yang terbagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu surat dan
keterangan ahli.
b) Sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti.
c) Sebagai keterangan yang hanya menguatkan keyakinan Hakim.
d) Sebagai keterangan yang tidak berIungsi apa-apa.
II.2. Psikiatri Forensik
Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) dan Hukum, kedua-duanya
menghadapi dan menanggulangi tingkah laku manusia, Psikiatri lebih banyak
daripada hukum. Psikiatri mencari dan menentukan tenaga-tenaga dan daya-
daya yang mengakibatkan perubahan-perubahan, penyimpangan-
penyimpangan (deviasi-deviasi), tingkah laku dan berusaha bagaimana
caranya untuk mengalihkan dan mengubahnya, sehingga menuju kepada
hubungan antar pribadi yang jelas, tenang dan baik, kepada tujuan-tujuan yang
lebih konstruktiI dan lebih tersosialisasi, sedangkan Hukum lebih banyak
menghadapi kontrol sosial tingkah laku manusia.
6,8

Di dalam psikiatri sendiri terdapat cabang psikiatri yang khusus
mempelajari psikiatri tentang kehakiman atau sering disebut psikiatri Iorensik.
Masalah yang dihadapi oleh psikiatri Iorensik adalah masalah-masalah legal
dan masalah medis, atau secara singkatnya dapat dikatakan bahwa tugas
psikiatri Iorensik adalah mendukung hal-hal legal atau hukum melalui ilmu
psikiatri. Untuk lebih jelasnya ruang lingkup dari psikiatri Iorensik adalah
sebagai berikut:
a) memasukkan penderita ke dalam Rumah Sakit Jiwa
b) Psikiater dan hukum pidana
c) Psikiater dan hukum perdata
d) Indikasi bagi pemeriksaan psikiatris
e) Psikiater sebagai saksi ahli.

Dewasa ini tugas seorang psikiatri Iorensik tidak hanya berhubungan


dengan hukum dan undang-undang saja tetapi juga berhubungan dengan
sosiologi, psikologi, pekerjaan sosial dan ilmu pengetahuan tingkah laku yang
lain. Kegiatan utama psikiatri Iorensik adalah pembuatan Visum et Repertum
Psychiatricum.
7
Tingkah laku manusia adalah merupakan maniIestasi daripada Iungsi
kejiwaan, yaitu Iungsi berpikir (rasio, intelek) dan Iungsi perasaan (aIektiI,
emosi). Manusia selain dapat berpikir dan berperasaan secara sadar, dapat pula
berpikir dan berperasaan tanpa disadari. Adanya bagian jiwa yang tak sadar
tersebut merupakan Iaktor yang berperan di dalam maniIestasi gangguan jiwa,
di mana seseorang dapat berbuat di luar batas-batas normal sampai kepada
tindakan yang bersiIat kriminal, sedangkan yang bersangkutan itu sendiri tidak
mengerti mengapa hal tersebut dapat terjadi.
9

Psikiatri Iorensik memiliki perhatian khusus dalam masalah yang
berhubungan dengan kesaksian di ruang pengadilan dan beberapa dari mereka
menekuni praktik hingga spesialis psikiatri Iorensik. Mereka dapat dipanggil
untuk membantu mengevaluasi terdakwa memiliki kompetensi untuk
menangani urusan pribadi seperti kemampuan untuk memasukkan kontrak
atau untuk membuat dokumen legal. Mereka diminta bersaksi untuk
penuntutan kasus kriminal atau untuk penuntut dalam perkara perdata.
4

Ada kalanya, dalam kematian yang tidak wajar dan rumit, psikiatri
memainkan peran signiIikan sebelum pemeriksaan pengadilan dimulai atau
sebelum terdakwa benar-benar ditahan. Bukti psikiatri dalam ruang pengadilan
diproses melalui pemeriksaan tersangka untuk mengevaluasi status mentalnya
dan untuk menentukan apakah status pikirannya pada saat melakukan
kejahatan sesuai dengan deIinisi gangguan jiwa yang digunakan dalam
yurisdiksi di mana kriminal berperan. Psikiatri dapat menetukan kompetensi
terdakwa dan kemampuannya untuk menegakkan pemeriksaan pengadilan.
4

Kesaksian psikiatri juga dapat digunakan untuk menghitung kesaksian
oposisi dalam sebuah kasus yang melibatkan masalah psikiatri. Kesaksian
seorang psikiatris dapat didukung oleh hasil tes psikologi. Pemeriksaan
neurologi untuk disIungsi organik otak seperti epilepsi psikomotor, dapat juga

digunakan untuk mendukung pemeriksaan psikiatri dalam menilai gangguan


jiwa dan kompetensi terdakwa. Psikitaris dipanggil oleh pembela atau
penuntut yang mungkin memiliki pendapat yang kontras tergantung latihan
dan orientasi teori mereka. Hal ini member wewenang pada juri untuk
memutuskan sudut pandang mana yang lebih dapat diterapkan.
4

Sebuah anamnesis psikiatri Iorensik dapat mencakup sejumlah evaluasi
yang berbeda. Anamnesis tersebut dapat mungkin saja mencakup kesaksian
dari saksi ahli dalam persidangan pidana atau perdata, atau mungkin saja
sebuah evaluasi medis independen untuk perusahaan asuransi, tenaga kerja,
atau yayasan penyandang cacat. Dalam setiap kasus, penyidik meminta ahli
psikiatri untuk mengklariIikasi masalah medis sebagaimana kaitannya dengan
masalah hukum.
10

Evaluasi Iorensik secara Iundamental berbeda dengan prosedur rutin
pelayanan medis, meskipun cara penyajiannya tumpan tindih secara
signiIikan. Pendapat yang dihasilkan dari anmnesis dapat membantu,
membahayakan, atau netral terhadap tersangka. Poin ini membedakan
anamnesis psikiatri klinis dengan evaluasi Iorensik dikarenakan implikasi
praktis dan etis. Hubungannya bukan dokter-pasien, tetapi lebih kepada yang
mengevaluasi dan yang dievaluasi (evaluator-evaluee).
10

Konteks evaluator-evaluee berangkat dari jenis hubungan dokter-
pasien. Evaluee sebaiknya menunjukkan pemahaman yang jelas atas
perbedaan ini, khususnya yang berkaitan dengan privasi dan konsekuansi
pemeriksaan.
10

Anamnesis dapat mencakup penggunaan instrument yang telah
dibakukan yang lebih sensitiI terhadap malingering, memberikan derajat
pengawasann yang lebih tinggi sesuai dengan keuntungan sekunder dalam
setting Iorensik. Penggunaan dan interpretasi ini sebaiknya digunakan secara
hati-hati oleh pemeriksa tanpa latihan Iormal. Evaluasi dokumen kolateral dan
inIormasi yang dikumpulkan melalui anamnesis kolateral juga dapat
mengidentiIikasi konsistensi atau inkonsistensi laporan tersangka sehubungan
dengan penyakit yang diharapkan. Karena variasi yang luas dalam pertanyaan
klinis ditandai dengan anamnesis Iorensik, pertanyaan di luar lingkup klinis

tipikal harus diklariIikasi dengan mempertahankannya oleh pengacara.


Diasumsikan pertanyaan rujukan sudah sesuai, pertanyaan harus ditandai
dalam laporan tertulis jika suatu saat diminta.
10

II.2.1 Kompetensi untuk Menegakkan Pemeriksaan
Tanpa memperhatikan kondisi mental terdakwa pada saat
melakukan aksi kriminal, terdakwa tidak dapat diperiksa hingga terdakwa
dapat mengerti maksud dan tujuan prosedur yang menjeratnya dan untuk
membantu pembelaan dirinya. Tuntutan terhadap orang yang tidak mampu
akan menjadi pelanggaran terhadap prosedur. Terdakwa yang menjadi
inkompeten secara mental setelah penjatuan hukuman tidak dapat
diberlakukan hukuman sebagai kriminal atas pelanggarannya. Aturan ini
diterapkan pada semua bentuk hukuman, termasuk hukuman mati. Akan
tetapi, tertuduh dapat dipenjarakan di rumah sakit jiwa untuk pelindungan
mereka dan masyarakat. Kesaksian psikiatris dapat diberikan dalam situasi
lain di mana dicurigai adanya gangguan jiwa. Psikiatris dapat membantu
menentukan kompetensi atau kekuatan kesaksian. Psikiatris juga diminta
menentukan apakah terdakwa dalam keadaan mampu melakukan tindak
pidana tersebut atau apakah ada pengakuan yang dipertanyakan.
4

Ada beberapa pertimbangan ketika menentukan status kejiwaan
sesorang. Jenis gangguan yang paling banyak antara lain
10
:
1. Retardasi mental.
2. Sindroma otak organik, terutama demensia senile dan pre-senile,
psikosis alkoholik, dan semisalnya.
3. Psikosis yang tidak disebabkan oleh kondisi Iisik, termasuk status
paranoid, skizoIrenia, dan psikosis aIektiI.
4. Neurosis.
5. Gangguan kepribadian, termasuk alkoholisme, ketergantungan obat,
dan penyimpangan seksual.
II.2.2.Pemeriksaan Psikiatri
Pemeriksaan psikiatrik terhadap pelaku kejahatan diperlukan atas
dasar KUHP pasal 44 ayat 1 dan 2, yang menyatakan sebagai berikut
9
:

1. Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang


tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang
sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah
hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-
lamanya satu tahun untuk diperiksa.
Perlu tidaknya pemeriksaan psikiatrik terhadap pelaku kejahatan di
dalam kaitannya untuk mengetahui sampai sejauh mana dia dapat diminta
pertanggungjawabannya atas perbuatan yang dilakukan tergantung dari
hakim, sebagaimana tercantum di dalam KUHP pasal 44 ayat 3, yang
menyatakan sebagai berikut:
3. Ketentuan pada ayat di atas ini hanyalah berlaku untuk Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Indonesia yang setingkat
Pengadilan Negeri.
Di dalam struktur jiwa terdapat 3 unsur, yaitu yang dinamakan id,
ego, dan super ego, di mana masing-masing unsur atau sebagian tersebut
mempunyai Iungsi-Iungsi tersendiri
9
.
Id seluruhnya terletak dalam jiwa tak sadar, berIungsi sebagai
suatu pendorong dengan instink-instinknya. Id dapat dianggap sebagai
motor, daya penggerak, suatu bagian vital. Tanpa id, suatu makhluk tidak
dapat hidup. Id sudah ada sejak manusia dilahirkan
9
.
Ego adalah bagian yang harus memberikan arah atau
mengemudikan semua instinknya yang berasal dari id. Sebagian dari ego
terletak dalam jiwa sadar. Ego harus menimbang, menilai, dan mengambil
keputusan untuk mengambil sesuatu. Jika ego cacat maka dapat dilihat
penjelmaannya dalam bentuk tingkah laku yang tidak normal. Ego
terbentuk selama perkembangan di mana masa yang paling menentukan
struktur ego adalah masa bayi sampai usia 6 tahun
9
.
Super ego dapat dianggap sebagai badan sensor atau pengawas atau
hakim. Bagian ini menilai perbuatan-perbuatan suatu tindak tanduk yang
dijelma oleh ego sebagai pelaksana dari id. Bila super ego menilai

perbuatan manusia itu tidak baik, ia dapat 'menghukumnya: dan manusia


itu akan merasakannya sebagai suatu perasaan bersalah atau berdosa
(guilty Ieeling). Super ego sebagian besar terletak dalam jiwa tak sadar,
sedangkan bagian yang disadari dikenal dengan istilah 'hati nurani. Super
ego terbentuk selama perkembangan manusia
9
.
Ego dan super ego menentukan struktur kepribadian manusia.
Perkembangannya tidaklah terjadi begitu saja melainkan melalui proses
perkembangan/belajar (learning process), di mana peranan orang tua dan
masyarakat lingkungan amat menentukan atas baik atau buruknya
kepribadian seorang manusia
9
.
Gangguan jiwa (psikosa) yang berkaitan dengan tindakan-tindakan
kriminal dapat dibagi dalam 3 golongan
9
:
1. Mereka yang menderita penyakit epilepsi (ayan), di mana pada waktu
serangan epilepsi tersebut taraI kesadaran dapat berubah dan pada saat
terjadinya perubahan kesadaran tersebut ia dapat melakukan perbuatan
atau tindakan yang bersiIat kriminal, misalnya melakukan
pembunuhan. Akan tetapi bila kesadarannya pulih kembali, ia tidak
ingat lagi apa yang telah dilakukannya. Keadaan tersebut dinamakan
amnesia. Untuk dapat mengetahui apakah pelaku kejahatan itu
menderita epilepsi diperlukan pemeriksaan neurologik dan pemerikaan
khusus, yaitu pemeriksaan EEG (Electro Encephalo Graphy) untuk
merekam aktivitas otak. Epilepsi yang menunjukkan gejala-gejala
psikiatrik (psikosa) disebut jenis epilepsi psikomotor.
2. Tindakan kriminal yang dilakukan karena taraI kesadaran si pelaku
menurun, tidak compos mentis, dapat terjadi apabila ia menderita
penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Keadaan tersebut dikenal dengan istilah amentia, yaitu suatu keadaan
kekacauan halusinatorik akut dengan kesadaran yang menurut
kebiasaannya disebabkan karena sedang menderita penyakit inIeksi
atau kelelahan. Gangguan jiwa yang terjadi disebut psikosa
simptomatis.

3. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang menderita


gangguan jiwa yang tergolong dalam psikosa Iungsional (gila). Dalam
gangguan jiwa ini kesadaran Iisik baik/compos mentis, akan tetapi
kesadaran mentalnya jelas terganggu. Cirri khas dari psikosa
Iungsional adalah tidak ada Iaham sakit (discriminative insight buruk
sekali), ia tidak merasa dirinya sakit. Di dalam psikosa Iungsional ini
bidang alam perasaannya terganggu, yang mana dapat bermaniIestasi
sebagai tindakan atau perbuatan kriminal.
II.2.3.Indikasi
Keperluan evaluasi Iorensik secara umum diminta dengan adanya
kebutuhan terhadap pendapat objektiI tentang keberadaan, tingkat
keparahan, atau penatalaksanaan gangguan jiwa. Hal ini dapat digunakan
dalam pengadilan pidana maupun perdataoleh tenaga kerja, atau oleh
perusahaan asuransi untuk menentukan
10
:
1. Kompetensi untuk menegakkan keadilan
2. Dinyatakan tidak bersalah dikarenakan gangguan jiwa
3. Mitigasi
4. Trauma personal
5. Pengawasan orang tua
6. Perwalian
7. Kompetensi untuk dimasukkan dalam kontrak
8. Kapasitas wasiat
9. Kebugaran untuk melaksanakan kewajiban
10.Pengukuran tingkat risiko
11.Kecacatan
II.2.4. Kontraindikasi
Kontraindikasi relatiI primer untuk sebuah pemeriksaan Iorensik
adalah adanya hubungan pengobatan tersangka. Kontraindikasi ini tidak
absolut, tetapi penting untuk dijelaskan kepada semua pihak yang terlibat
bahwa hubungan pengobatan menghalangi derajat objektivitas ideal.
Hubungan dokter-pasien secara umum mengasumsikan bahwa dokter lebih
condong sebagai advokat pasien dibanding seorang evaluator yang bersiIat

netral. Lebih jauh lagi, keinginan untuk menjaga hubungan pengobatan


dapat berdampak pada pemeriksaan. Akhirnya, pasien memasuki
hubungan pengobatan dengan harapan privasi dan sebagaimanya siIat dari
hubungan tersebut.
10

II.3.Visum et Repertum Psychiatricum.
II.3.1 Fungsi VeRP
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal
44 (1) KUHP yang berbunyi Barang siapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi
mental juga terkena pasal ini.
8
Adapun Fungsi VeRP yakni :
a) Membantu menentukan apakah terperiksa mengalami gangguan jiwa
dengan upaya menegakkan diagnosis
b) Membantu menentukan kemungkinan adanya hubungan antara
gangguan jiwa pada terperiksa dengan peristiwa hukumnya.
c) Membantu mentukan kemampuan bertanggung jawab pada terperiksa.
d) Membantu menentukan cakap tidaknya terperiksa bertindak dalam lalu
lintas hukum
Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku
tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu
visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi
Iisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau
tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah
lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang
bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
7,8
Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat
diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di
depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi
kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
11

II.3.2.Tahap Pemeriksaan Psikiatri Forensik


8,4,11

1. Pemeriksaan kemampuan bertanggung jawab
a. Tahap kemampuan menyadari tindakan
Seharusnya pelaku dapat mempersepsi kemudian menginterpretasi
dan mengambil kesimpulan dari suatu stimulus. Kesadaran disini
dinilai dengan pemeriksaan kesadaran.
b. Tahap memahami tindakan
Stimulus respon menelaah nilai dan resiko terhadap diri dan
lingkungan (discriminative insight) alternatiI respon yang
mempertimbangkan baik-buruk, tinggi rendah, dosa pahala
(discriminative judgement).
c. Tahap pemilihan dan pengarahan tindakan
Seseorang yang normal dan mampu bertanggung jawab akan bebas
mempertimbangkan dan memilih respon yang akan bebas
mengarahkan respon yang dipilih sebagai suatu tindakan.
2. Pemeriksaan Kompetensi dalam Lalu lintas Hukum
Tindakan yang mungkin akan dilakukan oleh si terperiksa terutama
yang bersangkutan dengan hartanya atau dalam hubungannya dengan
hubungan sosial yang memiliki konsekuensi yuridis. Pada gangguan
jiwa yang reversible, penentuan kompetensi tidak begitu berarti.
Sedangkan gangguan jiwa yang menetap (irreversible), maka akan
berlanjut pada kasus-kasus pengampunan, hibah, atau pewarisan dan
sebagainya.
3. Penentuan hubungan sebab akibat antara suatu kondisi dengan
timbulnya gangguan jiwa. Kasus-kasus yang memerlukan pemeriksaan
ini adalah :
a) Kasus yang terperiksa adalah korban
b) kasus ganti rugi pada gangguan jiwa atau cacat akibat suatu kondisi
kerja
4. Kompetensi untuk ditanya (competence to be interviewed) dan
kelayakan untuk diajukan di sidang pengadilan ( Iitness to stand trial)

Seseorang (terperiksa) akan diajukan ke pengadilan harus memenuhi


syarat-syarat berikut :
a) Apakah sidang dapat dilaksanaka (applicable)? Sidang dapat
dilaksanakan apabila terperiksa dapat menaati peraturan ketertiban
sidang.
b) Apakah sidang tidak berbahaya (harmIul) bagi terperiksa? Sidang
tidak dapat dilaksanakan apabila suasan sidang teralu menekan
sehingga terperiksa menjadi sakit atau bahkan meninggal
c) Apakah sidang bermanIaat (beneIicial)? Diharapkan dalam sidang,
terperiksa mengerti akan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan
dapat mengungkapkan pendapatnya dan dimengerti orang lain
II.4.CONTOH KASUS
7
M. bin S., laki-laki Sunda, umur 27 tahun, telah dikirim oleh Jaksa
Tasikmalaya dengan Surat Ketetapan Hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya,
untuk diperiksa kesehatan jiwanya. Dituduh telah membunuh seorang guru
sampai meninggal.
Mulai dirawat tanggal 19 Maret 1970, pernah dirawat di Rumah Sakit
Jiwa Pusat Bogor tanggal 21 Mei 1969 dan melarikan diri pada tanggal 22
Agustus 1969. M. adalah seorang pendiam, sedikit sedih, menjawab
seperlunya. Perasaan datar, acuh tak acuh dan hormat, sopan. Pakaiannya bagi
orang kampung cukup bersih dan teratur. Pendidikan hanya sampai kelas Lima
Sekolah Dasar (SD) dan kemudian membantu ibunya jualan di warung.
a) Sebab dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor : banyak bicara,
melempari rumah orang, karena merasa selalu panas dan selalu pusing ,
rasa disengat listrik, segan dan malas, kurang tidur.
b) Halusinasi dengar : mendengar suara perempuan dalam jiwanya sendiri
yang merayu, mengajak, menghina.
c) Halusinasi visual : bayangan laki-laki dan wanita itu.
d) Halusinasi olIaktori : bau makanan, bau obat, bau rokok, bau minyak.
e) Halusinasi taktil : pernah merasa dipegang didaerah lengan.
Halusinasi-halusinasi tidak ada lagi dan tidak pusing. Sebelumnya
ingin pacaran dengan tetangganya, yang bekerja bersamanya pada ibunya di

warung. Wanita itu tinggal bersama ibunya dan ia sendiri, tetapi ia tidak
pernah mengadakan hubungan kelamin dengannya, sungguhpun banyak
kesempatan, malahan tidak pernah menyentuhnya. Lama-kelamaan ia merasa
pusing.
Kemudian ke warung datang istri guru itu. Ia sering mengobrol
dengannya. Dalam ingatannya ia merasa cinta terhadap nyonya itu. 'saya
melayaninya karena ia terus melayani saya. Mereka sering berdua-duaan,
tetapi tidak pernah pergi bersama-sama. Hanya di halaman saja, karena
nyonya itu sering datang untuk menagih.
Pukul setengah delapan malam itu, ia secara mendadak pergi ke rumah
nyonya itu. Sepulangnya dari warung, tiba-tiba ia merasa panas dalam pikiran,
lalu mengambil pisau dapur dan pergi ke rumah nyonya itu. Di rumah nyonya
itu si suami sedang menghadapi dua orang tamu. Pintu di dobrak dengan kaki
dan terus masuk. Guru itu mengejarnya, lalu pisau ditusukkan. Tidak ada
suara-suara yang menyuruhnya. Yang ada hanya suara perempuan merayu,
mengajak mati dan menghina.
Ada perasaan menyesal karena telah melakukan pembunuhan, tetapi
tidak kelihatan di raut wajahnya. Ia banyak pikiran sedih. Ia telah membunuh
karena cinta isteri orang lain. Ia sadar bahwa tidak boleh membunuh
seseorang, karena cinta kepada isteri orang itu.
Sebabnya ia membunuh, karena kegelapan, karena tidak tahan
gangguan-gannguan, karena pikiran-pikiran saja. Pikiran banyak, terus saja
ingat pada perempuan itu.
Pemeriksaan psikologis:
M. memiliki kecerdasan yang agak rendah. IQ kurang dari 70.
Pengalamannya tidak mengikuti perkembangan umurnya, sehingga
kecerdasannya tidak sesuai umurnya. Kehidupan emosional juga terhambat
dan masih bersiIat inIantil. Juga tingkah lakunya bersiIat kekanak-kanakan. Ia
tidak sanggup menilai kenyataan dengan baik. Mudah terpengaruh
(suggestibel) dan suka lari ke dalam khayalan. Karena perkembangan
kepribadiannya tidak baik, ia tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah
hidup, sering mengalami kekecwewaan dan konIlik-konIlik batin.

Selama dalam observasi terlihat pola regresi. Ia selalu mengasingkan


diri, sulit mengadakan hubungan dengan perawat-perawatnya. Pikiran dan
tingkah laku seperti anak-anak.
Pemeriksaan psikiatris:
Pikiran dan tingkah lakunya seperti kanak-kanak. Ia dikuasai oleh
naIsu-naIsu yang berasal dari alam bawah sadar, tidak dipengaruhi oleh
hukum-hukum logika, waktu dan nilai-nilai masyarakat yang teratur. Terdapat
pembelahan emosi dan intelegensi seperti pada masa kanak-kanak, karena
pada masa kanak-kanak belum lagi terdapat diIerensiasi tegas dan wajar antara
kedua-duanya.
Masalah adolesensi dan kedewasaan, yang membawa ketegangan dan
konIlik-konIlik tidak dapat dihadapinya dengan wajar, yang menyebabkan ia
lari kepada pola-pola regresi (kekanak-kanakan; inIantil), yang bersiIat
ski:ofrenia. Dengan cara demikian ia dapat menghindarkan diri dari apa-apa
yang tidak dapat diterima dalam tingkatan sadar.
Sampai berapa jauhnya ia sembuh dari pengobatan di Bogor, tidak
diketahui. Rupa-rupanya penyembuhan hanya sampai pada tingkatan sembuh
sosial, dalam arti ia sudah dapat berjualan di warung ibunya, tidak
mengganggu, tidak merusak.
Tetapi pikirannya masaih inIantil atau autistis, banyak mengkhayal,
tidak memperdulikan kenyataan. Ketika sering bertemu dengan nyonya, isteri
guru itu, timbul pikiran dan dalam khayalannya, bahwa nyonya itu
mencintainya dan ia mencintai pula perempuan itu.
Cinta disini harus diartikan bukan cinta yang berwarna seksual., tetapi
cinta untuk memiliki. Apakah ia sepenuhnya mengerti apa sebenarnya
hubungan kelamin, disangsikan. Selama hidup dengan pembantu ibunya, yang
serumah dengannya, ia tidak melakukan hubungan kelamin dan tidak pernah
pula menyentuhnya, sungguhpun kesempatan banyak terdapat untuk
melakukannya.
Karena ingin memiliki perempuan isteri guru itu, timbul halusinasi dan
waham, bahwa nyonya itu selalu merayunya, mengejek dan menghina.
Nyonya itu mencintanya. Sementara itu ia menyadari, bahwa perempuan itu

sudah bersuami. Ia cukup menyadari, bahwa suami nyonya itu menjadi


penghalang bagi memenuhi keinginannya untuk memilki perempuan yang
'dicintainya itu. Apa yang terjadi sebelum pembunuhan, tidaklah begitu
jelas. Ia bermaksud untuk berpacaran dengan tetangganya. Tetapi ia kemudian
mengambil pisau ke dapur dan terus pergi ke rumah guru itu. Apa yang
dirasakannya tidak dapat ia menerangkannya.
Dalam keadaan tegang bercampur takut sering terjadi, bahwa
seseorang melakukan pembunuhan (Raptus: reaksi terhadap ketegangan yang
tak tertahankan). Pada ski:ofrenia, juga dijumpa raptus, tanpa ada ketegangan
aIek. Ditambah lagi, bahwa tertuduh adalah seseorang yang debil sering
melakukan kejahatan yang dasarnya adalah, kurang kemampuan untuk
memperkirakan akibat dari perbuatannya. Ia tidak cukup memiliki kecerdasan
untuk dapat mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang akan terjadi,
sebagai akibat akan perbuatannya dan akibat bagi dirinya.
Diagnosis : Ski:ofrenia yang menahun (kronis) dengan debilitas mentis.
Kesimpulan : Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena kurang
sempurna akalnya dan sakit berubah akal. Maka menurut pasal
44 ayat (1) KUHPidana, penderita M. sewaktu melakukan
perbuatannya berada dalam keadaan jiwa terganggu, sehingga
ia tidak bertanggungjawab atas perbuatannya sehingga ia tidak
dipidana.










II.5. Contoh VeRP


12

Standar Pelayanan Medik

Pembuatan Surat Keterangan Ahli
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa

&ntuk kepentingan penegakan hukum /'isum et Repertum !sychiatricum
(VeRP)
A. TUJUAN
1. VeRP tersangka menilai kondisi kejiwaan terperiksa pada saat
melakukan tindak pidana dalam kaitan dengan pertanggung jawaban
pidananya.
2. VeRP korban menilai kondisi kejiwaan korban tindak pidana dalam
rangka membantu hakim mengambil keputusan terhadap pelakunya.

B. RUANG LINGKUP
Sarana pelayanan kesehatan jiwa pemerintah meliputi :
Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Pusat dan Daerah, bagian
Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat dan Daerah,
TNI dan Polri yang terjamin keamanan nya dan memiliki prasarana
untuk melakukan pengawasan

C. URAIAN
Surat keterangan ahli dokter spesialis kedokteran jiwa (VeRP)
adalah surat keterangan yang di buat oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa (psikiater) sebagai hasil pemeriksan psikiatrik dan observasi pada
seorang terperiksa di sarana pelayanan kesehatan jiwa ,yang di minta
secara resmi oleh penegak hukum untuk kepentingan peradilan. Dokter
spesialis kedokteran jiwa pembuat VeRP adalah Dokter SpKJ
yang karena pendidikannya sudah memiliki kompetensi untuk
melakukan kegiatan di bidang psikiatri Iorensik, khususnya 'eR!
sesuai standar proIesi. Untuk dapat/boleh membuat 'eR!, harus

memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di sarana pelayanan kesehatan


yang bersangkutan. Pemeriksaan dan observasi psikiatrik dilakukan
oleh Dokter SpKJ. Dalam keadaan tertentu pemeriksaan dan observasi
psikiatrik dapat dilakukan dengan membentuk tim yang terdiri dari
beberapa Dokter SpKJ, psikolog klinis, dan dokter spesialis lainnya
sesuai dengan kebutuhan. Tim diketuai oleh Dokter SpKJ.

D. PROSEDUR
1. Terperiksa dengan diantar penegak hukum sebagai pemohon datang ke
sarana pelayanan kesehatan jiwa dengan membawa surat
permintaan resmi dari penegak hukum sebagai pemohon kepada
Kepala/ Direktur Sarana Pelayanan Kesehatan Jiwa.
2. Pemohon yang di layani adalah :
a) Penyidik Polisi , Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .
b) Penuntut Umum Kejaksaan dalam hal tindak pidana khusus ,
Penuntut Umum KPK .
c) Hakim Pengadilan Negeri , Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
d) Tersangka/terdakwa/korban melalui pejabat sesuai dengan
tingkatan proses pemeriksaan
e) Penasihat hukum/pengacara melalui pejabat sesuai dengan
tingkatan proses pemeriksaan.
3. Permintaan tertulis harus berisi :
a) Identitas lengkap pemohon (nama, pangkat, NRP/NIP, jabatan,
instansi, alamat instansi)
b) Identitas lengkap terperiksa
c) Alasan permintaan pembuatan 'eR!
d) Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai lampiran
4. Terperiksa di periksa tanda-tanda vital dan ditempatkan pada sarana
yang terjamin keamanannya.
5. Terperiksa diperiksa dan diobservasi psikiatrik selama-lamanya 14
(empat belas) hari dan dapat diperpanjang 14 (empat belas) hari lagi bila

pemeriksaan dan observasi psikiatrik belum selesai dengan persetujuan


tertulis pemohon dan dengan memperhatikan masa penahanan. Apabila di
perlukan dapat di lakukan pemeriksaan penunjang antara lain tes
psikometri.
6. Permohonan perpanjangan pemeriksaan dan observasi psikiatrik
dilakukan secara resmi dan tertulis kepada pemohon disertai alasannya
7. Selama pemeriksaan dan observasi psikiatrik terperiksa harus
mendapat penjagaan dari polisi/instansi pemohon, termasuk terperiksa
yang dibantar (yang penahannya di tangguhkan)
8. Selama pemeriksaan dan observasi psikiatrik terperiksa tidak
diperkenankan menerima kunjungan kecuali dengan persetujuan tertulis
instansi pemohon.
9. Kunjungan dapat ditolak atau dihentikan oleh kepala sarana
pelayanan kesehatan jiwa atau Dokter SpKJ apabila kunjungan tersebut
dapat mengganggu jalannya pemeriksaan dan observasi psikiatrik.
10. Kunjungan tersebut harus di bawah pengawasan dokter yang bertugas.
11. Yang berhak mendapat persetujuan tertulis untuk mengunjungi
adalah penasihat hukum, keluarga (orangtua, suami/isteri, anak dan
saudara kandung)
12.Selama proses pemeriksaan dan observasi psikiatrik tidak dilakukan
terapi, kecuali dalam keadaan darurat medik tertentu, dokter dapat
memberikan pengobatan sementara, dalam hal ini diusahakan agar
kualitas gejalanya dipertahankan dan kuantitasnya dikurangi walaupun
diagnosis belum ditegakkan. Setelah diagnosis ditegakkan dapat
diberikan pengobatan dengan persetujuan tertulis dari instansi
pemohon.
13.Selama proses pemeriksaan dan observasi psikiatrik tersangka tidak
dapat dibawa keluar dari sarana pelayanan kesehatan jiwa kecuali untuk
pemeriksaan penunjang medis.
14.Setelah proses pemeriksaan dan observasi psikiatrik selesai, terperiksa
harus diambil oleh instansi pemohon.
15. 'eR! sudah harus diserahkan kepada instansi pemohon paling lambat

7 (tujuh) hari setelah pemeriksaan dan observasi psikiatrik selesai.


Rekam medis wajib disimpan oleh sarana kesehatan sampai 5 (lima)
tahun setelah pemeriksaan terakhir, kemudian dapat dimusnahkan kecuali
ringkasan dan persetujuan tindakan medisnya yang harus disimpan untuk
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari pembuatan ringkasan
tersebut. (Permenkes No. 269/MENKES/ PER/III/2008 tentang Rekam
Medis). Khusus untuk 'eR! disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terhitung dari diterbitkannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kurniawan AM. Peran dan Kedudukan Ahli Psikiatri Forensik dalam
Penjelasan Perkara Pidana.2010. Avalaible Irom : URL: etd.eprints.ums.ac.id.
(Cited on: 18 Oktober 2011)
2. Hayu TF. 2007. Kekuatan Surat Keterangan Dokter Psikiatri Forensik Sebagai
Alasan Penghapusan Pidana Bagi Pelaku Kejahatan. avalaible Irom :
www.medscribd.com. (Cited on: 30 Oktober 2011)
3. Arturo. J, Leons R.B. Forensic Psychiatry Roles` and Responsibility. In:
Principles and Practice oI Forensic Psychiatry.Hodder Arnold
Group.2003;2:7-11
4. Eckert WG, Turco RN. Forensic Psychiatry. In: Eckert WG. Introduction to
Forensic Science 2
nd
Edition. 1997. Florida: CRC Press. p: 13-43, 66-72.
5. Schetky DH. History oI Child and Adolescent In : Principles and Practice oI
Child and Adolescent Forensic Psychiatry.American Psychiatric Publishing
.2002.1:3-6
6. Prosono M. History oI Forensic Psychiatry. In : Principles and Practice oI
Forensic Psychiatry.Hodder Arnold Group.2003;3:14-27
7. Utomo BP. Peranan Ilmu Forensik dalam Usahan Memecahkan Kasus
Kriminalitas. avalaible Irom: www.medscribd.com. (Cited on: 30 Oktober
2011)
8. Dhistramine PA.Psikiatri Forensik (ppt). avalaible Irom www.ppt-
indonesia.org . (Cited on: 30 Agustus 2011).
9. Hawari D. pemeriksaan Psikiatrik. Dalam: Idris AM, Tjiptomartono AL.
Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. 2008. Jakarta:
Sagung Seto. hal: 263-6.
10.Nanton A. Psychiatric Forensic Interview. Updated October 12
th
2011.
Available Irom: URL: http://www.emedicine.medscape.com. (Cited on:
October 18
th
2011).
11.Balderama CN. Forensic Psychiatry : Neurology Psychiatry Module. 2011.
ASPMH Group. Irom www.medicalpdI.cc.uk . (Cited on: October 30
th
2011).
12.Puncana W. Forensik Psikiatri dan VeRP. availaible Irom www.pdIi-
indonesia.org. (Cited on: 30 Oktober 2011)

Anda mungkin juga menyukai